TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
MenurutSteeniset al., (2005) kedudukan tanaman karet dalam tatanama (sistematika) sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta,
Sub-diivisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Euphorbiales, Famili:
Euphorbiaceae, Genus:Hevea, Spesies : Hevea brassiliensis Muell. Arg.
Akar tanaman karet merupakan akar tunggang yang mampu menopang
batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas, dengan akar seperti itu pohon karet
dapat berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan
danAndoko, 2005).
Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar.
Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh
lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet ada
kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara. Batang tanaman
ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Nugroho, 2010).
Daun karet berselang-seling, tangkai daunnya panjang, terdiri dari 3 anak
daun yang licin berkilat. Petiola tipis, hijau, panjang 3,5-30 cm. Helaian anak
daun bertangkai pendek dan berbentuk lonjong-oblong atau oblong-obovate,
pangkal sempit dan tegang, ujung runcing; sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah
agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).
Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan betina yang terdapat dalam malai
payung tambahan yang jarang.Pangkal tenda bunga berbentuk lonceng. Pada
ujungnya terdapat lima taju yang sempit. Panjang tenda bunga 4-8 mm. Bunga
mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik yang akan dibuahi
dalam posisi duduk juga berjumlah tiga buah. Bunga jantan mempunyai sepuluh
benang sari yang tersusun menjadi suatu tiang. Kepala sari terbagi dalam dua
karangan, tersusun sembilan satu lebih tinggi dari yang lain. Paling ujung adalah
suatu bakal buah yang tidak tumbuh sempurna (Maryani, 2007).
Karet merupakan buah berpolong (diselaputi kulit yang keras) yang
sewaktu masih muda buah berpaut erat dengan rantingnya.Buah karet dilapisi oleh
kulit tipis berwarna hijau dan didalamnya terdapat kulit yang keras dan
berkotak.Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna
kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering.Pada
waktunya pecah dan jatuh, tiap ruas tersusun atas 2-4 kotak biji.Pada umumnya
berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji.Biji karet terdapat
dalam setiap ruang buah.Jumlah biji biasanya ada tiga kadang empat(Budiman,
2012).
Buah beruang tiga, jarang yang beruang 4 hingga 6, diameter buah 3-5 cm
dan terpisah 3,4,6. Coci berkatupdua, pericarp berbentuk endokarp berkayu. Biji
besar, bulat persegi empat, tertekan pada satu atau dua sisinya, berkilat berwarna
coklat muda, dengan noda noda coklat tua, panjang2-3,5 dan tebal 1,5-2,5 cm
(Sianturi, 2001).
Syarat Tumbuh
Iklim
Secara garis besar tanaman karet dapat tumbuh baik pada kondisi iklim
sebagai berikut: suhu rata-rata harian 280C (dengan kisaran 25 - 350C) dan curah
haripertahun. Pada daerah yang sering hujan pada pagi hari akan mempengaruhi
kegiatan penyadapan bahkan akan mengurangi hasil produktifitasnya. Keadaan
daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah daerah-daerah Indonesia bagian
barat, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimatan, sebab iklimnya lebih basah (Budiman,
2012).
Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai
4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 hari kerja/tahun.
Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan
berkurang(Anwar, 2001).
Kelembaban nisbi (RH) yang sesuai untuk tanaman karet adalah rata - rata
berkisar antara 75% - 90%.Kelembapan yang terlalu tinggi tidak baik untuk
pertumbuhan karet, karena dapat membuat laju aliran transpirasi tanaman karet
menjadi kecil sehingga absorbsi unsur hara dari tanah menjadi lambat. Selain itu
tanaman sering mengalami gutasi dan terjadi kelelahan lateks akibat retakan kulit.
Angin yang bertiup kencang dapat mengakibatkan patah batang, cabang atau
tumbang. Angin kencang pada musim kemarau sangat berbahaya, laju
evapotranspirasi menjadi besar (Sianturi, 2001).
Tanah
Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karetbaik
tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah vulkanis
mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum,
kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum
kurang baik karena kandungan haranya rendah.Tanah alluvial biasanya cukup
tanah berkisar antara pH 3,0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan pH >
8,0 (Anwar, 2001).
Tanaman karet bukanlah tanaman manja, dapat tumbuh pada tanah-
tanahyang mempunyai sifat fisik baik, atau sifat fisiknya dapat diperbaiki. Tanah
yang dikehendaki adalah bersolum dalam, kedalaman lapisan padas lebih dari 1
m, pemukaan air tanah rendah yaitu ± 10 – 20 cm. Sangat toleran terhadap
kemasaman tanah, dapat tumbuh pada pH 3,8 hingga 8,0, tetapi pada pH yang
lebih tinggi sangat menekan pertumbuhan (Sianturi, 2001).
Klon Tanaman Karet
Untuk meningkatkan produktivitas perkebunan karet rakyat, pemerintah
telahmenempuh berbagai upaya antara lain perluasan tanaman, penyuluhan,
intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan serta penyebaran klon – klon unggul
benih karet. Dalammenunjang keberhasilan peningkatan produktivitas perkebunan
karet, telah dilakukanusaha khususnya terhadap benih karet(Syukur, 2013).
Rekomendasi klon-klon karet untuk periode tahun 2010- 2014 berdasarkan
hasil rumusan Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet Tahun 2009, yaitu
sebagai berikut: Klon Anjuran Komersial a.) klon penghasil lateks terdiri: IRR
104, IRR 112, IRR 118, IRR 220, BPM 24, PB 260, PB 330, dan PB 340;b.) klon
penghasil lateks-kayu terdiri: IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107,dan RRIC 100
(Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2013).
Potensi Klon PB260 penghasil lateks pertumbuhan jagur resisten :
Klon dari jenis IRR ini terdiri dari klon penghasil lateks (IRR 104),
lateks-kayu(IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 107, IRR 112, dan IRR 118), dan
penghasil kayu (IRR 70, IRR 71, dan IRR 72). Klon IRR termasuk dalam klon
anjuran yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan
produktivitas tanaman karet yang ada di Indonesia. Klon IRR memiliki potensi
produksi mencapai 2,9 – 3,2 ton karet kering per ha per tahun, sehingga sangat
potensial untuk dijadikan sebagai batang atas (Marchinoet al., 2010).
Pada umumnya klon yang berproduksi tinggi tanpa stimulasi mempunyai
kadar Pi tinggi dan sukrosa rendah, yang menunjukkan aktifitas metabolisme yang
tinggi. Sebaliknya, kadar Pi rendah dan sukrosa tinggi pada klon berproduksi
rendah, yang menunjukkan rendahnya aktifitas metabolisme lateks
(Lacote, 2007).
Thiol (R-SH) berfungsi sebagai antioksidan, sehingga stres oksidatif
sebagai akibat aktifnya metabolisme dalam sel dapat ditekan.Kadar R-SH yang
rendah menunjukkan terlalu intensifnya eksploitasi sehingga perlu dikurangi
dengan menurunkan intensitas sadapan maupun stimulasi (Gohet et al.,1996).
Kering Alur Sadap (KAS)
Penyakit kekeringan alur sadap mengakibatkan kekeringan alur sadap
sehingga tidak mengalirkan lateks, namun penyakit ini tidak mematikan tanaman.
Penyakit ini disebabkan oleh penyadapan yang terlalu sering, terlebih jika disertai
dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethepon. Adanya kekeringan alur
sadap mula-mula ditandai dengan tidak mengalirnya lateks pada sebagian alur
sadap. Kemudian dalam beberapa minggu saja keseluruhan alur sadap ini kering
cokelat karena pada bagian ini terbentuk gum (blendok). Kekeringan kulit tersebut
dapat meluas ke kulit lainnya yang seumur, tetapi tidak meluas dari kulit perawan
ke kulit pulihan atau sebaliknya. Gejala lain yang ditimbulkan penyakit iniadalah
terjadinya pecah-pecah pada kulit dan pembengkakan atau tonjolan pada batang
tanaman (Anwar,2001).
Sel pembuluh lateks mengalami penyumbatan dan menjadi sel tilosoid. Sel
tilosoid ini melebar ke arah sel sel tetangga dan meluas sehingga jaringan
tilosoidpun berbentuk. Bidang sadap yang memiliki jaringan tilosoid ini bila
disadap pada awalnya akan mengalami kekeringan alur sadap sebagian (KAS
parsial), kemudian meluas dan dikenal sebagai KAS total (Tistamaet al., 2006). Kejadian KAS menurut Abraham et al, (2006), diklasifikasikan menjadi tanaman tidak terserang KAS (0%), rendah (0-25%), sedang (25-50%), tinggi
(50-75%), dan sangat tinggi (>75%). Klasifikasi tersebut digunakan untuk mengetahui
luas kejadian KAS dibidang panel sadapan. Persentase kejadian KAS dapat
diperoleh dari perbandingan panjang luas yang tidak mengeluarkan lateks dengan
total panjang keseluruhan bidang sadap dikalikan 100%.
KAS dapat menyebar cepat dalam jangkawaktu 2-4 bulan ke seluruh kulit
bidangsadapan. Penyebaran KAS mengikuti alurpembuluh lateks dan arah
sadapan. Proses penyebaran KAS pada bidangsadap BO-1 mengarah ke seluruh
1 dibawah irisan sadap. Penyebaran berikutnyamenyebar ke bidang panel
BO-2 bagian bawahyang dilanjutkan ke bagian atas hinggabertemu mencapai HO-1.
Pola penyebaranKAS di B1-1 hingga B1-2 kulit juga sama.Proses penyebaran
yang cepat disebabkan oleh kecepatan terbentuknya tilosoid lebih
penyebaran sel-sel tilosoid bilatidak diidentifikasi sejak dini maka dapatdipastikan
tanaman beberapa tahunselanjutnya tidak dapat mengeluarkan lateks saat disadap
(Andriyanto dan Tistama, 2014).
Gambar 1. Pola penyerangan jaringan Tilasoid penyebab KAS Sumber : Andriyanto dan Tistama(2014)
Kering alur sadap dapat menyebar dengan cepat dalam angka waktu 2-4
bulan keseluruh kulit bidang sadap. Penyebaran KAS diduga mengikuti alur
pembuluh lateks dan arah sadap. Proses penyebaran KAS pada bidang sadap
BO-1 mengarah keseluruh BO-BO-1 dibawah irisan sadap. Penyebaran berikutnya
menyebar ke bidang panel BO-2 dibagian bawah yang dilanjutkan ke bagian atas
hingga bertemu mencapai HO-1. Pola penyebaran KAS di B1-1 hingga B1-2 kulit
juga sama. Proses penyebaran yang cepat disebabkan oleh kecepatan terbentuknya
tilasoid lebih tinggi dibandingkan dengan irisan sadap pada sadapan selanjutnya
(Sumarmadji, 2005).
Kejadian KAS banyak terjadi di perkebunan karet akibat penerapan sistem
eksploitasi yang tidak tepat. Fakta yang sering kali ditemukan di lapangan yaitu
praktisi kebun tidak membedakan konsentrasi dan interval aplikasi stimulan untuk
klon quick starter maupun klon slow starter, pemberian stimulan saat musim gugur daun ,banyak terdapat luka kayu, dan konsumsi kulit yang boros(Jacob and
Krishnakumar, 2006).
Deteksi dini dampak intensitas exploitasi terhadap tanaman karet dapat
dilakukan dengan analisis fisiologi berupa ukrosa, Pi (fosfat anorganik) dan thiol.
Status ketiga unsur tersebut dapat digunakan untuk menilai kondisi keletihan
fisiologis tanaman. Titik kritis status ketiga unsur tersebut sangat tergantung
kepada klon, unsur dan dinamika fisiologis tanaman atau variasi musiman. Secara
umum dapat digambarkan bahwa titik kritis untuk sukrosa < 4 mM, untuk Pi>25
mM dan untuk thiol < 0,4Mm. Dalam penilaian ini biasanya masih membutuhkan
peubah-peubah yang lain seperti produksi g/p/s, kadar karet kering dan
sebagainya. Namun cara ini dapat secara preventif mengatasi terjadinya KAS.
Beberapa perkebunan menerapkan analisis lateks setahun sekali untuk
menetapkan sistem sadap tahun berikutnya (Tistamaet al., 2006).
Gangguan fisiologis pada tanaman karet yaitu sebagian atau seluruh alur
sadapnya kering dan tidak mengalir lateks, atau bisa disebut brown bast (BB) atau tapping dryness (TPD) atau kering alur sadap (KAS) dan sebagian petani pekebun ada yang menyebut mati kulit, diduga disebabkan oleh terjadinya
ketidakseimbangan antara lateks yang terambil dan lateks yang terbentuk.
Ketidakseimbangan tersebut di yakini antara lain disebabkan karena gangguan
stimulanyang tidak mengikuti anjuran. Akibatnya antara lain menurunnya
kemampuan pohon untuk memproduksi lateks (Arief dan Island, 2006).
Hasil pengamatan terhadap kandungan sukrosa pada tanaman yang sehat
dan tanaman yang terkena KAS sebagian, ternyata kandungan sukrosa dari pada
tanaman yang sehat, hal ini membuktikan dua hal, pertama : adanya suplai
hamabatan biosintesis karet sehingga sukrosa tidak dimanfaatkan dalam proses
tersebut sehingga terjadi penumpukan(Tistama et al, 2006).
Kering Alur Sadap (KAS) mengakibatkan berkurangnya jumlah sel-sel
latisifer yang terdapat dalam jaringanfloem. Sel-sel latisifer merupakan buluh
getah yangmengalirkan lateks pada alur sadap. Selain itu KAS juga
mengakibatkan koagulasi cairan lateks dengan waktu yang singkat sehingga dapat
mengakibatkan penurunan produksi lateks yang diikuti oleh terjadinya degradasi
sel-sel lateks yang masih baru terbentuk (Deka et al., 2006).
Munculnya KAS dipicu oleh ketidakseimbangan antara regenerasi lateks
di dalam pembuluh lateks dengan pengambilannya melalui penyadapan.Tuntutan
produksi yang cukup tinggi seringkali mendorong praktisi kebun melakukan
penyadapan berlebihan melebihi kemampuan tanaman meregenerasi lateks. Upaya
mencapai target produksi kebun pada umumnya dilakukan dengan meningkatkan
jumlah ataupun frekuensi pemberian stimulan. frekuensi pemberian stimulan yang
tidaksesuai dengan rekomendasi dapat menyebabkan gangguan fisiologis pada
tanaman karet sehingga dapat mengganggu biosintesis lateks
(Budiman dan Boerhendhy, 2006).
Tanaman yang terkena KAS terjadi hambatan perubahan mevalonat
menjadi isopenteril piroposfat (IPP). Hambatan tersebut terjadi akibat kurangnya
suplai ATP sebagai sumber energi pada reaksi perubahan mevalonat menjadi IPP.
Pada tahapan tersebut merupakan proses reaksi yang membutuhkan banyak
energi. Status ATP yang rendah juga diiringi dengan status fosfat anorganik yang
cendrung menurun jika tanaman dieksploitasi dengan sistem sadap yang lebih
intensif (Krisnakumar et al.,2001).
Komponen fisiologis lateks lainnya adalah thiol. Thiol (R-SH) berperan
dalam mengaktifkan beberapa enzim yang berhubungan dengan cekaman
lingkungan. Status thiol berhubungan pada saat mendapat tekanan sistem
ekploitasi. Semakin tinggi intensitas eksploitasi semakin rendah status thiol dalam
lateks. Pada tanaman yang mengalami KAS status thiolnya lebih rendah
dibandingkan dengan tanaman sehat. Kemungkinan jaringan kulit
mengalamiproses keletihan yang dapat diikuti dengan kematian secara parsial
sel-sel pembuluh lateks (Tistama et al., 2006).
Reactive Oxygen Species(ROS)
Radikal bebas dibentuk oleh metabolisme xenobiot atau metabolismesel
aerob secara normal. Reactive oxygen species (ROS) adalah radikal bebas yang berperan penting pada beberapa proses fisiologis organ tubuh. Pembentukan ROS
dapat menginduksi peroksidasi lipid yang bersifat sitotoksik akibat inisiasi suatu
reaksi rantai kedalam membran, diikuti reaksi propagasi sehingga secara
keseluruhan akan mengakibatkan kerusakan sel(Astutiet al., 2009).
Dalam kondisilabil, molekulROSmengikat berbagaimekanisme
pertahananantioksidan.Kesetimbangan
antaraproduksidanpengikatanROSmungkintergangguoleh berbagai
faktorstresbiotikdan abiotikseperti salinitas,radiasi UV, kekeringan, logam
berat,suhu ekstrim,kekurangan gizi dan udara. Melaluiberbagai reaksi,
O2mengarah padapembentukanH2O2, OHdanROS lainnya.
ROSterdiriO2,H2O2, 1
reaktifdanberacundan penyebabkerusakanprotein, lipid, karbohidrat, DNAyang
akhirnya menghasilkankematian sel (Sarvajeet dan Narendra, 2010).
Reactive oxygen species (ROS) merupakan oksidan yang sangat reaktif dan mempunyai aktivitas yang berbeda. Dampak negatif senyawa tersebut timbul
karena aktivitasnya, sehingga dapat merusak komponen sel yang sangat penting
untuk mempertahankan integritas sel. Setiap ROS yang terbentukdapat memulai
suatu reaksi berantai yang terus berlanjut sampai ROS itu dihilangkan oleh ROS
yang lain atau sistem antioksidannya (Maslachah et al., 2008).
Reactive oxygen species (ROS) secara alami dihasilkan didalam metabolisme tanaman. Selama stress biotik dan abiotik, ROS tersebut
terakumulasi di dalam jaringan jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi yang
dapat menghilangkan ROS tersebut. Detoksifiasi ROS melalui SOD peroksidase
dan katalase secara enzimatik maupun melalui mekanisme non enzimatik lainnya
mampu menghilangkan ROS dari jaringan tanpa menimbulkan kerusakan. Oleh
karena peroksidase dan katalase memiliki peranan utama didalam proses
penghilangan molekul H2O2 didalam jaringan biologis(Gebelin et al., 2013). Fungsi enzim yang berbeda-beda dalammenghadapi ROS mengakibatkan
tingkatekspresi gen responsif terhadap ROS beragampada berbagai perlakuan.
Seperti telahdisebutkan sebelumnya bahwa tingkat cekamanoksidatif dapat
ditentukan dari jumlah ROSseperti superoksida, peroksida, dan radikalhidroksil.
Oleh karena itu,keseimbangan aktifitas enzim SOD, APX, dankatalase sangat
penting untuk menekan leveltoksisitas ROS di dalam sel. Saat aktifitaskatalase
rendah di tanaman, aktifitas enzimlain, yaitu APX akan meningkat(Arlyny,
Asam Askorbat
Vitamin C dalam tubuh aktif dalam 2 bentuk yaitu asam askorbat dan
dehidroaskorbic acid (DHA). Vitamin C dalam bentuk asam askorbat berperan sebagai scavenger radikal bebas, selain itu juga mampu menghambat pembentukan radikal bebas, sedangkan dalam bentuk DHA akan menghambat
secara langsung aktifasi nuclear factorkappabeta (NF-kB) faktor transkripsi inflamasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa vitamin C lebih efektif
dibandingkan dengan α-tokoferol dalam mengurangi proses patofisiologi akibat
stres oksidatif seperti aterosklerosis, karena vitamin C mempunyai kemampuan
menangkap oksigen dan nitrogen reaktif secara efektif, dan vitamin ini
mempunyai kemampuan untuk regenerasi α-tokoferol sehingga avaibilitas vitamin
α-tokoferol ini dalam tubuh tetap terjaga.Setelah bereaksi dengan radikal
bebas,vitamin C pun akan menjadi produk radikal, namun karena degradasinya
sangat singkat (10-5 detik) sehingga ia tidak reaktif, salah satu alasan vitamin C
disukai sebagai antioksidan (Julahir, 2010).
Vitamin C diproduksi oleh tumbuhan dalam jumlah yang besar. Fungsi
vitamin C bagi tumbuhan dalah sebagai agen antioksidan yang dapat menetralkan
singlet oksigen yang sangat reaktif, berperan dalam pertumbuhan sel, berfungsi
seperti hormon, dan ikut berperan dalam proses fotosintesis. Vitamin C hanya
dapat dibentuk oleh tumbuhan dan terdapat pada sayuran serta buah-buahan dalam
jumlah yang besar.Hal ini disebabkan karena tumbuhan memiliki enzim
mikrosomal L-gulonolakton oksidase, sebagai komponen dalam pembentukan
Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat laju oksidasi.
Antioksidan ini memiliki banyak komponen dan merupakan zat alami yang
dihasilkan sendiri oleh tubuh atau didapat dari makanan yang kita makan.
Antioksidan bekerja dengan cara menghentikan pembentukan radikal bebas,
menetralisir serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi. Radikal bebas
merupakan atom atau melekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas dianggap pasangan elektronnya.Radikal bebas dapat
bereaksi dengan molekul sel tubuh dengan cara mengikat elektron dari melekulsel
tersebut dan dapat menyebabkanreaksi berantai yang merusak tubuh (Ardianti et al., 214).
Selain antioksidan tersebut, sumber-sumber antioksidan eksogen yang
berasal dari makanan sehari-hari juga diperlukan untuk meminimalkan stres
oksidatif, sepertivitamin-vitamin (vitamin C, vitamin E, ß–karoten), dan senyawa
fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin, polifenol).Vitamin C merupakan
vitamin larut dalam air, secara tunggal dapat menghambat proses oksidasi
LDL.Vitamin C bekerja bersama-sama dengan vitamin E dalam menghambat
reaksi oksidasi. VitaminC mengikat vitamin E radikal yang terbentuk pada proses
pemutusan reaksi radikal bebas oleh vitamin E, menjadi vitamin E bebas yang
berfungsi kembali sebagai antioksidan. Vitamin E merupakan vitamin larut dalam
lemak, dapat memutuskanreaksi radikal bebas pada jaringan dan merupakan
antioksidan yang dominan dalampartikel LDL (Sulistyowati, 2006).
Salahsatu pendekatan untuk mendorong toleransi stres oksidatif yang akan
meningkatkansubstrat enzim pada tingkat sel adalah asamaskorbat. Asam askorbat
dalam beragam prosesfisiologis penting, termasuk biosintesisdinding sel,
metabolit sekunder danfitohormon, toleransi stres, fotoproteksi,pembelahan dan