• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI NILAI PENDIDIKAN DALAM SEJARAH PER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NILAI NILAI PENDIDIKAN DALAM SEJARAH PER"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM

Tela’ah Interaksi Islam dengan Tradisi Lokal di Indonesia Oleh : ZAINAL, M.Ag

Abstrak

Historical development of Islam in Indonesia contains many educational values, ethnically diverse country consisting, tribe, language, and culture can be tied to Islamic values. This success will never be achieved, if only to ignore the character of the community. The characters are embedded in the community and in life is a form of

actualization of the public to find his true identity. Because of this understanding the character of the community is the value of high value in the implementation of education. Public education that begins

touching stimulant identity, will affect the pattern of education. Reviewing the history of the development of Islam in Indonesia mean

look at character education community that has embraced the community.

Key Words: Pendidikan, Sejarah, Perkembangan, dan Islam

Abstrak

(2)

Islam di Indonesia berarti mencermati pendidikan karakter masyarakat yang telah dianut masyarakat.

Key Words: Pendidikan, Sejarah, Perkembangan, dan Islam

A. Pendahuluan

Menyajikan materi tentang pergerakan Islam di Indonesia adalah hal yang menarik, karena kajian transmisi dan penyebaran gagasan Islam yang terjadi pada awal perkembangannya mengandung nilai-nilai pendidikan. Interaksi Islam dengan tradisi lokal pada priode ini cukup membantu dalam memahami karakter masyarakat dan sosial budayanya. Pembahasan tentang karakter masyarakat dan sosial budayanya adalah hal yang cukup terlantar dalam dunia pendidikan, karena kebanyakan peneliti banyak menghabiskan energi pada sistem pendidikan yang dikembangkan dunia Barat. Kalau dilihat dalam kajian sejarah, para peneliti banyak menjatuhkan pilihan pada sejarah politik Islam,1 sehingga perhatian terhadap sejarah dan perkembangan intelektual cendrung terabaikan. Sejarah perkembangan Islam Indonesia telah banyak meninggalkan nilai-nilai pendidikan yang dapat dikemas dan diaplikasikan untuk zamannya atau zaman berikutnya. Pada abad XVI tampil seorang tokoh yang bernama Syekh Burhanuddin yang mempraktekkan sosial budaya masyarakat sebagai sarana memperbaiki karakter yang jauh dari nilai keagamaan. Menghampiri masyarakat melalui sosial dan budayanya, berarti kita telah memperhatikan karakternya, karena sosial dan budaya yang diterapkan masyarakat adalah gambaran karakternya. Oleh karena itu menghampiri masyarakat seperti interaksi Islam dengan tradisi lokal adalah hal menarik untuk ditilik lebih dalam.

(3)

Hasil penelitian Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia dan Deliar Noer tentang Gerakan Modern Islam di Indonesia telah membantu mengungkapkan dinamika Islam Indonesia khususnya dalam bidang perkembangan pemikiran keagamaan. Di samping itu Bambang Pranowo juga menyumbangkan karya lewat penelitiannya yang berjudul Memahami Islam Jawa dalam rangka membantah teori Clifford Geertz yang mengelompokkan Muslim Indonesia pada tiga golongan, yaitu Islam abangan, santri, dan priyayi,2 juga telah memperlihatkan beberapa nilai-nilai pendidikan tentang interaksi Islam dengan tradisi lokal.

Semua penelitian di atas membahas tentang Islam Indonesia berarti mereka bercerita tentang Muslim yang terbesar di dunia. Potret Islam Indonesia memiliki tampilan lokal yang beragam sesuai dengan kondisi budaya dan kultur masing-masing. Meskipun Islam tampil dengan nuansa kultul menurut Azra lslam lunak,3 tidak berarti menghilangkan keorisinilan Islam malah menunjukkan bahwa spirit Islam mampu menampilkan wajah Islam yang ramah. Temuan mereka menggambarkan bahwa spirit agama (Islam), ternyata mampu mendongkrak kebuntuan yang memenjarakan geliat Muslim Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan. Seperti Azra berhasil menemukan upaya konvergensi shari’ah dengan sufistik pada abad XVII & XVIII sebagai bentuk pembaharuan telah diwacanakan serta diterapkan, begitu pula Deliar Noor mampu menyajikan corak pemikiran keagamaan yang tradisionalis dan modernis pada abad XIX & XX saling

2M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), 8.

