• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Hakim dalam Pembatalan Perjanjian Kontrak Baku antara Pihak Penyedia dan Pengguna Jasa Terkait Asas Keseimbangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Hakim dalam Pembatalan Perjanjian Kontrak Baku antara Pihak Penyedia dan Pengguna Jasa Terkait Asas Keseimbangan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN PERJANJIAN KONTRAK BAKU DITINJAU DARI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

G.Pengaturan Perjanjian dalam Hukum Perjanjian di Indonesia

1. Pengertian perjanjian

Berbicara tentang kontrak baku maka tidaklah lepas dari pembahasan

tentang hukum perjanjian karena kontrak baku merupakan jenis perjanjian yang

lahir oleh karena perkembangan hukum perjanjian. Perkembangan hukum

perjanjian saat ini diwarnai oleh semakin tipisnya tabir pemisah antara dua sistem

hukum besar, yaitu common law dan civil law.49 Dinamika hubungan bisnis yang

melibatkan pelaku bisnis antar negara, khususnya kontrak komersial internasional,

telah membawa dampak perkembangan hukum kontrak yang mengadoptir

asas-asas universal yang dikembangkan dalam praktik kebiasaan (lex mercantoria).50

Perjanjian adalah sesuatu peristiwa saat orang saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Berikut akan diuraikan pengertian perjanjian :

Kata “perjanjian” berasal dari kata janji, yang dalam kamus umum bahasa

Indonesia diartikan sebagai51 “perkataan yang menyatakan kesudian hendak

berbuat sesuatu”; sedangkan arti perjanjian adalah “persetujuan baik tertulis

maupun lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji

akan menaati apa yang tersebut di perjanjian itu”. Jadi, dari pengertian tersebut

49

Hernoko, Op.Cit., hlm. 9.

50 Ibid.

51 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1983),

(2)

dapat disimpulkan perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang

tertuang secara lisan maupun tulisan yang dimana kedua belah pihak sepakat

untuk melakukan apa yang telah disanggupi untuk dilakukan. Menurut ketentuan

Pasal 1313 KUH Perdata bahwa:“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atu lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya.”

Pengertian perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad dalam arti sempit

dan lebih jelas yaitu:“perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau

lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat

kebendan di bidang harta kekayaan.”52

Pengertian dalam arti sempit tersebut jelas menunjukan telah terjadi

persetujaun (persepakatan) antara pihak yang satu (kreditur) dan pihak yang lain

(debitur), untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk)

sebagai objek perjanjian. Objek perjanjian tersebut dibidang harta kekayaan yang

dapat dinilai dengan uang. Perjanjian perkawinan misalnya, tidak dapat dinilai

dengan uang karena bukan hubungan mengenai suatu hal yang bersifat

kebendaan, melainkan mengenai hal yang bersifat keorangan (persoonlijk) antara

suami dan istri di bidang moral.53Apabila diidentifikasi secara teliti, konsep

perjanjian dalam arti sempit tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut54:

a. Subjek perjanjian, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian.

b. Persetujuan tetap, yaitu kesepakatan final antara pihak-pihak.

c. Objek perjanjian, yaitu berupa benda tertentu sebagai prestasi.

52

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,2014), hlm. 289 (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I, hlm).

53

Ibid., hlm. 290.

(3)

d. Adanya benda atau hal yang menjadi prestasi yang wajib dilaksanakan para

pihak sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.

e. Tujuan perjanjian, yaitu hak kebendaan yang akan diperoleh pihak-pihak.

f. Bentuk perjanjian, yaitu dapat secara lisan atau secara tertulis.

g. Syarat-syarat perjanjian,yaitu isi perjanjian yang wajib dipenuhi para pihak.

Selain pengertian secara umum yang terdapat dalam KUH Perdata dan

pendapat Abdulkadir Muhammad mengenai pengertian perjanjian yang telah

dipaparkan diatas , terdapat pula beberapa pengertian lain dari beberapa ahli,

yaitu sebagai berikut :

a. Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang

berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.55

b. Menurut R. Wiryono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perbuhungan

hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana satu

pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal,

sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian

tersebut.56

c. Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.57

55

Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT.Intermasa, 1963), hlm. 1.

56 R. Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian (Bandung: Sumur Bandung,

1987), hlm. 7.

(4)

d. Menurut Sudikno Mertokusumo memberikan batasan bahwa perjanjian itu

suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat

untuk menimbulkan akibat hukum.58

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas maka penulis

mencoba menarik kesimpulan tentang pengertian perjanjian. Pengertian perjanjian

menurut hemat penulis adalah suatu peristiwa dimana seorang mengikatkan

dirinya kepada orang lain atau saling mengikatkan dirinya berdasarkan

kesepakatan diantara mereka dimana dari peristiwa tersebut timbul hubungan

hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan

kesepakatan yang telah terjadi diantara mereka baik yang diungkapkan melalui

lisan atau tertuang dalam bentuk tulisan.

2. Syarat sah lahirnya perjanjian

Walaupun dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat terjadinya

kesepakatan mengenai hal pokok dalam perjanjian tersebut, namun masih ada hal

lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur

dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:59

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu

perjanjian. Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau

konsensus pada pihak.Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak

58

Panggabean, Op.Cit., hlm. 58.

59 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak (Jakarta: PT. Grafindo

(5)

antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.60 Kesepakatan ini dapat terjadi

dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan

penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan

penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang

penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi

penawaran dan penerimaan.61

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya

kesepakatan atau terjadinya penawaran dan penerimaan adalah dengan cara

tertulis, cara lisan, simbol-simbol tertentu, dan berdiam diri.62 Berdasarkan

berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut diatas, secara garis besar terjadinya

kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatan

yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan,

simbol-simbol tertentu, atau diam-diam.63

Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas, khususnya syarat

kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti

bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan tetapi,

walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat

kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami

kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga

memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang

(6)

merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.64Cacat kehendak atau cacat

kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal-hal diantaranya seperti kekhilafan

atau kesesatan, paksaan, penipuan, penyalahgunaan kehendak.65

Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam KUH Perdata sedangkan

cacat kehendak yang terakhir tidak diatur dalam KUH Perdata sedangkan cacat

kehendak yang terakhir tidak diatur dalam KUH Perdata, namun lahir kemudian

dalm perkembangan hukum perjanjian. Ketiga cacat kehendak yang diatur dalam

KUH Perdata dapat dilihat dalam Pasal 1321 dan Pasal 1449 KUH Perdata yang

mengatur hal tersebut secara tegas66Secara sederhana keempat hal yang

menyebabkan terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut secara sederhana dapat

dijelaskan sebagai berikut, yaitu:67

1) Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang

diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam

keadaan keliru.

2) Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena

ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan

bukan paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.

3) Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak

lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau

(7)

4) Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang

kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi

menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal

yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan kehendak ini disebut juga

cacat kehendak yang keempat karena tidak diatur dalam KUH Perdata,

sedangkan tiga lainnya, yaitu penipuan, kekhilafan, dan paksaan diatur

dalam KUH Perdata.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan

akibat hukum. 68Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap. Seorang

oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut

belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun

(vide Pasal 330 KUH Perdata).69 Menurut Pasal 330 KUH Perdata, orang yang telah dewasa dan karenanya telah dapat membuat perjanjian adalah:

1) Sudah genap berumur 21 tahun.

2) Sudah kawin, meskipun belum genap berumur 21 tahun.

3) Sudah kawin dan kemudian bercerai, meskipun belum berumur 21 tahun.

Selain bagi orang sebagai salah satu subjek hukum yang dapat membuat

perjanjian, terdapat pula ketentuan terhadap badan hukum yang juga merupakan

subjek hukum, yang dalam hal ini juga dapat membuat perjanjian dengan diwakili

oleh orang. Adapun orang yang mewakili dalam hal ini dapat dikatakan cakap dan

68 Salim, Op. Cit., hlm. 33.

(8)

berwenang untuk membuat perjanjian apabila orang tersebut mendapat legitimasi

misalnya dari perusahaan dalam bentuk dicantumkannya nama orang tersebut

beserta jabatan nya dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAMsehingga

orang tersebut jelas kapasitasnya dan wewenang nya dalam membuat suatu

perjanjian.

Pengaturan mengenai umur 21 tahun yang dinyatakan dewasa oleh KUH

Perdata, sekarang tidak berlaku lagi dengan diterbitkan nya UU RI No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini mengatur bahwa seseorang telah

dewasa adalah umur 18 tahun dan ketentuan berlaku untuk semua warga negara

tanpa melihat golongan penduduknya.Berlakunya umur 18 tahun ini dikuatkan

dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung No. 477 K/Sip/1976 pada

tanggal 13 Oktober 1976.Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke

atas,oleh hukum di anggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh dibawah

pengampuan, seperti gelap mata, dungu,sakit ingatan atau pemboros (vide Pasal

433 KUH Perdata).70Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUH Perdata, juga

ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:71

1) Orang-orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang dibawah pengampuan.

