• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB I"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Orang Bajo merupakan suku yang hidup di laut. Pola interaksi masyarakat Bajo terpusat pada laut yang merupakan sumber kehidupan mereka. Gaya hidup nomaden (mengembara atau berpindah-pindah) membuat orang Bajo merasakan perubahan nyata dalam budaya mereka. Akibatnya, orang Bajo sulit untuk menunjukkan identitasnya yang

‘asli’. Padahal identitas merupakan fenomena sosial yang timbul dari dialektika antara

individu dan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial, dipelihara, dimodifikasi atau dibentuk ulang oleh relasi sosial masyarakat.1 Identitas orang Bajo kini menjadi samar-samar akibat perubahan sosial dan pembangunan yang terjadi begitu cepat. Selain itu, globalisasi yang menguat sampai ke setiap lini kehidupan membuat orang Bajo tidak bisa menahan arus perubahan global. Anthony Giddens memakai metafora Juggernaut (Panser Besar) untuk menggambarkan dunia yang tidak terkendali oleh arus globalisasi, sehingga menciptakan resiko dan kesempatan.2 Globalisasi sering dianggap sebagai ancaman dalam masyarakat, khususnya dari pengaruhnya dalam melemahkan kebudayaan lain. Jadi, proses penduniaan (homogenitas) turut mengambil bagian dalam proses perubahan, pola pikir, gaya hidup, budaya, sistem kepercayaan, dan perubahan sosial yang menuntun ke arah universalisme itu sendiri.

Michael Forse menyatakan bahwa “perubahan sosial merupakan hasil dari

ketidakseimbangan mikrososial yang terjadi sehingga menyebabkan reaksi global dan berantai, serta akan menghasilkan perubahan makrososial dari masyarakat terhadap

1 Peter L. Berger and Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang

Sosiologi Pengetahuan, trans. Hasan Basari, First ed. (Jakarta: LP3ES, 1990), 248.

2 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,

(2)

2

perubahan tersebut.”3 Perubahan ini berdampak pada tatanan sosial, kultur, dan sistem kepercayaan orang Bajo. Orang Bajo yang sifatnya terbuka menjadi “santapan segar” dalam

perubahan ini, khususnya terhadap pengaruh globalisasi. Akibatnya, “setiap hal” yang masuk sulit disaring oleh masyarakat Bajo itu sendiri, karena sifat khas atau karakter kebudayaan mereka yang terbuka terhadap hal baru. Ini menjadi persoalan ketika identitas global yang digadang-gadang akan mengganti identitas manapun, bahkan identitas lokal yang ada. Dari

sisi ini, dampak dari globalisasi “menekan ke bawah,” yakni menciptakan tuntutan-tuntutan

dan kesempatan-kesempatan baru untuk meregenerasikan identitas lokal.4

Hal ini terjadi pula terhadap identitas lokal orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi. Pemerataan dalam hal pembangunan terjadi di daerah tersebut, yakni dalam rentang waktu 15-20 tahun ini, mengakibatkan orang Bajo tinggal menetap di daerah tersebut. Persoalan ini menjadi masalah kultural bagi orang Bajo, karena mereka pada dasarnya sulit untuk tinggal

pada suatu kawasan tertentu dalam waktu yang lama, apalagi menetap untuk “selamanya.”

Orang Bajo dikenal karena hidup di atas air laut, melakukan setiap aktivitas kehidupannya

‘dari laut dan untuk laut.’ Siklus kehidupan orang Bajo mulai dari kelahiran, pernikahan,

pengobatan, sampai kematian selalu dihubungkan dengan laut. Itu yang menyebabkan orang Bajo membuat satu sistem kepercayaan mereka sendiri yang berpusat dari laut dan untuk laut. Namun kini, orang Bajo yang terkena dampak dari pembangunan telah tinggal menetap di atas fondasi batu karang, layaknya rumah di darat. Hanya tersisa satu wilayah yang belum terkena dampak pembangunan tersebut, yakni Desa Mola Nelayan Bakti. Di Desa ini, rumah-rumah penduduk masih dari rumah-rumah panggung, dibangun dengan fondasi kayu atau beton cor

3 Michael Forse, "Teori-Teori Perubahan Sosial," in Sosiologi Sejarah Dan Berbagai Pemikirannya, ed.

Anthony Giddens, et al. (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 328.