(4)

mengisi sesuai wilayah gerakan masing-masing, begitu juga Bambang Pranowo dapat meluruskan pembagian kelompok Islam abangan, priyayi, dan santri pada abad kontemporer seperti yang dipopulerkan oleh Clifford Geertz.4

Maka dalam makalah ini akan dikemukakan tentang nilai-nilai pendidikan dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau sebagai potret dinamikan masyarakat merspon perubahan sosial. Pada awal Islam disampaikan ke Indonesia penerimaan masyarakat banyak terhadap aspek keyakinan atau kepercayaan. Dimana perubahan yang terjadi adalah mainstream (pola pikir) dari menyembah ruh leluhur berubah kepada menyembah Allah. Aspek ritual seperti ibadah shalat dan puasa pada awal penyebaran Islam masih sebatas informasi dan belum sampai pada tahap taklif (pembebanan). Secara perlahan tapi pasti, proses Islamisasi terus berlangsung tanpa mengenal batas waktu, sehingga pada akhirnya Islam mampu mempengaruhi perubahan masyarakat, baik dari aspek sosial, politik dan budaya. Begitu juga sebaliknya, dengan perubahan masyarakat juga terlibat mempengaruhi agama. Maka pada tataran ini, mesti dipahami bahwa Islam tidak statis tetapi Islam adalah agama dinamis yang mampu hidup dimana dan sampai kapanpun. Dengan meyakini agama memiliki seribu nyawa5 dapat dipastikan Islam tidak pernah kosong dibahas dan dikaji setiap saat, baik untuk kepentingan keyakinan maupun untuk keperluan ilmu pengetahuan.

Membahas nilai-nilai pendidikan dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau sulit lepas dari dinamika pemikiran keagamaan yang telah menghiasi perjalanan sejarah Islam Indonesia, sehingga terdapat beberapa dimensi yang memiliki kekhasan.

4Lebih lanjut baca Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1976)

(5)

B. Memahami Nilai-Nilai Pendidikan dalam Corak Setting Sosial Muslim

Menarik disajikan di sini adalah nilai-nilai pendidikan dalam pendekatan pembagian Muslim Indonesia yang dipopulerkan oleh Geertz dengan sebutan abangan, priyayi, dan santri. Muslim yang dikategorikan abangan oleh Geertz tersebut adalah mereka yang mengaku menganut Islam tetapi tidak diiringi dengan pelaksanaan ajaran agama secara rutin, dan cendrung mengabaikan pendalaman pengetahuan tentang Islam. Kemudian kategori priyayi dalam pandangan Geertz adalah mereka mengecap pendidikan Barat yang tidak memiliki pendidikan agama secara mendalam, tetapi mereka punya perhatian terhadap Islam. Secara umum kategori priyayi ini adalah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas dari kalangan pribumi. Sedangkan kategori santri menurut Geertz adalah mereka yang memiliki ketaatan agama yang diiringi dengan mengantongi kemampuan ilmu agama yang mapan.6

Nilai pendidikan yang dapat diambil di sini adalah−meskipun masyarakat dikelompok seperti di atas, memahami karakter mereka melalui sosial dan budaya yang telah mengakar dengan kehidupan masyarakat. Penelitian Geertz yang telah dirontokkan oleh penelitian Bambang Pranowo yang menjelaskan bagaimana menyampaikan suatu pesan dengan memahami sosial budayanya. Dengan segala kelemahan dan kekurangan hasil penelitian Geertz tersebut, paling kurang telah memberikan kontribusi terhadap potret Muslim Indonesia, sehingga banyak kalangan memberikan apresiasi atas temuan demikian. Data yang ditemukannya tentang sejarah perkembangan Islam dapat memberikan arah dalam beberapa kebijakan, seperti tentang pendidikan.

