• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MUSCULAR ENDURANCE (Daya tahan otot)

Kemampuan otot merupakan penentu kesehatan dan penyakit. Daya tahan otot

(Muscular endurance), kekuatan (strength), kelelahan ditentukan oleh berbagai factor,

termasuk transportasi substrat untuk produksi ATP, kemampuan mitokondria terhadap

pembakaran nutrien dan komposisi penyebab kontraktilitas. Walaupun faktor genetik juga

menentukan fenotip otot, faktor fisiologi seperti; aktivitas fisik dan olahraga juga berkontribusi

selama periode postnatal yang berdampak pada komposisi tipe serabut otot, biogenesis

mitokondria dan jalur metabolik energi (Gan et al, 2013).

Muscular endurance adalah kemampuan otot untuk melakukan atau mempertahankan

kontraksi secara berulang dalam waktu tertentu. Muscular endurance berhubungan erat dengan

kekuatan otot (Prentice, 2012). Muscular endurance akan mengalami penurunan jika dalam

waktu dua minggu tidak melakukan aktivitas. Pada saat ini belum ada penelitian yang

menyatakan apakah penurunan performa ini disebabkan oleh perubahan pada otot atau

perubahan kemampuan kardiovaskuler. Adaptasi otot lokal terjadi selama periode tidak

beraktivitas. Kita ketahui pada kasus postoperasi setelah satu atau dua minggu mengalami

immobilisasi, aktivitas enzim oksidatif, seperti; succinate dehydrogenase (SDH) dan

cytochrome oxidase menurun 40% hingga 60%. Penurunan aktivitas enzim oksidatif

seharusnya diharapkan untuk memperbaiki Muscular endurance, dan hal ini sebagian besar

berhubungan dengan kemampuan enduransi submaksimal dibandingkan dengan kemampuan

maksimal aerobik atau VO2max.

Pada saat atlit berhenti latihan, enzim glikolitik otot, seperti phosphorylase dan

phosphofructokinase mengalami perubahan sedikit hingga total yang berlangsung selama 4

minggu. Perubahan lain pada otot selama tidak latihan adalah kandungan glikogen. Otot

enduransi cenderung meningkatkan penyimpanan glikogen. Tetapi tidak latihan selama 4

minggu menyebabkan penurunan glikogen otot 40%.

Muscular endurance ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk diantaranya adalah

kemamampuan oksidasi mitokondria, sintesis ATP, tipe serabut otot dan vaskularisasi (Yan et

(2)

lebih dominan oksidasi asam lemak pada mitokondria untuk produksi ATP. Sedangkan serabut

otot tipe II (fast-twich) lebih dominan pada glukosa sebagai substrat energi dan disubklasifikasi

menjadi tipe IIa, IIx atau IIb pada hewan didasarkan pada tipe isoform myosin heavy chain

(MHC). Sensitifitas insulin dan transportasi glukosa oleh insulin berhubungan positif dengan

proporsi serabut otot tipe I. Training enduransi meningkatkan proporsi serabut oksidatif secara

parallel dengan respon biogenik mitokondria berhubungan dengan peningkatan latihan fisik,

oksidasi asam lemak dan glukosa dan pemakaian energi (Gan et al, 2013)

Permainan sepak bola merupakan salah satu permainan yang membutuhkan daya

tahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Daya tahan penting dalam permainan sepak bola

sebab dalam jangka waktu 90 menit bahkan lebih, seorang pemain melakukan kegiatan fisik

yang terus menerus dengan berbagai bentuk gerakan seperti berlari, melompat, meluncur

(sliding), body charge dan sebagainya yang jelas memerlukan daya tahan yang tinggi.

2.1.1. Tipe serabut otot

Tidak semua serabut otot sama. Suatu otot skeletal terdiri dari serabut serabut yang

berbeda kecepatan memendeknya dan kemampuan untuk menghasilkan kekuatan maksimal;

serabut tipe I (slow-twich) dan serabut tipe II (fast-twich). Serabut tipe I kira-kira 110 ms untuk

mencapai puncak tegangan ketika dirangsang. Serabut tipe II dapat mencapai puncak tegangan

sekitar 50 ms. Walaupun hanya satu bentuk serabut tipe I yang telah diidentifikasi, serabut tipe

II dapat diklasifikasikan lagi. Pada manusia, terdapat dua bentuk utama serabut tipe II yaitu

fast-twich tipe a (tipe IIa) dan fast-twich type x (tipe IIx). Serabut tipe IIx Serabut tipe I

bernoktah hitam; serabut tipe IIa tidak bernoktah dan tampak putih dan serabut tipe IIx tampak

abu-abu (gray) (Kenny et al,2012).

2.1.2. Karakteristik serabut otot tipe I dan tipe II a. ATPase

Serabut tipe I dan tipe II berbeda kecepatan kontraksinya. Perbedaan ini

disebabkan bentuk myosin ATPase. Myosin ATPase merupakan enzim pengurai

ATP untuk melepaskan energi yang digunakan untuk berkontraksi. Serabut tipe I

memiliki bentuk myosin ATPase yang lambat (slow), sedangkan serabut tipe II

memiliki yang lebih cepat. Sebagai respon terhadap rangsangan neural, ATP

diuraikan lebih cepat pada serabut otot tipe II dibandingkan pada serabut tipe I.

(3)

b. Reticulum sarkoplasmik

Serabut tipe II memiliki perkembangan reticulum sarcoplasmic yang lebih

tinggi dibandingkan dengan serabut tipe I. Serabut tipe II lebih cepat mengirimkan

kalsium kedalam sel otot yang dirangsang. Kemampuan ini menyebabkan

kecepatan kontraksi (Vo) lebih cepat pada serabut tipe II. Secara rata-rata, serabut tipe II pada manusia memiliki Vo 5-6 kali lebih cepat dibandingkan pada serabut tipe I. Walaupun jumlah kekuatan (Po) yang dihasilkan oleh serabut tipe II dan serabut tipe I dengan diameter yang sama adalah sama, jumlah tenaga yang

dihasilkan serabut tipe II adalah tiga sampai lima kali lebih besar dibandingkan

serabut tipe I karena kecepatan pemendekan yang lebih cepat. Hai ini menjelaskan

mengapa seseorang dengan serabut tipe II lebih dominan terdapat pada otot kaki

cenderung sprinter lebih baik dibandingkan seseorang dengan persentase serabut

tipe I.

c. Unit motor

Motor unit disusun oleh single α-motor neuron dan innervasi serabut otot.

Single α-motor neuron menentukan apakah serabut tipe I atau serabut tipe II.

Single α-motor neuron pada motor unit tipe I memiliki lebih kecil sel bodi dan

secara khusus diinervasi ≤γ00 serabut otot. Sementara α-motor neuron pada motor

unit tipe II memiliki sel bodi lebih besar dan diinervasi ≥γ00 serabut otot.

Perbedaan ukuran unit motor menyatakan bahwa single tipe I α-motor neuron

perangsangan serabut, jauh lebih sedikit serabut otot berkontraksi dibandingkan

single tipe II α-motor neuron merangsang serabutnya. Sehingga, serabut tipe II

untuk mencapai tegangan puncak lebih cepat dan secara kolektif menghasilkan

tenaga yang lebih dibandingkan serabut tipe I.

2.1.3. Distribusi serabut otot

Persentase serabut tipe I dan tipe II tidak sama diseluruh otot tubuh. Umumnya, otot

pada lengan dan kaki memiliki serabut hampir sama komposisinya pada setiap orang. Pada atlit

enduransi terdapat dominan serabut tipe I pada otot kaki dan juga dengan persentase yang

tinggi pada otot lengannya. Hubungan yang mirip juga terdapat pada serabut tipe II. Tetapi

terdapat beberapa pengecualian, otot soleus (dibawah otot gastrocnemius di betis), terdapat

(4)

2.1.4. Serabut otot dan latihan fisik

Karena terdapat perbedaan serabut tipe I dan tipe II, juga terdapat fungsi yang berbeda

pada tipe serabut otot ketika seseorang beraktivitas fisik secara aktif.

a. Serabut tipe I

Umumnya, serabut tipe I berhubungan dengan tingginya kemampuan aerobic

enduransi. Aerobic berarti “tersedianya oksigen” sehingga oksidasi adalah proses

aerobic. Serabut tipe I sangat efisien dalam memproduksi ATP berasal dari

oksidasi karbohidrat dan lemak.

ATP dibutuhkan untuk menyediakan energi yang dibutuhkan serabut otot

berkontraksi dan relaksasi. Pada saat oksidasi berlangsung, serabut tipe I secara

terus menerus memproduksi ATP, menyebabkan serabut tetap aktif. Kemampuan

untuk mempertahankan aktivitas muscular berlangsung dalam waktu yang lebih

lama yang disebut muscular endurance, sehingga serabut tipe I memiliki

enduransi aerobic lebih tinggi. Akibat kondisi tersebut, mereka sering direkrut

selama pertandingan endurasi dengan intensitas rendah (seperti; marathon) dan

pada saat aktivitas harian yang membutuhkan kekuatan otot yang rendah (seperti;

berjalan)

b. Serabut tipe II

Serabut tipe II memliki enduransi aerobic yang sangat kurang dibandingkan

serabut tipe I. Tipe serabut tersebut terjadi secara anaerobik (tanpa oksigen). Hal

ini berarti tidak tersedianya oksigen, ATP dihasilkan melalui jalur anaerobik.

Motor unit tipe IIa menghasilkan tenaga lebih besar dibandingkan motor unit tipe

I, tetapi motor unit tipe IIa juga mengalami kelelahan lebih mudah karena

keterbatasan enduransi. Sehingga serabut tipe IIa secara primer digunakan dalam

waktu singkat, pertandingan enduransi dengan intensitas lebih tinggi, seperti lari

atau renang 400 m. (Katch et al, 2011)

2.1.5. Metabolisme pada otot

Energi dilepaskan ketika elemen ikatan kimia secara bersama-sama membentuk

molekul diuraikan. Substrat secara utama disusun oleh karbon, hydrogen, oksigen dan pada

protein nitrogen. Ikatan molecular sebagai tempat elemen secara relative lemah dan selanjutnya

(5)

dilepaskan didalam sel dan kemudian disimpan dalam bentuk komponen energi tingkat tinggi

yang disebut Adenosine triphosphate (ATP).

Pada saat istirahat tubuh membutuhkan perolehan yang dari pemecahan karbohidrat

dan lemak. Protein memiliki fungsi yang sangat penting sebagai enzim yang membantu reaksi

kimia dan sebagai pembangun struktur tetapi biasanya menghasilkan energy yang sedikit dari

metabolisme. Selama kondisi berat, kontraksi otot dalam waktu singkat, karbohidrat lebih

digunakan dengan lebih sedikit menggunakan lemak untuk menghasilkan ATP. Dalam waktu

yang lama, latihan fisik intensitas rendah menggunakan karbohidrat dan lemak untuk

mempertahankan produksi energi.

a. Karbohidrat

Jumlah karbohidrat yang digunakan dalam aktivitas fisik dihubungkan

dengan ketersediaan karbohidrat dan metabolisme karbohidrat pada otot.

Karbohidrat secara utama diubah menjadi enam karbon gula sederhana, glucosa,

sebuah monosaccharide (satu unit gula) dan ditransportasikan kedalam darah

menuju seluruh jaringan tubuh. Saat kondisi istirahat, karbohidrat yang dimakan

disimpan didalam otot dan hati dalam bentuk yang lebih kompleks yaitu

polysaccharide (molekul gula kompleks), glycogen. Glycogen disimpan didalam

sitoplasma sel otot hingga sel menggunakan untuk membentuk ATP. Glycogen

juga disimpan di hati dan diubah kembali menjadi glukosa jika dibutuhkan dan

kemudian ditransportasikan oleh darah menuju jaringan yang aktif untuk

dimetabolisme.

Hati dan otot menyimpan glycogen secara terbatas dan dapat habis dalam

waktu yang berkepanjangan, latihan fisik berat, khususnya jika diet jumlah

karbohidrat tidak mencukupi. Selanjutnya akan diharapkan sangat besar pada

sumber diet karbohidrat dan gula untuk selanjutnya mengisi tempat cadangan

karbohidrat. Tanpa pasokan karbohidrat yang cukup, otot dapat mengalami

kehilangan sumber energi utama. Selanjutnya, karbohidrat adalah hanya sumber

energi yang digunakan oleh jaringan otak, sehingga penurunan karbohidrat

(6)

Gambar 2.1 Metabolisme Seluler

b. Lemak

Lemak menghasilkan sangat besar energi yang digunakan pada saat latihan

fisik intensitas lama dan rendah. Tubuh menyimpan potensial energi dalam bentuk

lemak dengan substansial lebih besar dibandingkan cadangan karbohidrat. Pada

usia dewasa pertengahan dengan lemak tubuh yang lebih (jaringan adiposa),

penyimpanan lemak dua kali lebih besar dibandingkan dengan karbohidrat. Tetapi

penggunaan lemak untuk metabolisme lebih sedikit karena harus terlebih dahulu

dirubah bentuknya kompleksnya, triglyceride, menjadi komponen dasarnya yaitu

glycerol dan asam lemak bebas (FFAs). Hanya FFAs yang digunakan untuk

membentuk ATP

Pada hakekatnya energi yang dihasilkan dari pemecahan satu gram lemak

(9.4 kcal/g) dibandingkan dengan jumlah karbohidrat satu gram (4.1 kcal/g).

Meskipun demikian jumlah energi yang dihasilkan dari lemak lebih lambat untuk

memenuhi kebutuhan energi pada aktivitas otot berat.

Jenis lemak lainnya ditemukan pada tubuh yang berfungsi sebagai

non-energi. Phospholipids adalah komponen struktur pada membrane sel dan

melindungi lapisan pada beberapa sel saraf besar. Steroid terdapat pada membrane

sel dan berfungsi sebagai hormone atau sebagai pembangun hormone seperti

(7)

2.1.6. Sistem dasar energi

Sel dapat menyimpan sangat terbatas jumlah ATP dan secara tetap menghasilkan ATP

baru untuk menyediakan kebutuhan energi pada semua metabolisme sellular termasuk

kontraksi otot. Sel menghasilkan ATP melalui salah satu atau kombinasi dari tiga jalur

metabolik.

a. Sistem ATP-PCr

Sistem energi yang paling dasar adalah sistem ATP-PCr. Untuk menyimpan

energi dalam jumlah sangat sedikit, sel harus terdapat molekul fosfat energi

tingkat tinggi yang disebut phosphocreatine atau PCr (Creatine phosphate). Jalur

sederhana ini melibatkan donasi Pi dari PCr ke ADP untuk membentuk ATP. Tidak sama dengan ATP bebas yang terbatas pada sel, energi dilepaskan melalui

pemecahan pada PCr yang tidak secara langsung digunakan untuk aktivitas

selular. Malahan, proses tersebut membentuk kembali ATP untuk

mempertahankan secara relative konstan suplai pada kondisi istirahat.

Energi yang dilepaskan dari PCr dikatalisasi oleh enzim creatine kinase, yang

bekerja pada PCr untuk menguraikan Pi dari creatine. Energi yang dilepaskan dapat digunakan untuk menambah sebuah molekul Pi menjadi sebuah molekul ADP, membentuk ATP. Sebagai energi yang dilepaskan dari ATP melalui

pemecahan sekelompok fosfat, sel dapat mencegah penurunan ATP melalui

pemecahan PCr, menghasilkan energi dan Pi untuk membentuk kembali ATP dari ADP.

Berdasarkan pada prinsip mekanisme umpan balik negative (negative

feedback) dan terbatasnya jumlah enzim, aktivitas creatine kinase meningkat pada

saat konsentrasi ADP atau Pi meningkat. Pada saat latihan fisik berat, jumlah ATP yang sedikit pada otot diuraikan dengan segera untuk persediaan energi, hasil yang

diproduksi adalah ADP dan Pi. Peningkatan konsentrasi ADP meningkatkan aktivitas creatine kinase dan PCr dikatabolisme untuk membentuk ATP tambahan.

Pada saat latihan fisik berlangsung dan ATP tambahan dihasilkan melalui dua

sisyem energi, yaitu; sistem glikolitik dan sistem oxidative, sehingga aktivitas

creatine kinase dihambat.

Proses pemecahan PCr menyebabkan pembentukan ATP secara cepat dan

dapat berhasil tanpa disetiap struktur didalam sel. Sistem ATP-PCr

diklasifikasikan sebagai tingkat metabolisme substrat. Walaupun dapat terjadi

(8)

kelelahan, kadar ATP dan PCr adalah rendah dan tidak dapat menghasilkan energi

untuk lebih lanjut kontraksi dan relaksasi otot. Selanjutnya kemampuan untuk

mempertahankan level ATP dengan energi dari PCr menjadi terbatas. Kombinasi

penyimpanan ATP dan PCr dapat mempertahankan kebutuhan energi otot hanya

selama 3-15 detik selama sprint. Pada saat itu, otot harus bergantung pada proses

lainnya untuk pembentukan ATP, yaitu jalur glikolitik dan jalur oxidative.

Gambar 2.2 Sistem ATP-PCr

b. Sistem Glikolitik

Sistem ATP-PCr memiliki keterbatasan untuk menghasilkan ATP bagi

energi., hanya berlangsung beberapa detik. Metode kedua produksi ATP

melibatkan pelepasan energi melalui pemecahan (lysis) pada glukosa. Sistem ini

disebut sistem glikolitik karena memerlukan glikolisis, pemecahan glukosa

melalui jalur yang melibatkan sekuensi enzim glikolitik. Glikolisis merupakan

jalur yang lebih kompleks dibandingkan sistem ATP-PCr.

Jumlah glukosa sekita 99% dari total gula bersirkulasi didalam darah.

Glukosa darah berasal dari digesti karbohidrat dan pemecahan glikogen hati.

Glikogen disintesis dari glukosa melalui proses disebut glycogenesis dan disimpan

didalam hati atau didalam otot hingga dibutuhkan. Pada suatu saat, glikogen

dipecah menjadi glucose-1-phosphate, kemudian memasuki jalur glikolisis,

proses ini disebut glycogenolysis.

(9)

Gambar 2.3 Produksi energi pada proses Glikolisis

Sebelum glukosa atau glikogen digunakan untuk menghasilkan energi,

terlebih dahulu dirubah menjadi komponen yang disebut glucose-6-phosphate.

Tujuan proses glikolisis adalah untuk melepaskan ATP, konversi sebuah molekul

glukosa menjadi glucose-6-phosphate membutuhkan pasokan satu molekul ATP.

Pada konversi glikogen, glucose-6-phosphate dibentuk dari glucose-1-phosphate

tanpa membutuhkan energi. Proses glikolisis secara teknis dimulai pada saat

glucose-6-phosphate dibentuk.Glikolisis membutuhkan 10-12 reaksi enzimatik

(10)

menjadi asam laktat. Pada semua langkah didalam jalur nya dan semua enzim

dilibatkan operasinya didalam sitoplasma sel. Hasil bersih yang diperoleh dari

proses ini adalah 3 mole (mol) ATP yang dibentuk dari setiap mole glikogen yang

dipecah. Jika glukosa digunakan berasal dari glikogen, hasil bersih hanya 2 mol

ATP karena I mol digunakan untuk konversi glukosa menjadi

glucose-6-phosphate.

Sistem energi seyogianya tidak menghasilkan jumlah besar ATP. Meskipun

keterbatasan ini, kombinasi aksi pada ATP-PCr dan sistem glikolisis menyediakan

bagi otot tenaga ketika suplai oksigen terbatas. Kedua sistem ini dominan terjadi

selama menit-menit awal latihan fisik tinggi.

Keterbatasan utama lainnya pada glikolisis anaerobic adalah disebabkan

akumulasi asam laktat pada otot dan cairan tubuh. Glikolisis menghasilkan asam

piruvat. Proses ini tidak membutuhkan oksigen, tetapi adanya oksigen

menentukan nasib asam piruvat. Tanpa adanya oksigen, asam piruvat dikonvensi

secara langsung menjadi asam laktat, asam dengan formula kimia C3H6O3. Glikolisis anaerobic menyebabkan asam laktat, tetapi secara cepat disosiasi dan

laktat dibentuk.

Pada pertandingan sprint sekitar 1 atau 2 menit, kebutuhan akan sistem

glikolitik adalah tinggi, konsentrasi asam laktat dapat meningkat mulai dari

kondisi istirahat sekita 1 mmol/kg pada otot menjadi lebih dari 25 mmol/kg.

kondisi keasaman pada serabut otot menghambat pemecahan glikogen karena

menganggung fungsi enzim glikolitik. Dampak lainnya adalah, asam menurunkan

kemampuan ikatan serabut dengan kalsium dan mengakibatkan gangguan

kontraksi otot.

Terbatasnya enzim pada jalur glikolitik yaitu phosphofructokinase atau PFK,

sama seperti sebagian besar keterbatasan enzim. PFK mengkatalis pada langkah

awal jalur, konversi fructose-6-phosphate menjadi fructose-1,6-biphosphate.

Peningkatan konsentrasi ADP dan Pi meningkatkan aktivitas PFK dan selanjutnya mempercepat glikolisis, saat konsentrasi ATP meningkat memperlambat glikolisis

melalui penghambatan PFK. Pada situasi selanjutnya, jalur glikolisis akan

memasuki siklus Krebs untuk menambah produksi energi ketika tersedia oksigen,

produk siklus Krebs, khususnya adalah sitrat dan ion hydrogen, sepertinya

(11)

Jumlah penggunaan energi pada serabut otot pada saat latihan fisik dapat

mencapai 200 kali lebih besar dibandingkan pada saat istirahat. Sistem ATP-PCr

dan sistem glikolitik secara tersendiri tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan

energi. Lebih lanjutnya, kedua sisten tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan

energi untuk seluruh aktivitas kurang dari 2 menit. Latihan fisik yang berlangsung

lama membutuhkan sistem energi yang ketiga, sistem oxidatif.

c. Sistem Oxidatif

Sistem akhir pada produksi energi seluler adalah sistem oxidative. Proses ini

paling kompleks dari ketiga sisyem energi. Proses ini melalui pemecahan substrat

dengan menambahkan oksigen untuk menghasilkan energi yang disebut Cellular

respiration. Karena oksigen dibutuhkan, proses ini disebut proses aerobic. Tidak

seperti kondisi anaerobic dalam memproduksi ATP yang terjadi didalam

sitoplasma sel, oksidasi produksi ATP terjadi didalam organel sel khusus, yaitu

mitochondria. Didalam otot, berbatasan dengan myofibril dan juga banyak

terdapat pada sarkoplasma.

Otot membutuhkan suplai energi yang tetap untuk menghasilkan tenaga

selama aktivitas berlangsung lama. Tidak seperti kondisi anaerobik dalam

produksi ATP, sistem oksidatif lambat turun; tetapi memiliki kemampuan

memproduksi energi dalam jumlah besar, sehingga metabolisme aerobik

merupakan metode utama produksi energi selama aktivitas enduransi. Kondisi ini

sangat bergantung kepada sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi untuk

mengirimkan oksigen ke otot yang aktif. Produksi energi secara oksidatif berasal

dari karbohidrat (dimulai dengan glikolisis) atau lemak.

1. Oksidasi karbohidrat

Produksi ATP pada oksidasi dari karbohidrat nelibatkan tiga proses, yaitu:

a) Glikolisis

Pada metabolisme karbohidrat, glikolisis berperan pada

produksi ATP secara aerobik dan anaerobik. Proses glikolisis

adalah tanpa menghiraukan apakah oksigen tersedia. Tersedianya

oksigen menentukan nasib akhir produk, asam piruvat. Glikolisis

anaerobik menghasilkan asam laktat dan hanya 3 mol ATP per mol

(12)

asam piruvat dirubah menjadi sebuah senyawa, disebut acetyl

coenzyme A (acetyl CoA)

Gambar 2.4 Produksi energi pada sistem metabolik

b) Siklus Krebs

Setelah dibentuk, acetyl CoA memasuki siklus Krebs (siklus

asam sitrat atau siklus asam trisiklik), sebuah rangkaian kompleks

pada reaksi kimia yang menyebabkan oksidasi komplit acetyl CoA.

Setiap molekul glukosa memasuki jalur glikolitik, dua molekul

asam piruvat akan dibentuk. Selanjutnya setiap molekul glukosa

akam mulai proses produksi energi dengan tersedianya oksigen

pada siklus Krebs.

Konversi succinyl CoA menjadi succinate pada siklus Krebs

menyebabkan pembentukan guanosine triphosphate atau GTP,

senyawa energi tingkat tinggi mirip dengan ATP. GTP kemudian

transfer sebuah Pi menjadi ADP untuk membentuk ATP. Dihasilkannya dua ATP (per molekul glukosa) dibentuk oleh level

substrat posforilasi. Pada akhir siklus Krebs, tambahan dua mol

ATP dihasilkan secara langsung, dan karbohidrat telah dipecah

(13)

Seperti jalur metabolic lainnya melibatkan metabolisme

energi, enzim siklus Krebs diatur oleh umpan balik negative

(Negative Feedback) pada beberapa langkah didalam siklus. Enzim

pada siklus Krebs yang membatasi jumlahnya adalah isocitrate

dehydrogenase, seperti PFK, yang dihambat oleh ATP dan

diaktifkan oleh ADP dan Pi, sebagai rantai transport electron. Karena kontraksi otot bergantung kepada ketersediaan kalsium

didalam sel, kalsium yang berlebihan juga merangsang enzim

isocitrate dehydrogenase.

Gambar β.5 Siklus Kreb’s

c) Rantai Transport Elektron (ETC)

Selama glikolisis, ion hydrogen dilepaskan ketika glukosa

dimetabolisme menjadi asam piruvat. Ion hydrogen juga

dilepaskan sebagai konversi dari piruvat menjadi acetyl CoA dan

(14)

tetap berada didalam sistem, didalam sel akan menjadi sangat

asam.

Siklus Krebs merupakan pasangan rangkaian reaksi yang

dikenal dengan rantai transport electron. Ion hydrogen dilepaskan

selama glikolisis, selama konversi asam piruvat menjadi acetyl

CoA, dan selama siklus Kreb’s berkombinasi dengan dua koenzim;

nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) dan Flavin adenine

dinucleotide (FAD), mengkonversi untuk mengurangi bentuk

(NADH dan FADH2, sebaliknya). Selama siklus Krebs, tiga molekul NADH dan satu molekul FADH2 dihasilkan. Selanjutnya membawa atom hydrogen (electron) ke rantai transport electron,

sebuah kelompok kompleks protein mitokondria terdapat didalam

membrane mitokondria. Kompleks protein tersebut terdiri dari

rangkaian enzim dan protein yang mengandug zat besi yang

disebut cytochromes. Sebagai electron energi tingkat tinggi

melewati dari kompleks menuju kompleks disepanjang rantai

tersebut, beberapa energi dilepaskan melalui reaksi tersebut yang

menggunakan pompa H+ dari matriks mitokondria menuju komparmen luar mitokondria. Setelah ion hydrogen berpindah

kembali melewati membrane bagian bawah konsentrasinya

menjadi tinggi, energi ditransfer menjadi ADP, dan ATP dibentuk.

Langkah akhir membutuhkan enzim yaitu ATP synthase.

Gambar 2.6 Rantai Transport Elektron

(15)

oksigen sebagai aseptor akhir electron dan H+ disebut sebagai oxidative phosphorylation.

Untuk setiap pasang electron ditransportasikan ke rantai

transport electron oleh NADH, tiga molekul ATP dihasilkan, saat

electron melewati rantai transport electron FADH hanya dua

molekul ATP dihasilkan. Tetapi, karena NADH dan FADH berada

diluar membrane mitokondria, H+ dipompa keluar membrane, membutuhkan energi untuk penggunaannya. Sehingga secara

realita, energi yang dihasilkan hanya 2.5 ATP per NADH dan 1.5

ATP per FADH. Oksidasi komplit glukosa dapat menghasilkan 32

molekul ATP, saat 33 ATP dihasilkan dari satu molekul glikogen

otot. Produksi bersih ATP dari level substrat posforilasi pada jalur

glikolitik hingga siklus Krebs hanya dua ATP (atau tiga dari

glikogen). Total 10 molekul NADH hingga ke rantai transport

electron – dua pada glikolisis, dua pada konversi asam piruvat

menjadi acetyl CoA dan enam pada siklus Kreb’s – hasilnya 25

molekul ATP. Ketika 30 ATP secara actual dihasilkan, energi

digunakan untuk transportasi melewati membrane menggunakan

lima ATP. Dua molekul FAD pada siklus Krebs dilibatkan pada

transport electron menghasilkan tiga tambahan ATP. Pada

akhirnya, level substrat posforilasi didalam siklus Krebs

melibatkan molekul GTP menambah dua molekul ATP.

Jumlah energi yang digunakan untuk memompa electron

melewati membrane mitokondria merupakan konsep baru pada

pfisiologi olahraga, dna banyak teksbook tetap menyatakan

produksi energi yang dihasilkan sekitar 36-39 ATP per molekul

glukosa.

2. Oksidasi lemak

Lemak juga berkontribusi penting untuk kebutuhan energi otot.

Penyimpanan glikogen otot dan hati dapat memberikan sekitar 2.500 kcal

energi, tetapi lemak yang disimpan didalam serabut otot dan lemak

didalam sel dapat mensuplai sedikitnya 70.000 hingga 75.000 kcal pada

(16)

posfolipid, dan kolesterol) diklasifikasikan sebagai lemak, hanya

trigliserida sebagai sumber utama energi. Trigliserida disimpan didalam

sel lemak dan diantara dan didalam serabut otot. Untuk menjadi sumber

energi, trigliserida harus dipecah menjadi unit dasar; satu molekul gliserol

dan tiga molekul asam lemak bebas. Proses ini disebut lipolysis, dan

dibawa oleh enzim yaitu lipase.

Asam lemak bebas merupakan sumber energi utama untuk

metabolisme lemak. Setelah bebas dari gliserol, asam lemak memasuki

darah dan ditransportkan keseluruh tubuh, masuk ke serabut otot

bergantung pada konsentrasi gradien. Peningkatan konsentrasi asam lemak

bebas didalam darah meningkatkan jumlah ditransportasikan kedalam

serabut otot.

a) Beta oksidasi ( -Oxidation)

Lemak disimpan didalam tubuh pada dua tempat, didalam

serabut otot dan didalam sel jaringan adiposa disebut adiposit.

Bentuk simpanan lemak adalah trigliserida, dipecah menjadi asam

lemak bebas dan gliserol untuk metabolisme energi. Sebelum asam

lemak bebas digunakan untuk produksi energi, asam lemak bebas

harus dikonversi menjadi acetyl CoA didalam mitokondria, proses

ini disebut β-Oxidation. Acetyl CoA dengan segera memasuki

siklus Kreb’s untuk metabolisme oksidasi.

-Oxidation adalah rangkaian langkah dua unit karbon acyl

dipotong pada rantai karobon asam lemak bebas. Sejumlah langkah

bergantung pada jumlah karbon didalam asam lemak bebas,

biasanya antara 12 dan 24 karbon. Sebagai contoh, jika sebuah

asam lemak bebas mulanya terdiri dari 16 rantai karbon,

-Oxidation menghasilkan delapan molekul acetyl CoA. Unit acyl

menjadi acetyl CoA, sehingga memasuki siklus Kreb’s untuk

pembentukan ATP.

Setelah memasuki serabut otot, asam lemak bebas diaktivasi

secara enzimatik menggunakan energi berasal dari ATP,

menyebabkan katabolisme (pemecahan) didalam mitokondria.

(17)

ATP untuk aktivasi, tetapi tidak seperti glikolisis, tidak

menghasilkan ATP secara langsung.

b) Siklus Kreb’s dan Rantai Transport Elektron

Setelah -Oxidation, metabolisme lemak mengikuti jalur yang sama dengan metabolisme karbohidrat oksidatif. Acetyl CoA

dibentuk dari -Oxidation memasuki siklus Kreb’s. siklus Kreb’s menghasilkan hydrogen, selanjutnya ditransportasikan ke rantai

transport electron selama electron dihasilkan oleh -Oxidation untuk mengalami posforilasi oksidatif. Sama seperti metabolisme

glukosa, melalui produk oksidasi asam lemak bebas adalah ATP,

H2O, CO2. Tetapi, pembakaran sempurna molekul asam lemak bebas membutuhkan oksigen lebih banyak karena molekul asam

lemak bebas mengandung lebih banyak karbon dibandingkan

molekul glukosa.

Gambar 2.7 Produksi energi pada otot skeletal

Karbon yang lebih banyak karbon pada asam lemak bebas

dibandingkan pada glukosa menyebabkan lebih banyak acetyl CoA

yang dibentuk dari metabolisme yang dihasilkan dari asam lemak,

sehingga lebih banyak acetyl CoA yang memasuki siklus Kreb’s

(18)

sehingga metabolisme lemak dapat menghasilkan lebih banyak

energi dibandingkan metabolisme glukosa. Tidak seperti glukosa

atau glikogen, asam lemak adalah heterogen dan jumlah ATP yang

dihasilkan bergantung kepada oksidasi lemak yang spesifik.

Berdasarkan contoh pada asam palmitate, sebuah asam lemak

dengan lebih banyak dari 16 karbon. Kombinasi reaksi oksidasi,

siklus Kreb’s dan rantai transport electron menghasilkan 1β9

molekul ATP dari satu molekul asam palmitate, dibandingkan

dengan hanya 32 molekul ATP dari satu glukosa dan 33 dari

glikogen. (Kenney et al, 2012)

2.1.7. Kontraksi otot skeletal

Otot merupakan jaringan dengan kemampuan untuk berkontraksi. Terdapat 3 jenis

utama otot; otot skeletal, otot jantung dan otot polos. Pada ketiga jenis otot tersebut, sebagian

besar energy yang diproduksi digunakan untuk kebutuhan kontraksi otot yang digunakan oleh

molekul aktin pada filament myosin.

Gambar 2.8 Kontraksi otot

Energi juga digunakan untuk pemompaan Ca2+ dari sarkoplasma ke reticulum sarkoplasmik setelah otot berkontraksi. Pemompaan ion sodium dan potassium melalui

membrane otot untuk mempertahankan gradien ionic yang juga membutuhkan energi. Energi

kaya akan komponen adenosine triphosphate (ATP) sebagai bahan bakar di dalam otot. Tetapi

(19)

ikatan posfat energi tingkat tinggi merupakan sumber energy cepat untuk pembentukan ATP.

Penyimpanan CP juga terbatas dan mampu memberikan energi untuk kontraksi otot selama

5-8 detik. Sumber utama energi pada otot berasal dari glukosa dan asam lemak, konsumsi

bergantung kepada beban dan latihan subjek dan juga ketersediaan oksigen. Produksi ATP

berasal dari glikolisis sitosolik, oksidasi asam lemak beta oksidasi dan siklus asam sitrat yang

diatur secara ketat dan berespon cepat terhadap kebutuhan otot untuk memperoleh ATP. Ketika

kebutuhan energi melebihi kemampuan otot skeletal menyediakan ATP melalui siklus asam

sitrat pada kondisi oksidatif, glikolisis akan dirangsang dan asam laktat diproduksi,

menyebabkan ATP secara anaerobik yaitu tanpa menggunakan oksigen.

Gambar 2.9 Mekanisme Kontraksi-Relaksasi otot

Pada otot skeletal, kontraksi terjadi secara normal pada saat depolarisasi pada plasma

membrane, yang didahului oleh pelepasan ion calsium dari penyimpanan di intraselluler

didalam reticulum sarkoplasmik. Ion kalsium berikatan dengan troponin C, pengatur protein

berhubungan dengan filament tipis, menyebabkan perubahan bentuk protein.

Perubahan bentuk tersebut ditransmisikan ke komponen filament tipis lainnya

(Troponin T, Troponin I, Tropomyosin dan Actin) sehingga subunit actin pada filament tipis

(20)

ketika ion kalsium diambil oleh reticulum sarkoplasmik melalui kerja ATP-driven pump (Ca2+ ATPase).

2.1.8. Pemeriksaan tes muscular endurance (daya tahan otot)

Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan sistem neuro-muskular

melakukan satu atau dua jenis aksi; (1) kontraksi berulang selama periode waktu hingga

terjadinya kelelahan dengan latihan fisik dinamik dan (2) mempertahankan persentase spesifik

sebuah kontraksi volunteer maksimal selama periode waktu dengan latihan fisik static.

Umumnya daya tahan otot dipresentasikan melalui total jumlah pengulangan yang dapat

dilakukan atlit/ non-atlit dengan persentase pada 1RM (One-Repetition Maximum). Metode

untuk mengevaluasi daya tahan atlit/ non-atlit termasuk YMCA (Young Men’s Christian

Association) bench press test, push-up test dan curl-up test.

a. YMCA Bench Press Protocol

YMCA bench press test merupakan protocol klasik pengukuran daya tahan otot. Tes

ini mengkaji daya tahan otot pada bagian tubuh atas, khususnya otot pektoralis mayor,

anterior deltoid dan trisep. Tes ini secara luas digunakan mengkaji daya tahan otot

membutuhkan sandaran pada punggung dan mendorong beban secara tetap pada irama

30 repetisi permenit hingga mengalami kelelahan atau tidak mampu mengikuti irama

yang diinstruksikan. Kim et al melaporkan YMCA bench press dapat juga digunakan

untuk memperkirakan kekuatan maximal bench press dengan prediksi penjumlahan;

Pria 1RM (kg) = 1.55 x (repetisi yang dilakukan pada 30 reps.min-1) + 37.9

Perempuan 1RM (kg) = 0.31 x (repetisi yang dilakukan pada 30 reps.min-1) + 19.2 Hanya jumlah maksimum repetisi yang akan ditentukan, kemudian kita

membandingkan data dengan hasil normal pada table untuk mengklasifikasikan daya

tahan otot bagian atas tubuh (Haff et al, 2012)

Tabel 2.1 Nilai Normal daya tahan otot untuk Bench press

(21)

60 17 13 16 16 12 10 8 6 4 4 3 2

50 5 2 4 2 2 2 1 0 0 0 0 0

Skor didasarkan pada jumlah repetisi komplit dalam 1 menit dengan 80 lb (36.3 kg) pada laki-laki dan 35 lb (15.9 kg) pada perempuan. M = male dan F = female

Diambil dari V. Heyward,2010, Advanced fitness assessment and exercise prescription, 6th ed.

b. Tes Push-up

Tes daya tahan otot pada bagian dada dan lengan atas (pektoralis mayor, anterior

deltoid dan trisep), tidak ada batas waktu dan membutuhkan sedikit peralatan. Tes ini

dilakukan secara berkelanjutan dan membutuhkan atlit untuk mempertahankan

punggung yang sejajar setiap waktu. Tes dihentikan ketika teknik yang tepat tidak

dapat dilakukan selama dua kali pengulangan berturutan. Jumlah total repetisi

(pengulangan) kemudian digunakan untuk mengtabulasi skor, dibandingkan dengan

data sesuai usia dan jenis kelamin pada table normal (Haff et al, 2012).

Tabel 2.2 Nilai normal tes Push-up berdasarkan usia dan jenis kelamin

Usia (Thn) 15-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69

Sumber: the Canadian Physical Activity, Fitness & Approach:CSEP-Health & Fitness program’s Health-Related Appraisal and Counselling Strategy, 3rd Edition © 2003.

c. Tes Curl-up

Tes ini mengkaji daya tahan otot abdominal, umunya berhubungan dengan

laboratorium fisiologi olahraga (exercise physiology). Beberapa variasi jarak durasi dari 60 –

120 detik dan membutuhkan sebuah irama pada 20-25 rep.min-1. ACSM merekomendasikan menggunakan waktu 1 menit tes curl-up dengan irama 25 rep.min-1. Repetisi curl-up dihitung hanya jika teknik yang tepat dilakukan, dan jumlah komplit repetisi digunakan untuk skor tes.

Hasilnya kemudian dibandingkan dengan table normal berdasarkan usia dan jenis kelamin..

(22)

Tabel 2.3 Nilai normal tes Curl-up berdasarkan usia dan jenis kelamin

Sumber: Adapted by permission from Presidents Council for Physical Fitness, Presidents Challenge Normative Data Spreadsheet (Online). Availabel: www.presidentschallenge.org

2.2. MUSCULAR POWER (DAYA LEDAK OTOT)

Salah satu komponen yang menunjang dalam pelaksanaan aktivitas olahraga adalah

daya ledak (power). Daya ledak adalah kemampuan mengatasi hambatan dalam kecepatan

kontraksi otot yang tinggi (Harre,2008). Daya ledak otot (power) merupakan bagian penting

pada kemampuan muscular dan diukur dalam satuan watts. Walaupun terdapat hubungan yang

erat antara kekuatan (strength) dan kecepatan (velocity) yang menyebabkan pertambahan

kekuatan, kemampuan menghasilkan kekuatan pada kecepatan pergerakan yang cepat menjadi

karakteristik pada atlit elit pada berbagai cabang olahraga. Kekuatan dihasilkan selama latihan

fisik yang sangat bergantung kepada jenis latihan fisik yang digunakan. Pelari jarak jauh

menghasilkan hanya 50 W pada setiap siklus langkah selama lari jarak jauh. Secara jelas, atlit

angkat beban (atlit angkat besi) menghasilkan 7.000 W pada fase kedua “pull” selama “clean”

dan “jerk” (Garhammer,199γ; Kraemer dan Loney,β01β). Berdasarkan kondisi fisiologi, kekuatan berperan penting dalam membantu tenaga dan kondisi khusus begaimana

pertambahan kekuatan.

Berdasarkan spesifikasinya, daya ledak dibagi menjadi empat, yaitu; daya ledak

eksplosif (explosive power), daya ledak cepat (speed power), daya ledak kuat (strength power)

dan daya ledak tahan lama (endurance power) (Nala, 2011). Daya ledak juga merupakan

ukuran dari kemampuan otot, yang berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan gerak dan dapat

didefenisikan sebagai kerja per unit waktu (gaya x jarak/waktu). Gaya dikali kecepatan gerak

adalah defenisi yang ekuivalen. Bertambahnya ukuran otot saat berkontraksi dan

berkembangnya gaya pada seluruh ROM serta hubungannya dengan kecepatan dan gaya

(23)

dilihat pada gerakan vertical jump, long jump, angkat besi dan gerakan lain yang melibatkan

kontraksi otot.

2.2.1. Komposisi tipe serabut otot

Daya ledak otot dihasilkan akibat pemendekan pada sebuah otot hanya sekitar 1% dari

panjangnya waktu istirahat, kondisi ini terjadi berkelanjutan setiap waktu pada otot yang

berkontraksi. Untuk menhasilkan kekuatan dari area yang aktif, kepala myosin harus berikatan

dengan sebuah molekul ATP. Myosin ATPase, sebuah enzim penyusun utama pada kepala

myosin, menghindrolisis molekul ATP menjadi ADP dan Pi, selanjutnya kepala myosin akan

kembali ke posisi awalnya posisi istirahat. Sumber awal kontraksi pada semua otot adalah

adanya ATP yang bebas didalam serabut otot (Brooks et al, 1996; Kraemer et al, 2012). Tetapi

penyimpanan ATP pada intramuscular terbatas dan harus diisi ulang melalui satu atau lebih

sistem energi tubuh. Daya ledak maksimal bergantung terhadap ketersediaan segera ATP dan

sumber energi utama yang diperoleh dari ATP-PCr system yang terdiri dari ATP dan

phosphocreatine (PCr) yang tersimpan didalam otot dan reaksi kimia untuk menghasilkan ATP.

Walaupun ketersediaan ATP berperan terhadap pencegahan kelelahan, yaitu jumlah

myosin ATPase yang memecah ATP membatasi komponen kecepatan kontraksi (Kamen et al,

2000: Kraemer et al, 2012). Hai ini berarti walaupun ketidakadekuatan ATP dapat menghalangi

kemampuan, jumlah ATP yang berlebihan tidak menyebabkan manfaat secara fisiologis

terhadap keluaran kekuatan. Myosin ATPase yang ada bervariasi jumlahnya atau isoform nya,

memiliki karakteristik fungsional yang berbeda. Perbedaan isoform pada myosin ATPase

memecah ATP berbeda jumlahnya dan dampaknya pada kecepatan kontraksi dan daya ledak

yang dihasilkan. Jumlah myosin ATPase pada tipe serabut otot yang memecah ATP secara

terbalik proporsionalnya dengan kemampuan oksidatifnya (Kraemer et al, 2012). Hal ini berarti

walaupun serabut otot tipe II menyebabkan output daya ledak lebih besar potensialnnya, lebih

mudah mengalami kelelahan dan kemampuannya lebih rendah menetralkan kondisi asam

disekitar intraselluler. Tetapi, serabut otot tipe II menyebabkan penyimpanan ATP dan PCr

lebih besar dan meningkatkan aktivitas enzim glikolitik, segingga menyebabkan kemampuan

lebih baik pada latihan fisik dengan intensitas tinggi dalam waktu yang singkat.

Persentase tipe serabut membentuk unit fungsional pada setiap unit motor bervariasi

melalui peran sebuah otot pada pergerakan manusia. Sebagai contoh, sebuah otot pada area

abdominal terlibat secara utama mendukung postur yang dibentuk secara utama oleh serabut

tipe I, berperan utama pada pergerakan otot atau pada otot lokomotif, seperti vastus lateralis

(24)

Kraemer et al, 2012). Pada atlit elit lari marathon memiliki 80-90% serabut otot tipe I, hal ini

akan menyebabkan kemampuan berlari sub-2:10.00 maraton. Pad kebutuhan diatas 80% di unit

motornya, persentasi tinggi pada serabut otot tipe II akan metabolik dan secara mekanik tidak

akan efisien sehingga menyebabkan lebih cepat merasa kelelahan, misalnya pada lari jarak

jauh. Sebaliknya, tingkat kekuatan yang tinggi tidak dapat dihasilkan, kecuali seorang atlit

serabut otot tipe II pada unit motor persentasenya lebih tinggi, misalnya persentase ekstrim tipe

II serabut otot (>70%).

Walaupun persentase serabut otot pada laki-laki dan perempuan mirip, area

cross-sectional pada serabut otot pada laki-laki secara khusus lebih besar dibandingkan perempuan.

Serabut otot tipe II paling banyak pada laki-laki dan lebih dominan setelah melakukan program

latihan. Pada perempuan yang tidak terlatih, menariknya, serabut otot tipe I lebih banyak

dibandingkan serabut otot tipe II tetapi setelah latihan yang dikaitkan dengan hasil investigasi

perubahan yang sama pada laki-laki.

2.2.2. ATP-PCr System (Sistem ATP-PCr)

Kontraksi otot yang sangat kuat terjadi dalam waktu yang singkat, jumlah ATP yang

dihasilkan tinggi, isi ulang harus dengan segera. Walaupun ATP dapat diperoleh dari

pemecahan glukosa secara anaerobik (anaerobic glycolysis) dan jalur aerobik (Kreb’s Cycle),

hal ini tidak dapat mengatasi tingginya kebutuhan aksi daya ledak pada latihan fisik. Akibatnya,

ATP disediakan oleh penyimpanan PCr didalam serabut otot itu sendiri melalui sistem

ATP-PCr.

Pada sistem ATP-PCr, ADP dihasilkan selama kontraksi otot yang dapat diubah

kembali menjadi ATP melalui enzim creatine kinase karena menyebabkan reaksi didalam PCr

intramuscular. Proses ini berperan untuk menghasilkan ATP yang akan digunakan selama

latihan fisik sedikitnya 2 sampai 10 detik. Walaupun efektif dalam waktu yang terbatas,

penyimpanan PCr sangat cepat habis selama 10 detik pertama pada latihan fisik maksimal.

Pada otot tertentu, PCr yang disimpan secara total dapat habis dalam waktu kira-kira 4 detik.

Secara umum, PCr yang disimpan didalam otot adalah 50% diisi ulang dari total yang habis

setelah 1 menit istirahat dan penuh selama 5-6 detik saat istirahat. Pada kondisi tersebut

penambahan creatine terlibat pada daya ledak dan enduransi daya ledak meningkat melalui

(25)

2.2.3. Pemeriksaan daya ledak otot (muscular power) a. Standing Broad Jump

Merupakan jenis pemeriksaan daya ledak otot pada tungkai yang mudah dinstruksikan

dan dilakukan. Standing broad jump sering digunakan selain vertical jump untuk mengukur

daya ledak otot tungkai. Subjek melakukan lompatan kedepan sejauh mungkin dengan kedua

kaki melompat dan mendarat secara bersamaan. Jauh lompatan diukur menggunakan pita

pengukur dari garis start sampai ke titik pendaratan tumit. Sama dengan vertical jump,

kemampuan lompatan paling jauh dicatat dan bergantung pada protocol. Nilai jauh lompatan

terbaik dua atau tiga kali dicatat. Hubungan signifikan antara standing broad jump dengan

pemeriksaan daya ledak (r = 0.61) juga dilaporkan sebagai hasil penelitian. Penelitian yang

dilakukan oleh Larson menyatakan standing broad jump dan vertical jump memiliki korelasi

sangat tinggi (r = 0.79) dengan pengukuran daya ledak otot. Pengukuran standing broad jump

dapat dilakukan pada anak perempuan dan anak laki-laki minimal berusia 6 tahun. (Amstrong

dan Mechelen, 2008)

Tabel 2.3 Nilai Normal Standing Broad Jump test berdasarkan usia

Persentil Anak laki-laki Usia (tahun)

(26)

mengekspresikan tingginya output vertical power atau tinggi lompatan berhubungan dengan

berbagai aktivitas olahraga, termasuk kompetisi angkat beban (angkat besi), balap sepeda,

kemampuan berlari. Kemampuan melompat juga menunjukkan perbedaan diantara tingkat

permainan dan kemampuan bermain pada sepakbola Amerika dan sepakbola

Terdapat berbagai macam tes daya ledak,salah satunya adalah vertical jump test..

Vertical jump test dikenal juga dengan nama sarget test. Tes ini dikembangkan oleh Dr.Dudley

Allen Sargent yang bertujuan untuk mengukur daya ledak (power) otot-otot tungkai dengan

menggunakan dinding berskala centimetre (Quinn, 2013). Vertical jump test didukung oleh

peran utama dari otot penggerak tubuh, yaitu kelompok otot quadriceps femoris. Karena itu

peningkatan vertical jump harus bertahap dan diperlukan adaptasi dari otot quadriceps femoris

sebagai penggerak utama.

Dalam meningkatkan kekuatan otot apabila serabut otot banyak, maka kekuatan otot

akan besar sehingga kekuatan otot yang besar akan mendukung terciptanya vertical jump test

yang baik. Loncat tegak (vertical jump) adalah suatu gerakan mengangkat tubuh dari suatu titik

ke titik yang lebih jauh atau lebih tinggi dengan ancang-ancang lari cepat atau lambut dengan

menumpu dua kaki dan mendarat dengan kaki atau anggota tubuh lainnya dengan

keseimbangan yang baik. Loncat adalah suatu menolak tubuh atau melompat ke atas dalam

upaya membawa titik berat badan selama mungkin di udara (melayang di uadara) yang

dilakukan dengan cepat dengan jalan melakukan tolakan pada dua kaki untuk menolak tubuh

setinggi mungkin. Loncat adalah lompat dengan kedua atau keempat kaki secara

bersama-sama. Pada pengukuran yang pertama dan kedua menggunakan vertical jump test. Tes ini

dilakukan sebanyak tiga kali, dan hasil atau pencapaian terbaik akan dimasukkan kedalam data.

Tabel 2.5 Nilai normal Vertical Jump test berdasarkan usia dan jenis kelamin

Usia/ klasifikasi 15-19 tahun

Sumber: the Canadian Physical Activity, Fitness & Approach:CSEP-Health & Fitness program’s Health-Related Appraisal and Counselling Strategy, 3rd Edition © 2003.

Selanjutnya kita dapat memprediksi atau menghitung jumlah peak anaerobic power

(27)

sentimeter (VJcm) dan berat badan dalam satuan kilogram (BWkg). Penghitungan dapat digunakan pada laki-laki maupun perempuan:

PAPw = (60.7 x VJcm) + (45.3 x BWkg) – 2055

Contoh: seorang laki-laki berusia 21 tahun dengan berat badan 78 kg, catatan vertical

jump 43 cm ( tinggi jangkauan saat berdiri = 85 cm; tinggi vertical jump = 228), maka prediksi

peak anaerobic dalam satuan watt :

PAPw = (60.7 x VJcm) + (45.3 x BWkg) – 2055 = (60.7 x 43 cm) + (45.3 x 78 kg)

= 4088.5 W

Selanjutnya hasil perhitungan bandingkan dengan tabel normal peak anaerobic power

berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Tabel 2.6 Nilai normal peak anaerobic power output berdasarkan usia dan jenis kelamin

Usia/ klasifikasi 15-19 tahun

M F

Sangat baik ≥4,644 W ≥γ,167 W

Baik 4,185-4,643 W 2,795-3,166 W

Cukup 3,858-4,643 W 2,399-2,794 W

Kurang 3,323-3,857 W 2,156-2,398 W

Sangat Kurang ≤γ,γββ W ≤β,155 W

Sumber: the Canadian Physical Activity, Fitness & Approach:CSEP-Health & Fitness program’s Health-Related Appraisal and Counselling Strategy, 3rd Edition © 2003.

2.3. GEN PEROXISOME PROLIFERATOR-ACTIVATOR RECEPTOR ALPHA (PPARα)

Metabolisme nutrient dan homeostasis energi diatur oleh endokrin, parakrin dan signal

autokrin yang mengontrol ekspresi dan aktivitas enzim metabolik dan mentransport protein

melalui mekanisme transkripsional dan posttranskripsional. Mediator lipid mempunyai peran

penting pada pengontrolan metabolik. PPARs (NR1Cs/ Nuclear Receptor subfamily 1, group

C, members) merupakan sebuah kelas ligand-activated transcription factor, berperan sebagai

pengatur transkripsional metabolisme lipid dan karbohidrat. Lipid jenuh dan lipid tidak jenuh

dan derivative eicosanoid nya merupakan aktivator alami pada subkelas nuclear receptors

tersebut. Peningkatan peran PPARs pada pengaturan metabolik disebabkan oleh adanya fibrate

(28)

(NR1C1) dan PPAR (NR1Cγ), PPARδ atau yang lebih dikenal PPAR yang merupakan

isotipe PPAR (Lefebvre et al, 2006).

PRARs merupakan nuclear reseptor pengaturan asam lemak membentuk pasangan

heterodimer dengan RXRs (retinoid X recerptors) dan berikatan dengan peroxisome

prolifetaror regulatory elements (PPREs) pada promotor yang memberi respon pada gen.

semua sub tipe PPAR (⍺, /δ, 1 dan 2) mengikat asam lemak (Xu et al, 1999; Jump; et al, 2006); ikatan asam lemak menstimulasi rekrutmen coactivator dan transkripsi gen. PPARs

merupakan sensor lipid intraseluler, level intraseluler non-esterified fatty acid (NEFA) pada

hepatosit tikus sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil penelitian menyatakan bagaimana asam

lemak mengontol fungsi PPAR⍺. Pertama, level NEFA intraseluler dipertahankan pada level sangat rendah dengan hasil <0.1% dari total lipid didalam sel. Kedua, perubahan pada sel

terkait asam lemak, menyebabkan perubahan signifikan pada NEFA intraseluler dan

menunjukkan respon yang kuat pada target gen PPAR⍺, seperti cytochrome P450-4A (CYP4A) dan cytosolic thioesterase (CTE-1). Ketiga, dampak asam lemak pada signalling PPAR⍺adalah

cepat, tetapi bersifat sementara. Pada dasarnya asam lemak merubah target gen PPAR⍺secara parallel merubah NEFA intraseluler. Seperti pada konsep penelitian bahwa PPARs memonitor

komposisi NEFA intraseluler dan berespon secara sesuai dengan jalur metabolic yang

dirangsang untuk meminimalkan kerusakan akibat NEFA intraseluler yang berlebihan (Pawar

et al, 2003; Jump et al, 2006).

PPARα sebagian besar diekspresikan di hati, tetapi juga ditemukan pada myocite jantung, proximal tubular sel epitel ginjal, otot skeletal, epitel usus besar, endothelium dan sel

otot polos dan juga pada sel kekebalan termasuk makrofag, limfosit dan granulosit (Kliewer et

al.,1994; Varga et al., β011). PPARα merupakan kunci pengaturan peroksisome dan -oksidasi

mitokondria asam lemak, sintesis badan-badan keton dan metabolisme sistemik lipid. Oksidasi

lipid secara utama terjadi didalam hati dan untuk mencegah steatopsis (penumpukan lemah di

hati). Selama pasokan asam lemak, merangsang transkripsi PPARα untuk mengatur gen dan

sistem oksidasi (sistem oksidasi microsomal omega dan beta oksidasi mitokondrial dan beta

oksidasi peroksisomal) diaktivasi. Aktivasi dan peningkatan sensitivitas didalam hati

menyebabkan peningkatan pembakaran energi dan menurunkan penyimpanan lemak. Fungsi

PPARα sebagai sonsoring lipd dan mengontrol pembarakan energi. Juga memiliki peran dalam pathogenesis fatty liver disease (FLD) dan ligan pada reseptor mungkin efektif didalam

(29)

PPARα dapat diaktivasi oleh ligand secara natural ataupun sintetik, seperti Polyunsaturated Fatty Acid, eicosanoid dan obat-obatan hipolipidemik (fibrates) dan mengatur

transkripsi DNA dengan cara berikatan dengan sekuensi nukleotida yang spesifik berlokasi

pada region pengaturan pada target gen, seperti; peroxisome proliferator responsive elements

(PPRES). Ikatan Ligand dengan DNA membutuhkan heterodimer, yaitu PPARα dan Retinoic

X receptor ⍺ yang berinteraksi dengan PPRE yaitu konsensus sekuensi (AGGTCA N AGGTCA) terdiri dari 2 pengulangan dipisahkan oleh 1 nukleotida. Ketika ligand berikatan

dengan PPARα, terjadi perubahan bentuk pada PPARα-retinoic X receptors sehingga mengaktivasi kompleks transkripsional untuk berpasangan dengan protein coactivator, salah

satunya secara sekuensi atau menjadi pasangan modul subkomplek. Selanjutnya kompleks

coactivatoracetylate (steroid receptors coactivators,p300) meremodeling kromatin nukleosom

dan komponen mediator PPARα untuk memfasilitasi perekrutan pada bagian transkripsi basal dengan RNA polymerase II untuk transkripsi pada target gen spesifik (Contreas, et al.,2012).

Gambar β.10 Peran PPARα Hepatik pada PUFA

2.3.1. Struktur dan fungsi PPARα

Struktur 3 dimensi PPARs terdiri dari DNA binding domain pada N-terminus dan

sebuah ligand binding domain (LBD) pada C-terminus. Setelah interaksi dengan agonis,

PPARs ditranslokasikan ke nucleus dan heterodimerisasi dengan nuclear receptor lain, yaitu

retinoid X receptor (RXR). RXR membentuk sebuah heterodimer dengan sejumlah reseptor

lain (misalnya; vitamin D atau hormone tiroid). Area spesifik DNA sebagai target area yang

telah berikatan dengan PPARs disebut Peroxisome proliferator hormone response elements

(PPREs). PPREs ditemukan pada promotor gen respon PPAR, seperti fatty acid-binding

protein (aP2). Pada sebagian besar kasus, proses ini mengaktivasi transkripsi pada berbagai

(30)

Fungsi PPARs dimodifikasi oleh sejumlah coactivator dan core processor, dengan

cara menstimulasi atau menghambat fungsi reseptor, atau sebaliknya. Ligand mengaktivasi

PPAR -RXR, sehingga menyebabkan pertukaran co-repressor menjadi co-activator. Pada sel manusia terdapat berbagai cofactor bergantung kepada jenis sel dan hubungan cofactor secara

khusus dengan gen lainnya. Peroxisome proliferator-activated receptor dibagi menjadi 3

isoform; PPARα, PPAR /δ dan PPAR . Setiap isoform berbeda pendistribusiannya, spesifikasi

litgand dan peran fisiologisnya. Setiap isoform berfungsi untuk mengaktivasi atau menghambat

gen yang berbeda. Semua isoform berperan pada homeostasis lipid dan pengaturan glukosa

(keseimbangan energi) dan kerjanya secara terbatas pada jenis jaringan tertentu.

Gambar β.11 target gen PPARα dan mekanisme transkripsi

PPARα secara mayoritas diekspresikan pada jaringan dengan metabolik aktif, seperti

hati, jantung, otot skeletal, mukosa intestinal dan jaringan adiposa cokelat. Reseptor ini

(31)

2.3.2. Aktivasi transkripsional oleh PPARα

Pengaturan transkripsional pada gen metabolik pada otot dimulai dengan signal

ekstriksik dari jaringan, seperti; peptida, hormone steroid dan katekolamin dan juga signal

intriksik dari jaringan, seperti; peregangan mekanik, kalsium intraselluler dan ketersediaan

nutrien. Myocyte enhancer factor 2 (MEFC2) merupakan mediator awal berbagai signal dan

berperan penting pada metabolisme otot melalui perangsangan aktivitas transkripsi pada dua

pengatur metabolik; peroxisome proliferator-activated receptor alpha (PPARα) dan

peroxisome proliferator-activated receptor gamma coactivator 1 alpha (PGC1α) (Czubryt et al,

2003; Baskin et al, 2015).

Selama latihan fisik, berbagai jalur signalling diaktifkan sehingga menyebabkan

perubahan transkripsional pada otot. Sebagai contoh, peningkatan kalsium intraselluler

mengaktivasi calcium/calmodulin-dependent protein kinase II (CaMKII), peregangan mekanik

mengaktivasi mitogen-activated protein (MAP) dan c-Jun N-terminal kinase dan perubahan

rasio NAD/NADH dan AMP/ATP mengaktivasi sirtuin dan AMP-activated protein kinase

(AMPK) (Egan dan Zierath, 2013; Baskin et al, 2015). Sehingga aktivitas transkripsional

PPARα dan PGC1α meningkat, menstimulasi biogenesis mitokondrial dan oksidasi asam lemak meningkat. Pengaturan transkripsional pada gen metabolic merupakan hal penting

terhadap otot lurik terkait dengan perubahan fisiologis dan secara utama diatur oleh Nuclear

Receptors (NRs). Proses transaktivasi Nuclear Receptors (NRs) melalui 5 langkah utama;

ikatan dengan ligand; ikatan yang stabil ligand NRs dengan DNA; pelepasan coreprosesor dan

pengikatan coactivator; aktivasi transkripsi; dan disosiasi transkripsional kompleks; disertai

dengan salah satunya shut-down atau reinisiasi transkripsi. Penelitian secara kristalografi

menyatakan bahwa ikatan ligand dengan PPARα menyebabkan stabilisasi global pada bentuk

reseptor (Xu et al, 2002), tanpa pengaturan kembali struktural, tidak seperti reseptor LBD

prototipe Retinoic acid mengalami transisi struktural utama pada ikatan.

(32)

Hal ini menyebabkan kestabilan ligand PPARα dikenal sebagai struktur yang dapat

digunakan protein-protein berinteraksi dengan coaktivator (agonist-bound PPARα) atau

coreprosessor (antagonist-bound PPARα) (Xu et al, 2002). Situasi ini umum terjadi pada

PPARα, PPAR dan PPARδ. Selanjutnya kompleks coactivator dan coreprossessor berfungsi

sebagai enzimatik (misalnya; acetylase, deacetylase, methylase, demethylase dan

kinase)dengan target kromatin, komponen pada dasar tempat transkripsional dan coactivator

dan coreprosessor lainnya. Pelepasan coaktivator dan coreprosessor menyebabkan pembukaan

kromatin dan preinisiasi kompleks pasangan pada promotor.

DNA-binding domain (DBD) menyebabkan PPARα dapat berikatan dengan PPAR

response element (PPREs) pada promotor target gen sebagai heterodimer dengan isotipe (Wan

et al, 2003; Lefebvre et al, 2006 Retinoid E receptors (RXR). PPERs secara khusus di atur

langsung secara berulang pada sekuensi inti nya AGGTCA yang dipisahkan oleh 1 atau 2

nukleotida (DR1 dan DR2), diapit kebagian awal oleh sekuensi A/T yang banyak. Ketika

geometri PPERs dipastikan untuk heterodimer PPAR/RXR, DR1 dan DR2, PPERs juga

dikenali oleh heterodimers PPERs, sehingga mendukung cross-talk dengan RARs dan RXrs

yang dapat mempengaruhi pengontrolan metabolik. C-terminus pada PPARα, dimana struktur

3D telah di uraikan, yang terdiri dari ligand-regulated E domain atau AF-2 atau ligand-binding

domain (LBD), sebagai tempat utama T-shaped ligand-binding pocket untuk sintesis ligand

(Cronet et al, 2001; Ijpenberg et al, 2004; Lefebvre et al, 2006).

