• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Politik Calon Gubernur (Studi Analisis Framing Pemberitaan Komunikasi Politik Calon Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Harian Analisa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Politik Calon Gubernur (Studi Analisis Framing Pemberitaan Komunikasi Politik Calon Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Harian Analisa)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Paradigma Penelitian

Paradigma menurut Mulyana (2003) adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan kepada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada paktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.

Menurut Indiantoro & Supomo (1999) secara umum paradigma penelitian diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Peneliti menggunakan paradigma kualitatif konstruksionisme, yang memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma konstruksionis dalam studi komunikasi seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna, berlawanan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi (Eriyanto, 2004).

(2)

bersama secara subjektif. Keduanya menggambarkan bahwa realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tesis utamanya adalah manusia dan masyarakat merupakan produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya, dimana dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu terjadi. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen (Eriyanto, 2004).

“Ada tiga tahapan peristiwa, pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dimana manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.”

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/ plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Selain plural, konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004).

Menurut Bungin (2003), semua individu, lembaga atau kelompok mempunyai peran yang sama dalam menafsirkan dan mengkostruksi peristiwa politik.

(3)

proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu yang absolut dan konsep statik tapi suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan ini memeriksa pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan sisi penerima, memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.

Paradigma konstruksionisme memiliki pandangan mengenai bagaimana realitas dilihat dan dikostruksi oleh media massa menjadi sebuah berita. Realitas dapat hadir karena memang dihadirkan dan diciptakan melalui konstruksi, sudut pandang, dan opini wartawan. Burton dalam Eriyanto (2002) mengatakan pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality, yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam penyampaian pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri suatu peristiwa dalam konteks pengalaman dan pengetahuannya sendiri. Kita tidak dapat menyamakan sebuah teks dalam konteks berita sebagai sebuah copy dari realitas, tapi merupakan konstruksi atas realitas. Konstruksi yang dilakukan ini merupakan alasan perbedaan berita yang dibuat oleh dua atau lebih wartawan pada suatu peristiwa yang sama. Realitas yang sama menjadi berita yang berbeda, tergantung bagaimana konsepsi ketika realitas tersebut dipahami oleh setiap wartawan yang berbeda pandangan dan pemaknaan ketika melihat suatu peristiwa. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil dan bukan realitas yang dipindahkan begitu saja sebagai berita tapi merupakan produk interaksi antara wartawan dengan fakta.

(4)

proses bagaimana seseorang membuat gambaran mengenai realitas yang ditemuinya. Realitas menjadi subjektif karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan melalui konstruksi dan pengaruh sudut pandangnya sendiri. Karena itu, tidak ada realitas yang bersifat objektif dan fakta diproduksi serta ditampilkan secara simbolik sehingga realitas bergantung pada bagaimana fakta dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi.

Shoemaker dan Reese dalam Sudibyo (2001) meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan, mencakup empat faktor level yaitu faktor level individual, faktor level rutinitas (media routine), faktor level organisasi dan faktor level ekstramedia.

“Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa, juga berhubungan dengan segi profesionalisme mencakup latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik atau organisasi massa.

Kedua, faktor level rutinitas media (media routine), yang berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Ukuran tersendiri tentang berita adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media. Mulai dari penentuan pendelegasian tugas, proses sebelum berita dicetak, siapa penulisnya, siapa editornya dan seterusnya, mempengaruhi bentuk akhir sebuah berita.

Ketiga, level organisasi yang berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Selain redaksi, pada organisasi media terdapat bagian pemasaran, iklan, sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Semua bagian ini tidak selalu sejalan karena mempunyai tujuan dan target masing-masing, sehingga ketika bagian redaksi menginginkan berita tertentu menjadi headline belum tentu bagian lain menginginkan berita yang sama.

Keempat, level ekstramedia yang berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan media, seperti sumber berita, sumber penghasilan media, pihak eksternal serta ideologi sebagai berikut :

(5)

sering tidak disadari oleh media sehingga media secara tidak sadar telah menjadi corong untuk menyampaikan apa yang dirasakannya.

b. Sumber penghasilan media bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/ pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup”. Kadang media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan menghindari meliput peristiwa buruk (kasus) berkaitan dengan pihak pengiklan mereka atau pengiklan dapat memaksakan versinya (tentang kasus itu) kepada media. Media juga meliput peristiwa yang disenangi khalayak, meski tidak masuk kriteria kelayakan berita media itu.

c. Pihak eksternal (pemerintah atau lingkungan bisnis) dapat memengaruhi dan sangat bergantung pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media pada negara demokratis ataupun liberal sangat minim dicampuri pemerintahnya. Pengaruh besar malah datang dari lingkungan bisnis/pasar. Persaingan-persaingan antar media muncul untuk menjadi yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.

d. Ideologi, sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini merupakan hal yang abstrak dan berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Level ideologi akan dapat dilihat kepada yang berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi dengan ideologi yang sudah ada di dalam masyarakat” (Sudibyo, 2001).

Hal-hal di atas selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari berita yang diproduksi media massa. Sebuah berita melalui berbagai pengaruh tersebut sebelum sampai ke tangan pembaca.

Tokoh konstruksionis John C. Merril dalam Eriyanto (2004) berpendapat, objektivitas sebuah karya jurnalistik merupakan hal yang tidak mungkin dapat dilakukan. Proses kerja jurnalistik, mulai dari pencarian berita, peliputan, editing, kemudian juga seleksi berita merupakan kerja yang subjektif.

(6)

Praktisi media, mantan wartawan surat kabar Warren Breed memaparkan pada artikelnya berjudul “Social control in the news room” pada buku Social Meanings of News (Berkowitz, 1997) bahwa terdapat bidang-bidang dimana berita dan kebijakan editorial biasanya dijaga dan dimana biasanya dilepaskan. Penerbit surat kabar memiliki hak untuk menetapkan dan memberlakukan kebijakan surat kabar. Tetapi kepatuhan terhadap kebijakan tidak bisa diperoleh secara otomatis. Kebijakan itu adalah orientasi yang diperlihatkan oleh surat kabar dalam editorial, kolom berita, dan berita utamanya berkenaan dengan kejadian atau permasalahan tertentu. Pandangan (surat kabar) tak akan menimbulkan pembohongan, melainkan “penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan preferensial, seperti ‘menampilkan di halaman depan’ berita yang prokebijakan, ‘mengubur’ berita yang antikebijakan, dan sebagainya. Setiap surat kabar memiliki kebijakan bidang politik, bisnis dan perburuhan sebagai bidang kebijakan utama, yang sebagian besar berasal dari pertimbangan kelas. Kebijakan biasanya bersifat terselubung karena kebijakan itu sering berseberangan dengan kode etik jurnalisme dan para eksekutif media tidak ingin dituduh telah memerintahkan agar surat kabarnya miring ke berita-berita tertentu (Severin, 2007).

Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJhon (2002) mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.

(7)

Proses konstruksi realitas dikatakan Hamad (2004) pada prinsipnya mengacu pada setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik, adalah usaha mengkonstruksikan realitas. Proses konstruksi setiap awak redaksi dalam kegiatan produksi berita menghasilkan sebuah realitas berupa berita.

Proses konstruksi pertama menurut Tuchman dalam Eriyanto (2005), terjadi ketika pemimpin redaksi (pemred) atau redaktur menentukan arah pemberitaan beserta kisi-kisi liputan yang harus dilakukan wartawan saat akan mempersiapkan liputan peristiwa khusus seperti pilgubsu. Pemred atau redaktur berusaha mengkonstruksikan realitas yang ada di lapangan khususnya terkait dengan kondisi sosial politik di lingkup internal maupun eksternal. Proses konstruksi kedua adalah ketika realitas yang dikemukakan oleh pemred atau redaktur tadi bertemu dengan realitas subjektif milik wartawan hasil dari transaksinya dengan fakta di lapangan. Berita adalah hasil transaksi antara wartawan dengan sumber. Realitas yang terbentuk dalam pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata, melainkan relasi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya. Proses konstruksi ketiga dilakukan oleh gatekeeper ketika berita versi wartawan tersebut masuk dalam proses editing hingga menghasilkan berita yang dikemas dalam produk media cetak. Dari proses konstruksi pertama hingga ketiga terlihat adanya perbedaan yang tergantung pada seberapa besar derajat kesamaan mereka dalam melihat sebuah peristiwa dalam sebuah bingkai tertentu. Wartawan dalam proses produksi berita hanyalah menuliskan berita versi mereka, sedangkan gatekeeper

mempunyai wewenang untuk menentukan versi akhir berita.

(8)

komunikasi politik cagubsu pada Harian Analisa, dimana institusi media juga dipengaruhi banyak faktor eksternal, maka berita yang setiap hari dikonsumsi oleh khalayak dalam pandangan konstruksionis adalah berita yang bias. Karena berita merupakan hasil konstruksi dari suatu peristiwa, bukan merefleksikan realitas.

Opini menurut Burton (2008) adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari proses konstruksi realitas, namun data pendukung membuat berita yang dimuat lebih bisa dipertanggungjawabkan. Fungsi politik media adalah menghasilkan bukti (evidence) dari pelbagai aktivitas, isu dan peristiwa politik yang memungkinkan kita untuk memahami beroperasinya politik dalam masyarakat kita dan untuk bekerja secara lebih konstruktif dalam proses politik. Bukti juga memberikan kita ilusi dalam bentuk partisipasi dalam proses politik, tetapi sebenarnya mendukung otoritas orang-orang terus mengatur hidup kita tanpa dipertanyakan. Media mampu memobilisasi opini publik. Dengan cara ini, media juga mampu membentuk pelbagai opini tentang pelbagai peristiwa dan isu politik. Proses produksi berita di media massa cetak pada umumnya diawali dengan rapat redaksi dimana jajaran pimpinan redaksi melakukan briefing sebagai acuan wartawan dalam kegiatan liputan di lapangan. Hasil interaksi wartawan dengan fakta di lapangan, juga dipengaruhi kondisi objek pemberitaan dan kondisi sosial, ekonomi, politik.

Proses produksi berita dipengaruhi kondisi eksternal seperti kondisi objek pemberitaan, juga dipengaruhi keadaan sosial, ekonomi dan politik di tingkat lokal maupun nasional. Hasil interaksi tersebut dikonstruksikan dalam sebuah berita. Berita tersebut akan melalui proses

(9)

hingga editor dan pemimpin redaksi sebelum akhirnya informasi tersebut benar-benar menjadi sebuah berita yang siap untuk dibaca. Produk berita tersebut sebelum sampai di tangan khalayak telah mengalami proses panjang, dimana berita bukanlah semata-mata hasil karya seorang wartawan, namun merupakan hasil kerja sebuah institusi media. Mekanisme konstruksi dalam sebuah proses produksi berita tidak hanya terjadi ketika wartawan bekerja di lapangan. Proses konstruksi terjadi berkali-kali hingga akhirnya konstruksi final dapat dimaknai oleh pembaca melalui berita yang terbit di surat kabar.

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu

Penelitian mengenai konstruksi media terkait pilgub sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain di lain daerah di Indonesia dengan media yang berbeda. Dari beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan analisis Framing Pan & Kosciki terkait komunikasi politik cagub di media massa terlihat beberapa hasil yang menarik.

Satu diantaranya penelitian Mardhana (2010) berjudul “Analisis Framing Berita Kampanye Pasangan Calon Gubernur Jawa Timur Selama Masa Kampanye Putaran I di Harian

(10)

Penelitian itu menunjukkan adanya perbedaan sikap dari ke empat media terhadap berita kampanye pasangan Calon Gubernur Jawa Timur selama masa kampanye Putaran I tersebut dan alasan perbedaan tersebut.

Peneliti lain, Simbolon (2013) meneliti “Konstruksi Berita dalam Media Massa (Analisis Framing Pemberitaan Dua Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta

“Jokowi-Basuki dan Fauzi-Nachrowi” dalam Majalah Tempo)” pada tahun 2012. Hasilnya menunjukkan bahwa Majalah Tempo mengkontruksikan dan membingkai peristiwa mengenai kedua pasangan tersebut. Majalah Tempo cenderung lebih memihak kepada tim Jokowi-Basuki, terlihat dari penekanan berita yang cenderung lebih memberi kesan postif bagi Jokowi dengan sosok Jokowi ditampilkan sebagai orang yang peduli rakyat kecil, selalu aktif turun ke pemukiman kumuh, sikapnya santun dan sederhana. Pemberitaan pada tim Fauzi-Nachrowi menekankan kesan negatif, seperti koalisi dengan pemberian uang, peniruan strategi kampanye Jokowi dan usaha tim suksesnya untuk mengubah penampilan Fauzi yang arogan dan kaku di depan publik menjadi lebih ramah dan murah senyum.

(11)

Produksi pesan media haruslah dilihat sebagai aktivitas yang sarat dengan kepentingan dan implementasi kekuasaan, yang memiliki implikasi penting dalam komunikasi politik. Politisi mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain dan bersama jurnalis membangun frame berita tertentu. Alasan-alasan tersebut menjadikan penelitian komunikasi politik menarik untuk dilakukan. Penelitian pertama meneliti konstruksi yang dilakukan di empat media sekaligus, sedangkan penelitian kedua meneliti konstruksi terhadap hanya dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur pada satu media saja. Ciri menonjol dari kedua penelitian tersebut adalah menganalisis teks berita dan melakukan wawancara mendalam terhadap awak media yang memproduksi berita.

Perbedaan penelitian ini dengan kedua penelitian di atas adalah penelitian ini akan meneliti konstruksi pada satu media saja yaitu Harian Analisa terhadap berita komunikasi politik pada kampanye perdana lima cagubsu. Didasari pada asumsi bahwa teks berita pada suatu media juga dipengaruhi faktor-faktor internal dan eksternal media, maka teks media diteliti tidak hanya dari muatan yang bersifat nyata namun juga bingkai seperti apa yang ingin ditonjolkan oleh wartawan, sehingga peneliti menggunakan analisis framing model Pan & Kosicki dilengkapi wawancara mendalam (indepth interview) dengan pemred Harian Analisa.

(12)

teks secara keseluruhan. Pan & Kosicki mengemukakan empat dimensi struktur teks berita sebagai perangkat framing, yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Ke empat dimensi struktur ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global.

Tabel 2.2

Framing Pan & Kosicki

Struktur Perangkat Unit yang diamati

SINTAKSIS

mengisahkan fakta Kelengkapan berita 5W+1H TEMATIK

Sintaksis adalah cara wartawan menyususun berita yang dapat diamati melalui bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, kutipan yang diambil, dan sebagainya)

(13)

bentuk berita. Skrip memfokuskan perangkat framing pada kelengkapan berita: (a) What (apa), (b) When (kapan), (c) Who (siapa), (d) Where (di mana), (e) Why (mengapa), (f) How (bagaimana).

Tematik adalah cara wartawan menulis fakta. Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini mempunyai perangkat framing: (a) Detail, (b) Maksud dan hubungan kalimat, (c) Nominalisasi antar kalimat, (d) Koherensi, (e) Bentuk kalimat, (f) Kata ganti. Unit yang diamati adalah paragraf atau proposisi.

Retoris adalah cara wartawan menekankan fakta. Struktur retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai leksikon/pilihan kata, idiom, grafik dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu pada pembaca.

Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media yang menampilkan tendensi atau kecondongan wartawan dalam memahami suatu peristiwa.

2.3 Uraian Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Masri Singarimbun, 1995). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah.

(14)

masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilih yang dianggap mampu menjawab masalah penelitian (Bungin, 2008).

Peneliti memilih beberapa teori tentang media massa dikaitkan dengan teori komunikasi politik dan analisis framing Pan & Kosciki untuk mendapatkan jawaban atas penelitian yang dilakukan.

Media massa dalam menjalankan paradigmanya menurut Bungin (2008) berperan sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi, sebagai media informasi ke masyarakat, sebagai media hiburan dan sebagai agent of change, media juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Peran media massa sangat besar bagi masyarakat sehingga media massa bukan saja mempengaruhi pembaca/ pendengar /penontonnya dari segi kognitif, tapi juga dari segi afektif dan perilaku. Peran yang demikian besar ini membuat media massa sering digunakan sebagai sarana dalam pembentukan pendapat umum (public opinion). Media massa juga merupakan jembatan atau sebagai alat atau saluran komunikator dalam menyampaikan pesan, sehingga diperlukan kemampuan untuk memilih media yang tepat dan cermat agar pesan sampai tepat sasaran pada komunikannya.

(15)

kebebasan wartawan dalam menuliskan dan menyampaikan berita. Kebijakan redaksional menjadi pedoman dan ukuran dalam menentukan pilihan berita yang akan diterbitkan.

Berita adalah karya wartawan melalui proses aktif menggambarkan peristiwa (fakta) yang diliput, yang kemudian redaksi memilih berita mana yang akan ditempatkan sebagai headline dengan cetakan huruf besar sehingga lebih awal terlihat oleh pembacanya dan punya nilai layak jual.

Menurut Dominick (1990) bicara tentang komunikasi massa tidak terlepas dari bicara tentang saluran komunikasi berupa media massa, mencakup bukan hanya alat mekanis yang mengirimkan dan menyimpan pesan seperti kamera TV, mikrofon radio dan percetakan, tetapi juga lembaga-lembaga yang menggunakan mesin ini untuk mengirimkan pesan. Ketika kita berbicara tentang media massa televisi, radio, koran, majalah, rekaman suara, dan film, maka akan mengacu kepada orang-orang, kebijakan, organisasi, dan teknologi yang masuk ke dalam memproduksi komunikasi massa tersebut.

“In the broadest sense of the world, a medium is the channel through which a message travels from the source to the receiver (“medium” is singular; “media” is plural). This is in our discussion, we have pointed to sound and light wave as media of communication. When we talk about mass communication, we also need channels to carry the message. We will refer to these channels as the mass media. Our definition of a mass medium will include not only the mechanical devices that transmit and sometimes store the message (TV cameras, radio microphones, printing presses), but also the institutions that use these machines to transmit messages. When we talk about the mass media of television, radio, newspapers, magazines, sound recording, and film, we will be referring to the people, the policies, the organizations, and the technology that go into producing mass communication”(Dominick, 1990).

(16)

menekankan gejala saling berbagi informasi. Misalnya, ”komunikasi adalah proses saling berbagi informasi.” Ketiga, definisi-definisi yang mengandung unsur mempengaruhi serta respon, baik dengan/atau tanpa menekankan pada kedua unsur di atas. Misalnya, “komunikasi adalah proses yang dilalui oleh suatu pemikiran untuk mempengaruhi pemikiran yang lainnya.”

Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis dan taia. Polis berarti negara (kota) dan taia berarti urusan. Politik berarti urusan negara. Polis kemudian berkembang menjadi politikos artinya kewarganegaraan dan berubah lagi menjadi politera yaitu hak-hak kewarganegaraan. Flechtheim (1952) mendefenisikan ilmu politik sebagai ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara, sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi negara.

Susanto (1993) merumuskan pengertian komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.

Kegunaan komunikasi politik menurut Kantaprawira (1977) adalah untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi, asosiasi, atau sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah. Kegiatan komunikasi politik tidak hanya dalam ruang lingkup internal (nasional) melainkan juga eksternal (internasional).

(17)

pembuatan kebijakan (decision making process) maka secara sederhana dapat didefenisikan Politik adalah siapa (who), memperoleh apa (gets what), kapan (when), dan bagaimana caranya (how).

Komunikasi politik mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik. Namun jika disimak dari berbagai literatur, menurut Ardianto & Q-Anees (2007) komunikasi politik telah menjadi kajian tersendiri sejak diakui oleh organisasi ilmiah International Communication Association bersama divisi lain, seperti divisi sistem informasi, komunikasi antarpribadi, komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi instruksional dan komunikasi kesehatan.

Beberapa ilmuwan melihat komunikasi politik sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan politik. Karena itu komunikasi politik dianggap memiliki fungsi yang sangat istimewa karena meletakkan basis untuk menganalisis permasalahan yang muncul dan berkembang dalam keseluruhan proses dan perubahan politik suatu bangsa.

(18)

interpretasi yang short-sided maupun kepentingan subyektif para aktornya. Tingkat pendidikan masyarakat yang terbatas dan teknologi informasi yang belum secanggih sekarang membuat persoalan politik dulu masih terlalu elitis sifatnya. Pemahaman masyarakat mengenai politik diperoleh dari keterlibatan mereka dalam organisasi politik atau sejumlah kecil berita di surat kabar. Peran media belum sebesar sekarang sehingga partai politik sangat menentukan kesadaran politik rakyat.

“Kini, setelah deregulasi media dilakukan dan regulasi politik dibakukan, suasananya jelas berbeda. Sumber berita bisa lintas aliran. Basis ideologis tradisional tidak lagi kuat, sehingga persaingan antar komunikator untuk mendapatkan simpati dan respon dari komunikannya semakin terbuka. Apalagi konglomerasi media, dimana pemilik media juga terlibat dalam politik praktis, terjadi di Indonesia. Sehingga komunikasi politik di media massa menjadi semakin menarik dan memiliki pengaruh terhadap pemahaman masyarakat atas pemberitaan yang disajikan, khususnya pemberitaan yang bersifat politis, termasuk komunikasi politik.

Kegiatan di dalam sistem politik (negara) dimaksudkan untuk menentukan dan melaksanakan tujuan tertentu dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum melalui kekuasaan. Komunikasi politik sebagai hasil yang bersifat politik (political outcomes) dari kelas sosial, pola bahasa, dan pola sosialisasi, merupakan infrastruktur politik, sebagai kombinasi dari berbagai interaksi sosial dimana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran sistem politik. Komunikasi politik adalah proses transmisi informasi yang relevan secara politik dari suatu bagian sistem politik kepada bagian sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik; dan proses komunikasi politik, sosialisasi politik, dan perekrutan politik tergantung pada suatu sistem politik. Politisi sebagai komunikator politik, berada pada posisi strategis untuk memainkan peran politik dalam suatu setting politik tertentu” (Samego & Arba, 1998).

(19)

pembicaraan politik dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang di dalamnya terdapat simbol-simbol politik (Hamad, 2004).

Plano, Robert & Helenan (1982) dalam bukunya The Dictionary of Political Analysis

menyebutkan bahwa “komunikasi politik merupakan proses penyebaran makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Secara formal objek komunikasi politik adalah dampak atau hasil yang bersifat politik (political outcomes) di samping sebagai salah satu fungsi yang menjadi syarat untuk berfungsinya sistem politik.

Ra'uf & Mappa (1993) menjelaskan komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya, sebagai upaya yang berorientasi pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai atau memperoleh kekuasaan.

(20)

“The mass media can play an important role in creating awareness- knowledge, in stimulating interpersonal communication, and in recruiting individuals to participate in campaign activities. Mass media communication is not a campaign panacea. Some messages communicated through some channels affect some people more than others under some conditions. Many campaigns may not so much fail as fall short of unrealistic objectives, perhaps by delivering their messages to the wrong audience. Strongly held opinions and ingrained behaviors are very difficult to change. One key to successful communication campaigns is the setting of reasonable campaign goals(Rogers & Storey, 1987)

Ettema & Whitney (1994) dalam Professional Mass Communicators menjelaskan mengenai prospek untuk mengetahui dan mengatakan kebenaran melalui jurnalisme. Bahwa jurnalis dapat merumuskan suatu kebenaran yang diketahui dan diungkapkannya.

What then, can be said of the prospects for knowing and telling the truth through journalism? If we are willing to stipulate that there is such a thing as truth to be known and told – a key stipulation, we admit – then we can formulate the issue of truth in journalism much as we formulated the issue for creativity in popular entertainment and much as journalists themselves sometimes formulate it /Harper’s, 1985” (Ettema & Whitney, 1994).

Pembagian teori komunikasi dalam beberapa konsep disesuaikan dengan sistem politik yang berlaku pada negara yang bersangkutan. Rivers, Schramm, & Cristians pada “Responsibility in Mass Communications” dalam Rachman (2007) membagi dalam tiga konsep yaitu Authoritharianism, Liberitarianism dan Social Responsibility Theory.

“Konsep komunikasi dalam sistem politik authoritarianism adalah komunikasi politik dimana lembaga suprastruktur politik mengatur bahkan menguasai sistem komunikasi politik yang menghubungkan antara suprastruktur dengan infrastruktur. Artinya negara lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan sistem komunikasi atau bahkan hanya bisa menerima semua pesan komunikasi politik yang disampaikan oleh negara atau pemerintah. Contoh : penerapan sistem komunikasi politik dalam negara sosialis komunis.

(21)

agar tidak melanggar semua aturan atau hukum yang berlaku dalam negara yang dapat berakibat kerugian pada masyarakat umum. Contoh : penerapan sistem komunikasi politik dalam negara demokrasi.

Konsep komunikasi politik dalam sistem politik social responsibility theory adalah komunikasi politik dimana lembaga suprastruktur politik mengatur bahkan menguasai sebagian besar sistem komunikasi politik yang menghubungkan antara suprastruktur dengan infrastruktur. Artinya negara lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan sistem komunikasi politik atau bahkan hanya bisa menerima sebagian besar pesan komunikasi politik yang disampaikan oleh negara atau pemerintah. Contoh : penerapan sistem komunikasi politik dalam negara sosialis demokrat” (Rachman, 2007).

Menurut Sumarno (1989) ada dua unsur komunikasi politik, mencakup unsur komunikasi politik dalam lembaga suprastruktur dan infrastruktur. Dalam lembaga suprastruktur terdiri dari tiga kelompok yaitu yang berada pada lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari elit politik, elit militer, teknokrat dan profesional group. Dalam lembaga infrastruktur terdiri dari beberapa kelompok yaitu partai politik, interest group, media komunikasi politik, kelompok wartawan (sebagai within-put), kelompok mahasiswa (sebagai

within-put) dan para tokoh politik.

(22)

Dijelaskan J.D. Halloran dalam Rachman (2007) komunikator massa berlaku juga bagi komunikator politik. Komunikator politik dalam Rosenau, adalah pembuat opini pemerintah atas hal ihwal nasional yang multimasalah. Menurutnya yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah pejabat eksekutif (presiden, kabinet, kepala penasihat), pejabat legislatif (senator atau DPD, pimpinan utama DPR) dan pejabat yudikatif (Hakim, MA, MK).

Leonard W Dob dalam Rachman (2007) mengatakan komunikator politik dapat dibagi dalam 3 macam, yaitu :

(a) Politikus sebagai komunikator politik, dimana politikus adalah orang yg memiliki otoritas untuk berkomunikasi sebagai wakil dari kelompok atau langganan; pesan-pesannya mengajukan dan melindungi tujuan kepentingan politik. Artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompok. Ada juga politikus yang bertindak sebagai ideologi yang aktivitasnya membuat kebijakan yang luas, mengusahakan reformasi dan bahkan mendukung perubahan revolusioner. (b) Komunikator profesional dalam politik, sebagaimana dikatakan James Carey, adalah orang yang menghubungkan golongan elit dalam organisasi atau komunitas manapun dengan khalayak umum; secara horizontal ia menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada tingkat struktur sosial yang sama. Menurutnya, sifat komunikator ini adalah “ bahwa pesan yang dihasilkan tidak memiliki hubungan yang pasti dengan pikiran dan tanggapannya sendiri”. Klasifikasi komunikator profesional adalah meliputi ; jurnalis, promotor.

(c) Aktivis atau komunikator paruh waktu (part time) dimana cukup banyak orang yang terlibat dalam kegiatan politik atau komunikasi politik tetapi tidak menjadikan kegiatannya sebagai lapangan pekerjaan. Kategori komunikator ini adalah jurubicara, pemuka pendapat, pengamat. Komunikator politik menggunakan saluran komunikasi politik dan saluran komunikasi persuasif politik yang memliki kemampuan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bangsa dan negara.

Tipe–tipe saluran komunikasi politik menurutnya meliputi :

(a) Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politik kepada komunikan (khalayak) melalui media komunikasi massa, seperti, suratkabar, radio, televisi.

(b) Komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator kepada komunikan (khalayak) secara langsung atau tatap muka (face to face). Contohnya, dialog, lobby, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), dan lain-lain.

(23)

horizontal (dari kiri ke kanan) sejajar. Contohnya, komunikasi antar atasan, dan komunikasi antar bawahan (staf).

Tipe saluran komunikasi persuasif politik meliputi :

(a) Kampanye massa adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program asas, platform partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada calon pemilih (calon konstituen) melalui media massa cetak, radio, maupun televisi, agar memilih partai politik yang dikampanyekannya.

(b). Kampanye Interpersonal adalah proses penyampaian pesan persuasive (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh yang luas terhadap calon pemilih (calon konstituen) agar menyerukan untuk memilih partai politik yang dikampanyekannya.

(c). Kampanye organisasi adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada kader, fungsionaris, dan anggota dalam satu organisasi partai politik dan antar sesama anggota agar memilih partai politik yang dikampanyekannya (Rachman, 2007).

Pesan komunikasi politik dijelaskannya adalah pesan yang berkaitan dengan peran negara dalam melindungi semua kepentingan masyarakat (warga negara). Bentuk pesannya dapat berupa keputusan, kebijakan dan paraturan yang menyangkut kepentingan dari keseluruhan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pembicaraan politik, komunikator lebih banyak menggunakan instrumen komunikasi yang meliputi :

a. Lambang pembicaraan politik adalah kegiatan simbiotik. Kegiatan ini dapat berupa pembicaraan otoritas dilambangkan oleh konstitusi, hukum, pembicaraan kekuasaan dilambangkan oleh parade militer dan pembicaraan pengaruh dilambangkan oleh mimbar partai, slogan, pidato, editorial.

b. Bahasa, dalam komunikasi politik merupakan suatu sarana yang sangat penting yang memiliki fungsi sebagai “cover” bagi isi pesan (content message) yang akan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sehingga pesan tersebut memiliki daya tarik (interest) serta mudah diterima oleh komunikan (masyarakat).

(24)

media komunikasi langsung yang berasal dari elemen infrastruktur politik yang mengartikulasi kepentingan masyarakat luas, baik melalui media dialog, diskusi, konsep pemikiran maupun orasi di lapangan (demonstrasi). Semuanya ditujukan untuk memelihara harmonisasi komunikasi antara komunikator politik dengan komunikan atau khalayak (masyarakat). Komunikan atau khalayak dalam komunikasi politik adalah semua khalayak yang tergolong dalam infrastruktur maupun suprastruktur politik. Semua komunikan yang secara hukum terikat oleh konstitusi, hukum dan ruang lingkup komunikator suatu Negara (Rachman, 2007).

Penelitian komunikasi politik, dari catatan sejarah, paling awal berkenaan dengan kampanye politik dan pemilihan umum. Komunikasi politik sebagai suatu studi mandiri baru muncul pada awal dasawarsa 1950an. Istilah itu dikemukakan pertama kali oleh Euleau, Eldersveld & Janowitz pada tahun 1956. Euleau dan kawan-kawan mendudukkan komunikasi politik sebagai satu dari tiga proses yang berpengaruh dalam kegiatan politik. Dua proses lainnya adalah kepemimpinan politik dan struktur kelompok. Aristoteles dalam buku Rhetoric membahas secara sistematis mengenai seni berpidato yang menjadi cikal bakal persuasi politik. Niccolo Machiaveli dalam bukunya Il Principe atau Sang Penguasa (1532). Hocmuth & Brigance dengan karya mereka The history and Criticism of America Public Address dan para editor dari The quarterly journal of speech yang terbit pertama kali pada tahun 1915.

Pye (1963) menyebutkan dengan pendekatan komunikasi, membantu memberikan pandangan yang mendalam dan lebih halus mengenai perilaku politik. Karyanya, Communication and Political Development, dalam Arifin (2003) menjelaskan bahwa suatu jaringan (komunikasi) mampu memperbesar dan melipatgandakan ucapan-ucapan (pembicaraan) dan pilihan-pilihan individual sehingga dalam hal ini tidak akan ada suatu politik yang dapat merentangkan suatu bangsa.

(25)

pada masyarakat. Dilanjutkan Bagehot, M., Byrce, D. & Graham Wallace di Inggris mengenai peranan pers dalam pembentukan opini publik. Hingga tahun 1927 Harold D Laswell menulis disertasi doktor tentang Propaganda Technique in the World War. Bukunya The Structure and Functions of Communication in Society, merupakan sebuah karya monumental yang terus dikembangkannya dalam buku-bukunya yang lain seperti yang ditulisnya pada tahun 1958 yaitu,

Politics: Who Gets What, When, How. Laswell oleh Wilbur Schramm diposisikan sebagai tokoh utama dalam studi komunikasi politik. Langkah Laswell diikuti murid-muridnya, Ithiel de Sola Pool, V.O. Key & Gabriel Almond yang tertarik pada komunikasi politik. Key, mempertemukan komunikasi dan politik dalam bukunya Public Opinion and American Democracy (1961). Pool menulis buku The People Look at Educational Television: Candidates, Issues, and Strategies; a Computer Simulation of the 1960 Election Campaign; dan Trends in Content Analysis. Sedangkan Almond mengkaji berbagai konsep untuk memahami fungsi komunikasi dalam sistem politik.

(26)

(1990), mengutip Dan Nimmo dalam bukunya Handbook of Political Communication, “as fields of investigations go, political communication is obviously still in infancy” (di Amerika sekalipun, komunikasi politik masih mencari bentuk).

Pentingnya komunikasi dalam pencapaian sasaran-sasaran politik diakui Greber dalam Mulyana & Solatun (2008) sebagai berikut :

“Sebagian besar aktivitas politik adalah permainan kata-kata. Politisi berhasil meraih kekuasaan karena keberhasilannya berbicara secara persuasif kepada pemilih dan kepada elit politik. Ketika kita menjelaskan bahasa politik (bahasa yang digunakan dalam konteks politik) dan apa yang membuat bahasa verbal maupun nonverbal menjadi politik bukanlah karena bentuk atau kosa kata, melainkan karena substansi informasi yang dihadirkan,

setting dimana informasi disebarkan maupun karena fungsi yang dijalankan”.

Keberadaan media sebagai sarana komunikasi politik cukup vital dalam menyebarluaskan pesan politik dalam rangka usaha propaganda. Jaques Ellul dalam Nimmo (1993) menyebutkan propaganda sebagai komunikasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan suatu massa yang terdiri atas individu yang dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan dalam suatu organisasi. Hasil akhirnya adalah untuk mobilisasi dukungan publik, menciptakan hubungan yang erat diantara mereka, menggalang kesetiaan dan mempertahankan ketaatan mereka.

Penelitian Suwardi (1993) tentang peranan pers dalam politik di Indonesia dan penelitian Zhao, Xinshu, Chaffee (1995) tentang opini publik melalui iklan kampanye dibandingkan televisi sebagai sumber informasi isu politik menunjukkan bagaimana media massa senantiasa memberikan porsi perhatian yang cukup besar atas isu-isu politik.

(27)

kepentingan menyebarluaskan informasi, menjadi forum diskusi publik dan mengartikulasi tuntutan masyarakat yang beragam. Komunikasi politik di media massa pada hakikatnya adalah arena pertarungan simbol-simbol kepentingan, dimana dengan kekuatan yang dimilikinya, media massa adalah sarana yang banyak diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Tidak mengherankan muncul adagium dalam konteks pemilihan, mereka yang berkuasa di media massa yang akan akan memegang tampuk kekuasaan.

(28)

bentuk hubungan antara media dengan penerima. Bukan membentuk sikap atau perilaku. Media dan wacana yang dikembangkan adalah bagian dari proses melalui mana individu mengkonstruksi dan membentuk pemaknaannya. Pendapat umum adalah bagian dari proses bagaimana jurnalis membangun dan mengkristalisasi makna dalam wacana media. Dalam tahap ini media berperan dalam membentuk konstruksi realitas.

Istilah framing yang pertama kali dilontarkan Beterson dalam Sudibyo (1999) berasal dari kata frame, yang juga dikenal dengan nama media packaged, yaitu perspektif yang digunakan untuk melakukan pengamatan, analisis, dan interpretasi pesan media, terutama pesan faktual (berita). Analisis framing merupakan cara untuk menggambarkan proses penyeleksian dan pemfokusan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori–kategori standar untuk mengapresiasi realitas.

Analisis framing dikembangkan Goffman pada 1974 (Sudibyo, 2001) dengan mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Konsep frame atau framing digunakan secara luas dalam literatur komunikasi sebagai proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media. Dalam prakteknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya.

(29)

dengan memberikan sorotan-sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan menggunakan istilah yang mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Frame sering diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana.

Framing secara umum dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek-aspek itu menjadi lebih noticeable, meaningfull, dan memorable bagi khalayak. Framing juga dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga elemen isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dalam kognisi individu, sehingga lebih besar pula kemungkinannya untuk mempengaruhi pertimbangan individu (individual judgment). Proses framing lebih dari sekedar proses rekonstruksi dan interpretasi realitas.

Charlotte Ryan dalam Sudibyo (2001), mengatakan framing pada dasarnya adalah proses perekayasaan peristiwa, serta proses menandai apa yang signifikan dari peristiwa sehari-hari. Todd Gitlin, menegaskan framing adalah sebuah strategi bagaimana realitas/ dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-perisiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan, dan presentasi dari realitas.

(30)

visual. Jurnalis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak (Eriyanto, 2004).

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin memilih peristiwa tanpa perspektif. Memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana dari realitas yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.

(31)

memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.

Secara umum ada dua frame yakni frame media dan frame individual. Perbedaan antara kedua frame ini dapat dilihat dari esensi framing itu sendiri. Frame secara umum terdiri dari struktur internal dimana seseorang mempunyai skema tertentu atas realitas dan dapat kita kategorisasikan sebagai frame individual dan perangkat yang melekat dalam wacana, dapat kita kategorisasikan sebagai frame media.

Analisa framing ada tiga kategori yaitu :

a. Level makrostruktural, terlihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Bagaimana peristiwa dipahami oleh media dalam tingkat abstraksi paling tinggi : wacana.

b. Level mikrostruktural. Pusat perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa tersebut yang ditonjolkan dan bagian mana yang dilupakan (dikecilkan). Terlihat pada pemilihan fakta, angel dan narasumber.

c. Elemen retoris. Bagaimana fakta ditekankan atau bagaimana cara media menekankan fakta. Terlihat pada pemilihan kata, kalimat, retorika, gambar atau grafik tertentu sehingga khalayak yakin apa yang disajikan oleh media adalah benar.

Tabel 2.3.3

Empat model analisis framing Makrostruktural Mikrostruktural Retoris

Murray Edelman

Robert N Entman

William Gamson   

Zhandong Pan and

Gerald M Kosicki   

(32)

Terdapat empat model analisis framing sebagaimana tabel di atas, yang memiliki perbedaan dalam detail yang diajukan. Edelman dan Entman tidak merinci secara detail elemen retoris. Gamson dan Pan & Kosicki disertakan dalam unit analisis mereka apa saja elemen retoris yang perlu diperhatikan untuk menunjukkan perangkat framing. Gamson penekanan lebih banyak pada penandaan dalam bentuk simbolik baik kiasan (retorik) yang secara tidak langsung menggerakkan perhatian khalayak. Sebaliknya, dalam model Pan & Kosicki banyak diadaptasi pendekatan linguistik dengan memasukkan elemen seperti pemakaian kata, pemilihan struktur dan bentuk kalimat yang mengarahkan bagaimana peristiwa dibingkai oleh media.

Fishman dalam Sobur (2006) menyatakan berita bukan refleksi atau distorsi dari realitas yang seakan berada di luar sana. Fokus perhatian tentu bukan hanya pada berita merefleksikan realitas atau apakah berita distorsi atau realitas sajian berita yang menarik yang memberi peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Framing dikatakannya dijalankan oleh media massa dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain serta menonkjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana.

Menurut William Gamson dalam Eriyanto (2005), cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna berbagai peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita ini terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau stuktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan pesan-pesan yang ia terima.

(33)

dianggap logis dan tertata dalam sebuah struktur laten pesan (konteks psikologis). Pada konteks komunikasi politik, efek framing kepada publik, audien terbiasa untuk mengadaptasi cara pandang (frame of reference) yang ditawarkan oleh jurnalis agar memandang realitas dengan cara yang sama dengan jurnalis atau organisasi media yang bersangkutan.

Framing dalam konteks psikologi media digunakan untuk memahami realitas yang direpresentasikan oleh media, sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif yang lebih besar. Level personal bertujuan memelihara kelangsungan kebiasaan kita dalam mengklasifikasi, mengorganisasi dan menginterpretasikan secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita agar dapat memahaminya. Analisis framing berguna untuk meneliti cara-cara individu mengorganisasikan pengalamannya. Frame memungkinkan orang mengindentifikasi dan memahami peristiwa aktivitas kehidupan yang sedang berjalan.

Framing dalam kajian komunikasi politik berperan jauh lebih besar sebagai sebuah titik masuk bagi kita untuk membedah fenomena agenda setting dan propaganda secara lebih mendalam. Di sinilah terletak peran penting media dalam kehidupan politik modern. Media dan dunia politik adalah sisi yang sangat berdekatan dalam era keterbukaan, dimana media dan aktor-aktor politik saling memanfaatkan satu sama lain. Produksi pesan media haruslah dilihat sebagai aktivitas yang sarat dengan kepentingan dan implementasi kekuasaan, yang memiliki implikasi penting dalam komunikasi politik. Politisi mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain. Bersama jurnalis, politisi membangun frame berita tertentu.

(34)

Framing dalam berita dilakukan dengan empat cara yaitu identifikasi masalah, identifikasi penyebab masalah, evaluasi moral dan saran penanggulangan masalah. Ada empat teknik memframing berita yang digunakan wartawan, menurut Abrar (2000), yaitu cognitive dissonance (ketidaksukaan sikap dan perilaku), empati (membentuk “pribadi khayal”), packing

(daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan) dan asosiasi (menggabungkan kondisi, kebijakan dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita). Sekurangnya ada tiga bagian yang menjadi objek framing seorang wartawan, yaitu judul berita, fokus berita dan penutup berita.

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari penelitian ini digambarkan sebagaimana tabel di atas melalui bagan dari alur pemikiran peneliti terhadap apa yang peneliti pahami untuk dijadikan sebagai acuan dalam memecahkan permasalahan yang diteliti secara logis dan sitematika.

(35)

dengan pemred Harian Analisa dengan pendekatan paradigma konstruktivis dan menggunakan teori media massa dan teori komunikasi politik. Hasilnya merupakan jawaban atas fokus masalah yaitu bagaimana Harian Analisa melakukan framing terhadap berita komunikasi politik cagubsu di Harian Analisa dan bagaimana gambaran hal itu dilakukan melalui struktur sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab apa yang menjadi tujuan dari penelitian.

Gambar

Tabel 2.2 Framing Pan & Kosicki
Tabel 2.3.3
Tabel 2.4 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

[r]

A system of integrated computer-based tools for end-to- end processing (capture, storage, retrieval, analysis, display) of data using location on the earth’s surface

Pada eksperimen ini perangkat yang digunakan antara lain rangkaian C-V converter Osiloskop, Signal Generator, Sensor kapasitansi dan komputer. Eksperimen ini

Salah satu upaya perbaikan penyaluran daya listrik yang mudah dilakukan dan bermanfaat dalam waktu yang lama untuk mengantisipasi perkembangan beban yang dipikul oleh

Kini internet telah menyediakan situs â situs web yang menyediakan informasi untuk suatu organisasi, tentu saja seiring dengan kemajuan zaman, penulis dapat membanatu pihak

Microsoft access 2000 merupakan pengembangan dari microsoft access versi sebelumnya, dengan harapan program aplikasi database ini lebih mudah dipakai, mudah diintegrasikan

terkait dengan proyek ini, yaitu fitness centre, aerobic serta yoga yang merupakan olahraga ringan dan tidak membutuhkan tenaga yang besar seperti angkat beban. Fasilitas yang

Pada Tugas Akhir ini dibuat suatu program untuk mengklasifikasi jenis tumor pada kelenjar tiroid secara otomatis dengan menggunakan software Matlab R2009a