• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGGELONGGONGAN SAPI (Studi Di Polres Boyolali)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGGELONGGONGAN SAPI (Studi Di Polres Boyolali)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

PENGGELONGGONGAN SAPI

(Studi Di Polres Boyolali)

Oleh: Dicky Widyas Woro

NPM : 11100012

Kata Kunci : Penyidikan, Penggelonggongan Sapi

A. LATAR BELAKANG

Setiap manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah terlepas dari hukum. Dimana hukum tersebut dituntut untuk mengikuti perubahan sosial yang ada dalam masyarakat, karena setiap waktu terdapat perubahan sosial masyarakat baik itu dari segi ilmu pengetahuan, pola pemikiran dan hal tersebut sangat rentan sekali terdapatnya model kejahatan baru.

Sebagaimana kita ketahui, dalam rangka memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat, hukum tidak selalu bisa memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali, guna mencapai keputusan yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat.

Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana

(2)

formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.

Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, agar ideologi Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terwujud.

Seperti halnya dalam praktek pengglonggongan sapi kembali marak di Boyolali, Jawa Tengah. Ini diketahui setelah petugas gabungan dari Polres dan Pemerintah Kabupaten Boyolali melakukan razia di sejumlah wilayah. Hasilnya diketahui praktik tersebut masih terjadi di Desa Semampir Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Petugas mendapati beberapa sapi yang sudah digelonggong atau dipaksa minum air sebanyak-banyaknya.

Para pelaku memanfaatkan momentum Hari Natal dan Tahun Baru. Petugas gabungan segera melakukan razia setelah muncul keluhan dari warga daerah lain tentang masih maraknya peredaran daging sapi basah atau sapi

(3)

gelonggongan. Keluhan itu datang dari Pemalang, Temanggung dan Sukoharjo, selain merugikan pembeli, praktek ini termasuk melanggar hukum pidana penganiayaan hewan.

B. PERMASALAHAN

Pembatasan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam memecahkan masalah yang akan diteliti, sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah, sistematis dan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan kasus penggelonggongan sapi di Kepolisian Resort Boyolali.

C. PEMBAHASAN

1. Penggelonggongan Sapi Sebagai Tindak Pidana Penganiayaan Hewan Istilah glonggongan (diambil dari bahasa Jawa, glonggong) yang dikaitkan dengan produk daging (biasanya sapi), dipakai untuk daging yang dijual setelah melalui proses yang tidak wajar. Beberapa jam sebelum penyembelihan, hewan potong diminumkan air (secara paksa) dalam jumlah besar dengan maksud meningkatkan masa daging, Walhasil, setelah hewan dipotong bobot dagingnya akan lebih tinggi dan, dengan demikian, harga jualnya lebih tinggi. Dalam waktu singkat, namun cukup lama untuk penjualan, bobot daging akan menyusut secara drastis setelah airnya keluar. Cara penjualan yang seperti ini banyak dilaporkan di daerah Jawa Tengah, khususnya daerah Kabupaten Boyolali. Penjualan daging

(4)

glonggongan melanggar hukum, selain itu daging glonggongan diduga tidak sehat untuk dikonsumsi.

Islam menganjurkan agar hewan yang akan disembelih diperlakukan dengan baik dan disenangkan hatinya. Kalau perlu diberi makan dahulu, tidak disiksa, dan dimandikan supaya bersih. Aturan ini berlaku untuk semua hewan yang akan disembelih, baik sapi, kambing, domba, unta maupun hewan-hewan halal lainnya. Oleh karena itu Islam melarang perlakuan buruk terhadap binatang sembelihan. Misalnya saja disiksa sebelum disembelih, tidak diberi makan atau dipukul. Perlakuan buruk itu selain menyiksa binatang tersebut juga bisa menyebabkan menjadi stress. Secara ilmiah, ketika hewan yang akan disembelih mengalami stress, maka darah tidak akan keluar dengan tuntas dan mutu daging yang dihasilkan juga kurang bagus.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 412/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potongan dan Penanganan Daging serta hasil ikutannya Menteri Pertanian Pasal 1 menjelaskan bahwa: a. Hewan potong adalah sapi, kerbau, kuda, kambing dan domba;

b. Pemotongan hewan potong adalah kegiatan untuk menghasilkan daging yang terdiri dari pemeriksaan ante mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post mortem;

c. Pemeriksaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih;

d. Penyembelihan hewan potong adalah kegiatan mematikan hewan potong dengan cara menyembelihnya;

e. Penyelesaian penyembelihan adalah kegiatan lebih lanjut setelah penyembelihan hewan potong guna memungkinkan pemeriksaan dagingnya; f. Pemeriksaan post mortem adalah pemeriksaan daging dan bagian-bagian

setelah penyelesaian penyembelihan;

g. Daging adalah bagian-bagian hewan potong yang disembelih termasuk isi rongga perut dan dada yang lazim dimakan manusia;

h. Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah kepala dan kaki dipisahkan, dikuliti, serta isi rongga perut dan dada dikeluarkan;

