TEMATISASI DALAM TRANSLASI
DWIBAHASA: TEKS BAHASA
INDONESIA-INGGRIS
DISERTASI
MUHIZAR MUCHTAR
NIM : 068107005
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM DOKTOR (S3)
MEDAN
TEMATISASI DALAM TRANSLASI DWIBAHASA:
TEKS BAHASA INDONESIA – INGGRIS
DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Dengan wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof.
Dipertahankan pada tanggal
Di Medan, Sumatera Utara
MUHIZAR MUCHTAR
LNG/068107005
SEKOLAH PASCASARJANA
Diuji Pada Ujian Disertasi (Promosi)
Tanggal : Juli 2010
PANITIA PENGASUH DISERTASI
Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU Medan
Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan
Asruddin Barori Tou., Ph.D. UNJ Yogya
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan
Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan
Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESOL USU Medan
Dr. Syahron Lubis, M.A. USU Medan
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Nomor :
TIM PROMOTOR
1. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.
2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.
TIM PENGUJI LUAR KOMISI
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd.
Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESOL
PERNYATAAN
Judul Disertasi
TEMATISASI DALAM TRANSLASI DWIBAHASA : TEKS BAHASA
INDONESIA – INGGRIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu
dari hasil karya orang lain dalam penulisan Disertasi ini, telah saya cantumkan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Disertasi
ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Juni 2010
TEMATISASI DALAM TRANSLASI DWIBAHASA
TEKS BAHASA INGGRIS - INDONESIA
DISERTASI
MUHIZAR MUCHTAR
NIM : 068107005
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM DOKTOR (S3)
MEDAN
ABSTRACT
This research that uses Linguistics Systemic Functional (LSF) and Larson’s and Catford’s theories of translation is basically to observe the fronting idea and modeling in translation. Fronting idea can be seen from the theme and the shift of theme when translating. This theme and rheme system is as part of LSF theory, whilst the ways or systems of translation are seen from Larson’s and Catford’s theories. As a result, by combining these two theories it can be yielded a new rule in translating English as a source language and Indonesian as the target one.
There are five different texts as the samples of the research through text identification. They are (1) The British Council, consists of (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” and (b)” Pasar Kerja Alumni”; (2) Political Speech: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Text: Coming to Terms with Technology in Connexions; (4) Text: (a) the importance of English in Indonesia,(b) Folktale, (c) book entitled; (5) Text: Islamic Speech. Each of the text is identified of its Theme and Rheme wether Marked Theme, Unmarked Theme, Simple Theme, Complex Theme, in both singular or plural types. From this identification it can be known the shift of theme in translation and how they are happened. From the identification, it can be also known the factors caused the shifts of the theme.
The results of the analysis of the five texts in their translations, it is known that first of all, Plural Topical Marked Theme is the dominant theme in both languages. Secondly, there are seven types of theme shift in both languages, i.e. (1) the shift in simple theme becomes complex or vice versa, (2) the shift in singular theme becomes plural or vice versa, (3) the shift in marked theme becomes unmarked ones or vice versa, (4) the shift in theme position, (5) additional theme, (6) omission, and (7) changing theme. Thirdly, the factors that influence the theme shifts in translation are caused by shifts of language units from theme or rheme or vice versa. Besides, it is also found that the additional of language units from English to Indonesian or vice versa, such as conjunctions, circumstance of place, manner, and time. On the contrary, it can also be caused by the existence of omission of language unit from English to Indonesian or vice versa. The shifts, additions, and omissions of language units cause and influence the forms, types, and the number of themes from Singular theme becomes Plural ones and vice versa, and from Simple theme becomes the comples ones or vice versa.
ABSTRAK
Penelitian yang menggunakan teori Systemic Functional Linguistics serta teori Translasi Larson dan Cadford ini pada dasarnya untuk melihat pengedepanan ide dan pemodelan dalam translasi. Pengedepanan ide ini dilihat dari Tema dan pergeseran Tema saat penerjemahan. Sistem Tema dan Rema inilah yang merupakan bagian dari teori Linguistik Sistemik Fungsional. Sedangkan tata cara atau sistem penerjemahan itu sendiri dilihat dari teori Translasi Larson dan Cadford. Maka, dengan penggabungan dua teori ini akan menghasilkan kaidah penerjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber atau sebagai bahasa sasaran.
Lima jenis teks yang berbeda menjadi sample penelitian melalui uji teks atau identifikasi teks. Kelima teks tersebut adalah (1) British Council, yang meliputi (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” dan (b) “Pasar Kerja Alumni” ; (2) Pidato Politik: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Majalah Connexions: Merangkul Teknologi; (4) Majalah Pelangi yang meliputi (a) “Pentingnya Bahasa Inggris di Indonesia”, (b) Dongeng, (c) Kotak Surat; (5) Ceramah: Mempedulikan Nasib Kemanusiaan. Setiap teks diidentifikasi atas Tema dan Rema, baik Tema Bermarkah, Tema Tak Bermarkah, Tema Sederhana, Tema Kompleks, Tema Tunggal, maupun Tema Majemuk. Dari hasil identifikasi inilah diketahui adanya pergeseran tema dalam translasi dan bagaimana terjadinya pergeseran tema dalam translasi. Dari identifikasi ini juga diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran Tema.
Hasil Penelitian terhadap kelima teks ini dalam translasinya diketahui,
pertama, Tema Topikal Majemuk bermarkah merupakan tema dominan baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kedua, terdapat tujuh jenis pergeseran tema dalam dwibahasa Inggris-Indonesia, yaitu (1) pergeseran tema sederhana menjdi kompleks atau sebaliknya, (2) pergeseran tema tunggal menjdi majemuk atau sebaliknya, (3) pergeseran tema bermarkah menjadi tak bermarkah atau sebaliknya, (4) pergeseran posisi tema, (5) penambahan tema, (6) pelesapan, dan (7) perubahan tema. Ketiga,
faktor yang mempengaruhi pergeseran tema dalam translasi disebabkan oleh pergeseran unit bahasa dari Tema ke Rema atau sebaliknya. Selain itu juga ditemukan penambahan unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya seperti konjungsi, sirkumstan tempat, cara, dan waktu. Sebaliknya juga dapat disebabkan adanya pelesapan suatu unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Pergeseran, penambahan dan pelesapan unit-unit bahasa tersebut menyebabkan dan mempengaruhi bentuk, jenis, dan jumlah tema dari Tema Tunggal menjadi Tema Majemuk dan sebaliknya, dan dari Tema Sederhana menjadi Tema Kompleks dan sebaliknya.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil alamin. Syukur dan puji penulis ucapkan kepada Allah
Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat yang diberikan kepada penulis
sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Tematisasi Dalam Translasi Dwibahasa :
Teks Bahasa Indonesia - Inggris ini dapat diselesaikan seperti yang diharapkan.
Salawat dan salam penulis ucapkan keharibaan perantara nikmat dan karunia-Nya,
Nabi Muhammad, yang telah memberi suri tauladan dalam berkehidupan di dunia dan
pada kesempatan ini juga dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada sejumlah nama yang telah turut berpartisipasi dalam proses
pendidikan dan penyelesaian disertasi ini.
Oleh karena itu penulis ingin mengkhususkan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.
Dr. Syahril Pasaribu DTM & H,M.Sc, (CTM) SP.A(K) dan mantan Rektor Universitas
Sumatera Utara Prof.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K) yang telah memberikan
peluang serta dukungan moril dam materil kepada penulis untuk melanjutkan studi di
Universitas Sumatera Utara
Ucapan yang sama penulis tujukan kepada Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.Ir.Chairun Nisa B.,M.Sc, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis mengikuti Program Sandwich di University of Western
Ketua Program Studi Linguistik Prof.T.Silvana Sinar, M.A.,Ph.D, dan
Sekretaris Program Studi Linguistik Drs. Umar Mono,M.Hum yang berkenan
menerima penulis untuk mengikuti program Doktor Linguistik dan menggunakan
fasilitas di Sekolah Pascasarjana USU ini.
