• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Status Gizi Terhadap Kadar Ig-G Campak Ditinjau Dari Usia Di Kabupaten Karanganyar cover

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Status Gizi Terhadap Kadar Ig-G Campak Ditinjau Dari Usia Di Kabupaten Karanganyar cover"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT CAMPAK

1. Definisi.

Campak adalah suatu penyakit akut disebabkan oleh virus morbilli yang

ditularkan melalui sekret pernafasan atau melalui udara dengan kontak langsung

melalui droplet infeksi dengan daya penularan tinggi dan sangat infeksius selama

masa prodromal, ditandai dengan demam, malaise, konjungtivitis, pilek, dan

trakeobronkitis dengan manifestasi batuk (Field, Knipe, 1990) disertai enanthem

spesifik (Koplik’s spot) 1-2 hari kemudian diikuti ruam makulopapular

menyeluruh (Maldonado, 2011; Yokota, 2007).

Virus dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan infeksi pada individu

yang rentan. Penyakit ini menular pada saat 3-5 hari sebelum ruam timbul sampai

4 hari sesudah ruam timbul (WHO, 2008).

2. Gejala klinis.

Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 4 stadium

yaitu :

(1) Stadium inkubasi

Pada stadium ini masa inkubasi campak berkisar 10 sampai 12 hari setelah

pajanan pertama terhadap virus dan dapat disertai gejala minimal maupun tanpa

gejala. Walaupun pada masa ini sudah terjadi viremia dan reaksi imunologis yang

(2)

commit to user (2) Stadium prodromal

Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal

yang berlangsung selama 2 sampai 4 hari. Biasanya terdiri dari gejala klinis khas

berupa batuk, pilek dan konjungtivitis disertai dengan demam (Tumbelaka,

2002). Inflamasi konjungtiva berupa fotofobia menjadi petunjuk sebelum

munculnya enantem berupa lesi putih kecil pada mukosa buccal dalam rongga

mulut (Koplik’s spot). Garis melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtiva

dapat menjadi penunjang diagnosis pada stadium prodromal. Garis tersebut akan

menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang (Maldonado,

2011) Koplik’s spot merupakan tanda patognomonis campak yang timbul pada

hari ke 10 infeksi. Koplik’s spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar

butiran pasir, berdiameter 1-3 mm, dengan area tipis berwarna kemerahan dan

biasanya bersifat hemoragis (Maldonado, 2011). Gejala prodromal berlangsung

beberapa hari sebelum onset timbulnya ruam. Pada akhir masa prodromal, dinding

posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita akan mengeluh nyeri

tenggorokan (Maldonado, 2011).

(3) Stadium erupsi

Pada campak tipikal, stadium erupsi ditandai dengan keluarnya ruam

makulopapular sekitar hari ke 14 infeksi. Ruam muncul pada saat puncak gejala

gangguan pernapasan yang didahului dengan meningkatnya suhu badan berkisar

39,5oC (Maldonado, 2011) .

Karakteristik ruam eritematus muncul pertama kali sebagai makula yang

(3)

commit to user

rambut (Maldonado, 2011). Kemudian ruam menjadi makulopapular dan

menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada 24 jam

pertama. Menyebar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan terakhir

kaki, yang terjadi pada hari ke 2 atau ke 3 setelah munculnya ruam pertama kali.

Ruam bertahan selama 3-4 hari dan menghilang dimulai dari saat munculnya

ruam di kaki dilanjutkan hilangnya ruam pada wajah dan diikuti oleh bagian tubuh

lainnya (Tumbelaka, 2002; Maldonado, 2011). Ruam merupakan manifestasi

reaksi hipersensitivitas yang tidak akan terlihat pada orang yang mengalami

penekanan sistem imunitas seluler (Yokota, 2007).

(4) Stadium Konvalesen

Stadium penyembuhan yang ditandai dengan menurunnya suhu tubuh dan ruam

menjadi hiperpigmentasi kemudian akan mengalami deskuamasi yang akan

menghilang dalam waktu 7-10 hari (Maldonado, 2011).

Manifestasi klinis campak yang lain adalah campak atipikal dan campak

modifikasi. Campak atipikal adalah campak yang terjadi pada seseorang

yang mendapat vaksinasi virus campak mati. Sesudah masa prodromal, muncul

ruam dari ekstremitas berupa urtikaria, makulopapular, hemoragis, vesikular

ataupun kombinasi dari beberapa bentuk (Tumbelaka, 2002). Hasil serologi

campak didapat titer antibodi HI yang tinggi. Penyakit ini cenderung lebih berat

dari campak biasa (Maldonado, 2011). Patogenesis campak atipikal ini berawal

dari penggunaan vaksin virus campak mati yang tidak dapat menginduksi

antibodi terhadap protein F yang berperan dalam proses menyebarnya virus

(4)

commit to user

1963 sampai 1967, maka penyakit ini kini hanya dapat dijumpai pada orang

dewasa (Maldonado, 2011).

Campak modifikasi adalah campak ringan karena penderita masih

memiliki kekebalan terhadap virus, dapat terjadi pada bayi yang masih

mempunyai antibodi campak dari ibunya atau seseorang yang mendapatkan

gamma globulin setelah kontak dengan penderita campak. Gejala klinis bervariasi

dan beberapa gejala klinis tertentu seperti periode prodromal, konjungtivitis,

bercak Koplik dan ruam mungkin tidak didapatkan (Gershoon, 2000;Tumbelaka,

2002). Komplikasi campak cukup serius seperti diare, pneumonia, otitis media,

ensefalitis yang dapat sebabkan kematian (Salimo, 2006; Sugerman, 2010).

Kematian akibat campak sering terjadi pada anak dengan malnutrisi terutama di

negara berkembang (Redd, Markowitz, Katz, 1999).

3. Patogenesis campak

Perjalanan infeksi campak dalam tubuh secara alamiah mengikuti reseptor binding

virus sebagai berikut :

(A) Virus campak masuk dalam tubuh manusia melalui jalur respirasi dan

mengawali siklus infeksinya di dalam organ limfoid traktus respiratori

bagian atas melalui reseptor SLAM (Takeda, 2008). Viremia primer terjadi

2-3 hari setelah individu terpapar virus campak, diikuti dengan viremia

sekunder 3-4 hari (Maldonado, 2011).

(B) Limfosit terinfeksi virus campak memasuki aliran darah dan virus

(5)

commit to user

(Takeda, 2008). Viremia sekunder menyebabkan infeksi dan replikasi virus di

kulit, konjungtiva, saluran pernafasan dan organ lainnya. Replikasi virus

memerlukan waktu 24 jam. Jumlah virus mencapai puncaknya pada hari ke

11-14 setelah terpapar dan menurun cepat 2-3 hari kemudian (Maldonado,

2011).

(C) Sel imun terinfeksi virus campak merupakan jembatan transmisi virus ke

dalam sel epitel di berbagai organ (seperti jalan napas, usus, kandung kencing)

melalui reseptor nectin-4 sebagai reseptor sel epitel yang berperan penting

dalam proses infeksi virus campak pada sel epitel dan penyebarannya ke

berbagai organ (Takeda, 2008).

(D) virus campak bereplikasi dalam sel epitel dan secara aktif melepaskan

virus-virus baru ke dalam jalan napas. Sehingga udara pernapasan penderita berisi

banyak partikel virus campak (Takeda, 2008).

Gambar 2.1. Perjalanan infeksi campak mengikuti reseptor binding virus.

(6)

commit to user

Infeksi campak pertama kali mengenai epitelium saluran pernafasan

nasofaring, konjungtiva, dengan penyebaran ke daerah limfa. (Field, Knipe; 1990,

Cutts, 1993). Ruam pada campak muncul bersamaan dengan timbulnya antibodi

serum dan kemudian penyakit menjadi tidak infeksius. Oleh sebab itu dikatakan

bahwa timbulnya ruam akibat reaksi hipersensitivitas tubuh terhadap virus

campak, artinya ruam ini merupakan proses imunitas seluler (Maldonado, 2011;

Moss, Griffin, 2006).

(7)

commit to user

Antibodi Ig-M akan terbentuk dan mencapai puncaknya 7-10 hari setelah

muncul ruam, kemudian akan menurun dengan cepat, dan menghilang 4 minggu

kemudian. Imunoglobulin G anti campak terdeteksi dalam serum segera setelah

muncul ruam, mencapai puncak dalam waktu sekitar 4 minggu dan kemudian

menurun, tetapi tetap ada selamanya (Moss, Griffin, 2006). Antibodi Ig-G

terhadap protein H paling penting dalam menentukan kekebalan. Kekebalan

setelah infeksi alamiah biasanya akan bertahan seumur hidup. Pada saat terjadi

viremia, virus campak dapat menginfeksi limfosit T dan B, makrofag dan lekosit

polimorfonuklear. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan sintesis

imunoglobulin (Griffin, 1994).

Pada fase awal infeksi, natural killer cells dan sel T sitotoksik

mempunyai peran penting dalam menghambat replikasi virus. Setelah timbul

ruam, antibodi spesifik dapat dideteksi dan limfosit efektor dapat ditemukan

dimana virus bereplikasi pada lesi kulit dan mukosa. Terjadilah pembersihan virus

dan perbaikan klinis (Stites, 1997; Osterhaus, 1994).

Imunoglobulin G akan terbentuk segera setelah timbulnya ruam, dan

mencapai puncaknya setelah 4 minggu. Selanjutnya Ig-G menurun, tetapi akan

tetap ada seumur hidup. Imunoglobulin G terhadap protein H sangat penting,

karena menunjukkan adanya imunitas (Griffin, 1994). Adanya Ig-G terhadap

protein F dan H akan memberikan perlindungan terhadap infeksi secara in

vivo, meskipun Ig-G terhadap protein H saja dapat menetralkan invasi virus.

(8)

commit to user

timbul setelah terpapar virus campak secara alami biasanya dapat bertahan

seumur hidup (Griffin, 1994; Osterhaus, 1994; Stites, 1997).

Hasil pemeriksaan sitokin yang terdapat dalam plasma selama infeksi

campak sebelum timbulnya ruam pada kulit, menunjukan peningkatan kadar

IFN-g (Van Binnedijk, 1989). Ketika ruam muncul terjadi peninIFN-gkatan IL-2 yanIFN-g

diproduksi oleh sel T CD 4+ dan sel T CD 4 tipe 1. Dan ketika ruam kulit mulai

menghilang terjadi peningkatan kadar IL-4 yang diproduksi oleh sel T CD 4+ tipe

2 dan akan masih tetap tinggi selama berminggu-minggu. Gambaran produksi

sitokin ini memberi kesan terjadi aktivasi sel TCD 8+ dan sel T CD 4+ selama dan

sesudah terjadinya ruam pada kulit yang diikuti dengan aktivasi sel T CD 4 tipe 2

yang lebih panjang sampai menghilangnya ruam pada kulit (Griffin, Bellini,

1996).

Berdasarkan hal tersebut maka infeksi virus campak alami dapat

menimbulkan aktivasi sel TCD 8+ yang sangat berguna untuk eliminasi virus dan

mengaktivasi sel T CD4+ yang bermanfaat untuk merangsang pembentukaan anti

bodi secara optimal (Griffin, Bellini, 1996). Imunitas seluler dikatakan

mempunyai peran yang penting dalam fase penyembuhan, dalam pencegahan

campak dan apabila terdapat stimulasi yang cukup pada imunitas seluler inilah

yang menyebabkan timbulnya proteksi seumur hidup setelah infeksi campak

(Cutts, 1993; Gershon 2000).

Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa sel limfosit T berperan besar

(9)

commit to user

menghasilkan respons antibodi (Ig-M, Ig-G dan Ig-A) dan dapat bertindak secara

bebas melawan virus (Griffin, 1994; Osterhaus, 1994).

4. Virus campak

Infeksi campak disebabkan oleh virus campak atau morbilli yang merupakan

turunan dari genus Morbilivirus dari famili Paramyxoviridae(Kingsbury, Bratt ,

Coppin, 1988). Virion campak berbentuk speris, pleomorfik, virion RNA untai

tunggal tidak bersegmen, mempunyai selubung dua lapis, berukuran diameter

100-200 nm (Moss, Griffin, 2006). Virion campak terdiri atas nukleokapsid

berbentuk heliks dari protein RNA dikelilingi oleh selubung virus yang

mempunyai tonjolan pendek pada permukaannya. Terdapat enam struktur protein

yang sudah dikenali, yaitu tiga protein komplek pada RNA virus dan tiga protein

dalam selubung virus (Stites, Terr, Parslow, 1997). Secara morfologi tidak dapat

dibedakan dengan virus lain dari anggota famili paramyxoviridae seperti

rinderpest virus dan canine distemper virus yang tidak bersifat patogen bagi

manusia. Virus campak dapat dimatikan dengan sinar ultra violet dan pemanasan

(Stites, Terr, Parslow, 1997; Redd, Markowitz, Katz, 1999).

Genom virus campak RNA berisi kurang lebih 16.000 nukleotida dan

tertutup dalam selubung berisi lipid bilayer dengan dua tonjolan pendek yang

disebut pepfomer. Pepfomer Hemaaglutinin (H) berbentuk bulat dan pepfomer

Fusion (F) berbentuk seperti bel. Genom mengkode delapan protein, dua

merupakan protein non struktural (protein V dan C), ditranslasi dari RNA atau

(10)

commit to user

protein , yaitu protein polymerase besar (L) dan fosfoprotein (P) dihubungkan

dengan ribonukleukapsid berguna untuk sintesis RNA setelah mengawali infeksi

(Griffin, 2007).

Protein nukleokapsid (N) berbentuk heliks nukleokapsid berada disekitar

genom virus RNA untuk membentuk ribonukleukapsid dan dua buah glikoprotein

transmembran yaitu protein fusion (F) dan hemaglutinin(H) bersama dengan lipid

membran membentuk selubung sel, satu buah protein bagian dalam membran,

protein berbasis membran atau matriks protein (M) dihubungkan dengan

pembentuk interior permukaan selubung lipid virus dan menghubungkan

kompleks protein ribonukleukapsid dengan selubung glikoprotein selama

pembentukan virion (Griffin, 2007).

Protein F dan H mengalami glikosilasi sedangkan protein M tidak.

Protein F bertanggung jawab terhadap fusi virus dengan membran sel hospes,

yang kemudian diikuti dengan penetrasi dan hemolsis (Redd, Markowitz, 1999).

Fungsi utama protein H adalah berikatan dengan sel reseptor virus campak, selain

itu juga berfungsi pada hemaglutinasi, perlekatan virus, adsorpsi dan interaksi

dengan reseptor di permukaan sel hospes (Redd, Markowitz, 1999; WHO, 2009).

Protein F dan protein H bersama-sama bertanggungjawab pada fusi virus dengan

membran sel dan membantu masuknya virus (Moss, Griffin, 2006).

Protein virus P berfungsi dalam regulasi transkripsi, replikasi dan

pembentukan nukleokapsid. Protein P banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi,

tetapi dalam virus, protein ini merupakan komponen yang sangat kecil, dan sangat

(11)

commit to user

sitoplasma sel yang diinfeksi dan tidak tergantung pada fase nukleus (Redd,

Markowitz, Katz, 1999; Moss, Griffin, 2006)

Gambar 2.3 Virus campak. Moss, Griffin, 2006

Terdapat dua reseptor virus campak pada hospes yaitu reseptor CD 46 dan

CD 150 yang disebut SLAM. CD 46 yaitu molekul komplemen yang secara

teratur diekspresikan pada semua sel nukleotid manusia. SLAM adalah ekspresi

dari limfosit T dan B teraktivasi kemudian diekspresikan pada APC (Yanagi,

Takeda, Ohno, 2007). Tempat ikatan pada protein H untuk reseptor ini tumpang

tindih dan setiap strain virus campak berbeda dalam menggunakan tempat ikatan

reseptornya. Virus campak liar berikatan dengan sel terutama melalui reseptor sel

SLAM, sementara hampir semua strain vaksin berikatan pada CD 46. Dan

reseptor lain yang belum dikenal mungkin berada pada sel endotelial dan epitel

(12)

commit to user B. Respons imun terhadap virus campak

Respons imun tubuh terhadap virus campak sangat diperlukan untuk netralisasi

virus, perbaikan klinis dan berkembangnya imunitas jangka panjang (Cutts,

1993). Respons imun innate terjadi pada fase prodromal termasuk aktivasi sel NK

dan peningkatan produksi interferon α dan β. Dan respons imun adaptif termasuk

respons humoral dan respons seluler spesifik untuk virus campak. Antibodi yang

diproduksi secara berlebihan dan dengan cepat adalah antibodi terhadap

nukleoprotein (N). Antibodi untuk protein hemaglutinin (H) dan protein fusi (F)

berperan dalam netralisasi virus dan cukup untuk memberikan proteksi (Moss,

Griffin, 2006)

Antibodi terhadap protein H dikatakan paling penting untuk menentukan

imunitas. Masih tetap tidak diketahui mengapa antibodi terhadap campak setelah

infeksi alamiah bertahan seumur hidup. Diperkirakan adanya paparan ulang virus

campak menyebabkan terjadinya booster dan terjadi pembentukan kembali

antibodi secara terus menerus (Cutts, 1993).

Peran antibodi dalam menetralisasi virus akan efektif, terutama untuk

virus bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dilakukan dengan

beberapa cara, di antaranya menghambat perlekatan virus pada reseptor

permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel dan replikasi

virus dapat dicegah. Antibodi akan membatasi penyebaran virus ke sel atau

jaringan tetangganya. Antibodi dapat menghancurkan virus dengan cara aktivasi

komplemen melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga

(13)

commit to user

penyebaran virus yang keluar dari sel yang telah hancur, namun seringkali tidak

cukup mampu menetralisir virus yang telah mengubah struktur antigennya

(mutasi) dan yang telah melepaskan diri melalui membran sel sebagai partikel

yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan

secara langsung (Osterhaus, 1994; Stites, 1997).

1. Respons imun humoral

Antibodi dapat dideteksi pertama kali saat munculnya ruam pada kulit. Respons

antibodi yang terjadi diinduksi sebagian besar oleh protein virus. Respons

antibodi spesifik terhadap virus campak dimulai dengan munculnya Ig-M, baru

diikuti dengan munculnya Ig-G1 dan Ig-G4 (Griffin, Ward, Esolen, 1994).

(14)

commit to user

Antibodi yang paling banyak dan paling cepat diproduksi adalah antibodi

terhadap protein Nukleokapsid (N) dan sebagian besar antibodi dideteksi dengan

tes fiksasi komplemen. Oleh karena antibodi terhadap protein N banyak

diproduksi, maka antibodi ini dipakai sebagai indikator untuk menentukan adanya

reaksi serologis yang negatif atau positif oleh karena terkena infeksi atau

mendapat imunisasi campak. Protein M hanya dapat merangsang antibodi dalam

jumlah yang sangat kecil, kecuali pada virus campak yang tidak khas (Moss,

Griffin, 2006).

Antibodi terhadap protein fusion (F) berperan dalam menetralisir virus

dengan mencegah fusi antara membran virus dengan membran pejamu. Antibodi

terhadap protein ini tidak dapat diinduksi oleh vaksin virus yang mati. Netralisasi

antibodi berperan penting dalam proses pencegahan penyakit, sehingga sering

digunakan untuk mengetahui kerentanan terhadap penyakit campak (Moss,

Griffin, 2006).

2. Respons imun seluler

Sel T sangat penting dalam proses pematangan sel B agar memproduksi

antibodi Ig-G dan Ig-A dan merupakan sel efektor untuk membunuh virus dalam

sel jaringan. Sel T CD4+ dan sel TCD8+ keduanya berperan dalam respons imun

(Griffin,1992).

Sel limfosit T CD8+ spesifik terhadap virus campak dan sel limfosit T CD

8+ yang berproliferasi ditemukan dalam darah pada saat munculnya ruam pada

(15)

commit to user

dengan molekul MHC kelas I yang bergerak menuju ke permukaan sel (Ward,

1990). Diduga bahwa sel T CD 8+ merupakan komponen penting dari limfosit

yang ditemukan pada lokasi replikasi virus dan eliminasi sel yang terinfeksi oleh

mekanisme sitotoksik yang diretriksi oleh MHC kelas I (Griffin, 1992).

Gambar 2.5. Perubahan sitokin dan petanda permukaan sel dalam darah

selama infeksi virus campak. Griffin, Bellini, 1996

Sel T CD 4+ diaktivasi sebagai respon imun terhadap infeksi virus

campak dan akan berproliferasi selama terjadinya ruam pada kulit kemudian

jumlahnya meningkat dan tetap tinggi sampai beberapa minggu (Van Binnedijk,

1989). Sel T CD 4+ akan melisiskan sel dari ekspresi antigen virus yang

berhubungan dengan molekul MHC kelas II dan paling besar pengaruhnya dalam

memproduksi antibodi melalui sekresi sitokin dan juga proliferasi dan

diferensiasi sel T sendiri ( Griffin, Bellini, 1996)

Setelah stimulasi pertama oleh antigen, sel T CD 4+ terutama akan

memproduksi interleukin 2 (IL-2). Setelah distimulasi kembali, baru muncul dua

tipe sel memori CD 4, sel tipe 1 terutama memproduksi IFN-g, IL-2 dan TNF-b

(16)

commit to user

yang penting untuk aktivasi makrofag dalam respon DTH, proliferasi limfosit

IL-2 dan sitotoksisitas diretriksi MHC kelas II TNF-b, sementara sel tipe IL-2

memproduksi sitokin yang penting untuk deaktivasi makrofag IL-4 dan IL-10 dan

membantu sel B (Griffin, Bellini, 1996).

3. Respons imun terhadap imunisasi campak

Virus campak lebih mengaktivasi sel T CD4+ tipe 2 sehingga akan memproduksi

antibodi terhadap antigen protein F, H dan N yang cukup tinggi. Tetapi respons

DTH dan respons proliferasi kurang terhadap antigen virus campak, akibatnya

terjadi penekanan sistem imun sementara dan juga terjadi disregulasi respons

imun (van Binnedijk, 1989; Griffin, Ward, Esolen, 1994).

Respons imun terhadap vaksin campak hidup mempunyai gambaran yang

hampir sama dengan infeksi virus secara alami. Tetapi respons imun yang

ditimbulkannya terhadap vaksin akan terjadi lebih singkat dibandingkan infeksi

alamiah (Griffin, Ward, Esolen, 1994).

Gambar 2.6. Diagram skematik perbedaan interaksi virus campak hidup dan

(17)

commit to user

Vaksin campak mati menimbulkan respons antibodi protein H dan M

yang cukup baik, tetapi respons imun protein N kurang baik dan sangat sedikit

pada protein F dan P. Respons imun juga timbul baik pada DTH dan

limfoproliferasi. Hal ini menunjukan sel T CD 4+ tipe 1 memberikan respons

yang lebih terhadap virus vaksin. Hal ini menandakan vaksin hidup dan vaksin

mati menstimulasi sel T dengan cara berbeda dalam hal mempresentasikan

antigen yaitu pertama dengan proses antigen yang mengalami replikasi sedangkan

yang lain tanpa replikasi antigen (Griffin, Ward, Esolen, 1994).

Antibodi yang dihasilkan oleh vaksin yang semakin dilemahkan akan lebih

cepat hilang dibandingkan strain vaksin yang dilemahkan pertama kali. Antibodi

bertahan lebih lama jika terjadi booster dengan virus carnpak. Pada saat kadar

antibodi berada pada level yang rendah, paparan ulang virus campak liar ataupun

vaksin akan menstimulasi sel memori. Terjadi respons sekunder yang ditandai

dengan naiknya kadar antibodi secara cepat dan mencapai puncak kurang lebih 12

hari sesudah reinfeksi. Jika pada saat paparan ulang kadar antibodi masih tinggi,

maka infeksi ulang dan booster tidak akan terjadi (Griffin, 1994; Stites, 1997;

Osterhaus, 1994).

Titer antibodi setelah imunisasi dengan vaksin campak yang dilemahkan

sangat bervariasi, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan virus campak

liar. Demikian juga respons imun terhadap vaksin yang diinaktivasi berbeda

dengan vaksin virus campak hidup. Komponen F yang hancur selama proses

(18)

commit to user

mempunyai respons terhadap protein H dan tidak mempunyai respons imunitas

terhadap protein F. Infeksi virus, fusi sel dan penyebaran dari sel ke sel dapat

terjadi karena protein F tidak dinetralisir oleh antibodi (Cutts,1993; Gershon,

2000).

C. PENGARUH STATUS GIZI TERHADAP KADAR IG-G ANTI

CAMPAK PADA ANAK

Sistem imun bekerja melindungi tubuh terhadap bahan-bahan infeksius yang

berada di lingkungan hidup manusia seperti bakteria, virus, jamur, parasit dan dari

paparan berbahaya lainnya. Untuk melakukan tugasnya ini, sistem imun

mengandalkan pada dua fungsi utama yaitu sistim imun bawaan dan didapat,

keduanya mempengaruhi berbagai faktor dan komponen yang berada di dalam

darah seperti komplemen, antibodi, sitokin dan sel makrofag, sel

polimorphonuklear, dan limfosit. Fungsi sistem pertahanan tubuh yang adekuat

sangat ditentukan oleh nutrisi dan konsekuensinya demikian pula untuk risiko

terjadinya penyakit (Marcos A, Nova E, Montero A, 2003).

Kekurangan nutrisi karena ketidak cukupan asupan energi dan

makronutrien dan atau karena defisiensi mikronutien tertentu akan mengganggu

sistem imun, menekan fungsi imun yang sangat penting untuk pertahanan tubuh.

Abnormalitas yang selalu ditemui adalah imunitas dimediasi sel, system

komplemen, fungsi phagosit, produksi sitokin, respon antibodi sekretorik mukosa

dan affinitas antibodi (Marcos A, Nova E, Montero A, 2003).

(19)

commit to user

kemudian menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan memperburuk status

nutrisinya. Tanpa nutrisi yang cukup, sistem imun jelas akan sangat kekurangan

komponen yang dibutuhkan untuk menimbulkan respons imun yang efektif

(Chandra, 2002).

Risiko kejadian infeksi lebih tinggi pada anak malnutrisi dengan

konsekuensi infeksi akan lebih serius pada anak dengan gizi buruk, dimana

presentasi penyakit infeksi selalu akan lebih buruk bila disertai dengan gizi buruk.

Hal ini menandakan terdapat interaksi sinergis antara infeksi dengan nutrisi yang

menimbulkan lingkaran setan dan sering berakhir fatal. Sehingga interaksi

sinergis antara infeksi dan gizi buruk tidak hanya berkontribusi pada morbiditas

tetapi juga mortalitas. Jelas bahwa gizi buruk memiliki dampak mengganggu

mekanisme pertahanan tubuh melawan agen penyakit dan terutama pada fungsi

imun (Shetty, Scrimshaw, 2006).

Fungsi imun yang terganggu karena pengaruh nutrisi dan melemahnya

pertahanan tubuh terhadap infeksi telah berdampak secara epidemiologi

sebagaimana yang ditunjukkan Ashworth pada tahun 1982, yang

mendokumentasikan bahwa angka mortalitas anak malnutrisi lebih besar

daripada anak dengan penyakit infeksi. Sebanyak 53% kematian anak dibawah 5

tahun dengan penyakit infeksi dihubungkan dengan gangguan dasarnya adalah

malnutrisi (Suliman OSM, Salih MAM, Karrar ZA, Mohammed AO, Helsing C,

2011).

Penelitian klinis menunjukan bahwa pada keadaan malnutrisi terjadi

(20)

commit to user

arsitektural organ limfoid. Bahkan pada gizi buruk dapat terjadi atropi organ

limfoid seperti timus, limpa, kelenjar limfa dan tonsil (Moore, Goldblatt, 2003;

Shetty, Scrimshaw, 2006). Imunitas yang dimediasi sel terutama bergantung pada

timus tempat asal limfosit T. Atropi limfoid dan kegagalan pematangan berakibat

turunnya jumlah sel T dalam darah perifer anak dengan malnutrisi dan sekitar

15% anak dengan gizi buruk sedang sampai berat terjadi limfopenia. Hal ini

mungkin disebabkan oleh berkurangnya jumlah prekursor ataupun diferensiasi sel

yang terganggu sebagai akibat dari penurunan hormon timus (Shetty, Scrimshaw,

2006).

Efikasi vaksin jelas sangat memerlukan respons imunologis tubuh yang

sempurna, dimulai dari pengenalan antigen, presentasi antigen melalui sel memori

dan produksi antibodi ataupun melalui respons seluler primer (Van Loveren, Van

Amsterdam, 200). Dalam hal ini status nutrisi berperan penting untuk

menimbulkan respons imun terhadap imunisasi. Status nutrisi mempengaruhi

respons imunitas terhadap penyakit yang mekanismenya sangat bervariasi dan

kompleks dan sepenuhnya masih belum dimengerti (Moore, Goldblatt, 2003).

Status nutrisi individu telah diketahui dapat mempengaruhi proses

penyembuhan infeksi yang disebabkan oleh virus. Dan hubungan antara status

nutrisi dengan infeksi virus karena adanya perubahan pada fungsi imun telah

dipostulasikan. Faktor defisiensi nutrisi akan mengganggu efektifitas respons

imun anak terhadap infeksi, sehingga apabila terpapar oleh virus akan berakibat

meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Hubungan ini dapat digambarkan

(21)

commit to user

Gambar 2.7. Hubungan status nutrisi dan infeksi virus, (Beck, 2000)

Hubungan tersebut menunjukkan bahwa status nutrisi berpengaruh

terhadap imunitas host maupun agen patogen itu sendiri. Sebagaimana

diilustrasikan pada gambar diatas nutrisi host yang tidak adekuat menyebabkan

disfungsi imun host dan akan sebabkan individu tersebut rentan terhadap infeksi

ketika terpapar oleh patogen (Beck, 2000).

Suplai nutrisi yang baik dan optimum sangat penting dalam mendukung

fungsi kritis sel untuk menghasilkan respons imun yang efektif dan merangsang

timbulnya mediator-mediator sistem imun. Hal ini termasuk sintesis interferon,

sintesis protein, produksi antibodi dan fungsi optimal imunitas yang dimediasi sel

seperti sel phagosit (Rath M, Niedzwiecki, 2005).

Banyak bukti menyatakan bahwa ternyata supresi imun pada PEM karena

kerja dari imunitas seluler. Pada keadaan malnutrisi jumlah sel T berkurang

dibanding sel B. Malnutrisi mempengaruhi sistem imun humoral dalam berbagai

bentuknya, tetapi jumlah sel B limfosit, kadar Ig-G, kadar Ig-A dan sintesis

immunoglobulin dan metabolismenya pada umumnya normal atau bahkan

meningkat (Suliman OSM, Salih MAM, Karrar ZA, Mohammed AO, Helsing C,

(22)

commit to user

Respons imun humoral hanya dipengaruhi pada fase akut infeksi dan juga

pada PEM berat. Respons imun humoral akan segera kembali normal ketika

perkembangan anak mulai menunjukan perbaikan. Sehingga bahkan pada anak

dengan malnutrisi sedang tetap dapat berespons terhadap pemberian imunisasi

(Ifekwunigwe A E, Grasset N, 1996). Anak dengan PEM ternyata mempunyai

kadar immunoglobulin tinggi dan kadar immunoglobulin dewasa dapat dicapai

pada umur dua tahun (Suliman OSM , Salih MAM, Karrar ZA, Mohammed AO,

Helsing C, 2011).

Jumlah limfosit B yang beredar tidak berubah pada anak dengan

malnutrisi. Dan kadar serum imunoglobulin masih dalam kisaran normal pada

anak malnutrisi atau bahkan sedikit meningkat, terutama selama infeksi. Respon

antibodi terhadap agen penyebab infeksi umumnya normal pada malnutrisi

(Shetty, Scrimshaw, 2006). Jika antigen berupa partikulat maka diperlukan

kerjasama dari sel T helper dan respon antibodi terhadap infeksi berulang akan

kurang memuaskan. Hal ini sebagian besar karena hasil dari perubahan fungsi

T-limfosit karena fungsi memori adalah sel T. Respons antibodi akan terganggu

pada anak dengan kekurangan gizi dan menunjukkan peningkatan respon setelah

rehabilitasi gizi (Shetty, Scrimshaw, 2006).

Penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah

menyebutkan bahwa risiko anak yang memiliki status gizi kurang untuk terkena

campak adalah 5,4 kali dibanding anak dengan status gizi baik (Rostanti, 2007).

Sedangkan penelitian Sulung di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara

(23)

commit to user

bulan-15 tahun mendapatkan hasil bahwa kejadian campak ada hubungannya

dengan status gizi dimana anak dengan status gizi kurang mempunyai

kemungkinan risiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena campak (Depkes, 2000).

Penelitian yang dilakukan di Surakarta pada anak-anak dengan obesitas

menunjukan rerata antibodi Ig-G campak yang lebih tinggi dibandingkan dengan

anak tanpa obesitas (Moelyo, 2006). Penelitian-penelitian tersebut kembali

menekankan adanya pengaruh status gizi anak terhadap infeksi campak atau kadar

Ig-G campak sebagai pertanda ada tidaknya proteksi terhadap campak.

Antibodi akan bertahan lebih lama jika mendapat booster dari paparan

virus campak liar yang beredar. Adanya infeksi ulang oleh virus campak liar

atau oleh vaksin pada saat titer antibodi rendah, akan merangsang sel memori

menghasilkan antibodi secara cepat dan mencapai puncaknya 12 hari setelah

infeksi ulang. Dan 6 sampai 8 tahun setelah mendapatkan imunisasi campak,

ternyata 85% sampel masih mempunyai antibodi (Cutts,1993; Gershoon,2000).

Masa perlindungan antibodi Ig-G campak tidak bertahan sepanjang tahun

tetapi akan terjadi penurunan kadar antibodi secara alamiah. Prosentase

seronegatif dari half-life antibodi Ig-G campak saat umur 4 tahun setelah

vaksinasi adalah 40% sedangkan saat umur 6 tahun seronegatif antibodi akan

semakin meningkat menjadi sekitar 70% (Min-Shi Lee, James Nokes, 2001).

Menurut laporan WHO tahun 1993 tentang kadar Ig-G campak dan

hubungannya dengan berbagai strain vaksin campak dan infeksi campak alamiah

ternyata didapatkan bahwa kadar Ig-G campak yang didapat dari infeksi alamiah

(24)

commit to user

dan kadar Ig-G campak paling rendah didapat dari imunisasi strain vaksin

Schwarz )WHO,1993).

Gambar 2.8. Respons antibodi dan keberadaannya setelah infeksi alamiah

dan imunisasi. WHO, 1993

Hasil tersebut serupa dengan sebuah penelitian di India yang

mendapatkan kadar antibodi Ig-G campak pada anak umur 4–6 tahun setelah

imunisasi campak dosis pertama diumur 7-9 bulan dan MMR I umur 15-18 bulan

hanya mendapatkan serokonversi positif 20,4% yang berarti seronegatif sekitar

80%. Menandakan bahwa 4 dari 5 anak yang mendapat imunisasi penuh menurut

jadwal imunisasi di Delhi masih sangat rentan untuk terkena campak (Arora,

2010)

Penelitian di Sudan menemukan bahwa ternyata kadar Ig-G dan Ig-A anak

marasmik lebih tinggi dan hasil ini berbeda dengan penelitian McMurry dan

kawan-kawan . Juga didapatkan kadar IgM lebih tinggi pada tiga sub tipe PEM

(25)

commit to user

pada marasmik dan marasmik kwashiorkor dibandingkan kwashiorkor

(Ifekwunigwe A E, Grasset N, 1996 ).

Kadar immunoglobulin yang tinggi dapat disebabkan oleh karena infeksi

berulang dan meningkatnya permeabilitas gastrointestinal pada anak malnutrisi

terhadap antigen makanan. Alvarado dan kawan-kawan mendapatkan bahwa

selama infeksi tertentu, kadar immunoglobulin akan lebih meningkat. Terkecuali

pada bayi malnutrisi umur kurang dari 1 tahun ternyata tidak terjadi peningkatan

immunoglobulin. Pada bayi ini seringkali didapatkan kadar immunoglobulin yang

tetap rendah sekalipun telah mendapatkan terapi nutrisi (Suliman OSM , Salih

(26)

commit to user

D. KERANGKA KONSEP

Ruang lingkup penelitian

Gambar 2.8. Kerangka konsep

Penjelasan kerangka konsep

Virus campak memasuki tubuh manusia melalui dua jalur yang pertama adalah

dari imunisasi dan yang kedua melalui sakit campak yang didapat secara alami.

Sementara imunitas seseorang terhadap virus campak diperoleh secara pasif Imunitas campak

pada anak

Faktor host Faktor agen

umur

status nutrisi penyakit penyerta

dosis, cara penyimpan an dan rute pemberian

vaksin RESPON IMUN

kadar Ig-G anti campak maternal

potensi vaksin

strain yang digunakan

Ig-M Ig-A

Ig-G

humoral seluler

Titer Ig-G anti campak

(27)

commit to user

melalui transmisi antibodi campak maternal, dan melalui induksi imun secara

aktif dengan imunisasi dan melalui infeksi campak yang didapat secara alami.

Respons imun yang penting untuk melawan virus campak adalah respons

humoral dimana Ig-G anti campak akan bertahan lama dalam tubuh dan akan

memberi proteksi terhadap virus campak. Jangka waktu proteksi antibodi campak

tidak tetap namun dengan berjalannya waktu terjadi penurunan kadar antibodi

secara alamiah dengan proporsi seronegatif dari half-life antibodi 4 tahun setelah

vaksinasi adalah 40% dan saat umur 6 tahun sekitar 70% (Min-Shi Lee, James

Nokes, 2001).

Faktor nutrisi dan abnormalitas yang selalu ditemui pada malnutrisi adalah

imunitas dimediasi sel, sistem komplemen, fungsi phagosit, produksi sitokin,

respon antibodi sekretorik mukosa dan affinitas antibodi (Marcos A, Nova E,

Montero A, 2003). Perubahan-perubahan ini dihubungkan dengan meningkatnya

risiko terhadap infeksi yang kemudian menimbulkan perubahan fisiologis tubuh

dan memperburuk status nutrisinya. Tanpa nutrisi yang cukup, sistem imun jelas

akan sangat kekurangan komponen yang dibutuhkan untuk menimbulkan respons

imun yang efektif. Karenanya faktor umur dan status gizi merupakan salah satu

dari faktor yang akan mempengaruhi kadar Ig-G campak.

E. HIPOTESIS

Ada pengaruh status gizi dan umur anak terhadap kadar Imunoglobulin G anti

Gambar

Gambar 2.1. Perjalanan infeksi campak mengikuti reseptor binding virus.
Gambar 2.2   Patogenesis infeksi campak,  Moss, Griffin,  2006
Gambar 2.4. Respons antibodi pada infeksi campak akut, WHO, 1993
Gambar 2.5. Perubahan sitokin dan petanda permukaan sel dalam darah
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara kompensasi, komunikasi, motivasi, terhadap disiplin kerjatenaga pengajar di lingkungan Politeknik Maritim Negeri

Melalui kegiatan studi banding ke P4S Semarang, kelompok tani mitra semakin termotivasi untuk mencoba menerapkan standar mutu IG Kopi Robusta Temanggung baik

Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan maka tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian eksplanatori karena dalam penelitian ini peneliti akan

Kehadiran Komisi Yudisial didasari ide tentang pentingnya pengawasan hakim dalam rangka melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut

aluminium memiliki sifat anti karat, tidak mudah terbakar dan tahan terhadap segala jenis cuaca. Plat jenis ini sendiri mudah dibentuk, sehingg banyak digunakan dalam bidang

Selanjutnya dilakukan proses inkubasi dengan papain, pengujian kekerasan dan kadar protein grits hasil inkubasi yang dilanjutkan verifikasi dan pembuktian hasil

Berpengaruhnya current ratio, debt to equity ratio, return on equity, dan earning per share secara simultan menunjukkan bahwa kinerja perusahaan yang tercermin di dalam

Masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara Asset size, Credit risk, Total deposits to total assets, Interest rate, Operating efficiency,