(5)

i. Hasil ikutan adalah hasil samping dari pemotongan hewan potong yang berupa darah, kulit, bulu, lemak, tanduk, tulang dan kuku;

j. Limbah adalah buangan dari proses pemotongan hewan potong dan hasil ikutan yang tidak dimanfaatkan;

k. Petugas pemeriksaan adalah dokter hewan pemerintah yang ditunjuk atau petugas lain yang berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab dokter hewan dimaksud untuk melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan;

l. Penanganan daging adalah kegiatan yang meliputi penyaluran, pemotongan bagian-bagian daging, pelepasan tulang, pemanasan, pembekuan, pendinginan, pengangkutan, penyimpanan dan kegiatan lain untuk menyiapkan daging guna penjualannya;

Adapun syarat dan tata cara pemotongan hewan potong diatur dalam Pasal 2 ayat (1) menjelaskan:

a. Disertai surat pemilikan;

b. Disertai bukti pembayaran, retribusi/ pajak potong; dan c. Memiliki surat ijin potong;

d. Dilakukan pemeriksaan ante-mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan;

e. Diistirahatkan paling sedikit 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan;

f. Penyembelihannya dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan;

g. Pelaksanaan pemotongan hewan di potong dilakukan di bawah pengawasan dan menurut petunjuk-petunjuk petugas pemeriksa yang berwenang;

h. Tidak dalam keadaan bunting;

i. Penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam;

Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali No. 10 Tahun 1986 Tentang Potongan Ternak. Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:

a. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali; b. Bupati Kepala Daerah adalah Bupati Kepala Daerah Tingkat II Boyolali; c. Dinas Peternakan adalah Dinas Peternakan Kabupaten Daerah Tingkat II

Boyolali;

d. Ternak adalah sapi, kerbau, kuda, babi dan kambing/ domba;

e. Daging adalah semua bagian dari ternak yang telah dipotong, kecuali kulit, tanduk dan kuku;

(6)

f. Tempat Pemotongan Umum selanjutnya di singkat dengan TPU adalah bangunan dan halaman yang dimiliki/ dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali dimana ternak dipotong;

g. Tempat Pemotongan Khususnya selanjutnya di singkat dengan TPK adalah bangunan yang halaman yang dimiliki/ dikuasai jagal dimana ternak dipotong; h. Jagal adalah orang yang berusaha dibidang pemotingan ternak dan penjualan

hasil pemotongan sebagai mata pencaharian;

Untuk dapat menjalankan pekerjaan sesuatu jagal, yang berkepentingan harus meminta permohonan ijin tertulis kepada Bagian Kepala Daerah lewat Kepala Dinas Peternakan, dengan menyebutkan:

a. Nama dan nama kecil; b. Tempat dan tanggal lahir; c. Pekerjaan;

d. Alamat; e. Perusahaan;

f. Bentuk Perusahaan;

g. Tempat dan tanggal berdirinya perusahaan; h. Alamat perusahaan;

i. Permohonan ijin/baru;

Adapun persyaratan untuk memperoleh ijin, antara lain:

a. Mempunyai ruangan tersendiri untuk menyimpan daging yang selalu dalam keadaan bersih dan memenuhi syarat kesehatan;

b. Mempunyai alat gantungan daging logam yang tidak berkarat;

c. Mempunyai tempat pembuangan limbah, sehingga tidak mengganggu kesehatan lingkungan;

Secara yuridis tentang tindak pidana penganiayaan ringan terhadap hewan adalah:

a. Tindak pidana Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan dalam KUHP

KUHP yang kini berlaku menjadi salah satu hukum positif di Indonesia, terdiri dari 569 Pasal dan secara matematis terbagi menjadi tiga buku. Buku pertama, tentang Ketentuan Umum, buku kedua mengatur tentang

(7)

kejahatan dan buku ketiga mengatur tentang Pelanggaran. Dalam hal ini tindak pidana penganiayaan ringan terhadap hewan diatur dalam buku kedua tentang Kejahatan yaitu BAB XIV Pasal 281 sampai dengan Pasal 303.

Pengaturan tentang penganiayaan ringan terhadap hewan ini menjadi satu bab dengan delik susila namun sifatnya bukan kejahatan seksual, hanya saja termasuk kejahatan terhadap kesusilaan non seksual. Kejahatan terhadap kesusilaan non seksual dalam hal ini adalah penganiayaan ringan dalam BAB XIV ini diatur dalam pasal 297 sampai dengan Pasak 303 bis termasuk dalam hal ini pengaturan tentang penganiayaan ringan terhadap hewan yang juga termasuk kejahatan kesusilaan non social. Adapun penganiayaan ringan terhadap hewan adalah diatur dalam Pasal 302 ayat (1) sampai dengan ayat (4).

Untuk lebih jelasnya dan lengkapnya maka penulis akan berusaha menjelaskan pasal-pasal yang mengatur tentang penganiayaan ringan terhadap hewan tersebut satu persatu sebagai berikut:

Pasal 302 ayat (1) menjelaskan: Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan;

Ke-1 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai atau merugikan kesehatannya; Ke-2 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas

yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak member makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang

(8)

seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

Dalam ayat (1) dimaksudkan kejahatan “Penganiayaan Ringan” pada binatang untuk itu harus dibuktikan bahwa:

1) Orang itu sengaja menyakiti, melukai atau merusakan kesehatan binatang 2) Perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati

batas yang diizinkan

Pasal 302 ayat (2) menjelaskan bahwa: Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

Yang dimaksud dalam ayat (2) perbuatan seperti memotong ekor, kuping anjing supaya kelihatan bagus, mengebiri binatang dengan maksud baik yang tertentu, mengajar binatang dengan memakai daya upaya sedikit menyakiti pada binatang untuk sirkus, mempergunakan macam-macam binatang untuk percobaan ilmu kedokteran (vivisectile). Maksud yang patut atau tidak melewati batas yang diizinkan. Tentang hal ini bagi tiap-tiap perkara harus ditinjau sendiri-sendiri dan keputusan terletak kepada hakim. Pasal 302 ayat (3) menjelaskan: Jika hewan itu milik yang bersalah, maka

hewan itu dapat dirampas.

Maksud dari ayat (3) ini adalah dalam hal hewan yang telah menjadi obyek penganiayaan adalah milik yang bersalah maka hewan tersebut dapat

(9)

dirampas oleh Negara. Namun jika hewan tersebut bukan milik yang bersalah maka hewan tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya.

Pasal 302 ayat (4) menjelaskan: Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak di pidana.

Maksud dari ayat (4) adalah dalam hal percobaan dalam tindak pidana penganiayaan hewan tidak dipidana sebab merupakan tindak pidana ringan. b. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali Tentang

Pemotongan Ternak

Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 10 Tahun 1986 tentang Pemotongan Ternak diundangkan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali tanggal 23 Februari 1987 Nomor 2 Tahun 1987 Seri B terdiri dari XI Bab, 28 Pasal dan aturan tersebut adalah sebagai penyempurnaan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 35/IV/DPRD/Bi/56 tentang pemotongan ternak.

Perda Kabupaten Boyolali Nomor 10 Tahun 1986 tentang pemotongan ternak ini dibentuk sejalan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, aturan yang mengatur secara khusus mengenai pemotongan ternak yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali Nomor 10 Tahun 1986 dalam konsiderannya menyebutkan tujuan diadakannya aturan tersebut salah satunya adalah “Untuk meningkatkan pendapatan daerah”.

Pembentukan Perda Nomor 10 Tahun 1986 ini merupakan Kebijakan Otonomi Daerah Kabupaten Boyolali. Dari Perda tersebut Pemerintah Daerah

(10)

Kabupaten Boyolali dapat mengoptimalkan pajak retribusi daerah demi meningkatkan Pajak Asli Daerah.

Adanya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1986 ini merupakan salah satu upaya Pemerintah Kabupaten Boyolali dalam menyelenggarakan pemerintahan yang otonomi di Daerah Kabupaten Boyolali. Sebab dengan berlakunya Sistem Pemerintahan Otonomi Daerah maka Pemerintah Kabupaten Boyolali dituntut untuk tanggap dan cekatan dalam mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya, dalam, hal ini melalui pajak retribusi pemotongan ternak. Dari pajak retribusi inilah diharapkan dapat menjadi salah satu penopang pembangunan daerah Kabupaten Boyolali pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.

2. Hambatan-hambatan Timbul dalam Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Penggelonggongan Sapi di Kepolisian Resort Boyolali?

Dalam pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan pada kasus penggelonggongan sapi oleh Kepolisian Resort Boyolali terdapat beberapa dukungan dan hambatan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan proses penyelidikan dan penyidikan pada kasus penggelonggongan saopi yang berasal dari internal Kepolisian Resort Boyolali, meliputi adanya substansi undang-undang yang telah memadai yang secara tidak langsung telah mendukung kelancaran proses penyelidikan dan penyidikan, dengan adanya dukungan dari pihak atasan baik berupa materiil maupun spiritual, sedangkan faktor pendukung yang berasal dari eksternal

(11)

Kepolisian Resort Boyolali meliputi keberadaan saksi ahli dari lingkungan Dinas Peternakan dan Dokter Hewan di Boyolali.

Hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan pada kasus penggelonggongan sapi oleh Kepolisian Resort Boyolali adalah relative tidak ada, dimana kasus tersebut tertangkap basah pada hari Jumat tanggal 06 Oktober 2010 sekitar jam 14.30 WIB diadakan operasi gabungan dari tiga unsur Institusi, Kepolisian, Satpol PP dan Dinas Peternakan saksi ikut dalam operasi gabungan tersebut dari unsur instansi Kepolisian Resort Boyolali dalam kapasitas anggota unit Intelkam. Dan target operasi adalah mencari sapi glonggongan sebelum disembelih. Untuk sasaran operasi di Kec. Ampel Boyolali. Dalam operasi tersebut diketemukan sapi yang sedang diglonggong di Ds. Tanduk, Dk. Bakalan, Kec. Ampel, Kab. Boyolali. Tempat kejadian adalah dalam sebuah kandang yang tertutup dari luar. Kepemilikan kandang dan sapi diakui oleh Sdr. JOYO WARSONO.

Dengan barang bukti yang dapat disita dari perkara diduga penganiayaan terhadap binatang (Penggelonggongan sapi) oleh JOYO WARSONO Dkk, 46 tahun, Islam, pedagang, alamat Dk. Tanduk, Rt 06/06 Ds. Bakalan Kec. Ampel Kab. Boyolali sesuai dengan Berita Acara penyitaan pada tanggal 06 Oktober 2010 adalah sebagai berikut:

1. 1 (satu) pipa besi panjang 30 cm diameter 3 cm 2. 1 (satu) selang terbuat dari plastik warna biru 3. 1 (satu) utas tali warna coklat

(12)

D. PENUTUP

1. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan kasus penggelonggongan sapi di Kepolisian Resort Boyolali bahwa serangkaian penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan yaitu dengan adanya keterangan saksi, keterangan tersangka dan didukung adanya barang bukti kiranya dapat ditetapkan pasal dalam perkara ini yaitu Pasal 302 ayat (1) ke 1 KUHP: “Diancam pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda tiga ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas dengan sengaja menyakiti, melukai, atau merugikan kesehatannya. Pasal 302 ayat (2) KUHP adalah bahwa tersangka dalam melakukan perbuatan penggelonggongan satu ekor jenis sapi jantan warna abu-abu mengakibatkan luka berat dengan terjadi Prolaps anus, hiper salifa, perut kembung di luar batas normal dan badan terasa dingin. Dan apabila dibiarkan sapi tersebut nyawanya tidak bisa diselamatkan karena pada tenggorokannya terdapat luka berat dimasuki pipa besi.

2. Hambatan yang timbul dalam pelaksanaan penyelidikan pada kasus penggelonggongan sapi oleh Kepolisian Resort Boyolali adalah relatif tidak ada, mengingat sering diadakan operasi gabungan dari tiga unsur Institusi, Kepolisian, Satpol PP dan Dinas Peternakan saksi ikut dalam operasi gabungan tersebut dari unsur instansi Kepolisian Resort Boyolali dalam kapasitas anggota unit Intelkam, dan target operasi adalah mencari sapi glonggongan sebelum disembelih.

(13)

E. DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1997, Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Bachtiar, Harsja W, 1994, Ilmu Kepolisian Suatu Bidang Ilmu Yang Baru, Jakarta: PTIK-Gramedia.

Hamzah, Andi, 1990, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. Headline News/ Nusantara/ Rabu, 24 Desember 2008 09:09 WIB.

Husein, Harun, M. 1991, Penyidikan dan Penunturan dalam Proses Pidana, Jakarta: Aneka Cipta.

Lamintang, P.A.F., 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Moejatno, 1978, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI. Pers. Tafany, 2009, “Fatwa MUI”, Daging Gelonggongan Dalam Tinjauan Fiqih. UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itulah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menge- tahui perbedaan hasil kualitas hidup antara berbagai metode manajemen nyeri pada pasien nyeri

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Olabode et al (2013), mengenai tantangan sosial ekonomi terhadap kejadian kecelakaan sepeda motor, bahwa di negara

Tekan Ctrl+Click pada Link di bawah untuk

[r]

Kemudian dalam Bab II, dimuali dengan tulisan Subbab A yang berisi Pengantar, kemudian akan dituliskan di dalam Subbab B tentang Aspek Hukum Rumah Sakit Tanpa

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Duvamindra (2015) menyatakan bahwa interaksi partisipasi penyusunan anggaran dan komitmen

Dalam menjalankan bahtera rumah tangga perselisihan antara suami isteri menurut mayoritas responden sebagai persoalan biasa. Permasakhan diselesaikan secara adapt yakni

Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Niela Putri (2012) yang menyatakan bahwa remaja yang berasal dari keluarga konservatif