Demikian pula ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara, Dr. Sayhron Lubis, M.A, yang telah mengizinkan penulis untuk
mengikuti program Doktor Linguistik di sekolah Pascasarjana USU.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian disertasi ini, mereka adalah:
Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A,Ph.D selaku promotor penulis, atas segala
arahan, bimbingan yang beliau berikan selalu menumbuhkan kesadaran pada diri
penulis. Koreksi yang tulus telah diberikan sejak awal penulisan sampai pada
penyelesaian disertasi. Ketelitian beliau membaca disertasi ini sangat saya hargai.
Penghargaan yang sama penulis haturkan kepada ko - promotor saya Prof.
Amrin Saragih, M.A.,Ph.D yang telah mencurahkan perhatiannya, sumbangan pikiran,
pengamatan yang teliti sejak dari perancangan sampai disertasi ini selesai.
Ucapan terima kasih serta apresiasi yang tinggi penulis tujukan kepada ko –
promotor Asruddin B. Tou, M.A Ph.D atas sumbangan pikiran beliau biarpun jarak
agak berjauhan antara Medan – Jogya melalui email menunjukkan tanggung jawab
sebagai seorang professional akademik dan menyempatkan waktu datang ke Medan
Kepada para penguji disertasi penulis Prof. Dr.Robert Sibarani, M.S., Prof.
Busmin Gurning MA, Ph.D , Dr.Eddy Setia MEd.TESOL, Dr.Syahron Lubis,M.A,
yang telah bersedia memberikan penilaian, mengkoreksi dan membantu memberikan
masukan-masukan demi kesempurnaan disertasi ini.
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua dosen
Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara yang telah dengan ikhlas
memberikan ilmu mereka yang sangat berguna kepada penulis selama masa
perkuliahan. Terima kasih kepada teman seangkatan kedua pada pendidikan Doktor
Linguistik yang senantiasa memotivasi penulis untuk terus belajar. Kiranya
teman-teman yang belum selesai termotivasi untuk menyelesaikan penelitiannya.
Ucapan terima kasih penulis pada staf pengajar Departemen Sastra Inggris
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, atas kerja sama yang baik dalam tim
mengajar.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Almarhum Prof. H. Tengku
Amin Ridwan, Ph.D yang begitu banyak berjasa kepada penulis, sampai akhir
hayatnya. Penulis terus membantu sebagai asisten beliau, dan beliaulah yang sangat
memotivasi penulis untuk melanjutkan ke program S3 Linguistik. Penulis tetap
mengenang dan mendoakan semoga jasa, amal dan ibadah beliau diterima disisinya.
Pada kesempatan ini penulis mengenang ayah penulis almarhum Muchtar,MA
dan ibunda penulis almarhumah Zakiyah Hasyim, yang keduanya adalah guru dalam
mertua penulis yaitu Almarhum Ayahanda Muhammad Idris dan Ibunda Napsiah.
Kelulusan Ananda menyandang gelar doktor dan hasil karya disertasi ini merupakan
hadiah termahal untuk Ayahanda dan Ibunda. Keberhasilan ini semua tidak lepas dari
doa iklas dari orangtu penulis kepada Allah SWT. Penulis ingin menyampaikan
penghargaan yang tulus kepada mereka. Mereka merupakan teladan yang
menumbuhkan kecintaan penulis untuk terus belajar. Penulis haturkan terima kasih
kepada kakak, abang, dan adik-adik: Dra. Siti Husna Muchtar, Mardiyah Muchtar,
Imran Muchtar,BSc, Zulham Muchtar, SE, S.Sos, Dra. Elfiah Muchtar, Hazman,
Erwin Fadli, juga kepada Mahdalena, Ishak, Khalik, Eddy, Zulfadhi, Yusrial, Putri dan
seluruh keluarga yang senantiasa memperhatikan dan mendukung penulis untuk
menyelesaikan disertasi ini.
Terima kasih yang tak terhingga kepada istri tercinta Aswina Idris,M.BA. yang
tetap konsisten atas kesepakatan kami untuk saling menopang dalam menimba ilmu
pengetahuan dan berkarya. Pengertian dan motivasi dengan kasih sayang yang
diberikan adalah sikap yang sangat menguntungkan penulis. Kepada anak-anak kami
Lisa Maria Ulfa, S.Sos, Zulfa Husna, SE dan Muhammad Rizki Hamdani M, yang
sejak mereka kecil sering bersama-sama belajar dengan kedua orang tuanya, dengan
bangga penulis ucapkan terima kasih atas pemahamannya. Semoga mereka dapat
mengikuti langkah kami orang tuanya didampingi oleh menantu Mhd. Ramdhani, S.T
dan Arland Bukit, SE yang tetap mendukung penulis. Juga kepada cucu-cucu : Annisa
Syafa Aulia, Tammima Aqila Zahra, Adam Arfa, Adisa Arfa, Deriza Putra yang manis
Dalam kesempatan ini juga penulis haturkan terima kasih atas perhatian,
bantuan yang selalu diberikan oleh Ibu Dr. Rochayah Machali aebagai Head of
Indonesian Section, Department of Chinese and Indonesian The University of New
South Wales dan Prof John Ingleson Deputy Vice Chancellor Academic and Enter
Prise University of Western Sydney. Mereka selalu memberikan motivasi, memberi
masukan yang berharga dalam penyempurnaan penulisan disertasi ini.
Tak lupa penulis haturkan terima kasih kepada Ananda Diana Sopha, Putri
Nasution, Rosliani yang dengan penuh perhatian selalu membantu penulis dalam
penyelesaian disertasi ini.
Akhirnya terima kasih kepada semua pihak yang belum saya sebutkan satu
persatu yang telah banyak membantu saya baik moril, materil, dan dukungan doa
selama penulis mengikuti pendidikan sampai selesai. Pada kesempatan ini juga penulis
mohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin terjadi selama mengikuti pendidikan
ini. Penulis berdoa agar Allah SWT memberikan yang terbaik buat penulis. Semoga
hasil karya ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Medan, 20 Juni 2010
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT...i
ABSTRAK...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR SINGKATAN...vii
DAFTAR FIGURA...viii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Fokus Penelitian... 10
1.3 Pembatasan Masalah... 11
1.4 Rumusan Masalah... 11
1.5 Tujuan Penelitian... 12
1.6 Manfaat Penelitian... ... 12
1.7 Klarifikasi Istilah ... 13
BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA... 16
2.1Penngantar Teori dan Tinjauan Pustaka... 16
2.1.1 Kerangka Teori LSF...... 17
2.1.2 Alasan Memilih Teori LSF...... 24
2.1.3 Orientasi Teoritis... 27
2.1.4 Berbagai Model LSF...... 29
2.1.5.1Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial... 34
2.1.5.2Bahasa adalah Fungsional... 37
2.1.5.3 Fungsi Bahasa Membuat Makna... 37
2.1.5.4 Bahasa adalah Kontekstual... 38
2.1.6 Metafungsi Bahasa... 41
2.1.6.1 Fungsi Ideasional... 45
2.1.6.1.1 Fungsi Eksperensial... 45
2.1.6.1.2 Fungsi Logika... 47
2.1.6.2 Fungsi Antarpersona... 49
2.1.6.3 Fungsi Tekstual... 50
2.1.7 Kajian Tematisasi... 50
2.2Penelitian Sebelumnya... 55
2.3 Kajian Translasi dan Penerjemah... 63
2.3 Teori Translasi dan Penerjemahan... 65
2.3.1 Model-model Penerjemahan... 71
2.3.2 Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford... 73
2.3.3 Kerangka Konsep Pergeseran dalam Penerjemahan... 77
2.3.4 Teks dan Budaya Penerjemah... 83
2.3.4.1 Teks... 85
2.3.4.2 Pengertian Teks... 86
2.3.4.3 Jenis Teks... 89
2.3.4.5 Kohesi dan Koheren... 92
2.3.4.6 Kohesi ... 92
2.3.4.7 Koherensi... 103
2.3.4.8 Pengorganisasian Teks... 106
2.3.4.9 Struktur Makro Teks... 107
2.3.4.10 Struktur Mikro Teks...111
2.4. Budaya dalam Penerjemahan...112
2.4.1 Pengertian Budaya Penerjemah...114
2.4.2 Aspek Budaya Penterjemah...115
2.4.3 Budaya Universal...120
2.4.4 Budaya Agamis dan Budaya Sosial...120
2.4.5 Budaya Akademis...122
2.4.6 Budaya Legalisasi...123
2.5 Konstruk Analisis...124
BAB III METODE PENELITIAN... 128
3.1 Jenis Penelitian... 128
3.2 Rancangan Penelitian... .129
3.3 Data dan Sumber Data...131
3.4 Teknik Pengumpulan Data...132
3.5 Teknik Analisis Data... 132
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...……….. 136
4.1.1 Jumlah Tema Dominan dalam Teks bahasa Indonesia………..…144
4.1.2 Jumlah Keseluruhan Jenis Tema Dominan dalam Teks bahasa Inggris…….145
4.2 Jenis-Jenis Pergeseran Tema dan Pembahasan... 206
4.2.1 Jenis – Jenis Pergeseran Tema ...206
4.2.2 Pembahasan Jenis Pergeseran Tema dalam teks Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris………. .211
4.2.3 Faktor Penyebab Pergeseran Tema dalam Translasi………..234
4.2.4 Faktor Intrinsik Pendorong Terjadinya Jenis Tema Dominan dan Pergeseran Tema……….235
4.2.5 Faktor Ekstrinsik Pendorong Terjadinya Jenis Tema Dominan Dan Pergeseran Tema……… 258
BAB V SIMPULAN DAN SARAN………..262
5.1 Simpulan………...262
5.2 Saran……….265
DAFTAR PUSTAKA………...266
Lampiran 1: TEKS BRITISH COUNCIL, PIDATO POLITIK, CONNEXIONS, DAN CERAMAH...273
Teks A...273
Teks B...………..276
Teks C...278
Teks E...289
Teks F...291
Teks G...292
Teks H...294
Lampiran 2: ANALISIS TEMA-REMA DAN PERGESERANNYA DALAM TEKS TEKS...295
Teks A...295
Teks B...314
Teks C...321
Teks D...349
Teks E...376
Teks F...385
Teks G...397
Teks H...407
Lampiran 3: ANALISIS TEMA-REMA YANG MENGALAMI PERGESERAN...431
Teks A...431
Teks B...437
Teks C...440
Teks D...446
Teks E...451
Teks G...457
DAFTAR FIGURA
Halaman
Figura 2.1: Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)... 27
Figura 2.2: Bahasa dan Konteks (Adaptasi dari Halliday, 1991:8)... 30
Figura 2.3: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial
(Adaptasi dari Martin, 1993:142)... 31
Figura 2.4: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks
(Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)... 32
Figura 2.5: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks
(Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2008:55)... 33
Figura 2.6 : Hubungan Logis dan Taksis
(Adaptasi dari Halliday, 1994:216-220)... 49
Figura 2.7: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct
dalam Teks... 50
Figura 2.8 : Posisi Tema dan Rema dalam Teks... 54
Figura 2.9 : Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan
Kebermaknaannya... 55
Figura 2.10 : Klasifikasi Eksistensi Translasi... 66
Figura 2.11 : Skema Penerjemahan... 68
Figura 2.12 : Dinamika Translation
Figura 2.13 : Proses Translasi Model Larson
(Diadaptasi dari Choliludin, 2007:3)... 72
Figura 2.14 : Kedudukan Teks, Konteks, dan
Makna dalam Wacana... 76
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1: Jumlah Tema Sederhana...136
Tabel 4.2: Persentase Tema Sederhana (angka dalam persen)...137
Tabel 4.3: Jumlah Tema Tekstual...138
Tabel 4.4: Persentase Tema Tekstual (angka dalam persen)...139
Tabel 4.5: Jumlah Tema Antarpesona...140
Tabel 4.6: Persentase Tema Antarpesona (angka dalam persen...141
Tabel 4.7: Jumlah Tema Topikal...142
Tabel 4.8: Persentase Tema Topikal (angka dalam persen)...143
Tabel 4.9: Jumlah Keseluruhan Tema Teks Bahasa Indonesia...144
DAFTAR SINGKATAN
Antar Antarpersona
B Bermarkah
Ina Indonesia
Ing Inggris
LSF Linguistik Sistemik Fungsional
LFS Linguistik Fungsional Sistemik
M-B Majemuk Bermarkah
M-TB Majemuk Tak Bermarkah
No. Nomor
SFL Systemic Functional Linguistics
Top Topikal
Teks Tekstual
T-TB Tunggal Tak Bermarkah
ABSTRACT
This research that uses Linguistics Systemic Functional (LSF) and Larson’s and Catford’s theories of translation is basically to observe the fronting idea and modeling in translation. Fronting idea can be seen from the theme and the shift of theme when translating. This theme and rheme system is as part of LSF theory, whilst the ways or systems of translation are seen from Larson’s and Catford’s theories. As a result, by combining these two theories it can be yielded a new rule in translating English as a source language and Indonesian as the target one.
There are five different texts as the samples of the research through text identification. They are (1) The British Council, consists of (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” and (b)” Pasar Kerja Alumni”; (2) Political Speech: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Text: Coming to Terms with Technology in Connexions; (4) Text: (a) the importance of English in Indonesia,(b) Folktale, (c) book entitled; (5) Text: Islamic Speech. Each of the text is identified of its Theme and Rheme wether Marked Theme, Unmarked Theme, Simple Theme, Complex Theme, in both singular or plural types. From this identification it can be known the shift of theme in translation and how they are happened. From the identification, it can be also known the factors caused the shifts of the theme.
The results of the analysis of the five texts in their translations, it is known that first of all, Plural Topical Marked Theme is the dominant theme in both languages. Secondly, there are seven types of theme shift in both languages, i.e. (1) the shift in simple theme becomes complex or vice versa, (2) the shift in singular theme becomes plural or vice versa, (3) the shift in marked theme becomes unmarked ones or vice versa, (4) the shift in theme position, (5) additional theme, (6) omission, and (7) changing theme. Thirdly, the factors that influence the theme shifts in translation are caused by shifts of language units from theme or rheme or vice versa. Besides, it is also found that the additional of language units from English to Indonesian or vice versa, such as conjunctions, circumstance of place, manner, and time. On the contrary, it can also be caused by the existence of omission of language unit from English to Indonesian or vice versa. The shifts, additions, and omissions of language units cause and influence the forms, types, and the number of themes from Singular theme becomes Plural ones and vice versa, and from Simple theme becomes the comples ones or vice versa.
ABSTRAK
Penelitian yang menggunakan teori Systemic Functional Linguistics serta teori Translasi Larson dan Cadford ini pada dasarnya untuk melihat pengedepanan ide dan pemodelan dalam translasi. Pengedepanan ide ini dilihat dari Tema dan pergeseran Tema saat penerjemahan. Sistem Tema dan Rema inilah yang merupakan bagian dari teori Linguistik Sistemik Fungsional. Sedangkan tata cara atau sistem penerjemahan itu sendiri dilihat dari teori Translasi Larson dan Cadford. Maka, dengan penggabungan dua teori ini akan menghasilkan kaidah penerjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber atau sebagai bahasa sasaran.
Lima jenis teks yang berbeda menjadi sample penelitian melalui uji teks atau identifikasi teks. Kelima teks tersebut adalah (1) British Council, yang meliputi (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” dan (b) “Pasar Kerja Alumni” ; (2) Pidato Politik: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Majalah Connexions: Merangkul Teknologi; (4) Majalah Pelangi yang meliputi (a) “Pentingnya Bahasa Inggris di Indonesia”, (b) Dongeng, (c) Kotak Surat; (5) Ceramah: Mempedulikan Nasib Kemanusiaan. Setiap teks diidentifikasi atas Tema dan Rema, baik Tema Bermarkah, Tema Tak Bermarkah, Tema Sederhana, Tema Kompleks, Tema Tunggal, maupun Tema Majemuk. Dari hasil identifikasi inilah diketahui adanya pergeseran tema dalam translasi dan bagaimana terjadinya pergeseran tema dalam translasi. Dari identifikasi ini juga diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran Tema.
Hasil Penelitian terhadap kelima teks ini dalam translasinya diketahui,
pertama, Tema Topikal Majemuk bermarkah merupakan tema dominan baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kedua, terdapat tujuh jenis pergeseran tema dalam dwibahasa Inggris-Indonesia, yaitu (1) pergeseran tema sederhana menjdi kompleks atau sebaliknya, (2) pergeseran tema tunggal menjdi majemuk atau sebaliknya, (3) pergeseran tema bermarkah menjadi tak bermarkah atau sebaliknya, (4) pergeseran posisi tema, (5) penambahan tema, (6) pelesapan, dan (7) perubahan tema. Ketiga,
faktor yang mempengaruhi pergeseran tema dalam translasi disebabkan oleh pergeseran unit bahasa dari Tema ke Rema atau sebaliknya. Selain itu juga ditemukan penambahan unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya seperti konjungsi, sirkumstan tempat, cara, dan waktu. Sebaliknya juga dapat disebabkan adanya pelesapan suatu unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Pergeseran, penambahan dan pelesapan unit-unit bahasa tersebut menyebabkan dan mempengaruhi bentuk, jenis, dan jumlah tema dari Tema Tunggal menjadi Tema Majemuk dan sebaliknya, dan dari Tema Sederhana menjadi Tema Kompleks dan sebaliknya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Latar Belakang
Abad XXI merupakan masa dengan bahasa memegang peranan penting dalam
proses saling ketergantungan antarbangsa. Hal ini terlihat dalam berbagai
perkumpulan bangsa, seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN, maupun APEC, yang
mengutamakan bahasa Inggris tanpa mengabaikan bahasa yang lain dalam komunikasi
antarbangsa. Pada konteks ini, bahasa tidak hanya menjadi urusan ahli bahasa dan
mahasiswa ilmu bahasa, melainkan juga menjadi urusan pebisnis, politikus,
negarawan, dan ahli-ahli ilmu alam untuk menyampaikan dan menyerap informasi.
Bahkan, peristiwa yang diinformasikan oleh surat kabar, televisi, dan internet dalam
bahasa tertentu dengan cepat diterjemahkan dalam bahasa penerima informasi,
sehingga segenap unsur suatu bangsa dapat dengan cepat dan tepat mengambil sikap
atas informasi tersebut. Hasil terjemahan tersebut harus sesuai antara yang
disampaikan dengan yang diterima oleh seseorang. Oleh karena itu, proses
penerjemahan bahasa tidak semata-mata pengalihaksaraan melainkan juga
pemindahan budaya secara tepat dengan padanan budaya dalam bahasa masyarakat
asal bahasa dan penerima hasil terjemahan bahasa tersebut.
Budaya mencakup pola pikir masyarakat, baik yang tersirat maupun tersurat. “I
define culture as the way of life and its manifestations that are peculiar to a
1988:94). Budaya merupakan cara hidup suatu bangsa yang terbentuk karena pola
pikir masyarakat yang meliputi kesenian, masyarakat, kepercayaan, adat, nilai-nilai,
hasil penemuan, dan bahasa. Di dalam hal ini, bahasa menjadi bagian dari budaya
sekaligus menjadi sarana penyampaian budaya, baik dengan menggunakan bahasa
sumber maupun bahasa translasi
Di dalam hubungan bahasa dan budaya, di satu sisi bahasa merupakan objek
kajian penerjemahan sedangkan di sisi lain bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa penerjemahan melibatkan unsur budaya, baik
bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Budaya penerjemah akan mempengaruhi hasil
translasi, khususnya struktur translasinya. Itulah sebabnya ditemukan bahwa suatu ide
yang sama tidak akan direalisasikan ke dalam struktur, khususnya Tema yang sama
dalam bahasa yang berbeda. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan budaya
penutur bahasa tersebut, sehingga tidak bisa satu ide disampaikan dalam dua bahasa
dengan struktur Tema yang sama. Hal inilah yang menjadi kendala ataupun kesulitan
di dalam menerjemah. Dengan demikian, kemampuan menerjemah memerlukan
pengetahuan dan wawasan yang luas tidak hanya mencakup aspek pengetahuan
terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga budaya pemakai bahasa
tersebut.
Ditinjau dari segi sejarah, menurut Newmark (1994:4), kegiatan penerjemahan
telah dilakukan sejak 3000 SM, pada masa pemerintahan kerajaan Mesir Tua di daerah
Riam Pertama, Elephantin, dengan ditemukannya batu-batu bersurat yang ditulis
dunia Barat, khususnya orang-orang Roma yang menyerap unsur budaya Yunani,
termasuk keagamaan mereka. Pada abad ke-12, dunia Barat berhubungan dengan
Islam di Spanyol semasa kekuasaan bangsa Moor di Spanyol.
Hubungan Barat dengan Islam membawa pengaruh terhadap kegiatan translasi.
Yusuf (1994:34-35) mengatakan bahwa sebelum Islam meluaskan pengaruh ke Eropa,
maka Kota Baghdad menyandang julukan sebagai kota terjemah, tempat orang-orang
dari Timur Tengah menerjemahkan karya-karya klasik Aristoteles, Plato, Hippocrates,
dan lain-lain ke dalam bahasa Arab. Akan tetapi, penyerbuan bangsa Mongolia telah
menghancurkan Baghdad, sehingga kegiatan ilmiah ini berpindah ke Eropa. Kota
Toledo di Spanyol pun mendapat julukan sebagai kota para penerjemah, tempat
naskah-naskah karya ilmuwan muslim diselamatkan dari kehancuran dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Penerjemahan yang besar-besaran, baik di Baghdad maupun Toledo, memiliki
perbedaan dalam hal bahasa dan budaya. Menurut Storig (1963) dalam Newmark
(1994:3), kondisi seperti itu menimbulkan (1) perbedaan budaya dari segi nilai
(budaya Barat lebih rendah tetapi suka mencari informasi secara objektif dan mudah
menerima buah pikiran yang baru); dan, (2) hubungan dunia Barat dan Islam
berterusan antara kedua bahasa.
Meskipun demikian, penerjemahan dari bahasa dan budaya yang satu ke dalam
bahasa dan budaya yang lain tidak selamanya berlangsung baik. Newmark (1994:3)
mengatakan bahwa penerjemahan Kitab Injil oleh Luther pada tahun 1522 telah
pada 1611 memberi pengaruh dalam mendorong bahasa dan sastra Inggris. Akan
tetapi, Yusuf (1994:34) mengatakan bahwa penerjemahan Kitab Suci Perjanjian Baru
ke dalam bahasa Latin pada tahun 384 mendapat tantangan dan tentangan dari
sekelompok manusia yang tidak menyetujui penerjemahan dan penafsiran secara
bebas. Bahkan, translasi Al Qur’an ke dalam bahasa Perancis dan bahasa lain di Eropa
banyak yang tidak diakui kebenarannya oleh ulama Islam dan diminta oleh dinasti
Muwahiddin untuk dimusnahkan. Hal itu karena penerjemahan kitab suci umat Islam
tersebut tidak dikerjakan dari bahasa aslinya, melainkan bersumber dari terjemahan
Jerman dan Italia.
Berbagai kasus dalam proses penerjemahan dan penerimaan masyarakat
terhadap hasil penerjemahan telah menjadikan translasi atau penerjemahan
menemukan bentuk yang lebih sistematis. Hal itu terlihat pada abad ke-20 yang
menjadi ‘zaman penerjemahan’ atau ‘zaman penyalinan semula’. Pada abad ini
penerjemahan merupakan kegiatan yag sangat penting mengingat peranan atau
manfaatnya. Pertama, dalam ilmu pengetahuan (khususnya sastra dan bahasa). Kedua,
dalam bidang politik, sejak adanya pembentukkan perserikatan atau organisasi
antarbangsa. Ketiga, peningkatan teknologi yang berlipat ganda (dari segi paten,
arahan pembuatan, perbahanan), usaha membawa masuk teknologi tersebut ke dalam
negara-negara berkembang, penerbitan buku-buku yang sama secara serentak di
berbagai negara, dan meningkatnya hubungan saling ketergantungan masyarakat dunia
Newmark (1994:4) membuktikan dalam tahun 1967, sebanyak 80.000 jurnal
saintifik diterjemahkan setiap tahun. Sebagian penulis ‘antarbangsa’ mendapati karya
mereka yang diterjemahkan mengalami perluasan pesan dibandingkan dengan karya
asli mereka. Demikian juga di Italia dan beberapa negara kecil di Eropa, mereka
bergantung hidup pada penerjemahan karya asli mereka selain hasil translasi yang
dilakukan pada karya orang lain. Penerjemahan karya penulisan dalam bahasa-bahasa
‘sedikit’ terutama di negara-negara berkembang masih amat terbengkalai. Secara
umum, penerjemahan pada masa ini dibicarakan dari segi (1) pertentangan antara
translasi bebas dengan translasi harfiah dan (2) pertentangan antara kemustahilan
sejadinya dengan keperluan mutlaknya.
Di dalam pertentangan translasi, Cicero (55 SM) dalam Newmark (1994:5)
pertama kali memperjuangkan pendekatan dengan fokus pengertian lebih utama
daripada perkataan dan menyatakan seorang penerjemah haruslah bersifat sebagai
penafsir atau orang yang pintar menggunakan bahasa yang berkesan. Tylor (1790)
dalam Newmark (1994:5) menulis buku pertama tentang pentingnya penerjemahan. Ia
menyatakan bahwa satu-satuya translasi yang baik merupakan satu hasil yang dapat
menyerap kebaikan/pesan karya asal ke dalam bahasa lain, sehingga dapat dipahami
oleh penutur asli tersebut seolah-olah hasil translasi itu merupakan hasil asli dalam
bahasa tersebut.
Newmark (1994:5) membagi para penerjemah abad ke-19 dalam dua
kelompok. Kelompok pertama cenderung pada translasi yang harfiah sebagaimana
Scheleirmacher (1813), dan Nietzshce (1882). Kelompok kedua lebih menyenangi
gaya translasi yang mudah dan langsung sebagaimana dilakukan oleh Mattew Arnold
(1928). Kegiatan penerjemahan abad 19 tersebut mendapat tantangan pada abad
ke-20 karena Croce (1922), Ortegay Gassett (1937), dan Valery (1946) mempersoalkan
apakah mungkin akan ada translasi yang memuaskan, terutama bagi karya puisi. Di
antara kedua kelompok ini, Benjamin (1923) mencadangkan translasi harfiah dengan
suatu ungkapan bermakna bahwa, “Ungkapan merupakan dinding yang menjadi
benteng pemisah bagi bahasa asal, sedangkan translasi perkataan demi perkataan
adalah lorongnya.” Inilah pandangan yang terdapat pada zaman translasi pralinguistik.
Selanjutnya, dengan bertambahnya jumlah penerjemah dan kumpulan translasi, maka
teori penerjemahan juga bertambah. Teori penerjemahan berpuncak pada bidang
linguistik bandingan dan bidang linguistik itu sendiri.
Translasi dalam kaitannya dengan Tema dan Rema merupakan sumber untuk
menentukan kaitan pemikiran, ide, atau makna. Tema menyatakan subjek wacana
yang biasanya dirujuk atau berturutan secara logis terhadap ungkapan sebelumnya.
Rema adalah unsur yang baru, predikat leksikal, yang memberi informasi tentang
Tema. Pengenalan Tema dan Rema bergantung pada konteks yang lebih luas.
Misalnya ungkapan “He discussed this subject” diterjemahkan “Dia membincangkan
perkara ini,” adalah rentetan logis yang merupakan parafrase seperti “This subject
offered him the opportunity he required for discussing it.“ (Perkara ini memberi
peluang yang diperlukan olehnya untuk membincangkannya.) Dari segi leksikal, this
Rema. Dengan demikian, ada konflik di antara rentetan logis (“He discussed this
subject”) dan bentuknya yang lebih berpadu mungkin berbentuk “This was the subject
he discussed” yang perlu diselesaikan oleh penterjemah. Penerjemah perlu
mempertimbangkan antara rentetan logis yaitu subjek/bernyawa, kata kerja, objek
tepat yang tak bernyawa, yang jelas dan bebas konteks dan rentetan yang ditentukan
oleh tekanan dan faktor kepaduan.
Dalam kaitannya dengan penjelasan Tema dan Rema dalam translasi di atas,
penelitian ini juga berkonsentrasi pada tematisasi di dalam translasi bahasa Inggris dan
Indonesia. Yang dikaji di dalam tematisasi ini adalah unsur Tema dan Rema yang
terdapat di dalam teks dan translasinya. Unit bahasa yang terletak di awal klausa
disebut sebagai Tema dan Rema terdapat sesudah Tema. Kajian tematisasi ini
berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman sebelumnya, ketika membaca berbagai
teks, seringkali ditemukan pergeseran Tema dalam bahasa Inggris dan Indonesia di
dalam translasinya. Hal inilah yang menjadikan peneliti tertarik meneliti pergeseran
Tema ini.
Penelitian terhadap data diolah dengan menggunakan teori Systemic
Functional Linguistics yang menyatakan bahwa bahasa berkaitan dengan konteksnya,
saling menentukan teks dan merujuk kepada konteks. Hubungan teks dan konteks ini
disebut dengan hubungan konstrual semiotik. Menurut Martin (1992) dalam Saragih
(2006:226), hubungan teks dan konteks terjadi dalam konteks situasi (register),
konteks budaya (genre) dan konteks ideologi (ideology). Menurut Saragih (2006:227),
sedangkan konteks yang sangat abstrak adalah konteks ideologi, dan di antara
keduanya terdapat konteks budaya.
Systemic Functional Linguistics adalah suatu model tata bahasa yang
dikembangkan oleh Michael Halliday pada 1960-an yang merupakan bagian dari
sosial semiotik bahasa yang disebut pendekatan sistemik linguistik. Istilah “sistemik”
mengacu pada pandangan tentang bahasa sebagai “suatu sistem jaringan, atau
rangkaian yang saling terkait untuk membuat pilihan yang berarti” sedangkan istilah
“fungsional” menunjukkan bahwa pendekatan ini berkaitan dengan konteks, praktis
yang menggunakan bahasa berfokus pada komposisi semantik, sintaksis, dan kelas
kata seperti kata benda dan kata kerja.
Berikut ini merupakan pendapat yang diutarakan oleh Halliday dan Hassan
(1985:11) tentang teks.
A text is a form of exchange, and the fundamental form of text is dialougue of interaction between speakers. It means that every text is meaningful because it can be related to interaction among speakers, and ultimate to normal everyday spontaneous dialougue. In view of that, text is a product of envirenment, a product of a continous process of choices in meaning that can be represented in language.
(Teks adalah sebuah bentuk pertukaran dan bentuk teks yang fundamental adalah dialog interaksi antar pembicara. Ini berarti setiap teks memiliki makna karena bisa dihubungkan dengan interaksi antar pembicara dan satu-satunya alat bagi percakapan umum sehari-hari yang spontan. Oleh karena itu, teks merupakan produk lingkungan yang bisa diwakili dalam bahasa.)
Dengan demikian, untuk memahami jenis teks, seseorang harus terbiasa
dengan ciri konteks situasi, yaitu konteks yang di dalamnya teks diekspresikan dan
lingkungan tempat makna itu dipertukarkan. Di dalam hal ini, Halliday dan Hassan
situasi sebuah teks yang disebut dengan tiga ciri konteks situasi, yaitu medan wacana
(field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse) dan sarana wacana (mode of
discourse).
Penelitian ini dilakukan dengan berorientasi pada kompetensi tekstual.
Kompetensi ini mengacu pada kemampuan mengenai bagaimana satu unit bahasa
dirangkai dengan unit bahasa yang lainnya. Salah satu yang peneliti perhatikan dalam
translasi ini adalah masalah perbedaan Tema dalam bahasa Indonesia dan Inggris
tidaklah sama. Penelitian dilakukan dalam lima sumber teks yang berbeda agar
mencapai hasil yang lebih representatif. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya kesulitan
dalam penerjemahan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran/target, sehingga
diperlukan lebih dari satu teks dalam translasi dwibahasa untuk uji kelayakan kajian
tematisasi dalam translasi bahasa Inggris-Indonesia).
Translasi sebagai fenomena bahasa dapat diaplikasikan secara khusus dalam
beberapa jenis, sehingga dapat diminimalkan tingkat kesulitan penerjemahan suatu
bahasa. Menurut Jakobson dalam Munday (2001:5), translasi itu sendiri bisa
dikategorikan menjadi tiga jenis yang disebut translasi intralingual, interlingual, dan
intersemiotik. Walaupun para ahli telah berusaha keras mencoba berbagai cara dan
pendekatan dalam penerjemahan, namun usaha mereka belum memberikan solusi
yang tepat bagi penerjemahan. Hal ini semakin menegaskan bahwa proses
penerjemahan bukanlah proses yang mudah dan sederhana.
Soemarno (2003:1) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang membuat
merupakan ilmu interdisipliner. Ilmu ini memerlukan pengetahuan lain yang bersifat
mendukung. Ilmu-ilmu tersebut misalnya ilmu budaya, sosiolinguistik,
psikolinguistik, pengetahuan umum, dan sebagainya. Seorang penerjemah perlu
membekali dirinya dengan ilmu tersebut, termasuk mempelajari perbedaan budaya
sehingga bisa menghasilkan karya yang lebih bermutu dan produktif.
Kesulitan dalam melakukan aktivitas penerjemahan menghasilkan perbedaan
hasil translasi. Perbedaan hasil translasi ini dijelaskan oleh Nababan (2003:56) yang
menyatakan bahwa setiap bahasa mempunyai sistem sendiri. Jadi, tidak ada satu pun
bahasa di dunia ini yang mempunyai sistem yang sama, baik ditinjau dari sudut
struktur sintaksis, leksikal, dan morfem. Kalimat nominal bahasa Indonesia, misalnya,
tidak selalu mewajibkan kata adalah. Kata adalah baru wajib hadir dalam suatu
kalimat nominal bahasa Indonesia yang mengungkapkan suatu definisi, misalnya,
“Bahasa adalah alat komunikasi.” Sebaliknya kehadiran to be (is, am, are, was, were)
dalam bahasa Inggris merupakan keharusan, misalnya dalam kalimat nominal, “He is
my brother”.
Demikian pula pada tataran frase, terdapat kesulitan pada penerjemahan unsur
inti (head) dalam frasa nomina bahasa Indonesia. Menurut Nababan (1997:40-41),
unsur inti tersebut pada umumnya hadir sebelum unsur pewatas atau penjelas
(modifier), kecuali jika unsur pewatasnya berupa kata yang menunjukkan kuantitas
atau jumlah seperti satu, dua, sebuah, sebutir, beberapa, dan lain sebagainya.
(premodifier) dan setelah (postmodifier) unsur inti. Misalnya, the president of the
country dan a very popular president of the United States.
Perbedaan struktur frase nomina bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
sebenarnya merupakan masalah-masalah di dalam penerjemahan. Belum lagi masalah
penentuan makna suatu pewatas atau penjelas yang bentuk, fungsi, dan posisinya
sama, namun makna atau konsepnya sangat berbeda satu sama lain. Misalnya, kata
walking dalam walking stick dan kata dalam running man mempunyai bentuk, fungsi,
dan posisi yang sama tetapi berbeda dalam hal makna dan konsep. Menurut Nababan
(1997:41) masing-masing kata itu dibangun dari kata kerja plus –ing dan terletak
sebelum unsur inti. Kata walking dalam walking stick menjelaskan kegunaan atau
fungsi unsur inti stick (stick for walking), sedangkan kata running dalam frase running
man menjelaskan sifat atau suatu aktivitas yang dilakukan oleh unsur inti man (man
who is walking).
Pada hakikatnya terjemahan juga merupakan pengungkapan sebuah makna
yang dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target sesuai dengan
makna yang dikandung dalam bahasa sumber. Perspektif tersebut menjadikan
penerjemahan suatu fenomena yang tidak sederhana. Penerjemahan muncul tidak saja
sebagai pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa (struktur luar) tetapi juga
pengalihan makna (apa di balik struktur luar). Fitur-fitur umum yang dimiliki oleh
translasi adalah pengertian (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke
bahasa target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan, (c) adanya keharusan atau
Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak saja bisa
dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya,
penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami hambatan
kebahasaan tetapi juga hambatan dari segi budaya.
Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dan tergantung pada besarnya
perbedaan antara kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun secara teoritis
penerjemahan tidak mungkin dilaksanakan akibat di samping adanya perbedaan sistem
dan struktur juga semantik serta kebudayaan yang melatarbelakanginya, namun secara
praktik kegiatan penerjemahan sampai batas-batas tertentu bisa dilakukan dengan cara
mencari dan menemukan padanan di dalam bahasa target. Hal ini dimungkinkan
akibat adanya sifat-sifat universal bahasa serta konvergensi kebudayaan-kebudayaan
di dunia (Hoed, 1992:80). Individu yang berbeda akan memberikan respon yang
berbeda terhadap objek yang sama. Hasil terjemahan oleh dua orang yang berbeda,
sampai batas-batas tertentu, akan berbeda pula. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh
berbagai faktor, misalnya karena adanya perbedaan perspektif dalam menangkap
dunia bahasa sumber, kemampuan dan kreativitas berbahasa, pemahaman (lintas)
budaya, pengetahuan penerjemah serta sasaran hasil terjemahan (target reader) yang
ingin dituju.
Bertolak dari gagasan bahwa bahasa merupakan lambang lisan dan tertulis
suatu kebudayaan, maka tidak ada bahasa yang tidak sempurna untuk mengungkapkan
kebudayaannya (Moeliono, 1995:1). Suatu pikiran, gagasan atau pesan tentu saja dapat
berarti bahwa suatu pikiran, gagasan, atau pesan yang diungkapkan dalam suatu
bahasa semestinya dapat pula diungkapkan atau dialihkan ke dalam bahasa lain.
Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa pikiran, gagasan, atau pesan
yang diungkapkan dalam suatu bahasa dapat pula diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Walaupun secara teoritis kesepadanan bisa dicapai akibat adanya sifat
universal bahasa dan konvergensi budaya, tetapi fakta menunjukkan, bahwa suatu
bahasa (target) digunakan oleh penutur yang memiliki suatu budaya sering amat
berbeda dengan budaya penutur bahasa lain (sumber), sehingga sulit menemukan
padanan leksikalnya. Untuk menangani masalah kesenjangan atau perbedaan
(mismatch) ini perlu dilakukan penyesuaian (adjustment). Penyesuaian ini
memerlukan suatu strategi yang sangat ditentukan oleh kompetensi penerjemah,
metode penerjemahan, dan sasaran terjemahan.
Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan teks sedangkan prosedur
berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frase,
kata). Oleh karena itu, Baker (1991:17) menilai pilihan padanan selalu tergantung
tidak hanya pada sistem bahasa atau sistem yang sedang ditangani oleh seorang
penerjemah, tetapi juga pada bagaimana cara, baik penulis teks sumber maupun
penerjemah, memanipulasi sistem bahasa bersangkutan. Dalam hal ini, penerjemahan
menjadi tidak bisa terlepas dari campur tangan penerjemah dan memiliki dinamika.
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini menggunakan teori Linguistics
Functional Systemic. Dengan teori tersebut, di dalam penelitian ini dibahas tentang
sumber yang berbeda. Lima teks bahasa Inggris dan Indonesia dikaji berdasarkan
perbedaan pada unsur Tema yang ditemukan dalam kelima sumber data tersebut. Jadi,
dalam proses kajian ini akan melibatkan fungsi bahasa tekstual serta juga melibatkan
konteks bahasa seperti konteks situasi [medan wacana (field of discourse), pelibat
wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)], budaya, dan
ideologi. Dengan demikian, kajian teks ini berkonsentrasi pada kajian struktur Tema
(Tematisasi atau Penemaan) dalam kaitannya dengan konteks tersebut. Dengan
memahami peran konteks di dalam memahami makna teks, maka akan dapat
membantu proses penerjemahan baik yang intralingual khususnya, maupun
penerjemahan interlingual (bilingual dan multilingual).
1.4 Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada fungsi tekstual Tema dan Rema dalam lima
sumber tulisan dalam dua bahasa Inggris-Indonesia. Kelima sumber tulisan yang
menjadi data penelitian ini tertera di bawah ini.
(1) Dua teks dalam British Council (edisi Oktober-Desember 2007).
(2) Satu teks pidato politik dalam Foreign Affairs (23 Mei 1994).
(3) Satu teks tentang teknologi dalam Connexions (2007).
(4) Tiga teks dalam Majalah Pelangi (1993).
(5) Satu Ceramah dalam buku Pidato 3 Bahasa oleh M.Azar (2007).
Tema yang berupa unit kata atau frase dalam tiap-tiap klausa diidentifikasi
kompleks terbagi atas Tema Tekstual, Topikal, dan Antarpersona. Selain itu, Tema
juga diidentifikasi berdasarkan Tema Tunggal-Bermarkah, Tunggal tidak Bermarkah,
Majemuk Bermarkah dan Majemuk tidak Bermarkah dengan menggunakan teori
Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Selanjutnya, dalam
tataran sintaksis, Tema dianalisis pergeserannya dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
1.3 Pembatasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi dalam hal Tema yang dominan terdapat
dalam teks bahasa Inggris-Indonesia dan translasinya. Selain itu juga akan dibahas
masalah pergeseran Tema dalam dua teks berbahasa Inggris dan Indonesia tersebut,
sehingga dapat dijawab masalah pergeseran Tema apa saja yang terdapat di dalam dua
teks bahasa tersebut. Selanjutnya, masalah mengapa terjadi pergeseran itu juga
menjadi bagian dari penjelasan dalam penelitian ini.
1.4 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan dalam empat hal
sebagai berikut.
(1) Jenis Tema apakah yang dominan dalam teks translasi bahasa
Indonesia-Inggris/Inggris-Indonesia?
(2) Pergeseran jenis Tema apakah yang dominan dalam teks translasi bahasa
(3) Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya dominasi jenis Tema
tersebut?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi,
menjelaskan dan membahas beberapa hal di bawah ini.
(1) Tema yang dominan dalam translasi teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa
Inggris, dan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
(2) Jenis-jenis pergeseran Tema dominan teks bahasa Inggris ke teks bahasa
Indonesia sebagai translasinya.
(3) Faktor penyebab terjadinya pergeseran Tema dalam teks bahasa Inggris dan
Indonesia tersebut.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai,
(1) masukan bagi para penerjemah atau yang berminat dalam penerjemahan dan
ilmu analisis wacana;
(2) deskripsi struktur penerjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa
Inggris; dan,
(3) kajian lanjut analisis wacana, khususnya terhadap kajian Tema dan Rema
1.8 Klarifikasi Istilah
Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk dapat
memperjelas penggunaan istilah tersebut dan untuk lebih memudahkan pembaca
memahami maksud istilah tersebut, berikut ini diberikan penjelasan tentang
istilah-istilah yang dipakai dalam pembahasan hasil penelitian ini.
(1) Tematisasi (Thematization)
Tematisasi adalah proses pengaturan unit-unit bahasa sedemikian rupa
sehingga penegasan atau penekanan terletak pada tempat yang wajar dalam
kalimat.
(2) Tema (Theme)
Tema adalah titik awal pesan dalam satu unit klausa. Tema dalam bahasa
Inggris dan Indonesia direalisasikan oleh unsur pertama atau bagian terdepan
dallam klausa (the starting point of a message).
(3) Rema (Rheme)
Rema adalah unsur yang terdapat sesudah Tema.
(4) Tema Bermarkah (Unmarked Theme)
Tema Bermarkah yaitu Tema yang berupa nomina (students), frase nomina
(London Bridge) dan pronomina (I, you, she, he) yang pada saat yang sama
berfungsi sebagai subjek.
(5) Tema Tak Bermarkah (Marked Theme)
Tema Tak Bermarkah adalah Tema yang berupa frase adverba (merrily), dan
ataupun frase nomina (what they could not eat that night) yang berfungsi
sebagai komplemen.
(6) Tema Sederhana (Simple Theme)
Tema Sederhana atau Tema Dasar merujuk pada satu unit fungsi saja yang
berfungsi sebagai Tema dalam klausa. Unit bahasa ini bisa berupa partisipan,
proses ataupun sirkumstan. Tema sederhana ini di dalam analisisnya cukup
dinamakan Tema saja.
(7) Tema Kompleks (Complex Theme)
Tema Kompleks mengindikasikan Tema yang klausa ditemukan lebih dari satu
unit bahasa yang berfungsi sebagai Tema. Tema kompleks ini di bagi ke dalam
tiga jenis yaitu Tema Tekstual, Tema Antarpersona, dan Tema Topikal.
a. Tema Tekstual (Textual Theme)
Tema Tekstual adalah Tema yang mencakupi,
(a) penghubung (misalnya: walaupun demikian, karena itu);
(b) konjungsi (misalnya: dan, atau, tetapi);
(c) penerus (continuative) (misalnya: oh, baik, ya, mm…mmm, e…e..,
a…aa); dan,
(d) kata ganti relatif (relative pronoun) (misalnya: yang, yang…-nya).
b. Tema Antarpersona (Interpersonal Theme)
Tema Antarpersona merujuk pada Tema berupa,
(a) vokatif yaitu nama orang atau objek yang pernyataan itu ditujukan
(b) keterangan modus berfungsi memberi tanggapan pribadi, misalnya:
sebaiknya, sesungguhnya, sejauh ini:
(c) pemarkah pertanyaan, misalnya: apakah; dan,
(d) kata tanya pertanyaan informasi, misalnya: kapan, mengapa, di mana,
siapa. Kata tanya ini dipakai dalam modus interogatif.
c. Tema Topikal (Topical Theme)
Tema Topikal yakni Tema yang berupa Proses, Partisipan, atau
Sirkumstan. Dikatakan Tema Topikal karena ada lebih dari satu unit bahasa
yang berupa proses, partisipan, atau sirkumstan yang ditemukan dalam
klausa.
(8) Tema Tunggal (Singular Theme)
Tema Tunggal merujuk pada Tema yang terdapat di dalam klausa berbentuk
tunggal.
(9) Tema Majemuk (Plural Theme)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI,
DAN KONSTRUK ANALISIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Kajian Tematisasi
Kajian tentang Tema atau struktur Tema sudah dimulai sejak abad ke-19. Pada
waktu itu pakar linguistik Weil (1818-1909) mengkaji titik awal sebuah ujaran yang
diikuti dengan urutan pernyataan pesan yang mengikuti klausa dalam wacana. Pelopor
dalam kajian tema yang terkenal adalah Vilem Mathesius (1882-1945) pakar linguistik
aliran Praha. Kajian Mathesius dikenal sebagai kajian struktural tentang topik dan
fokus yang maksudnya sama dengan Tema dan Rema. Tema merupakan topik yang
dibicarakan dan rema adalah fokus penjelasan tentang Tema. (Sinar, 2009).
Brown dan Yule (1983:133-134) juga mengungkapkan tentang tematisasi
dalam linieritas pengorganisasian teks. Ia mengatakan “Thematization and Staging”
dengan pernyataan sebagai berikut, “...thematization as a discoursal rather
than simply a sentential process. What the speaker or writer puts first will influence
the interpretation of everything that follows.”
Berdasarkan kutipan di atas dinyatakan bahwa tematisasi sebagai wacana lebih
dari sekedar proses kalimat. Apa yang pembicara dan penulis letakkan pertama kali
akan mempengaruhi interpretasi berikutnya. Sementara itu mengenai “Staging”, ia
(which refers only to the linear organization of texts) is ‘Staging”. (Brown dan Yule,
1983:134). “Staging” merupakan istilah yang lebih umum dan inklusif daripada
tematisasi (yang merujuk hanya pada susunan linear teks).
Dalam penelitian ini, tematisasi yang dikaji adalah Tema dengan menggunakan
teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Halliday (1994:38)
mendefinisikan Tema sebagai berikut.
The Theme is one element in a particular structural configuration which, taken as a whole, organized the clause as a message; this is the configuration of Theme + Rheme. A message consists of a Theme combined with a Rheme. Within that configuration, the Theme is the starting-point for the message; it is the ground from which the clause is taking off.
(Tema adalah satu unsur di dalam konfigurasi struktural tertentu yang secara keseluruhan mengorganisir klausa sebagai pesan; Ini adalah konfigurasi Tema + Rema. Sebuah pesan terdiri atas sebuah Tema yang dikombinasikan dengan Rema. Di dalam konfigurasi ini, Tema sebagai titik awal keberangkatan pesan tersebut; Itu adalah dasar berlepasnya sebuah klausa)
Kajian tematisasi ini muncul dari adanya pemahaman bahwa bahasa berfungsi
untuk menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan secara bersistem. Hal ini
menunjukkan bahwa bahasa mempunyai aturan agar dapat menyampaikan pesan
dengan susunan yang baik dan teratur. Fungsi bahasa ini disebut fungsi tekstual di
mana Tema merupakan titik awal dari satu pesan (the starting point of the message)
yang terealisasi dalam klausa.
Di dalam bahasa Inggris dan Indonesia, Tema ditandai dengan posisi di awal
klausa atau unsur paling depan dari klausa. Tema dinyatakan dengan unsur pertama
Figura 2.1: Posisi Tema dan Rema dalam Teks
Theme:
Point of departure of clause as a message; local context of clause as a piece of text
Initial position in the clause
Rheme:
Non-Theme – where the presentation moves after the point of departure, what is presented in the local context set up by theme
Position following initial position
Tema dari segi bentuknya dapat berupa partisipan, proses ataupun sirkumstan
berbentuk kata, frasa, maupun kalimat. Jika hanya ada satu unsur dalam klausa yang
berpotensi menjadi Tema maka unsur tersebut disebut Tema sederhana dan dilabeli
dengan nama “Tema”. Sebaliknya, jika di dalam sebuah klausa terdapat lebih dari satu
unsur yang berpotensi menjadi Tema, maka dikatakan Tema tersebut sebagai Tema
kompleks.
Menurut Saragih (2006:112-114), Tema kompleks dibagi atas tiga jenis yaitu
(1) Tema Tekstual, (2) Tema Antarpersona dan (3) Tema Topikal. Tema Topikal
adalah unsur pertama representasi pengalaman. Ini berarti bahwa Tema Topikal dapat
berupa proses, partisipan, atau sirkumstan. Jika di dalam satu klausa hanya terdapat
satu Tema atau Tema sederhana maka Tema itu cukup diberi label Tema bukan Tema
Topikal.
Selanjutnya, Saragih (2007:47) menjelaskan Tema dapat diidentifikasi
berdasarkan kompleksitasnya dan kebermarkahannya. Kompleksitas terdiri dari
Tunggal (single) dan Majemuk (multiple). Kebermarkahan terdiri dari Bermarkah
Figura 2.2: Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan Kebermarkahannya
Kompleksitas
Tunggal Majemuk
Tunggal –
Bermarkah
Majemuk –
Bermarkah
Kebermarkahan: Bermarkah
Tidak Bermarkah Tunggal tidak
Bermarkah
Majemuk – tidak Bermarkah
2.1.2 Kajian Translasi dan Penerjemah
Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya
penerjemah, yang tercermin dari cara seseorang dalam memahami, memandang, dan
mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang digunakan. Pengalihan pesan dalam
proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa
sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi
yang dilematis. Di satu sisi penerjemah harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber
ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus
penerjemah harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran.
Pada hakekatnya, teori translasi sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi
masalah-masalah penerjemah. Namun, sebagai pedoman umum, teori translasi tidak
selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan letak terjemahan yang timbul
dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu
benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan
merupakan padanan yang benar.
Pada hakikatnya kajian translasi menitikberatkan proses menerjemahkan
berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu
dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam
bahasa sumber (Nida, 1976). Sebelumnya, Nida (1964) juga menyatakan bahwa
translasi yang sempurna adalah yang bisa menciptakan efek sebagaimana teks aslinya.
Ahli lainnya (Catford,1974) menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks
bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Mohanty
dalam Dollerup dan Lindegaard, (1994) menyatakan bahwa penerjemahan bukan
hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas
bi-kultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya
menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.
Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai
tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang
terlibat dalam penerjemahan dan tindakan opsional yang ditentukan oleh preferensi
personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang
alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasraran. Mereka
membedakan pergeeran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan
pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal
tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan
unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika
padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran.
Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya dan retorik yang
memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Zellermeyer
(1987) menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai
‘metamessages’. Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition),
penghilangan (delition), substitusi (substitution) dan penyusunan kembali
(reordering).
Penerjemahan teks selalu terkait erat dengan masalah budaya. Pemahaman
budaya agar dapat menerjemahkan teks sangat diperlukan. Masyarakat mempunyai
budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman budaya masyakarat tersebut
sehingga teks dapat diterjemahkan sesuai dengan makna yang terdapat dalam bahasa
sumber. Penerjemah merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu adalah untuk
membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan
oleh penuli asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah
pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Apabila ilmu pnegetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari
budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.
Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa
oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar,
tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering
terjadi, tujuan praktis penerjemahan tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang
demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca
teks terjemahan (Damono, 2003).
Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan
mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis
teks bahasa sumber, penerjeman sebagai mediator, dan pembaca teks bahasa sasaran.
Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi
penulis teks bahasa sumber, penerjemah, pembaca teks bahasa sasaran (Nababan,
2004).
Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi
Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut
semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby,
1995). Konsep budaya ini didefinisikan oleh Gohring (1977), dan Newmark (1988)
sebagai berikut.
who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are materail presentations....
(Goodenough, 1964).
Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned-unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior. (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995).
The way of life and its manifestations that are perculiar to a community taht uses a particular language as its means of expressions. (Newmark, 1988)
Dari definisi budaya di atas dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya
merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya
mempunyai hubungan yang erat dengan prilaku (tindakan) dan peristiwa atau
kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku
dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap
sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan ungkapan
tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.
Konsep bahwa bahasa adalah budaya dan budaya diwujudkan melalui perilaku
kebahasaan dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. House
(2002) berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan
dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan
dengan pandangan bahwa budaya merupakan suatu terjemahan, bukan kata, frase,
klausa, paragraf atau teks yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari