REGIONALISME DALAM POLITIK GLOBAL: DAMPAK BREXIT TERHADAP INGGRIS DAN REGIONALISME UNI EROPA
OLEH: WARITSA YOLANDA (1501115622)
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DAFTAR ISI
BAB I... 3
PENDAHULUAN...3
Latar Belakang Masalah...3
Rumusan Masalah...5
Tujuan Penulisan...5
Metode Penulisan...5
BAB II... 6
PEMBAHASAN...6
Regionalisme Secara Umum...6
Proses-Proses Regionalisme...7
Regionalisme di Uni Eropa...10
Fenomena Brexit...14
Dampak Brexit Terhadap Inggris dan Uni Eropa...17
Bidang Ekonomi...17
Politik...19
Dengan berhasilnya referendum keluarnya Inggris dari uni Eropa, dampak politik terjadi bagi Inggris adalah mundurnya David Cameron dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris. Bagi Uni Eropa sendiri, fenomena brexit menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai kerjasama regional dan juga sistem free market di UE. Penyebabnya karna brexit menghasil nasionalosme. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi UE terhadap rasa nasionalisme yang berkembang di negara UE lainnya. Seperti bagaimana Perancis, belanda, dan italia menjadikan brexit sebagai sebuah model untuk mempertanyakan mengenai kedaulatan yang sudah mereka berikan sebagaian ke Brussel. Jadi intinya, brexit itu dijadikan sebuah acuan untuk negara lainnnya di UE untuk melakukan referendum demi kepentingan politik maupun kedaulatan negaranya...19
Keamanan...19
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dalam buku “The Structure of Scientific Revolution” karangan Thomas Kuhn yang diterbitkan pada tahun 1970, dikatakan bahwa dunia mengalami pergeseran paradigma yang akan melahirkan trobosan-trobosan baru dipelbagai
bidang kehidupan (ekonomi-politik). Pergeseran paradigma akan terjadi jika timbul satu krisis (deadlock) maka akan melahirkan peran baru pula. Dan jika pergeseran-pergeseran paradigma ini kita hadapkan kepada tatanan hubungan internasional saat ini, maka pergeseran terjadi setelah usainya Perang Dingin. Globalisasi interdependensi terasa sangat kental diantara masyarakat internasional (dunia).1 Salah satu contoh yang berkembang hingga saat ini adalah meningkatnya peran regionalisme dalam dunia internasional melalui peran negara-negara yang
tergabung dalam organisasi regional. Organisasi regional yang dibahas pada makalah ini adalah Uni Eropa.
Uni Eropa (European Union) adalah sebuah organisasi antar pemerintahan dan supranasional yang terdiri dari beberapa negara Eropa. Dengan bergabungnya Kroasia pada tanggal 1 Juli 2013, negara anggota Uni Eropa sekarang berjumlah
28 negara.2 Berbeda dengan regionalisme lainnya di dunia, Uni Eropa dianggap sebagai sebuah regionalism yang lebih terintegrasi karena memiliki berbagai
1 Sitepu, Anthonius. 2003. Konsep Integrasi Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional. Medan: Library USU.
atribut yang dimiliki oleh negara-negara merdeka seperti bendera, lagu kebangsaan, tanggal pembentukan, mata uang sendiri, kebijakan luar negeri maupun kebijakan keamanan yang ditransaksikan dengan negara-negara lain.
Maka dari itu Uni Eropa berpotensi menjadi contoh bagi berbagai macam integrasi regional lainnya di dunia internasional.3 Hal ini dibuktikan juga dengan beberapa pencapaian yang telah diraih oleh Uni Eropa. Salah satunya adalah nobel
perdamaian yang didapatkan Uni Eropa pada tahun 2012. Thorbjoern Jagland, Presiden Komite Nobel mengatakan “Uni Eropa selama lebih dari enam
dasawarsa berperan besar dalam mewujudkan perdamaian, rekonsiliasi, demokrasi, dan hak asasi manusia”. Hadiah Nobel Perdamaian ini dianggap sebagai dorongan moral bagi Uni Eropa dalam mengatasi krisis utang. Panitia Nobel memuji Uni Eropa, organisasi yang sekarang beranggotakan 28 negara,
dalam membangun kembali kawasan setelah Perang Dunia Kedua.
Akan tetapi pencapaian – pencapaian tersebut belum bisa membuat Uni Eropa menjadi sebuah regionalisme yang sempurna. Dinamika di Uni Eropa mengalami pasang surut, berbagai permasalahan muncul, baik dari luar maupun dari dalam tubuh Uni Eropa itu sendiri. Penghargaan yang diraih Uni Eropa pada
tahun 2012, tidak berarti bisa membuktikan bahwa Uni Eropa berhasil secara ekonomi.4 Krisis utang yang diawali oleh negara Yunani pada tahun 2008 menyebar ke negara anggota Uni Eropa lainnya seperti Irlandia, dan Portugal.5
Puncaknya adalah dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), melalui referendum di Inggris pada 23 Juni 2016 yang disebut dengan Brexit (Britain
Exit).
Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, keberhasilan Uni Eropa yang sering dijadikan model bagi proses integrasi regionalisme bagi dunia internasional
dipertanyakan oleh banyak pihak. Fenomena Brexit ini memberikan banyak
3 Nuraeni, dkk. 2012. Regionalisme : Dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 138
4 “Uni Eropa Raih Nobel Perdamaian”, BBC, 12 Oktober 2012,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/10/121012 (diakses tanggal 19 Mei 2017 pukul 20.44 WIB).
dampak dalam berbagai bidang, baik itu bagi pihak Uni Eropa, maupun pihak Inggris sendiri.
Atas dasar uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis memutuskan
untuk mengambil judul “DAMPAK FENOMENA BREXIT TERHADAP
INGGRIS DAN REGIONALISME UNI EROPA”
Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, pertanyaan yang nantinya akan diangkat melalui penelitian ini yaitu:
“Apa Dampak Fenomena Brexit Terhadap Inggris dan Regionalisme Uni Eropa?”
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui alasan Inggris memilih keluar dari Uni Eropa, dan mengetahui penyebab dan faktor yang membuat Ingrris memilih
untuk keluar dari Uni Eropa, serta untuk mengetahui dampak yang dihasilkan akibat keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatitif dengan sumber data primer berupa buku, jurnal dan website yang berhubungan
BAB II
PEMBAHASAN
Regionalisme Secara Umum
Interaksi dalam hubungan Internasional hanya mengenal dua bentuk; kerjasama atau konflik. Kedua bentuk ini bisa saling mengisi satu sama lain. Dalam kerja sama, perbedaan sudut pandang dan kepentingan nasional seringkali
mengarahkan untuk saling berkonflik terkait dengan tujuan negara melakukan kerjasama yang selalu di dasari oleh keinginan untuk mengejar kepentingan.
Regionalisme lebih menenkankan pada bentuk interaksi kerjasama dari negara-negara yang berdekatan secara geografis. Wujutnya bisa berbentuk organisasi regional. Dalam analisis secara mendalam, reginalisme lebih melihat
pada proses-proses yang melatarbelakangi terbentuknya kerjasama regional tersebut; daya ikat apa yang akhirnya menyatukan negara-negara dalam satu wadah kerjasama regional. Namun, jika dalam satu analisis, suatu daya ikat tertentu mampu menyatukan negara-negara yang tidak saling berdekatan tapi tetap
melakukan kerjasama, misalnya negara-negara yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), maka hal ini juga tetap menjadi salah satu tinjauan
dalam hal unsur apa yang mampu menyatukan mereka.
Bagi negara yang cenderung berada dalam posisi lemah dalam organisasi regional, Hurrell menjelaskan fungsi regionalisme adalah sebagai institusi pembentuk peraturan dan prosedur. Selain itu, institusi tersebut juga membuka “voice opportunities” atau kesempatan dan hak yang sama dalam berpendapat, membuka peluang membentuk koalisi yang lebih kuat, dan membuka wadah politis untuk membangun koalisi baru. Sedangkan bagi negara yang relatif kuat, regionalisme berfungsi sebagai tempat untuk menjalankan strategi, tempat untuk
Regionalisme merupakan perkembangan integrasi sosial dalam sebuah wilayah yang kerap kali tidak secara langsung dalam interaksi sosial dan ekonomi.
Pengambilan kebijakan di dalam regionalisme berdasarkan kebijakan yang secara sadar dibuat oleh negara maupun sekumpulan negara yang tergabung di dalam organisasi regional tersebut, seperti misalnya Uni Eropa. Sedangkan kesadaran regional dan identitas menekankan pada sense of belonging atau rasa memiliki antar entitas-entitas yang terlibat di dalamnya. Kerapkali regionalisme jenis ini didasari oleh persamaan identitas dan identifikasi terhadap identitas itu sendiri
sehingga kerap menimbulkan diferensiasi dan kategorisasi. Misalnya saja penggolongan masyarakat masyarakat Eropa dan bukan Eropa. Kerjasama regional antar negara merupakan regionalisme yang terbentuk sebagai upaya untuk merespon tantangan eksternal. Dalam regionalisme ini ditekankan adanya koordinasi untuk menentukan posisi regional dalam sistem internasional. Di lain sisi, integrasi regional menekankan pada pengurangan atau bahkan usaha untuk menghilangkan batas antar negara. Dalam konteks ini bukan batas geografis yang
ingin dihilangkan, namun batas interaksi seperti batasan pajak ekspor dan impor.
Regionalisme yang terakhir, kohesi regional, bisa jadi merupakan gabungan dari keempat regionalisme sebelumnya yang membentuk unit regional
yang terkonsolidasi. Pembentukan kohesi regional dapat dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membentuk organisasi regional yang supranasional untuk
memperdalam integrasi ekonomi dan membentuk rezim serta membentuk hegemoni regional yang kuat.
Proses-Proses Regionalisme6
Regionalisasi (regionalization)
Regionalisasi merujuk pada proses pertumbuhan integrasi societal – integrasi kemasyarakatan – dalam suatu wilayah dalam proses interaksi sosial dan
ekonomi yang cenderung tidak terarah (undirected) (Hurrel, 1995: 39). Proses ini bersifat alami di mana dengan sendirinya negara-negara yang saling bertetangga,
yang secara geografis berdekatan, melakukan serangkaian kerja sama guna memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri. Terdapat dua
pengistilahan regionalisme alam proses ini, yakni soft regionalism dan transnational regionalism.
Soft regionalism mengarah pada proses otonom meningkatnya derajat interdependensi ekonom yang lebih tinggi di dalam wilayah geografis tertentu. Dorongan yang paling penting dalam proses terbentuknya regionalisasi ekonomi berasal dari pasar, arus perdagangan dan investasi pribadi, dan dari kebijakan dan
keputusan perusahaanperusahaan.
Transnational regionalism mencakup meningkatnya arus mobilitas orang-orang: perkembangan jejaring (network) sosial yang kompleks dan melalui berbagai saluran di mana ide-ide, sikap-sikap politis dan aliran-aliran pemikiran
terbesar dari satu area ke area lain dengan mudah: serta terciptanya suatu masyarakat sipil regional transnasional.
Kesadaran dan Identitas Regional (regional awarness and identity)
Semua kawasan bisa dipahami dengan istilah “cognitive region” yang berarti bahwa, sama halnya dengan bangsa, maka suatu kawasan bisa “dibayangkan” seperti komunitas (masyarakat) yang berada pada suatu “peta
mental” yang menonjolkan segi-segi tertentu dan mengabaikan hal lainnya. Artinya sebuah kawasan itu hanyalah pengistilahan, pelabelan, pendefinisian orang saja terhadap wilayah geografis yang pengelompokannya didasarkan pada
ciri-ciri tertentu.
Proses kesadaran regional menekankan pada: 1) bahasa dan retorika; 2) pada wacana tentang regionalisme dan berbagai proses politik di mana berbagai
definisi tentang regionalisme dan identitas regional terus didefinisikan dan didefinisikan kembali; dan 3) pada pemahaman umum dan pengertian yang diberikan pada kegiatan politik yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat.
Kerja sama regional antar negara (regional interstate co-operation)
Merujuk pada aktivitas kerja sama regional yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi bilateral sampai pembentukan rezim
bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi regional.
Aktivitas para regionalis meliputi negosiasi dan konstruksi kesepakatan atau rezim, di mana kerja sama tersebut bisa bersifat formal maupun informal tanpa adanya jaminan efektivitas pelaksanaan dan nilai pentingnya secara politis.
Integrasi Regional yang didukung negara (state promoted regional integration)
Salah satu sub-kategori penting dalam kerja sama regional adalah integrasi ekonomi regional. Integrasi regional melibatkan pembuatan kebijakan khusus oleh
pemerintah yang disusun untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan-hambatan dalam pertukaran barang, jasa dan orang-orang. Kebijakan-kebijakan
tersebut telah melahirkan literatur dalam jumlah yang banyak: tentang proses integrasi, di bagian mana literatur tersebut dibuat, dan tentang sasaran yang
mungkin bisa dipenuhi oleh literatur tersebut.
Kohesi regional (regional cohesion)
Merujuk pada kemungkinan kombinasi dari keempat proses yang terdahulu mengarah pada terbentuknya unit regional yang kohesif dan terkonsolidasi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai model termasuk pembentukan
organisasi supranasional secara bertahap dalam konteks peningkatan integrasi ekonomi; atau melalui integrasi kerja sama dan pembentukan rezim-rezim, atau
gabungan kompleks antara intergovermentalisme tradisional dengan supranasionalisme (Hurrel, 1995:44).
Kemudian, kohesi regional mungkin didasarkan pada berbagai model (Hurrel, 1995:45). Salah satunya adalah pembentukan organisasi regional supranasional secara bertahap dalam konteks semakin mendalamnya integrasi ekonomi. Model yang kedua adalah pembentukan seperangat tatanan atau rezim
(menyangkut peraturan, norma dan nilai-nilai) yang tumpang tindih dan sangat kuat pengaruhnya terhadap negara-negara anggota. Model yang ketiga adalah
Regionalisme di Uni Eropa
Regionalisme Uni Eropa terbentuk untuk menyesuaikan diri dengan ritme globalisasi agar tidak tertinggal dan untuk menjawab tantangan global yang ada. Dalam pergerakkannya, regionalisme ini dimaksudkan untuk membangun tingkat
kompetisi dalam menghadapi tantangan dari luar dan meningkatkan bargaining position di mata Internasional.7 Selain itu, regionalisme Uni Eropa dijadikan sebuah strategi dalam menghadapi arus globalisasi, dimana negara-negara anggota
Uni Eropa akan mendorong Eropa menjadi kawasan yang kuat dan menjadi pengendali proses globalisasi itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, Eropa telah membuktikan bahwa kawasan ini mampu menjadi salah satu aktor utama dalam pengendali globalisasi seperti apa yang dikatakan oleh Wallace dan Wallace (2000), “EU has acted as both a shelter from, and accelerator of, global processes.” Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Uni Eropa telah berhasil menjadi bagian dari proses global dan sebagai salah satu
aktor penting dalam proses globalisasi yang berlangsung di dunia sebagai pemercepat proses globalisasi yang terjadi.8 Segala bentuk percepatan yang dilakukan oleh Uni Eropa sebagai bukti dari upaya bertahap integrasi Uni Eropa dalam berbagai bidang, yaitu bidang perekonomian hingga ke bidang perpolitikan
juga sosial dan budaya.
Keberhasilan Uni Eropa tersebut tidak terlepas dari sejarah terbentuknya Uni Eropa yang telah melalui berbagai tahapan yang diawali dengan kerjasama
ekonomi antarnegara anggota dalam European Coal and Steel Community (ECSC), yang didirikan pada 9 Mei 1950 melalui Deklarasi Schuman sampai ditandatanganinya Perjanjian Maastricht pada 7 februari 1992 yang kemudian membawa Uni Eropa semakin terintegrasi tidak hanya dibidang ekonomi tetapi
juga dalam bidang politik.9 Integrasi Uni Eropa ini mendorong kemudahan berbagai akses perpindahan barang dan jasa, serta kecepatan dan transparansi laju
informasiyang jelas sebagai pendukung globalisasi. Karena hal itulah, kerjasama
7 J.H Mittelman, The Globalization Syndrome, Transformation and Resistance, New Jersey, Princeton University Press, 2000, hal. 111-112
8 S. Sweeney, Europe, the State, and Globalization, Pearson Education Limited, London, 2005, hal. 300
ekonomi menjadi titik penting bagi integrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa guna menjawab segala tantangan dalam dunia Internasional.
Lebih lanjut mengenai proses globalisasi yang terjadi di Eropa, terdapat dua pandangan baik secara internal maupun eksternal. Pertama, dilihat secara internal, Uni Eropa sebagai salah satu aktor dominan dalam proses globalisasi diawali dari kerjasama besi dan baja dalam ECSC sehingga menyebabkan
hubungan ekonomi antarnegara Eropa semakin terjalin erat dan saling terinterdependensi satu dengan yang lain. Aktivitas perpindahan barang dan jasa
semakin dipermudah dengan adanya penghapusan hambatan-hambatan dalam perdagangan akibat kerjasama ekonomi tersebut. Untuk mempererat hubungan kerjasama itulah yang kemudian menjadi alasan terbentuknya European Monetary
System (EMS) pada tanggal 6 dan 7 Juli tahun 1978, yang kemudian mulai berlaku pada 13 Maret 1979.10 Tidak hanya itu, Uni Eropa juga membentuk Economic and Monetary Union (EMU) pada tahun 992. EMS dan EMU ini merupakan cikal bakal dari hadirnya mata uang bersama yang dicita-citakan di
Uni Eropa, yakni Euro.
Dalam proses pengenalan mata uang bersama, EMS memperkenalkan European Exchange Rate Mechanism I (ERM I), hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi variabilitas nilai tukar antara negara-negara di Uni Eropa yang merupakan langkah pengenalan mata uang umum. EMS juga memberlakukan 3
pilar terkait program mata uang bersama ini, pertama sebagai wadah alat tukar antar anggotanya, kedua penetapan fluktuasi alat tukar dua negara dibatasi hingga
2,25%, dan peraturan bagi setiap negara untuk menyerahkan 20% dari currency dan cadangan emas. EMS bertujuan untuk menjaga kestabilan moneter di wilayah
Eropa sebelum terwujudnya single currency. Namun, EMS juga memiliki masalah, hal ini berkaitan dengan intervensi bank sentral. Ketika interval yang disebutkan sebelumnya dicapai pada nilai tukar antara dua negara EMS, maka bank sentral kedua negara harus campur tangan sehingga nilai tukar tetap dalam
intervalnya. Intervensi bank sentral dapat bersifat unilateral untuk mempertahankan mata uangnya.
Efektivitas EMS ini berlanjut pada ditetapkannya EMU pada saat perjanjian Maastricht ditandatangani. EMU dibentuk untuk menjaga kestabilan
moneter antarnegara Uni Eropa dan pembentukan Bank Sentral. Terbentuknya EMU ini akhirnya ditandai dengan peresmian mata uang bersama, yakni Euro pada tahun 1995 dan mulai diimplementasikan secara bertahap dimulai dengan transaksi nontunai pada tahun 1999 dan transaksi keseluruhan pada tahun 2002.11
Kedua, dilihat secara eksternal, Uni Eropa merupakan salah satu aktor penting yang menjadi akselerator dan pendukung dalam jalannya globalisasi itu
sendiri baik di Eropa maupun menyebar ke seluruh dunia. Hal itu dibuktikan dengan bergabungnya Uni Eropa ke dalam organisasi-organisasi internasional
sebagai satu kesatuan, seperti World Trade Organization (WTO). Uni Eropa menjadi pemain utama di dalam WTO.12
Dalam hubungannya dengan globalisasi yang telah dimulai ketika ditetapkannya formasi sosial global baru yang ditandai dengan diberlakukannya
secara global suatu mekanisme perdagangan melalui terciptanya kebijakan free trade, yakni ditandatanganinnya kesepakatan internasional tentang perdagangan
pada bulan April tahun 1947 setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh, Maroko, berupa suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan
General Agreement on Tarif and Trade (GATT). Setelah itu, pada tahun 1995, didirikan suatu organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan yang dikenal dengan World Trade Organizations (WTO).13 Hadirnya WTO merupakan salah satu aktor dan forum perundingan antar perdagangan dari mekanisme globalisasi yang penting. Karena cara kerja WTO tidak seperti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), dimana anggotanya harus mematuhi keputusan dari GATT, tetapi WTO bekerja berdasarkan komplain dari
anggotanya.
11 P. Fontaine, Europe in 12 Lessons, European Commission Directorate-General for Communication Publications, Brussels, 2010, hal 45
12 European Commission, Trade: EU and WTO, EUROPA, diakses pada laman <http://ec.europa.eu/trade/policy/eu-andwto/>
WTO sebagai salah satu organisasi yang memiliki kekuatan dalam perdagangan di dunia, ia memiliki peran penting membuat kebijakan dalam pasar
global yang dapat mempengaruhi jalannya arus ekonomi setiap negara di dunia. Karena Uni Eropa sebagai regionalisme dan aktor utama dalam WTO,
kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh Uni Eropa menjadi penting dalam membangun perekonomian dunia. Kebijakan-kebijakan Uni Eropa dalam sektor perekonomian
dan perdagangan menyebabkan banyak negara-negara lain yang ingin melakukan aktivitas perdagangan dengan Uni Eropa harus menyesuaikan diri dengan
kebijakan Uni Eropa.
Bersama-sama dengan Amerika Serikat, Uni Eropa telah memainkan peran sentral dalam mengembangkan sistem perdagangan dunia sejak Perang Dunia II.
Pada awalnya, kebijakan perdagangan Uni Eropa bagi kawasan Eropa berupa penghapusan hambatan bea cukai dan mempromosikan perdagangan antarnegara
anggota Uni Eropa. Hal itulah yang kemudian menginspirasi terciptanya single market bagi kawasan Uni Eropa.14 Selain bergabung dengan organisasi internasional, adanya kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa, seperti kebijakan FLEGT – VPA pada tahun 2003, ikut mempengaruhi kebijakan negara-negara lain di luar Uni Eropa untuk melakukan aktivitas impor kayu ke dalam kawasan ini.15
Setiap kayu yang diimpor ke Uni Eropa harus memiliki sertifikat legalitas dari masing-masing negaranya. Kebijakan ini merupakan komitmen Uni Eropa
untuk menanggulangi masalah pembalakan liar di berbagai hutan yang ada di dunia. Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, yakni bergabungnya Uni Eropa ke dalam organisasi penting dunia dan menerapkan kebijakan yang dapat
mempengaruhi kebijakan negara lain membuktikan bahwa Uni Eropa telah menjadi pengemudi dalam fenomena globalisasi.
14 European Parliament, The European Union and World Trade Organization, EUROPA, diakses pada laman <http://www.europarl.europa.eu/ftu/pdf/en/FTU_6.2.2.pdf> 22
Fenomena Brexit
Latar Belakang Munculnya Fenomena Brexit
Brexit merupakan singkatan dari istilah “British Exit” yang dimaksudkan sebagai kebijakan Inggris untuk melaksanakan referendum agar rakyatnya dapat memutuskan apakah Inggris harus keluar atau tetap menjadi negara anggota Uni
Eropa. Referendum ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016 secara serentak di keempat wilayah negara anggota Britania Raya, yaitu Inggris, Wales,
Skotlandia, dan Irlandia Utara yang dipimpin pelaksanaannya oleh mantan Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Sebelum memenangkan pemilu pada
tahun 2010, dalam masa kampanye David Cameron sebagai pemimpin Partai Konservatif mengangkat isu penyelenggaraan referendum Inggris agar keluar dari
Uni Eropa karena hal ini dipercaya merupakan kebijakan yang sesuai dengan prinsip demokrasi dimana rakyat Inggris menjadi pemegang penuh hak politik di
negara tersebut.
Referendum Brexit tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa Inggris harus melepaskan keanggotaannya di Uni Eropa dengan perolehan suara dimana 51,9% rakyat Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa, sedangkan 48% rakyat Inggris lainnya memilih untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa.16
Tabel perolehan suara referendum Brexit dapat dilihat berikut ini, Tabel 1
16 BBC News, “EU Referendum: BBC Forecasts UK votes to leave ,‟
Alasan-alasan yang menyebabkan keputusan mayoritas rakyat Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa karena:
1. Kepercayaan bahwa Uni Eropa telah melanggar kedaulatan Inggris dalam banyak aspek, mulai dari kebijakan Luar Negeri, keamanan, hingga isu-isu internal seperti penentuan standar upah pekerja-pekerja
industri, maupun kebijakan Perikanan dan Kelautan Inggris yang seharusnya menjadi kewenangan penuh pemerintah domestik dalam
rangka mempertahankan dan menjalankan kedaulatan negaranya. Uni Eropa dinilai telah melakukan terlalu banyak intervensi dalam
implementasi kebijakan pemerintah Inggris karena seringkali memaksakan kebijakannya untuk diterapkan, walaupun kebijakan tersebut bertentangan dengan kepentingan nasional Inggris. Hal ini disebabkan oleh sistem yang dianut Uni Eropa dalam perumusan serta
penentuan kebijakannya, dimana keputusan organisasi supranasional tersebut diambil melalui proses voting atau pemungutan suara negara-negara anggota yang membuat Inggris tidak mampu berdiri sendiri dan
menentang kebijakan-kebijakan tersebut karena Inggris tidak mampu sehingga rakyat Inggrispun akhirnya mewujudkan keinginan mereka untuk optout atau melakukan referendum keluar dari Uni Eropa pada bulan Juni lalu.17Dalam rangka memenuhi tujuan didirikannya Uni
Eropa, organisasi regional ini kemudian membentuk sistem kelembagaan kompleks yang antara lain terdiri dari Parlemen Eropa,
Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, Lembaga Peradilan, Lembaga Pemeriksaan Keuangan, serta sistem institusional Uni Eropa lainnya.
Semakin meluasnya otoritas Uni Eropa, pusat pemerintahan menjadi seakan berpindah tangan dari pemerintah domestik negara ke
pemerintahan di Brussel, lokasi kantor parlemen utama Uni Eropa, sehingga pemerintah domestic semakin berkurang pengaruhnya terhadap perumusan kebijakan internal negara. Inilah yang dianggap
Inggris sangat merugikan.
2. Inggris telah bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) sejak tahun 1973. Selama 27 tahun, Inggris telah mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara anggota MEE yang dengan
rata-rata 30 juta poundsterling per hari. Sebaliknya, neraca perdagangan Inggris mengalami surplus dengan setiap benua di dunia. Kemudian pada tahun 2010, kontribusi “kotor” Inggris untuk anggaran Uni Eropa
mencapai 14 miliar pound sterling. Padahal, Inggris hanya bisa menyimpan 7 miliar pound sterling setahun dengan seluruh
pengeluaran pemerintah.
3. Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh Inggris tidak selalu sejalan dengan masyarakat Eropa. Pada masa pemerintahan beberapa Perdana Menteri, hubungan Inggris dengan masyarakat Eropa maupun
setelah menjadi bagian dari Uni Eropa banyak terjadi perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh pada masa Perdana Menteri Margaret
Tatcher yang menolak untuk menyetujui kebijakan Common Agricultural Policy (CAP) karena menurutnya kebijakan ini tidaklah
bermanfaat bagi perekonomian Inggris yang dominan di bidang industri.
4. Kebijakan Uni Eropa yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris keluar dari Uni Eropa. Hal ini tampak di kalangan mereka
yang sangat tidak toleran terhadap orang asing atau imigran, dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran,
sekitar 8,4% dari total penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta imigran atau 9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi membanjiri Inggris
sampai tahun 2030. Sikap Brussels yang mengharuskan para anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke
beringas, ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar yang harus dikeluarkan Pemerintah Inggris, telah membuat sebagian elit politik dan rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis dengan
referendum pada 23 Juni 2016.
Dampak Brexit Terhadap Inggris dan Uni Eropa
Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, hal ini tentu memberikan dampak bagi masing-masing pihak, baik itu dalam bidang ekonomi, politik, keamanan maupun
sosial, berikut ini dijabarkan dampak-dampak yang diterima kedua pihak.
Bidang Ekonomi
Terdapat dampak bagi Uni Eropa jika Inggris keluar dari Uni Eropa; yaitu Uni Eropa akan kehilangan anggaran karena Inggris merupakan anggota penyumbang nomor empat terbesar untuk anggaran Uni Eropa; 11.3 miliar Euro setelah Jerman, Perancis dan Italia. Dengan mundurnya Inggris, akan mengancam
operasional Uni Erop itu sendiri.
Negara anggota Uni Eropa lain harus mengisi setidaknya setengah sejumlah kekurangan dari hilangnya kontribusi dana Inggris kepada Uni Eropa. Total kontribusi Inggris untuk anggaran Uni Eropa untuk tahun 2016 adalah 19,4 miliar euro, termasuk pemotongan tarif dan pajak impor. Inggris menerima sekitar
7 miliar euro dari subsidi regional dan pertanian. Jerman, negara anggota Uni Eropa terbesar, akan mau tak mau harus menyediakan uang tunai ekstra untuk menutupi celah ini. Institut Jerman, Ifo, memperkirakan dana yang diperlukan
mencapai 2,5 miliar euro.
Ditambah lagi, Inggris merupakan Negara dengan perekonomian terbesar kedua di Eropa, sehingga secara langsung akan berdampak kepada perekonomian
Uni Eropa. Karena baik free flow of goods dan free flow of movement akan berbeda jika nanti Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa.
Bagi Inggris, fenomena Brexit merugikan perekonomian Inggris. Menurut laporan Office for National Statistics (ONS), poundsterling jatuh secara dramatis Referendum Brexit pada tahun 2016, dan semenjak itu menjadi perbandingannya
18
Perdagangan
Dalam sektor perdagangan, negara-negara anggota Uni Eropa mengalami surplus neraca perdagangan sekitar 100 miliar euro dalam perdagangan dengan Inggris. Sementara nilai ekspor Inggris lebih besar 20 miliar euro ketimbang nilai
impornya. Kondisi serupa juga berlaku di bidang jasa keuangannya. Banyak ekonom memperkirakan Brexit akan setidaknya, untuk sementara, mengurangi pertumbuhan Inggris. Faktor ketidakpastian juga akan memengaruhi permintaan
domestik dan melemahkan mata uang pound sterling. Ini akan berimplikasi terhadap kinerja ekspor Uni Eropa ke Inggris, yang nilainya mencapai sekitar 2,6
persen dari total PDB Uni Eropa pada 2014.
Perdana Menteri Inggris David Cameron memutuskan mundur menyusul hasil referendum yang menyatakan Inggris keluar dari Uni Eropa. (Reuters/Stefan
Wermuth) Diperkirakan terjadi "kejutan dari sisi permintaan" di Inggris yang terkait dengan kemungkinan tarif impor baru. Pegiat gerakan Brexit menilai Uni
Eropa akan ingin membentuk kesepakatan perdagangan bebas dengan Inggris, meskipun Inggris keluar dari blok itu. Satu-satunya ekspor bidang jasa Uni Eropa
yang tak akan berpengaruh adalah sektor wisata ke Inggris.
Investasi
Inggris merupakan destinasi penanaman modal asing Uni Eropa yang terbesar, menurut data daro UNCTAD, dengan rata-rata mencapai US$56 miliar
per tahun pada periode 2010-2014. Negara Uni Eropa lainnya hanya memiliki jumlah penanaman modal kurang dari jumlah ini. Sekitar 72 persen investor dalam kajian EY di tahun 2015 menyatakan bahwa akses memasuki pasar tunggal
Uni Eropa merupakan faktor utama penanaman modal mereka di Inggris. Diperkirakan, para investor akan mencari akses dari negara lain jika Inggris tidak
dapat menyediakan pintu masuk ke pasar tunggal Uni Eropa.
Politik
Dengan berhasilnya referendum keluarnya Inggris dari uni Eropa, dampak politik terjadi bagi Inggris adalah mundurnya David Cameron dari jabatannya
sebagai Perdana Menteri Inggris. Bagi Uni Eropa sendiri, fenomena brexit menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai kerjasama regional dan juga sistem
free market di UE. Penyebabnya karna brexit menghasil nasionalosme. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi UE terhadap rasa nasionalisme yang berkembang di negara UE lainnya. Seperti bagaimana Perancis, belanda, dan
italia menjadikan brexit sebagai sebuah model untuk mempertanyakan mengenai kedaulatan yang sudah mereka berikan sebagaian ke Brussel. Jadi intinya, brexit
itu dijadikan sebuah acuan untuk negara lainnnya di UE untuk melakukan referendum demi kepentingan politik maupun kedaulatan negaranya.
Keamanan
Tantangan yang harus dihadapi Uni Eropa dengan adanya fenomena Brexit adalah bagaimana cara melanjutkan program Kebijakan Keamanan dan Ketahanan Umum (Common Security and Defense Policy / CSDP) Uni Eropa, karena Inggris merupakan penggerak utama dan merupakan salah satu pemegang saham utama di bidang kebijakan ini. Dikatakan bahwa 50% kemampuan pertahanan Uni Eropa di
kapal induk dan kapal selam nuklir berasal dari Inggris. Sehingga, Uni Eropa harus menyusun kerangka kerja kemitraan untuk menjaga agar Inggris terlibat
Sosial
Warga imigran atau ekspatriat akan menjadi kubu yang paling menderita jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Berbagai kebijakan soal imigran di Inggris
akan mengalami perubahan drastis. Jumlah imigran di Inggris tahun 2015 mencapai 333 ribu orang, selalu naik 100 ribu setiap tahunnya sejak 1998. Usai referendum yang memenangkan "keluar" dari Uni Eropa, para ekspatriat Eropa di
Inggris terancam dideportasi. Menurut laporan CNN, warga Eropa di Inggris mengaku resah.
Brexit juga akan mengancam 1,2 juta pekerja imigran di Inggris yang datang dari negara-negara Eropa Timur. Menurut data Reuters, pada 2014 sebanyak 853 ribu pekerja imigran Inggris berasal dari Polandia, 175 ribu dari
Romanua dan 155 ribu dari Lithuania.Negara Eropa dengan ekonomi besar lainnya, Jerman, juga diperkirakan akan kedatangan lebih banyak imigran Uni
Eropa dengan keluarnya Inggris.19
Keluarnya Inggris atau Brexit (Britain Exit) dari Uni Eropa mulai membawa dampak buruk dalam kehidupan sosial di Inggris. Tindakan yang dilakukan oleh Inggris memicu aksi rasisme yang menyasar pada warga muslim.
Salah satu yang terkena dampak dari hasil refrendum ini adalah mantan calon anggota Partai Konservatif, Shazia Awan. Wanita kelahiran Wales itu meminta pemerintah Inggris untuk lebih memerhatikan konsekuensi dari Brexit
tersebut. Beliau mengatakan hasil referendum melegitimasi kebencian rasial. Walaupun mereka tidak mayoritas namun mereka tidak toleran dan bersuara keras
dan ini melukai semua komunitas.
Dewan Kepala Polisi Nasional Inggris, NPCC, telah mengumpulkan data kekerasan rasial yang mencapai 85 kasus. Data tersebut terkumpul lewat True
Vision, sebuah situs aduan terhadap kejahatan rasisme bentukan kepolisian Inggris.20
19 http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624152859-134-140703/dampak-brexit-bagi-uni-eropa-dari-ekonomi-hingga-imigrasi/
20 CNN Indonesia.