7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Diabetes Melitus (DM)
1.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah sekelompok penyakit yang ditandai
dengan kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia). Ketika seseorang memiliki diabetes, maka tubuh tidak dapat memproduksi insulin dengan cukup
atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif. Jika gula darah menumpuk dalam tubuh dan tidak terkontrol, dapat
menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius, seperti penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal, kebutaan, amputasi tungkai dan kaki, dan kematian dini (CDC, 2014).
1.2 Kaki Diabetes
American College of Foot and Ankle Surgeons (2015) menyatakan bahwa orang dengan diabetes rentan untuk mengalami masalah pada kaki, sering kali
terjadi karena dua komplikasi diabetes, yaitu : kerusakan saraf (neuropati) dan sirkulasi darah ke kaki yang buruk. Neuropati menyebabkan mati rasa di kaki,
hilangnya kemampuan untuk merasakan rasa sakit dan ketidaknyamanan di kaki, sehingga penderita tidak merasakan adanya cedera atau iritasi di kaki.
pada kaki. Selain itu, dengan diabetes, masalah kaki yang kecil dapat berubah menjadi komplikasi yang serius.
1.2.1 Gangguan pada kuku (kuku masuk ke dalam jaringan)
Kuku kaki yang tumbuh ke dalam kulit di sisi kuku Keadaan ini disebabkan oleh perawatan kuku yang tidak tepat, misalnya pemotongan
kuku yang salah, dan kebiasaan mencungkil kuku. Hal ini sering terjadi tanpa disadari karena adanya neuropati. Jika tidak segera ditangani akan menyebabkan infeksi.
1.2.2 Hammer toes
Pemakaian sepatu yang terlalu sempit dapat menimbulkan luka
pada jari- jari kaki, sehingga terjadi peradangan. Dengan adanya neuropati dan peradangan yang lain pada ibu jari kaki menyebabkan terjadinya
perubahan bentuk jari kaki seperti martil (hammer toe). 1.2.3 Kulit kering dan pecah-pecah
Sirkulasi darah yang buruk dan neuropati dapat membuat kulit kaki
kering. Hal ini mungkin tampak tidak berbahaya, tetapi kulit kering dapat mengakibatkan kulit menjadi pecah-pecah yang mungkin dapat menjadi luka dan dapat menyebabkan infeksi.
1.2.4 Calluses atau kapalan
Penggunaan sepatu yang tidak sesuai dapat menyebabkan penekanan yang berulang-ulang pada daerah tertentu di kaki, dengan adanya kondisi neuropati pada penderita Diabetes Melitus hal tersebut
pengerasan pada kulit di kaki (calluses). Jika tidak segera ditangani dengan tepat, maka akan berlanjut menjadi kulit kering dan pecah – pecah,
dan luka kaki yang disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah dan neuropati.
1.2.5 Charcot foot
Merupakan kelainan bentuk kaki yang kompleks. Charcot foot terjadi karena hilangnya sensasi pada kaki, tidak terdeteksinya tulang yang patah yang menyebabkan kerusakan jaringan lunak pada kaki. Neuropati
menyebabkan rasa sakit atau nyeri akibat fraktur terjadi tanpa disadari dan pasien terus berjalan, akhirnya menyebabkan deformitas. Pada kondisi
yang berat dapat menyebabkan cacat, dan bahkan amputasi. 1.2.6 Luka kaki
Karena sirkulasi darah yang buruk dan neuropati pada kaki, luka atau lecet dapat dengan mudah berubah menajdi luka atau borok yang terinsfeksi dan sulit untuk sembuh. Jika tidak ditangani dengan tepat maka
akan mengakibatkan amputasi pada kaki maupun kematian.
2. Luka Kaki Diabetik
2.1 Pengertian Luka Kaki Diabetik
Gitarja (2008) mengatakan bahwa luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang
rusak atau hilang. Luka kaki diabetik merupakan luka yang terjadi pada pasien diabetes yang melibatkan gangguan pada saraf periferal dan autonomik
adalah luka atau lesi pada pasien DM yang dapat mengakibatkan ulserasi aktif dan merupakan penyebab utama amputasi kaki.
2.2 Etiologi Luka Kaki Diabetik
Menurut Wounds International (2013) kebanyakan pasien dengan luka kaki diabetik disebabkan oleh adanya peripheral neuropathy dan peripheral
arterial disease (PAD) atau keduanya.
2.2.1 Peripheral Neuropathy (Kerusakan Saraf Perifer)
Peripheral Neuropathy menyebabkan luka kaki diabetik yang diakibatkan dari kerusakan saraf sensorik, motorik, dan otonomik. Pasien dengan kerusakan saraf sensori tidak menyadari adanya trauma pada kulit.
