BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Kesehatan
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan
manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing.
Perilaku manusia meupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap
dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini
bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif
(melakukan tindakan). Sesuai dengan batasannya perilaku kesehatan dapat
dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, sikap tentang
kesehatannya serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan.
Menurut L.W. Green, faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor
perilaku dan non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factor), adalah faktor yang
terwujud dalam kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan juga variasi
11
2. Faktor- faktor pemungkin (Enabling factors), adalah faktor pendukung
yang terwujud dalam lingkungan fisik, yang termasuk di dalamnya adalah
berbagai macam sarana dan prasarana, misal : dana, transportasi, fasilitas,
kebijakan pemerintah dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang
meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap
dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini
undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah
daerah yang terkait dengan kesehatan.
Perilaku dapat dibatasi sebagian jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan
sebagainya) (Notoatmodjo, 1999). Untuk memberikan respon terhadap situasi
diluar objek tersebut. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan).
Bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan
rangsangan.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan
atau rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan
mencetak perilaku manusia yang hidup didalamnya, sesuai dengan sifat
keadaan alam tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial
budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap
pembentukan perilaku manusia. Lingkungan ini adalah merupakan
keadaan masyarakat dan segala budi daya masyarakat itu lahir dan
12
2.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior)
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan: 1) Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yag spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang diterima; 2) Memahami (comprehension), memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikannya materi tersebut secara benar; 3)
Aplikasi (application), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya; 4) Analisis
(analysis), analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain; 5) Sintesis (synthesis), sintesis
menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru; dan 6) Evaluasi
(evaluation), evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
13
2.1.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Notoatmodjo (2012), sikap terdiri
dari berbagai tingkatan, yaitu :
1. Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek);
2. Merespon (responding),memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi dari sikap;
3. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap ketiga;
4. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Menurut Sarwono (1998), sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak
terhadap hal-hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat
negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,
mengharapkan obyek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat
kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek
tertentu. Menurut Sarwono (1998), sikap terdiri atas tiga komponen yang saling
menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dam komponen konatif.
1. Komponen kognitif
Komponen kognitif berupa apa yang dipercayai oleh subjek pemilik
14
telah kita ketahui. Berdasarkan apa yang telah kita lihat itu kemudian
terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum
suatu objek. Sekali kepercayaan itu terbentuk, maka ia akan menjadi dasar
pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan dan apa yang tidak
diharapkannya dari objek tertentu. Pengalaman pribadi, apa yang
diceritakan orang lain, dan kebutuhan emosional kita sendiri merupakan
determinan utama dalam terbentuknya kepercayaan.
2. Komponen afektif
Komponen afektif merupakan komponen perasaan yang menyangkut
aspek emosional. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan
yang dimiliki terhadap sesuatu. Reaksi emosional ditentukan oleh
kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar bagi objek.
3. Komponen konatif
Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku
tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subjek. Kepercayaan dan
perasaan memengaruhi perilaku. Maksudnya, bagaimana orang akan
berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan
banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap
stimulus tersebut.
Kecenderungan berperilaku secara konsisten selaras dengan
kepercayaan dan perasaan ini akan membentuk sikap individual.
Kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa komponen konatif
15
saja, akan tetapi meliputi bentuk-bentuk perilaku yang berupa pernyataan
atau perkataan yang diucapkan seseorang.
Metode pengukuran sikap yang dianggap dapat diandalkan dan dapat
memberikan penafsiran terhadap sikap manusia terhadap sikap manusia
adalah pengukuran melalui skala sikap (attitude scala). Suatu skala sikap
tidak lain daripada kumpulan pernyataan-pernyataan sikap. Pernyataan sikap
adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap
yang diukur. Suatu pernyataan sikap dapat berisi hal-hal positif mengenai
objek sikap, yaitu berisi pernyataan yang mendukung atau yang memihak
pada objek sikap. Pernyataan ini disebut pernyataan yang favorable.
Sebaliknyasuatu pernyataan sikap dapat pula berisi hal-hal negatif mengenai
objek sikap. Hal negatif dalam peenyataan sikap ini sifatnya tidak memihak
atau tidak mendukung terhadap objek sikap dan karenanya disebut dengan
pernyataan yang unfavorable (Notoatmodjo, 2012).
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk melihat dan mengukur
sikap seseorang, yaitu (Notoatmodjo, 2012) :
a. Metode Wawancara Langsung
Metode wawancara langsung untuk mengetahui bagaimana perasaan
seseorang terhadap objek psikologis yang dipilihnya, maka prosedur yang
termudah adalah dengan menanyakan secara langsung pada orang tersebut.
b. Observasi Langsung
Pendekatan observasi langsung adalah dengan mengobservasi secara
16
Pendekatan ini terbatas penggunannya, karena tergantung individu
yang diobservasi. Dengan kata lain, bertambahnya faktor yang
diobservasi, maka maki sukar dan makin kurang objektif terhadap
tingkah laku yang dilakukan.
c. Pernyataan Skala
Skala yang digunakan dalam mengukur sikap ini dapat membuktikan
pencapaian suatu ketetapan derajat efek yang diasosiasikan dengan
objek psikologis. Oleh karena itu, skala ini dikombinasikan dan atau
dikonstruksikan, yang akhirnya menghasilkan sejumlah butir yang
distandarsiasikan dalam tes psikologis. Butir-butir yang membentuk
skala sikap ini disebut “statement” yang dapat didefenisikan sebagai
pernyataan yang menyangkut objek psikologi. Skala sikap bertujuan
untuk menentukan perasaan seseorang. Salah satu cara untuk
mengukur sikap adalah dengan menggunakan metode skala Likert.
2.2 Guru
2.2.1 Pengertian
Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu
pendidikan. Hal ini memang wajar, sebab guru merupakan ujung tombak yang
berhubungan langsung dengan siswa sebagi subjek dan objek belajar.
Bagaimanapun bagus dan idealnya kurikulum pendidikan dan bagaimana kuatnya
antusias peserta didik, tanpa diimbangi dengan kemampuan guru, maka semuanya
17
Menurut Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 Guru adalah pendidik
professional dengan tugasutama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Tugas- tugas professional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi
ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis belum diketahui anak
dan seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu
anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan
sebaiknya-baiknya. Tugas- tugas manusiawi itu adalah transformasi diri,identifikasi
diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri (Tim Pembina UKS Pusat,2007)
WF Connell, 1972 (dalam Tim UKS Pusat, 2007) membedakan tujuh
peran seorang guru yang dapat dijalankan setiap hati, yaitu :
1. Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang
berkaitan dengan tugas-tugas member bantuan dan dorongan (supporter),
tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas
yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh
terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan
masyarkat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih
lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan
orang dewasa lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan
dan keterampilan dasar, persiapan untuk perkawinan dan hidup
18
spritiual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut sebagai pendidik dan
pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggungjawab pendisiplinan anak
harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkah laku anak tidak
menyimpang dengan norma-norma yang ada.
2. Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak
mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya.
Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau
tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma- norma yang dianut oleh
masyarakat, bangsa dan Negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan
bangsa Indonesia adalah pancasila, maka tingkah laku pendidik harus
selalu diresapi oleh nilai-nilai pancasila.
3. Peran guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman
belajar.setiap guru harus memberi pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman lain diluar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan
kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi, spiritual
dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial tingkah laku social anak. Kurikulum harus berisi
hal-hal tersebut diatas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan
nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan
dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan
untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
4. Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu
19
keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan
keterampilan yang dikuasainya tidak hanya terbatas pada pengetahuan
yang berkaitan dengan pengembangan tugas professional, tetapi juga tugas
kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
5. Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru
diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam
mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui
pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan incidental.
6. Peran guru sebagai komunikator pengembangan masyarakat. Seorang guru
diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan disegala bidang yang
sedang dilakukan. Guru dapat mengembangkan kemampuannya pada
bidang-bidang yang dikuasainya.
7. Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik
dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan
dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara
administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar
mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang
dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan
sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa telah melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
20
2.3 Perilaku Seksual
Menurut Sarwono (2005), perilaku seksual adalah segala tingkah laku
yang didorong oleh hasrat seksual, baik dari lawan jenisnya maupun dengan
sesama jenisnya. Seperti yang kita ketahui umumnya remaja laki-laki lebih
mendominasi dalam melakukan tindak perilaku seksual bila dibandingkan
dengan remaja perempuan. Hal ini di karenakan banyaknya faktor yang
membuat remaja laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksualitasnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa Negara maju
menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan hubungan
seksual pada usia lebih muda bila dibandingkan dengan remaja perempuan.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yang
terjadi pada remaja, antara lain :
1. Faktor Internal
a. Tingkat perkembangan seksual (fisik/psikologis)
Dimana perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan
perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia
4-6 tahun berbeda dengan anak 13 tahun.
b. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi
Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional
tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku
serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan
21
c. Motivasi
Perilaku yang pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau
termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku seksual
seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan,
mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk
memperoleh uang misalnya pekerja seks seksual (PSK).
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan
remaja dapat memperkuat munculnya perilaku menyimpang pada remaja.
b. Pergaulan
Pada masa pubertas, perilaku seksual pada remaja sangat
dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya dimana pengaruh dari
teman sebaya sebagai pemicu terbesar dibandingkan orangtuanya atau
anggota keluarga lainnya.
c. Media massa
Kemajuan teknologi mengakibatkan maraknya timbul berbagai macam
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan yang
paling dicari olehremaja adalah internet. Dari internet, remaja dapat
dengan mudah mengakses informasi yang tidak dibatasi umur,
tempat dan waktu. Informasi yang diperoleh biasanya akan
diterapkan dalam kehidupan kesehariannya. Banyaknya perilaku
22
kegiatan yang tujuannya hanya untuk mendapatkan kesenangan
organ seksual melalui berbagai perilaku.Hal ini sejalan dengan
pendapat Wahyudi (2004), beberapa perilaku seksual secara rinci
dapat berupa:
a. Berfantasi merupakan perilaku membayangkan dan
mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk
menimbulkan perasaan erotisme.
b. Pegangan tangan dimana perilaku ini tidak terlalu
menimbulkan rangsangan seksual yang begitu kuat namun
biasanya muncul keinginan untuk mencoba perilaku lain.
c. Cium kering berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan
bibir
d. Cium basah berupa sentuhan bibir ke bibir
e. Meraba merupakan kegiatan pada bagian-bagian sensitive
rangsang seksualseperti leher, dada, paha, alat kelamin dan lain-lain.
f. Berpelukan perilaku ini hanya menimbulkan perasaan tenang,
aman, nyaman disertai rangsangan seksual (apabila mengenai
daerah sensitif)
g. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) merupakan perilaku
merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual
dan dilakukan sendiri.
h. Oral seks merupakan perilaku seksual dengan cara memasukkan
23
i. Petting merupakan seluruh perilaku yang non intercourse (hanya
sebatas pada menggesekkan alat kelamin).
j. Intercourse (senggama) merupakan aktivitas seksual dengan
memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.
2.4 Remaja
2.4.1 Pengertian Remaja
Menurut Gordon dan Chown (2008) masa remaja merupakan masa
peralihan dari kanak-kanak kedewasa dan merupakan waktu terjadinya
perkembangan yang cepat, termasuk berkembang menuju kedewasaan seksual,
menemukan diri sendiri, mendefinisikan nilai pribadi dan menemukan fungsi
social. Pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia
akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun.
Menurut WHO, remaja adalah mereka yang berusia 10-19 tahun.
Sementara PBB menyebut anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini
kemudian disatukan dalam terminology kaum muda (young people) yang
mencakup usia 10-24 tahun (Killbourne, et.al, 2000).
Pada masa remaja seorang individu akan mengalami situasi pubertas
dimana terjadi perubahan yang mencolok secara fisik maupun emosional/
psikologis. Secara psikologis, masa remaja merupakan masa persiapan terakhir
dan menentukan untuk memasuki tahapan perkembangan kepribadian selanjutnya,
yaitu menjadi dewasa. Kematangan biologis remaja perempuan pedesaan biasanya
24
risiko kehamilan dan persalinan, sementara kematangan biologis remaja laki-laki
dan perempuan di perkotaan dibayang bayangi kemungkinan lebih dini usia
pertama aktif seksual, kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, infeksi
saluran reproduksi termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS), dan akibat
kecacatan yang dialami, sehingga pada saat ini sangat diperlukan partisipasi guru
untuk mencegah hal ini (Gordon dan Chown, 2008)
2.4.2 Ciri-ciri Remaja
Masa remaja mempunyai cirri tertentu yang membedakan dengan periode
sebelumnya, Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1992), antara lain :
1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan
yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada
individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan
selanjutnya.
2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa
kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status
remaja tidak jelas, keadaan ini member waktu padanya untuk mencoba
gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat
yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi
perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri),
25
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa
usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat.
5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan
demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik.
6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistic. Remaja cenderung
memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat
dirinya sendirian orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan
sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
7. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau
kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya
dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa,
yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan
dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini
akan memberikan citra.
Menurut Gordon dan Chown (2008) ada beberapa hal mengenai perubahan
yang terjadi pada masa remaja, antara lain :
1. Perubahan Fisiologis Remaja
Masa remaja diawali dengan masa puberitas, yaitu masa terjadinya
perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk tubuh
dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual).
2. Perubahan Psikologis Remaja
Perubahan psikologis ini berkaitan dengan kejiwaan remaja yaitu
26
mengembangkan cara berfikir abstrak dan suka memberikan kritikan, ingin
mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku untuk mencoba-coba,
dan menstruasi.
Dan dapat disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada
diri remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat
menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab.
2.4.3 Klasifikasi Remaja
Sarwono (2000) mengatakan ada tiga tahap perkembangan remaja yaitu
remaja awal (usia 11-14 tahun) sedangkan pertengahan (usia 15-17 tahun) dan
remaja akhir (usia 18-20 tahun). Menurut Sarwono (2000) ada tiga tahap
perkembangan remaja dalam rangka penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu
remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir.
Remaja Awal (Early Adolescence) yaitu remaja yang berusia berkisar
11-13 tahun, dimana pada masa adalah masa yang paling penting untuk mengetahui
pendidikan seks, karena masa ini remaja cepat tertarik dengan lawan jenis dan
mudah teransang secara erotis. Oleh karena itu, anak remaja penting untuk
mengetahui pendidikan seks sejak dini (Soetjiningsih, 2004)
Remaja Madya (Middle Adolescence) yaitu remaja yang berusia berkisar
14-16 tahun, masa ini adalah masa mengenal diri sendiri, menjauhkan diri dari
keluarga dan lebih senang bergaul dengan teman-temannya. Remaja mungkin
27
secara serius dapat menimbulkan kesenjangan dalam komunikasi dan hilangnya
rasa percaya terhadap orang lain. Pada masa ini remaja memerlukan informasi
tentang penularan penyakit menular seksual (Soetjiningsih, 2004)
Remaja akhir (Late Adolescence) yaitu remaja yang berusia berkisar 17-20
tahun. Masa yang sudah lebih terkontrol oleh karena masa ini merupakan masa
menuju periode dewasa. Pada masa ini remaja mengenal dirinya sendiri, tahu apa
yang menjadi minatnya, mau bersosialisasi dengan oran lain, tidak terlalu egois
terhadap keinginannya sendiri, dan dapat membedakan anatar ahal yang pribadi
dengan hal yang umum (Soetjiningsih, 2004).
2.4.4 Tugas dan Perkembangan Seks Remaja
Tugas-tugas perkembangan masa remaja merupakan suatu peralihan dari
mas kanak-kanak menuju dewasa. Adapun cirri-ciri dari masa remaja antara lain
pertumbuhan fisik yang cepat, emosi yang tidak stabil, perkembangan seksual
sangat menonjol, cara berpikir kausalitas (hokum sebab akibat) dan terikat pada
kelompoknya (Kriswandaru, 2003).
Adapun tugas perkembangan yang harus dilalui para remaja, antara lain
mampu menerima keadaan fisiknya, mencapai kemandirian secara emosi,
memperluas hubungan dengan tingkah laku sosial yang lebih dewasa, mengetahui
serta menerima kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki, membentuk nilai
28
2.4.5 Perilaku Seksual Remaja
Ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai perilaku
seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan aspek
social, emosional, maupun kesehatan (Turner & Feldman, 1995). Alasan yang
melandasi perilaku remaja adalah berkaitan dengan upaya-upaya untuk
pembuktian perkembangan identitas diri, belajar menyelami anatomi lawan jenis,
menyenangkan pasangan dan mengatasi rasa kesepian (Soetjiningsih, 2004). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemahaman remaja mengenai dampak
personal dan interpersonal dari perilaku seksual yang dilakukan tidak menjadi
bahan pertimbangan.
2.4.6 Tempat Remaja Berdiskusi Masalah Seks dan Kesehatan Reproduksi Pada dasarnya pendidikan sekss yang terbaik adalah yang diberikan oleh
orangtua sendiri. Diwujudkan melalui cara hidup orangtua dalam keluarga sebagai
suami-istri yang bersatu dalam perkawinan yang diberikan dalam suasana akrab
dan terbuka dari hati ke hati antara orangtua dan anak (Howard, 1990). Kesulitan
yang timbul adalah apabila pengetahuan orangtua kurang memadai (secara teoritis
dan objektif) menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak
memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak
mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Tentang hal ini Davis (1957)
menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa informasi seks yang tidak sehat pada
konflik-29
konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang
berhubungan dengan seks.
Pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di
rumah (Kilander, 1997). Peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus
dipahami sebagai pelengkap pengetahuan sari rumah dan istitusi lainnya yang
berupaya keras untuk mendidik remaja tentang seksualitas dan tidak berarti bahwa
sekolah mengambil porsi orangtua (Yeni, 1992).
2.5 Kerangka Pikir
Untuk menggambarkan penelitian maka kerangka berfikir di bawah ini
yang akan mendeskripsikan bagaimana pengetahuan dan sikap guru terhadap
perilaku seksual remaja.
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Faktor Predisposisi
- Pengetahuan - Sikap
- Sosial Budaya
Faktor Pemungkin
- Media massa
Faktor Pendorong
- Peran Orangtua
- Guru
30
Kerangka pikir diatas mengacu kepada teori Lawrence Green. Green
menyatakan faktor perilaku terbagi dari tiga, yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mepredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara
lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, tradisi.
2. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya
perilaku kesehatan
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang