BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi
Menurut WHO (2005), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia, trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang).
Menurut Depkes (2005), Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/μl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa
pembesaran hati (hepatomegali).
2.1.2 Sejarah Demam Berdarah
Menurut Rezeki (2004), pada tahun 1779, David Bylon pernah melaporkan
terjadinya letusan demam dengue (dengue fever/ DF) di Batavia. Penyakit ini disebut penyakit demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun 1871- 1873 di Zanzibar kemudian di pantai Arab dan terus menyebar ke Samudera India.
. Pada dekade enam puluhan penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia
Tenggara, antara lain: Singapura, Malaysia, Srilanka, dan Indonesia. Pada dekade
ketujuh menyebar ke Polinesia hingga menyebar ke Kuba pada tahun 1981.
Di indonesia, demam berdarah (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di
Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta (1972). Epidemi pertama DBD dilaporkan
berasal dari luar pulau Jawa yaitu Sumatera Barat dan Lampung. Berdasarkan
kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand (Hindra, 2004).
Pada awal terjadinya wabah disuatu negara, distribusi umur memperlihatkan
jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun
(86-95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang
digolongkan dalam golongan usia dewasa muda meningkat. Di indonesia
penderita DBD terbanyak ialah anak berumur 5-11 tahun (Hindra, 2004)
Tahun 1968- 1995 pengaruh musim di Indonesia terhadap kejadian DBD tidak
begitu jelas, tetapi dalam garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita
meningkat antara bulan September sampai Februari yang mencapai puncaknya
pada bulan Januari. Di daerah urban berpenduduk padat puncak penderita ialah
2.1.3 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Menurut Susanna (2011) , dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan virus genus flavivirus famili Flaviviridae dan vektornya adalah nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya spesies Ae. Aegypti. Flaviviridae adalah virus berselubung kecil (40-50 nm) dengan untai tunggal, genom RNA+ sense, simetri kapsidnya
tidak dapat diidentifikasi. Spesies yang berperan sebagai vektor sekunder yakni
Ae. Albopictus, Ae. Polynesiensis, dan Ae. (finlaya) neveus, yang dapat menyebabkan Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Syndrome Shock Dengue (SSD).
Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi biasanya antara garis lintang 35 Utara dan 35 Selatan kira-kira berhubungan
dengan musim dingin isoterm 10°C (WHO, 1999). Ae. aegypti tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan terutama di daerah perkotaan. Di wilayah yang agak
kering misalnya India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada
negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 mm/tahun,
populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota dan daerah pedesaan karena kebiasaan penyimpanan air secara
tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand kepadatan nyamuk mungkin
lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2004).
rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan nyamuk sedang
sampai berat. Sementara daerah pegunungan (di atas 500 meter) memiliki
populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara ketinggian 1000
sampai 1500 meter di atas permukaan laut merupakan batas bagi penyebaran Ae. aegypti. Di bagian dunia lain spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi misalnya di Colombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2004).
Ae. aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus (arthropod-borne viruses) karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies mempunyai distribusi geografisnya masing-masing namun mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur-telur Ae. aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dengan
pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 2005).
Demam dengue dapat terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di daerah perkotaan yang bertindak sebagai vektor utama adalah nyamuk Ae. aegypti sedangkan di daerah pedesaan nyamuk Aedes albopictus namun tidak jarang kedua spesies tersebut dijumpai baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.
Hewan primata merupakan sumber infeksi Dengue di daerah hutan (Soedarto,2007).
akhir-akhir ini relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem
persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi
Di wilayah yang agak kering, misalnya, India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan
kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah
hujannya melebihi 200 cm per tahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan daerah pedesaan. Karena
kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan
Thailand kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota
daripada di daerah perkotaan. (WHO, 2004)
Urbanisasi cenderung menambah jumlah habitat yang sesaui untuk Ae. aegypti. Di beberapa kota yang banyak sekali tumbuhan, baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus dapat ditemukan, tetapi Ae. aegypti umumnya merupakan spesies yang dominan, bergantung pada ketersediaan dan tipe habitat larva dan tingkat
urbanisasi yang ada. Di Singapura, misalnya, indeks taksiran tertinggi untuk Ae. aegypti ternyata berada di rumah yang kumuh, rumah toko (ruko), dan di rumah susun dengan banyak kamar. Ae. albopictus, di sisi lain, tampaknya tidak berkaitan dengan tipe perumahan, tetapi lebih banyak ditemukan di ruang terbuka
dan bertumbuhan. (WHO, 2004)
Menurut Rezeki (2004), Di Indonesia demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru
diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun
(1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera
Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada
tahun 1974, epidemi dilaporkan Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.
Pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan yang ditularkan melalui Ae. aegypti di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan merupakan
kategori wilayah yang rendah, sedang dan tinggi kasus DBD secara berturut-turut
selama tiga periode (Januari 2010 sampai Desember 2012. Kasus Demam
Berdarah Dengue pada tahun 2012 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000
penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range
IR 16 sampai 37/10.000 penduduk.
2.2 Vektor Penularan DBD
Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang penting adalah Aedes aegypti, Ae. albopictus dan Ae. scutellaris, tetapi saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Ae. aegypti.
Nyamuk Ae. aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger morquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang
keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median
dari puggungnya yang berwarna dasar hitam (lyne shaped marking).
Dalam siklus hidupnya, Ae. aegypti mengalami empat stadium yaitu telur, larva pupa, dan dewasa. Stadium telaur, larva, dan pupa hidup di dalam air tawar yang
jernih serta tenang. Genangan air yang disukai sebagai tempat perindukannya (
breeding place) adalah genangan air yang terdapat di dalam suatu wadah atau container, bukan genangan air di tanah. Tempat-tempat perindukan yang paling potensial adalah tempat penampungan air (TPA) yang digunakan untuk keperluan
sehari-hari: drum, bak mandi, bak WC, gentong/ tempayan, ember, dan lain-lain.
Tempat perindukan lainnya yang non-TPA adalah vas bunga, pot tanaman hias,
ban bekas, kaleng bekas, botol bekas, tempat minum burung, dan lain-lain, serta
tempat penampungan air alamiah: lubang pohon, pelepah daun pisang, pelepah
daun keladi, lubang batu, dan lain-lain. Tempat perindukan yang paling disukai
adalah yang berwarna gelap, terbuka lebar dan terlindung dari sinar matahari
langsung (Soegijanto, 2006).
2.2.1 Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti
a. Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih,
b. Berkembangbiak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
WC, tempayan drum, barang-barang penampung air seperti kaleng, ban bekas, pot
tanaman air, tempat minum burung dan lain-lain,
c. Jarak terbang ± 100 meter,
d. Nyamuk betina bersifat „multiple biters„ (menggigit beberapa orang karena
e. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008).
2.2.2 Taksonomi dan Morfologi 1. Taksomoni
Nyamuk Ae. aegypti L.( Diptera: Culcidae) disebut black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar
hitam. Di Indonesia nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari
nyamuk-nyamuk rumah.
Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan nyamuk
Ae. aegypti dalam klasifikasi animalia adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes Jenis : Ae. aegypti L.
2. Morfologi
1. Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat palmpung, dan
diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding
bagian dlam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan
permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat
2. Larva
Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan
perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I,
tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri- duri (spinae) pada
dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum
menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum
jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap
struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa
duri-duri, dan alat –alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut
ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan
tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) dibagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam satu baris. Gigi-gigi sisir dengan lekungan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya
langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksisnegatif, dan waktu istirahat
membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.
Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca” koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa
adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan
dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.
4. Dewasa
Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun atas tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang
berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk- pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena
itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan plumose.
Dada nyamuk ini tersusun atas 3 ruas, porothorax, mesothorax, dan metathorax. Setiap ruas dada sepasang kaki yang terdiri dari paha (femur), betis (tibia), dan tampak (tarsus). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat
sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung ada gambaran
garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran
Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih.
Waktu istirahat posisi nyamuk Aedes aegypti tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya (Soegijanto, 2006). Pertumbuhan dari telur
sampai menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 9 hari (Sutanto,2008).
2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk
Pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur nyamuk oleh
nyamuk betina, kemudian fase selanjutnya setelah telur berkembang di dalam air
menjadi larva yang terus berkembang melalui empat tahap dengan bertambah
ukuran sehingga larva berubah menjadi pupa nyamuk dewasa dan membentuk diri
sebagai betina atau jantan dan tahap munculnya berawal dari pecahan dibelakang
kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina dewasa
menghasilkan telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi yang baru.
Pertumbuhan nyamuk satu generasi dalam setahun mampu menghasilkan
beberapa generasi tergantung dari kondisi iklim yang memengaruhinya seperti
suhu, curah hujan, kelembaban, dan lain-lain.
Genangan-genangan air biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk Ae.aegypti betina untuk meletakkan telur-telurnya. Telur Ae.aegypti yang belum sempat menetas pada musim penghujan sanggup bertahan terhadap kekeringan pada musim panas
selama beberapa bulan. Pada awal musim penghujan telur-telur ini akan digenangi
air kemudian menetas menjadi larva yang mengakibatkan peningkatan kasus
Demam Berdarah Dengue sering terjadi pada awal musim penghujan.
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air kandungan zat makanan yang ada di
dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa
dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3
hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa
memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Anonim, 1990).
Suhu dapat mempengaruhi tingkat perkembangan dan ketahanan hidup parasit dan
vector nyamuk (Zhuo et al, 2003). Suhu optimum dalam perkembangbiakan
nyamuk berkisar 20-30° C. Pada suhu hangat periode larva sekitar 4-7 hari dan di
daerah tropis periode kepompong (pupa) sekitar 1-3 hari (Rozendal, 1997). Secara
umum suhu yang lebih panas dengan kelembaban yang tinggi merupakan stimulus
perluasan secara geografis dan musim bagi vektor penyakit seperti insecta, tikus dan siput (Wawolumayo dan Irianto, 2004). Berikut gambar siklus hidup nyamuk
Ae. aegypti :
Virus dengue adalah RNA virus yang merupakan anggota famili flaviviridae dan genus flavivirus. Ada 68 anggota flalvivirus yang dibagi berdasarkan perbedaan/persamaan serologis dan yang terakhir berdasarkan sekuensi genomnya
( Soegijanto, 2006).
Secara antigenik terdapat empat serotipe dari virus Dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. DEN-1 adalah strain yang paling sering terisolasi dari semua
isolat. Keempat serotipe virus dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia.
Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak
menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Setiap strain mempunyai perbedaan
daya virulensinya. Oleh karena itu sulit dibedakan diantara strain hanya
berdasarkan pada gejala klinis dan patologis tetapi dapat dibedakan dengan tes
netralisasi menggunakan antibodi monoklonal dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Flavivirus berbentuk sferis dengan ukuran diameter 40-60 nm. Nukleokapsid berbentuk sferis dengan diameter 30 nm dan dikelilingi oleh lipid bilayer.
Komposisi virionnya terdiri atas 6% RNA, 66% protein, 9% karbohidrat, dan 17%
lipid.
2.2.5 Manifestasi Klinis DBD
Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala keluhan awal dengue tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala dan
gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan sendi, rasa lemah dan nyeri kepala dapat menyertainya (Soedarto, 2003).
Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor yaitu demam
tinggi, fenomena hemorragis, sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DHF (WHO, 1999). Walaupun
umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari Ae. aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya 3-10 hari (Sutanto, 2008).
Menurut Rezeki (2004) manifestasi klinis utama DBD yaitu:
1. biasanya ditandai oleh 4 manifestasi klinis utama ( demam tinggi, fenomena
pendarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi
2. trombositopenia ringan sampai nyata bersamaan dengan hemokonsentrasi adalah gejala laboratoris yang spesifik
3. perbedaan utama dengan demam dengue adalah adanya kebocoran plasma
yang ditandai dengan peningkatan Ht, efusi paru atau hipoproteinemia
4. DBD pada anak biasanya ditandai dengan kenaikan suhu mendadak, disertai
facial flush dan tanda lain yang menyerupai DD (anoreksia, muntah, sakit kepala serta nyeri tulang/ otot). Nyeri epigastrium, ketegangan pada batas kosta kanan dan nyeri abdomen menyeluruh juga sering ditemukan
5. Suhu biasanya > 39°C
6. Fenomena pendarahan yang sering terjadi adalah uji tourniquest (+), petekie,
ekimosis, pada ekstremitas, muka dan palatum. Epiktasis dan pendarahan gusi
7. Hati biasanya teraba pada fase demam, lebih sering ditemukan pada kasus
DBD dengan syok.
2.2.6 Mekanisme Penularan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau
wabah.Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus dengue (Rezeki, 2004).
Menurut riwayatnya nyamuk penular penyakit demam berdarah yang disebut
Aedes aegypti itu, pada awal mulanya berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut dan udara. nyamuk hidup subur
dibelahan dunia dengan iklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia,
dan Amerika. Nyamuk Aedes aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah
seperti : bak mandi,/wc, minuman burung, air tandon, air tempayan/gentong,
kaleng, ban bekas, dan lain-lain. Di indonesia nyamuk ini tersebar luas diseluruh
pelosok tanah baik di kota-kota maupun di desa-desa, kecuali di wilayah yang
ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut (Rezeki, 2004).
Nyamuk Aedes aegypti betina biasanya akan terinfeksi virus dengue saat menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam (viremik) akut
penyakit. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-10 hari, kelenjar air liur
menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka giggitan pada orang lain. Setelah
pada masa inkubasi pada tubuh manusia selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari),
sering kali terjadi awitan mendadak penyakit ini, yang ditandai dengan demam,
sakit kepala, mialgia, hilang nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala nonspesifik lain termasuk mual, muntah, dan ruam kulit (WHO, 2004).
Viremia biasanya ada pada saat atau tepat sebelum gejala dan akan berlangsung selama rata-rata 5 hari setelah awitan penyakit. Ini merupakan masa yang sangat
kritis karena pasien berada pada tahap yang paling infektif untuk nyamuk Aedes aegypti akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan jika penderita tidak dilindung dari gigitan nyamuk (WHO, 2004).
Menurut Soegijanto (2006), virus ditularkan ke manusia melalui kelenjar saliva nyamuk kemudian virus bereplikasi dalam organ target, virus menginfeksi sel
darah putih dan jaringan limfatik, virus dilepaskan dan bersikulasi dalam darah
manusia, virus yang ada dalam darah tertelan nyamuk kedua virus bereplikasi atau
melipatgandakan diri dalam perut nyamuk lainnya menginfeksi kelenjar saliva dan virus bereplikasi dalam kelenjar saliva.
Di dalam tubuh manusia virus berkembang biak dalam system retikuloendotelial dengan target utama virus dengue adalah APC (antigen presenting cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis tampak hingga 5-7 hari setelahnya. Virus bersikulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T. Manifestasi klinis infeksi
tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa gejala (asimtomatis), demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue (Soegijanto, 2006 ).
2.2.7 Patogenesis dan Patofisiologi 1. Patogenesis
Infeksi virus dengue pada beberapa sel dapat terjadi karena adanya peletakan virus pada Fc dominan antibodi mediator imun seperti monosit mengekspresikan Fc
reseptor. Selain itu sulit dijelaskan infeksi primer pada penderita tanpa antibodi
dengue atau infeksi virus pada sel tanpa Fc reseptor.
Awal virus melekat pada target sel adalah melalui critical determinant dari sel atau jaringan tropismus. Selain itu juga merupakan hasil dari interaksi antara
reseptor molekul ektodomain viral dan konseptor yang diekspresikan pada
permukaan sel target. Virus dengue menyerang permukaan sel hospes melalui reseptor sel yang dapat terinfeksi. Virus masuk ke dalam sel melalui fusi membran
atau dengan invaginasi dan pembentukan vesikel endositik. Antigen virus dengue telah terdeteksi di dalam sel monosit- makrofag dalam organ limfoid, paru-paru,
dan liver. Secara in vitro virus dengue dapat menginfeksi sel endotel dan epitel (Soegijanto, 2006).
Bila ikatan virus dengue pada reseptor permukaan sel maka terjadi endositosis. Di dalam vesikel mempunyai pH yang rendah dan terjadi perubahan ireversibel
antisense RNA negatif sebagai cetakan. Virus baru yang terbentuk kemudian
meninggalkan sel hospes dengan proses budding (Soegijanto, 2006).
2. Patofisiologi
Menurut WHO (2004), Patofisiologi Demam Berdarah Dengue ada dua perubahan yang terjadi yaitu :
a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. Demam Berdarah Dengue memiliki ciri yang unik karena kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).
b. Hemostasis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.
2.2.8 Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas tiga fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.
a. Fase Febris : demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, infeksi faring dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
b. Fase Kritis : terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu
oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
c. Fase Pemulihan : bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Sudjana, 2010).
2.2.9 Pengendalian Vektor Demam Berdarah (DBD)
Menurut Soegijanto (2006), untuk mengatasi penyakit DBD sampai saat ini masih
belum ada cara yang efektif, karena pada saat ini masih belum ditemukan obat
anti virus dengue yang efektif maupun vaksin yang dapat melindungi diri terhadap
infeksi baru dengue. Oleh karena itu perlu dipirkan cara penanggulangan penyakit
DBD dengan melalui pegendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti.
Tujuan pengendalian vektor utama adalah upaya untuk menurunkan kepadatan
populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah mungkin sehingga kemampuan sebagai vektor menghilang.
Secara garis besar ada 4 cara pengendalian vektor yaitu dengan cara 1) kimiawi,
2)biologis, 3)radiasi, 4)mekanik/ pengelolaan lingkungan.
1) Pengendalian cara kimiawi
Pada pengendalian ini menggunakan insektisida yang dapat ditujukan terhadap
nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan terhadap nyamuk
Bahan-bahan insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan
(spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organophosphor (Temesphos) dalam bentuk sand granules yang dilarutkan dalam air di tempat perindukannya (abatisasi).
2). Pengendalian cara radiasi
Nyamuk dewasa jantan diradiasi dengan bahan radioaktif dengan dosis tertentu
sehingga menjadi mandul. Kemudian nyamuk jantan yang telah diradiasi ini
dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nanti akan berkopulasi dengan nyamuk
betina tapi nyamuk betina tidak akan dapat menghasilkan telur yang fertil.
3). Pengendalian lingkungan
Dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak
dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada lubang ventilasi rumah,
jendela, dan pintu. Sekarang yang lagi digalakkan yaitu gerakan 3M: 1) menguras
tempat-tempat penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam dan
dibilas paling sedikit seminggu sekali, 2) menutup rapat tempat penampungan air
sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa, 3)
menanam/ menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dpaat
menampung air hujan.
Ada cara lain lagi yang disebut autocidal ovitrap. Disini digunakan suatu tabung silinder warna gelap dengan garis tengah ±10 cm, slaah satu ujung tertutup rapat
dan ujung yang lain terbuka. Tabung ini diisi air tawar kemudian ditutup dengan
menetas menjadi larva dalam air tadi. Bila larva menjadi nyamuk dewasa, maka
akan terperangkap di dalam tabung. Secara periodik air dalam tabung ditambah
untuk mengganti penguapan yang terjadi.
Dari semua cara pengendalian tersebut diatas tidak ada satu pun yang paling
unggul. Untuk menghasilkan cara yang efektif maka dilakukan kombinasi dari
beberapa cara tersebut. Tetapi yang paling penting, semua cara tersebut adalah
menggugah dan meningkatkan keadaan masyarakat agar mau memperhatikan
kebersihan lingkungan dan memahami tentang mekanisme terjadinya penularan
penyakit DBD, sehingga dapat berperan secara aktif menanggulangi penyakit
DBD.
4). Pengendalian genetik
Pengendalian genetik telah banyak dilakukan dalam percobaan tetapi belum
pernah ditetapkan dilapangan. Salah satu cara pengendalian genetik adalah dengan
teknik jantan mandul, yaitu melepas sejumlah besar nyamuk-nyamuk jantan yang
sudah dimandulkan. Nyamuk-nyamuk betina hanya kangen satu kali, seumur
hidup, sehingga jika nyamuk betina dikawinkan dengan nyamuk jantan mandul
tadi, maka tidak akan menghasilkan keturunan.
5). Pengendalian hayati
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan
dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme,
hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Sebagai pengendalian hayati, dapat
berperan sebagai patogen, parasit, atau pemasangan. Beberapa jenis ikan, seperti
pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing
Nematoda, seperti Romanomarmis iyengari dan R. Culiforax merupakan parasit pada larva nyamuk. Sebagai patogen, seperti dari golongan virus, bakteri, fungi
atau protozoa dapat dikembangkan sebagai pengendalian hayati larva nyamuk di
tempat perindukannya.
Dari cara-cara pendendalian vektor DBD tersebut ternyata tidak satu pun cara
yang 100% memuaskan. Karena itu konsep pengendalian terpadu melibatkan
semua cara dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi biologis, bionomis,
ekologis vektornya, serta mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya baik
dari segi biaya dan terhadap kualitas lingkungan hidup (Soegijanto, 2006).
2.3 Ekologi Vektor
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme
dengan habitat lingkungannya. Penyakit DBD melibatkan tiga organisme yaitu
virus dengue, nyamuk Ae. aegypti dan host manusia. Untuk memahami penyakit yang ditularkan vektor dan untuk pengendalian penyakit sebagai ekosistem alam
dimana subsistem yang terkait dalam ekosistem ini adalah virus, nyamuk Ae. aegypti, manusia, lingkungan fisik dan lingkungan biologi (Depkes, 2007). a. Virus dengue. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus dari family Flaviviridae terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4.
c. Manusia merupakan sebaran inang (organisme dimana parasit hidup dan
mendapatkan makanan) untuk penyakit DBD.
d. Lingkungan fisik meliputi :
1) Tempat Penampungan Air (TPA) baik di dalam maupun di luar rumah sebagai
tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti.
2) Ketinggian tempat, dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut tidak
ditemukan nyamuk Ae. aegypti.
3) Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan
kelembaban udara terutama untuk daerah pantai.
4) Kecepatan angin juga mempengaruhi pelaksanaan pemberantasan vektor
dengan cara fogging.
5) Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus di dalam tubuh nyamuk
(Depkes, 2007).
2.3.1 Faktor Host (Pejamu )
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata yang lebih rendah. Manusia merupakan resevoir utama virus di wilayah perkotaan. Penelitian
yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga
dapat terinfeksi dan kemungkinan merupakan pejamu reservoir walaupun
signifikansi epidemiologik dan observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus
dengue dapat tumbuh dengan baik pada kultur jaringan serangga dan sel mamalia setelah diadaptasikan (WHO, 2005).
Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh yang bukan bagian dari
agen maupun penjamu tetapi mampu menginfeksi agen penjamu. Lingkungan
dalam penelitian ini meliputi lingkungan fisik (curah hujan, kecepatan angin,
kelembaban dan temperatur/suhu udara). Kualitas dan kuantitas berbagai
komponen lingkungan yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan
terjadinya atau tidak terjadinya transmisi agen ke host (Soemirat, 2005).
Nyamuk Aedes aegypti bersifat urban hidup di perkotaan dan lebih sering hidup di dalam dan sekitar rumah (domestik) dan snagat erat hubungannya dengan
manusia. Jangkauan terbang (flight range) rata-rata nyamuk Ae. aegypti adalah sekitar 100 m tetapi pada keadaan tertentu nyamuk ini dapat terbang sampai
beberapa kilometer dalam usahanya untuk mencari tempat perindukan untuk
meletakkan telurnya (Soegijanto, 2006).
2.4 Bionomik Vektor
Bionomik adalah ilmu biologi yang menerangkan hubungan organisme dengan
lingkungannya. Bionomik nyamuk meliputi perilaku bertelur, larva, pupa dan
dewasa. Misalnya perilaku menggigit, tempat dan waktu kapan bertelur, perilaku
perkawinan. Iklim dalam hal ini berperan besar dalam menentukan bionomik
nyamuk (Achmadi, 2008).
1) Perilaku Makan
Aedes aegypti sangat antrofilik, walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya. Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua periode
aktifitas menggigit, pertama dipagi hari selama beberapa jam setelah matahari
menggigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim. Jika
masa makannya terganggu, Ae. aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini semakin memperbesar efisiensi penyebaran epidemi. Dengan
demikian, bukan hal yang luar biasa jika beberapa anggota keluarga yang sama
mengalami awitan penyakit yang terjadi dalam 24 jam, memperlihatkan bahwa
mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama.
Kebiasaan menggigit Ae. aegypti pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00 - 10.00 dan pukul 15.00 -17.00. Lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada
di luar rumah. Ae. aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari, tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang (WHO, 2004).
2) Perilaku Istirahat
Aedes aegypti suka beristirahat ditempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di dalam kamar tidur, kamar mandi, kamar
kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di
tumbuhan, atau ditempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan
istirahat yang mereka sukai adalah dibawah furnitur, benda yang tergantung
seperti baju dan gorden, serta di dinding (WHO, 2004).
3) Jarak terbang
Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas
sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Akan tetapi, penelitian terbaru di
400 meter terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi pasif dapat
berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam penampung (WHO, 2004)
4) Lama Hidup
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang resiko penyebaran
virus semakin besar. Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk
mengkaji survival alami Ae. aegypti dalam berbagai kondisi lingkungan (WHO, 2004).
5) Kepadatan Musiman
Faktor terpenting yang menentukan kepadatan populasi nyamuk dewasa adalah
produksi larva seperti keberadaan habitat air dan makanan larva. Suhu dan
kelembaban juga menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk
menjadi padat (Achmadi (2011). Nyamuk merupakan hewan berdarah dingin,
proses metabolisme dan siklus hidupnya tergantung pada suhu lingkungan. Suhu
rerata optimum untuk perkembangannya adalah 25-30°C dengan kelembaban
rerata 60-80%. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti bila suhu kurang dari 10°C
dan lebih dari 40°C. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk
umumnya di atas 5-6°C batas dimana spesies secara normal dapat beradaptasi
(Depkes,2005). Tergantung dari iklim, beberapa nyamuk bereproduksi sepanjang
berlawanan pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur
atau istirahat (Achmadi, 2011).
2.5 Nyamuk Sebagai Vektor
Menurut riwayatnya nyamuk penular penyakit demam berdarah yang disebut
nyamuk Aedes aegypti berawal dari Mesir dan menyebar kesleuruh dunia melalui kapal laut dan udara. Nyamuk ini hidup dan berkembang biak pada tempat
panampungan air bersih yang tidak beralaskan tanah (bak / WC, minuman burung,
tandon, kaleng, ban bekas). Nyamuk Aedes aegypti ini juga hidup di iklim tropis dan subtropis. Di Indonesia nyamuk Aedes aegypti tersebar luas diseluruh pelosok baik dari kota atau desa, kecuali wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter
diatas permukaan laut.
Perkembangan nyamuk ini dari telur hingga dewasa memerlukan waktu 10-12
hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih
darah manusia untuk mematangkan telurnya. Sedangkan nyamuk jantan tidak bisa
menggigit atau menghisap darah manusia, melainkan hidup di sari bunga
tumbuh-tumbuhan. Kepadatan nyamuk ini meningkat pada musim hujan, dimana
banyak terdapat genangan air bersih yang menjadi tempat berkembang biaknya
2.6 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Ae. aegypti
Menurut Sutanto dkk (2008) Nyamuk termasuk kelas insecta, ordo diptera dan famili culicidae. Arthropoda mempunyai empat tanda morfologi yang jelas yaitu badan beruas-ruas, umbai-umbai yang juga beruas-ruas, eksoskelet dan bentuk badan simetris bilateral. Arthropoda memiliki sistem pencernaan, pernapasan (trakhea), saraf (otak dan ganglion), peredaran darah (terbuka) dan sistem reproduksi. Nyamuk adalah arthropoda yang menyebabkan penyakit (parasit) pada manusia dan binatang penyebabnya terdiri atas berbagai macam parasit.
Perkembangan nyamuk dialam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan
faktor luar. Tinggi rendahnya populasi suatu jenis insecta pada suatu waktu merupakan hasil antara pertemuan dua faktor tersebut.
1) Faktor dalam
a) Kemampuan berkembangbiak dipengaruhi oleh keperidian (natalitas) yaitu besarnya kemampuan suatu jenis insecta untuk melahirkan keturunan baru. Sedangkan fekunditas adalah kemampuan yang dimiliki oleh insecta betina untuk memproduksi telur.
b) Perbandingan kelamin pada umumnya 1:1, akan tetapi karena pengaruh tertentu
baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan kepadatan
populasi maka perbandingan kelamin ini dapat berubah.
c) Sifat mempertahankan diri. Untuk mempertahankan hidup insecta memiliki alat/kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi dirinya dari serangan
d) Siklus hidup merupakan suatu rangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor insecta selama pertumbuhannya sejak menjadi telur sampai menjadi dewasa (imago).
e) Umur imago umumnya memiliki umur yang pendek. Misalnya Ae. aegypti memiliki umur sepuluh hari.
2) Faktor luar (faktor fisik, faktor makanan dan faktor hayati)
a) Faktor fisik : suhu dan kisaran suhu. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif
adalah suhu minimum 15°C, suhu optimum 25°C dan suhu maksimum 45°C.
Suhu 20-30°C dengan kelembaban > 60 % merupakan suhu ideal bagi kehidupan
nyamuk. Diperkirakan apabila suhu meningkat 3°C maka akan terjadi proses
penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat
(Achmadi, 2011).
b) Kelembaban/hujan. Kelembaban yang dimaksud adalah kelembaban tanah,
udara dan tempat hidup insecta dimana merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi dan perkembangan insecta.
c) Cahaya/warna/bau. Beberapa aktivitas insecta dipengaruhi oleh responnya terhadap cahaya sehingga timbul jenis insecta yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengaruhi aktivitas dan distribusi
lokalnya.
d) Angin berperan dalam membantu penyebaran insecta terutama insecta yang berukuran kecil. Selain itu angin juga mempengaruhi kandungan air dalam tubuh
2.7 Iklim Lingkungan 2.7.1 Definisi
Iklim adalah rerata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama minimal
30 tahun yang sifatnya menetap. Iklim merupakan kebiasaan alam yang
digerakkan oleh gabungan beberapa unsur yaitu radiasi matahari/lama penyinaran,
temperatur/suhu udara, kelembaban, awan, presipasi/hujan, evaporasi/penguapan,
tekanan udara dan angin (Kartasapoetra, 2008 ).
Menurut National Research Council US (2001) yang dikutip Achmadi (2008), Iklim adalah rerata cuaca pada suatu wilayah tertentu. Rerata cuaca meliputi
semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang
terjadi di permukaan bumi. Cuaca lebih menggambarkan variasi beberapa kondisi
variabel secara harian seperti cuaca cerah, mendung, panas dan lain-lain.
Sedangkan musim merupakan kondisi harian dalam kurun waktu tertentu
misalnya musim kemarau, musim hujan, musim peralihan dan semuanya ini
disebut iklim.
2.7.2 Unsur Iklim
Menurut Kartasapoetra (2008) unsur-unsur iklim adalah sebagai berikut :
a. Curah hujan
Merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang
terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Agar
terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam
belerang. Curah hujan 1 mm artinya air hujan yang jatuh setelah 1 mm tidak
curah hujan kurang dari 0,5 mm per hari. Intensifikasi hujan artinya banyaknya
curah hujan per satuan jangka waktu tertentu. Apabila intensitasnya besar berarti
hujan lebat dapat mengakibatkan banjir (Kartasapoetra, 2008). Indeks Curah Hujan (ICH) tidak secara langsung mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk,
tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan
tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang
menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih
(misalnya cekungan dipagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, atap atau talang
rumah). Tersedianya air dalam media menyebabkan telur nyamuk menetas dan
setelah 10-12 hari akan berubah menjadi nyamuk (Achmadi, 2010). Curah hujan
merupakan salah satu variabel meteorologi yang dapat digunakan sebagai early warming“ pengendalian nyamuk.
Berdasarkan penelitian Iriani (2012) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara
curah hujan dan peningkatan jumlah kasus DBD yang dirawat. Efek dari
perubahan curah hujan dapat memengaruhi kelangsungan hidup nyamuk dan
perkembangbiakan nyamuk mernjadi lebih cepat.
Menurut Felipe J. Colón-González dkk (2011) dalam penelitiannya di Meksiko
menyatakan bahwa curah hujan berpengaruh terhadap dengue. Perubahan pada curah hujan tersebut mempengaruhi vector borne diseases yaitu kemampuan bertahan hidup vektor, kecepatan reproduksi, kecocokan habitat, distribusi
Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan curah hujan
yang berdampak pada meningkatnya habitat larva nyamuk sehingga
meningkatkan kepadatan populasi nyamuk (Achmadi, 2008).
b. Kelembaban
Kelembaban udara (humiditas) udara adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat
menstimulasi curah hujan. Di Indonesia kelembaban udara tertinggi dicapai pada
musim hujan dan terendah pada musim kemarau. Besarnya kelembaban disuatu
tempat pada musim erat hubungannya dengan perkembangan organisme (Guslim,
2007). Kelembaban dan curah hujan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi penyebaran aktivitas dan perkembangan insecta. Pada kelembaban yang sesuai akan membuat insecta lebih tahan terhadap suhu ekstrim.
Kelembaban mempengaruhi usia nyamuk, masa kawin, penyebaran, kebiasaan
makan dan kecepatan virus bereplikasi. Pada kelembaban tinggi umumnya
nyamuk hidup lebih lama dan cepat menyebar. Oleh karena itu, nyamuk
mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk makan pada orang yang terinfeksi
dan menularkan virusnya kepada orang lain (Promprou, 2005 dalam Adriyani,
2012). Nyamuk dapat bertahan pada kelembaban 60-80%.
Menurut Sukowati (2008), kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk Ae.aegypti terutama pada siklus telur. Bila kelembaban udara kurang, telur dapat menetas dalam waktu yang lama bisa
Menurut Gobler dalam Awida Roose (2008), kelembaban udara memengaruhi
umur nyamuk. Pada suhu 200C kelembaban nisbi 27% umur nyamuk betina 101
hari dan umur nyamuk jantan 35 hari, kelembaban nisbi 55% umur nyamuk betina
88 hari dan nyamuk jantan 50 hari. Pada kelembaban nisbi kurang dari 60% umur
nyamuk akan menjadi pendek, tidak dapat menjadi vektor, karena tidak cukup
waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Oleh karena itu,
kelembaban udara lebih dari 60% membuat umur nyamuk Ae. aegypti menjadi panjang serta potensial untuk perkembangbiakkan nyamuk Ae. aegypti.
c. Temperatur/suhu udara
Temperatur/suhu udara adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan
skala tertentu dengan menggunakan thermometer. Satuan suhu yang biasa digunakan adalah derajat celcius sedangkan di Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan dalam derajat Fahrenheit (Kartasapoetra, 2008). Musim hujan dan musim kemarau memiliki pengaruh pada tingkat suhu lingkungan. Saat
pergantian musim penghujan ke musim kemarau konsdisi suhu udara berkisar
antara 23-31°C, ini merupakan range suhu yang optimum untuk
perkembangbiakan nyamuk (24-28°C). Perubahan iklim yang ditandai dengan
peningkatan suhu rerata dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk
Ae.aegypti dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berkembang dari fase telur menjadi nyamuk dewasa. Suhu lingkungan dengan kelembaban yang
tinggi di musim kemarau akan mempengaruhi bionomik nyamuk seperti perilaku
Menurut Achmadi (2011), temperatur udara yang meningkat perilaku nyamuk
akan semakin beringas dan keinginan untuk melakukan perkawinan sesama
nyamuk semakin meningkat. Biasanya sehabis mengadakan perkawinan maka
perilaku keinginan menggigit manusia atau binatang semakin meningkat.
d. Kecepatan angin
Kecepatan angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari satu
tempat ke tempat lain secara horizontal. Massa udara adalah udara dalam ukuran
yang sangat besar yang mempunyai sifat fisik (temperatur dan kelembaban) yang
seragam dari arah yang horizontal (Kartasapoetra, 2008). Menurut Andriani
(2001) dalam Dini dkk (2010) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara faktor iklim kecepatan angin dan angka insiden DBD
selama tahun 1997-2000. Menurut Achmadi (2011), kecepatan arah angin, curah
hujan dan suhu lingkungan harus diperhatikan karena bisa berperan dalam rangka
perkembangbiakan nyamuk terutama nyamuk Aedes di perkotaan.
Kecepatan angin akan memengaruhi daya jangkau terbang nyamuk Ae. Aegypti. Semakin luas daya jangkau nyamuk maka semakin banyak kesempatan untuk
kontak dengan manusia sehingga umur dan masa reproduksi nyamuk akan
semakin panjang.
2.7.3 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Perubahan iklim berpotensi meningkatkan frekuensi perubahan panas dan dingin,
bencana banjir dan kekeringan, bencana tanah longsor juga dapat merubah
kandungan gas di udara. Oleh karenanya perubahan iklim akan berdampak pada
penyakit. Dampak lain perubahan iklim di Indonesia meningkatnya frekuensi
penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Hal ini disebabkan oleh
naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek.
Dampaknya nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembangbiak dengan
cepat. Balita, anak-anak dan lanjut usia sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Terbukti tingginya angka kematian yang disebabkan oleh malaria 1-3 juta/tahun
dimana 80% nya adalah balita dan anak-anak (Meiviana dkk, 2004).
Nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue hanya berkembangbiak pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari 16°C dan pada
ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Namun sekarang
nyamuk tersebut telah banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian
1.000-2.195 meter di atas permukaan laut. Perluasan persebaran ini akan meningkatkan
risiko terjangkitnya penyakit DBD di suatu daerah yang belum pernah terjangkit.
Perubahan iklim meningkatkan curah hujan yang berdampak pada meningkatnya
habitat larva nyamuk sehingga meningkatkan kepadatan populasi nyamuk.
Peningkatan kelembaban juga meningkatkan agresivitas dan kemampuan nyamuk
menghisap darah dan berkembangbiak lebih cepat.
1. Curah Hujan dengan Demam Berdarah Dengue
Curah hujan yang tinggi berpengaruh terhadap tempat perkembangbiakan
musim kemarau serta perbedaan lamanya musim hujan dan kemarau
menyebabkan pengaruh pada perubahan bionomik nyamuk Ae. aegypti.
Menurut Sintorini (2007) yang mengutip dari Burke et al., (2001) bahwa banyak yang menduga KLB Demam Berdarah Dengue yang terjadi setiap tahun hampir seluruh di Indonesia terkait erat dengan pola cuaca di Asia Tenggara. Tingkat
penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim
yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi. Sintorini (2007)
menyatakan bahwa curah hujan mempengaruhi angka hinggap per jam nyamuk
Aedes (AHJ). Curah hujan dan AHJ bersama-sama mempengaruhi jumlah kasus DBD di DKI Jakarta.
Menurut Majidah (2010) dalam Rohimat (2002) menyatakan bahwa curah hujan
bulanan yang melampaui 300 mm akan meningkatkan kasus DBD sebesar 120%.
Menurut Achmadi (2007), perubahan iklim juga memengaruhi pola curah hujan
dan menimbulkan kejadian bencana khususnya banjir. Banjir merupakan
penyebab tersebarnya agen penyakit dan wabah penyakit menular nyamuk Ae. aegypti/Ae. albopictus tersebar luas di tanah air dan ada terus menerus sepanjang tahun dengan kepadatan yang turun naik sesuai dengan musim, pada musim
hujan akan naik dan musim kemarau akan turun sedikit banyak dipengaruhi oleh
klimatologi.
2. Kelembaban dengan Demam Berdarah Dengue
Musim hujan dan musim kemarau memiliki pengaruh pada tingkat suhu
lingkungan. Saat pergantian musim penghujan ke musim kemarau suhu udara
perkembangbiakan nyamuk (24-28°C) akan menstimulus nyamuk untuk menjadi
lebih agresif dalam mancari mangsa dan menimbulkan frekuensi gigitan nyamuk
semakin meningkat yang pada akhirnya tentu akan meningkatkan probabilitas
tertular penyakit (Achmadi, 2008). Apabila kelembaban terlampau rendah yaitu
dibawah suhu 2°C sampai 42° C maka telur akan menetas dalam waktu 4 hari.