6Clifford Geertz, The Religion, 367-368, lihat juga M. Bambang Pranowo,

(6)

Kemudian Deliar Noer mengelompokan kategori yang telah disampaikan Geertz menjadi dua bagian yaitu kalangan tradisionalis dan kalangan modernis. Menurut Deliar Noer, kalangan santri dan priyayi adalah modernis tercatat sebagai kelompok yang menggerakan kebangkitan Muslim Indonesia melalui gerakan sosial dan politik mereka. Sedangkan abangan Menurut Deliar Noer adalah tradisionalis yang terkesan menghambat dan menghalangi kemajuan. Dalam penelitian Deliar ini mampu menghubungkan perkembangan gerakan modernis Indonesia dengan kawasan lainnya, sehingga gerakan modern Indonesia tergambar tidak berdiri sendiri. Arti kata dengan mengkaji gerakan modernis Indonesia kita dapat mengenal saat bersamaan gerakan modern Muslim wilayah lainnya. Dengan sajian penelitian Deliar ini dapat membantu memperoleh bekal tentang mengikuti dan memahami kebangkitan Islam masa dulu, sekarang dan yang akan dating, sehingga dengan tulisan ini dapat diberlakukan nilai-nilai pendidikan untuk membentuk karakter masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang ideal. Karya Deliar ini termasuk penelitian awal yang memotret gerakan modern Islam di Indonesia.

Penting diketahui, bahwa pemahaman Deliar yang tertuang dalam karyanya ini, banyak memberikan nilai-nilai pendidikan tentang memahami kondisi masyarakat, meskipun Deliar cendrung terkesan berangkat dari sikap alergi terhadap praktek keagamaan Muslim Indonesia yang tergolong jumud, tertinggal dan mengabaikan aspek kehidupan sosial, politik dan ilmu pengetahuan, sehingga Muslim Indonesia sulit beranjak dari keterjajahan, namun mengangkat permaslahan ini menunjukkan bagaimana mengarahkan masyarakat dapat terbebas dari tekanan penjajah dengan membuka cakrawala pemikiran yang mengarahkan pada kecerdasan, bangkit dari kemiskinan melalui sebuah gerakan yang terkoodinir dengan baik.

(7)

dipopulerkan oleh Deliar Noer. Meskipun mereka menyadari bahwa Muslim Indonesia pada umumnya adalah pengikut dan pengamal ajaran tarekat, namun masih terkesan kalangan modernis memandang serta menilai kelompok Muslim Indonesia seperti ini, tidak memberikan kontribusi sama sekali. Tentu jurang pemisah seperti ini, harus dilihat nilai-nilai pendidikannya untuk mengusahakan bagaimana memahami karakter masyarakat sebagai pilar pendidikan. Pada hal yang terjadi itu adalah suatu bentuk keberagaman dalam rangka saling melengkapi. Secara fungsional mereka tetap berperan dan berarti dalam menggerak perubahan, walaupun ruang langkah dan modelnya bervariasi.

Kecendrungan mengunggulkan kalangan pembaharu yang lebih progresif ketimbang kelompok yang dianggap penghalang, merupakan sikap yang mesti dikoreksi. Pada hal ditelaah lebih dalam, kenyataannya tidak sepenuhnya demikian, seperti yang dikemukakan Gusdur, kalangan ulama atau kiyai notabenenya adalah penganut tarekat yang diikuti banyak jama’ah, sering dianggap penghambat perubahan, tetapi kenyataan tidak demikian. Tanpa mereka sadari, ternyata ada sebagian ulama yang tergolong dinamis dan memiliki ide modernisasi, walau masih tidak sedikit yang dari mereka yang berusaha mempertahankan tradisi, dan keberatan merubah status quo yang bersifat statis.7

Bahwa, kemudian terbukti kelompok yang dianggap selama ini menghambat kemajuan, ternyata mampu mengemban amanat perubahan. Contoh yang kongkrit dapat diamati melalui rintisan program pengembangan masyarakat sejak dasawarsa terakhir ini, lalu mengejutkan orang. Sama terkejutnya orang dengan pemunculan tiba-tiba dari radikalisme kaum pendeta Katholik melalui theologia pembebasan yang dikembangkan di Amerika Latin, atau gradualisme

(8)

gerakan Sarvodaya Shmaradhana di Sri Lanka, karena selama ini, pesantren, gereja Khatolik dan pendeta Budha adalah simbol kebekuan. Di balik kebekuan lembaga-lembaga keagamaan, seringkali didapati kemampuan para pemimpin agama untuk merumuskan ajaran-ajaran baru yang membawa kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat. Contoh terbaik dari kenyataan ini adalah Mahatma Gandhi, yang merumuskan persamaan melalui penentangan terhadap system kasta, dan menetang kebiadaban manusia melalui gerakan menentang kelaliman dengan tidak menggunakan kekerasan. Perlawanan tanpa kekerasan dan ajaran persamaan tanpa kasta bersumber sepnuhnya pada pembaharuan ajaran agama Hindu.

C. Dinamika dan Wacana Pemikiran Islam Sebagai Basis Pendidikan

Tidak ada bantahan hingga sekarang yang meragukan kebenaran Islam, hanya saja sulit dihindari keberagaman dalam Islam. Seperti diketahui sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini oleh umat sebagai kebenaran tunggal, mereka tafsirkan sesuai dengan pengetahuan dan kondisi sosial-budaya yang mengitarinya. Sepintas terkesan berbeda dan berubah-ubah, sebagai akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Sehingga tidak bisa disangkal perbedaan penafsiran itu mengakibatkan pemikiran fiqh dan teologi yang berbeda. Jika diuraikan berdasarkan kerangka ideologis, paling kurang terdapat empat kategorisasi umat Islam; tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.8

Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis di atas tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial, kepentingan dan kondisi sosial dan budaya

(9)

bangsa yang sedang berkembang.9 Dalam perkembangan pemikiran ini menjadi sebuah bentuk pendidikan yang mengarahkan penanaman karakter terhadap masyarakat.

Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.10 Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial,11 antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality,12sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant,13 yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas NU, Perti, al-Wasliyah , dan komunitas Muhammadiyah, al-Irsyad.14 Kalangan pertama sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan kalangan yang kedua sebagai kelompok modernis.

9Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.

10Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996), 11. 11Andrew Rippin, Muslim, 35.

12Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi,

Islam and the Cultural, 8.

13Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 5.

(10)

Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal di atas. Akan tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya praktek budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis, seperti yang pernah diungkap oleh Munir Mulkhan dalam penelitiannya tentang Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).15

Dari temuan itu dengan sendirinya terbantahkan pengelompokan Muslim Indonesia kepada tradisionalis dan modernis seperti yang dipopulerkan oleh Deliar Noer, sekaligus memunculkan pertanyaan, siapa sebenarnya yang disebut sebagai kelompok tradisionalis dan siapa yang pula yang disebut sebagai kelompok modernis? Apa ciri-ciri dari masing-masing tipe tersebut? Tentu saja sulit diketahui kategori tradisionalis dan modernis karena telah terjadi peleburan dan pembongkaran ruang batas yang selama ini sengaja di kokohkan untuk memecah belah umat Islam.

Maka di bawah ini perlu diketahui nilai-nilai pendidikan dalam pemahaman yang berkembang tentang konsep konsep-konsep Islam di Indonesia dari berbagai perspektif.

1. Pendidikan dalam Konsep Tradisionalisme Islam

Kecendrungan selama ini, ketika ada pembicaraan tentang masyarakat Islam tradisional, sering yang terbayang adalah sebuah

(11)

gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Ditambah lagi mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam.16 Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational, pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan. Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.17

Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.18 Menurut Achmad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.19 Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.20 Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.21

16Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni, 2.

17Watt, William Montgomery, Fundamentalis Islam dan Modernis (Jakarta: Grafindo, 1997), 13.

18Andrew Rippin, Muslim, 6.

19Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68.

20Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.

(12)

Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.22 Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.23

Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.24 Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.25

Dalam masalah tarekat mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.26

Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis

22Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.

23Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam in the Modern Word (London&New York: Kegan Paul International, 1990), 13.

24Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”,

(13)

menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.27

Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.28

Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.29 Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.30 Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan terbesar31 bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K.H. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).32

Maka nilai pendidikan yang dapat dipetik dalam dinamika dan wacana tradisionalisme Islam adalah bertahan dengan nilai akar Islam

27Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad 125-126.

28Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.

29Kacung Marijan, Quo Vadis NU, 38.

30Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41. 31Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed),

Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.

(14)

yang menyejarah. Pola pendidikan yang telah dikembangkan oleh kelompok ini menjadi sebuah penekanan terhadap interaksi Islam dengan tradisi lokal dalam rangka mewarnai karakter masyarakat dengan nilai keislaman. Tentu untuk era berikutnya peran tradisionalisme Islam tetap menjadi sebuah pola seperti ini yang dimanfaatkan sebagai bentuk kepedulian terhadap khazanah pendidikan yang telah berlangsung pada waktu sebelumnya.

2. Perkembangan Pendidikan menjadi bentuk Modern

Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.33

Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.

Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa

(15)

meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.

Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.34

Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari aspek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.

(16)

Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi sepanjang masa.35 Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia sering digolongkan kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah, PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.36

Di antara ciri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.37 Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.38

Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir rasional,39 memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri

35Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi, 127. 36Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41. 37Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 97.

38Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996).

(17)

atau telah terbawa oleh arus modernisasi.40 Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.

Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai representasi kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok modernis.41 Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.42 Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya, Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.43

Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang mengakui kehendak

40Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31. 41Akbar S. Ahmed, Post Modernism, 125.

42Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.

(18)

mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.44

Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.45 Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

Perkembangan pola pendidikan yang dilakukan kalangan modern ini berawal dari respon terhadap keterbelakangan masyarakat yang dipengaruhan pemikiran yang tidak maju. Berangkat alasan ini mereka mengembangkan ide-ide pendidikan dengan pendekatan pembaharuan. Mendirikan sekolah yang berhaluan modernis, serta menerbitkan beberapa jurnal, adalah bentuk kemajuan yang dilakukan oleh kelompok ini. Kendatipun menurut Nakamura,46 kelompok modernis di abad ke-20 yang dibintangi oleh Muhammadiyah mulai ketinggalan oleh kalangan Islam tradisional dari segi pemikiran, namun dari segi gerakan pendidikan seperti Perguruan Tinggi dan rumah sakit masih didominasi oleh kelompok ini. Memang kelompok Islam tradisional yang selama ini dilabelkan kepada Nahdlatul Ulama mulai kehilangan relevan dengan banyaknya para pemikir Nahdlatul Ulama meninggalkan kantong-kantong belenggu. Pemikiran-pemikiran

44Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 183.

(19)

keagamaan, sosial, dan budaya yang digerakkan kelompok Islam tradisional banyak melampaui kalangan Islam modernis.

Dengan gerakan kelompok Islam tradisional yang mencuat di akhir Orde Baru, memberikan nilai-nilai pendidikan dalam memelihara khazanah intelektual yang berkembang. Demikian juga halnya dengan kelompok Islam modernis ini, juga telah berperan dalam memberikan sebuah model pendidikan dalam bergerak mengaktualisasikan ide-ide pembaharuan melalui gerakan social seperti pendidikan dan kesehatan. Agresifitas tinggi dalam membangun kecerdasan umat yang diiring dengan memperhatikan kesehatannya, merupakan bentuk nyata pendidikan yang tidak bisa diabaikan. Walaupun menurut Azra47 kelompok Islam modernis yang dilakukan oleh Muhammadiyah termasuk kelompok yang bertanggung jawab atas hapusnya warna-warni Islam yang diperkaya oleh tradisi lokal, tetapi sisi pengembangan gerakan masih tetap di garda depan. Nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil dari sejarah dan perkembangan Islam adalah meskipun terdapat dinamika dalam menampilkan peran di tengah masyarakat, tetap berorentasi kepada pengembangan karakter yang tertanam dalam kehidupan masyarakat.

D. Corak Pendidikan Dalam Tradisionalisme dan Modernisme Islam

Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda satu sama lainnya.

Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah, tahlilan, ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca pujian setelah adzan, dan mengeraskan bacaan

(20)

setelah sholat, serta bentuk masjid yang memiliki beduk, kentongan, dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti slametan, tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci haji dalam sholat, membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara keras, menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.48

Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,49 tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.50

Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.51

48Deliar Noer, Gerakan Modern, 108. 49Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.

(21)

Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.52

Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan sholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.53

Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.54 Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.55 Kelompok tradisionalis ini mengklaim bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.56

Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalnya tadi bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi tidak

52Deliar Noer, Gerakan Modern, 108. 53Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.

(22)

dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika sesama warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan interaksi yang intensif. Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi antara orang Muhammadiyah dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.

Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang NU dan orang Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya memiliki basis nilai dan historis yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi sosial keagamaan ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuine, sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk dalam kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang genuine atau Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan 'urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai penyimpangan dari genuinitas Islam.

E. Isu Pendidikan dalam Agenda Modernis dalam Islam Pokok pikiran yang hendak disajikan di sini adalah:

Pertama, soal khilafiah. Gerakan modernis di sini berusaha mengubah faham tradisional yang termasuk ke dalamnya tentang takhayul dan khurafat, yang disebut dengan masalah khilafiyah.

(23)

Islam (Indonesia) muncul Permi, Perti, Parii, Penyadar, PII, dan PSII-Kartosuwiryo; pada kalangan kebangsaan yang mengaku netral terhadap agama muncul PNI, Partindo, Gerindo, PBI, dan Parpindo.

Ketiga, kepemimpinan yang bersifat pribadi. Dalam tataran ini ada kecendrungan pemimpin dengan alasan-alasannya sendiri, membawa pengikutnya ke luar organsiasi semula, dan membangun partai baru ataupun mengubah sifat organisasinya menjadi partai politik.

(24)

slogan demikian dikumandangkan lagi pada zaman merdeka, sehingga pengaruhnya cukup mempengaruhi perjalanan bangsa. Sebab semenjak itu, pandangan oposisi dianggap lawan yang harus dihancurkan.

F. Pendidikan Karakter dan Implikasinya terhadap Perkembangan Pemikiran Agama Masyarakat Muslim Indonesia

Dari paparan di atas, ditemukan bagaiman Islam harus berhadapan dengan dinamika tiga lapisan realitas, yaitu lapisan-lapisan universal dan internasional, nasional dan lokal. Kenyataan di atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin tunggal, apalagi mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta kecenderungan doktrin dalam proses pembentukannya. Maka perubahan sosial-ekonomis bisa mempengaruhi perubahan pemahaman seseorang terhadap agamanya.

Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas. Dalam kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis antara system makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya. Perubahan sosial-ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.57 Dalam proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan sistem makna dan pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara aktif memberi makna terhadap perbuatannya. Jadi bukan saja perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi terhadap struktur situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna oleh mereka

(25)

yang melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa pula terjadi.58

Perubahan ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta perubahan politik ikut menjadi faktor utama dalam pembentukan pemahaman seseorang terhadap suatu ajaran agama. Maka tidak mustahil jika ideology seseorang akan selalu mengalami perubahan, karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya (pendidikan), perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau ekonomi yang dialaminya.

Hal ini bisa dilihat dari penelitian Munir Mulkhan tentang Islam murni dalam masyarakat petani, yang menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah berdasarkan pada aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).59 Kenyataan ini penting, karena semula beberapa orang termasuk penulis melihat bahwa Muhammadiyah hanya terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam murni. Padahal kenyataan di lapangan tidak demikian.

Kenyataan semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam masyarakat Muhammadiyah, tetapi juga dalam masyarakat NU, di mana terdapat beragam varian mengenai masyarakat NU yang tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang digambarkan oleh Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh Muhaimin, ada NU yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah terpengaruh oleh kondisi sosial dan ekonomi yang lebih modern.

Kematangan masyarakat dalam menyikapi perubahan demi perubahan yang terjadi seiring dengan perubahan sosial merupakan

58Taufik Abdullah, Islam, 11.

(26)

bentuk penanaman karakter dalam menghadapi deras kemajuan zaman yang dibonceng oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk selanjutnya nilai-nilai yang menjadi ciri khas Indonesia kehilangan momentum seiring munculnya imperium kebudayaan Barat ke dunia Muslim. Meninggalkan khazanah yang telah terbukti memberikan kontribusi dalam mematang karakter masyarakat, akan menyebabkan tidak terselesaikan persoalan bangsa yang semakin waktu tetap berkembang.

E. Kesimpulan & Rekomendasi

Pergumulan pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia adalah salah satu bentuk pematangan karakter masyarakat yang berusaha mencapai titik temu antara nilai normatif dengan fakta yang menyejarah, sekaligus menunjukkan kepedulian umat Islam terhadap masa depan Islam dan bangsanya. Secara umum, dunia Islam berada dalam tekanan Barat setelah mereka berhasil memutar balik keadaan, banyak dipengaruhi oleh karakter masyarakat yang telah tercerahkan. Dapat dimengerti ketimpangan yang terjadi antara pemikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi dengan kondisi faktual masyarakat yang dianggap tidak urusan umat Islam adalah kesimpulan yang ditinjau ulang. Maka dalam keadaan demikian, muncul kesadaran dari sebagian umat Islam, yaitu tidak ada yang dapat merubah keadaan ini kecuali umat Islam itu sendiri.

Dinamika pemikiran yang berkembang telah memberikan warna perjalan sejarah Islam Indonesia. Setelah diamati secara mendalam, khazanah yang dihasilkan dari dialog panjang pemikiran ini cukup memberikan variasi dalam memahami Islam. Mereka tidak berbeda pada persoalan asal, tetapi ketika menurunkan Islam pada ranah sosial lokal masing-masing yang terdapat beragama. Walaupun dilihat Islam beragam, tetapi pada hakikatnya tetap seragam.

(27)

kematangan spiritual adalah prioritas utama untuk menghindari pengulangan sejarah yang telah menimpa Indonesia. Bangsa yang digerogoti kebodohan akan tetap menjadi objek dalam percaturan politik, budaya, dan ekonomi global. Kemiskinan serta perpecah belahan antar elemen bangsa senantiasa menjadi langganan Indonesia. Memulai dari yang mudah, menghargai dinamika dan keberagaman bangsa, mesti dibingkai dengan konsep Islam yang kaffah. Semua ini merupakan sebuah perwujudan karakter masyarakat dari berbagai dimensi.

Daftar Pustaka

Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan ( Jakarta: Rosda, 1999)

---, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007)

---, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996)

Azhar, Muhammad, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001)

Ahmed, Akbar S., Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992)

(28)

Dirajo, Sangguno, Curaian Adat Alam Minangkabau, (Bukittinggi, Pustaka Indonesia, 1987)

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: 1993)

Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)

Ensiklopedia Indonesia, jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980) Efendy Yusuf, Slamet, Dinamika Kaum Santri Menelusuri Jejak dan

Pergolakan Internal NU, (Jakarta: Rajawali Press, 1983)

Gellner, Ernest, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984)

Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta; LKiS, 1997)

Gunawan, Asep, (ed), Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Priode Sejarah (Jakarta: Grafindo, 2004)

Goldscheider, Calvin, Populasi Modernisasi Dan Struktur Sosial, (Jakarta: Raja Wali Perss, 1985)

Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987)

Hsubky, Badrudin, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, (Jakarta: Gema Insan Press, 1995)

Hasyimy, A, (ed), Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia, (Aceh: Al-Ma’rif, 1989)

Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup DR.H. Abdul Karim Amrullah Dan Perjuangan Kaum Agama Di Sumatera Barat, (Jakarta: UMMINDA, 1982)

---, Muhammadiyyah di Minangkabau, (Jakarta: Panji Masyarakat, 1974)

Huda, Nurul, Perjuangan PERTI dan Pribadi K.H.Rusli Abdul Wahid, (Jakarta: DPP PERTI, 1992)

(29)

Jainuri, Achmad, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004)

Koto, Alaiddin, Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-1970, (Jakarta: Nimas Multima, 1997)

Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992)

Maliki, Zainuddin, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004)

Mulkhan, Abdul Munir Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indoensia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996)

Nasr, Seyyed Hossein, Tradisional Islam in the Modern Word (London & New York: Kegan Paul International, 1990)

Rahman, Fazlur, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970)

Pranowo, Bambang, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011)

Webstar, Noah, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966)

Referensi

Dokumen terkait

Responden juga cenderung lebih nyaman menyetel pemutar musik yang dimiliki pada tingkat volume yang tinggi sehingga beberapa diantaranya tidak dapat mendengar suara sekitar

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

aksentuasi pada gerakan Cianjur Agamis yang terimplementasikan dalam aktiftas perdagangan yaitu direalisasikan pendirian pasar tradisional syariah di Kecamatan Campaka

Kesamaan Kegiatan.. Selat Lombok RT.05 Kel. Tanjung Laut Kec. Bontang Selatan No Hp. Bontang Kuala Kec. Bontang Utara No Hp. Bontang Baru Kec. Bontang Utara No Hp. Berlian RT.21

Pertimbangkan apakah kata atau kalimat pada setiap nomor bercetak tebal TIDAK PERLU DIPERBAIKI (A) atau diganti dengan pilihan lain yang tersedia (B,C,D, dan E).. Takabonerate berada

Hasil uji lanjutan dengan Mann-Whitney terlihat bahwa peningkatan kadar ekstrak mahkota dewa berpengaruh terhadap daya lekat krim, yaitu perbandingan antara basis

Penelitian ini berusaha menganalisis senti- men investor pada peristiwa pengeboman di Sarinah pada 14 Januari 2016 diperoleh hasil bahwa terdapat sentimen negatif

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis aksara Jawa siswa pada mata pelajaran Bahasa Jawa melalui model pembelajaran Quantum Teaching dan