4 Anthony Giddens, The Third Way, trans. Ketut Arya Mahardika, Fourth ed (Jakarta: PT Gramedia

(3)

3 yang ditancapkan ke dasar laut, sehingga belum mendapatkan sertifikat tanah oleh pemerintah.5

Dari segi kemanusiaan, hal ini penting dilakukan oleh pemerintah. Namun, pemerintah melupakan pendekatan terhadap kebudayaan orang Bajo ini. Pemerintah sibuk melakukan pembangunan dari segi fisik (bangunan), dan cenderung mengesampingkan aspek psikis, sosial, dan budaya. Pemerintah Wakatobi menjadikan Desa Mola sebagai permukiman orang Bajo. Dengan kata lain, pemerintah dengan kebijakannya telah mengubah ‘status’

masyarakat Bajo menjadi “masyarakat biasa,” karena dengan mengubah identitas fisiknya,

maka identitas kebudayaan orang Bajo ikut berubah. Awalnya orang Bajo tinggal di atas laut dan memegang teguh ajaran nenek moyang, agar tidak tinggal di darat untuk mencegah

konflik yang terjadi. Kini, orang Bajo telah melanggar “hukum lisan” yang mereka percaya

selama ini, akibat dari pembangunan dan perubahan sosial yang terjadi. Baskara, seorang

antropolog yang melakukan penelititan di daerah Wakatobi berkata bahwa “jarak Desa Mola

dengan darat sangat dekat bahkan hampir menyatu, sehingga desa ini tidak tampak lagi sebagai kampung Bajo di atas laut, karena timbunan-timbunan batu-batu karang yang lebih

tampak sebagai reklamasi pantai.”6 Jika pembangunan terus dilakukan tanpa disertai

pendekatan terhadap kebudayaan, identitas lokal masyarakat Bajo akan tinggal kenangan saja. Orang Bajo tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, yang lebih utama adalah peningkatan kesadaran terhadap orang Bajo, baik melalui pendidikan dan keterampilan yang diberikan agar pembangunan berjalan seimbang.7 Peningkatan kesadaran di sini merujuk pada pemahaman orang Bajo terhadap kebudayaannya secara objektif dan berdasar pada kacamata orang Bajo itu sendiri, agar proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tidak mengubah esensi dan makna kebudayaan orang Bajo secara holistik.

5 Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 26. 6 Baskara, Islam Bajo, 25.

7 Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia: Etika Politik Dan Perubahan Sosial, trans. A. Rahman

(4)

4 Di konteks Indonesia, penelitian terhadap orang Bajo mempunyai minat yang tinggi akhir-akhir ini, baik dari sudut pandang antropologi, ekologi, sosiologi, politik maupun ekonomi. Tidak sedikit ilmuan sosial yang berusaha meneliti tentang kehidupan orang Bajo, isu identitas orang Bajo, dan isu tentang agama orang Bajo. Jika melakukan penelitian terhadap orang Bajo, tidak bisa lepas dari tulisan Robert Zacot, seorang antropolog, yang meneliti orang Bajo secara mendalam (Orang Bajo di Pulau Nain, di Sulawesi Utara dan Torosiaje, di Gorontalo). Secara khusus, ia melihat kehidupan orang Bajo secara menyeluruh, pada saat itu, kira-kira antara tahun 1970 dan 1990-an. Penelitiannya menggunakan metode etnografi murni, dan masih melihat orang Bajo saat itu yang belum terpengaruh identitasnya seperti saat ini.8 Kemudian, Suyuti, menjelaskan tentang perubahan makna sama (orang bajo) dan bagai (bukan orang Bajo). Dari makna tersebut, ia mengidentifikasi perubahan sosial yang terjadi kepada masyarakat Bajo, perubahan yang dianalisis di sini berkaitan dengan interaksi orang Bajo dengan orang bukan Bajo, khususnya orang Bajo di Kolaka, Sulawesi Tenggara.9

Penelitian terbaru mengenai orang Bajo, dilakukan oleh Baskara, yang meneliti orang Bajo yang telah beradaptasi dengan agama pendatang (Islam), sehingga terjadi suatu proses akulturasi dalam pembentukkan identitas orang Bajo tersebut. Dalam tulisannya, Baskara memaparkan secara mendalam pembentukkan identitas orang Bajo dengan agama Islam. Tulisan ini merupakan adaptasi dari penelitian Baskara yang menganalisis identitas Islam Bajo dan tantangan yang dihadapi orang Bajo dari orang luar (Bagai) yang mencoba mengidentifikasi Islam Bajo (Sama) sebagai agama kafir yang melanggar norma-norma dalam Islam. Penelitian Baskara secara lugas mendeskripsikan kehidupan orang Bajo,

8 Bandingkan; Francois Robert Zacot, Orang Bajo Suku Pengembara Laut (Jakarta Selatan:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2002).

9 Bandingkan; Nasruddin Suyuti, Orang Bajo Di Tengah Perubahan (Yogyakarta: Penerbit Ombak,

(5)

5 khususnya dalam ritus kehidupan mereka dan dihubungkan langsung dengan agama Islam sebagai identitas mereka yang kedua.10

Meskipun banyak ahli telah meneliti kehidupan orang Bajo, tetapi penelitian-penelitian tersebut tidak menyentuh bagaimana proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo pada masa kini. Bagian yang belum diteliti tersebut adalah research gap yang akan digali secara mendalam oleh penelitian tesis ini. Tesis ini akan meneliti proses hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa Mola yang kehidupannya dekat dengan daratan, akibat dari pembangunan, dan juga terdapat pariwisata di tengah-tengah desa tersebut.

Perubahan makna dan identitas orang Bajo dipengaruhi oleh beberapa faktor: pembangunan yang menyebabkan pergeseran makna terhadap kehidupan orang Bajo dan hibridisasi budaya. Tesis utama hibridisasi adalah proses berkesinambungan dari percampuran budaya,11 Ritzer menjelaskan bahwa “hibridisasi adalah suatu paradigma yang menekankan pertemuan antara yang global dan yang lokal saling menerobos untuk menciptakan realitas-realitas pribumi yang unik yang dapat dilihat sebagai “glokalisasi”,” yang merupakan istilah dari Roland Robertson.12 Perubahan kebudayaan yang disebabkan oleh perkawinan campuran antara orang asing (Bagai) dan penduduk lokal (Sama), pada akhirnya membuat suatu anak budaya yang memberi pemahaman baru kepada orang Bajo.

Teori yang digunakan adalah teori Appadurai sebagai pisau analisis penelitian ini, yakni dengan merujuk pada lanskap yang dikembangkan Appadurai, di tengah dinamika tantangan global yang dialami oleh dunia saat ini. Lima lanskap itu sebagai berikut: lima

10 Bandingkan; Baskara, Islam Bajo.

11 Abderrahman Hassi and Giovanna Storti, "Globalization and Culture: The Three H Scenarios,"

(licensee InTech, 2012), 13.

(6)

6 scapes, yakni ethnoscapes, ideoscapes, financescapes, technoscapes dan mediascapes. Bagi Appadurai, memahami globalisasi perlu melihat landscapes tersebut, karena globalisasi merupakan proses yang kompleks, dinamis dan interaktif.13 Selain itu, peneliti menggunakan teori glokalisasi: untuk meneliti isu-isu dan permasalahan yang berhubungan dengan pertemuan identitas lokal dan global, sehingga fokus utama bukan identitas global yang mempengaruhi yang lokal, melainkan identitas lokal dapat memberi pengaruh terhadap identitas global. Hal ini mengindikasikan bahwa topik tentang kebudayaan berkaitan dengan konsep lokal dan global, sehingga akan terjadi proses konstruksi dan reproduksi kebudayaan oleh masyarakat, melalui interaksi sosial, negosiasi sosial, sampai pada proses internalisasi kebudayaan dalam suatu masyarakat. Robertson menyatakan bahwa teori glokalisasi dikembangkan pada pertengahan tahun 1990-an. Masalah semakin muncul tentang hubungan antara glokalitas dan motif-motifnya, seperti polietnisitas, kosmopolitanisme, lintas kebudayaan, sinkronisitas, hibriditas, transkultural, kreolisasi, pribumisasi, dan diasporisasi. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa gagasan global memiliki berbagai makna di berbagai konteks "lokal." Dengan cara yang sama, konsep lokal dapat mengglobal.14 Penekanan dalam teori glokalisasi ini merujuk pada individu dan semua kelompok lokal sebagai agen sosial yang penting dan kreatif yang mempunyai kekuatan untuk beradaptasi, dan berinovasi dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Ritzer menambahkan bahwa teori glokalisasi paling cermat terhadap berbagai perbedaan di dalam dan di antara berbagai kawasan di dunia.15

Dalam hal ini, Roland Robertson menyatakan bahwa glokalisasi merupakan pencampuran antara yang global dan lokal, sehingga terdapat dua relasi yang terus saling terhubung antara homogenisasi dan heterogenisasi, universalisme dan partikularisme. Untuk

13 Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," 35.

14 Roland Robertson, "Coping with Binaries: Bays, Seas and Oceans," Glocalism: Journal of Culture,

Politics and Innovation.1, DOI: 10.12893/gjcpi.2013.1.10.

(7)

7 itu lokalitas (glokalisasi) melakukan resistensi terhadap dominasi universalisme (globalisasi).16 Tulisan ini hendak menganalisis kebudayaan orang Bajo akibat pertemuan yang lokal dan global di ruang publik ini. Wagner menyatakan dalam tesisnya, “penting

untuk menambahkan konsep tambahan dari glokalisasi, yakni hibridisasi, karena keduanya

membahas proses pertemuan lokal dan global dalam interaksinya dengan kebudayaan.”17

Orang Bajo yang hidup dinamis dengan alam mengembangkan ritualnya dari lingkungan laut dan untuk lingkungan laut, mulai dari kelahiran sampai kematian. Persoalannya adalah, akibat hibridisasi yang terjadi, maka ritus siklus hidup yang seharusnya dipertahankan orang Bajo, lama kelamaan surut dan semakin terhisap oleh kebudayaan baru yang hadir di tengah-tengah masyarakat Bajo. Melalui ritus tersebut manusia dan alam raya saling meresapi. Oleh karena itu, kekuatan manusiawi dan ilahi saling melebur.18 Hal ini tergambar dalam ritus siklus hidup orang Bajo pada masa lampau dan masa kini. Hudson menjelaskan bahwa dalam siklus hidup atau lingkaran hidup dimulai dari saat kelahiran sampai kematian, hal ini terungkap juga dari peran individu tersebut dalam suatu kebudayaan, upacara-upacara yang khas dalam kebudayaan itu, sehingga menggambarkan secara jelas organisasi sosial di dalamnya.19

Ketika hibridisasi itu terjadi bukan hanya kebudayaan yang berubah, melainkan juga ritus dalam siklus kehidupan orang Bajo turut mengambil peran dalam perubahan itu. Peneliti meminjam istilah "Rite of Passage," yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis 'ritual de passage,' hal itu menunjuk pada upacara atau ritual yang terjadi sebagai bagian dari siklus hidup. Ini merupakan cara untuk melihat perubahan status dan identitas sosial bahkan

16 Roland Robertson, "Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity," in Global

Modernities, ed. M. Featherstone, L. Lash, and R. Robertson (London UK: Sage, 1995), 28-29.

17 Jesse Harold Wagner, "Cultural Hybridization, Glocalization and American Soccer Supporters: The

Case of the Timbers Army" (Portland State University, 2012), 126.

18 C. A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, trans. Dick Hartono, Second ed. (Yogyakarta: Kanisius,

1988), 46.

19 A.B. Hudson, "Siklus Hidup," in Pokok-Pokok Antropologi Budaya, ed. T.O. Ihromi (Jakarta: Yayasan

(8)

8 perubahan emosi yang kuat terlibat dalam transisi tersebut.20 Teori yang digunakan adalah ritual de passage (Ritus siklus kehidupan) diciptakan oleh Arnold Van Gennep (1873-1957),21 ia merupakan seorang antropolog yang melihat kehidupan individu di setiap masyarakat sebagai rangkaian peristiwa yang berurutan dari satu usia ke usia yang lain. Ritus ini menarik karena menjelaskan transisi individu dari satu situasi ke situasi yang lain, dan kehidupan masyarakat dapat diidentifikasi dalam ritual siklus kehidupan.22 Ritus yang diadakan secara kolektif berfungsi agar masyarakat disegarkan dan dikembalikan akan pengetahuan dan makna-makna kolektif, terkhusus makna realitas dalam masyarakat (makna sosial).23 Makna tersebut yang akan membentuk identitas orang Bajo dalam kehidupannya.

Akibat hibridisasi budaya itu, orang Bajo mengalami perubahan paradigma tentang ritus siklus kehidupannya. Mobilitas kelompok masyarakat (Bagai) telah mendorong rekonstruksi identitas orang Bajo, sehingga telah terjadi adaptasi kultural dari pendatang, yang berarti adanya pembentukan hubungan-hubungan sosial baru. Selain itu, terjadi redefinisi sejarah kehidupan individu karena ada suatu fase kehidupan yang terbentuk, sesuai dengan konteks sosial yang berbeda. Pada akhirnya, terjadi proses pemberian makna baru bagi identitas seseorang, yang menyebabkan ia mendefinisikan kembali identitas kultural dirinya dan asal-usulnya.24 Hibridisasi budaya yang menjadi fokus penulisan ini, adalah pertemuan budaya lokal (orang Bajo) dan budaya global (pariwisata) yang masuk di tengah-tengah masyarakat Bajo, dan telah menjadi satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Bajo Desa Mola, Wakatobi.

20 Steve Bruce and Steven Yearley, "Rite of Passage," in The Sage Dictionary of Sociology (California:

SAGE Publications Inc, 2006), 263.

23 Johannes Supriyono, "Paradigma Kultural Masyarakat Durkheimian," in Teori-Teori Kebudayaan,

ed. Mudji Sutrisno and Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 96-97.

24 Irwan Abdullah, Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan, Fifth ed. (Yogyakarta: Pustaka pelajar,

(9)

9 Objek wisata yang dikembangkan di Desa Mola, Wakatobi, terbagi atas: wisata bahari, wisata alam dan wisata budaya. Di Desa Mola, fokus objek wisatanya adalah wisata

bahari dan wisata budayanya. Kepala Desa Mola Nelayan Bakti berkata bahwa “Desa Mola

Nelayan Bakti akan dijadikan “wisata budaya” bagi pengunjung, sehingga akan dijaga

keotentikannya oleh masyarakat dan melalui kerja sama dengan pemerintah.”25 Cole

menganalisis bahwa wisata budaya melibatkan keinginan penuh dari wisatawan untuk mengakses masyarakat "primitif," dalam bahasa yang lebih halus, yakni masyarakat tradisional, sehingga wisatawan terlibat langsung untuk melihat kehidupan masyarakat, sekaligus praktik kehidupannya. Pariwisata, sebagai bentuk penting dari globalisasi menghasilkan integrasi sosial-ekonomi yang lebih besar dengan dunia yang lebih luas, sehingga menghasilkan 'kekayaan' material bagi pembangunan. Di sisi lain, desa-desa harus tetap "primitif," tradisional, dan eksotis, agar membawa daya tarik bagi wisatawan.26 Ini merupakan sisi lain dari pariwisata budaya, khususnya yang terjadi kepada orang Bajo, di

Desa Mola Nelayan Bakti. Memakai bahasa Piliang bahwa hal di atas sama dengan “kloning

kebudayaan,” yakni perubahan makna pada kebudayaan, yang sesungguhnya bersifat historis menjadi bersifat ahistoris, merujuk pada rekayasa oleh pemerintah, sehingga menyebabkan lenyapnya aura kebudayaan yang sesungguhnya.27

Di satu sisi pariwisata berfungsi untuk mengangkat orang Bajo ke permukaan (global), di sisi lain pariwisata yang ada telah mereduksi pemahaman masyarakat Bajo terhadap budayanya (misalnya ritual duwata atau ritual pengobatan). Perlunya analisis mengenai hubungan antara pariwisata dan budaya, identitas dan representasi sosial. Oleh karena itu, penting untuk melihat beyond (melampaui) pariwisata untuk memahami

25 Wawancara dengan Kepala Desa Mola Nelayan Bakti. Desa Mola, Wakatobi, Desember 2015. 26 Stroma Cole, Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia

(Great Britain: Cromwell Press, 2008), 212.

27 Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika (Yogyakarta:

(10)

10 kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya, nilai-nilai, dan kekuasaan yang bermain di sekelillingnya. Khususnya terhadap komodifikasi budaya atas nama pariwisata.28 Pada awalnya, ritual duwata dilakukan untuk proses pengobatan yang bersifat magis dan tertutup, sekarang telah menjadi ajang tari-tarian terbuka yang dikomersialkan oleh pemerintah dalam pariwisata tersebut. Budaya telah dikomodifikasikan oleh kepentingan ekonomi dan politik, tentu saja hal ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang meresap dalam kehidupan masyarakat. Ritzer mendefinisikan globalisasi sebagai penyebaran praktik, relasi, kesadaran, dan organisasi di seluruh penjuru dunia.29

Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah mengenai siklus hidup orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi, sejak kelahiran, ritual pengobatan, pernikahan, dan sampai kematian. Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah, bagaimana proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi?, dan mengapa hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi terjadi? Mengacu pada pertanyaan tersebut, maka penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi. Tujuan selanjutnya, yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi.

1.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memahami secara mendalam proses ritus siklus kehidupan budaya orang Bajo, yang terjadi akibat hibridisasi budaya. Jadi, tulisan ini memberi pemahaman baru mengenai paradigma orang Bajo terhadap hibridisasi kebudayaan

28 C. Michael Hall, "Power in Tourism: Tourism in Power," in Tourism, Power and Culture:

Anthropological Insights, ed. Donald V.L. Macleod and James G. Carrier (Great Britain: Short Run Press Ltd, 2010), 211.

(11)

11 mereka, yang berdampak terhadap proses interaksi sosial dan kultural dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat hasil penelitian ini secara teoretis akan menjadi sumbangan terhadap analisis antropologis terhadap suku Bajo yang lebih mendalam. Penelitian ini akan mengkaji siklus hidup orang Bajo yang tengah diperhadapkan oleh arus globalisasi yang terjadi. Pada akhirnya, penelitian ini akan memberikan suatu pemahaman baru tentang teori hibridisasi budaya dan ritus siklus kehidupan, ditinjau dari konteks orang Bajo. Secara praktis, penelitian ini akan menjadi suatu sumber acuan orang Bajo Desa Mola untuk mengaktualisasikan diri mereka, baik dalam budaya maupun ritual kepercayaannya.

1.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena menggambarkan kehidupan "dari dalam ke luar," yakni dari sudut pandang orang-orang yang berpartisipasi di dalam penelitian tersebut. Jadi, penelitian ini memberi pemahaman yang lebih baik dalam proses, pola makna, dan ciri struktural dalam masyarakat dapat dikaji secara mendalam.30 Tujuan menggunakan pendekatan kualitatif ini untuk menganalisis budaya, dan mendapatkan wawasan baru tentang individu serta kompleksitas sosial yang terjadi.31 Hal ini berkaitan dengan metode yang digunakan oleh peneliti, yakni metode etnografi. Metode ini mengacu pada penjelasan ilmiah sosial tentang manusia dan landasan budaya kemanusiaannya.32 Metode etnografi ini memiliki fungsi untuk mendalami kebudayaan tertentu, berdasarkan kata-kata dan tingkah laku mereka. Jadi, peneliti menganalisis pada pengembangan budaya dan cara kerja budaya tersebut dari waktu ke waktu, dengan kata lain,

30 Uwe Flick, Ernst von Kardorff, and Ines Steinke, "What Is Qualitative Research? An Introduction to

the Field," in A Companion to Qualitative Research (London: SAGE Publications Ltd, 2004), 3.

31 Johnny Saldaña, Fundamentals of Qualitative Research ( Oxford University: Oxford University Press,

Inc, 2011), 4.

32 Arthur J. Vidich and Stanford M. Lyman, "Metode Kualitatif: Sejarahnya Dalam Sosiologi Dan

(12)

12 melihat pola individu dan budaya berhubungan satu dengan yang lainnya.33 Metode ini tepat menjadi dasar penelitian ini, yakni melihat kebudayaan orang Bajo, ritus siklus kehidupan mereka, dan pertemuannya dengan masyarakat secara luas.

Terdapat dua cara mengumpulkan sumber data. Pertama, pengumpulan data primer yang berasal dari lapangan, yakni dari individu, informan kunci dan kelompok responden yang secara khusus dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini. Kedua, pengumpulan data sekunder, yakni pengumpulan data melalui buku, jurnal ilmiah, artikel, publikasi pemerintah, dan bahan kepustakaan lainnya.34 Metode sekunder juga bermanfaat untuk menyusun landasan teoretis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisis data penelitian guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian. Informan yang dibutuhkan guna menunjang penelitian ini adalah orang-orang yang dapat memberikan data, dan informasi yang akurat, serta tepat guna untuk mendukung keakuratan hasil penelitian.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yakni dengan wawancara terstruktur yang dilakukan oleh peneliti setelah mengetahui secara jelas dan detail informasi apa yang dibutuhkan, serta daftar pertanyaan yang sudah ditentukan sebelumnya yang akan disampaikan kepada responden.35 Oleh karena itu, pengumpulan data di lapangan menjadi terarah, efektif dan efisien. Pengambilan data dengan teknik pengambilan sampel purposif, yakni sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti, sesuai dengan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.36 Dalam teknik ini peneliti mengumpulkan data

bersama-sama dengan masyarakat, hidup, dan berinteraksi dengan masyarakat agar tercipta “trust”

33 Isabelle M. Flemming, "Ethnography and Ethnology," in 21st Century Anthropology a Reference

Handbook Volume 1 & 2, ed. H. James Birx (Thousand Oaks, California: SAGE Publications, 2010), 153.

34 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), 289. 35 Silalahi, Metode Penelitian, 313.

(13)

13 antara peneliti dan subjek yang diteliti, melalui itu diharapkan akan mendapat data yang lebih akurat dan valid.37

Setelah peneliti mendapatkan data empiris yang diperoleh di lapangan, yakni dalam bentuk kata-kata yang diperoleh dalam observasi mendalam, wawancara, dokumen-dokumen, dan rekaman audio. Kemudian, dilanjutkan pada proses analisis data. Peneliti akan menggunakan tiga cara dalam menganalisis data, yakni dengan (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan/verifikasi. Silalahi berpendapat bahwa itu merupakan suatu proses siklus dan interaktif pada saat penelitian, baik itu sebelum, selama maupun sesudah pengumpulan data.38 Hal tersebut penting dilakukan dalam melakukan pendekatan kualitatif, agar data yang didapatkan melalui proses yang objektif, sistematis, dan komperhensif.

Penelitian dilakukan di Desa Mola, Wakatobi. Peneliti memilih lokasi tersebut, karena daerah itu merupakan daerah dengan suku Bajo terbesar di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Bahkan, merupakan salah satu kampung Bajo yang terbesar di Indonesia, dengan luas sekitar 8,3 km2 dan jumlah penduduk sekitar 6.000 jiwa.39 Bukan hanya itu, di Desa Mola tersebut suku Bajo semakin hidup menetap di daratan, akibat kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun, sebagian orang Bajo yang masih menetap di rumah kayu (atas laut). Hal yang menarik di desa ini, yakni adanya sektor pariwisata yang baru masuk di tengah-tengah desa ini kira-kira 4-5 tahun yang lalu, sehingga membuat kebudayaan Bajo berhadapan dengan modernisasi yang begitu cepatnya. Hal ini menjadi isu penting dalam penelitian ini. Dengan memilih tempat yang jauh dari tempat tinggal peneliti, maka penelitian ini diharapkan semakin bersifat objektif dalam mengambil dan menganalisis data yang ada.

37 Michael Bloor and Fiona Wood, Keywords in Qualitative Methods: A Vocalbulary of Research

Concepts (London: SAGE, 2006), 173.

(14)

14

1.4. Kerangka Penulisan

Secara garis besar tesis ini ditulis dalam beberapa bagian yang dibagi menjadi beberapa bab, yakni sebagai berikut: Pada Bab I memuat Pendahuluan; dalam bagian ini penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan untuk mensistematisasikan laporan hasil penelitian.

Pada Bab II menjelaskan “Teori Ritual dan Lanskap Globalisasi,” yang bersumber dari teori ritus peralihan dalam siklus kehidupan oleh Arnold van Gennep, teori Roland Robertson tentang Glokalisasi dan teori Arjun Appadurai mengenai landscape dalam Globalisasi.

Pada Bab III menjelaskan: “Wajah Orang Bajo Masa Kini” yang mencakup uraian

mengenai “Individu dan Budaya,” Pertemuan “Budaya Lokal (Orang Bajo) dan “Budaya

Global,” “Pembangunan dan Pariwisata,” dan “Identitas Orang Bajo Masa Kini” yang

merupakan suatu proses dari pengumpulan data dengan teknik observasi mendalam, wawancara, dan dari dokumen-dokumen pendukung yang berfungsi untuk mendeskripsikan proses hibridisasi kebudayaan orang Bajo, Desa Mola, Wakatobi.

Pada Bab IV pembahasan dan analisis data “Sistem Kebudayaan Orang Bajo Dalam

Perubahan” yang mencakup uraian mengenai: “Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo Masa

Lalu dan Masa Kini,” “Makna Ritus Bagi Orang Bajo di Tengah Perubahan,” “Pariwisata dan

Sistem Kepercayaan Orang Bajo,” “Ritus Siklus Kehidupan dan Penguatan Identitas Lokal,”

dan “Lokalitas sebagai yang Global,” dengan berlandaskan teori Robertson mengenai

(15)
(16)

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini korupsi terkesan memasuki ... Reformasi yang diharapkan menuju Indonesia lebih baik ternyata tidak sesuai dengan apa yang … Pemberantasan korupsi di

Demikian agar pengumuman ini diketahui oleh seluruh peserta pelelangan kemudian atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. POKJA ULP Kegiatan Pembangunan Sarana

[r]

Frekuensi Tuturan Deklaratif [ya ʃ rabu al ṭiflu kūban min allabani al ṣāfī ] Pembelajar BA ……….... Frekuensi Tuturan Deklaratif [yaʃrabu alṭiflu

Those two eminently spatial Meccan Suras ( al Kahf and Yūsuf ) , chronologically considered , ar guably formulate some basic features of this Islamic political

Kononnya bagi mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, teks suci yang dikaji ini akan dibantu dengan; (1) paradigma Ex- Silentio - teks Islam klasik

Pada PT Hume Sakti indonesia juga sering terjadi permasalahan apabila terdapat order produksi yang masuk mendadak dan lead time yang singkat, pada kondisi ini

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. 2:99) Patutkah (mereka ingkar kepada