TUGAS MATA KULIAH EKONOMI SYARIAH
ASURANSI SYARIAH SEBAGAI SOLUSI PRO KONTRA
ASURANSI MODERN
Disusun oleh:
RAHMAT FIRDAUS
C14060213
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
MAKALAH MATA KULIAH EKONOMI SYARIAH ASURANSI SYARIAH SEBAGAI SOLUSI PRO KONTRA
ASURANSI MODERN
PENDAHULUAN
Definisi asuransi syariah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha
untuk saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang melalui
investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru' yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko / bahaya tertentu melalui akad yang
sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para partisipan / anggota /
peserta mendonasikan / menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang
akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh
sebagian partisipan / anggota / peserta. Peranan perusahaan disini hanya
sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari
dana-dana / kontribusi yang diterima / dilimpahkan kepada perusahaan.
Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta'awun yang artinya
tolong-menolong atau saling membantu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
Asuransi ta'awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran
terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan
bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat Al Maidah ayat 2, yang artinya : "Dan saling tolong-menolonglah dalam
kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan".
Mangapa harus Asuransi Syariah?
Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (non
syariah) bukan merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari
kalangan ahli fiqh, karena tidak termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam,
dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang membahas hukumnya.
Perbedaan pendapat tentang asuransi tersebut disebabkan oleh
perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya antara lain:
1. Pada transaksi asuransi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan
ghoror (ketidakpastian), dimana tidak diketahui siapa yang akan
mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat berakhirnya periode
2. Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas
dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang memberi polis asuransi
membayar sejumlah kecil dana / premi dengan harapan mendapatkan
uang yang lebih banyak di masa yang akan datang, namun bisa saja dia
tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya transaksi ini adalah
tukar-menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang
dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba
nasi'ah.
3. Transaksi ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan
dan perselisihan ketika terjadinya musibah. Dimana masing-masing pihak
berusaha melimpahkan kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut
bisa berujung ke pengadilan.
4. Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salah satu pihak membayar
sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara
untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak
mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak
akan mendapatkan apapun.
Melihat keempat hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi
yang selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam
fiqh Islam. Asuransi syariah dengan prinsip ta'awunnya, dapat diterima oleh
masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini.
Asuransi syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan
dengan aqad yang sesuai syariah, dimana dana-dana dan premi asuransi yang
terkumpul (disebut juga dengan dana tabarru') akan dikelola secara profesional
oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi syar'i dengan berlandaskan
prinsip syariah.
Dan pada akhirnya semua dana yang dikelola tersebut (dana tabarru')
nantinya akan dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya
musibah / bencana / klaim yang terjadi diantara peserta asuransi. Melalui
asuransi syariah, kita mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap
mempertahankan prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Asuransi Konvensional
Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1 : "Asuransi atau
Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran
yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan”.
Selain pengertian tersebut banyak definisi mengenai asuransi, seperti:
a. Konsep asuransi konvensional secara sederhana
Suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bias
tertimpa kerugian guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan
sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka
beban kerugian akan disebarkan ke seluruh kelompok.
b. Pengertian asuransi konvensional dalam ekonomi
Suatu aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat
yang merugikan di masa datang karena berbagai kemungkinan sejauh
menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi
merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang
mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta
asuransi. Beberapa istilah asuransi yang digunakan disini antara lain:
• Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda yang diasuransikan.
• Penanggung, dalam hal ini PT Asuransi Central Asia, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko
Prinsip-prinsip Asuransi Konvensional
Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan
perasuransian dimanapun berada, antar lain:
a. Insurable Interest (Kepentingan Yang Dipertanggungkan)
Anda dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan
apabila Anda menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang
menimbulkan kerugian atau kerusakan atas obyek tersebut. Kepentingan
keuangan ini memungkinkan Anda mengasuransikan harta benda atau
kepentingan anda. Apabila terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan
terbukti bahwa Anda tidak memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut,
maka Anda tidak berhak menerima ganti rugi.
b. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)
Yang dimaksudkan adalah bahwa Anda berkewajiban memberitahukan
sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan
dengan obyek yang diasuransikan. Prinsip inipun menjelaskan risiko-risiko yang
dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi
pertanggungan secara jelas serta teliti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta
penting tersebut berlaku:
• Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai
kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat kami menyetujui kontrak
tersebut.
• Pada saat perpanjangan kontrak asuransi.
• Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal
yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.
c. Indemnity(Indemnitas)
Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan
kerugian maka kami akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi
keuangan Anda setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum
terjadi kerugian. Dengan demikian Anda tidak berhak memperoleh ganti rugi
lebih besar daripada kerugian yang Anda derita. Contoh: Harga pasar
Bila terjadi musibah sehingga kendaraan tersebut:
1. Hilang, dan harga pasar kendaraan saat itu:
• 100 juta rupiah, maka anda menerima ganti rugi sebesar 100 juta
rupiah,
• 125 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar nilai yang
diasuransikan, yaitu 100 juta rupiah,
• 75 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar harga pasar,
yaitu 75 juta rupiah.
2. Rusak akibat kecelakaan, maka biaya perbaikan, penggantian suku
cadang, ongkos kerja bengkel seluruhnya akan menjadi tanggung jawab
kami sehingga maksimum sebesar 100 juta rupiah.
Beberapa cara pembayaran ganti rugi yang berlaku:
• Pembayaran dengan uang tunai, atau
• Perbaikan, atau
• Penggantian, atau
• Pemulihan kembali.
d. Subrogation (Subrogasi)
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, yang berbunyi: "Apabila seorang penanggung telah membayar ganti
rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan
kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah
menimbulkan kerugian pada tertanggung". Dengan kata lain, apabila Anda
mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga maka kami,
setelah memberikan ganti rugi kepada Anda, akan menggantikan kedudukan
Anda dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.
e. Contribution (Kontribusi)
Anda dapat saja mengasuransikan harta benda yanga sama pada
beberapa perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas obyek yang
diasuransikan maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi
berarti bahwa apabila kami telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak
Anda, maka kami berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat
suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda
sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya. Contoh: Anda
mengasuransikan satu unit bangunan rumah tinggal seharga 300 juta rupiah
kepada tiga perusahaan asuransi:
PT Asuransi CDA = Rp 200.000.000,00 PT Asuransi ABA = Rp 250.000.000,00 PT Asuransi MOU = Rp 150.000.000,00
Total = Rp 600.000.000,00
Bila bangunan tersebut terbakar habis (mengalami kerugian total) maka
maksimum ganti rugi yang Anda peroleh dari:
PT Asuransi CDA = (200.000.000 / 600.000.000) x 300.000.000 = Rp 100.000.000,00 PT Asuransi ABA = (250.000.000 / 600.000.000) x 300.000.000 = Rp 125.000.000,00 PT Asuransi MOU = (150.000.000 / 600.000.000) x 300.000.000 = Rp 75.000.000,00
Total = Rp 300.000.000,00
Berarti jumlah ganti rugi yang Anda terima dari ke-3 perusahaan asuransi
tersebut bukanlah Rp. 600.000.000,00 melainkan Rp. 300.000.000,00 sesuai
dengan harga rumah sebenarnya.
f. Proximate Cause (Kausa Proksimal)
Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau
kecelakaan, maka pertama-tama kami akan mencari sebab-sebab yang aktif dan
efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga
pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut. Suatu prinsip yang
digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien adalah:
"Unbroken Chain of Events" yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang
tidak terputus. Sebagai contoh, kasus klaim kecelakaan diri berikut ini:
• Seseorang mengendarai kendaraan diajalan tol dengan kecepatan tinggi
sehingga mobil tidak terkendali dan terbalik.
• Korban luka parah dan dibawa kerumah sakit.
• Tidak lama kemudian korban meninggal dunia.
Dari peristiwa tersebut diketahui bahwa kausa proksimalnya adalah korban
mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi sehingga mobil tidak terkendali
dan terbalik. Melalui kausa proksimal akan dapat diketahui apakah penyebab
terjadinya musibah atau kecelakaan tersebut dijamin dalam kondisi polis asuransi
Asuransi Menurut Islam
Dasar Hukum:
• Surat Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia
membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di
masa depan.
• Surat Al-Baqarah :188 Firman Allah “...dan janganlah kalian memakan
harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah
kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian
hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal
kamu tahu (al:Baqarah:188)
• Al Hasyr:18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada
Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat
untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Alloh.
Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
Prinsip-prinsip Asuransi Syariah
1. Dibangun atas dasar kerjasama (ta’awun)
2. Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau
mudhorobah
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian) oleh karena itu
haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peritiwa, maka
diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah
ditentukan harus disertai dengan niat membantu demi menegakkan
prinsip ukhuwah.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya
dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena
suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas
kerugian itu menurut ijin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut
Fatwa MUI tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 21/DSN-MUI/X/2001
Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Menimbang :
a. Bahwa dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi
kemungkinan terjadinya resiko dalam kehidupan ekonomi yang akan
dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.
b. Bahwa salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut dapat
dilakukan melalui asuransi.
c. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, asuransi merupakan
persoalan baru yang masih banyak dipertanyakan; apakah status hukum
maupun cara aktifitasnya sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
d. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab
pertanyaan masyarakat, Dewan Syariah Nasional memandang perlu
menetapkan fatwa tentang asuransi yang berdasarkan prinsip Syariah
untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukannya.
Mengingat :
1. Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat);
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr [59] : 18).
2. Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang harus
dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:
• Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 1)
• Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah [5] : 90 )
• Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. 2: 275).
• Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(Qs. 2 : Al-baqarah : 278).
• Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah [2] :
279)
• Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS.
Al-Baqarah [2] : 280)
• Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4] :
29).
3. Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam
perbuatan positif, antara lain : dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 2).
4. Hadis-hadis Nabi S.A.W tentang beberapa prinsip bermuamalah, antara
lain:
• “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia,
Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong
saudaranya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
• “Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan
mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit
maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin
• “Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR. Muslim dari Abu Musa
al-Asy’ari).
• “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
(HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
• “Setiap amalan itu hanyalah tergantung niatnya. Dan seseorang akan
mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari
& Muslim dari Umar bin Khattab).
• “Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR.
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
• “Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam
pembayaran hutangnya” (HR. Bukhari).
• “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula
membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah
bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas dan Malik dari Yahya).
5. Kaidah Fiqh yang menegaskan:
• “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
• “Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”
• “Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”
Memperhatikan :
1. Hasil Lokakarya Asuransi Syariah DSN-MUI tanggal 13-14 Rabiuts Tsani
1422 H / 4 - 5 Juli 2001 M.
2. Pendapat dan saran peserta rapat pleno Dewan Syariah Nasional pada
Senin, tanggal 15 Muharram 1422 H / 09 April 2001.
3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada
25 Jumadil Awwal 1422 H / 15 Agustus 2001 dan 29 Rajab 1422 H / 17
Oktober 2001.
Dewan Syari’ah Nasional
Menetapkan:
Pertama : Ketentuan Umum
1. Asuransi syariah (ta’min, takful atau tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba,
zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah
dana kepada perusahaan asuransi seuai dengan kesepakatan dalam
akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajb diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua : Akad dalam asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad
tijarah dan/atau akad tabarru’.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah.
Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:
a. Hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. Cara dan waktu pembayaran premi;
c. Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang
disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga : Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru’
1. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal
(pemegang polis).
2. Dalam akad tabarrru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
Keempat : Ketentuan dalam akad tijarah & tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak
yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga
menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis asuransi dan akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan
asuransi jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah
dan hibah.
Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad
tabarru.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan
tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak
memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan
hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal
perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang
dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan
merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru merupakan hak peserta dan merupakan
kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari
dana yang terkumpul.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan
reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga
yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan
dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan
dana akad tabarru’ (hibah).
Kesebelas : Ketentuan tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh
DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyarawah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Oktober 2001
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Sekretaris,
Fatwa MUI tentang Tabbaru' Asuransi Syariah
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 53/DSN-MUI/III/2006
Tentang Tabarru' pada Asuransi Syari'ah
Menimbang :
a. bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi
dengan fatwa yang lebih rinci;
b. bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad
Tabarru’ untuk asuransi;
c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu
menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT, antara lain:
• Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan
kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS.
al-Nisa’ [4]: 2).
• “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahtera-an) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS. al-Nisa’ [4]: 9).
• “Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa
depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).
2. Firman Allah SWT tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik yang harus
dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:
• “Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1).
• “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya dan apabila kamiu menetapkan hukum di
antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).
• “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil)harta
orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi
atas sukarela di antara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. al-Nisa’
[4]: 29).
3. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam
perbuatan positif, antara lain :
• “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesung-guhnya Allah
amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2).
4. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang beberapa prinsip
bermu’amalah, antara lain:
• “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia,
Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong
saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
• “Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan
mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit
maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin
Basyir).
• “Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu
bagian menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa
al-Asy’ari).
• “Barang siapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia
perniagakan, dan janganlah membiarkannya (tanpa diperniagakan)
Daraquthni, dan Baihaqi dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya Abdullah bin ‘Amr bin Ash).
• “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
(HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
• “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula
membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah
bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya).
5. Kaidah fiqh:
• “Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
• “Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”
• “Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”
Memperhatikan:
1. Pendapat para ulama, antara lain:
• Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah
tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang
digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan
ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya
(kepada peserta) sebagai tabarru’ atau hibah murni tanpa imbalan.
(Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq:
Dar al-Fikr, 2002], h. 287).
• Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’
secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang
kewajiban untuk memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik. (Mushthafa
Zarqa’, Nizham Ta’min, h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf Din, ‘Uqud
Ta’min wa ‘Uqud Dhaman Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib,
al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah, h. 53).
• Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai
akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’; setiap
peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena
musibah berupa ganti rugi (bantuan, klaim) yang menjadi haknya; dan
pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika
2. Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI dengan AASI (Asosiasi
Asuransi Syariah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadi al-Ula 1426 H / 14-15
Juni 2005 M.
3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada
23 Shafar 1427/23 Maret 2006.
Dewan Syari’ah Nasional
Menetapkan:
FATWA TENTANG AKAD TABARRU’ PADA ASURANSI SYARI’AH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
b. peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan
asuransi dalam reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk
asuransi.
2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan
antar peserta pemegang polis.
Ketiga : Ketentuan Akad
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk
hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar peserta,
bukan untuk tujuan komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu;
b. hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’
selaku peserta dalam arti badan/kelompok;
c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’
1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa
2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana
tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, ﻦّﻣﺆﻣ/عﱠﺮﺒﺘﻣ لﻩ) dan secara kolektif
selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’- ﻦّﻣﺆﻣ/عﱢﺮﺒﺘﻣ).
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar
akad Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Kelima : Pengelolaan
1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan
dibukukan dalam akun tabarru’.
3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil
berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah,
atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Keenam : Surplus Underwriting
1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh
dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian
lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen
risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan
sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta
sepanjang disepakati oleh para peserta.
2. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui
terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ketujuh : Defisit Underwriting
1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka
perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam
bentuk Qardh (pinjaman).
2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari
dana tabarru’.
Kedelapan : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
DR. KH. M.A Sahal Mahfudh
Sekretaris,
PEMBAHASAN
Islam berpandangan, membantu dan menyantuni mereka yang mengalami
musibah merupakan kewajiban. Berbagai ayat Al-Quran mengisyaratkan hal itu,
antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 177 dan surat Al-Maa’un ayat 1-7.
Semua ini merupakan wujud kepedulian terhadap sesama, sekaligus indikasi
ketakwaan kepada Allah SWT. Bukankah Rasulullah SAW telah menyatakan
bahwa orang-orang beriman antara satu dengan yang lain adalah bagaikan
bangunan yang saling menguatkan, sehingga apabila satu bagian menderita
sakit, maka bagian tubuh yang lain akan turut merasakannya.
Selain itu, Allah SWT juga meminta perhatian kita yang sungguh-sungguh
untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah (QS. An-Nisa: 9), baik akidah,
intelektualitas, ekonomi maupun fisiknya.
Persoalannya, bagaimana tuntunan luhur ini dilaksanakan dan
dilembagakan, sehingga dapat mencakup khalayak yang lebih banyak, di
samping bantuan atau santunan yang diberikan cukup berarti untuk
memberdayakan atau memulihkan kondisi keuangan mereka yang ditimpa
musibah.
Ada hadits yang bermakna: "Kebenaran yang tidak bersistem akan
dikalahkan oleh kebatilan yang sistematis.
Asuransi
Solusi preventif yang lazim ditawarkan dalam menghadapi persoalan serupa
adalah asuransi, yang terdiri dari:
• Asuransi Umum, yaitu jenis perlindungan yang dikaitkan denga kerugian
atau kerusakan/kehilangan harta benda yang dimiliki seseorang
• Asuransi Jiwa, yaitu jenis perlindungan yang dikaitkan dengan hidup
matinya seseorang. Tiga tipe dasar produk asuransi jiwa, yaitu: term
insuransce (asuransi berjangka, manfaat dibayarkan jika mengalami
musibah meninggal dalam masa perjanjian), whole life
insuranceendowment insurance (asuransi dwiguna, manfaat asuransi
dibayarkan jika peserta meninggal dalam masa perjanjian atau hidup
sampai akhir perjanjian). (asuransi seumur hidup, manfaat asuransi
• Jenis dan tipe asuransi manapun, pada dasarnya bertolak dari asas
kerjasama (cooperation) dan saling membantu (mutuality), yang
sesungguhnya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Asas kerjasama dan
saling membantu dalam asuransi secara operasional diterjemahkan
sebagai perjanjian di antara penanggung (perusahaan asuransi) dan
tertanggung (peserta asuransi) dengan penanggung menerima premi dari
tertanggung untuk mendapatkan pertanggungan manakal tertanggung
mengalami kerugian, kerusakan atau kehilangan disebabkan oleh
peristiwa yan tidak pasti dan tanpa kesengajaan; atau penanggung
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang.
Asuransi menurut pola operasional demikian, berdasarkan akadnya dapat
dikategorikan sebagai pertukaran (raqad mu’awadhah), layaknya jual beli.
Penanggung (perusahaan asuransi) memberikan jaminan atau pertanggungan
kepada tertanggung dan untuk itu tertanggung (peserta asuransi) membayar
premi. Besar pertangungan dan premi serta masa perjanjian disepakati oleh
kedua belah pihak.
Pertukaran dengan cara seperti ini dalam pandangan Islam mengandung
cacat berupa ketidakpastian atau gharar, karena disandarkan pada peristiwa
yang tidak pasti. Produk dwiguna misalnya, peserta berkewajiban membayar
(mengangsur) premi jika peserta hidup selama masa perjanjian untuk
mendapatkan uang pertanggungan yang jumlahnya sudah ditentukan.
Ketidakpastian dalam contoh ini adalah besarnya premi yang dibayarkan, karena
pembayaran premi ini disandarkan pada hidup atau matinya peserta dalam masa
perjanjian. Sebaliknya untuk produk asuransi berjangka, ketidakpastian terletak
di dalam besarnya pertanggungan yang akan diterima oleh tertanggung.
Selanjutnya, transaksi yang mengandung ketidakpastian semacam ini
dapat merugikan salah satu pihak, dimana pada umumnya pihak pesertalah yang
paling dirugikan. Pihak peserta atau ahli warisnya dapat menerima uang
pertanggungan lebih besar atau lebih kecil dari premi yang dibayarkan atau tidak
menerima uang pertanggungan sama sekali. Dengan kata lain berasuransi
identik dengan untung-untungan, yang dalam terminologi fikih Islam disebut
maysir. Dalam kasus lain, jika peserta berhenti sebelum masa perjanjian
berakhir, terutama pada awal periode perjanjian, pada umumnya peserta tidak
mendapatkan pengembalian dalam jumlah yag sangat kecil dibandingkan
dengan premi yang telah dibayarnya. Sebagian besar dana premi yang diterima
perusahaan kemudian diinvestasikan. Dalam kaitan ini, akad pertukaran tidak
mensyaratkan kejelasan dalam alokasi dana premi, karena dana premi yang
telah dibayarkan oleh pesera, berstatus milik perusahaan.
Dengan demikian perusahaan dapat menginvestasikan dana premi itu
kemana saja dan dengan cara apapun, termasuk di bidang-bidang usaha yang
mengandung unsur maksiat atau dilarang oleh syariat (riba, minuman keras,
pornografi, dll). Jika dana premi dan hasil investasinya menjadi sumber uang
pertanggungan, maka peserta yang menerima uang pertanggungan itu tidak bisa
menghindarkan diri dari mengkomsumsi dana ribawi ataupun dana yang
bersumber dari usaha maksiat lainnya.
(Sumber: "Takaful Asuransi Islam" oleh Tim Takaful)
Tujuan Asuransi
• Memberikan jaminan perlindungan dari risiko-risiko kerugian yang diderita
satu pihak.
• Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan
pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang
memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
• Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang
jumlahnya tertentu dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian
yang timbul yang jumlahnya tidak tentu dan tidak pasti.
• Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan
jaminan perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
• Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi
akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini khusus berlaku
untuk asuransi jiwa.
• Menutup Loss of Earning Power seseorang atau badan usaha pada saat
ia tidak dapat berfungsi (bekerja).
Asuransi Syariah
Ajaran Islam yang mulia memerintahkan kita untuk menyantuni orang yang
kehilangan harta benda, kematian kerabat, maupun musibah lainnya. Tindakan
tolong-menolong (ta’awun) antar warga masyarakat, baik muslim maupun non-muslim.
Dengan cara demikian rasa persaudaraan (ukhuwah) akan semakin kokoh.
Mereka yang ditimpa musibah tidak dirundung kesedihan yang berlarut-larut dan
tidak terjerembab dalam keputusasaan, bahkan terhindar dari kemungkinan
terpuruk dalam kemiskinan atau kehilangan masa depan. Akan tetapi cara-cara
penyantunan itupun harus sejalan dengan syariat (QS 42: 13). Tidak boleh
mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maysir (untung-untungan), riba, dan
hal-hal lain yang bersifat maksiat. Denga kata lain, ta’awun harus diletakkan di
atas nilai-nilai ketakwaan untuk kebajikan, dan bukan pelanggaran hukum
syariah yang dapat menimbulkan pertentangan atau permusuhan. Hal ini
sebagaimana perintah Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2: ”Saling tolong
menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa, dan jangan kalian saling
tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”
Asuransi syariah merupakan sistem alternatif, tepatnya pengganti, atas
pola asuransi konvensional yang menerapkan sistem atau akad pertukaran yang
tidak sejalan dengan syariat Islam. Pada sistem asuransi syariah, setiap peserta
bermaksud tolong-menolong satu sama lain dengan menyisihkan sebagian
dananya sebagai iuran kebajikan (tabarru’). Dana inilah yang digunakan untuk
menyantuni siapapun diantara peserta asuransi yang mengalami musibah. Jadi
bukan dalam bentuk akad pertukaran dianatara dua pihak, melainkan akad untuk
saling tolong-menolong (takaafuli) di antara semua peserta.
Seluruh dana premi yang terhimpun dikelola oleh perusahaan untuk
investasi, re-asuransi, penyaluran manfaat asuransi, dan distribusi surplus
operasi. Untuk semua jasa pengelolaan ini, perusahaan meminta kontribusi
peserta yang jumlahnya pasti dan disetujui oleh peserta, serta bagian dari
surplus operasi sesuai kesepakatan perusahaan dengan peserta yang
prosentase nisbahnya ditetapkan sejak awal.
(Sumber: "Takaful Asuransi Islam" oleh Tim Takaful)
Pengelolaan Dana Asuransi Syariah
Di dalam operasional asuransi syariah yang sebenarnya terjadi adalah
saling bertanggung jawab, bantu-membantu dan melindungi di antara para
peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para
memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi akta
perjanjian tersebut.
Keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian
keuntungan dana dari para peserta, yang dikembangkan dengan prinsip
mudharabah (sistem bagi hasil). Para peserta asuransi syariah berkedudukan
sebagai pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi sebagai yang
menjalankan modal. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana itu
dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah
disepakati.
Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi) terbagi dua sistem yaitu:
1. Sistem yang mengandung unsur tabungan
Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang secara teratur kepada
perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan
peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat
dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening
koran, giro atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran,
baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.
Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan
asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu:
a. Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta,
yang dibayarkan bila:
• Perjanjian berakhir
• Peserta mengundurkan diri
• Peserta meninggal dunia
b. Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta
sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling
membantu, yang dibayarkan bila:
• Peserta meninggal dunia
• Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah
Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi denagn beban
asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip
Al-Mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam
suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan
2. Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
Setiap premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan dalam Rekening
Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran
kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, dan
dibayarkan bila:
• Peserta meninggal dunia
• Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah
Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi dengan beban asuransi
(klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi antara peserta dan perusahaan
menurut prinsip Al-Mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan
perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.
(Sumber: "Takaful Asuransi Islam" oleh Tim Takaful)
Pro Kontra Asuransi Modern
Karena dirasa sudah melenceng jauh dari prinsip awal tentang asuransi
mutual, banyak pihak dari kalangan Muslim yang merasa keberatan dengn
praktek asuransi modern. Kontrak asuransi ditolak oleh ulama atau kalangan
terpelajar Islam dengan berbagai alasan antara lain:
1. Asuransi modern merupakan kontrak perjudian
2. Asuransi hanyalah pertaruhan
3. Asuransi bersifat tidak pasti
4. Asuransi jiwa adalah alat dengan mana suatu usaha dilakukan untuk
mengganti kehendak Tuhan
5. Dalam asuransi jiwa jumlah premi tidak tentu, karena peserta asuransi
tidak tahu berapa kali cicilan yang akan dibayarkan sampai ia meninggal
6. Perusahaan asuransi menginvestasikan uang yang dibayarkan oleh
peserta asuransi dalam surat berharga berbunga. Dalam hal asuransi jiwa
si peserta asuransi atas kematiannya berhak mendapatkan jauh lebih
banyak dari jumlah yang telah dibayarkannya yang merupakan riba
7. Seluruh bisnis asuransi didasarkan pada riba yang hukumnya haram.
Jadi karena berbagai alasan itulah para ulama dengan tegas menyatakan
perang terhadap prkatek asuransi modern. Para tokoh yang termasuk kontra
asuransi modern antara lain : Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii, Yusuf Qardhawi
Ditengah derasnya hujatan terhadap praktek asuransi modern ternyata ada
beberapa ulama yang justru mendukung pelaksanaan asuransi modern. Para
ulama yang pro tehadap asuransi modern tersebut berpendapat:
1. Asuransi bukan perjudian juga bukan pertaruhan karena didasarkan pada
mutualitas (kebersamaan) dan kerja sama. Perjudian adalah suatu
permainan keberuntungan dan karenanya merusak masyarakat. Asuransi
adalah suatu anugerah bagi umat manusia, karena ia melindungi mereka
dari bahaya yang mengancam jiwa dan harta mereka dan memberikan
keuntungan bagi perdagangan dan industri.
2. Ketidakpastian dalam transaksi dilarang dalam Islam karena
menyebabkan perselisihan. Jelas dari ucapan Nabi saw bahwa kontrak
penjualan dilarang bila penjual tidak sanggup menyerahkan barang yang
dijanjikan kepada pembeli karena sifatnya yang tidak tentu. Kontrak
asuransi adalah salah satu ganti rugi yang sesuai dengan hukum Islam,
karena telah diketahui jumlah hartanya.
3. Asuransi jiwa bukan alat untuk menolak kekuasaan Tuhan atau
menggantikan kehendak-Nya, karena asuransi ini tidak menjamin suatu
peristiwa yang tidak terjadi tapi sebaliknya mengganti kerugian kepada
peserta asuransi terhadap akibat-akibat dari suatu peristiwa atau resiko
yang sudah ditentukan. Gerakan kooperatiflah yang mengurangi kerugian
akibat peristiwa tertentu dan itu didukung oleh ayat Al Quran :”Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebajikan dan taqwa dan
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
4. Keberatan mengenai tidak tentunya asuransi jiwa dalam arti bahwa
peserta suransi tidak mengetahui berapa banyak jumlah cicilan yang
dibayarnya sampai kematiannya adalah tidak beralasan.
5. Keberatan mengenai riba dalam asuransi tak berguna sebab asuransi
membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang
telah dibayarnya.
Itulah secara ringkas pendapat dari pihak ulama yang pro terhadap praktek
asuransi modern. Mereka juga menambahkan bahwasanya secara tidak
langsung kontrak bantuan (‘aqd al-muwalat) dalam Islam serupa dengan
asuransi kewajiban. Para tokoh yang setuju dengan asuransi modern antara lain:
Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Abd
Begitulah seiring dengan perjalanan waktu perdebatan antara kaum pro
dan kontra asuransi terus berlangsung. Ditengah perdebatan sengit tersebut
kemudian muncul kaum yang moderat dalam arti mereka tidak langsung menolak
asuransi modern namun juga tidak langsung membenarkan. Kaum ini
berpendapat bahwa:
1. Asuransi kendaraan untuk perbaikannya tidak dilarang namun asuransi
jiwa adalah semacam perjudian karena tidak ada pembenaran bagi
seseorang yang memberikan hanya sebagian dari suatu jumlah untuk
berhak mendapat seluruhnya jika ia meninggal (riba).
2. Sistem asuransi adalah haram jika dilandasarkan pada riba. Jelas ada
unsur ketidak pastiandan kekacau-balauan dalam asuransi yang
seringkali mengakibatkan kerugian bagi individu dan keuntungan yang
banyak bagi perusahaan.
3. Asuransi dalam segalan jenisnya adalah contoh kerja sama dan berguna
bagi masyarakat.
Berdasar pandangan dari golongan ketiga inilah kemudian muncul
pendapat bahwa asuransi sosial diperbolehkan akan tetapi asuransi komersial
adalah haram hukumnya. Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh: Muhammda
Abdu Zahrah.
Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional
1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong). Dimana
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli(jual
beli antara nasabah dengan perusahaan).
Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip
karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian
pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi.
Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut
kontrak jual beli (tabaduli).
Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli.
Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena
bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau
apa yang disebut gharar —ketidakjelasaan pada kontrak sehingga
mengakibatkan akad pertukaran harta benda dalam asuransi
konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum. Sehingga dalam
asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak jual beli
melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa
syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang
dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah
alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik
yang diharamkan pada asuransi konvensional.
Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan
niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain sesama
peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah.
Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus,
dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening
dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk
kepentingan tolong menolong.
2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil
(mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana
dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Kontrak Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan hibah yang
dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi
jiwa bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan
atau investasi harus memenuhi syariah.
Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan
asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta.
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di
kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan
maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan
kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60
persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40
persen dari kuntungan.
Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur
dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak
mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional
menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga.
Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba.
Sedangkan asuransi syariah daolam berinvestasi harus menyimpan
dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem
al-mudharabah.
3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi
4. Konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang
memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana
tersebut.
5. Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim nasabah
dana diambilkan dari rekening tabarru’ (dana sosial) seluruh peserta yang
sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong. Sedangkan dalam
asuransi konvensional dan pembayaran klaim diambil dari rekening milik
perusahaan.
Tidak Ada Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak
dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri
sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa
konvensional non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau
asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka
premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan
Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana
hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal
ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah
dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah
diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan
tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari
premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai
dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat
mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan
jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun
tersebut.
6. Keuntungan investasi di bagi dua antara nasabah selaku pemilik dana
dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil.
Sedangkan dalam asuransi konvensional keuntungan sepenuhnya
menjadi milik perusahaan. Jika tidak ada klaim nasabah tak memperoleh
apa-apa.
7. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah
yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi
manajemen produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan
dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional maka hal itu
tidak mendapat perhatian.
(Sumber: Sinar Harapan)
Solidaritas, Transparansi, dan Konsistensi
Fenomena asuransi syariah adalah fenomena yang unik (al-ghuraba) di
tengah arus ekonomi yang kapitalistik dan individualistik. Secara finansial, sistem
asuransi syariah memungkinkan perolehan (manfaat) yang lebih baik.
Bersamaan dengan itu, semangat solidaritas pun dipupuk melalui iuran kebajikan
(tabarru’) peserta asuransi.
Sistem tabarru’ dan bagi hasil (mudharabah) yang ditetapkan dalam pola
operasional asuransi syariah mengharuskan adanya transparansi di dalam status
dana dan pengelolaannya. Demikian pula dalam hal kontribusi biaya
pengelolaan, yang disisihkan sedikit dari premi tahun pertama saja, ditetapkan
sejak awal peserta mengetahui dengan jelas komponen premi yang
disetorkannya, yaitu tabarru’ (iuran kabajikan), tabungan (hak mutlak peserta),
dan kontribusi biaya pengelolaan (30% premi tahun pertama). Selain itu, peserta
dapat melihat perkembangan dari waktu ke waktu perkembangan nilai tunai
polisnya, yakni akumulasi tabungan dan bagi hasilnya. Oleh karenanya ketika
peserta bermaksud mengundurkan diri dalam masa perjanjian karena sesuatu
hal, nilai tunai yang dapat diterimanya dapat dihitung nilainya dan jelas
sumbernya (berasal dari tabungan dan bagi hasilnya). Demikian pula halnya
klaim meninggal yang diterima oleh ahli waris peserta, terdiri dari manfaat
asuransi atau santunan kebajikan (bersumber dari tabarru- tabarru’ peserta),
tabungan yang sudah disetorkan dan bagi hasil tabungannya itu.
Dalam hal investasi, selain pertimbangan profitabilitas, kesesuaian usaha
dengan ketentuan syariah merupakan faktor penentu keputusan investasi. Oleh
karena itu peran Dewan Pengawas Syariah menjadi sangat penting di dalam
dinamika pengembangan usaha asuransi syariah, hal yang tidak ditemukan di
dalam asuransi konvensional.
Tidak keliru jika dikatakan bahwa operasionalisasi asuransi syariah seperti
diuraikan di atas dan keterlibatan Dewan Pengawas Syariah di dalam
keseluruhan mata rantai aktivitas dan produk asuransi syariah menggambarkan
konsistensi asuransi syariah sebagai sebuah sistem ta’awun (kerjasama
tolong-menolong) yang berpijak pada nilai-nilai syariah Islam.
(Sumber: "Takaful Asuransi Islam" oleh Tim Takaful)
Akhirnya, asuransi syariah saat ini mulai menunjukkan keberadaannya
sebagai alternatif pilihan bahkan solusi proteksi bagi pemeluk agama Islam yang
menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk asuransi syariah
juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep
syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang
bersifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun (Sumber: Sinar
PENUTUP
Kesimpulan
Asuransi syariah, di dalam operasionalnya memegang prinsip saling
bertanggung jawab, bantu-membantu dan melindungi di antara para peserta
sendiri. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para peserta
untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan
santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi akta perjanjian tersebut.
Prinsip-prinsip ini menjadikan asuransi syariah berbeda dengan asuransi
konvensional yang sudah berkembang sebelumnya. Sehingga, fenomena
asuransi syariah menjadi fenomena yang unik (al-ghuraba) di tengah arus
ekonomi yang kapitalistik dan individualistik. Secara finansial, sistem asuransi
syariah memungkinkan perolehan (manfaat) yang lebih baik. Bersamaan dengan
itu, semangat solidaritas pun dipupuk melalui iuran kebajikan (tabarru’) peserta
asuransi.
Prinsip-prinsip tersebut pula yang menjadikan asuransi syariah sebagai
solusi dari pro kontra asuransi modern yang berkembang saat ini. Karena
nilai-nilai yang dibawa oleh asuransi syariah, sebagai salah satu instrumen keuangan
syariah, adalah nilai-nilai Islam yang bersifat universal.
Saran
Sebagai salah satu solusi permasalahan keuangan umat, asuransi syariah
yang berkemabang sekarang patut mendapat dukungan. Peran aktif kita sebagai
mahasiswa ,muslim khususnya, tentu diperlukan dalam menyosialisasikan sistem
ini kepada masyarakat luas, selain itu sumbangan pikiran dan tenaga juga
dibutuhkan untuk mengembangkan sistem yang sudah ada menjadi lebih baik di
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah. www.sinarharapan.co.id [12 Januari 2010].
Darmawati. 2008. Info Syariah. darmawati@takaful.com [12 Januari 2010].
Haryanto, Joko Tri. Wacana Mengenai Asuransi Syariah. http://www.google.com/kajian_asuransisyariah.pdf [12 Januari 2010].
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru' pada Asuransi Syari'ah.
Muslehuddin, Muhammad. 1999. Menggugat Asuransi Modern.Lentera: Jakarta.
Nirmala, Yusma. et al. 2006. Mangapa harus Asuransi Syariah?. Majalah
ReInfokus. April 2006. darmawati@takaful.com [12 Januari 2010].
Rahman, Afzalur. 2003. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4. Dana Bhakti Waqaf:
Yogyakarta.
Tim Takaful. Takaful Asuransi Islam. darmawati@takaful.com [12 Januari 2010].