Kehilangan sensasi menyebabkan pasien rentan mengalami trauma fisik, kimia, dan panas. Lecet, kemerahan, atau perdarahan pada kulit
disebabkan oleh gerakan yang berlebihan atau alas kaki yang buruk, Jika hal ini terus berlanjut akan menyebabkan terjadinya luka kaki (Woo, Santos, dan Gamba, 2013). Pada pasien dengan kerusakan saraf motorik
menyebabkan deformitas pada kaki, seperti hammer toes, dan kaki claw yang mengakibatkaan tekanan yang abnormal pada tonjolan tulang, hal ini menyebabkan rentan terjadinya luka pada kaki. Sedangkan pasien dengan
kerusakan saraf otonomik biasanya terkait dengan kulit kering, yang dapat mengakibatkan terjadinya fissure, cracking, dan callus, yang jika terus
2.2.2 Peripheral Arterial Disease (PAD)
Pasien dengan DM dua kali lebih mungkin untuk memiliki PAD daripada pasien yang tidak menderita DM. Peripheral Arterial Disease meningkatkan risiko terjadinya luka, infeksi dan amputasi sebagai akibat dari iskemik yang menyebabkan penurunan pasokan darah dan perfusi
jaringan ke ekstremitas bawah. Perlu di ingat bahwa kerika terjadi penurunan aliran darah arteri, microangiopaty (disfungsi pembuluh darah kecil) berpengaruh pada penyembuhan luka yang buruk.
Luka kaki diabetik biasanya terjadi karena dua atau lebih faktor penyebab secara bersamaan. Unsur intrinsik seperti neuropati, PAD, dan
deformitas pada kaki disertai dengan trauma ekternal seperti penggunaan alas kaki yang buruk, luka pada kaki seiring berjalannya waktu dapat
menjadi luka kaki diabetik. Neuropati Sensori Perifer 2.3 Pengkajian Luka Kaki Diabetik
Registered Nurses’ Association of Ontario (2013) mengemukakan bahwa pengkajian luka kaki diabetik terdiri dari, mengukur panjang dan kedalam luka, jenis eksudat, bau, kulit disekitar luka, nyeri, dan klasifikasi / stadium luka.
2.3.1 Mengukur Panjang, Lebar dan kedalaman luka.
Hal ini sangat penting untuk mengevaluasi apakah luka semakin
membaik menuju hasil yang diinginkan. Mengukur kedalaman luka harus diiringi dengan pengukuran panjang dan lebar luka, untuk memberikan
Mengukur kedalaman luka dilakukan dengan lembut dengan memasukkan swab tongkat steril atau probe ke dalam luka.
2.3.2 Eksudat
Karakteristik eksudat pada luka memberikan informasi penting tentang status luka. RNAO merekomendasikan menggambarkan jenis
eksudat diamati dari luka menggunakan terminologi umum sebagai berikut:
Tabel 2.1. Karakteristik eksudat pada luka kaki diabetik
Jenis Eksudat
dressings, dapat memancarkan bau, dan penting untuk menilai karakteristik bau dari luka tersebut. Perubahan bau mungkin
menunjukkan perubahan dalam keseimbangan bakteri. Luka yang infeksi sering mengeluarkan bau yang khas khas dan tidak menyenangkan. Luka
yang terinfeksi anaerob, gangren, cenderung menghasilkan bau tajam atau busuk yang berbeda.
2.3.4 Kulit disekitar Luka
Kondisi kulit disekitar luka memberikan informasi penting tentang status luka sehingga dapat memilih intervensi dan pengobatan pada luka.
Hal-hal yan harus diperhatikan kerika mengkaji kulit disekita luka adalah : 1) Warna dan suhu kulit, kemerahan mungkin menunjukkan tekanan tak henti-hentinya atau peradangan berkepanjangan. Peningkatan suhu
(eritema) di daerah luka juga dapat menunjukkan infeksi pada luka, 2) Pembentukan kalus, 3) Edema/pembengkakan yang dapat menunjukkan
terjadinya infeksi. 2.3.5 Nyeri
Terjadinya nyeri pada luka adalah indikator kuat dari infeksi luka kronis. Nyeri yang terjadi sering digambarkan seperti rasa terbakar dan tertusuk, dan nyeri biasanya muncul ketika terjadi gerakan atau perubahan
posisi kaki.
2.3.6 Klasifikasi / Stadium Luka kaki diabetik
Salah satu yang tertua dan mungkin klasifikasi yang paling terkenal
adalah klasifikasi yang diusulkan oleh Wagner dan Meggitt pada tahun 1970-an. Klasifikasi ini dikenal sebagai "Wagner Classification" di
Stadium 0 : Tidak terdapat lesi. Kulit dalam keadaan baik, tetapi dengan bentuk tulang kaki yang menonjol (charcot
arthropathies).
Stadium 1 : Luka superfisial (sebagian atau keseluruhan)
Stadium 2 : Lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau tendon
(dengan goa)
Stadium 3 : Penetrasi daam, osteomyelitis, pyarhrosis, plantar abses atau infeksi
Stadium 4 : Gangrene sebagian, menyebar hingga sebagian dari jari kaki, kulit sekitarnya selulitis, gangrene lembab / kering.
Stadium 5 : Seluruh kaki dalam kondisi nekrotik dan gangrene. 2.4 Patofisiologi Luka Kaki Diabetik
Terjadinya luka kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pem buluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya mempermudah terjadinya luka.
3. Kualitas Hidup
3.1 Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup menurut WHO (2004) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan sistem
yang ditetapkan dan perhatian seseorang. Bowling (2003) mengatakan bahwa kualitas hidup merupakan konsep yang dinamis, dimana nilai-nilai dan
evaluasi diri dari kehidupan dapat berubah dari waktu ke waktu dalam menghadapi kehidupan, kesehatan, dan pengalaman.
Kualitas hidup merupakan konsep multidimensi yang luas yang biasanya
meliputi evaluasi subjektif dari domain kehidupan yang positif maupun negatif. Meskipun kesehatan merupakan salah satu domain penting dari kualitas hidup, ada domain lain juga misalnya, pekerjaan, perumahan,
sekolah, lingkungan, domain budaya, nilai - nilai, dan spiritualitas juga merupakan domain penting dari kualitas hidup (CDC, 2011).
Walters (2009) menyatakan bahwa pengukuran kualitas hidup di dalam praktik klinis menjadikan komunikasi dengan pasien menjadi lebih mudah dan
membantu mencari tahu informasi tentang berbagai masalah yang dapat mempengaruhi pasien.
Verdugo, Navas, Gómez, dan Schalock (2012) mengatakan bahwa
kualitas hidup mencerminkan empat prinsip berikut : 1) kualitas hidup terdiri dari faktor-faktor yang sama untuk semua orang, 2) kualitas hidup merupakan pengalaman seseorang ketika kebutuhannya terpenuhi dan ketika individu
memiliki kesempatan untuk meningkatkan pengaturan aktivitas hidup, 3) kualitas hidup terdiri dari komponen subjektif dan objektif, dan 4) kualitas
Moons, Marquet, Budts, dan de Geest (2004) menyebutkan ada 6 kriteria dalam kualitas hidup: 1) kualitas hidup tidak boleh digunakan secara
bergantian dengan status kesehatan ataupun kemampuan fisik, 2) kualitas hidup lebih bergantung pada penilaian subjektif daripada parameter objektif, 3) tidak ada perbedaan yang jelas antara indikator - indikator kualitas hidup
dengan faktor - faktor yang menentukan kualitas hidup, 4) kualitas hidup dapat berubah dari waktu ke waktu, namun tidak banyak, 5) kualitas dapat dipengaruhi baik secara positif maupun negatif, 6) penilaian kualitas hidup
secara keseluruhan lebih disukai daripada kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (health-related quality of life).
Kualitas hidup merupakan tingkat kepuasaan hidup secara keseluruhan baik positif maupun negatif yang dipengaruhi oleh persepsi individu dari
domain - domain penting bagi kehidupan mereka, yang berhubungan dengan kesehatan maupun tidak (Moons, et al., 2004). Faktor – faktor lain seperti keluarga, pekerjaan, kesehatan, dll mungkin memiliki dampak positif maupun
negatif bagi kualitas hidup seseorang.
3.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas hidup 3.2.1 Usia
Kualitas hidup individu dengan usia muda akan lebih baik karena kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan yang berusia tua (Utami,
3.2.2 Status pernikahan
Utami, Karim, dan Agrina (2014) mengatakan bahwa pasien yang
mempunyai pasangan atau sudah menikah memiliki kualitas hidup yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena pasien mendapatkan dukungan dari pasangannya.
3.2.3 Pekerjaan
Moons dan koleganya (2004) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang berstatus sebagai pelajar,
penduduk yang bekerja, individu yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan individu yang tidak mampu bekerja (atau
memiliki disablity tertentu).
3.3 Aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas hidup pasien luka kaki diabetik
3.3.1 Aspek fisik
Luka kaki diabetik memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan fisik seseorang, khususnya berkurangnya mobilitas yang
diakibatkan oleh luka kaki diabetik (Gilpin & Lagan, 2008). 3.3.2 Aspek psikologis
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa orang – orang dengan
luka kaki diabetik menghadapi banyak masalah psikologis dan emosional (Gilpin dan Lagan 2008). Brod M (1998 dalam Gilpin & Lagan, 2008)
mengatakan bahwa sebagian besar individu dengan luka kaki diabetik mengalami frustasi, marah dan rasa bersalah yang diakibatkan oleh
3.3.3 Aspek sosial
Ashford, McGee, & Kinmond (2000 dalam Gilpin & Lagan, 2008)
Menyatakan bahwa seseorang dengan luka kaki diabetik banyak bergantung pada keluarga dan teman – teman mereka untuk melaksanakan tugas yang tidak mampu mereka lakukan, seperti mengganti balutan luka,
dan merawat luka. Hal ini terkadang dapat menyebabkan masalah hubungan keluarga. Seluruh individu melaporkan bahwa kehilangan mobilitas berarti bahwa mereka tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari, seperti berbelanja atau mandi. 3.3.4 Aspek ekonomi
Brod M (1998 dalam Gilpin & Lagan, 2008) mengatakan bahwa seseorang yang hidup dengan luka kaki diabetik akan berpengaruh
terhadap kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, yang mengakibatkan adanya masalah pada keuangan. Sekitar 50% individu melaporkan tidak lagi berkerja karena luka kaki diabetik yang dimilikinya dan 50% lagi
mengatakan bahwa karirnya terbatas.
4. Kuesioner SF-36
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah Short Form 36 atau SF-36
dari The Medical Outcomes Study berisi 36 item yang didesain sebagai alat ukur kualitas hidup. SF-36 pada awalnya diterbitkan pada tahun 1988, dan pada tahun
1996, SF-36 mulai dievaluasi dengan versi 2.0 (SF-36v2TM) dengan bentuk pertanyaan yang lebih sederhana dan lebih mudah digunakan. Untuk memudahkan
beberapa bahasa termasuk bahasa Indonesia tanpa mengubah makna aslinya dan telah di publikasi (RAND Corporation & Ware, 1996).
SF-36 merupakan instrumen umum yang paling sering digunakan, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ribu et al. (2007), Valensi et al. (2011), Yekta et al. (2011) yang merupakan penelitian kualitas hidup pada pasien dengan sindrom
kaki diabetes (Zelenikova, et al., 2014). Sebagai instrumen generik, SF - 36 dirancang untuk dapat diterapkan pada berbagai jenis dan tingkat keparahan kondisi kesehatan (RAND Corporation & Ware, 1996).
SF-36 adalah sebuah kuesioner yang mengukur kualitas hidup pasien berdasarkan 8 domain sebagai berikut (Almeida, Silveira, & Santo et., al 2013) :
1. Fungsi fisik
Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan pasien melakukan
aktivitas fisik seperti mandi, berpakaian, berjalan, membungkuk, dan menaiki tangga. Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan melakukan semua aktivitas
fisik.
2. Keterbatasan peran karena masalah fisik
Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar kesehatan fisik
pasien mengganggu pekerjaan atau aktivitas sehari-hari. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik menimbulkan masalah terhadap
3. Nyeri tubuh
Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas nyeri dan efek nyeri
terhadap aktivitas sehari-hari. Nilai yang rendah menunjukkan rasa nyeri yang parah dan sangat membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada rasa nyeri yang dirasakan sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
4. Kesehatan secara umum
Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi persepsi pasien terhadap status kesehatan. Nilai yang rendah menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri
sendiri buruk atau semakin memburuk. Nilai yang tinggi menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri sendiri sangat baik.
5. Vitalitas / Energi
Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan, dan semangat.
Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, dan tidak semngat. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh semangat.
6. Fungsi Sosial
Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik atau masalah emosional mengganggu aktivitas sosial. Nilai yang rendah menunjukkan aktivitas sosial yang sering terganggu. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada
gangguan pada aktivitas sosial sehari-hari.
7. Keterbatasan peran karena masalah emosional
Terdiri dari 3 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat dimana masalah emosional mengganggu pekerjaan atau aktivitas sehari-hari. Nilai yang rendah
tidak dapat bekerja seperti biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada gangguan dalam pekerjaan atau aktivitas sehari-hari karena masalah emosional.
8. Kesehatan mental
Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi sejauhmana perasaan cemas, depresi, kebahagiaan, dan kesejahteraan mempengarugi kehidupan. Nilai yang