(33)

2.3.3. Polimorfisme gen PPARα

PPAR⍺ berlokasi pada kromosom 22q13.3 dan terdiri dari delapan ekson. Single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut menunjukkan hubungan dengan

dislipidemia, resistensi insulin, diabetesdan cardiovascular disease (Yong et al,2008; Chen et

al, β010). L16βV polymorphisms (rs1800β06) menunjukkan substitusi “C” menjadi “G”

menyebabkan asam amino leucine menjadi valine, pertukaran pada kodon 162 (Flavel et al,

2000; Sapone et al, 2000; Chen et al, 2010). Polimorfisme gen ini juga berhubungan dengan

variasi pada konsentrasi plasma total kolesterol, LDL, HDL, TG, APOB dan APOA1, tetapi

hubungannya masih kontroversi (Yong et al,2008; Chen et al, 2010). Polimorfisme intron 7

G>C polymorphisms menyebabkan substitusi “G” menjadi “C” pada intron 7 (rs4β5γ778).

Hubungan antara SNP ini dengan rendahnya nilai TG diobservasi pada pasien diabetik.

Sebaliknya, alel “C” pada intron 7 G>C berhubungan dengan progress aterosklerosis (Flavel et al, 2002; Chen et al, 2010) dan perkembangan ventrikel kiri akibat olahraga (exercise)

(Jamshidi et al, 2002; Chen et al, 2010).

Gen PPAR⍺sangat penting dalam metabolisme glukosa dan lipid (Roth et al, 2007; Baar et al, 2004; Liang et al, 2006; Russel et al, β00γ; Ginevičinė et al, 2010) dan sering

diekspresikan didalam serabut otot tipe I (slow-twich) dibandingkan dengan serabut otot tipe

II (fast-twich) (Ahmetov II et al, 2009; Russel et al, 2003; Ahmetov II et al, β006; Ginevičinė

et al, 2010). PPAR⍺ alel G diasumsikan sebagai alel enduransi dan alel C sebagai alel kecepatan (speed)/ tenaga (power) (Bray et al, 2009; Ahmetov II et al, 2009; Ahmetov II et al,

β006; Ginevičinė et al, 2010). Hasil penelitian menyatakan bahwa PPAR⍺ alel C lebih banyak ditemukan kelompok atlit dibandingkan pada populasi umum Lituania. PPAR⍺ genotip GG

lebih banyak ditemukan pada atlitenduransi dan tim olahraga dibandingkan pada kecepatan/

tenaga dan olahraga campuran. Pria dengan kategori olahraga yang mengutamakan kecepatan/

tenaga memiliki nilai single muscular contraction power (SMCP) dan anaerobic alactic

muscular power (AAMP) yang tinggi sehingga mendukung alel C menentukan kecepatan dan

tenaga (Ginevičinė et al, 2010).

Beberapa hasil penelitian juga menyatakan dampak PPAR⍺pada kemampuan atletik. Ahmetov et al menyatakan bahwa alel G secara signifikan lebih tinggi pada atlit Rusia yang

berorientasi pada enduransi (80.3%) dibandingkan dengan atlit yang berorientasi pada power

(50.6%) karena alel C memberikan manfaat terhadap aktivitas tipe power tenaga (power).

Ahmetov juga menyatakan homozigot GG secara signifikan persentasenya lebih tinggi pada

(34)

polimorfisme PPAR⍺ intron 7 G/C berhubungan dengan kemampuan fisik atlit Rusia dan

hubungan antara genotip PPAR⍺ dengan komposisi serabut otot. Hasil penelitian lainnya menyatakan secara signifikan ditemukan alel G lebih dominan pada pemain sepakbola Italia

(80% dibandingkan dengan 70% pada subjek control) (Proia et al, 2014). Polimorfisme PPAR⍺ alel G berhubungan dengan peningkatan oksidasi asam lemak pada otot skeletal dan

peningkatan proporsi serabut otot tipe I (slow twich) (Ahmetov II et al, 2006), karena serabut

otot tersebut lebih efisien menggunakan oksigen selama berlangsung kontraksi (Lopez-Leon et

al, 2016).

Hasil observasi penelitian menyatakan alel C pada polimorfisme PPAR⍺intron 7

G/C berhubungan dengan penurunan transkripsi mRNA PPAR⍺sehingga kadar PPAR⍺lebih rendah yang berdampak pada aktivasi transkripsional PPAR⍺ pada target gen dan

menyebabkan penurunan oksidasi asam lemak. Mekanisme proses ini masih kurang jelas

diketahui. Beberapa peneliti mengasumsikan bahwa alel C intron 7 mungkin dihubungkan

dengan ketidakseimbangan varian yang belum diketahui pada area pengaturan pada gen

PPAR⍺ yang merubah kadar protein PPAR⍺dan dampaknya adalah perubahan pada proses

transkripsional pada target gen PPAR⍺ (Ahmetov II et al, 2006; Maciejewska-Karlowska, 2013), yaitu penurunan oksidasi asam lemak dan tingkat metabolisme oksidasi pada otot

skeletal. Hasil temuan Ahmetov II et al mengasumsikan variasi pada intron 7 gen PPAR⍺ dihubungkan dengan fenotip performa. Hasil temuan, yaitu; homozigot GG lebih dominan

ditemukan pada kelompok atlit yang berorientasi pada enduransi dan hasil observasi alel C

lebih dominan ditemukan pada kelompok kemampuan fisik aerobic. Hasil penelitian tersebut

mungkin menjelaskan hubungan antara genotip PPAR⍺ dengan komposisi serabut otot. Atlit yang berorientasi pada tenaga (power) dikarakteristikkan dengan frekuensi alel C yang lebih

besar, yaitu otot skeletal cenderung hipertrofi dan merubah substrat energy menyebabkan

penurunan oksidasi asam lemak sebagai respon terhadap latihan fisik anaerobic. Secara jelas,

frekuensi genotip pada atlit enduransi mungkin dihubungkan dengan peningkatan oksidasi

asam lemak didalam otot skeletal dna peningkatan proporsi serabut otot tipe I (slow-twich)

pada individu dengan genotip GG.

Hasil tim penelitian pada polimorfisme intron 7 G/C gen PPAR⍺pada atlit Polandia menyatakan distribusi genotip GG dan alel G lebih tinggi pada kelompok atlit dayung

dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak terlatih. Hal ini didasarkan pada penelitian

sebelumnya terkait intron 7 alel G berhubungan dengan kemampuan enduransi, sehingga

(35)

level normal protein PPAR⍺ sebagai komponen penting terhadap respon adaptasi terhadap latihan enduransi. Kemungkinan pada subjek sehat, ketika plasma lipid dalam rentang normal,

aktivitas PPAR⍺tidak sebagai factor penghambat dan selanjutnya (seperti, variasi pada intron 7 G/C) yang diasumsikan menyebabkan perubahan fungsi yang sedikit, tetapi tidak

menunjukkan pengaruh. Tetapi pada atlit enduransi yang melakukan latihan jangka lama,

plasma lipid sering menjadi melebihi normal yaitu merangsang cadangan lemak yang akan

mengaktivasi PPAR⍺, meningkatkan fungsi yang berbeda yang menjelaskan relevansi alel G

pada intron 7 pada atlit enduransi (Maciejewska-Karlowska, 2013).

2.4. Asas Hardy-Weinberg Equilibrium

Asas Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan frekuensi genotipe dalam

suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam kesetimbangan dari satu generasi ke

generasi lainnya kecuali apabila terdapat pengaruh-pengaruh tertentu yang mengganggu

kesetimbangan tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut meliputi perkawinan tak acak, mutasi,

seleksi, ukuran populasi terbatas, hanyutan genetik, dan aliran gen. Kesetimbangan genetik

adalah suatu keadaan ideal yang dapat dijadikan sebagai garis dasar untuk mengukur perubahan

genetik. Frekuensi alel yang statis dalam suatu populasi dari generasi ke generasi

mengasumsikan adanya perkawinan acak, tidak adanya mutasi, tidak adanya migrasi ataupun

emigrasi, populasi yang besarnya tak terhingga, dan ketiadaan tekanan seleksi terhadap

Gambar

Gambar 2.1 Metabolisme Seluler
Gambar 2.2 Sistem ATP-PCr
Gambar 2.3 Produksi energi pada proses Glikolisis
Gambar 2.4 Produksi energi pada sistem metabolik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alasan kenapa suatu perusahaan melakukan penyusutan terhadap aktiva tetapnya yaitu karena suatu aktiva tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dengan tujuan untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEUANGAN.. PROSEDUR PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN KREDIT USAHA KECIL

Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga pada kesempatan kali ini penulis

Dengan adanya prosedur pemberian kredit yang efisien dan efektif diharapkan dapat terpenuhinya kebutuhan dana yang diperlukan baik oleh perusahaan, pedagang dan masyarakat.Dari

Tugas tidak akan diterima jika dikumpulkan setelah periode Ujian Akhir dimulai , kecuali anda mendapatkan persetujuan dari Koordinator Mata Kuliah. Persetujuan tersebut hanya

• Maka menu merupakan alat komunikasi antara restauran tersebut dengan tamu atau pelanggan, biasanya dengan tertulis pada papan, kertas, atau media laina. • Daftar makanan,

[r]

Kalimat yang terdiri dari beberapa baris dibuat dalam bentuk paragraf. (awal alinea menjorok ke dalam kira-kira 6