BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. Ergonomi
Peranan ergonomi sebagai disiplin ilmu tidak lepas dari aspek - aspek
manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi,
engineering, manajemen dan desain (perancangan). Ergonomi adalah suatu studi
tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja dan lingkungannya berinteraksi
untuk saling menyesuaikan dengan tujuan mencapai optimasi, efisiensi, kesehatan,
keselamatan dan kenyamanan ketika bekerja.
Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun
(desain) ataupun rancang ulang desain (re-desain). Perancangan tersebut meliputi
perangkat keras seperti misalnya perkakas kerja (tools), bangku kerja, patform,
kursi, pegangan alat keja dan lain sebagainya. Penerapan ergonomi dalam
fasilitas kerja adalah syarat utama dalam menciptakan keserasian sistem kerja
dengan manusia sebagai pengendalinya (man-machine system).
Perancangan fasilitas yang ideal harus menyesuaikan peranan dan fungsi
pokok dari komponen–komponen yang terlibat dalam sistem kerja tersebut. Salah
satu definisi ergonomi yang menitikberatkan pada penyesuaian desain terhadap
manusia didasarkan pada kemampuan dan keterbatasan manusia dengan
pekerjaannya terutama yang berkaitan dengan aspek pengamatan, kognitif, fisik
maupun psikologisnya (Nurmianto, 2008).
3.2. KeluhanMusculoskeletal
Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat
sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam waktu yang lama,
akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan
tendon.
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan
Musculoskeletal disorsders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal.
Apabila pekerjaan berulang tersebut dilakukan dengan cara yang nyaman, sehat
dan sesuai dengan standar yang ergonomis, maka tidak akan menyebabkan
gangguan muskuloskeletal dan semua pekerjaan akan berlangsung dengan efektif
dan efisien. Secara garis besar keluhan otot yang terjadi dapat dikelompokkan
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan hilang apabila
pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih
terus berlanjut.
Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan
dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah
otot rangka (skeletal) yang meliputi leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung,
pinggang dan otot-otot bagian bawah. Diantara keluhan otot skeletal tersebut,
yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah otot bagian pinggang (low back
pain= LBP).
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang
berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi
apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20%. Peredaran darah ke otot
berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang
diperlukan. Bila suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.
Faktor yang dapat menyebabkan terjadi keluhan musculoskeletal sebagai
berikut.
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhakan oleh para
pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti
aktivitas mengangkat, menarik, mendorong dan menahan beban yang berat.
Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan otot yang
diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering
dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya keluhan ototskeletal.
2. Aktivitas berulang
Aktivitas berulang merupakan pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus
seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkut dan sebagainya.
Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus
menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap kerja tidak alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya.
Semakin jauh posisi tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula
resiko terjadinya keluhan ototskeletal.
4. Faktor penyebab sekunder
Faktor penyebab sekunder ini adalah berupa tekanan langsung dari jaringan
otot yang lunak atau getaran dengan frekuensi tinggi yang menyebabkan kontraksi
Keterangan
No Jenis Keluhan
0 Sakit kaku di bagian leher bagian atas
1 Sakit kaku di bagian leher bagian bawah
7 Sakit pada pinggang 8 Sakit pada bokong 9 Sakit pada pantat 10 Sakit pada siku kiri 11 Sakit pada siku kanan
12 Sakit pada lengan bawah kiri 13 Sakit pada lengan bawah
kanan
14 Sakit pada pergelangan tangan kiri
15 Sakit pada pergelangan tangan kanan
16 Sakit pada tangan kiri 17 Sakit pada tangan kanan 18 Sakit pada paha kiri 19 Sakit pada paha kanan 20 Sakit pada lutut kiri 21 Sakit pada lutut kanan 22 Sakit pada betis kiri 23 Sakit pada betis kanan 24 Sakit pada pergelangan kaki
kiri
25 Sakit pada pergelangan kaki kanan
26 Sakit pada kaki kiri 27 Sakit pada kaki kanan Sumber : Buku Ergonomi Manusia, Peralataan dan Lingkungan (Santoso, 2004)
Gambar 3.1.Standard Nordic Questionnaire(SNQ) 3.4. Postur Kerja
Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang
dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda
terhadap tubuh. Bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain:
1. Pembebanan pada kaki
2. Pemakaian energi dapat dikurangi
3. Keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi (Grandjean, 1993)
Namun demikian kerja dengan sikap duduk terlalu lama dapat
sehingga cepat lelah. Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan dan
kerugian, maka untuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh
buruk pada tubuh, perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja sesuai
diterapkan posisi duduk. Pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi
duduk antara lain:
1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki
2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan
3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar
4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih
dari 15 cm dari landasan kerja
5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi
6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama
7. Seluruh objek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan
posisi duduk (Pulat, 1992)
Selain posisi kerja duduk, posisi berdiri juga banyak ditemukan di
perusahaan. Seperti halnya posisi duduk, posisi kerja berdiri juga mempunyai
keuntungan maupun kerugian. Sikap berdiri merupakan sikap siaga baik fisik
maupun mental, sehingga aktivitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan
teliti (Sutalaksana, 2000).
Pada dasarnya, berdiri lebih lelah dari pada duduk dan energi yang
dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10-15% dibandingkan dengan duduk.
Untuk meminimalkan pengaruh kelelahan dan keluhan subjektif maka pekerjaan
melakukan gerakan dengan posisi kepala yang tidak alamiah. Pertimbangan
tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi berdiri antara lain:
1. Tidak tersedia tempat untuk kaki dan lutut
2. Harus memegang objek yang berat (lebih dari 4,5 kg)
3. Sering menjangkau ke atas, ke bawah dan ke samping.
4. Sering melakukan pekerjaan dengan menekan ke bawah
5. Memerlukan mobilitas tinggi (Pulat, 1992)
3.5. ManTRA (Manual Task Risk Assessment)Tool
ManTRA (Manual Task Risk Assessment) tool merupakan alat penilaian
postur kerja yang dirancang oleh Burgess-Limerick et al, pada tahun 2000.
Metode ini secara konseptual digunakan untuk menilai postur tubuh saat bekerja
berdasarkan indeks anggota tubuh bagian atas. Peneliti menggunakan alat ini
sebagai bagian dari objek permasalahan yang dibutuhkan untuk mengumpulkan
informasi mengenai total waktu untuk suatu tugas yang sedang dilakukan dan
menentukan penilaian menggunakan 5 skala poin dari lima karakteristik suatu
pekerjaan yakni waktu siklus (pengulangan), gaya yang dibutuhkan, kecepatan,
kekakuan postur, dan getaran.
Aplikasi manTRA mampu mengevaluasi resiko cedera (baik yang bersifat
mendadak maupun kumulatif) yang dialami oleh pekerja saat melakukan
pekerjaannya. Kesimpulan dari penilaian ini hanya dapat diterapkan pada individu
Penerapan metode ManTRA dilakukan dengan mengikuti prosedur
penilaian berdasarkan pengukuran total waktu (durasi) kerja, pengukuran faktor
resiko yang berulang, pengukuran faktor resiko akibat pengerahan tenaga,
pengukuran faktor resiko kekakuan, pengukuran faktor resiko getaran. Setelah
mendapatkan nilai-nilai penilaian dari setiap kriteria faktor resiko lalu dilakukan
interpretasi penilaian untuk menentukan tindakan lebih lanjut yang akan
dilakukan.
1. Pengukuran Total Waktu
Total waktu merupakan rata-rata dari total waktu suatu pekerjaan
dilakukan dalam suatu hari tertentu. Penilaian rata-rata total waktu dapat dilihat
dalam Tabel 3.1
Tabel 3.1. Tabel Penilaian Resiko Waktu Siklus Jam/hari 0-2
Sumber :Manual Tasks Risk Assessment(ManTRA) V 2.0 (Burgess, 2000)
2. Pengukuran Resiko Waktu Siklus Berulang
Pengulangan dinilai dengan mengevaluasi waktu siklus dan durasi suatu
tugas pada setiap bagian tubuh. Waktu siklus merupakan durasi waktu dari suatu
tugas yang dikerjakan lebih dari satu kalitan tanpa adanya gangguan. Penilaian
resiko waktu siklus berulang dapat dilihat dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Tabel Penilaian Resiko Waktu Siklus Berulang Waktu
30dtk < 10 dtk
Skor 1 2 3 4 5
Durasi adalah waktu dimana tugas yang memilki siklus berulang
dilakukan tanpa satu atau banyak gangguan. Kode durasi akan selalu sama untuk
setiap bagian dari tugas tertentu. Waktu siklus dan kode durasi dicantumkan
dalam tabel untuk menentukan nilai dari resiko yang berulang. Penilaian resiko
durasi kerja dapat dilihat dalam Tabel 3.3
Tabel 3.3. Tabel Penilaian Resiko Durasi Kerja Wakt
Sumber :Manual Tasks Risk Assessment(ManTRA) V 2.0 (Burgess, 2000)
Faktor resiko yang berulang ditentukan dengan mencantumkan skor dari
waktu siklus dan durasi pada tabel resiko yang berulang. Penilaian resiko durasi
waktu dan waktu siklus dapat dilihat dalam Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Tabel Penilaian Resiko Durasi Waktu dan Waktu Siklus Skor
3. Pengukuran Resiko Akibat Pengerahan Tenaga
Resiko pengerahan tenaga dapat dinilai dengan mengevaluasi gaya akibat
adanya kecepatan setiap bagian tubuh. Sama halnya dengan resiko berulang
dengan durasi waktu dan waktu siklus, nilai dari resiko akibat pengerahan tenaga
ditentukan dari skor gaya dan kecepatan yang dicantumkan dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Tabel Penilaian Faktor Resiko Gaya (Force)
Kategori Gaya Minimal Sedang Maksimal
Skor 1-2 3-4 5
Sumber :Manual Tasks Risk Assessment(ManTRA) V 2.0 (Burgess, 2000)
Gaya merupakan penilaian dari usaha penggunaan otot pada suatu bagian
tubuh selama pekerjaan dilakukan dengan gaya maksimum yang dapat digunakan
oleh seseorang saat bekerja. Pekerjaan yang dilakukan dalam waktu yang singkat
dengan gaya yang sedang dinilai sama dengan pekerjaan yang dilakukan dalam
durasi yang lama dengan gaya yang sedang, karena pengukuran durasi dilakukan
secara terpisah. Kecepatan dinilai dari rata-rata keseluruhan gerakan saat
melakukan suatu pekerjaan. Contohnya, bila suatu tugas kebanyakan
membutuhkan gerakan yang lambat dengan beberapa elemen cepat, itu akan
dinilai sebagai langkah sedang dan akan mendapatkan skor 2. Skor 3 akan
diberikan hanya pada pekerjaan statis utama. Penilaian resiko kecepatan dapat
dilihat dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Tabel Penilaian Resiko Kecepatan (Speed) Katergori
Resiko akibat pengerahan tenaga (resiko gabungan) ditentukan dengan
mencantumkan skor-skor dari gaya dan kecepatan dalam tabel resiko akibat
pengerahan tenaga. Penilaian resiko gabungan dapat dilihat dalam Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Tabel Penilaian Resiko Gabungan (Gaya dan Kecepatan) Skor
Gaya
Skor Kecepatan
1 2 3 4 5
1 1 1 2 3 4
2 1 2 3 4 4
3 2 3 4 4 5
4 2 3 4 5 5
5 3 4 5 5 5
Sumber :Manual Tasks Risk Assessment(ManTRA) V 2.0 (Burgess, 2000)
4. Pengukuran Resiko Kekakuan
Kekakuan didefinisikan sebagai derajat deviasi dari tulang sendi. Semakin
besar deviasi, semakin besar pula tingkat bahayanya. Penilaian dilakukan untuk
keseluruhan tugas, oleh karena itu harus menampilkan rata-rata dari berbagai
posisi tubuh untuk setiap bagian tubuh ketika melakukan pekerjaan. Penilaian
resiko kekakuan dapat dilihat dalam Tabel 3.8.
Tabel 3.8. Tabel Penilaian Faktor Resiko Kekakuan
Amount of
Awardness A B C D E
Skor 1 2 3 4 5
Sumber :Manual Tasks Risk Assessment(ManTRA) V 2.0 (Burgess, 2000) Keterangan:
A = Postur tubuh mendekati netral
B = Penyimpangan kecil dari kondisi netral ke satu arah C = Penyimpangan kecil dari kondisi netral lebihdari satu arah
D = Penyimpangan melebihi dari jarak normal dari kondisi netral ke satu arah E = Penyimpangan melebihi dari jarak normal dari kondisi netral lebih dari satu arah
Pekerjaan yang menimbulkan resiko getaran harus mempertimbangkan
kedua faktor berikut: keseluruhan tubuh dan getaran bagian tubuh. Getaran pada
keseluruhan tubuh akan berdampak pada lengan bawah dan tulang belakang ketika
getaran pada bagian tubuh menyerang kaki dan tangan bagian atas. Penilaian
dilakukan untuk keseluruhan tugas, oleh karena itu harus ditampilkan durasi
rata-rata dan tugas tersebut. Penilaian resiko getaran dapat dilihat dalam Tabel 3.9.
Tabel 3.9. Tabel Penilaian Resiko Getaran
Amount of
Vibration None Minimal
Moderate Amplitude
Large Amplitude
Severe amplitude
Skor 1 2 3 4 5
Sumber :Manual Tasks Risk Assessment(ManTRA) V 2.0 (Burgess, 2000)
Setelah mendapatkan semua penilaian untuk setiap karakteristik penilaian
selanjutnya dilakukan interpretasi nilai. Untuk setiap bagian tubuh, skor untuk
total waktu, pengulangan, pengerahan tenaga, kekakuan dan getaran dijumlahkan.
Jumlah dari skor untuk setiap bagian tubuh disebut resiko kumulatif, dan memiliki
rentang antara 5-25. Tindakan lebih lanjut perlu dilakukan bila salah satu bagian
tubuh memiliki :
1. Nilai faktor resiko untuk pengerahan tenaga sebesar 5
2. Jumlah dari nilai pengerahan tenaga dan kekakuan sebesar 8 atau lebih
3. Nilai kumulatif resiko dari keseluruhan tubuh sebesar 15 atau lebih.
Nilai tersebut dapat membantu memprioritaskan tugas untuk penilaian/
pengontrolan yang dianjurkan. Demikian juga, skor merefleksikan resiko terbesar
sehingga dapat memperhatikan bagian tubuh yang harus diperhatikan dan
3.6. Antropometri
3.6.1. Definisi Antropometri
Istilah antropometri berasal dari “anthro” yang berarti manusia dan “metri”
yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat dinyatakan sebagai satu
studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia Antropometri
adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik
tubuh manusia ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut
untuk penanganan masalah desain (Nurmianto,1991).
3.6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengukuran Antropometri
Manusia pada umumnya akan berbeda-beda dalam hal bentuk dan dimensi
ukuran tubuhnya. Di sini ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran
tubuh manusia, sehingga sudah semestinya seorang perancang produk harus
memperhatikan faktor-faktor tersebut yang antara lain adalah:
a. Umur. Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah
besar, seiring dengan bertambahnya waktu, yaitu sejak awal kelahirannya
sampai dengan umur sekitar 20 tahunan. Dari suatu penelitian yang dilakukan
oleh A.F.Roche dan G.H.Davila (1972) di USA diperoleh kesimpulan bahwa
laki-laki akan tumbuh dan berkembang naik sampai dengan usia 21,2 tahun,
sedangkan wanita 17,3 tahun, meskipun ada sekitar 10 % yang masih terus
bertambah tinggi sampai usia 23,5 tahun (laki-laki) dan 21,1 tahun (wanita)
menjadi penurunan ataupun penyusutan yang dimulai sekitar umur 40
tahunan.
b. Jenis kelamin (sex). Dimensi ukuran tubuh laki-laki umunya akan lebih besar
dibandingkan dengan wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu
seperti pinggul, dan sebagainya.
c. Suku/bangsa (ethnic). Setiap suku, bangsa ataupun kelompok etnik akan
memilki karakteristik fisik yang akan berbeda satu dengan yang lainya.
d. Jenis pekerjaan. Beberapa jenis pekerjaan tertentu menuntut adanya
persyaratan dalam seleksi karyawan/stafnya. Misalnya buruh
dermaga/pelabuhan adalah harus mempunyai postur tubuh yang relatif lebih
besar dibandingkan dengan karyawan perkantoran pada umumnya. Apalagi
dibandingkan dengan jenis pekerjaan militer.
e. Cacat tubuh, dimana data antropometri disini akan diperlukan untuk
perancangan produk bagi orang-orang cacat (kursi roda, kaki/tangan palsu,
dan lain-lain).
f. Tebal/tipisnya pakaian yang harus dikenakan, dimana faktor iklim yang
berbeda akan memberikan variasi yang berbeda-beda pula dalam pula dalam
bentuk rancangan dan spesifikasi pakaian. Dengan demikian dimensi tubuh
orang akan berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.
g. Kehamilan (pregnancy), dimana kondisi semacam ini jelas akan
mempengaruhi bentuk dan ukuran tubuh (khusus perempuan). Hal tersebut
jelas memerlukan perhatian khusus terhadap produk-produk yang dirancang
Tahapan perancangan sistem kerja work space design dengan
memperhatikan faktor antropometri secara umum adalah sebagai berikut
(Roevuck, 1995) :
1. Menentukan kebutuhan perancangan (establish requirement)
2. Mendefinisikan dan mendeskripsikan populasi pemakai
3. Pemilihan sampel yang akan diambil datanya
4. Penentuan sumber data (dimensi tubuh yang akan diambil)
5. Penyiapan alat ukur yang akan dipakai
6. Pengambilan data
7. Pengolahan data
a. Uji kecukupan data b. Uji normalitas data
c. Uji keseragaman data d. Penentuan persentil
3.6.3. Dimensi Antropometri
Dimensi antropometri merupakan ukuran tubuh pada posisi tertentu. Data
ini dapat dimanfaatkan guna menetapkan dimensi ukuran produk yang akan
dirancang dan disesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang akan
mengoperasikan atau menggunakannya. Data antropometri tubuh yang diukur
dalam panduan survei data antropometri dapat dilihat pada Tabel 3.10 (Hartono,
2004).
Tabel 3.10. Pengukuran Dimensi Tubuh No Data yang Diukur Cara Pengukuran
1 Tinggi tubuh Jarak vertikal dari lantai ke bagian paling atas kepala.
3 Tinggi bahu Jarak vertikal dari lantai ke bagian atas bahu kanan(acromion)atau ujung tulang bahu kanan
4 Tinggi siku Jarak vertikal dari lantai ke titik terbawah di sudut siku bagian kanan.
5 Tinggi pinggul Jarak vertikal dari lantai ke bagian pinggul kanan.
6 Tinggi tulang ruas Jarak vertikal dari lantai ke bagian tulang ruas/buku jari tangan kanan (metacarpals).
7 Tinggi ujung jari Jarak vertikal dari lantai ke ujung jari tengah tangan kanan(dactylion).
8 Tinggi dalam posisi duduk Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian paling atas kepala.
9 Tinggi mata dalam posisi duduk
Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian luar sudut mata kanan.
10 Tinggi bahu dalam posisi bawah lengan bawah tangan kanan. 12 Tebal paha Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian
paling atas dari paha kanan.
13 Panjang lutut Jarak horizontal dari bagian belakang pantat (pinggul) kebagian depan lulut kaki kanan.
14 Panjangpopliteal Jarak horizontal dari bagian belakang pantat (pinggul) kebagian belakang lutut kanan.
15 Tinggi lutut Jarak vertikal dari lantai ke tempurung lutut kanan.
16 Tinggipopliteal Jarak vertikal dari lantai ke sudut popliteal yang terletak di bawah paha, tepat di bagian belakang lutut kaki kanan. Sumber: Panduan Survei Data Antropometri (Hartono, 2004)
Tabel 3.10. Pengukuran Dimensi Tubuh (Lanjutan) No Data yang Diukur Cara Pengukuran
17 Lebar sisi bahu Jarak horizontal antara sisi paling luar bahu kiri dan sisi paling luar bahu kanan. 18 Lebar bahu bagian atas Jarak horizontal antara bahu atas kanan
dan bahu atas kiri.
19 Lebar pinggul Jarak horizontal antara sisi luar pinggul kiri dan sisi luar pinggul kanan.
21 Tebal perut Jarak horizontal dari bagian belakang tubuh ke bagian yang paling menonjol di bagian perut.
22 Panjang lengan atas Jarak vertikal dari bagian bawah lengan bawah kanan ke bagian atas bahu kanan. 23 Panjang lengan bawah Jarak horizontal dari lengan bawah
diukur dari bagian belakang siku kanan ke bagian ujung dari jari tengah.
24 Panjang rentang tangan ke depan
Jarak dari bagian atas bahu kanan (acromion) ke ujung jari tengah tangan kanan dengan siku pergelangan tangan kanan lurus.
25 Panjang bahu - genggaman tangan ke depan
Jarak dari bagian atas bahu kanan (acromion)ke pusat batang silinder yang digenggam oleh tangan kanan, dengan siku dan pergelangan tangan lurus.
26 Panjang kepala Jarak horizontal dari bagian paling depan dahi (bagian tengah antara dua alis) ke bagian tengah kepala.
27 Lebar kepala Jarak horizontal dari sisi kepala bagian kiri ke sisi kepala bagian kanan, tepat di atas telinga.
28 Panjang tangan Jarak dari lipatan pergelangan tangan ke ujung jari tengah tangan kanan dengan posisi tangan dan seluruh jari lurus dan terbuka.
29 Lebar tangan Jarak antara kedua sisi luar empat buku jari tangan kanan yang diposisikan lurus dan rapat.
30 Panjang kaki Jarak horizontal dari bagian belakang kaki (tumit) ke bagian paling ujung dari jari kaki kanan.
31 Lebar kaki Jarak antara kedua sisi paling luar kaki. Sumber: Panduan Survei Data Antropometri (Hartono, 2004)
Tabel 3.10. Pengukuran Dimensi Tubuh (Lanjutan) No Data yang Diukur Cara Pengukuran
32 Panjang rentangan tangan ke samping
Jarak maksimum ujung jari tengah tangan kanan ke ujung jari tengah tangan kiri. 33 Panjang rentangan siku Jarak yang diukur dari ujung siku tangan
kanan ke ujung siku tangan kiri. 34 Tinggi genggaman tangan ke
atas dalam posisi berdiri
35 Tinggi genggaman ke atas dalam posisi duduk
Jarak vertikal dari alas duduk ke pusat batang silinder.
36 Panjang genggaman tangan ke Depan
3. Skala Pengukur (Kurva)
Alat ini juga dirakit dengan meter pengukur tinggi. Untuk mengukur lebar
tubuh dan bagian yang relatif pendek seperti leher, diameter kepala dan panjang
kaki.
4. Martin goniometer
Dua kurva yang disambung pada satu ujung yang dapat dibuka dan
ditutup, dilengkapi dengan skala yang digunakan untuk mengukur dari 1 mm –
450 mm. Alat ini digunakan untuk mengukur kepala, lipatan lemak atau bagian
kecil tubuh.
5. Metal Penggaris
Metal penggaris berukuran 150 mm dengan minimum skala 1 mm untuk
mengukur bagian kecil secara linier.
6. Martin Caliper
Untuk mengukur bagian kecil dari telinga, wajah, jari kaki atau
sudut-sudutnya. Skala samping adalah tetap pada satu sisi dengan ukuran 200 mm x
1 mm dan pada sisi lain skala dapat digeser.
Calipermempunyai skala 250 mm didepaknn dan dibelakang. Panjang sisi
lengan adalah tetap pada sudut kanan ke titik nol dan panjangnya 120 mm. Satu
ujung dari sisi lengan adalah tajam di sisi lain tumpul dan datar. Skala pada sisi
juga sama seperti diatas, namun dapat digeser sepanjang caliper. Gabungkan
kedua ujung lengan dan baca langsung skala. Ujung yang tajam biasanya
7. Kantong Kapas Alkohol
Letakkan kapas penyerap dan alkohol ke dalam kantong untuk
mensterilkan
ujung alat sebelum pengukuran dilakukan.
8. Pita Pengukur
Alat ini digunakan untuk mengukur keliling dada atau kepala. Terbuat dari
metal, pemutaran otomatis. Panjang adalah 2 meter dengan skala pertambahan 1
mm (Poerwanto, dkk. 2008).
3.6.5. Aplikasi Distribusi Normal dalam Data Antropometri
Pemakaian distribusi normal dalam penetapan data antropometri sangat
umum diterapkan. Distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan harga
rata-rata (mean,X) dan simpangan standarnya (standard deviation,X) dari data yang
ada. Dari nilai yang ada maka persentil dapat ditetapkan sesuai dengan tabel
probabilitas distribusi normal. Sebagai contoh 95-th persentil akan menunjukkan
95% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran tersebut, sedangkan 5-th
persentil akan menunjukkan 5% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran
itu. Data antropometri ukuran 95-th akan menggambarkan ukuran manusia yang
terbesar dan 5-th persentil sebaliknya akan menunjukkan ukuran terkecil.
Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan data
Persentil Perhitungan 1 - St Χ - 2,325 x
2,5–th Χ -1,96 δ x
5–th Χ -1,645 δ x
10–th Χ -1,28 δ x
50–th Χ
90–th Χ + 1,28 δ
x
95–th Χ + 1,645 δ x
97,5–th Χ + 1,96 δ x
sering muncul diperoleh tanpa perhatian suatu langkah yang terlibat dalam suatu
proses (Hyman, 1998). Teknik perancangan berkenaan antara apa yang diinginkan
dengan bagaimana memperolehnya (Suh, 1990). Teknik perancangan adalah
proses untuk mengenal suatu kebutuhan dan membuat sebuah sistem untuk
mencapai kebutuhan tersebut (Hales, 1993).
SEED (Sharing Experience in Engineering Design) mendefinisikan teknik
perancangan adalah total aktivitas yang dibutuhkan untuk menetapkan dan
menentukan solusi untuk suatu masalah yang belum diselesaikan sebelumnya,
atau membuat solusi baru untuk suatu masalah yang sama yang mana telah
diselesaikan sebelumnya dengan cara yang berbeda. Perancang menggunakan
kemampuan intelektual dan kreatifitasnya untuk menggunakan pengetahuan
umum dan memastikan spesifikasi produk dapat memenuhi kebutuhan pasar dan
kepuasan pelanggan agar dapat dihasilkan dengan metode yang optimum.
Suatu perancangan adalah suatu proses kreatifitas tetapi jika tidak
diarahkan secara sistematis maka kemungkinan untuk mengeluarkan hasil
rancangan melalui proses kreatifitas tersebut akan terbatas (Pahl and Beitz, 1996).
Metode yang digunakan menggunakan pendekatan sistematis yang
direkomendasikan untuk memperoleh proses perancangan dengan
tahapan-tahapan aktivitas yang diperlukan pada setiap tingkatan perancangan (Nigel,
1994).
Perancangan dengan pendekatan sistematis dapat dikelompokan menjadi
dua yaitu perancangan deskriptif dan preskriptif. Model deskriptif sebagai
penyelesaian masalah berdasarkan penekanan dalam menghasilkan solusi lebih
awal dari proses (Nigel, 1994). Salah satu kelemahan yang ditemukan pada
perancangan deskriptif, jika solusi yang diterapkan lebih awal tidak dapat
diwujudkan secara fisik maka konsep rancangan yang baru akan dihasilkan untuk
mengulang siklus rancangan. Proses ini biasanya disajikan dalam bentuk aliran
diagram yang menunjukan proses secara berulang.
Sebaliknya, model perancangan preskriptif mencoba untuk mendorong
perancang untuk bekerja pada suatu metodologi perancangan yang lebih
sistematis. Model ini lebih berfokus dalam menghasilkan kemampuan spesifikasi
sehingga permasalahan rancangan dapat ditentukan tanpa adanya elemen-elemen
lain yang perlu diabaikan. Pembangkitan beberapa konsep alternatif didorong
dengan pilihan akhir yang dibuat dengan seleksi alternatif perancangan yang
rasional. Salah satu sistem yang sangat direkomendasikan untuk model
perancangan preskriptif adalah metode Pahl dan Beitz yang telah berhasil dan
banyak digunakan para perancang dalam aspek rekayasa.
Pahl dan Beitz (1996) mengusulkan cara merancang produk yang terdiri
dari 4 kegiatan atau tahapan, masing-masing tahapan terdiri dari beberapa
langkah. Keempat tahapan tersebut adalah :
1. Perencanaan dan penjelasan
Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengumpulkan informasi dari
digunakan untuk menentukan fungsi dari produk dan batasan sistem dari
rancangan yang baru. Aktifitas ini mengacu kepada penyusunan daftar kebutuhan
part dari produk rancangan dan spesifikasi rancangan produk (berdasarkan
demanddanwish).
2. Rancangan Konseptual Produk
Setelah spesifikasi rancangan telah dikembangkan, perancang dapat
menuangkan ide-ide kreatifnya terhadap produk. Pemikiran konvergen
(tradisional) yang mengedepankan keterampilan dari klarifikasi tugas berubah
menjadi divergen (modern) yang mengedepankan analisis dan evaluasi melalui
tahap konseptual, yang melibatkan perluasan lingkup untuk mengumpulkan ide
sebanyak mungkin. Tahap rancangan konseptual terdiri atas dua komponen utama
yakni sintesa terhadap solusi untuk menemukan kebutuhan (need) dan evaluasi
solusi untuk menentukan salah satu yang paling layak untuk menyelesaikan
masalah melalui spesifikasi rancangan.
3. Rancangan Fisik (Secara Visual)
Perwujudan rancangan (rancangan fisik) dtentukan dan dirancang
berdasarkan solusi utama yang dipilih pada tahap konseptual. Tujuan dari tahap
ini adalah untuk mengembangkan kriteria fisik rancangan menjadi lebih detail dari
pada konseptualnya dan untuk menyempurnakan bentuk secara geometris,
dinamis dan dilakukan proses yang berulang-ulang secara alami sehingga analisis
dan sintesis yang digunakan saling melengkapi selama langkah-langkah perbaikan
banyak dilakukan. Tahap rancangan fisik diibaratkan sebagai jembatan antara
biasanya tidak lebih dari sebuah sketsa dan dokumen spesifikasi rancangan
produk. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memperhalus informasi awal dan
mengembangkannya kepada titik dimana rancangan detail dan perencanaan
produksi dapat dimulai. Jadi tahap ini meliputi pemodelan secara defenitif yang
diikuti dengan kalkulasi dimensi, batas toleransi, material yang diharapkan dan
proses perakitannya.
4. Rancangan Detail
Tahap akhir dari proses perancangan Pahl dan Beitz adalah rancangan
detail, dimana keputusan yang paling penting telah ditentukan. Rancangan dari
setiap kompoen harus diverifikasi dan informasi yang berhubungan dengan proses
pembuatan harus diselesaikan. Rancangan detail secara umum berhubungan
dengan rancangan dari subsistem dan komponen-komponen yang membuat
rancangan akhir.
Setiap tahapan proses perancangan berakhir pada hasil tahapan, seperti
tahapan pertama menghasilkan daftar persyaratan dan spesifikasi perancangan.
Hasil setiap tahapan tersebut kemudian menjadi masukan untuk tahapan
berikutnya dan menjadi umpan balik untuk tahapan yang mendahului. Perlu
dicatat pula bahwa hasil tahapan itu sendiri setiap saat dapat berubah oleh umpan
balik yang diterima dari hasil tahapan-tahapan berikutnya seperti pada Gambar
In
Evaluasi terhadap kriteria teknis dan ekonomis
Konsep
Mengembangkan layout awal dan bentuk desain Memilih layout terbaik
Memperbaiki dan mengevaluasi kriteria teknis dan ekonomi
Layout Awal
Optimalisasi dan Melengkapi bentuk desain Cek kesalahan dan harga yang efektif
Persiapkan komponen awal dan dokumen produksi
Layout Akhir
Gambar detail
Melengkapi gambar detail dan dokumen produksi Cek semua dokumen
Dokumentasi
Solusi
Sumber:Engineering Design, Systematic Approach (Gerhard, Pahl dkk, 1998)
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di UKM Cahaya Bakery Jl. Pelita VI No. 44,
Medan Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2016 sampai
Juli 2016.
4.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian untuk
mendeskripsikan secara sistematik, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan
sifat-sifat suatu objek tertentu (Sukaria, 2011). Penelitian deskriptif ini
berbentuk survey reasearch yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
fakta-fakta dari gejala yang ada secara langsung dari orang-orang tertentu yang
dijadikan objek penelitian dan mencari suatu solusi yang akan diaplikasikan pada
UKM Cahaya Bakery untuk dapat merancang fasilitas kerja pada stasiun
pemanggangan guna menghindari resiko cedera kerja.
4.3. Objek Penelitian
Objek yang diamati adalah operator yang bekerja pada bagian tungku
dilakukan operator masih secara manual, untuk itu perlu dirancang suatu fasilitas
kerja yang baru.
4.4. Kerangka Berfikir
Keluhan musculoskeletal operator stasiun pemanggangan di pengaruhi
oleh postur kerja dan prosedur kerja pemanggangan. Keluhan musculoskeletal
disebabkan oleh fasilitas kerja tidak ergonomis . Fasilitas kerja usulan dirancang
untuk mendapatkan fasilitas kerja ergonomis untuk mengurangi resiko cidera saat
bekerja. Kerangka berfikir dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Kerangka Berfikir Penelitian
4.5. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah:
a. Keluhanmusculoskeletal: Keluhan rasa nyeri pada bagian tubuh operator
b. Deskripsi kerja : Tata urutan kerja pemanggangan
c. Postur kerja : Sikap tubuh saat bekerja
d. Dimensi antropometri : Ukuran bagian tubuh operator
f. Waktu siklus : Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu-satuan
produksi
4.6. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen untuk membantu dalam
pengumpulan data, seperti :
1. Standard Nordic Qustionare (SNQ) yang diberikan kepada operator
pemanggangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan tujuan
untuk mengidentifikasi keluhan pada saaat bekerja.
2. ManTRA checklist merupakan instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan informasi mengenai nilai level faktor resiko postur kerja
operator pemanggangan.
3. Human Body Martin Model YM-17 merupakan instrumen pengukuran yang
digunakan untuk mendapatkan dimensi antropometri pada posisi berdiri.
4. Meteran merupakan instrumen untuk mengukur dimensi stasiun kerja aktual
5. Kamera atau vidio recorder merupakan instrumen untuk mengambil gambar
dan merekam kegiatan operator pemanggangan.
6. Stopwatch merupakan instrumen pengukuran waktu yang digunakan untuk
mendapatkan waktu total dan waktu siklus pemanggangan
4.7. Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini diperoleh dengan cara :
a. Datamusculoskeletal: Menggunakan kuisioner SNQ sebelum dan sesudah
b. Data mantra : Menggunakan kuisioner mantrachecklist.
c. Data antropometri: Pengukuran antropometri operator menggunakan alat
human body martin.
d. Dimensi fasilitas kerja : Pengukuran luas area kerja aktual dan peralatan
kerja menggunakan meteran.
e. Waktu siklus : Pengukuran waktu menggunakanstopwatch
4.8. Pengolahan Data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah untuk mendapatkan suatu
gambaran mengenai perancangan standar prosedur kerja dan fasilitas kerja
berdasarkan permasalahan yang ada. Tahapan pengolahan data penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Tahapan Pengolahan Data Penentuan Modus Keluhan Operator Berdasarkan SNQ
Penilaian Postur Kerja dengan MantraChecklist
Perancangan Fasilitas Kerja dengan Prinsip-Prinsip Pahl dan Beitz
Setiap tahapan-tahapan pengolahan data tersebut akan dikaji berdasarkan
langkah-langkah pengolahan data. Adapun tahapan pengolahan data tersebut dapat
dilihat pada blok diagram pengolahan data.
4.8.1. Tahapan Pengolahan Data ManTRA
Tahapan pengolahan data mantra dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Blok Diagram Pengolahan Data ManTRA
4.8.2. Tahapan Pengolahan Data Antropometri
Tahapan pegolahan data antropometri dapat dilihat pada Gambar 4.4
Gambar 4.4. Blok Diagram Pengolahan Data Antropometri Penentuan Skor Resiko Berulang
Penentuan Skor Resiko Pengerahan Tenaga
Menghitung Skor Resiko Berulang
Menghitung Skor Resiko Pengerahan Tenaga
Menghitung Skor Resiko Kumulatif
Penentuan Rata-Rata, Xmin dan Xmaks
Uji Keseragaman Data Antropometri
Uji Kecukupan Data Antropometri
Uji Kenormalan Data
4.8.3. Tahapan Perancangan Pahl dan Beitz
Tahapan perancangan pahl dan beitz dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5. Blok Diagram Pengolahan Data Pahl dan Beitz
4.9. Analisis dan Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah dalam penelitian ini dilakukan melalui rancangan
fasilitas kerja untuk meningkatkan kenyamanan operator di bagian pemanggangan
roti di UKM Cahaya Bakery. Analisis akan dilakukan untuk melihat sejauh mana
pemecahan masalah yang diusulkan dapat mengatasi permasalahan yang dikaji.
Langkah-langkah proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.6. Perencanaan dan Penjelasan Tugas
Perancangan Konsep Produk
Perancangan Bentuk Produk
Mulai
Studi Pendahuluan Studi Literatur
Identifikasi Masalah Awal
Postur Kerja Operator dalam Proses Produksi yang tidak baik
Pengumpulan Data
1. Data primer - Kuesioner SNQ
- Data postur kerja operator menggunakan ManTRAchecklist
- Data dimensi tubuh dengan antropometri - Data dimensi stasiun kerja aktual - Data dimensi fasilitas kerja 2. Data sekunder
- Gambaran umum perusahaan - Sejarah Usaha
- Pengelolaan Usaha
Pengolahan Data
1. Penentuan modus keluhan operator berdasarkan SNQ
2. Pengolahan data Mantra - Penentuan skor resiko berulang - Penentuan skor resiko pengerahan tenaga - Menghitung skor resiko berulang - Menghitung skor resiko pengerahan tenaga - Menghitung skor kumulatif
3. Pengolahan data Antropometri
- Menenentukan rata-rata,standar deviasi, Xmin dan Xmak - Uji keseragaman data
- Uji kecukupan data - Uji kenormalan data - Penentuan persentil
4. Perancangan fasilitas kerja dengan prinsip-prinsip Pahl dan Beitz - Perencanaan dan penjelasan tugas - Perancangan konsep produk - Perancangan bentuk produk - Perancangan detail
Analisis Pemecahan Masalah
Rancangan Fasilitas Kerja pada Stasiun Pemanggangan
Kesimpulan dan Saran
PENGUM
5.1. Pengumpulan 5.1.1. Deskripsi Ker Deskripsi kerja yang
pada Tabel 5.1.
T No.
1
BAB V
GUMPULAN DAN PENGOLAHAN DA
lan Data
erja Operator
ng diakukan oleh operator stasiun pemanggang
Tabel 5.1. Elemen Kegiatan Operator
Uraian Deskripsi Kerja G
Operator mengambil
loyang dengan tangan
kanan dengan sikap
tubuh membungkuk ke
kanan lalu
meletakkannya ke dalam
pallet besi yang berputar
didalam tungku
satu-persatu untuk
dipanggang kemudian
tungku ditutup. Kapasitas
1 loyang berisi 12 roti.
Kapasitas tungku 10
loyang. Proses
pemanggangan
berlangsung selama ±10
menit.
DATA
angan ditunjukkan
2
koran dengan sikap
tubuh membungkuk,
membawanya dan
kemudian meletakkan
koran didalam loyang
yang lebih besar sebagai
alas roti yang telah jadi
dengan sikap tubuh
kembali membungkuk
el 5.1. Elemen Kegiatan Operator (Lanjutan
Uraian Deskripsi Kerja G
Operator mengisi loyang
lebih besar dengan roti
yang telah matang
dengan sikap tubuh
berjongkok dan
menjangkau
loyang-loyang disekitar loyang-loyang
yang lebih besar.
Kapasitas 1 loyang besar
berisi 70 roti.
Operator memindahkan
loyang besar berisi 70
roti dengan kedua tangan
ke tempat penumpukan
dengan sikap tubuh
membungkuk. Berat
l
5 O
l
kosong
10
t
st
B
11 kg
Tabel 5.1. E No
loyang mencapai 35 kg.