Dalam keadaan optimal perkembangan telur sampai nyamuk dewasa berlangsung
selama sekurang-kurangnya 9 hari (Soedarmo, 2009).
3. Kecepatan Angin dengan Demam Berdarah Dengue
Penelitian Andriani (2001) menyatakan semakin tinggi kecepatan angin maka
semakin sulit nyamuk untuk terbang karena tubuhnya yang kecil dan ringan
sehingga mudah terbawa angin. Kecepatan angin akan mempengaruhi penyebaran
nyamuk Ae. aegypti. Kecepatan angin akan mempengaruhi daya jangkau terbang nyamuk Ae. aegypti.Semakin luas daya jangkau nyamuk maka semakin banyak kesempatan untuk kontak dengan manusia sehingga umur dan masa reproduksi
nyamuk akan semakin panjang (WHO dalam Silaban, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian Dini dkk, (2010) menyatakan bahwa fluktuasi
rata-rata kecepatan angin di Kabupaten Serang tahun 2007-2008 hanya 2,5 knot yang
berarti jauh dari batas kecepatan angin yang menghambat aktivitas terbang
nyamuk yaitu 22-28 knot. Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk dalam rumah sehingga pengaruh angin dalam penyebaran vektor ini sangat kecil.
4. Temperatur/suhu dengan Demam Berdarah Dengue
Iklim berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen penyakit baik virus,
lingkungan ambient lainnya. Menurut Sintorini (2007) yang mengutip dari WHO
(2002), penyakit yang ditularkan melalui nyamuk seperti Demam Berdarah
Dengue (DBD), malaria dan demam kuning berhubungan dengan kondisi cuaca yang hangat. Sebaliknya influenza berhubungan dengan kondisi cuaca yang
dingin dan meningitis berhubungan dengan kondisi lingkungan yang kering.
Waktu yang dibutuhkan untuk setiap stadium vektor DBD dari mulai telur, larva
dan pupa serta bentuk dewasanya sangat bergantung keadaan lingkungan seperti
suhu (Dini dkk, 2010).
2.8 Kerangka Teori
Penyakit Demam Berdarah Dengue terjadi karena adanya faktor pendukung seperti limgkungan fisik antara lain suhu udara, curah hujan, kelembaban udara,
dan kecepatan angin. Lingkungan bilogi juga mendukung terhadap kejadian
demam berdarah dengue seperti keberadaan tanaman dihalaman rumah bisa menjadi tempat vektor beristirahat dan berkembangbiak. Lingkungan sosial sosial
seperti perilaku menggantung pakaian didalam kamar, tidak menguras bak mandi,
membiarkan barang-barang bekas terbuka dan menampung air hujan sehingga
nyamuk Aedes aegypti dapat bertelur dan berkembangbiak.
Demam Berdarah Dengue semakin menyebar seiring dengan perubahan iklim seperti tingginya curah hujan di bulan-bulan tertentu sepanjang tahun, suhu udara
optimum, kelembaban optimum dan arah angin yang menyebabkan vektor
berpindah tempat dengan cepat memicu terjadinya penyakit Demam Berdarah
Berdasarkan kerangka teori diatas, banyak faktor yang menyebabkan penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD). Salah satunya perilaku masyarakat seperti menggantungkan pakaian, tidak menguras bak mandi, kebiasaan tidak menutup
TPA, membiarkan barang bekas menjadi tempat vektor berkembangbiak.
Berdasarkan hasil penelitian Rotua, (2009) yang melakukan penelitian di Kota
Medan pada Tahun 2009, menyatakan bahwa warga kota Medan sudah memiliki
pengetahuan yang cukup baik dalam Demam Berdarah Dengue (DBD) tetapi dalam hal sikap dan tindakan tidak sesuai dengan pengetahuannya. Berdasarkan
Lingkungan Fisik:
hasil penelitian ini berasal dari informan yaitu Bu Diana salah satu warga
Kecamatan Johor Kota Medan yang mengatakan bahwa dari pengetahuan beliau
sudah mengetahui tentang Demam Berdarah Dengue (DBD), tetapi dalam hal sikap dan tindakan perilaku beliau tidak sesuai dengan pengetahuan beliau. Bu
Diana masih sering menggantungkan pakaian yang sudah dipakai seharian,
menggantung handuk lembab di kamar, jarang menguras bak mandi kamar
mandi, dan rumah beliau juga lembab.
Untuk kebersihan lingkungan sekitar, Bu Diana beranggapan bahwa untuk
pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) hanya dengan menjaga kebersihan rumah, tidak adanya sampah yang berserakan disekitar rumah. Tetapi Bu Diana
kurang mengetahui bahwa botol/ gelas plastik yang tidak dipakai dapat menjadi
tempat peristirahatan vektor Demam Berdarah Dengue (DBD). Selain itu keluarga Bu Diana juga dalam hal mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan lotion
anti nyamuk, anti nyamuk listrik, dan bakar. Perilaku beliau salah satu mencegah
terjadinya Demam Berdarah Dengue (DBD), tetapi bisa berdampak pada kesehatan keluarga Bu Diana.
2.9 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori diatas, banyak hal yang menjadi faktor penyebab
Demam Berdarah Dengue (DBD) seperti perilaku, lingkungan sekitar, iklim daerah tersebut. Dalam penelitian ini faktor perilaku dan lingkungan sekitar
Maka disusun kerangka konsep dibawah ini berdasarklan variabel-variabel yang
diteliti. Variabel dependen adalah kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD). Variabel independen terdiri atas curah hujan, kecepatan angin, kelembaban udara,
dan temperatur udara. Kondisi alam tersebut merupakan kondisi alam yang
memengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kerangka konsep dan keterbatasan data yang ada, maka kerangka konsep dalam penelitian
ini sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Curah Hujan
Kecepatan Angin Kejadian Demam Berdarah
Dengue (DBD) Kelembaban Udara
Temperatur Udara