• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYEWA YANG MELAKUKAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH

A. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.

Syarat-syarat untuk sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:40

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Dibawah ini akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat syarat sahnya

perjanjian itu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para

pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau

saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan

tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.41

Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah, kapan

saatnya kesepakatan itu terjadi? Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul jika para

pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu

tempat dan disitulah dicapai kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya dalam pergaulan

40Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung :Alumni), 2004, hal. 205.

(2)

hukum di masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak perjanjian terjadi

antara para pihak melalui surat-menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan

saatnya kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian –

perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas , saat terjadinya kesepakatan

merupakan saat terjadinya perjanjian.42

Apabila ternyata dalam memberikan kesepakatan-kesepakatan itu terdapat

unsur kekhilafan, atau dengan diperoleh dengan suatu paksaan atau penipuan maka

dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan demikian ketentuan yang terdapat dalam Pasal

1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kekhilafan yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian yaitu kekhilafan

mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian, dan selain itu kekhilafan

yang lain tidak menjadi batalnya suatu perjanjian (Pasal 1322 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata).

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan

hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang

oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan

tertentu.43

(3)

Dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat asas umum yang

mengatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh

undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.44

Pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tersebut diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

mengatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

1). Orang-orang yang belum dewasa;

Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.

Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini.”

Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memberikan

arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:

a). seorang baru dikatakan dewasa jika ia:

i). telah berumur 21 tahun; atau

ii).telah menikah;

44Menurut M. Isnaeni substansi Pasal 1329 KUHPerdata, khususnya pada redaksi “…cakap

(4)

hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah

menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum genap berusia 21

tahun tetap dianggap telah dewasa.

b). anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili

oleh:

i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah kekuasaan

orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

ii).Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan

orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).45

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa:

(1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.”

Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, kecakapan bertindak orang pribadi dan

kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:46

a). jika seseorang:

i). telah berumur 18 tahun; atau

ii). telah menikah;

45 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,( Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2003, hal 129-130.

(5)

iii).seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya

dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah

dewasa.

b). seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah,

dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan

orang tua ( yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

ii).walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan

orang tuanya ( artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).

2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas

dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan.

Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang

anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang

dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu

atau kuratornya.47

Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa

yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros.

pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu

menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk

mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan

(6)

mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau

pengampunya (Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).48

3). Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada

umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan,

baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari

Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi.49Hal ini

berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September

1963, telah menghapus Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa: ”seorang istri tidak diperkenankan menghibahkan,

menggadaikan, memindah tangankan dan sebagainya ataupun melakukan suatu

pelunasan atau menerima suatu pembayaran masing-masing tanpa izin tertulis atau

tegas dari suaminya” dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa: “seorang istri tidak diperbolehkan menghadap pengadilan tanpa

izin suaminya.” Dengan dihapuskan kedua pasal diatas maka nyatalah kepada kita

bahwa tidak ada lagi perbedaan hak antara suami-istri, ini semua berlaku untuk warga

48 Mohd. Syaufii Syamsuddin,Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 16.

49

(7)

Negara Indonesia, sehigga istri dapat bertindak bebas melakukan tindakan hukumnya

ataupun menghadap ke pengadilan, walaupun tidak ada izin dari suaminya.50

3. Suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu

perjanjian. Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata barang yang

menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan

jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat

ditentukan atau diperhitungkan.51 Pada perikatan untuk memberikan sesuatu,

kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut

haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual-beli misalnya, setiap

kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli

harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya.52

4. Suatu sebab yang halal.

Didalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab”

yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja

dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “suatu

perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau

yang terlarang, tidaklah mempunyai.”

50Pr86’s Weblog, http://pr86.wordpress.com/2008/05/17/surat-edaran-mahkamah-agung/, diakses pada tanggal 12 Nopember 2012.

51Riduan Syahrani,Op.Cit,hal. 209-210.

(8)

Jadi didalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan

bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1). bukan tanpa sebab;

2). bukan sebab yang palsu;

3). bukan sebab yang terlarang.53

Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut diatas dapat diklasifikasikan

kedalam dua kelompok yaitu:

a. Syarat subyektif

1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2). Kecakapan membuat perikatan.

b. Syarat obyektif

1). Suatu hal tertentu

2). Suatu sebab yang halal.

Dikatakan syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada

subyek-subyek perjanjian itu. Sedangkan yang dikatakan syarat-syarat obyektif

adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, yang meliputi suatu sebab

yang halal dan suatu sebab tertentu.

Akibat hukum dari syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat

dibatalkan, maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut memang ada tetapi dapat

dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.

53

(9)

Adapun apabila pihak tidak memenuhi syarat objektif itu adalah apabila syarat

tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum atau dengan kata lain

batal dengan sendirinya. Hal ini berarti secara yuridis sejak lahirnya perjanjian itu

sudah batal atau perjanjian itu memang ada tetapi tidak berlaku.

Disamping itu dalam hal perjanjian yang batal demi hukum tersebut, maka

pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain di depan hakim sebab dasar

hukumnya tidak ada.

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang

telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut.

Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.54

B. Asas-Asas Dalam Perjanjian.

Asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat suatu

perjanjian antara lain:

1. Asas kebebasan berkontrak

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem

terbuka,artinya memberi keleluasan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola

hubungan hukumnya. 55

Sistem terbuka Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata ini tercermin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah

54Ahmadi Miru,Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 67.

55Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial

(10)

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, itu dimaksudkan

untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian yaitu kekuatan yang sama dengan

suatu undang-undang.

Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk

melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan

perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan

syarat-syarat perjanjian.56

Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum

perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:57

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapaia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan

dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak

sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam

56Ibid,hal. 110.

57Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para

(11)

satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait.58Apabila mengacu

rumusan Pasal 1338 ayat(1) KUHPerdata yang dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam

satu kerangka sistem hukum perjanjian /kontrak (vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338

ayat (1) serta 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), maka penerapan asas

kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal

ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian dengan memerhatikan

hal-hal sebagai berikut:

a. memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.;

b. untuk mencapai tujuan para pihak, perjanjian harus ada mempunyai kausa;

c. tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang;

d. tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban

umum;

e. harus dilaksanakan dengan itikad baik.59

2. Asas konsensualisme.

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkandung asas

yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan

“ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaanwaarde).60 Di dalam asas ini

terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan

58Agus Yudha Hernoko,Op. Cit, hal. 111. 59Ibid, hal. 118.

(12)

kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas

kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.61

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan

berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti,

yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal

1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.62 Pelanggaran terhadap ketentuan ini

akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai

undang-undang.

3. Asaspacta sunt servanda.

Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,asas pacta sunt

servanda63dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata mengatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang bagi mereka yang membuatnya.” Pengertian berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang-undang-undang sendiri

mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan

pembuat undang-undang.64

61Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 43-44.

62Ibid, hal. 37.

63N. E. Algra et al., dalam “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia”, (Jakarta : BinaCipta, 1983), Cetakan pertama, hal. 384.

64

(13)

Di dalam pandangan Eropa Kontinental, asas kebebasan berkontrak

merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian yaitu konsensualisme

dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai pacta sunt

servanda. Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt

servandaberkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang

mengadakan perjanjian, sedangkan kebebasan berkontrak menyangkut isi

perjanjian.65

4. Asas itikad baik.

Dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

mengatakan “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Apa

yang dimaksud dengan itikad baik (good faith) perundang-undangan tidak

memberikan defenisi yang tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

yang dimaksud dengan itikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud,

kemauan yang baik.66 Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae dijelaskan bahwa

goede trouw” adalah itikad baik.67

Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan

jujur” atau “secara jujur”.68 Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua

macam, yaitu:

65Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hal. 197.

66Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta : Balai Pustaka), 1995, hal. 369.

67N.E. Algraet al.,Op.Cit, hlm 174.

(14)

a). Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik

disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat

yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks

ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang

bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab

dan menanggung risiko. Itikad baik semacam ini diatur dalam Pasal 1977 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1963 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak

milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis.

b). Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan

hukumnya. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan

dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu

hal.69

C. Wanprestasi.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa wanprestasi adalah

kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang terdiri dari dua macam sifat.

Pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak

(15)

secara sepatutnya sedang yang kedua adalah terdapat hal-hal yang disitu prestasinya

tidak dilakukan pada waktu yang tepat.70

Sedangkan M. Yahya Harahap,71pengertian wanprestasi adalah “pelaksanaan

kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknnya”.

Kalau begitu seorang debitur (penyewa) berada dalam keadaan wanprestasi, apabila

dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dalam

jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut

selayaknya atau sepatutnya.

Dari kedua pendapat diatas, dapatlah kita menarik suatu pengertian bahwa

yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu kesengajaan dan kelalaian debitur

yang mengakibatkan ia tidak dapat memenuhi prestasi yang harus dipenuhinya dalam

suatu perjanjian.

Jadi dapat dilihat bahwa wanprestasi itu terjadi atau timbul apabila si berutang

yakni debitur tidak memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan dalam suatu

perjanjian dengan kreditur atau si berutang.

1. Timbulnya ganti rugi (schade vergoeding).

Kewajiban “ganti rugi” (schade vergoeding) tidak sendirinya timbul pada saat

kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, “setelah” debitur

“dinyatakan lalai.” Harus ada “pernyataan lalai” dari kreditur.

(16)

Pernyataan berada dalam keadaan lalai ini ditegaskan oleh Pasal 1243 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “penggantian perongkosan, kerugian

dan bunga, baru merupakan kewajiban yang harus dibayar debitur; setelah ia untuk

itu “ditegor kealpaannya” melaksanakan perjanjian; akan tetapi sekalipun sudah

ditegor ia tetap juga melalaikan peringatan dimaksud.

Dari ketentuan pasal diatas terdapat suatu asas umum: untuk lahirnya

kewajiban “ganti rugi” debitur harus lebih dulu diletakkan/ditempatkan dalam

“keadaan lalai”, melalui prosedur “peringatan /pernyataan lalai”. Kalau begitu si

debitur sudah dapat dikatakan berada dalam keadaan lalai, jika sebelumnya sudah ada

pemberitahuan , peringatan atau tegoran kreditur terhadap debitur, bahwa si debitur

telah lalai melakukan pelaksanaan perjanjian. Peringatan atau tegoran itu dilakukan

oleh kreditur “sesaat” setelah batas waktu yang ditentukan lewat.72

2. Pernyataan lalai (ingebrekke stelling)

Di dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan

bahwa : “siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah

akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri ialah jika ini

menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu

yang ditentukan”.

Kata “perintah” dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel” juga bisa diterjemahkan

dengan “peringatan”. Karena disana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu

(17)

ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur ( si berhutang) adalah pihak yang

dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “perintah/peringatan”

itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (tuntut)

atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa

isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam

perikatan yang bersangkutan bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar

debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai

setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya.

Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut

“somasi”.73

Menurut Subekti, surat perintah tersebut diartikan sebagai “suatu peringatan

resmi oleh seorang jurusita pengadilan, sedangkan yang dimaksud oleh

undang-undang dengan akte sejenis adalah suatu peringatan tertulis”.74

Dalam perkembangannya, surat peringatan atau teguran juga boleh dilakukan

secara lisan, dengan ketentuan desakan atau teguran agar si berutang melakukan

dengan seketika atau dalam waktu yang singkat prestasinya, dinyatakan dengan

cukup tegas. Sebaiknya dilakukan secara tertulis, dan seyogyanya dengan surat

tercatat, agar nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berutang .

73J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari http://www.hukum.online.com/berita/baca/lt4cbfb83aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian -i-brioleh-j-satrio, pada tanggal 10 Nopember 2012.

(18)

Sedangkan kapan waktu pernyataan lalai itu menurut Wiryono Projodikoro,

dalam buku hukum perjanjian, adalah tidak mutlak.75

Oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, dikatakan bahwa “kapan kini suatu tenggang

harus dianggap fatal, itu tergantung daripada keadaan-keadaan suatu persoalan yang

bersifat kenyataan”.76

Suatu pernyataan lalai ini tidak diperlukan lagi bila si berutang mengakui

bahwa ia telah lalai atau telah menolak untuk berprestasi yang telah dipenuhi si

berutang tidak sebagaimana mestinya, disamping dapat juga dengan perjanjian

ditentukan bahwa, tidak perlu diadakan pernyataan lalai (ingebrekke stelling) dan si

berutang akan lalai menurut jika ia melampaui tengggang waktu yang sudah

ditentukan atau ditetapkan.

Pada perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu, maka apabila ia melakukan

berarti ia telah melanggar janji, sehingga dapatlah dikatakan ia melakukan

wanprestasi tanpa memerlukan pernyataan lalai terlebih dahulu. Dengan keluarnya

Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 pernyataan lalai tidak perlu lagi

karena dengan adanya gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri itu juga dianggap

sebagai teguran atau pernyataan lalai.

Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat

berupa empat macam:77

75Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur , 1965), hal.7.

76Ibid,hal.12.

(19)

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b. Melaksanakan apa yang disanggupinya, tetapi tidak sebagaimana mestinya.

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Berbeda dengan Subekti, maka Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, wanprestasi

tersebut dibagi menjadi dua macam yaitu:78

a. Prestasi itu memang dilakukan tetapi tidak secara yang sepatutnya.

b. Prestasi dilakukan pada waktu yang tidak tepat.

Sedang menurut Setiawan, ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu:79

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b. Terlambat memenuhi prestasi.

c. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

Akibat dari wanprestasi munculnya suatu ganti rugi bagi pihak yang merasa

dirugikan. Menurut Nieuwenhuis, kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan

pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang

melanggar norma oleh pihak lain.80Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud)

yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang

bersifat immaterial, tidak berwujud (moral, ideal).

78Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,Op.cit, hal. 12.

79R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, ( Bandung: Bina Cipta, 1979), Cetakan II, hal 17-18.

(20)

Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak terjadinya kelalaian. Hal ini

sebagaimana diatur Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:”pada suatu

perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur

sejak sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang

bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi

tanggungannya.”

Menurut Subekti, ada empat akibat dari terjadinya wanprestasi, yaitu:81

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan

ganti rugi;

b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;

c. Peralihan resiko;

d. Membayar biaya perkara, kalau samapai diperkarakan di depan hakim.

Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan

sebagai berikut :82

a). Ganti rugi.

Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi dan bunga.

Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah

dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya jika seorang sutradara mengadakan

perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan

dan pemain ini kemudian tidak datangsehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan,

(21)

maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan

lain-lain.

Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan

barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.

Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu

penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini

mati karena penyakit tersebut.

Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan

keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal

jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari

harga pembeliannya.

Dalam Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“siberutang hanya diwajibkan mengganti biaya,rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”

Dan Pasal 1248 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenaikerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian.”

Dari kedua pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu

dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung

(22)

Beberapa hal penting dalam persoalan ganti rugi adalah:83

1. Ganti rugi terdiri dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang nyata

dan bunga.

2. Ganti rugi tidak dapat diminta jika wanprestasi karenaforce majeur.

3. Kerugian yang wajib dibayar dapat berupa kerugian yang benar-benar telah

diderita dan kehilangan keuntungan yang sedianya harus dapat dinikmati

kreditur.

4. Ganti rugi dapat diminta oleh kreditur sebatas pada kerugian dan kehilangan

keuntungan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi tersebut.

5. Apabila dalam kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti rugi yang

harus dibayar oleh pihak debitur jika wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi

tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam kontrak, tidak boleh lebih atau

kurang.

6. Terhadap perikatan pembayaran sejumlah uang, maka ganti rugi hanya terdiri

dari bunga seperti yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b). Pembatalan perjanjian.

Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian,

sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak

dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman

karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi.

(23)

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada

keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu

dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.

Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.

Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memnuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas maka jelas bahwa pembatalan

perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata-nyata melalaikan

kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan

jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.

c). Peralihan resiko.

Peralihan resiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur

disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yang

dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi

suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang

menjadi objek perjanjian.

(24)

Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka resiko

dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya

belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka

kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si

penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, resiko itu beralih kepada dia.

d). Pembayaran biaya perkara.

Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi

seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara,

bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat

(1) HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu

perkara di depan hakim.

Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang

dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik terjadi akibat dari keadaan

memaksa (force majeure), maka perjanjian bisa menjadi batal.84

D. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah

Penghunian rumah dengan cara sewa-menyewa didasarkan kepada suatu

perjanjian tertulis antara pemilik dengan penyewa. Didalam perjanjian tersebut

sekurang-kurangnya mencantumkan ketentuan mengenai hak dan kewajiban , jangka

waktu sewa dan besarnya harga sewa.85

84 Elly Erawati- Herlien Budiono,Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal. 28.

(25)

Didalam perjanjian sewa-menyewa terdapat beberapa hal yang pokok, yaitu:86

1. Menyerahkan barang untuk dinikmati.

Setelah diantara para pihak terdapat kata sepakat untuk membuat suatu

perjanjian sewa-menyewa maka timbullah hak dan kewajiban diantara para pihak

yang terikat dalam perjanjian tersebut.

Pihak yang menyewakan berkewajiban menyerahkan barangnya untuk

dinikamati dan berhak mendapatkan imbalan harga sewa. Sedangkan pihak penyewa

berkewajiban membayar harga sewa dan berhak untuk menikmati barang yang

disewa. Jadi barang dalam perjanjian sewa-menyewa ini diserahkan tidak untuk

dimiliki tetapi hanya untuk dipakai atau dinikmati kegunaannya.

Namun untuk hak memakai dan hak mendiami sebuah rumah tidak dapat

disewakan pada pihak lainnya. Hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 827 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan : “Hak mendiami tak boleh

diserahkan atau disewakan kepada orang lain”.

2. Membayar harga sewa.

Pihak penyewa dalam menikmati barang yang disewa, ia berkewajiban untuk

membayar harga sewa. Pembayaran sewa ini dapat dilakukan per bulan atau per

tahun.

Menurut Subekti, bahwa:“Pembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu

ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut

86

(26)

perjanjian, dinamakan pembayaran, bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannya

untuk majikan dikatakan membayar”.87

Jadi dalam melakukan pembayaran harga sewa ini tidak melulu harus

berwujud uang, dapat juga berwujud barang bertubuh. Namun dalam prakteknya,

pembayaran harga ini berupa uang (pembayaran yang sah).

Apabila pihak penyewa ini tidak memenuhi kewajibbannya membayar harga

sewa, maka pihak pemilik barang atau yang menyewakan dapat minta untuk

membatalkan perjanjian sewanya.

3. Selama jangka waktu tertentu.

Sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata adalah perjanjian sewa-menyewa untuk waktu tertentu. Namun waktu

tertentu seperti disebutkan dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

tersebut bukanlah merupakan syarat untuk timbulnya perjanjian sewa-menyewa.

Sewa-menyewa itu sudah ada sejak tercapainya kata sepakat. Apabila dalam

perjanjian menyewa tersebut waktu sewanya telah ditentukan, maka

sewa-menyewa tersebut akan berakhir dengan sendirinya setelah waktu sewanya berakhir.

Sedangkan apabila dalam perjanjian sewa-menyewa jangka waktu berakhirnya tidak

ditentukan, maka untuk menghentikan perjanjian sewa-menyewa ini harus dengan

memberitahukan terlebih dahulu kepada si penyewa yaitu dengan memberitahukan

terlebih dahulu kepada si penyewa yakni dengan memperhatikan tenggang waktu

(27)

menurut adat kebiasaan setempat. Untuk sewa menyewa, tenggang waktu tersebut

biasanya satu bulan. Hal-hal seperti tersebut diatas berlaku juga bagi perjanjian

sewa-menyewa rumah.

E. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah.

1. Hak-hak para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.

Hak dari pemilik rumah adalah mendapatkan pembayaran harga sewa

sedangkan hak dari pihak penyewa adalah menempati rumah yang disewanya dari

pihak pemilik rumah dalam keadaan baik.

Apabila rumah yang disewanya tersebut terdapat cacat yang tersembunyi atau

tidak diketahui sebelumnya maka pihak penyewa berhak untuk menuntut pemenuhan

prestasi yang baik atau dari cacat yang tidak tersembunyi kepada pihak pemilik

rumah.

Hak dari pihak pemilik rumah terhadap cacat yang tersembunyi ini terdapat

dalam Pasal 1552 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan:

“Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari

barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang

menyewakan itu sendiri tidak mengetahui pada waktu dibuatnya perjanjian sewa”.

Adapun hak yang lain dari pihak penyewa ialah mendapatkan kenikmatan atas

rumah yang disewa tersebut. Dalam hal ini apabila rumah yang menjadi obyek

perjanjian sewa-menyewa rumah dijual oleh pihak pemilik rumah, maka pihak

penyewa masih tetap dapat mendiami rumah tersebut sampai habis waktu sewanya.

(28)

Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan : “Dengan dijualnya barang yang

disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila

ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang”.

Dari ketentuan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pihak

penyewa masih dapat menempati rumah yang disewakan, apabila tidak ditentukan

lain. Hak ini diperoleh si penyewa karena hak sewa tersebut tetap mengikutinya,

selama waktu sewa tersebut belum berakhir.

2. Kewajiban-kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.

Kewajiban dari pihak yang menyewakan adalah sebagai berikut:

a. Menyerahkan barang kepada si penyewa.

b. Memelihara barang sedemikian rupa sehingga barangnya dapat dinikmati atau

dipakai untuk keperluan si penyewa.

c. Memberikan kenikmatan atas rasa aman pada barang yang disewakannya selama

berlangsungnya sewa-menyewa rumah.

d. Melakukan perbaikan-perbaikan atas barang yang disewakan, kecuali perbaikan

kecil.88

Kewajiban dari pihak penyewa yaitu:

a. Di dalam menempati rumah yang disewanya tersebut, pihak penyewa harus

bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik, artinya pihak penyewa

diwajibkan untuk menempati rumah tersebut seakan-akan miliknya sendiri.

88

(29)

b. Membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian

sewa-menyewa rumah.

c. Melakukan perbaikan-perbaikan kecil, misalnya: melakukan perbaikan-perbaikan

jendela kunci dalam, kaca-kaca jendela dan sebagainya.

Adapun hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini tidak ditepati oleh salah satu pihak,

maka terjadilah wanprestasi dan akibat dari wanprestasi timbullah sengketa

sewa-menyewa rumah.

F. Hapusnya Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah.

Mengenai lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam suatu

perjanjian, berakhirnya ada dua cara yaitu :

1. Berakhir dengan sendirinya pada waktu yang ditentukan bila perjanjian

sewa-menyewa rumah tersebut dibuat secara tertulis.

2. Dihentikan dengan memperhatikan suatu tenggang waktu tertentu menurut adat

kebiasaan setempat, bila perjanjian sewa-menyewa rumah dibuat secara lisan.

Cara yang pertama tersebut diatas ditentukan dalam Pasal 1570 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan : “Jika sewa dibuat dengan

tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah

lampau tanpa diperlukannya suatu pemberitahuan untuk itu”.

Adapun cara yang kedua tercantum dalam Pasal 1571 Kitab Undang-Unadang

Hukum Perdata, yang menyebutkan:“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka

(30)

ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang

diharuskan menurut kebiasaan setempat”.

Maksud dari pemberitahuan dengan mengindahkan jangka waktu yang layak ini

adalah agar si penyewa mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi akibat dari

pengakhiran sewa tersebut.

Sedangkan untuk hapusnya perjanjian sewa-menyewa rumah karena benda

yang disewakan musnah seluruhnya di luar kesalahan pihak pemilik rumah dan pihak

penyewa, maka perjanjian sewa-menyewa rumah itu batal demi hukum. Ketentuan

tersebut diatas terdapat di dalam Pasal 1553 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yang menyebutkan ”Jika selama waktu sewa barang yang disewakan sama

sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa

gugur demi hukum”. Namun apabila rumah yang disewa tersebut musnah sebagian

saja, maka pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan, apakah ia akan

menghentikan sewa-menyewa atau ia minta pengurusan harga sewa.

G. Akibat Hukum Terhadap Penyewa Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah.

Penyewa disebutkan berada dalam keadaan wanprestasi , apabila dia dalam

melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga “terlambat” dari

jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut

“sepatutnya/selayaknya”. Seperti yang telah disinggung, akibat yang timbul dari

(31)

(schadevergoeding). Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak

yang lainnya dapat menuntut “pembatalan perjanjian”.

Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban “tidak tepat

waktu” atau “tak layak”, jelas merupakan “pelanggaran” hak pemilik rumah. Setiap

pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan “perbuatan melawan hukum”

(onrechtmatigedaad).89

Wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti pernyataan lalai

(ingeberkestelling) yang dilakukan si penyewa. Hal ini sebagaimana dimaksud pasal

1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakanPerikatan ditujukan

untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu

atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur

langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi atau peringatan.90

Perhitungan ganti rugi akibat dari wanprestasi, dihitung sejak saat terjadi

kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang menyatakan: “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu,

barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk

menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan

dilakukan,menjaditanggungannya”.

Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, biaya, ganti

89 M. Yahya Harahap,Op.cit, hal. 60-61.

90 NM. Wahyu Kuncoro,Advokatku : Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum….Apa

(32)

rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah

dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal

1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, dalam wanprestasi,

penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara

rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian

tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interest).

Kendatipun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk

membayar ganti kerugian, tetapi kerugian dapat dituntut oleh kreditur jumlahnya

tidak dapat diperhitungkan dengan sekehendak hati, melainkan dibatasi sedemikian

rupa oleh undang-undang.

Pembatasan pertama untuk segala macam wanprestasi disebutkan dalam Pasal

1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan demikian:

“Bahkan, jika hal tidak terpenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya

siberutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang

di derita oleh siberpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah

terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya

perikatan.”

Apakah yang dimaksud “akibat langsung” dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata diatas ini? Wirjono Prodjodikoro91menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan akibat langsung dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu

(33)

adalah suatu akibat yang tidak begitu jauh ketinggalan daripada hal dilakukannya

suatu wanprestasi. Namun, penentuan yang demikian ini, menurut beliau, tentunya

juga masih belum tegas karena pengertian jauh adalah kabur juga. Oleh karena itu,

hakimlah yang pada akhirnya harus menetapkan ini in konkrito menurut rasa keadilan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

Garansi merupakan kesepakatan kontraktual antara produsen dan konsumen, dimana produsen bersedia melakukan perbaikan atau penggantian terhadap produk yang mengalami kerusakan

Bonggol atau batang pisang merupkan bahan organik yang memiliki beberapa kandungan unsur hara baik makro maupun mikro, beberapa diantaranya adalah unsur hara makro

Motor sinkron adalah motor AC, bekerja pada kecepatan tetap pada sistim frekwensi tertentu.Motor ini memerlukan arus searah (DC) untuk pembangkitan daya dan memiliki

[r]

Penelitian dilakukan dengan cara melakukan studi pendahuluan untuk mengetahui masalah yang akan diselesaikan peneliti, kemudian menentukan rumusan masalah yang akan

Berdasarkan putusan majelis hakim di Pengadilan Militer (DILMIL) II-09 Bandung Nomor 63-K/PM.II-09/AD/III/2013 Tahun 2013 mengenai dijatuhkannya hukuman pidana mati

Saya dapat menghubungkan isi pelajaran Bahasa Indonesia dengan hal-hal yang telah saya lihat, saya lakukan atau saya pikirkan di dalam kehidupan saya.. Sedikitpun saya