BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronik
2.1.1 Pengertian Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,
glomerulonefretis kronis, pielonefretis, hipertensi yang tidakdapat
dikontrol, obstuksi traktus urinarius, lesi heriditer, lingkungan dan
agenberbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis seperti timah,
kadmium,merkuri, dan kromium (Smeltzer, 2002).
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan gangguan fungsi ginjal
secara progresif dan irreversible, yang menyebabkan ketidakmampuan
ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
maupun elektrolit, sehingga akan menimbulkan gejala uremia (Smeltzer,
2008 dalam Bestari, 2015).
2.1.2 EtiologiPenyakit Ginjal Kronik
Arora (2014 dalam Rangkuti, 2015) menyatakan ada begitu banyak
kondisi klinis yang menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronik.
Kondisi klinis tersebut adalah:
1. Penyakit ginjal diabetic
2. Hipertensi
4. Penyakit glomelurus (primer atau sekunder)
5. Penyakit ginjal kistik
6. Penyakit tubulointerstitial
7. Obstruksi atau disfungsi saluran kemih
8. Penyakit batu ginjal yang berulang
9. Cacat bawaan lahir pada ginjal atau saluran kemih (kongenital)
10. Penyakit ginjal akut yang belum dipulihkan
Banyak penyakit dan kondisi lainnya yang dapat menyebabkan
gangguan pada ginjal, misalnya:
1. Gangguan pembukuh darah ginjal. Berbagai jenis lesi vascular
dapat menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan
ginjal. Lesi yang paling sering adalah aterosklerosis pada arteri
renalis yang besar, dengan konstruksi skletatik progresif pada
pembuluh darah. Hyperplasia fibromuskular pada satu atau
lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh
darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh
hipertensi lama yang tidak diobati, dikarakteristikkan oleh
penebalan, hilangnya elastisitas system, perubahan darah ginjal
mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal
ginjal.
2. Gangguan autoimun (sistemik lupus eritematosus,
glomerulonephritis dan scleroderma)
menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi
penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan
disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amyloidosis yang
disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada
dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane
glomerulus.
4. Infeksi.Infeksi dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri
terutama E.Coli yang berasal dai kontaminasi tinja pada trakus
urinus bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran darah
atau yang lebih sering secara ascenden dari trakus urinarius
bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan
kerusakan irreversible ginjal yang disebut plenlonefritis.
5. Gangguan tubulus primer. Gangguan ini terjadi nefrotoksis
akibar analgedic atau logam berat.
6. Obstruksi trakus urinarius. Ini disebabkan oleh atu ginjal,
hipertrofi prostat dan kontruksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter, seperti kista.
2.1.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Klasifikasi stadium pada pasien dengan PGK ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai
laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.KDIGO (2013 dalam JU
Rangkuti, 2015) membagikan penyakit ginjal kronik menjadi beberapa
Tabel 2.1 Pembagian Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Laju Filtrasi Glomelurus
Kategori LFG LFG (ml/min/1.73m2) Batasan
G1 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Penurunan ringan
G3a 45-49 Penurunan ringan sampai sedang
G3b 30-44 Penurunan sedang sampai berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal
Sumber: KDIGO (2013)
2.1.4 Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal Kronik
Sudoyo (2009) menyatakan manifestasi klinis dari penyakit ginjal
kronik antara lain:
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari yaitu diabetes melitus,
infeksitraktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupusdan Eritomatosus Sistemik (LES).
2. Sindrom uremia yaitu lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah,nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer,pruritus, perikarditis, kejangkejang dan koma.
3. Gejala komplikasi: hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payahjantung, asidosis metabolic, dan gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
2.1.5 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
volume filtrasi yang meningkat disertasi reabsorbsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR/ daya saing.Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai tiga per empat dari nefron-nefron
rusak.Beban bahan yang harus dilarutkan menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorbsi berakibat diuresis osmotic disertai poliuri dan
haus.Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak banyak, maka oliguria
timbul disertai retensi produksi sisa.Titik dimana timbulnya gejala-gejala
pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%.Pada tingkat ini
fungsi ginjal yang demikian memiliki nilai kreatinin clearance turun
sampai 15 ml/ menit atau lebih rendah. (Long, 996, 368)
Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolism protein (yang
normalnya dieksresikan kedalam urin) tertimbun dalam darah.Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala
uremia membaik seteh dialisis.(Brunner & Suddath, 2001, 1448).
2.1.6 PenatalaksanaanPenyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan PGK dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: tindakan
konservatif dan terapi pengganti ginjal (Suharyanto, 2006).
2.1.6.1 Tindakan konservatif meliputi pembatasan diet protein,
kalium, natrium dan cairan
1. Pembatasan protein
memperlambat terjadinya gagal ginjal.Apabila pasien
mendapatkan terapi dialisis teratur, jumlah kebutuhan
protein biasanya dilonggarkan 60-80 gr/hari (Smeltzer
& Bare, 2002).
2. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal
ginjal lanjut.Diet yang dianjurkan adalah 40-80
mEq/hari. Penggunaan makanan dan obatobatan yang
tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan
hiperkalemia (Black & Hawks, 2005).
3. Diet rendah natrium
Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari
(1-2 gr Na).Asupan natrium yang terlalu banyak dapat
mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema
paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Lewis,
dkk, 2007).
4. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap
lanjut harus diawasi dengan seksama.Parameter yang
tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran
cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran
Berat Badan harian.Intake cairan yang bebas dapat
edema.Sedangkan asupan yang terlalu rendah
mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan
fungsi ginjal (Hudak & Gallo, 1996).
2.1.6.2 Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal yang diindikasikan adalah
hemodialisis, peritoneal dialysis dan transplantasi
ginjal.Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal yang
paling banyak digunakan oleh pasien PGK.
2.2 Hemodialisis
2.2.1 PengertianHemodialisis
Hemodialisis adalah tindakan yang dilakukan dengan mengalirkan
darah dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua
komponen yang terpisah.Darah pasien dipompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermiabel buatan
(artifisial) dengan kompartemen dialisat (Sudoyo, 2006).
Hemodialisis adalah suatu bentuk tindakan untuk menggantikan
sebagian besar dari fungsi ginjal pada pasien yang menggalami gangguan
ginjal. Hemodialisis merupakan suatu tindakan pembuangan sisa
metabolisme ginjal dengan menggunakan alat bantu dialiser. Tujuan
daripada tindakan hemodialisis adalah untuk membuang toksik-toksik
yang ada di dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan lain-lain
2.2.2 Prinsip Hemodialisis
Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah difusi dan
ultrafiltrasi. Difusi merupakan proses perpindahan toksin dan zat limbah
dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke larutan dengan konsentrasi
rendah sampai tercapai kondisi seimbang (Sukandra, 2006 dalam
Rumentalia Sulistini, 2010). Larutan tersebut adalah cairan dialisat yang
tersusun dari semua elektrolit penting dengan konsentrasi ekstrasel yang
ideal.Kadar elektrolit dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman
dialisat secara tepat.Sel darah merah dan protein tidak dapat melewati
pori-pori kecil dalam membrane semi permiabel (Ida Rosdiana, 2011).
Air yang berlebihan akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradient tekanan, yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan lebih
tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah (cairan
dialisat).Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan
negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis.
2.2.3 Komplikasi Hemodialisis
Sukandar (2006, dalam Sulistini, 2010) menyatakan bahwa
komplikasi yang terjadi selama prosedur hemodialisis terbagi menjadi 2
yaitu komplikasi teknik dan non teknik.Komplikasi teknik dapat dicegah
dengan melakukan pengawasan dan monitoring kompartemen darah dan
dialisat.Pada komplikasi non teknik sering terjadi di antaranya adalah
punggung, gatal, demam dan menggigil.
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien PGK yang
menjalani hemodialisis (Rosdiana, 2011) adalah:
1. Hipotensi
Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialysis ketika cairan
dikeluarkan.
2. Emboli udara
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang namun dapat
saja terjadi jika udara memasuki system vaskuler pasien.
3. Nyeri dada
Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan
dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.
4. Pruritus
Pruitus dapat terjadi selama terapi dialysis ketika produk akhir
metabolism meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialysis
Gangguan keseimbangan dialysis terjadi karena perpindahan
cairan selebral dan muncul sebagai serangan kejang.
Komplikasi ini mungkin terjadi lebih besar jika terdapat gejala
uremia yang berat.
6. Malnutrisi
Malnutrisi terjadi akibat control diet dan kehilagan nutrient
7. Fatigue dan kram
Pasien PGK yang menjalani hemodialisis akan mudah
mengalami fatigueakibat hipoksia yang disebabkan oleh edema
pulmoner. Edema pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan
sodium, sedangkan hipoksia bisa terjadi akibat pneumonitis
uremik.Fatigue merupakan komplikasi dengan prevalensi
tinggi pada pasien hemodialisis (Kring & Crane, 2009).
2.3 Fatigue
2.3.1 Pengertian Fatigue
Fatigue merupakan perasaan subjektif berupa kelelahan (Jhamb, et
al, 2008; Ream & Richardscn, 1996; Potter & Perry, 2007 dalam
Sulistini, 2010).Fatigueberhubungan dengan pengalaman tertentu
terhadap kelelahan dan kapasitas fisik maupun mental yang tidak dapat
dikurangi dengan istirahat (Black & Hawks, 2005 dalam Sulistini, 2010).
Pengukuran fatiguedapat dilakukan dengan berbagai instrument
yang banyak dikembangkan, diantaranya Piper Fatigue Scale (PFS) yang
menggunakan 22 item pertanyaan dengan mengukur empat dimensi
subjektif dari fatigueyaitu dimensi behavioral, afektif, sensory dan
kognitif (Piper, 1998 dalam Sulistini, 2010). Skala fatiguedibagi menjadi
tidak fatigue (skor 0), ringan (skor 1-3), sedang (skor 4-6), dan berat
2.3.2 Etiologi Fatigue
Fatiguebiasanya terjadi pada penyakit yang menyebabkan stress,
gangguan tidur, cemas, depresi, kurang melakukan aktivitas (Lubkin &
Larsen, 2006).Menurut Carpenito (1995, dalam Sulistini, 2010) fatigue
dapat disebabkan oleh patofisiologi penyakit, treatmen dan maturasi.
Penyakit yang mempengaruhi terjadinya fatiguediantaranya hipotiroid,
chronic renal failure, maglinasi, congestive heart failure, anemia,
gangguan nutrisi, penyakit paru, AIDS, Parkinson dan multiple sclerosis.
Fatigueyang dialami pasien dapat dijelaskan dengan berbagai teori
diantaranya Middle Range Theory (Liehr, 2005, dalam Sulistini, Krisna,
dan Rr Tutik, 2012) dan A Multi Dimensional Fatigue Experience (Lee,
et al, 2007) dan Peripheral and Central Fatigue (Chaudhuri dan Behan,
2000 dalam Jhamb et al, 2008).
2.3.2.1 Middle Range Theory
Middle Range Theorymerupakan pengalaman subjektif yang
mempengaruhi waktu, kualitas, intensitas dan distress yang
dipengaruhi oleh faktor psikologi, fisiologi dan situasional.
2.3.2.2 A Multi Dimensional Fatigue Experience
Hasil studi yang dilakukan Lee (2007) mendapatkan 10 tema
hasil wawancara pengalaman fatigue pada pasien yang menjalani
hemodialisis. Dari tema tersebut didaptkan 3 domain yaitu domain
pertama physical fatiguedengan tema kebiasaan, symptom uremik,
affective fatiguedengan tema lama pengobatan, depresi dan
perasaan kelelahan.Domain ketiga adalah cognitive fatiguedengan 3
tema yaitu kehilangan kognitif, isolasi dan koping (Lee, 2007
dalam Sulistini, 2010).
2.3.2.3 Peripheral and Central Fatigue
Peripheral and Central Fatiguedigambarkan sebagai
kegagalan berinisiatif dan berkonsentrasi (mentalfatigue) dan
aktivitas fisik (physical fatigue) yang membutuhkan motivasi diri,
sedangkan peripheral atau motor fatigue merupakan kelelahan otot
dan kemampuan otak untuk mengontrol otot tersebut. (Jhamb, 2008
dalam Sulistini, 2010).
2.3.3 Faktor yang berhubungan dengan Fatigue
2.3.3.1 Faktor Demografi
Faktor demografi diantaranya usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status pernikahan, dan status pekerjaan
(Jhamb, 2008 dalam Sulistini, 2010).
2.3.3.2 Faktor Fisiologis
Jhamb, et al (2008, dalam Rumentalia, Krisna, dan Rr
Tutik, 2012) menyatakan bahwa fatiguesering
dihubungkan dengan kondisi fisiologis pasien, yaitu
kondisi malnutrisi, kurangnya karbohidrat, komposisi
2.3.3.3 Faktor Social Ekonomi
Faktor social ekonomi pasien yang menjalani hemodisis
meliputi kebiasaan merokok, minum alcohol dan latihan
fisik (Jhamb, 2009 dalam Sulistini, 2010).
2.3.3.4 Faktor Situasional
Faktor situasional merupakan faktor yang berhubungan
dengan hemodialisis dan faktor laboratorium.Faktor yang
berhubungan dengan hemodialisis meliputi model, dosis
dan penyebab ESRD.Faktor laboratorium terdiri dari
hematocrit, albumin, kreatinin, dan phospat (Jhamb,
2009 dalam Sulistini, 2010).
2.4 Teknik Relaksasi Otot Progresif
2.4.1 PengertianTeknik Relaksasi Otot Progresif
Terapi relaksasi otot progresif yaitu terapidengan cara peregangan
otot kemudian dilakukan relaksasi otot (Gemilang,2013, dalam Heppy,
2013). Teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu terapi yang
dapat dilakukan oleh pasien hemodialisis (Setyoadi & Kusharyadi, 2013;
Amigo & Widyastuti, 2013 dalam Cornelia, Rully, Aat, 2014).
Pelaksanaan teknik relaksasi otot progresif membuat otot akan
mendapatkan penegangan terlebih dahulu kemudian menghentikan
penegangan dan merasakan hilangnya ketegangan otot secara rileks. Untuk
hasil yang maksimal, dianjurkan untuk melakukan teknik relaksasi otot
menit (Davis, 2005 dalam Damanik, 2015). Greenberg (2002, dalam
Damanik, 2015)mengatakan bahwa teknik relaksasi otot progresif akan
memberikan pengaruh yang signifikan setelah dilakukan sebanyak 3 kali
latihan. Waktu yang diperlukan untuk melakukan teknik ini sehingga dapat
menimbulkan efek yang maksimal adalah selama satu sampai dua minggu
dan dilaksanakan selama satu sampai dua kali 15 menit per hari (Davis,
1995 dalam Damanik, 2015).
2.4.2 Tujuan Teknik Relaksasi Otot Progresif
Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam
Setyoadidan Kushariyadi (2011) bahwa tujuan dari teknik ini adalah:
1. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan
punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju
metabolik.
2. Mengurangi distritmia jantung, kebutuhan oksigen.
3. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien
sadar dan
tidak memfokus perhatian seperti relaks.
4. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.
5. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.
6. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot,
fobia ringan, gagap ringan, dan
2.4.3 Persiapan dan ProsedurTeknik Relaksasi Otot Progresif
Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011, dalam Heppy, 2013)
hal-hal yang harus diperhatikan untuk melakukan teknik relaksasi otot
progresif yaitu:
1. Persiapan
a. Persiapan alat dan lingkungan : kursi, bantal, serta lingkungan yang
tenang dan sunyi.
b. Pahami tujuan, manfaat, prosedur.
c. Posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring dengan mata
tertutup menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau duduk
di kursidengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri.
d. Lepaskan aksesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan
sepatu.
e. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain
sifatnyamengikat.
2. Prosedur
a. Gerakan 1: Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
1) Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
2) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi
ketegangan yang terjadi.
4) Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga dapat
membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan
relaks yang dialami.
5) Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.
b. Gerakan 2: Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
1) Tekuk kedua lengan ke belakang pada peregalangan tangan
sehingga otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah
menegang.
2) Jari-jari menghadap ke langit-langit.
c. Gerakan 3: Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar
padabagian atas pangkal lengan).
1) Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
2) Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak sehingga otot
biseps akan menjadi tegang.
d. Gerakan 4: Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.
1) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga
menyentuh kedua telinga.
2) Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan yang
terjadi di bahu punggung atas, dan leher.
e. Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah
(seperti dahi, mata, rahang dan mulut).
1) Gerakan otot dahi dengancara mengerutkan dahi dan alis
2) Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan
di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan
mata.
f. Gerakan 7: Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang
dialami oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan
menggigit gigisehingga terjadi ketegangan di sekitar otot rahang.
g. Gerakan 8: Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di sekitar
mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan
dirasakanketegangan di sekitar mulut.
h. Gerakan 9: Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian
depanmaupun belakang.
1) Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru
kemudian otot leher bagian depan.
2) Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
3) Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa
sehingga dapat merasakan ketegangan di bagian belakang
leherdan punggung atas.
i. Gerakan 10: Ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.
1) Gerakan membawa kepala ke muka.
2) Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan
ketegangan di daerah leher bagian muka.
j. Gerakan 11: Ditujukan untuk melatih otot punggung
2) Punggung dilengkungkan
3) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik,
kemudian relaks.
4) Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil
membiarkan otot menjadi lurus.
k. Gerakan 12: Ditujukan untuk melemaskan otot dada.
1) Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara
sebanyak-banyaknya.
2) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan
dibagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
3) Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
4) Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara
kondisi tegang dan relaks.
l. Gerakan 13: Ditujukan untuk melatih otot perut
1) Tarik dengan kuat perut ke dalam.
2) Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu
dilepaskan bebas.
3) Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.
m. Gerakan 14-15: Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti
paha dan betis).
1) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
2) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga
3) Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.