• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kadar Fluor Air Sumur Dengan Fluorosis Gigi Pada Anak di Dusun 1 Sitiris-Tiris Desa Sitiris-Tiris Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Kadar Fluor Air Sumur Dengan Fluorosis Gigi Pada Anak di Dusun 1 Sitiris-Tiris Desa Sitiris-Tiris Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2015"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluorosis Gigi

2.1.1 Definisi Fluorosis Gigi

Fluorosis gigi merupakan suatu kelainan struktur email bebercak atau

cacat (mottled enamel) sebagai dampak asupan fluor berlebih pada masa pembentukan gigi. Perubahan yang tampak pada gigi akibat konsumsi fluor yang

berlebihan pada awal masa anak-anak ketika giginya sedang tumbuh. Fluorosis

gigi ditandai dengan noda coklat atau bintik-bintik kuning yang menyebar

dipermukaan gigi akibat pembentukan email gigi yang tidak sempurna. Email gigi

yang tidak sempurna menyebabkan gigi menjadi mudah berlubang, timbul bercak

putih dan cokelat pada gigi. Meskipun berdampak ringan dan tidak menimbulkan

rasa nyeri pada gigi, namun hal tersebut dapat mengurangi penampilan pada gigi

sehingga tidak sedap dipandang mata (Titian, 2009).

Menurut Monang (1995) fluorosis adalah kelainan yang terjadi pada

permukaan gigi akibat kelebihan fluor. Fluorosis gigi merupakan suatu fenomena

yang terjadi pada masa pembentukan gigi (CDC, 2011). Fluorosis gigi atau yang

disebut juga dental fluorosis merupakan suatu gangguan pembentukan gigi yang

disebabkan oleh fluoride yang terdapat pada cairan jaringan dalam jangka waktu

yang lama, selama periode perkembangan gigi (Fejerskov et.al.1991).

Konsentrasi fluor yang tinggi, lebih dari 2 ppm dapat mempengaruhi

gigi-gigi yang sedang terbentuk sehingga menjadi fluorosisi gigi-gigi sedangkan gigi-gigi-gigi-gigi

yang sudah erupsi tidak lagi dipengaruhinya. Sejarah dari fluorosis gigi ini

(2)

gigi anak yang tinggal dekat Nepal yang ditemui pada anak-anak dan orang

dewasa yang sejak kecilnya minum air dari sumur-sumur bor yang dalam.

Seorang ahli kimia menunjukkan bahwa bahan kimia tersebut adalah fluor dan

melakukan analisa sampel air dari 6 daerah yang penduduknya flourosis gigi dan

dibandingkan air minum dari 30 daerah yang penduduknya mempunyai email

normal. Hasil dari penyelidikan tersebut menguatkan hipothesa yang menyatakan

adanya hubungan antara kadar fluor yang tinggi didalam air minum dengan

endemik flourosis gigi (Monang,1995).

2.1.2 Gambaran Klinis Fluorosis Gigi

Penggunaan flourida dalam waktu lama selama pembentukan enamel

mengakibatkan perubahan-perubahan klinik sebagai berikut; mulai dari timbulnya

garis putih yang kecil pada enamel sampai dengan yang parah yaitu enamel

menjadi putih seperti kapur dan opaque (tidak tembus cahaya) dan mungkin

sebagian patah segera sesudah gigi erupsi. Keparahannya tergantung dari

banyaknya pemakaian fluoride selama periode pembentukan gigi. Ciri-ciri enamel

yang normal perlu diketahui diantaranya Enamel normal ialah suatu bahan yang padat mengandung banyak pori-pori yang sangat kecil, terdiri dari Kristal-kristal

hidrosiapatit yang tersusun dengan pola yang teratur dan membentuk enamel rods

(prisma enamel). Pada enamel yang normal, Kristal-kristal tersebut terikat satu

sama lain dengan sangat erat dan celah-celah diantara Kristal-kristalnya sangatlah

kecil sehingga enamel nampak translusen. Permukaan enamel normal biasanya

halus dan mengkilap, berwarna putih krem muda; sifat ini tetap bertahan

(3)

Tanda-tanda paling awal dari dental fluorosis dapat terlihat sebagai suatu

garis putih yang berjalan menyilang permukaan enamel. Garis ini paling mudah

terlihat pada bagian inisial yang tidak ada dentinnya atau hanya selapis tipis di

bawah enamel. Mereka hanya bisa dilihat dengan jelas apabila permukaan gigi

dikeringkan. Pada beberapa kasus, walaupun pada dental fluorosis yang paling

ringan, puncak cups, incisal edge, marginal ridge, terlihat berwarna opaque putih, suatu keadaan yang disebut fenomena snow cap (Fejerskov et.al.,1991).

Tanda pertama dari berlebihnya pemasukan fluor ke dalam tubuh selama

periode pembentukan gigi adalah erupsi gigi dengan email yang berbintik-bintik.

Walaupun mekanisme yang tepat mengenai terjadinya fluorosis email belum

sepenuhnya diketahui, diduga bahwa fluor yang berlebihan tersebut

mempengaruhi fungsi ameloblast yang salah satu akibatnya adalah tak

sempurnanya mineralisasi. Insisivus dan kaninus permanen masih muda terserang

fluorosis sampai umur 5-7 tahun (Kidd et.al.,1991).

Pada gigi yang terserang dental fluorosis sedikit lebih parah, maka nampak

bahwa garis putih lebih luas dan lebih menonjol. Mungkin terlihat adanya fusi

dari beberapa garis di sana-sini sehingga menimbulkan gambaran bercak

kecil-kecil, tidak teratur dan permukaan gigi nampak suram seperti berkabut. Perubahan

ini bisa diamati tanpa mengeringkan permukaan gigi, namun demikian bisa

menjadi sangat jelas walaupun hanya dengan satu kali usapan untuk

mengeringkan permukaan gigi (Fejerskov et.al., 1991).

Searah dengan meningkatnya derajat keparahan, pada permukaan gigi

(4)

berkabut. Dengan menggunakan mikroskop, nampak adanya peningkatan

porositas pada bagian luar enamel. Kadang-kadang terlihat adanya varias-variasi

tertentu pada ciri-ciri tingkat keparahan dental fluorosis. Kadang-kadang enamel

yang terletak di servikal nampak lebih homogeny, opaque, dan bagian

mesio-insisal gigi insisivus nampak kecoklatan. Warna meluas sesudah gigi erupsi di

dalam mulut. Dengan meningkatnya keparahan, daerah opaque yang tidak teratur

berfusi sampai seluruh permukaan gigi nampak putih seperti kapur. Pada waktu

gigi erupsi, gigi yang sudah opaque putih mungkin bervariasi kualitasnya mulai

dengan yang sulit di probing (metode diagnostik kedokteran gigi dengan pemeriksaan palpasi menggunakan alat tertentu) sampai yang keadaan putih

seperti kapur dan segera sesudah gigi erupsi ke dalam mulut gigi ini menunjukkan

kerusakan pada permukaannya. Apabila daerah yang putih dan porus tersebut

diprobe dengan kuat, maka sebagaian dari enamel permukaan akan terlepas

(Fejerskov et.al. 1991).

Pada tingkat keparahan dental fluorosis yang lebih tinggi permukaan gigi

yang secara keseluruhan opaque, menunjukkan terlepasnya permukaan enamel

terluar, mengakibatkan terbentuknya pit-pit. Dengan meningkatnya keparahan,

pit-pit tersebut berfusi satu sama lain sehingga membentuk pita-pita horizontal.

Pada bagian servikal, zone yang porus dan mengalami hipomineralisasi tersebut

meluas sampai mencapai hampir keseluruhan ketebalan enamel. porositas selalu

terletak tepat profundus dari lapisan enamel terluar yang tipis dan mengandung

banyak mineral. Gambaran ini akan menghasilkan enamel yang agak getas, dan

(5)

meninggalkan enamel yang sangat porus yang menjadi rentan terhadap

lingkungan rongga mulut karena stain mudah terserap oleh protein enamel, maka

terliat dengan jelas pada daerah yang banyak pit-pitnya akan berwarna coklat tua

atau bahkan hitam (Fejerskov et.al. 1991).

Pada kasus yang lebih parah lagi terjadi fusi dari pit-pit yang tidak teratur

dan akan menghasilkan gambaran seperti karatan. Akhirnya gigi yang mengalami

fluorosis yang parah akan menunjukkan hilangnya hampir seluruh enamel

permukaan. Bentuk gigi sangat berubah. Hilangnya enamel permukaan mungkin

sangat luas sehingga tinggal lengkungan opaque pada bagian servikal, yang

merupakan enamel yang masih utuh telah hilang sering berwarna coklat tua

sebagai akibat dari stain yang terserap. Warna dan perubahannya sepenuhnya

tergantung pada kondisi lingkungan pasca erupsi dan bukan merupakan sifat

intrinsic dari dental fluorosis pada manusia (Fejerskov et.al. 1991).

Dibandingkan dengan enamel yang sehat maka pada fluorosis gigi secara

histologist akan didapati hal-hal sebagai berikut :

1. Berkurangnya jumlah sel-sel ameloblast (hipoplasia) yang mengganggu

pembentukan dari matriks sehingga menyebabkan terjadinya

lobang-lobang kecil.

2. Pengurangan dari deposi-deposit mineral (hipokalsifikasi) dan disertai

perkembangan (maturasi) gigi sehingga menyebabkan terjadinya warna

seperti kapur (Monang,1995).

Kalau fluorosisnya ringan, email hanya akan kehilangan cahayanya, yang

(6)

antara kasus fluorosis ringan dengan kekusaman email yang disebabkan oleh

infeksi pada masa anak-anak, sebab-sebab genetik atau karena trauma. Akan

tetapi kekusaman demikian biasanya tidak mengganggu estetika. Bintik atau garis

lebih nyata dengan disertai bercak kuning /coklat atau tidak, akan tampak pada

kasus fluorosis moderat. Pada kasus yang sangat parah, akan terjadi

lubang-lubang kecil dan email sudah demikian hipoiplastiknya sehingga akan mudah

pecah (Kidd et.al. 1991).

2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Fluorosis Gigi 1. Usia

Pengaruh usia dalam proses terjadinya fluorosis gigi berhubungan dengan

masa erupsi gigi, dimana pada gigi yang erupsinya lebih lama memiliki potensi

terpapar fluoride lebih banyak sehingga penyerapan fluoride menjadi lebih banyak

dibandingkan gigi yang erupsi lebih awal. Pada setiap tingkatan usia,

perkembangan gigi akan berbeda. Waktu erupsi gigi pada masing-masing anak

dapat berbeda tergantung pada faktor lokal dan sistemik yang mempengaruhi

matriks pembentukan dan proses kalsifikasi. Oleh karena itu, penting bagi dokter

untuk mengetahui faktor waktu yang berhubungan dengan tahap awal masa

kalsifikasi gigi, baik intrauterine maupun saat bayi (McDonald et.al., 2011).

Pada gigi permanen, gigi yang lebih banyak dipengaruhi fluorosis adalah

molar kedua rahang bawah, kemudian molar kedua dan premolar kedua rahang

atas. Pada umumnya gigi yang memiliki fluorosis gigi parah adalah molar kedua

rahang atas, kemudian molar pertama dan premolar pertama rahang atas. Gigi

(7)

bawah. Gigi yang paling sedikit mendapatkan serangan adalah gigi-gigi insisif dan

gigi-gigi molar pertama permanen, sedangkan gigi premolar dan molar kedua dan

ketiga merupakan gigi yang sering terkena. Baik rahang atas maupun rahang

bawah, fluorosis gigi biasanya terjadi lebih parah pada gigi posterior daripada gigi

anterior. Hal ini dapat dikatakan bahwa gigi yang tumbuh paling awal

mendapatkan serangan yang paling sedikit (Fejerskov et.al., 1996; Medina et.al.,

2008).

2.1.4 Periode Usia Risiko Fluorosis Gigi

Fluorosis gigi merupakan suatu fenomena yang terjadi pada masa

pembentukan gigi, maka hanya anak usia 8 tahun ke bawah yang memiliki risiko

tinggi terkena fluorosis gigi. Sedangkan anak berusia di atas 8 tahun tidak berisiko

terkena fluorosis gigi (Center for Disease Control And Prevention, 2011). Pada

masa ini apabila seseorang terpapar fluoride lebih dari 1 ppm setiap harinya

selama minimal 2 tahun, maka dapat menimbulkan noda cokelat kehitaman pada

permukaan gigi. Namun, proses ini akan berhenti saat anak berusia 13 tahun

karena proses pembentukan enamel telah sempurna (Center for Disease Control And Prevention, 2001).

2.1.5 Indeks Mengukur Fluorosis Gigi

Untuk lebih memudahkan mengukur derajat keparahan mottled enamel

dapat dipakai :

1. Sistem klasifikasi Indeks Dean (Dean,1942) yang dibagi menjadi 6 bagian

dimulai dari enamel yang normal sampai enamel fluorosis yang parah

(8)

2. Sistem klasifikasi Indeks TFP (Thylstrup & Fejerskov, 1978) yang

merupakan penyempurnaan dari Indeks Dean. Indeks TF ini dibagi

menjadi 9 bagian dan dimulai dari mottled enamel taraf ringan

(skore TF 1) sampai taraf parah (skore TF 9) (Fejerskov et.al. 1991).

Klasifikasi fluorosis gigi berdasarkan Index Dean adalah sebagai berikut :

Normal Enamel menunjukkan translusensi normal yaitu strukturnya mirip dengan kaca, permukaanya mulus mengkilap dan

warnanya putih krem muda.

Questionable Terjadi abrasi sedikit pada enamel yang diawali dengan bintik putih yang kecil sampai terjadinya white spot. Kelas

ini diperuntukkan pada kasus-kasus yang meragukan antara

normal dengan very mild.

Very mild Terjadi bercak putih kecil, buram dan tidak teratur pada permukaan gigi, tapi tidak melibatkan lebih 25%

permukaan gigi.

Mild Terjadi daerah putih buram pada enamel yang lebih luas tetapi tidak lebih dari 50% permukaan gigi.

Moderate Semua permukaan enamel terserang dan tampak permukaan gigi atrisi. Gigi menjadi berwarna coklat.

Severe Tanda hipoplasia tampak semakin jelas disertai dengan perubahan anatomis gigi. Warna coklat pada gigi menyebar

(9)

Gambar 2.1 Indeks Pengukuran Dental Fluorosis berdasarkan Indeks Dean

Sumber : Murray, J.J., Rugg-Gunn, A.J. and Jenkins, G.N.,1991. Fluorides In Caries Prevention. 3rd ed. Butterworth-Heinemann Ltd, 325-328.

Tampilan klinis dari dental fluorosis dapat dikelompokkan menjadi 10 kelass

berkisar antara 0-39, yang akan menggambarkan secara berurutan tingkat

keparahan dental fluorosis. Klasifikasi atau pengelompokkan ini didasarkan pad

indeks TF yang aslinya diusulkan oleh Thylstrup dan Fejerskov.

Skor TF 0 Translusensi normal, warna putih krem dan mengkilapnya enamel tetap bertahan sesudah dilakukan pengeringan dan pengusapan

pada permukaannya.

(10)

ini sesuai dengan letak perikimata. Pada beberapa kasus, mungkin

terlihat adanya, sedikit snow capping pada cups/insisal edge.

Skor TF 2 Garis opaque putih lebih menonjol dan sering berfusi untuk kemudian membentuk daerah berkabut (buram) yang kecil, yang

menyebar ke seluruh permukaan. Biasanya terjadi snow capping

pada insisal edge dan puncak cusp.

Skor TF 3 Terjadi fusi garis-garis putih, dan daerah opaque berkabut di beberapa bagian permukaan. Diantara daerah berkabut tersebut

bisa terdapat garis-garis putih.

Skor TF 4 Pada seluruh permukaan terlihat adanya opasitas atau nampak putih seperti kapur (chalky white). Sebagian dari permukaan yang terdedah terhadap atrisi atau pemakaian, nampak kurang terserang.

Skor TF 5 Seluruh permukaan opaque, dan ada pit-pit bulat (hilangnya enamel permukaan setempat) yang diameternya kurang dari 2 mm.

Skor TF 6 Pit-pit kecil sering berfusi sehingga membentuk pita yang lebarnya dalam arah vertikal kurang dari 2 mm. Klas ini meliputi juga kasus

dimana cuspal rim dari enamel fasila telah terlepas dan berkurangnya dimensi vertikal yang terjadi kurang dari 2 mm.

Skor TF 7 Ada enamel bagian terluar yang terlepas, sehingga membentuk daerah yang tidak teratur pada permukaan gigi. Permukaan yang

terserang lebih dari separuh. Enamel utuh yang tersisa, opaque.

(11)

Skor TF 9 Hilangnya sebagian besar enamel terluar yang mengakibatkan perubahan bentuk anatomis pada permukaan gigi. Sering dijumpai

adanya rim enamel yang opaque di servikal.

Gambar 2.2 Indeks Pengukuran Dental Fluorosis berdasarkan Indeks

Thylstrup dan Fejerskov (TF)

Sumber : Murray, J.J., Rugg-Gunn, A.J. and Jenkins, G.N.,1991. Fluorides In Caries Prevention. 3rd ed. Butterworth-Heinemann Ltd, 325-328.

2.1.6 Perawatan Fluorosis Gigi

Penampakan fisik dari perubahan pasca erupsi fluorosis gigi yang ringan

dan parah terkadang tidak bisa diterima dan untuk itu pasien dapat meminta

dokter gigi agar melakukan perawatan kosmetik. Adapun tindakan-tindakan

(12)

bentuk kosmetik pada kasus fluorosis gigi diantaranya menggerinda dan memolis

enamel, aplikasi asam hidroklorik, pemutihan dengan hidrogen peroksida,

restorasi dengan menggunakan resin komposit dan mahkota buatan (Prabhu,

1992).

1. Menggerinda dan Memolis Enamel

Bentuk fluorosis gigi yang lebih ringan dimana terjadi fusi garis-garis

putih dan adanya daerah opak berkabut pada beberapa bagian permukaan gigi

(skore TF 2-3), dapat dirawat oleh dokter gigi dengan jalan menggerinda enamel

bagian luar yang porus dan fluorotik sampai struktur di bawahnya yang

merupakan enamel yang padat. Opasitas yang jelas dan pewarnaan pada gigi

insisivus biasanya diambil dengan mengoleskan asam phosporik pada permukaam

enamel dan kemudian dipoles dengan pumis. Pengolesan dengan asam phosporik

dan pumis diulang beberapa kali pada setiap kali kunjungan dan perawatan

diakhiri mengoleskan larutan mineral dan fluoride topical (2% sodium fluoride

dan 40% kalsium sucrose fosfat) untuk merangsang remineralisasi enamel

(Fejerskov et.al., 1993).

2. Aplikasi Dengan Asam Hidroklorik

Penggunaan senyawa-senyawa kimia untuk menghilangkan strain tertentu

dari enamel atau dentin gigi bukanlah masalah baru. Asam hidroklorik telah

dipergunakan baik dalam bentuk tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi.

Berbagai teknik pengobatan telah dikembangkan selama 70 tahun terakhir untuk

menghilangkan stain yang berhubungan dengan fluorosis, tetrasiklin dan luka

(13)

mengembangkan tehnik yang sama yang mencakup aplikasi dari 18% asam

hidroklorik ke dalam enamel yang mengalami perubahan warna dalam suatu

prosedur yang terkontrol secara cermat. Selain memberikan larutan asam dengan

cotton pellet, juga menggunakan campuran asam dan pumis halus

(Erdogan,1998).

Teknik ini bukan merupakan pemutihan murni melainkan suatu teknik

dekalsifikasi dan pembuangan selapis tipis enamel yang berubah warna (Walton

et.al.,1997). Pasta asam hidroklorik dan pumis dioleskan di atas permukaan

enamel dengan menggunakan spatel kayu. Dengan tekanan kuat, pasta digerakkan

memutar pada permukaan enamel selama 5 detik. Kemudian dicuci dengan air

selama 10 detik. Pasta diaplikasikan lagi sampai diperoleh warna yang

dikehendaki. Permukaan gigi dinetralisir dengan natrium bikarbonat dan dipolis

kembali untuk menghaluskan permukaan yang kasar. Biasanya warna yang

diinginkan diperoleh dalam satu kali kunjungan, bila hal ini tidak terjadi

kemungkinan perubahan warnanya terlalu mendalam dan tidak memungkinkan

untuk diputihkan (Prabhu, 1992; Walton et.al 1997; Grossman et.al., 1992).

Untuk mengatasi masalah dan menjamin keamanan teknik, viskositas

larutan asam ditingkatkan dengan mencampur 18% asam hidroklorik dengan

partikel-partikel kuartz (bahan resin komposit yang makrofil) sehingga larutan

berbentuk seperti gel yang mencegah asam hidroklorik mengalir secara tidak

terkontrol dan mudah larut dalam air, dimana pertikel-pertikel kuartz dan pumis bersuspensi dan berfungsi sebagai bahan abrasive. Banyak kasus-kasus pada

(14)

lama dan tidak terjadi diskolorasi kembali. Teknik ini merupakan teknik yang

paling efektif dan memerlukan waktu kunjungan yang paling sedikit

(Erdogan,1998).

3. Pemutihan Dengan Hydrogen Peroksida

Pemutihan (bleaching) dapat dikelompokkan menjadi vital dan non vital

bleaching. Non vital bleaching biasanya digunakan untuk gigi yang sudah dirawat endodonti, sedangkan vital bleaching digunakan untuk gigi dengan pulpa

vital(Walton et.al 1997; Grossman et.al., 1992; Hartono dkk, 1992). Eter anastetik

menghilangkan debris permukaan, asam hidroklorat mengetsa email dan hidrogen

peroksida untuk memutihkan enamel. Cairan diletakkan langsung pada permukaan

yang mengalami diskolorasi selama 5 menit dengan interval selama 1 menit

dengan menggunakan aplikator kapas. Pada akhir proses pemutihan, larutan

dinetralkan dengan natrium bikarbonat dan diirigasi dengan air yang banyak

(Schuurs, 1992; Walton et.al., 1997; Grossman et.al., 1992).

Kemudian dipolis dengan cuttle fish disc selama 15 detik. Proses ini diulang sampai dua atau tiga kali sebelum diperoleh warna yang diinginkan. Noda

fluoride sukar untuk diputihkan dan memerlukan perawatan yang lebih lama dan

berulang kali untuk memutihkannya. Kunjungan tambahan dan jumlah kunjungan

akan meningkat sesuai dengan beratnya perubahan warna. Namun sangat

disayangkan, selama permukaan enamel masih diproses, gigi akan cenderung

untuk membentuk noda kembali setelah beberapa saat (Walton et.al 1997;

(15)

4. Restorasi Dengan Menggunakan Resin Komposit

Pada kasus fluorosis gigi yang lebih parah bercirikan adanya pit-pit atau

terlepasnya enamel permukaan (TF 5-9), perlu dilakukan restorasi pada

permukaan labial gigi dengan bahan resin komposit dengan menggunakan teknik

etsa asam. Teknik ini lebih ekonomis dan kunjungannya sangat singkat sehingga

teknik ini mudah diterima oleh anak-anak. Tidak ada kehilangan gigi yang terjadi

dengan melaksanakan prosedur ini. Perlu diingat bahwa perawatan awal dengan

asam pada enamel yang mengalami fluorosis, memerlukan waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan enamel normal. Hasil dari perawatan semacam ini dalam

jangka panjang secara kosmetik tidak memuaskan dan pada tahap berikutnya

harus dibuatkan mahkota (Fejerskov et.al.,1993).

5. Dengan Membuat Mahkota

Mahkota buatan diindikasikan dalam kasus-kasus fluorosis gigi yang

sangat parah. Pembuatan dengan mahkota buatan ini jelas sangat mahal dan

kebanyakan hanya ditujukan untuk pasien-pasien yang mampu. Oleh karena itu,

dianggap kurang layak sebagai tindakan kesehatan publik atau masyarakat

terutama di negara-negara sedang berkembang (Fejerskov et.al,1993).

2.2 Air

2.2.1 Definisi Air

Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan

mahluk hidup di bumi ini. Air merupakan zat yang penting bagi kehidupan

manusia setelah udara. Fungsi air bagi kehidupan tidak dapat digantikan oleh

(16)

adalah sebagai air minum. Hal ini terutama untuk mencukupi kebutuhan air di

dalam tubuh manusia itu sendiri (Mulia,2005). Menurut Permenkes RI No 492

(2010) air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses

pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum .

Tidak semua air bersih yang digunakan untuk kebutuhan air minum dan

keperluan rumah tangga telah memenuhi persyaratan sebagai air minum sehingga

untuk menjadi air minum perlu dimasak terlebih dahulu. Tujuan pengolahan air

minum merupakan upaya untuk mendapatkan air yang bersih dan sehat sesuai

dengan standard mutu air. Proses pengolahan air minum merupakan proses

perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi air baku agar memenuhi syarat untuk

digunakan sebagai air minum (Kusnaedi, 2002).

2.2.2 Persyaratan Kualitas Air

Sesuai dengan Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/2010 tentang syarat

dan pengawasan kualitas air , yang dimaksud air bersih adalah air yang digunakan

untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan

dapat diminum apabila telah dimasak. Kualitas air harus memenuhi syarat

kesehatan yang meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika, kimia dan radioaktif.

Tujuan penggunaan air yang memenuhi syarat kesehatan ialah mencegah

(17)

Tabel 2.1 Persyaratan Kualitas Air Bersih Menurut Permenkes RI No 416 /Menkes/Per/IX/1990

No Jenis Parameter Satuan

Kadar maksimum

(18)

2.2.3 Sumber-sumber Air

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan

kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang dimaksud sumber air adalah

wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam

pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.

Air yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia harus berasal dari sumber

yang bersih dan aman. Menurut Chandra (2006) batasan-batasan sumber air yang

bersih dan aman tersebut, antara lain:

a. Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit

b. Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun

c. Tidak berasa dan berbau

d. Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah

tangga

e. Memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO dan Departemen

Kesehatan RI.

Air yang berada di permukaan bumi berasal dari berbagai sumber.

Berdasarkan letak sumbernya air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air

permukaan dan air tanah.

1. Air angkasa merupakan penyubliman awan/uap air menjadi air murni yang

ketika turun dan melalui udara akan melarutkan benda-benda yang

terdapat di udara. Dalam keadaan murni sangat bersih. diantara

benda-benda yang terikat dari udara ini yaitu gas (O2, CO2, H2 dan lain-lain),

(19)

2. Air permukaan merupakan air yang meliputi badan-badan air seperti

sungai, danau, telaga, waduk dan sumur permukaan. Air permukaan

merupakan salah sumber penting bahan baku air bersih. Faktor-faktor yang

harus diperhatikan antara lain yaitu mutu atau kualitas baku, jumlah atau

kauntitasnya dan kontiniuitasnya.

3. Air tanah merupakan sebagian air hujan yang mencapai permukaan bumi

dan menyerap ke dalam lapisan tanah dan menjadi air tanah. Sebelum

mencapai lapisan tempat air tanah, air hujan akan menembus beberapa

lapisan tanah dan menyebabkan terjadinya kesdahan pada air. Kesadahan

pada air menyebabkan air mengandung zat-zat mineral dalam

konsentrasinya (Sumantri,2010).

2.2.4 Air Tanah

Menurut Chandra (2006) air tanah merupakan sebagian air hujan yang

mencapai permukaan bumi dan menyerap ke dalam lapisan tanah dan menjadi air

tanah. Air tanah adalah air yang tersimpan atau terperangkap di dalam lapisan

batuan yang mengalami pengisian atau penambahan secara terus menerus oleh

alam (Harmayani, 2007). Air tanah merupakan sumber air besih yang banyak

digunakan oleh masyarakat untuk diolah menjadi air minum. Menurut Achmad

(2004) air tanah dapat melarutkan mineral-mineral bahan induk dari tanah yang

dilewatinya serta terjadi penyaringan sebagian besar mikroorganisme sewaktu air

meresap dalam tanah.

Air tanah yang terdapat dalam akuifer dibedakan menjadi dua yaitu air

(20)

di dalam akuifer yang tidak tertutup oleh lapisan impermeable, sedangkan air terkekang ialah air tanah di dalam akuifer yang tertutup oleh lapisan impermeable

(Sumantri, 2010). Menurut Sosrodarsono (2003) air bebas mempunyai suatu

keadaan pelik di dalam tanah yang disebabkan oleh kapilaritas sebaliknya

permukaan air tanah terkekang ditentukan oleh gradien antara titik pemasukan dan

titik pengeluaran dan oleh karakteristik akuifer.

Akifer bebas/tidak terkekang terbentuk ketika tinggi permukaan air tanah

(water table) menjadi batas atas zona tanah jenuh.Tinggi muka air tanah berfluktuasi tergantung pada jumlah dan kecepatan air (hujan) masuk ke dalam

tanah, pengambilan air tanah, dan permeabilitias tanah. Akifer terkekang atau

yang disebut artesis terbentuk ketika air tanah dalam dibatasi oleh lapisan kedap

air sehingga tekanan di bawah lapisan kedap air tersebut lebih besar daripada

tekanan atmosfer. Jika sumur atau pipa dibuat sampai kedalaman akifer terkekang,

maka tinggi permukaan air akan naik melebihi lapisan kedap air yang

memisahkan kedua akifer (Asdak, 2004).

Air tanah secara umum mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan,

namun dari segi kimiawi air tanah mempunyai beberapa karakteristik tertentu

tergantung pada lapisan kesadahan, kalsium, magnesium, sodium, bikarbonat, pH

dan lainnya. Keuntungan pemanfaatan air tanah diantaranya pada umumnya bebas

dari bakteri pathogen, dapat dipakai tanpa pengolahan lebih lanjut, serta praktis

dan ekonomis untuk mendapatkan dan membagikannya, sementara itu

(21)

Fe, Mn, Ca dan sebagainya serta membutuhkan pemompaan untuk

memperolehnya (Harmayani, 2007).

Air tanah bukan berarti air yang berada di bawah permukaan tanah, sebab

air yang berada dekat di bawah permukaan tanah termasuk air gaya berat. Di

bawah lapisan air gaya berat ini masih terdapat air lagi yang disebut air kapiler .

kedua jenis air tersebut dinamakan air menggantung karena tidk ditemukan

deposit air pada lapisan kapiler, sehingga air tersebut seakan-akan terpisah dari

lapisan air dibawahnya. Dibawah lapisan air kapiler terdapat lapisan air tanah

bebas yang terdapat di atas lapisan batuan dasar yang kedap air. Air tanah bebas

(unconfined aquifer) dikelola sebagai air sumur (sumur gali atau sumur bor). Air tanah mengandung garam dan mineral yang terlarut pada waktu air melalui

lapisan tanah (Sarudji, 2010).

Air tanah secara umum mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan,

namun dari segi kimiawi tanah mempunyai beberapa karakteristik tertentu

tergantung pada lapisan kesadahan, kalsium, magnesium, sodium, bikarbonat, pH

dan lain-lainnya (Harmayani, 2007).

Air tanah dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan

cara membuat sumur atau pompa air. Menurut Chandra (2006) air tanah dapat

berupa air sumur dangkal, sumur dalam maupun mata air. Sumur merupakan

sumber utama persediaan air bersih bagi penduduk yang tinggal di daerah

pedesaan maupun di perkotaan Indonesia.

Secara teknis sumur dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:

(22)

Sumur semacam ini memiliki sumber air yang berasal dari resapan air

hujan di atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis

sumur ini banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi

sehingga persyaratan sanitasi yang ada perlu sekali diperhatikan.

2. Sumur dalam (deep well)

Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami

air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah. Sumber airnya tidak

terkontaminasi dan memenuhi persyaratan sanitasi (Chandra, 2006).

2.3 Fluor

2.3.1 Definisi Fluor

Fluor merupakan salah satu unsur yang melimpah pada kerak bumi. Unsur

ini ditemukan dalam bentuk ion fluor (F). Fluor yang berikatan dengan kation

monovalen, misalnya NaF, AgF, dan KF bersifat mudah larut, sedangkan fluor

yang berikatan dengan kation divalen, misalnya CaF2 dan PbF2, bersifat tidak

larut dalam air. Fluoride merupakan elemen kimia yang bersifat sangat

elektronegatif di antara semua elemen-elemen kimia oleh karena itu tidak pernah

ditemukan dalam bentuk elemen bebas (Effendi, 2003). Fluor adalah mineral

alamiah yang terdapat di semua sumber air termasuk laut dan tidak pernah

ditemukan dalam bentuk bebas di alam (Yani, 2005). Pada umumnya fluor

bersama-sama dengan elemen lain dalam bentuk garam-garam fluoride antara lain

(23)

pertumbuhan tubuh terganggu, terjadi flourosis gigi serta kerangka. (Slamet,

2009).

Pajanan terhadap fluorida berkadar tinggi yang terjadi secara alamiah

dapat menyebabkan bercak-bercak pada gigi dan pada kasus yang parah dapat

menyebabkan kelumpuhan skeletal akibat fluorosis (WHO,2003). Pajanan harian

terhadap fluorida bergantung terutama pada area geografisnya. Dalam sebagian

besar situasi, makanan tampak menjadi sumber utama asupan fluorida dengan

kontribusi yang lebih sedikit, baik dari air minum maupun dari pasta gigi. Di

wilayah yang mengandung fluorida dalam konsentrasi yang relatife tinggi

terutama dalam air tanahnya, air minum menjadi sumber yang penting untuk

fluorida. Di wilayah yang memanfaatkan batubara berkandungan fluorida tinggi

untuk penggunaan dalam ruang, asupan fluorida juga signifikan. (IPCS, 2002;

WHO, 2003).

2.3.2 Sifat Fisik, Kimia dan Kegunaan Flourida

Fluor adalah unsur umum yang tidak terjadi secara alami di alam karena

reaktivitas tinggi. Flour menyumbang sekitar 0,3 g/kg dari kerak bumi dan

terdapat dalam bentuk fluoride dalam sejumlah mineral seperti fluorspar, kriolit

dan fluorapatite yang merupakan mineral fluoride paling umum. Keadaan oksidasi

ion fluoride adalah -1 (WHO,2004)

Hidrogen fluorida (HF) mempunyai sifat fisik tidak berwarna, tajam,

bersifat cair atau gas yang sangat larut dalam pelarut organik dan air, dapat

membentuk asam fluorida. Kalsium fluorida (CaF2) bersifat padat, berwarna,

(24)

berwarna, berupa padatan putih yang cukup larut dalam air. Sulfur heksafluorida

(SF6) mempunyai fisik tidak berwarna, tidak berbau, gas inert yang sedikit larut

dalam air dan mudah larut dalam etanol dan basa. Prosedur yang paling umum

digunakan untuk mengukur anion fluoride adalah fluoride elektroda selektif ion.

Teknik Microdiffusion dianggap sebagai metode yang paling akurat dari persiapan

sampel (pembebasan fluoride ion bebas dari kompleks organik dan anorganik)

(WHO,2002).

Senyawa fluor anorganik digunakan dalam industri untuk berbagai tujuan.

Umumnya flour tersebut digunakan dalam produksi aluminium dan sebagai fluks

dalam industri baja dan serat kaca. Senyawa tersebut juga dapat dilepaskan ke

lingkungan selama produksi fosfat pupuk (yang mengandung rata-rata 3,8%

fluor), batu bata, ubin dan keramik. Asam fluorosilicic, natrium hexafluorosilicate

dan sodium fluoride digunakan dalam kota skema fluoridasi air (IARC, 1982;

IPCS, 2002 dalam WHO 2004).

2.3.3 Transportasi , Distribusi dan Transformasi Flourida di Lingkungan

Fluorida di atmosfer dapat berupa partikulat atau gas. Fluorida di atmosfer

dapat melayang di udara hingga jarak yang jauh oleh tiupan angin atau turbulensi

atmosfer dan dapat hilang melalui kondisi deposisi basah dan kering atau

hidrolisis. Senyawa fluorida, dengan pengecualian sulfur heksafluorida, tidak

diharapkan tetap berada di troposfer untuk waktu yang lama atau untuk bermigrasi

ke stratosfer. Sulfur heksafluorida memiliki waktu tinggal di atmosfer mulai dari

500 sampai beberapa ribu tahun. Transportasi dan transformasi fluoride dalam air

(25)

tanah liat. Fluorida biasanya diangkut melalui siklus air kompleks dengan

aluminium. Transportasi dan transformasi fluoride dalam tanah dipengaruhi oleh

pH dan pembentukan didominasi aluminium dan kalsium kompleks. Adsorpsi

pada tanah fase padat sedikit lebih kuat dengan nilai pH asam (5,5-6,5). Fluoride

tidak mudah tercuci dari tanah. Penyerapan fluoride oleh biota ditentukan oleh

rute paparan, bioavailabilitas fluoride dan penyerapan / ekskresi kinetika dalam

organisme. Kelarutan bioakumulasi flourida dipengaruhi oleh air dan biota darat.

Namun, tidak ada informasi yang diidentifikasi mengenai biomagnifikasi fluoride

dalam air atau terestrial rantai makanan. Tanaman terestrial dapat mengakumulasi

fluorida diikuti deposisi udara dan serapan dari tanah (WHO, 2002).

2.3.4 Sumber Fluor di Lingkungan 2.3.4.1 Fluor di Lithosphere

Kandungan fluorida mencapai sekitar 0,3 g/kg kerak bumi dan berada

dalam bentuk fluorida di sejumlah mineral. Fluorida dapat dilepas ke dalam

lingkungan dari bebatuan mengandung fosfat yang digunakan untuk memproduksi

pupuk fosfat; deposit fosfat tersebut mengandung sekitar 4% fluorin (IPCS 2002;

WHO 2003).

Fluor adalah yang paling elektronegatif dari seluruh unsur kimia dan

karena itu tidak pernah ditemui di alam dalam bentuk elemen. Di batu dan tanah,

fluoride terdapat di berbagai mineral, termasuk fluorspar, kriolit, apatit, mika,

hornblende dan sejumlah pegmatites seperti topaz dan turmalin. Perairan dengan

kandungan fluoride yang tinggi biasanya ditemukan di kaki pegunungan dan di

(26)

Ketersediaan ion fluoride bebas di tanah dipengaruhi oleh kelarutan alami

senyawa fluoride, keasaman tanah, kehadiran mineral lain atau senyawa kimia

serta jumlah air. Peningkatan konsentrasi fluoride pada kedalaman tanah dalam

sebuah studi dar i 30 tanah yang berbeda di Amerika Serikat, 20-500 mg F- per kg

ditemukan pada kedalaman 0-7,5 cm dan tingkat 20-1620 mg F- per kg pada

kedalaman 0 -30 cm. Di daerah pegunungan, kandungan fluoride dari tanah

biasanya rendah (WHO, 1994).

2.3.4.2 Fluor di Air Fluorida secara luas didistribusikan di litosfer terutama sebagai fluorspar,

fluorapatite dan kriolit, dan diakui sebagai unsur yang paling umum ketiga belas

dalam kerak bumi. Fluorida ditemukan di air laut pada konsentrasi sekitar 1,2-1,4

mg / liter, perairan di tanah pada konsentrasi hingga 67 mg / liter, dan di sebagian

besar perairan permukaan pada konsentrasi kurang dari 0,1 mg / liter (IPCS,2002).

Fluorida ditemukan lebih sering dalam sumber-sumber air yang berbeda, dengan

konsentrasi yang lebih tinggi ditemukan dalam air tanah karena kehadiran mineral

fluoride. Konsentrasi fluoride rata-rata di air laut sekitar 1,3 mg / L (WHO,2004).

Semua air mengandung fluorida dalam konsentrasi yang berbeda-beda. Air

laut sendiri mengandung jumlah fluoride yang signifikan pada tingkat 0,8-1,4 mg

/ l. Kandungan fluoride air dari danau, sungai, atau sumur artesis sebagian besar

di bawah 0,5 mg / l, meskipun konsentrasi setinggi 95 mg / l telah dicatat di

Republik Tanzania. Air yang terperangkap dalam sedimen sejak deposisi dan air

panas yang terkait dengan gunung berapi dan deposit mineral epitermal biasanya

(27)

pernah ditemukan di air tercatat di Lake Nakuru di Rift Valley di Kenya, yakni

2.800 mg / l. Tanah di tepi danau terkandung sampai 5600 mg / l. Air tanah bisa

menunjukkan variasi kadar fluorida tergantung keberadaan fluoride pada formasi

kedalaman yang berbeda (WHO,1994).

2.3.4.3 Fluor di Udara

Fluorida didistribusikan secara luas di atmosfer dapat berasal dari debu

tanah yang mengandung fluoride, limbah industri gas, pembakaran domestik,

pembakaran batubara, serta gas yang dipancarkan pada daerah aktivitas gunung

berapi. Sumber utama polusi fluoride di udara adalah industri dan pertambangan.

Kandungan fluoride di udara di beberapa pabrik dapat mencapai 1,4 mg / m3 dan

di udara lingkungan pabrik 0,2 mg / m3. Kadar fluoride di udara pada area

non-industri pernah ditemukan sebesar 0,05- 1,90 ug / m3. Banyak masalah muncul

pada daerah pertambangan phospat dan fluorospar, dimana debu yang kaya akan

fluor tertiup angin akan menempel pada tanaman dan kemudian dapat memasuki

rantai makanan.Penggunaan pestisida yang mengandung fluoride dapat memiliki

efek yang sama sehingga penggunaannya harus dibatasi semaksimal mungkin.

Fluoride yang terdapat pada tanah dan air permukaan, penggunaan pupuk serta

pembuangan limbah industri ke sungai merupakan sumber dari fluoride yang tidak

diinginkan (WHO,1994).

2.3.4.4 Fluor dalam Makanan dan Minuman

Fluor merupakan bentuk ionik dari fluorin yang dibutuhkan tubuh agar

tulang dan gigi menjadi kuat. Fungsi fluor antara lain mencegah karies gigi,

(28)

karbohidrat dalam mulut menjadi asam, merangsang pembentukan tulang baru.

Sumber fluor yang terdapat pada makanan dan minuman diantaranya air, teh,

makanan yang diawetkan seperti hasil olahan dari unggas, ikan, dan tepung

serealia. Kadar fluor dalam air bervariasi antar 0,05 sampai 14 ppm (PERSAGI,

2009).

Fluor dianggap zat gizi essensial karena peranannya dalam mineralisasi

tulang dan pengerasan email gigi. Fluor merupakan komponen tulang kerangka

dan membantu mengurangi karies gigi. Kekurangan fluor menyebabkan kerusakan

gigi dan keropos tulang pada orang tua. Kandungan fluorida pada sayuran sangat

rendah kecuali untuk bayam. Makanan dari ikan dapat mengandung 700 μg/100 g

dan sekitar 100 μg/100 g. Kelebihan fluor menyebabkan keracunan, hal ini terjadi

pada suplementasi fluor sebesar 20-80 mg/hari (Cakrawati dkk, 2012).

Hampir semua bahan makanan mengandung pendedahan fluoride.

Konsentrasi fluoride tinggi pada tulang ikan kaleng seperti salmon dan sarden.

Pada daging, buah dan sayuran biasanya memiliki konsentrasi fluoride yang

rendah. Daun teh mengandung fluoride yang tinggi, dan konsumsi teh bata

(populer di bagian Asia) dapat menyebabkan asupan fluoride yang tinggi. (IPCS,

2002; WHO 2006).

Pada sebuah daerah dimana sumber air minumnya mengandung fluorida

yang sangat sedikit, diperkirakan kebutuhan fluorida perhari yang berasal dari

makanan adalah sebesar 0,2-0,6 mg. Daging, buah-buahan, sayur-sayuran dan

biji-bijian mengandung sedikit sekali fluorida. Makanan laut seperti ikan banyak

(29)

Jumlah fluorida dalam ikan segar adalah sebesar 1,6 ppm dan pada ikan yang

dikalengkan fluorida dapat mencapai 7-12 ppm. Daun teh yang kering

mengandung 75-100 ppm fluorida, dan rata-rata secangkir air teh mengandung

0,5-1,5 ppm (Monang,1995).

2.3.5 Metabolisme Fluor

Setelah makan fluorida, maka fluorida akan di absorpsi dalam waktu 30-90

menit, terutama melalui membrana mucosa usus. Sebagian kecil dapat diabsorpsi

melalui lambung. Mekanisme absorpsi fluorida ini berlangsung secara

pisikokhemis yaitu fluorida dengan konsentrasi tinggi yang berada diluar dinding

usus akan masuk kedalam darah yang konsentrasi fluoridanya lebih rendah.

Persentase absorpsi dari fluorida tergantung dari daya larut fluorida. Sebagai

contoh : NaF yang biasanya ditambahkan kedalam sumber air minum sudah

mengalami ionisasi dan lebih mudah larut dari pada CaF dan segera dapat diserap

oleh gigi dan tulang. Fluorida dalam susu lebih lambat diabsorpsi, tetapi

mempunyai efisiensi yang sama besar seperti fluorida dalam air (Monang,1995).

2.3.6 Distribusi Fluor

Fluorida yang dimakan akan mengalami distribusi yang cepat, dalam

waktu 1 jam kadar fluorida darah akan naik dan kemudian menurun. Dalam waktu

4 jam kadar fluorida dalam darah akan kembali normal yaitu 0,10-0,15 ppm, dan

75% dari fluorida ini terdapat dalam plasma darah dan sisanya dalam sel darah

merah, 90% dari fluorida yang terdapat dalam plasma darah ini terikat dan tidak

dapat mengalami perubahan. Jaringan lunak tidak menyimpan fluorida, tetapi

(30)

fluorida yang meningkat. Konsentrasi yang normal dari fluorida dalam air ludah

dan susu adalah kira-kira 0,1 ppm. Bila fluorida diberikan pada wanita hamil,

rupa-rupanya plasenta akan bertindak sebagai barier sehingga fluorida dalam

plasma janin lebih rendah dari pada fluorida dalam plasma si ibu (Monang,1995).

2.3.7 Ekskresi Fluor

Sebanyak 90-95% fluorida diekskresikan melalui urine sisanya dapat

ditemui dalam kotoran dan sebagian kecil dapat diekskresikan melalui keringat.

Selain hal tersebut diatas, fluor mempunyai afinitas yang tinggi terhadap kalsium,

sehingga mencegah penimbunan fluor yang berlebihan dalam jaringan lunak dan

plasma. Bila seorang anak pertumbuhannya cepat dan proses mineralisasi dari

tulang aktif, maka ekskresi dari fluor akan berkurang, sebaliknya pada orang

dewasa pertumbuhan dan mineralisasi tulang sempurna maka ekskresi fluor akan

lebih banyak. Umumnya kira-kira setengah dari jumlah F yang diabsorbsi akan

diekskresikan melalui urine setiap hari (Monang,1995).

2.3.8 Penyimpanan Fluor

Fluor disimpan dalam jaringan tulang dan gigi pada stadium mineralisasi

yang aktif. Pengaruh lokal dari fluor terutama pada gigi yang baru erupsi, dan

penambahan fluor pada enamel berlangsung selama hidup dengan jumlah yang

lebih kecil .Apabila seseorang secara teratur meminum air yang mengandung fluor

4 ppm, maka konsentrasi fluor pada lapisan luar enamel dapat mencapai 800-900

ppm. Deposisi fluor pada kristal enamel yang sedang terbentuk akan terjadi dalam

kristal, dan deposisi fluor pada kristal enamel yang telah sempurna hanya terbatas

(31)

demineralisasi, yaitu pada lesi karies yang baru, malahan enamel tersebut dapat

menerima fluor 10 x lebih banyak dari pada enamel yang sehat, sehingga dapat

menghambat proses karies. Dentin lebih banyak mengandung fluor dari pada

enamel, karena secara kimia dentin menyerupai tulang. Bagian dentin disekitar

pulpa mempunyai kadar fluor yang paling tinggi disebabkan karena dekat dengan

suplai darah. Bagian dentin yang paling sedikit mengandung fluor ialah dentino enamel junction (Monang,1995).

Menurut Monang (1995), perubahan- perubahan fisik yang akan terlihat

bila seseorang menggunakan fluor selama batas waktu tertentu :

2 - 8 ppm F - Fluorosis gigi (mottled enamel) 8 - 20 ppm F - Osteosklerosis

50 ppm F - Kemunduran pertumbuhan

5 – 10 gram F - Kematian

2.3.9 Manfaat Fluor

Penambahan fluor dapat membangkitkan suatu daya perlindungan

terhadap serangan karies. Telah diperoleh cukup bukti bahwa fluor berfungsi

dalam berbagai cara baik sebelum gigi erupsi maupun setelah erupsi. Efek

penambahan fluor dapat dirasakan pada saat pra Erupsi dan pasca Erupsi (Kidd et.al.1991).

Efek pra Erupsi

Jika ada fluor selama periode pembentukan gigi, maka hasilnya adalah

pembentukan email dengan kristal-kristal yang lebih baik yang akan lebih resisten

(32)

kristal yang lebih besar, lebih sempurna dengan kandungan karbonat yang lebih

rendah sehingga kelarutannya terhadap asam dapat dikurangi. Selain itu diduga

bahwa adanya fluor selama periode pembentukan gigi menyebabbkan bentuk gigi

yang sedikit lebih kecil dengan tonjol yang lebih membulat serta fisur yang lebih

dangkal. Walaupun penyelidikan pada binatang menyokong pendapat ini, tetapi

hasil penyelidikan pada manusia tidak konsisten. Penghentian fluoridasi air

minum ternyata telah mengakibatkan peningkatan terjadinya karies. Ini member

perkiraan bahwa efek pra erupsi dari fluor tidak besar (Kidd et.al.1991).

Efek pasca Erupsi

Beberapa penelitian klinis melaporkan kurangnya korelasi antara jumlah

penyerapan total fluor oleh permukaan email dengan penurunan insidens karies.

Hasil penyelidikan laboratorium memperkirakan bahwa mungkin ada level

optimum penyerapan flour tertentu yang kalau tidak dicapai tidak akan

memberikan manfaat. Apalagi sejak diketahui bahwa karies ditandai oleh periode

demineralisasi atau perusakan dan remineralisasi atau perbaikan yang silih

berganti, maka pandangan mengenai ‘cara kerja’ fluor telah berubah. Selama

proses demineralisasi email, zat-zat yang terlarutnya, bersama-sama dengan ion

bufernya yang berdifusi ke dalam plak dari saliva, akan menetralkan asam yang

dihasilkan kuman plak. Akibatnya, plak menjadi sangat penuh dengan mineral

terutama jenis apatit yang berarti peletakan mineral memang bisa terjadi. Ada dua

aktivitas fluor yang penting disini yaitu kehadirannya dalam asam membantu

(33)

sehingga merangsang perbaikan atau penghentian lesi karies awal (Kidd et.al.

1991).

Fluoridasi air minum adalah cara menambah konsentrasi fluor dalam air

minum sampai sedemikian rupa, sehingga menimbulkan keuntungan yang

setinggi-tingginya bagi kesehatan gigi (karies paling rendah, fluorosis paling

rendah). Menurut Monang (1995) banyaknya fluor dalam air minum paling

menguntungkan bagi kesehatan gigi dimana tergantung beberapa faktor-faktor

antara lain:

1. Banyaknya fluor yang sudah ada dalam air minum.

2. Banyaknya air yang diminum (tergantung pada iklim).

3. Banyaknya fluor yang masuk kedalam tubuh kita dari makanan atau

minuman lain (teh dan ikan, yang mengandung banyak fluor).

Keuntungan-keuntungan fluoridasi air minum antara lain :

1. Frekwensi karies turun menjadi 60%

2. Mortality dari molar 1 dikurangi menjadi 75%

3. Pengurangan karies aproksimal terutama gigi incisivus atau sampai hanya

tinggal 5%, sehingga menyebabkan adanya reduksi dalam “dentist man

hour”, yaitu waktu yang dipergunakan oleh dokter gigi untuk mengerjakan

pekerjaan dokter gigi menjadi berkurang. Hal ini disebabkan karena

kurangnya karies yang timbul, sehingga berkuranglah waktu yang

diperlukan untuk mengerjakan penambalan karies.

(34)

12-2.3.10 Konsumsi Air Minum dan Minuman Mengandung Fluor

Sumber fluoride utama manusia adalah air. Fluoride tersebut bisa ada

secara alami atau karena fluoridasi. Air minum merupakan kontributor terbesar

terhadap asupan fluoride harian. Besarnya paparan fluoride individu ditentukan

oleh kadar fluoride dalam air dan konsumsi air harian (liter per hari). Peningkatan

konsumsi air sehubungan dengan suhu, humidity, aktivitas dan status kesehatan dan didukung oleh faktor lainnya, termasuk diit (Fawell et.al., 2006).

Pada umumnya ada hubungan langsung antara meningkatnya konsentrasi

fluoride dalam air minum dengan tingkat fluorosis gigi, tetapi perlu dicatat adanya

fluktuasi konsentrasi fluoride dalam air minum dimana walaupun konsentrasinya

sedikit mungkin bisa mempengaruhi tingkat fluorosis gigi. Pada daerah yang

memiliki suhu lebih tinggi, maka dinyatakan bahwa masyarakatnya yang hidup di

daerah tersebut mengonsumsi air setiap hari lebih banyak dibandingkan dengan

masyarakat yang hidup di daerah beriklim sedang. Hal ini berarti asupan fluoride

dari air minum juga lebih banyak (Fejerskov et.al., 1996). Jumlah fluoride yang

masuk bersama air tergantung pada konsentrasi fluoride dalam air dan jumlah air

yang diminum setiap hari (Rai, 1980).

Besarnya kadar fluoride dalam air minum secara alamiah bervariasi,

tergantung pada lingkungan geologi spesifik dimana air tersebut diperoleh. Di

daerah non-fluoridasi, kadar fluoride dalam air minum dapat mencapai sekitar 2,0

mg/liter. Akan tetapi, di beberapa tempat dapat memiliki kadar fluoride hingga 20

mg/liter. Di daerah fluoridasi, kadar fluoride dalam air minum pada umumnya

(35)

0,9-1,2 mg / L, fluoride dapat menimbulkan fluorosis gigi ringan. Nilai-nilai 1,5-2

mg / L dari fluoride dalam air minum menimbulkan kemungkinan lebih tinggi dari

fluorosis gigi, sedangkan nilai melebihi 2 mg / L mungkin sangat kemungkinan

tinggi fluorosis gigi dan tulang (WHO, 1994).

Seperti disebutkan sebelumnya sebaiknya nilai minimum dan maksimum

fluoride ditetapkan dalam air minum. Jika tidak ada cukup konten fluoride dalam

air, maka hal ini dapat mengakibatkan kerusakan gigi dan gigi karies. Namun, jika

ada konsentrasi tinggi fluoride dalam air, hal ini dapat menyebabkan gigi dan

tulang fluorosis (Fawell et al., 2006). Di Cina, telah dilaporkan bahwa lebih dari

26 juta orang menderita fluorosis gigi karena konsentrasi tinggi fluoride dalam air

minum. Di Selain itu, lebih dari 1 juta kasus fluorosis tulang terkait dengan air

minum. Kemungkinan mitigasi strategi yang diusulkan termasuk menggunakan

air sungai, pembangunan waduk dan de-fluoridasi (WHO, 2004).

Penelitian terbaru menyatakan bahwa jus anggur dan teh mengandung

fluoride yang lebih banyak dibandingkan dengan air minum yang telah mengalami

fluoridasi dimana jus anggur mengandung 1,7 ppm dan teh mengandung 2,5-10

ppm. Jadi , apabila anak-anak yang masih dalam pertumbuhan, yaitu sebelum

berusia enam tahun, banyak mengkonsumsi ikan, teh, jus anggur dan minuman

lainnya maka anak tersebut memiliki kemungkinan yang besar menderita fluorosis

gigi, walaupun tinggal di daerah yang air minumnya tidak mengalami fluoridasi

(Parker, 1999).

Semua jenis teh mempunyai konsentrasi fluoride yang relatif tinggi.

(36)

dan menunjukkan konsentrasi fluoride berkisar antara 200-400 ppm. Larutan teh

segar mengandung kira-kira 1 ppm fluoride dan merupakan sumber fluoride

penting di beberapa negara. Daun teh yang kering mengandung 75-100 ppm

flourida, dan rata-rata secangkir air teh mengandung 0,5-1,5 ppm. Daun teh kering

juga memiliki tingkat signifikan tinggi fluoride hingga 400 mg / kg, namun karena

konsumsi teh paparan fluoride berakhir mulai 0,04-2,7 mg / orang / hari. Telah

terbukti, bahwa dengan semua paparan fluoride yang bervariasi dari daerah ke

daerah, air minum umumnya rata-rata terbesar tunggal kontributor asupan fluoride

harian (Murray, 1986). Karena fakta ini, intake fluoride setiap hari (mg / kg berat

badan) didasarkan pada kadar fluoride dalam air dan konsumsi air per liter per

hari.

2.4 Dampak Fluor Terhadap Kesehatan Manusia 2.4.1 Dampak Fluor Pada Gigi

Efek utama dari konsumsi jangka panjang konsentrasi tinggi fluoride

diantaranya enamel fluorosis. Enamel fluorosis dapat berkembang hanya pada anak-anak, karena hasil dari asupan tinggi tingkat fluoride selama periode

perkembangan gigi. Hal ini ditandai oleh munculnya daerah putih di enamel dan

pada bentuk ini dianggap dapat mengganggu estetika. Dalam bentuk yang lebih

parah dapat mengurangi mineralisasi enamel sehingga menghasilkan gigi yang

bernoda dan berbintik-bintik (Fewtrell et.al. 2006).

Fluorosis gigi adalah gangguan spesifik pembentukan gigi disebabkan oleh

asupan fluoride yang berlebihan. Gambaran klinis fluorosis gigi sangat bervariasi.

(37)

dapat berbintik-bintik, lurik atau bintik. Daerah yang berbintik-bintik dapat

menjadi berwarna kuning atau coklat (Pindborg dalam Murray 1991). Keadaan

ini merupakan keadaan irreversible yang disebabkan oleh pemasukan fluor yang berlebihan selama periode perkembangan gigi. Fluor menyebabkan fluorosis

dengan merusak sel pembentuk email yaitu ameloblas sehingga terjadi gangguan

mineralisasi gigi dengan terbentuknya porus pada permukaan email (Bakar, 2012).

Hasil studi meyatakan bahwa fluorida terutama dapat menimbulkan efek

pada jaringan rangka (tulang dan gigi). Konsentrasi rendah memberi perlindungan

terhadap karies gigi khususnya pada anak-anak. Namun, fluorida juga dapat

menimbulkan efek negative pada email gigi dan dapat menyebabkan fluorosis

ringan gigi pada konsentrasi sekitar 0,9 sampai 1,2 mg/liter dalam air minum

bergantung pada jumlah asupannya (IPCS, 2002; WHO, 2003).

Absorbsi fluor oleh gigi secara sistemik melalui aliran darah paling banyak

terjadi pada saat mineralisasi dari email. Dalam hal ini ion fluor terikat menjadi

satu dengan kristal email. Fluor yang terdapat dalam saliva berasal dari sistemik

juga mempunyai efek topikal pada gigi-gigi yang baru erupsi. Secara kimiawi, ion

fluor yang berasal dari makanan minuman akan menggantikan ion hidroksi dari

hidroksi apatit (Ca10(PO4)6(OH)2 menjadi fluor apatit (Ca10(PO4)6(F)2 reaksi ini

stabil sehingga fluor apatit dapat terikat kuat (Monang,1995).

2.4.2 Dampak Fluoride Pada Tulang

Tidak hanya gigi yang dibuat rapuh atau rusak, tapi juga seluruh tulang akan terancam rapuh. Akibat lebih lanjut,tumbuh-kembang menjadi terhambat serta

(38)

rasa sakit yang hebat pada tulang dan akibat yang paling fatal dapat

mengakibatkan kelumpuhan. Kelebihan fluor akibat pengaruh air minum juga

dapat mengganggu impuls syaraf serta pertumbuhan tulang di luar tulang

belakang (Tititan, 2009).

Peningkatan asupan fluorida dapat berdampak serius pada jaringan rangka.

Selain itu, disimpulkan bahwa terdapat risiko yang sangat jelas terhadap

terjadinya efek buruk pada rangka apabila asupan total fluorida mencapai 14

mg/hari dan terdapat bukti penunjang yang menunjukkan bahwa risiko efek pada

rangka akan meningkat apabila asupan total fluorida mencapai lebih dari 6

mg/hari (IPCS, 2002; WHO, 2003).

Endemik fluorosis tulang didokumentasikan dengan baik dan diketahui

terjadi dengan berbagai tingkat keparahan di beberapa bagian dunia, termasuk

India, Cina dan utara, timur, tengah dan selatan Afrika. Hal ini terutama terkait

dengan konsumsi air minum yang mengandung peningkatan kadar fluoride tetapi

eksposur sumber tambahan fluoride seperti batubara fluoride yang tinggi juga

berpotensi sangat penting. Hal ini diperparah oleh sejumlah faktor yang meliputi

iklim, terkait dengan konsumsi air, status gizi dan diet, termasuk tambahan

sumber fluoride dan paparan zat-zat lain yang memodifikasi penyerapan fluoride

ke dalam tubuh. Bukti dari paparan kerja juga menunjukkan bahwa paparan

konsentrasi tinggi fluoride di udara juga bisa menjadi penyebab fluorosis tulang

(IPCS, 2002).

Meskipun dari sejumlah studi epidemiologi yang ada, masih sulit untuk

(39)

dari fluorosis adalah patah tulang, walaupun beberapa studi telah melaporkan efek

perlindungan dari fluoride pada fraktur. IPCS menyimpulkan bahwa untuk asupan

total 14 mg per hari ada risiko kelebihan yang jelas efek samping skeletal dan ada

bukti sugestif dari peningkatan risiko efek pada kerangka sebesar total intake

fluoride sekitar 6 mg per hari (IPCS, 2002).

Pada fluorosis tulang, fluoride terakumulasi secara progresif di tulang lebih dari beberapa tahun. Gejala awal berupa kekakuan dan nyeri pada

persendian. Kelumpuhan fluorosis rangka dikaitkan dengan osteosclerosis, pengapuran tendon dan ligamen, dan kelainan bentuk tulang. Ada peningkatan

risiko efek rangka pada asupan fluoride di atas 6 mg / hari. Tingkat konsumsi

fluoride tersebut terjadi di banyak daerah di dunia karena kadar fluoride alami

yang tinggi dalam air tanah, terutama di Rift Lembah Afrika Timur dan di Cina

(Fewtrell et.al. 2006).

Pergantian normal tulang selama pembentukan mengarah pada kandungan

fluoride yang menggambarkan fluoride plasma pada saat ini, dan kedepannya

sebagai gambaran bioavailabilitas fluoride dari penyerapan makanan,minuman

dan asap yang mengandung fluoride terhirup. Variabel yang mempengaruhi

kandungan fluoride tulang termasuk asupan fluorida, usia, dan jenis tulang.

Fluorida secara biologis tersedia dari makanan dan minuman mempengaruhi kadar

fluoride plasma darah sehingga mempengaruhi tingkat penyerapan di tulang

(WHO,1994).

Peningkatan kadar fluoride tulang sebagian besar terjadi pada orang yang

(40)

tulang mencerminkan paparan kumulatif elemen selama hidup. Dua pernyataan

membingungkan muncul yang menyatakan; pertama, bahwa fluoride merangsang

pertumbuhan tulang baru sehingga berguna sebagai terapi dalam mengendalikan

osteoporosis, dan lainnya menyatakan bahwa hal tersebut sebagai penyebab

meningkatnya prevalensi patah tulang pinggul pada orang tua. (WHO,1994).

Fluorida yang ditarik kembali untuk sekitar setengahnya terikat pada

tulang, tidak mengherankan bahwa konsentrasi tulang berkorelasi dengan

pengambilannya. Selama tulang terus dibangun, konsentrasi fluorida akan tetap

hampir konstan, setidak-tidaknya pada pengambilan yang tetap sama, yang akan

menghasilkan pembangunan fluorida yang konstan di dalam tulang. Bila tulang

pada orang tua hanya tinggal sedikit dibangun, maka konsentrasi fluorida karena

adsorpsi fluorida dari darah yang terus berlangsung dan kemudian pengambilan

fluorida pada Kristal apatit secara perlahan-lahan dapat lebih lanjut naik dalam

konsentrasi (Houwink et.al. 1993).

2.4.3 Dampak Flour Terhadap Resiko Cancer

Penyelidikan epidemiologi tentang efek fluoride pada kesehatan manusia

telah diteliti pada pekerja yang terkena paparan terutama pada industri peleburan

aluminium serta populasi yang mengkonsumsi air minum berfluoride. Sejumlah

epidemiologi dengan studi analitik pada pekerja yang terpapar fluoride, terjadi

peningkatan berkaitan dengan paru-paru, kanker kandung kemih serta kematian

akibat kanker pada studi tersebut dan lainnya. Secara umum, belum ada pola yang

konsisten pada beberapa studi epidemiologi berkaitan dengan hal tersebut.

(41)

paparan pekerja terhadap zat selain fluoride. Hubungan antara konsumsi fluoride

pada air minum dengan morbiditas atau mortalitas akibat kanker telah diperiksa di

sejumlah besar studi epidemiologi yang dilakukan di beberapa negara. Tidak ada

bukti yang konsisten dari sebuah asosiasi antara konsumsi air minum berfluoride

dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat kanker (WHO, 2002).

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

Fluorosis Gigi

- umur Konsumsi Air

Minum Kadar Flour Air

Gambar

Gambar 2.1 Indeks Pengukuran Dental Fluorosis berdasarkan Indeks Dean
Gambar 2.2 Indeks Pengukuran Dental Fluorosis berdasarkan Indeks
Tabel  2.1 Persyaratan Kualitas Air Bersih Menurut Permenkes RI  No 416 /Menkes/Per/IX/1990
Gambar 2.5 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait