BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kimia sebagai bagian dari sains, merupakan suatu ilmu berlandaskan
eksperimen yang pengembangan dan aplikasinya menuntut standar tinggi pada
kerja eksperimental. Eksperimen atau praktikum kimia membantu mahasiswa
mendapatkan keterampilan-keterampilan teknis, misalnya, manipulasi peralatan
dan material, observasi, pengumpulan data, analisis data, interpretasi hasil
observasi, pemecahan masalah, kerja tim, mendesain eksperimen, dan
keterampilan berkomunikasi (Bennett dan O’Neale, 1998; Johnstone dan
Al-Shuali, 2001, dalam Limniou et al., 2007). Lebih lanjut, Witteck et al. (2007)
menyatakan bahwa praktikum merupakan komponen esensial untuk mengajarkan
metode ilmiah dan memahami hakekat sains. Pelaksanaan praktikum dalam kimia
dapat membangkitkan keingintahuan mahasiswa terhadap kimia. Dalam
melakukan praktikum, mahasiswa didorong untuk berpartisipasi aktif dan dilatih
untuk mengembangkan sikap ilmiah.
Sementara itu, Hofstein dan Mamlok-Naaman (2007) menyatakan bahwa
praktikum di laboratorium dimaksudkan untuk meningkatkan penguasaan konsep
dalam sains dan aplikasinya; kemampuan memecahkan masalah dan
keterampilan-keterampilan ilmiah; kebiasaan berpikir ilmiah; memahami
bagaimana sains dan ilmuwan bekerja; menumbuhkan minat dan motivasi. Hal
laboratorium dalam pembelajaran sains bertujuan untuk membangkitkan minat
mahasiswa, mengajarkan keterampilan-keterampilan laboratorium; membantu
memperoleh dan mengembangkan konsep, menanamkan sikap ilmiah, dan
mengembangkan keterampilan sosial.
Praktikum di laboratorium menyediakan lingkungan belajar unik yang
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk terlibat aktif dalam proses
penyelidikan dan inkuiri yang mirip dengan apa yang dikerjakan oleh para
ilmuwan (Hofstein dan Lunneta, dalam Domin, 2007). Hasil dari proses
penyelidikan dan inkuiri ini diharapkan dapat memberikan mahasiswa belajar
secara lebih bermakna jika dibandingkan bentuk pembelajaran sains yang lain.
Sementara itu, Tobin (dalam Kipnis dan Hofstein, 2007) menyatakan bahwa
praktikum sebagai suatu cara untuk belajar pemahaman dan sekaligus terlibat aktif
dalam proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengerjaan sains. Masih
menurut Tobin, belajar bermakna di laboratorium akan terjadi jika mahasiswa
diberi kesempatan memanipulasi peralatan dan material untuk mengkonstruksi
pengetahuan dari suatu fenomena dan menghubungkannya dengan konsep-konsep
sains. Manfaat praktikum bagi mahasiswa dapat diringkas menjadi tiga domain
(Willington, dalam Ketpichainarong, et al., 2010), yaitu untuk mengembangkan:
(1) domain kognitif, misalnya konten sains dan hakekat sains; (2) domain afektif,
misalnya menumbuhkan sikap positif terhadap sains; dan (3) domain
psikomotorik, misalnya keterampilan proses sains, keterampilan laboratorium,
keterampilan pemecahan masalah, dan keterampilam berpikir, terutama
Berpikir kritis merupakan serangkaian keterampilan kognitif dan disposisi
intelektual yang diperlukan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan
mengevaluasi argumen secara efektif agar dapat menemukan dan mengatasi
prasangka pribadi, dapat merumuskan dan menyajikan alasan yang meyakinkan
dalam mendukung kesimpulan, dan dapat membuat keputusan yang rasional dan
tepat tentang apa yang dilakukan dan diyakini (Bassham et al., 2008). Dengan
demikian, keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir bagi
seseorang dalam membuat keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung
jawab yang mempengaruhi hidup seseorang. Keterampilan berpikir kritis juga
merupakan inkuiri kritis, sehingga seseorang yang berpikir kritis menyelidiki
masalah, mengajukan pertanyaan, mengajukan jawaban baru yang menentang
status quo, menemukan informasi baru, dan menentang dogma dan dokrin
(Schafersman, 1991). Menurut Lipman (2003), keterampilan berpikir kritis sangat
penting dimiliki agar kita dapat terhindar dari penipuan, indoktrinasi, dan
pencucian otak (mindwashing). Pentingnya peningkatan atau pengembangan
keterampilan berpikir kritis siswa/mahasiswa telah menjadi tujuan dari pendidikan
pada akhir-akhir ini (Tsapartis dan Zoller, 2003; Lubezky et al., 2004, Phillips dan
Bond, 2004). Oleh karena itu, institusi pendidikan pada semua level sudah
seharusnya memfokuskan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis
siswa/mahasiswa (Zoller, et al., 2000).
