• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Makalah Difteri Makalah DIFTERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Contoh Makalah Difteri Makalah DIFTERI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak)

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.

(2)

beserta cakupan dari imunisasi tersebut. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional.

1.2 Rumusan masalah

1.2.1 Bagaimana anatomi fisiologi saluran nafas atas ? 1.2.2 Bagaimana definisi difteri ?

1.2.3 Bagaimana etiologi difteri ? 1.2.4 Bagaimana Patofisiologi difteri ? 1.2.5 Bagaimana klasifikasi difteri ? 1.2.6 Bagaimana Manifestasi difteri ?

1.2.7 Bagaimana Penatalaksanaan difteri ? 1.2.8 Bagaimana Pencegahan difteri ? 1.2.9 Bagaimana komplikasi difteri ? 1.2.10 Bagaimana hasil penelitian difteri ?

1.2.11 Bagaimana system pelayanan kesehatan difteri ? 1.2.12 Bagaimana legal etis difteri ?

1.3 Tujuan

(3)

Untuk mempelajari difteri 1.3.2 Tujuan khusus:

Untuk mengetahu iAnatomi dan fisiologi traktus respiratorius atas,Defenisi,Etiologi,Patofisiologi,klasifikasi,manifestasi

klinis,penatalaksanaan medic,pemeriksaan diagnostic,pencegahan,dan komplikasi untuk mengetahui hasil penelitian serta pelayanan kesehatan difteri yang legal dan etis.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi saluran nafas atas 2.1.1 Anatomi

Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra. Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang tenggorokan untuk mamalia.

a. Rongga mulut

(4)

merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.

Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar.

Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.

Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.

(5)

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.

(6)

palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.

Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot:

1. Mukosa

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.

Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.

2. Palut Lendir (Mucous Blanket)

Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.

3. Otot

(7)

biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.

4. Pendarahan

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.

5. Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).

6. Kelenjar getah bening

Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.

(8)

Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.

2. Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

2.1 .Dinding posterior faring

Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.

(9)

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.

2.3.Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.

(10)

papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar. 3. Laringofaring (hipofaring)

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus.

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “ kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.

(11)

pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.

2.1.2 Fisiologi a.Fungsi faring

Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci:

1. Penelanan

(12)

gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.

2. Proses berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

2.2 Definisi

Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak)

(13)

2.3 Etiologi

Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.

Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:

a. Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.

b. Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

c. Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

(14)

glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.

Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atauintermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriaeadalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupunin vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:

1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.

2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)

3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, danCorynebacterium serosis.

Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.

(15)

a. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.

b. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.

2.4 Patofisiologi

(16)

kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.

(17)

Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

2.5 Klasifikasi

Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

a) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.

b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien, yaitu:

(18)

b) Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).

c) Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

d) Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.

2.6 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.

(19)

menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3

Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan menghilang dan membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala – gejala yang lebih berat dan membrane secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga ke telinga yang lain dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3

Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.

(20)

pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.

b. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.

2.7 Penatalaksanaan medik 2.7.1 Isolasi dan karantina

Penderita di isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah masa akut terlampoi. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:

a) Biakan hidung dan tenggorok

b) Seyogyanya dilakukan tes SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)

c) Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.3 Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diftery.

Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.

(21)

Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery + penisilin Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif).3

2.7.2 Pengobatan a. Tindakan Umum 1. Tujuan :

a. Mencegah terjadinya komplikasi

b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul

2. Jenis Tindakan :

a) Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi

b) Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,)

c) (stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan. d) Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal

e) Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring) f) Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring. g) Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :

1. Berikan Oksigen

2. Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :

(22)

i) Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah

j) Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah

k) Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.

b. Tindakan Spesifik 1. Tujuan :

a. Menetralisir Toksin b. Eradikasi Kuman

c. Menanggulangi infeksi sekunder

2. Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) : 1. Serum Anti Difteri (SAD)

Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit. a) 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.

b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.

c) 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,

komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

(23)

jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah anafilaktik ini maka harus dilakukan :

1. Uji Kepekaan

a. Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

b. Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,

maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).

c. Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia. Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :

a) Tes kulit

a. SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.

b. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.

b) Tes Mata

· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah

(24)

· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ) · Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000

Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut: · 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan · 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan · 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan · 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan · 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan · 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan

adrenalin 1:1000. 2. Antibiotik

a. Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari·

b. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

(25)

a. Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)

b. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

c. Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia) 2.8 Pemeriksaan Diagnostik

a. Schick test

Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. b. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.

2.9 Komplikasi

1. Gangguan pernapasan

(26)

putih keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.

2. Kerusakan jantung

Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.

3. Kerusakan saraf

Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas.

2.10 Pencegahan a. Isolasi penderita

Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.

b. Pencegahan terhadap kontak

(27)

c. Imunisasi

Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.

Cara Pencegahan

1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.

2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.

3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).

(28)

Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.

Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.

b) Untuk usia 7 tahun ke atas:

Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).

Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.

Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.

(29)

5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar :

a. Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).

b. Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.

c. Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.

(30)

penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.

(31)

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 PENGKAJIAN

a. IDENTITAS

b. RIWAYAT KESEHATAN

- Riwayat Kesehatan Sekarang

Perhatikan tanda-tanda atau gejala klinis dari difteri - Riwayat Kesehatan Dahulu

Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala difteri yang masih akut

- Riwayat Kesehatan Keluarga

Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri c. PEMERIKSAAN FISIK

Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari kepala samapai kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiologi.

d. PEMERIKSAAN PENUNJANG

(32)

hari. Jika uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi secara aktif.

e. POLA GORDON

1. Pola nutrisi dan metabolik: disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu makan berkurang (anoreksia) muntah dsb.

2. Pola eliminasi : Bandingkan sesudah atau sebelum penyakit difteri dengan mencatat frekuensi sehari

3. Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas, lemah dan lesu

4. Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak mau tidur

5. Pola persepsi kognitif : anak akan susah berkonsentrasi 3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. ketidakefektifan ola nafas berhubungan dengan sesak nafas

2. ketidakbersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.

3. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).

4. kekurangan volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

3.3 INTERVENSI

1. ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sesak nafas NOC:

Pola pernafasan menjadi efektif setelah dilaksanakan tindakan perawatan

(33)

a. Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada Kedalaman pernapasan bervariasi tergantung derajat kegagalan napas

b. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas tambahan Bunyi napas menurun bila jalan napas terdapat gangguan (obstruksi,perdarahan,kolaps)

c. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan

d. Bantu pasien dalam napas dalam dan latihan batuk Dapat meningkatkan pernapasan karena adanya obstruksi

e. Berikan oksigen tambahan untuk memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas

2.ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.

NOC :

Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada distres pernafasan.

NIC :

a. Kaji frekuensi atau kedalaman pernafasan dan gerakan dada

b. Auskultasi area paru, satat area penurunan atau tidak ada aliran udara dan bunyi nafas adventisius, mis. Crackles, mengi.

c. Bantu pasien latian nafas sering. Tunjukan atau bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.

d. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml perhari(kecuali kontraindikasi). Tawrakan air hangat daripada dingin .

e. Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain, mis. Spirometer insentif, IPPB, tiupan botol, perkusi, postural drainage. Lakukan tindakan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin.

(34)

NOC :

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.

NIC :

a. Identifikasi faktor yang menimbulkan mual/ muntah.

b. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan mulut.

c. Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan. d. Auskultasi bunyi usus, observasi/ palpasi distensi abdomen.

e. Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering atau makanan yang menarik untuk pasien.

f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan.

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

NOC :

Volume cairan menjadi adekuat. NIC :

a. Kaji turgor kulit. b. Timbang pasien

c. Mengukur intake dan output cairan d. Observasi konsentrasi urine.

e. Observasi lidah dan mukosa membran.

f. Bantu pasien mengidentifikasi cara untuk mencegah kekurangan cairan.

(35)

1. Imunisasi DPT

2. Biasakan hidup sehat dan selalu menjaga kebersihan lingungan. 3. Tingkatkan imunitas tubuh dengan makan makanan yang

mengandung nutrisi seimbang, berolahraga, dan cukup istirahat serta mengurangi stress.

4. Mengetahui gejala dan bahaya yang disebabkan difteri.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8

Vol.1. Jakarta:EGC,Ainizah. 2011. Asuhan Keprawatan difteri,Wahyu. 2012.

Asuhan keperawatan difteri.Herdman,T.Heather.2012.Diagnosis

Keperawatan .Jakarta:EGC,Wilkinson, Judith M.2011.Buku Saku Diagnosis

Referensi

Dokumen terkait

Tinggi tanaman induk, umur masak, bobot 100 butir, dan hasil biji tanaman ratoon plasma nutfah sorgum umur genjah (<85 hari)... Bobot 100 butir dari tanaman ratoon yang jauh

Pencampuran asam salisilat serbuk dengan methanol terlebih dahulu dilakukan untuk melarutkan asam salisilat, lalu ditambahkan 8ml H 2 SO 4 pekat kedalam labu alas datar

Medium Padat yang dapat dicairkan, yaitu medium yang dalam keadaan panas berbentuk cair tapi dalam keadaan dingin berbentuk padat, seperti medium Nutrient

Dengan ditetapkannya pertimbangan tingkat materilitas awal oleh kantor akuntan publik maka auditor akan mudah melakukan proses audit, dimana yang pertama auditor

- Senin s/d Jumat : 08.00 s/d 17.00 - Sabtu - hari libur : 08.00 s/d 15.00 Bila pasien pulang diluat jam kerja untuk urusan KLINIK AFINA CILEGON RAWAT INAP HANYA

Dalam 1 Korintus 12:28 Paulus menempatkan rasul-rasul (yang adalah universal), nabi-nabi dan pengajar-pengajar (yang adalah universal dan lokal), serta diaken-diaken dan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang Analisa biaya dan efektivitas bronkodilator (Salbutamol dan teophylin ) pada pasien paru rawat inap di

Rajah di bawh ialah carta pai yang menunjukkan bilangan buah rambutan yang dimakan oleh 4 orang