ϭϰϴ BAB V
Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Budaya patriakhi dan kapitalisme global berkolaborasi menjadi pemicu terjadinya
tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan pada umumnya. Salah satu
tempat terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah di dalam rumah tangga. Salah
satu upaya dari perempuan untuk keluar dari setiap bentuk kekerasan yang dialami dalam rumah
tangga melalui perceraian. Perceraian yang dipandang sebagai solusi akhir dari beragam tindakan
kekerasan terhadap perempuan ternyata membawa dampak negatif terhadap kehidupan
perempuan itu sendiri. Bentukkan budaya patriakhi yang berakar seringkali mendorong
lingkungan sosial mempersalahkan perempuan sebagai penyebab dari perceraian, tidak heran
jika perempuan harus kembali berhadapan dengan tindakan kekerasan dan diskriminatif pasca
perceraian. Penghinaan, pandangan negatif, sikap menghakimi seringkali mereka terima dalam
lingkup kerja, masyarakat bahkan lembaga agama.
Mencermati persoalan diskriminasi terhadap perempuan yang bercerai dalam konteks
GMIST Mahanaim, maka penulis menggunakan studi poskolonial menjadi media yang dapat
menolong penulis untuk melihat persoalan diskriminatif terhadap mereka yang bercerai, tidak
hanya berdasar pada permasalahan dari kekinian tetapi juga mengkritisi dengan menganalisa teks
Kitab Suci yang didalamnya juga terdapat persoalan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini
dilakukan untuk mendatangkan manfaat keadilan dan kemerdekaan bagi perempuan yang
teraniaya dan tertekan akibat tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan sikap diskriminatif
ϭϰϵ
Faktor pendorong utama selain faktor budaya dan kapitalisme global dalam tindakan
kekerasan dan diskriminatif terhadap perempuan yang bercerai di GMIST Mahanaim adalah
ajaran tentang doktrin Kristen anti perceraian yang didasarkan pada teks Matius 19:1-12.
Penafsiran yang pada umumnya dilakukan oleh penafsir konservatif memiliki perbedaan
signifikan dengan penafsiran yang penulis lakukan berdasar pada perspektif kelima responden
yang bercerai di GMIST Mahanaim. Penafsiran para penafsir konservatif yang pada umumnya
melarang perceraian tidak dapat digunakan dalam konteks kelima responden yang bercerai di
GMIST Mahanaim.
Pemaknaan baru dari teks Matius 19:1-12 muncul berdasar pada sikap Yesus yang
menunjukkan perlawanan terhadap tindakan para suami dalam praktik pernikahan
Yunani-Romawi yang dengan mudah dapat memutuskan ikatan pernikahan sesuai keinginan suami. Larangan perceraian merupakan cara Yesus untuk menghentikan dominasi pejuratif yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan dalam konteks Imperialisme Romawi. Pembelaan Yesus terhadap perempuan yang tertindas dan teraniaya dalam rumah tangga membuka peluang bagi
perempuan untuk mendapatkan hak dan kedudukan sama dengan laki-laki selaku manusia yang telah diciptakan oleh Allah.
Larangan perceraian yang diberlakukan Yesus adalah bentuk resistensi terhadap
tindakan-tindakan diskriminatif dalam konteks Matius. Sikap Yesus yang tidak berkompromi dengan beragam bentuk tindak kekerasan menjadi acuan memahami teks Matius 19:1-12 dalam
konteks kekinian. Jika larangan perceraian dalam konteks Matius dipakai Yesus untuk menghentikan tindakan kesewenangan laki-laki terhadap perempuan dan memberikan pembebasan, kemerdekaan para perempuan. Maka dalam konteks kekinian teks Matius 19:1-12
ϭϱϬ
orang-orang yang tertindas dan teraniaya. Dengan perspektif baru melihat teks Matius maka kebebasan, kemerdekaan dari tindak kekerasan fisik dan psikis dapat diwujudkan melalui
perceraian. Oleh karena itu perceraian dalam perspektif kelima responden adalah wujud kasih dan keadilan Allah terhadap mereka yang tertindas dan teraniaya sehingga dapat kembali
melangkah menggapai kemerdekaan dan kebebasan yang hakiki sebagai manusia yang diciptakan Allah. Responden meyakini bahwa Allah yang penuh kasih adalah Allah yang
memberikan pertolongan kepada mereka yang mengalami ketidakadilan.
Pernikahan merupakan wadah bagi dua pribadi yang membangun hidup tidak hanya berdasar penyatuan bersifat sekunder terhadap individualitas dua orang, melainkan menanamkan
kontinuitas sikap yang loyal, penuh kasih secara timbal balik sebagai unsur utama dalam perkembangan dua individu yang menikah. Jalinan relasi merupakan hal yang konstitutif di setiap realita dan bukan hanya sekedar penyedap mata. Oleh sebab itu dibutuhkan perjuangan
ekstra untuk mendapatkan jalinan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Perjuangan belum berakhir untuk memutus rantai kekerasan dan diskriminatif yang dialami oleh kaum
perempuan. Perjuangan melawan dominasi pejuratif yang berperan aktif dengan munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menjadi beban para korban kekerasan, namun menjadi beban kita bersama. Selaku gereja, orang Kristen, dan masyarakat kiranya dapat
bersinergi untuk menghadirkan kehidupan yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan secara holistik di setiap aspek kehidupan manusia.
5.2 Saran-Saran
Saran-saran yang akan penulis uraikan berkaitan dengan tindakan-tindakan konkrit yang
wajib dilakukan oleh GMIST dan gereja-gereja dalam mengikis tindak kekerasan dan
ϭϱϭ
Pertama, membangun kerjasama atau mengembangkan jejaring dengan komunitas yang
berkompeten dan peduli terhadap kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat memberikan
seminar atau pun pelatihan tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam jemaat.
Kedua, mengangkat tema-tema kesetaraan dan keadilan gender yang digunakan dalam
khotbah, penggembalaan pernikahan, pemahaman Alkitab dalam peribadatan minggu, rumah
tangga, ataupun pelayanan kategorial laki-laki, perempuan, pemuda, remaja dan sekolah minggu.
Khusus untuk remaja dan sekolah minggu merupakan tahap awal untuk membentuk dan
membangun pemahaman mereka tentang relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, penanganan yang sigap terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga melalui
pembentukan tim advokasi gereja, menyediakan hari serta ruang khusus untuk pendampingan
pastoral. Pendampingan pastoral dilakukan untuk memberikan pendampingan selama konflik
terjadi dalam rumah tangga dan pendampingan pasca perceraian.
Keempat, Penafsiran yang dilakukan oleh para pendeta, majelis ataupun teolog Kristen
menggunakan penafsiran yang terlebih dahulu berpusat pada konteks penafsir. Hal ini diperlukan
sehingga tidak terjebak dengan penafsiran yang menghasilkan tindakan melegalkan kekerasan
dan diskriminasi dalam konteks kekinian. Teks Kitab Suci yang mengandung firman Tuhan harus
mendatangkan keadilan, kemerdekaan bagi setiap orang yang membaca, mendengar dan
melakukan disetiap konteks kehidupan. Dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk menafsir dengan
menggunakan pendekatan hermeneutik poskolonial yang juga dapat bersinergi dengan