Pengembangan keterampilan berpikir kritis mahasiswa dimaksudkan
untuk: (1) menyiapkan mahasiswa agar berhasil menghadapi kehidupan
pemahaman/literasi terhadap lingkungan (environmental literacy) (Ernst dan
Monroe, 2004); dan (3) meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
menganalisis, mengkritisi, menyarankan ide-ide, memberi alasan secara induktif
dan deduktif, serta untuk mencapai kesimpulan yang faktual berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional (Dumke, dalam Jones, 1996).
Sementara itu, Beyer (1995) menyatakan bahwa pembelajaran atau praktikum
keterampilan berpikir kritis sangat penting diterapkan, agar dapat
mengembangkan daya nalar mahasiswa. Masih menurut Beyer (1995), untuk
berhasil hidup dalam alam demokrasi, mahasiswa harus dapat berpikir kritis agar
dapat membuat keputusan dengan tepat.
Bagi mahasiswa, keterampilan berpikir kritis diperlukan terutama untuk
memahami konsep-konsep pada mata kuliah yang sedang dipelajari. Dengan
keterampilan berpikir kritis, mahasiswa akan dapat menganalisis masalah,
mengidentifikasi konsep-konsep yang terkait, mempertimbangkan kredibilitas
sumber informasi, memilih informasi yang relevan, menganalisis argumen,
mengkritisi pendapat, dan mengevaluasi solusi yang mungkin, sehingga
dihasilkan solusi yang terbaik.
Mengingat pentingnya keterampilan berpikir kritis khususnya bagi
mahasiswa calon guru kimia, keterampilan berpikir kritis hendaknya
dikembangkan sejak dini (tahun pertama kuliah) baik melalui perkuliahan teori
maupun praktikum. Mata kuliah Kimia Dasar merupakan suatu mata kuliah yang
diprogramkan di tahun pertama kuliah. Pada mata kuliah Kimia Dasar terintegrasi
melakukan praktikum-praktikum kimia tingkat lanjut, sehingga perlu ditangani
secara sungguh-sungguh terutama untuk mengembangkan penguasaan konsep,
keterampilan proses sains, dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa.
Praktikum Kimia Dasar yang dilakukan, tidak serta merta dapat
meningkatkan hasil belajar mahasiswa, terutama keterampilan berpikir kritis
mahasiswa. Hal ini didukung oleh pernyataan Lunetta dan Nekhleh (dalam
Witteck et al., 2007) bahwa praktikum yang dilakukan tidak otomatis memberikan
hasil positif terhadap pencapaian hasil belajar kognitif dan metode ilmiah. Hodson
(Kipnis dan Hofstein, 2007) mengkritik kerja laboratorium dan mengklaim bahwa
kerja laboratorium tidak produktif dan membingungkan, ketika kerja laboratorium
dilakukan tanpa suatu pertimbangan dan ketidakjelasan dari tujuan praktikum,
serta praktikum lebih menekankan terhadap apa yang dikerjakan mahasiswa di
laboratorium. Secara lebih tegas, Roth (dalam Domin, 2007) menyatakan:
’Although laboratories have long been recognized for their potential to facilitate
the learning of science concept and skills, this potential has yet to be realized’.
Beberapa faktor penghambat pencapaian hasil praktikum diungkapkan
oleh Hofstein dan Lunetta (dalam Donnell et al., 2007), meliputi: (1) pelaksanaan
praktikum ekspositori oleh sebagian besar institusi tidak memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk berpikir tentang tujuan dari penyelidikan dan urutan
tugas-tugas yang dibutuhkan hanya untuk mengejar penyelesaian tugas-tugas
tersebut, (2) asesmen secara sungguh-sungguh diabaikan, memberikan kesan
bahwa praktikum tidak perlu dilakukan secara serius, dan (3) terbatasnya sumber
bahwa pengelolaan praktikum Kimia Dasar di salah satu institusi pendidikan
dilakukan melalui praktikum ekspositori di mana mahasiswa melakukan
praktikum berdasarkan buku penuntun praktikum yang telah disediakan oleh
dosen. Mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk merancang atau mendesain
praktikum sendiri. Menurut Edelson (dalam Donnell et al., 2007), implementasi
praktikum di mana mahasiswa sendiri yang merancang eksperimen (praktikum)
adalah suatu tantangan yang signifikan bagi mahasiswa. Kemampuan merancang
eksperimen untuk keperluan pembelajaran dan penelitian merupakan salah satu
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru-guru kimia (Depdiknas, 2007).
Praktikum ekspositori memiliki beberapa kelemahan seperti yang telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti. Praktikum ekspositori tidak memperhatikan
kreativitas atau kontekstualisasi, dan sering merupakan suatu verifikasi atau
pengujian teori yang telah dipresentasikan dalam perkuliahan (McGarvey, dalam
Donnell et al., 2007). Lebih lanjut, Garratt (dalam Limniou et al., 2007)
menyatakan bahwa pelaksanaan praktikum ekspositori tidak memberikan peluang
pembelajaran tentang mendesain eksperimen, penyelidikan, dan analisis hasil
secara kritis. Mahasiswa yang mengikuti praktikum ekspositori tidak mengerjakan
eksperimen, tetapi melakukan latihan, sebab mereka biasanya mengikuti instruksi
secara mekanik tahap demi tahap, tanpa berpikir (Clow dan Garratt, dalam
Limniou et al., 2007).
Upaya-upaya peningkatan kualitas praktikum telah dilakukan oleh
beberapa peneliti untuk menyelidiki efektivitas praktikum pada pendidikan sains
2007). Limniou et al. (2007) melakukan integrasi simulator viskositas interaktif
dalam sesi pra-laboratorium untuk membantu mahasiswa memahami materi kimia
dengan lebih baik. Dalam praktikum ini, mahasiswa melakukan eksperimen
virtual menggunakan simulator viskositas pada sesi pra-laboratorium, dilanjukan
dengan melakukan praktikum riil di laboratorium. Di pihak lain, Donnell et al.
(2007) menerapkan pembelajaran berbasis masalah proyek mini (PBL proyek
mini) sebagai suatu metode pembelajaran laboratorium untuk mengembangkan
keterampilan mahasiswa melakukan praktikum di laboratorium kimia. PBL
proyek ini merefleksikan situasi pemecahan masalah kehidupan nyata yang
mampu meningkatkan partisipasi dan keyakinan mahasiswa melakukan
praktikum. Witteck et al. (2007) menggunakan pendekatan pembelajaran
perusahaan (learning company approach) untuk memotivasi siswa secara
kooperatif melakukan eksperimen pengaturan diri (self-regulated). Sementara itu,
Ketpichainarong et al. (2010) menyelidiki efektivitas praktikum selulase berbasis
inkuiri untuk meningkatkan inkuiri mahasiswa dalam bioteknologi. Lebih lanjut,
Green et al., (2004) juga menerapkan pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri
untuk lebih menekankan penggunaan metode ilmiah secara eksplisit serta
mengajak mahasiswa untuk merumuskan dan menguji hipotesisnya sendiri.
Upaya-upaya peningkatan kualitas praktikum pada suatu institusi
pendidikan di Bali juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Suardana (2001)
menerapkan modul pertanyaan untuk mengefektifkan pelaksanaan praktikum
Kimia Dasar. Semetara itu, Sudria et al. (2002) mengembangkan bimbingan klinis
praktikum Kimia Anorganik. Redhana (2008) menerapkan open-ended laboratory
pada praktikum Biokimia untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah
dan pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep Biokimia. Peningkatan
kualitas praktikum ini lebih difokuskan untuk meningkatkan kualitas proses dan
penguasaan konsep mahasiswa, tetapi belum diupayakan untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis mahasiswa.
Penelitian tentang upaya peningkatan keterampilan berpikir kritis
mahasiswa, sesungguhnya juga telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Tabel 1.1 meringkas beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan upaya untuk
meningkatkan keterampilan berpikir kritis atau keterampilan yang berhubungan,
baik pada siswa maupun mahasiswa. Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui
bahwa implementasi pembelajaran atau praktikum inkuiri, scaffolding, berbasis
masalah, berbasis budaya lokal, dan metode bertanya, dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa/mahasiswa. Dari semua penelitian tersebut,
penelitian tentang pengembangan praktikum berbasis budaya lokal, khususnya
praktikum Kimia Dasar berbasis budaya Bali belum pernah dilakukan.
Pengintegrasian budaya Bali dalam praktikum Kimia Dasar merupakan
suatu upaya yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini didasarkan atas alasan
sebagai berikut. Pertama, pengetahuan mahasiswa tentang materi praktikum
Kimia Dasar dalam bentuk konten dan konteks budaya yang ada di sekitarnya
merupakan pengetahuan awal yang dibawa dalam praktikum. Pengetahuan awal
ini sangat bermanfaat dalam membantu mahasiswa memahami materi praktikum
dipahami melalui konten dan konteks budaya mahasiswa juga memberikan
pengaruh terhadap peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap budaya yang
dimiliki. Hal ini akan dapat menghindari terjadinya ketidakcocokan (clash) dan
konflik budaya atau marginalisasi khasanah budaya Bali serta dapat memperkuat
budaya Bali dari pengaruh budaya asing. Ketiga, pengintegerasian budaya Bali
dalam praktikum akan dapat meningkatkan kecintaan mahasiswa terhadap potensi
(budaya) daerahnya dan keinginan untuk terus melestarikannya.
Pentingnya pengintegrasian budaya lokal dalam pembelajaran atau
praktikum telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Jegede dan Okebukola, dalam
Suastra, 2005; Baker dan Taylor, 1995; Cobern dan Aikenhead, 1996; Costa,
1995; dan Ogawa, 2002). Menurut Jegede dan Okebukola (Suastra, 2005), bahwa
memadukan sains asli siswa (sains sosial-budaya) dengan pelajaran sains di
sekolah ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Sementara itu, Baker
dan Taylor (1995) menyatakan bahwa jika pembelajaran atau praktikum sains
tidak memperhatikan budaya siswa/mahasiswa, maka konsekuensinya adalah
siswa/mahasiswa akan menolak atau menerima hanya sebagian dari
konsep-konsep sains yang dikembangkan dalam pembelajaran atau praktikum. Pendapat
senada dikemukakan oleh Cobern dan Aikenhead (1996), yang menyatakan
bahwa jika subbudaya sains modern yang diajarkan selaras dengan subbudaya
kehidupan sehari-hari siswa/mahasiswa, maka pembelajaran sains akan dapat
memperkuat pandangan siswa/mahasiswa tentang alam semesta, hasilnya adalah
enculturation. Jika enculturation terjadi, maka berpikir ilmiah siswa/mahasiswa
yang diajarkan di sekolah berbeda atau bahkan bertentangan dengan subbudaya
keseharian siswa, maka pembelajaran sains akan memisahkan pandangan siswa
tentang alam semesta (Costa, 1995 dan Ogawa, 2002), sehingga mereka
meninggalkan atau meminggirkan cara asli mereka untuk mengetahui, dan
rekonstruksi terjadi menuju cara mengetahui menurut ilmuwan (scientific).
Agar dapat mengintegrasikan budaya lokal, khususnya budaya Bali ke
dalam praktikum Kimia Dasar, eksplorasi konten dan kontek budaya Bali yang
berkaitan dengan materi praktikum Kimia Dasar merupakan hal yang sangat
mendesak untuk dilakukan. Dari penelusuran aspek budaya Bali yang berkaitan
dengan materi praktikum Kimia Dasar, ditemukan bahwa aplikasi reaksi
netralisasi asam dan basa telah dimanfaatkan oleh masyarakat Bali dalam proses
pengobatan secara tradisonal. Dalam pengobatan sengatan lebah, misalnya,
masyarakat Bali biasanya menggunakan air pamor (air kapur). Bisa sengatan
lebah (apiktoksin) bersifat asam sehingga dapat dinetralkan dengan air pamor
yang bersifat basa. Demikian juga, untuk menghentikan ketagihan candu yang
mengandung senyawa-senyawa alkaloid yang bersifat basa, digunakan ramuan
obat yang bersifat asam; ramuan ini terdiri atas: buah belimbing besi, garam
dapur, dan lunak tanek (asam jawa/Tamarindus indica L. yang telah dimasak).
Aspek budaya Bali yang juga berkaitan dengan materi praktikum Kimia
Dasar adalah penyepuhan emas. Perhiasan dari sepuhan emas banyak digunakan
oleh masyarakat Bali, khususnya oleh perempuan-perempuan Bali dalam kegiatan
keagamaan atau kesenian. Secara tradisonal, penyepuhan emas dilakukan melalui
berupa emas murni, dan katodanya adalah perhiasan yang disepuh. Penyepuhan
emas adalah proses elektrolisis dengan cara melapisi emas pada benda yang
disepuh. Pada proses penyepuhan emas, benda yang disepuh ditempatkan sebagai
katoda dan emas ditempatkan sebagai anoda.
Mencermati pentingnya pengintegrasian budaya Bali dalam praktikum
Kimia Dasar, maka pada penelitian ini dikembangkan model praktikum Kimia
Dasar berbasis budaya Bali yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis
mahasiswa. Model ini mengintegrasikan konten dan konteks budaya Bali dalam
praktikum Kimia Dasar yang memberikan peluang kepada mahasiswa untuk
belajar secara lebih bermakna (meaningful) dan memungkinkan mahasiswa
mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Dalam model ini, mahasiswa
diberikan pemahaman terhadap budayanya sendiri dan diberikan
pengalaman-pengalaman bermakna untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dalam
kegiatan praktikum, sehingga mahasiswa dapat menjadi seorang pemikir yang
kritis dan berhasil menghadapi kehidupan. Dengan demikian, pengembangan
model praktikum Kimia Dasar berbasis budaya Bali ini diharapkan dapat
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan potensi
dirinya secara maksimal dan melatihkan keterampilan berpikir kritis selama
merancang, melaksanakan, dan melaporkan atau mengkomunikasikan hasil-hasil
praktikum. Pengembangan model ini juga diharapkan dapat mengurangi
keterasingan mahasiswa terhadap budayanya sendiri dan lebih memahaminya,
sehingga menumbuhkan kecintaan mahasiswa terhadap budaya yang dimiliki dan
Tabel 1.1 Rekapitulasi Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Keterampilan
Berpikir Kritis atau Keterampilan yang Berhubungan
Penulis
(Tahun) Fokus penelitian Hasil Penelitian
Oliver-Hoyo tertulis pada mata kuliah Kimia Dasar dapat meningkatkan keterampilan
Scaffolding pada pembelajaran secara online efektif mengembangkan kritis dan kerja tim mahasiswa. Toledo
Pendekatan bertanya secara online dapat mengembangkan keterampilan berpikir inkuiri pada mata pelajaran kimia SMA untuk mengembangkan keterampilan metakognisi
Siswa mempraktikkan kemampuan metakognisi dalam berbagai tahap dalam proses inkuiri saat melakukan aktivitas inkuiri.