Operator memindahkan
loyang-loyang yang telah
kosong yang berjumlah
10 loyang dengan sikap
tubuh membungkuk ke
stasiun pemotongan.
Berat loyang mencapai
11 kg untuk 7 loyang.
el 5.1. Elemen Kegiatan Operator (Lanjutan
Uraian Deskripsi Kerja G
an)
6 S ope
l
de
m
de
m
Sumber : Hasil Pengamata
5.1.2. Fasilitas Kerj Fasilitas kerja
tempat adonan yang
memiliki dimensi yan
x 36 x 6 cm, sedangka
masing loyang dapat di
Setelah roti matang,
operatormembuka tungku
lalu mengeluarkan loyang
dengan tangan kanan lalu
meletakkan loyang
dengan sikap tubuh
membungkuk.
atan
erja Stasiun Pemanggangan
rja stasiun pemanggangan menggunakan 2 jenis
ng akan dipanggang dan tempat roti, yang
ang berbeda. Loyang yang kecil (tempat adona
ngkan loyang besar berukuran 62 x 51 x 18 cm. I
at dilihat seperti pada Gambar 5.1.
nis loyang sebagai
g masing-masing
donan) berukuran 86
masing-Gambar 5.1. Loyang Roti 5.1.3. Sketsa Stasiun Pemanggangan
Sketsa stasiun pemanggangan dapat dilihat dalam Gambar 5.2
Sumber: Hasil Pengamatan
Gambar 5.2. Sketsa Stasiun Pemanggangan
5.1.4. DataStandard Nordic Questionnaire(SNQ)
Standard Nordic Questionnaire (SNQ) dibuat untuk mengetahui keluhan
yang dialami oleh operator selama melaksanakan proses pemanggangan roti.
Kuesioner diberikan sebelum dan sesudah bekerja untuk melihat pengaruh
aktifitas pemanggangan terhadap keluhan operator. Kuesioner SNQ operator
stasiun pemanggangan dapat dilihat dalam Lampiran 1. Hasil rekapituasi data
SNQ dapat dilihat dalam Tabel 5.2. dan Tabel 5.3.
Tabel 5.2. Rekapitulasi Data SNQ Operator Stasiun Pemanggangan (Sebelum)
1 2 1 2
Sumber : Kuesioner SNQ
Tabel 5.3. Rekapitulasi Data SNQ Operator Stasiun Pemanggangan (Sesudah)
Sumber : Kuesioner SNQ
Tingkat keluhan 0, 1, 2, 3 menunjukkan kondisi tidak sakit, agak sakit, sakit dan
sangat sakit.
Postur kerja dalam hal ini adalah sikap tubuh operator ketika melakukan
aktifitas pemanggangan. Kuisioner mantrachecklistdapat dilihat dalam Lampiran
2. Prosedur kerja yang dinilai menggunakan mantra checklist dibagi menjadi 3
elemen kerja yaitu:
1. Elemen kerja mengambil dan meletakkan loyang
2. Elemen kerja mengambil dan mengisi roti ke loyang yang lebih besar
3. Memindahkan loyang besar dan memindahkan loyang kosong
Deskripsi kerja masing-masing adalah sebagai berikut:
a. Pekerjaan yang dilakukan operator adalah pekerjaan repetitif (berulang)
dan berlangsung mulai jam 08.30 – 16.30 WIB atau ±7jam. Waktu
pengambilan dan peletakan loyang untuk 10 loyang adalah 2,15 menit.
Durasi mengambil dan meletakkan 1 loyang 7 detik untuk semua bagian
tubuh yang dinilai. Pada elemen kerja ini operator membungkuk 40-60˚
saat mengambil loyang, dengan berat loyang 4-4,5 kg lalu membawa
loyang untuk di letakkan ke dalam tungku dengan jarak ±2-5 meter (semua
loyang tidak tersusun dengan rapi). Sikap tubuh yang membungkuk dan
posisi tangan saat menjangkau yang disebabkkan kegiatan secara manual
dan tidak menggunakan alat yang mendukung menyebabkan
penyimpangan postur tubuh melebihi jarak normal. Tidak ada getaran yang
disebabkan oleh mesin maupun peralatan saat mengambil dan meletakkan
loyang.
b. Waktu mengambil dan mengisi 70 roti ke loyang adalah ±45 detik untuk
dalam loyang besar ±2 detik untuk semua bagian tubuh yang dinilai. Pada
elemen kerja ini operator membungkuk 20-40˚ selama proses kegiatan,
tungkai bawah menahan seluruh berat badan, dan lengan beberapa kali
berusaha menjangkau loyang-loyang yang berada diluar jangkauan
operator. Bagian leher/bahu berada posisi statis sedangkan tangan mengisi
roti dengan sangat cepat. Penyimpangan postur tubuh bagian tungkai
bawah dan punggung melebihi jarak normal, sikap menjangkau
menyebabkan salah tungkai bawah mendapat beban maksimal dari berat
tubuh, sedangkan pada bahu dan tangan mendapat penyimpangan kecil
namun lebih dari satu arah karena letak loyang-loyang tidak tepat. Tidak
ada getaran yang disebabkan oleh mesin maupun peralatan saat mengambil
dan meletakkan loyang.
c. Waktu memindahkan loyang besar berisi 70 roti ±5 detik dan
memindahkan loyang kosong adalah ±30 detik ke stasiun pemotongan,
sehingga durasi pemindahkan loyang ±35 detik. Pada elemen kerja ini
operator membungkuk 40˚ untuk mengangkat loyang seberat 35 kg dengan
jarak 4-3 meter, tungkai bawah menahan tubuh agar stabil, punggung
menahan beban dan selama proses berada dalam sikap membungkuk,
bahu/leher menahan berat kepala, sedangkan tangan menahan berat beban.
Kegiatan pemindahan dilakukan dengan cepat namun bahu/leher berada
pada sikap statis. Sikap tubuh tungkai bawah dan punggung selama proses
melebihi jarak sikap normal ke satu arah sedangkan leher/bahu dan tangan
penumpukan loyang berada dalam jangkauan tangan. Tidak ada getaran
yang disebabkan oleh mesin maupun peralatan saat mengambil dan
meletakkan loyang.
5.1.6. Data Antropometri Operator
Data antropometri operator yang diukur dalam penelitian ini berupa tinggi
mata tegak (TMT), jangkauan tangan (JT), tinggi siku berdiri (TSB), dan diameter
genggam (DG). Data antropometri operator dapat dilihat dalam Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Dimensi Tubuh Operator
No Nama Dimensi Tubuh
TMT JT TSB DG
1 Sutrisno 163.5 80 110.5 4.8
2 Arianto 167 75.5 111 4
3 Rahmat 148.5 66 101.3 4
4 Daeli 149.4 76.4 100.1 4
5 Rizki 152.3 78.6 99.7 4.1
Sumber: Pengukuran Antropometri Tubuh DenganHuman Body Martin17
Data dimensi tubuh operator pada UKM Cahaya Bakery tidak cukup untuk
digunakan sebagai acuan dalam perancangan fasilitas kerja, sehingga dilakukan
penambahan data dimensi tubuh dari laboratorium E dan APK untuk praktikan
laki-laki dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Data Dimensi Tubuh
No Dimensi Tubuh
TMT JT TSB DG
1 163.5 80 110.5 4.8
2 167 75.5 111 4
4 149.4 76.4 100.1 4
5 152.3 78.6 99.7 4.1
6 147.8 68 102 3.9
7 142.5 66 100.5 4.3
8 160.4 79 103.4 3.6
9 153.4 75 110.2 3.6
10 162 77 101.5 4.3
11 157.5 77 109 4.4
12 156 78 104 3.8
13 157.5 75 107 4.2
14 145.3 66.7 98.8 3.8
15 153.8 73 104 4.2
16 150 68.4 99.8 4.2
17 148.5 66.3 107.8 4
18 151.5 76.4 105 4.8
19 152 67 101 4.5
20 149.2 68 99.9 3.9
21 166.7 78 108.8 3.7
22 154.6 70 103.1 4.7
Sumber: Laboratorium E & APK dan Pengukuran Antropometri
5.2. Pengolahan Data
5.2.1. Pengolahan Data HasilChecklist Standard Nordic Questionnaire
Data hasil standard nordic questionnaire ditunjukkan dalam Tabel 5.6.
Adapun histogram dan grafik batang standard nordic questionnaire dapat dilihat
pada Gambar 5.3 dan Gambar 5.4.
Tabel 5.6. Pengolahan DataStandard Nordic Questionnaire
Nomor Keluhan
0 5 10 15 20 25 30 35
Tidak sakit Agak sakit Sakit Sangat sakit
Operator 1
Sumber: Pengolahan Data
Gambar 5.4. H 5.2.2. Pengolahan M
Data penilaia
masing-masing eleme
masing bagian tubuh d
Karakteristik
Data Musculoskeletal Operator 1
Data
5.4. Histogram KeluhanMusculoskeletalOpe an MantraChecklist
laian postur mengunakan Mantra checklist di
men kerja dalam bentuk tabel dengan resiko pe
ubuh dapat dilihat dalam Tabel 5.7.
Tabel 5.7. MantraChecklist
ik
Data Musculoskeletal Operator 1
perator 1
ma
Tabel 5.7. MantraChecklist(Lanjutan)
n
Hasil Rekapitulasi mantrachecklistdapat dilihat pada Tabel 5.8, Tabel 5.9
dan Tabel 5.10.
Tabel 5.8. Mengambil dan Meletakkan Loyang Karak
Kekak
uan 5 5 3 3
Getara
n 1 1 1 1
Tabel 5.10. Memindahkan Loyang Besar dan Memindahkan Loyang Kosong Karak
Sumber : Kuisioner MantraChecklist
5.2.2.1.Penentuan Skor Resiko Berulang (Repetitif Task)
Pengulangan dalam hal ini dinilai dengan mengevaluasi skor waktu siklus
dan durasi waktu yang diperoleh melalui mantra checklist pada suatu tugas yang
dikerjakan lebih dari satu kali tanpa adanya ganguan. Di bawah ini merupakan
mengambil dan mengisi roti ke loyang yang lebih besar tertera pada Tabel 5.12,
memindahkan loyang besar dan memindahkan loyang kosong ditunjukkan pada
Tabel 5.13.
Tabel 5.11. Skor Resiko Berulang Mengambil dan Meletakkan Loyang Skor
Tabel 5.12. Skor Berulang Mengambil dan Mengisi Roti ke Loyang yang Lebih Besar
Tabel 5.13. Skor Berulang Memindahkan Loyang Besar dan Memindahan Loyang Kosong
Resiko pengerahan tenaga dapat dinilai dengan mengevaluasi gaya dan
kecepatan untuk setiap bagian tubuh. Pengerahan tenaga ditentukan dari skor gaya
dan kecepatan. Penentuan resiko pengerahan tenaga pada stasiun kerja
pemanggangan pada elemen kegiatan mengambil dan meletakkan loyang
ditunjukkan pada Tabel 5.14, mengambil dan mengisi roti ke loyang yang lebih
besar tertera pada Tabel 5.15, memindahkan loyang besar dan memindahkan
loyang kosong ditunjukkan pada Tabel 5.16.
Tabel 5.14. Skor Resiko Pengerahan Tenaga Mengambil dan Meletakkan Loyang
Skor
Gaya Tungkai Bawah Punggu
1 2 3 4 5 1 2 3
1 1 1 2 3 4 1 1 2
2 1 2 3 4 4 1 2 3
3 2 3 4 4 5 2 3 4
4 2 3 4 5 5 2 3 4
5 3 4 5 5 5 3 4 5
Tabel 5.15. Skor Pengerahan Tenaga Mengambil dan Mengisi Roti ke Loyang yang Lebih Besar
Skor
Gaya Tungkai Bawah Punggu
1 2 3 4 5 1 2 3
1 1 1 2 3 4 1 1 2
2 1 2 3 4 4 1 2 3
3 2 3 4 4 5 2 3 4
4 2 3 4 5 5 2 3 4
5 3 4 5 5 5 3 4 5
Tabel 5.16. Skor Pengerahan Tenaga Memindahkan Loyang Besar dan Memindahan Loyang Kosong
Gaya Tungkai Bawah Punggu
5.2.2.3.Penentuan Skor Resiko Kerja Total (Kumulatif)
Skor total didapatkan dari penjumlahan seluruh faktor resiko kerja di
antaranya, waktu total, resiko kerja berulang, resiko pengerahan tenaga, kekakuan
postur tubuh dan getaran. Tabel 5.17, Tabel 5.18 dan Tabel 5.19 menunjukkan
skor resiko total dari elemen pekerjaan ini.
Tabel 5.17. Skor Resiko Total Mengambil dan Meletakkan Loyang
Kekak uan Getara
n 1 1 1 1
Total 13 16 13 16
Tabel 5.18. Skor Resiko Total Mengambil dan Mengisi Roti ke Loyang yang Lebih Besar
Jumlah dari skor total untuk setiap bagian tubuh di sebut resiko
kumulatif, dan memiliki rentang antara 5-25 tindakan lebih lanjut perlu
dilakukan bila salah satu bagian tubuh memiliki :
1. Nilai faktor resiko untuk pengerahan tenaga sebesar 5.
2. Jumlah dari nilai pengerahan tenaga dan kekakuan/postur tubuh
sebesar 8 atau lebih.
3. Nilai kumulatif resiko dari keseluruhan tubuh sebesar 15 atau lebih.
5.2.3. Antropometri Tubuh
Setelah dilakukan perhitungan data antropometri tubuh, selanjutnya akan
ditentukan nilai persentil. Nilai persentil yang dicari adalah nilai persentil 5 th, 50
th, 95 th. Pengolahan data antropometri Operator dapat dilihat dalam Lampiran 3.
Hasil perhitungan nilai persentil antropoometri tubuh dapat dilihat dalam Tabel
5.20.
Tabel 5.20 Perhitungan Persentil 5, 50 dan 95 untuk Seluruh Dimensi Antropometri
No Dimensi Antropometri P5 (cm) P50 (cm) P95 (cm) 1 Tinggi Mata Tegak (TMT) `143,08 154 165,03 2 Jangkauan Tangan (JT) 64,66 72,96 81,26 3 Tinggi Siku Berdiri (TSB) 97,42 104,01 110,61 4 Diameter Genggam (DG) 3,54 4,12 4,71 Sumber: Pengolahan Data
Data dimensi antopometri diatas digunakan sebagai dasar perancangan
5.2.4. Perancangan Rak Ergonomis
Cara merancang menurut Pahl dan Beitz terdiri dari 4 kegiatan atau fase,
yang masing-masing terdiri dari beberapa langkah. Keempat fase tersebut adalah:
1. Perencanaan dan penjelasan
Fase ini adalah tahap untuk menentukan spesifikasi produk yang
mempunyai fungsi khusus dan karakteristik tertentu yang memenuhi kebutuhan.
Pada fase ini dikumpulkan semua informasi tentang semua persyaratan atau
requirement yang harus dipenuhi oleh produk dan kendala-kendala yang
merupakan batasan untuk produk. Hasil fase ini adalah spesifikasi produk yang
dimuat dalam suatu daftar persyaratan teknis.
Perancang melakukan klarifikasi tugas dan dihadapkan kepada beberapa
pertanyaan kritis yang mendasar sehingga apa yang dirancang menjadi jelas.
Selanjutnya dikumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang kebutuhan
(demand) yang harus dipenuhi oleh produk dan keinginan (wishes) dari pengguna.
Informasi tersebut disusun dalam bentuk daftar spesifikasi produk. Pertanyaan
mendasar berkenaan dengan fungsi umum dan tujuan umum perancangan. Produk
rancangan yang akan dihasilkan adalah rak ergonomis yang berfungsi
sebagai tempat loyang dan meja kerja.
Fungsi umum dan tujuan umum dari perancangan tersebut lalu
dikembangkan menjadi daftar persyaratan teknis berupa spesifikasi untuk
merancang rak ergonomis yang meliputi panjang rak, lebar rak, tinggi rak, jarak
Spesifikasi dan karakteristik produk yang dirancang harus sesuai dengan
antropometri tubuh operator.
Atribut-atribut teknis atau komponen yang diperlukan dalam merancang
rakergonomis disusun secara sistematis meliputi fungsi, keamanan, estetika,
ergonomi dan material. Setiap spesifikasi dikelompokkan sesuai dengan
kebutuhannya yang meliputi kelompok demand (D) yaitu persyaratan yang harus
dipenuhi oleh produk dan kelompok wishes (W) yaitu persyaratan tambahan
berupa keinginan dari perancang ataupun pengguna. Persyaratan ini diurut
menurut derajat prioritas dan sedapat mungkin disajikan secara kuantitatif.
Dengan demikian ada kejelasan tentang spesifikasi produk yang akan dibuat.
Spesifikasi lengkap produk yang dirancang ditunjukkan pada Tabel 5.21
Tabel 5.21. Spesifikasi Rak Ergonomis
No Persyaratan Daftar
Spesifikasi
D/W
1 Fungsi Tempat peletakan loyang D
Meja kerja D
Menahan berat beban loyang besar yang berisi roti D 2 Ergonomi Memberikan kenyamanan pada saat mengisi roti D Memberikan kenyamanan pada saat meletakkan loyang D Memberikan kenyamanan pada saat mengambil loyang D Dimensi panjang rak loyang kecil D Dimensi lebar rak loyang kecil D Dimensi tinggi rak loyang kecil D Dimensi jarak antar rak loyang D Dimensi panjang rak loyang besar D Dimensi lebar rak loyang besar D Dimensi tinggi rak loyang besar D
Dimensi panjang meja kerja D
Dimensi lebar meja kerja D
Dimensi tinggi meja kerja D
Bentuk rak W
Bentuk meja kerja W
Memakai pengunci untuk meja kerja W Memiliki tempat untuk peletakan bahan pendukung W
Tabel 5.21. Spesifikasi Rak Ergonomis (Lanjutan)
No Persyaratan Daftar
Spesifikasi
D/W
Rak memakai pengunci roda W
3 Keamanan Tidak ada sisi yang tajam W
Tidak ada sudut pada produk W
Pengoperasiannya tidak rumit D
Mudah dalam hal penyimpanan W
4 Estetika Variasi warna W
Desain produk menarik W
5 Material Rangka rak terbuat daristainless stell W
Meja kerja terbuat dari kayu W
Umur pakai panjang W
Mudah diperoleh W
Sesuai dengan standar umum W
Sumber: Pengolahan Data
Ket : D = Demands W = Wishes
Dari Tabel 5.21. dapat diketahui bahwa keharusan (demands) disingkat D,
yaitu syarat mutlak yang harus dimiliki produk, jika tidak terpenuhi maka produk
tidak diterima. Sedangkan keinginan (wishes) disingkat W, yaitu syarat yang
masih dapat dipertimbangkan keberadaannya, dan jika memungkinkan dapat
dimiliki oleh produk yang dibuat.
Berdasarkan spesifikasi rak ergonomis, dilakukan analisa untuk
memperoleh gambaran umum dari spesifikasi yang diberikan maka daftar
spesifikasi rak ergnomis yaitu:
a. Berfungsi tempat peletakan loyang
b. Berfungsi tempat meja kerja
c. Menahan berat beban loyang besar yang berisi roti
d. Dimensi panjang rak loyang kecil
f. Dimensi tinggi rak loyang kecil
g. Dimensi jarak antar rak loyang
h. Dimensi panjang rak loyang besar
i. Dimensi lebar rak loyang besar
j. Dimensi tinggi rak loyang besar
k. Dimensi panjang meja kerja
l. Dimensi tinggi meja kerja
m. Rak memakai roda
2. Perancangan Konsep Produk
Berdasarkan spesifikasi produk hasil fase pertama, dicarilah beberapa
konsep produk yang dapat memenuhi persyaratan-persyaratan dalam spesifikasi
tersebut. Konsep produk tersebut merupakan solusi dari masalah perancangan
yang harus dipecahkan. Beberapa alternatif konsep produk kemudian
dikembangkan lebih lanjut dan setelah itu dievaluasi. Evaluasi tersebut haruslah
dilakukan berdasarkan kriteria khusus seperti kriteria teknis, kriteria ekonomis dan
lain-lain. Konsep produk yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan dalam
spesifikasi produk, tidak diproses lagi dalam fase-fase berikutnya, sedangkan dari
beberapa konsep produk yang memenuhi kriteria dapat dipilih solusi yang terbaik.
Dari struktur fungsi rak ergonomis, maka dapat dibuat prinsip pemecahan masalah
dengan menggunakan konsep perancangan yang memungkinkan seperti pada
Tabel 5.22. Prinsip Pemecahan Masalah N
o
Konsep
Solusi
Konsep
Keteranga
n
1
Rak
Ergonomi
s
Portable Varian 1
2 Two Peace Varian 2
3
Combinatio
n
Varian 3
Sumber: Pengolahan Data
Adapun pengembangan dari masing-masing objek dapat dilihat pada Tabel
Tabel 5.23. Tahap Pengembangan Konsep
Alt er nat
if
Ko nse p
Gambar Rak Ergonomis Keterangan
Gambar
Desain Kerja
Operator meminda hkan loyang kosong ke stasiun pemoton gan
Sumber: Pengolahan Data
Tabel 5.23. Tahap Pengembangan Konsep (Lanjutan)
n loyang kosong. 4.
Operator meminda hkan loyang kosong ke stasiun pemoton gan
Sumber: Pengolahan Data
Tabel 5.23. Tahap Pengembangan Konsep (Lanjutan)
Alt ern
Konse p
Gambar Rak Ergonomis Keterangan
Gambar
Desain Kerja
kosong. 4.
Operator meminda hkan loyang kosong ke stasiun pemoton gan
Langkah selanjutnya adalah menyeleksi penggabungan kombinasi prinsip
solusi yang dilihat berdasarkan kriteria :
1. Memenuhi fungsi secara keseluruhan
2. Dapat memenuhi yang disyaratkan
3. Mudah dibuat
4. Keamanan terjamin
5. Informasi memadai
6. Stabilitas produk
7. Fleksibelitas produk.
Selanjutnya diisi dengan menggunakan formulir pengisian dengan
memberikan bobot nilai 1 jika varian yang tersedia sesuai dengan kriteria
perancangan dan bobot nilai 0 jika varian yang tersedia tidak sesuai dengan
kriteria perancangan. Formuir pengisian kritera dapat dilihat pada Tabel 5.24.
Tabel 5.24. Formulir Pengisian Kriteria
Altern atif
1 2 3
Memenuhi fungsi secara keseluruhan 1 1 1
Dapat memenuhi yang disyaratkan 1 0 1
Mudah dibuat 1 1 1
Keamanan terjamin 1 0 1
Informasi memadai 1 1 1
Stabilitas produk 1 1 0
Fleksibelitas produk 1 1 0
Total 7 5 5
4. Perancangan Detail
Pada fase perancangan detail, maka susunan komponen produk, bentuk
dan dimensi dari setiap komponen produk ditetapkan. Hasil akhir fase ini adalah
gambar rancangan lengkap dan spesifikasi produk untuk pembuatan. Adapun
variabel desain rak secara ergonomis berdasarkan dimensi antropometri yang
digunakan perancang adalah sebagai berikut:
a. Tinggi Rak
Tinggi rak ditentukan oleh tinggi badan tegak. Pemilihan dimensi
antropometri yang akan dirancang menggunakan nilai persentil 50 th. Tujuan
pemilihan dimensi dengan persentil 50 th adalah agar semua operator dapat
menjangkau rak:
Dimensi = Tinggi Mata Tegak (TMT)
Tinggi maksimum Rak (50th) = 154 cm.
b. Tinggi Meja Kerja
Tinggi meja kerja disesuaikan dengan tinggi siku berdiri. Dalam hal ini tinggi
meja kerja ditentukan dengan data antropometri operator yang menengah
yaitu operator dengan persentil 50 th
Dimensi = Tinggi Siku Berdiri (TSB)
Tinggi maksimum meja kerja (50th) = 104,01 cm
c. Lebar Meja Kerja
Lebar meja kerja disesuaikan dengan jangkauan tangan. Dalam hal ini Lebar
meja kerja ditentukan dengan data antropometri operator yang terbesar yaitu