Miri et al. (2007)
Peneliti menerapkan pembelajaran: (1) pemecahan masalah dunia nyata, (2) diskusi open-ended, dan (3) eksperimen berbasis inkuiri
Pemecahan masalah dunia nyata, diskusi open-ended, dan eksperimen berbasis
pembelajaran sains SMP berbasis konten dan konteks budaya Bali
Sikap ilmiah, keterampilan berpikir kritis, dan ketekunan siswa tergolong tinggi melalui pembelajaran sains berbasis konten dan konteks budaya Bali Dirgantara inkuri pada pokok bahasan kalor dapat meningkatkan penguasaan konsep dan terbimbing pada mata pelajaran kimia dapat meningkatkan keterampilan kurikulum kimia pada jurusan sains dan teknik melalui perubahan fokus dari belajar kimia sebagai body of knowledge menuju pemahaman kimia sebagai suatu cara berpikir (chemistry as a way of thinking)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut. “Bagaimanakah model praktikum Kimia Dasar
berbasis budaya Bali (MPKD-BBB) dapat meningkatkan keterampilan berpikir
kritis mahasiswa”.
Dari rumusan masalah ini dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian
sebagai berikut.
1. Konten dan konteks budaya Bali apa saja yang relevan dengan topik-topik
praktikum Kimia Dasar?
2. Bagaimanakah karakteristik MPKD-BBB yang dikembangkan?
3. Sejauh mana MPKD-BBB lebih baik dalam meningkatkan penguasaan konsep
mahasiswa daripada praktikum reguler?
4. Sejauh mana MPKD-BBB lebih baik dalam meningkatkan keterampilan
berpikir kritis mahasiswa daripada praktikum reguler?
5. Bagaimanakah keterampilan proses sains mahasiswa melalui implementasi
MPKD-BBB?
6. Apa kendala-kendala yang ditemui dalam mengimplementasikan MPKD-BBB?
7. Apa keunggulan-keunggulan dari MPKD-BBB?
8. Bagaimanakah tanggapan dosen terhadap MPKD-BBB?
9. Bagaimanakah tanggapan mahasiswa terhadap MPKD-BBB?
C. Tujuan Penelitian
menekankan pada upaya pengintegrasian aspek budaya Bali dalam pembelajaran
atau praktikum untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa
melalui usaha-usaha yang dilakukan secara eksplisit. Oleh karena itu, tujuan
penelitian ini adalah menghasilkan MPKD-BBB yang teruji untuk meningkatkan
penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. MPKD-BBB ini
menyediakan kesempatan cukup luas bagi mahasiswa berlatih menerapkan
keterampilan berpikir kritis mahasiswa, dalam proses merancang, melaksanakan,
dan melaporkan hasil-hasil praktikum berbasis budaya Bali dengan memanfaatkan
berbagai sumber belajar secara maksimal.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dan pengembangan ini berupa MPKD-BBB yang
diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi teoretik maupun praktis.
1. Manfaat teoretik
Manfaat teoretik hasil penelitian dan pengembangan ini adalah
memperkaya khasanah praktikum inovatif yang ada dan memberikan ide-ide
berupa prinsip-prinsip dasar dalam mendesain model praktikum yang memberikan
tantangan kepada mahasiswa untuk belajar secara lebih bermakna sehingga dapat
meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari hasil penelitian dan pengembangan ini adalah: (a)
sebagai salah satu model praktikum alternatif untuk meningkatkan penguasaan
dosen dalam mengelola praktikum yang menekankan pada peningkatan
keterampilan berpikir kritis mahasiswa; (c) mengubah paradigma belajar
mahasiswa yang selama ini lebih banyak sebagai “konsumen ide” menjadi
berperan sebagai “produsen ide”; dan (d) sebagai bahan pertimbangan bagi
institusi pendidikan, khususnya Jurusan Pendidikan Kimia untuk merancang
kurikulum, pendekatan, metode, dan strategi pengelolaan praktikum dengan