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

(9)

Orang-orang perempuan yang dimaksud pada huruf c diatas adalah

seorang perempuan yang sudah bersuami.Perempuan yang sudah bersuami oleh

undang-undang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi,

khusus huruf c diatas mengenai perempuan sekarang ini tidak dipatuhi atau tidak

berlaku lagi, karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal

membuat perjanjian serta dijamin dengan dikeluarkannya Surat Edaran

Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 yang menyatakan seorang istri tetap cakap

berbuat sesuatu dengan mencabut Pasal 108 dan 110 KUH Perdata. Selain hal-hal

diatas, adapun yang mengakibatkan seseorang dikatakan tidak cakap melakukan

perbuatan hukum adalah karena pailit nya orang tersebut. Orang yang dinyatakan

pailit tidak dapat melakukan perbuatan hukum sampai berakhirnya putusan pailit.

Dengan demikian, dapat disimpulkan seseorang dianggap tidak cakap apabila:

1) Orang yang belum dewasa (vide Pasal 330 KUH Perdata).

2) Orang yang berada di bawah pengampuan (vide Pasal 433 KUH Perdata).

3) Karena pailit

c. Hal tertentu (onderwerp der overeenkomst)

Syarat hal tertentu dalam hal ini memiliki arti yaitu objek perjanjian, dari

pengertian tersebut dapat diketahui bahwa suatu perjanjian haruslah memiliki

objek tertentu. Dalam suatu perjanjian objek perjanjian harus jelas dan ditentukan

oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa,

namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu.72 Hal tertentu ini dalam perjanjian

72Mahmul Siregar, Fotocopy Slide Bahan Materi Kuliah Hukum Kontrak Bisnis (Medan:

(10)

disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak

berbuat sesuatu.73

d. Sebab yang halal (geoorloofde oorzaak)

Pasal 1320 KUH Perdata tidak menjelaskan pengertian oorzaak atau sebab

yang halal. Didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan sebab yang

terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan, an ketertiban umum.74 Istilah kata halal adalah bahwa isi

kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Syarat pertama dan kedua sah nya perjanjian disebut syarat subjektif,

karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat

yang ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek

perjanjian.75 Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu

dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada

pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para

pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah.76 Syarat

ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.

Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.77

(11)

3. Jenis perjanjian

Pasal 1319 KUH Perdata membedakan perjanjian menjadi dua macam,

yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian

bernama maupun tidak bernama tunduk pada Buku III KUH Perdata.Maksud

pembedaan dalam Pasal 1319 KUH Perdata adalah bahwa ada

perjanjian-perjanjian yang tidak dikuasai oleh ajaran umum sebagaimana terdapat dalam

titel-titel I, II, dan IV.78 Mengenai jenis perjanjian, sesuai dengan pengaturan

KUH Perdata dikenal 2 (dua) jenis perjanjian, antara lain sebagai berikut:

a. Perjanjian bernama (nominaat)

Istilah perjanjian bernama merupakan terjemahan dari nominaat contract.

Perjanjian bernama sama artinya dengan benoemde dalam bahasa Belanda.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang

dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas

dan sudah diatur didalam KUH Perdata.79 Perjanjian nominaat merupakan

perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang

berbunyi: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang

tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang

termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.80 Dengan demikian, dapat disimpulkan

(12)

2) Perjanjian bernama dikuasai oleh titel I, II, IV, dan V sampai dengan titel

XVIII KUH Perdata.

3) Perjanjianbernama jumlahnya terbatas.

Perjanjian bernama diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari

Bab 5 sampai dengan Bab 18.Jumlah pasal yang mengatur tentang Perjanjian

Bernama terdiri atas 394 pasal. Di dalam KUH Perdata ada 15 (lima belas) jenis

perjanjian nominaat, yaitu jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, perjanjian

melakukan pekerjaan, persekutuan perdata, badan hukum, hibah, penitipan

barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, bunga tetap atau

abadi, perjanjian untung-untungan, penanggungan utang, dan perdamaian.

b. Perjanjian tidak bernama (innominaat)

Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama

tertentu yang jumlah nya tak terbatas.82Perjanjian tidak bernama adalah

perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam

undang-undang, karena tidak diatur dalam KUH Perdata dan Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya

adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij

otonomi. Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata,

yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus

maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan

umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.

(13)

Selain itu, di luar KUH Perdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti

kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak

karya, beli sewa, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian

innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam

praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik bernama (nominaat)

maupun tidak bernama (innominaat) tidak terlepas dari adanya sistem yang

berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri. Perjanjian kontrak baku merupakan

salah satu jenis dari perjanjian tidak bernama, hal ini dapat disimpulkan dari tidak

adanya pengaturan yang jelas atau secara limitatif mengenai perjanjian baku itu.

4. Berakhir atau hapusnya perjanjian

KUH Perdata tidak mengatur secara khusus tentang berakhirnya perjanjian

kontrak, tetapi yang diatur dalam BAB IV Buku III KUH Perdata hanya

hapusnya perikatan-perikatan.83 Walaupun demikian, ketentuan tentang hapusnya

perikatan tersebut juga merupakan tentang hapusnya perjanjian karena perikatan

yang dimaksud dalam BAB IV Buku III KUH Perdata tersebut adalah perikatan

pada umumnya baik itu lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari

undang-undang bahkan perbuatan melanggar hukum sekalipun.84

Mengenai hapusnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata,

adapun hal-hal yang menyebabkan hapusnya perikatan, antara lain karena

pembayaran, pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,

pembaharuan utang, perjumpaan utang, perjumpaan utang dan kompensasi,

83 Miru, Op.Cit., hlm. 87.

(14)

percampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang,

kebatalan atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, lewatnya waktu.

Sedangkan menurut R.Setiawan, adapun hal-hal yang dapat menyebabkan

hapusnya suatu perjanjian adalah:85

a. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak, misalnya persetujuan

tersebut berlaku dalam jangka waktu tertentu.

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan, misalnya

Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa para ahli waris

tertentu tidak melakukan pemecatan harta warisan. Waktu persetujuan

dalam Pasal 1066 ayat (4) KUH Perdata dibatasi hanya selama 5 (lima)

tahun.

c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya

peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan hapus, misalnyajika

terjadi salah satu pihak meninggal dunia, maka persetujuan akan hapus,

antara lain:

1) Persetujuan perseroan (vide Pasal 1646 ayat (4) KUH Perdata).

2) Persetujuan pemberian kuasa (vide Pasal 1813 KUH Perdata).

d. Pernyataan penghentian persetujuan (Opzegging).

e. Persetujuan hapus karena putusan hakim.

f. Tujuan dari persetujuan telah tercapai.

g. Dengan persetujuan dari para pihak.

(15)

H.Asas-asas dalam Hukum Perjanjian di Indonesia

Asas memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan suatu

norma hukum atau peraturan hukum. Asas tersebut dijadikan dasar atau acuan

ketika norma atau peraturan tersebut dibentuk, tidak terkecuali bagi hukum

perjanjian itu sendiri, dimana dalam pembentukan suatu perjanjian haruslah

beradasarkan pada asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian. Perjanjian

merupakan suatu hal yang bersifat konkrit sedangkan asas hukum perjanjian

merupakan suatu hal yang bersifat umum dan abstrak yang menjadi latar belakang

dalam pembentukan hukum yang konkrit.86 Dalam khasanah hukum perjanjian

dikenal beberapa asas-asas hukum penting yang menjadi dasar berlakunya suatu

perjanjian. Adapun asas-asas tersebut, antara lain:

1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Asas ini merupakan konsekuensi dari sifat hukum kontrak yang sifatnya

sebagai hukum mengatur. Asas freedom of contract mengandung pengertian

bahwa para pihak bebas mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Meskipun

demikian, kebebasan melakukankontrak tidak bersifat sebebas-bebasnya.87Dalam

sistem hukum perjanjian di Indonesia, kebebasan para pihak dalam melakukan

kontrak dibatasi sepanjang:88

a. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak.

b. Tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan/ kesusilaan dan

ketertiban umum. Manajemen PPS USU (Medan: Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara,2015), hlm. 1.

88

(16)

2. Asas pacta sunt servanda

Asas pacta sunt servanda berarti perjanjian bersifat mengikat secara penuh

karenanya harus ditepati. Hukum kontrak di Indonesia menganut prinsip ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi

mereka yang membuatnya”. Berdasarkan pasal ini, daya mengikat kontrak sama

seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya.89

3. Asas konsensual

Asas ini mempunyai pengertian bahwa suatu kontrak sudah sah dan

mengikat pada saat tercapai kata sepakat para pihak, tentunya sepanjang kontrak

tersebut memenuhi syarat sah yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH

Perdata.90Perlu diingat bahwa asas konsensual tidak berlaku pada perjanjian

formal. Perjanjian formal maksudnya adalah perjanjian yang memerlukan

tindakan-tindakan formal tertentu, misalnya Perjanjian Jual Beli Tanah, formalitas

yang diperlukan adalah pembuatannya dalam Akta PPAT.91 Dalam perjanjian

formal, suatu perjanjian akan mengikat setelah terpenuhi tindakan-tindakan

formal dimaksud.92

4. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menjamin bahwa kedudukan para

pihak dalam merumuskan kontrak harus dalam keadaan seimbang. Pasal 1321

(17)

KUH Perdata menyebutkan bahwa tiada kata sepakat dianggap sah apabila

diberikan karena kekhilafan, keterpaksaan atau penipuan.93

Asas keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan

melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi

dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur;

namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu

dengan iktikad baik.

5. Asas iktikad baik (goede trouw)

Asas itikad baik dapat dilihatpadaPasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal

1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: "perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik." Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur

dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau

keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

I. Kedudukan Perjanjian Kontrak Baku ditinjau dari Hukum Perjanjian Selama perkembangannya hukum perjanjian Indonesia mengalami banyak

perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif, keputusan

badan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi.94 Perjanjian kontrak baku, tidak

hanya diatur dalam KUH Perdata, tetapi juga diatur dalam beberapa ketentuan

perundang-undangan lain di Indonesia, antara lain yakni UU N0.8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

93

Ibid.

(18)

Dalam hukum perjanjian dikenal syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Suatu perjanjian sah dan mengikat serta menimbulkan akibat hukum apabila

ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi. Seperti yang telah dipaparkan oleh

penulis pada bab maupun sub-bab sebelumnya mengenai syarat sah nya

perjanjian, maka apabila dikaitkan dengan kontrak baku itu sendiri terdapat

beberapa hal yang perlu dikaji antara hakikat perjanjian kontrak baku dengan

syarat sahnya perjanjian. Seperti yang diketahui salah satu syarat sahnya

perjanjian adalah adanya “kesepakatan”seperti yang tertulis dalam Pasal 1320 ayat

1 huruf a yaitu “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Kesepakatan adalah

persesuaian kehendak antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang

lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.95

Berdasarkan syarat sahnya perjanjian, khususnya syarat kesepakatan yang

merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, dapat disimpulkan apabila

tidak adanya kesepakatan para pihak, maka tidak terjadi kontrak.96 Akan tetapi,

walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat

kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut dapat saja

mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat

kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan

oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.97

95

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,1990), hlm.89 (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II, hlm).

96 Miru, Op.Cit., hlm. 17.

(19)

Sifat dari kontrak baku merupakan take it or leave it contract, artinya apabila pihak yang ditawarkan suatu barang atau jasa dengan menggunakan

perjanjian kontrak baku menerima kontrak baku tersebut maka ia dapat

menerimanya (take it) sedangkan apabila tidak menerima kontrak baku tersebut

maka ia dapat menolak nya (leave it). Dari hal ini dapat disimpulkan, sebenarnya

mengenai kesepakatan para pihak sudahlah jelas jika ditinjau sifat dari kontrak

baku itu sendiri yakni take it or leave it, artinya apabila konsumen sebagai

pembeli dan/atau pengguna jasa sepakat dan menerima kontrak baku tersebut

maka perjanjian sudahlah terjadi diantara mereka, sedangkan apabila tidak sepakat

dan menolak kontrak baku tersebut maka perjanjian belum terjadi diantara

mereka. Namun permasalahan timbul ketika kesepakatan yang ada terjadi karena

adanya cacat kehendak atau kesepakatan, dimana cacat kehendak tersebut timbul

oleh karena adanya penyalahgunaan keadaan . Penyalahgunaan keadaan adalah

suatu keadaaan yang terjadi dimana ketika pihak yang memiliki posisi yang kuat

(posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan

sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.98

Selain itu di dalam syarat sahnya perjanjian juga dikenal salah satu syarat

yakni causa yang halal, syarat causa yang halal ini juga berkaitan dengan

penyalahgunaan keadaan.99 Syarat causa yang halal maksudnya adalah suatu

sebab yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang

membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal

1320 KUH Perdata tersebut bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau

98Ibid., hlm. 18.

(20)

yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi

perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh

pihak-pihak.100

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang

mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang

ialah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang dicapai, apakah

dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban

umum atau kesusilaan atau tidak. Menurut undang-undang, causa atau sebab itu

tidak halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang , tidak bertentangan dengan

ketertiban umum dan kesusilaan (vide Pasal 1337 KUH Perdata).101Perjanjian

yang berisi causa atu sebab yang halal diperbolehkan, sebaliknya perjanjian yang

berisi causa atau sebab yang tidak halal, tidak diperbolehkan.102

Kesepakatan seseorang untuk mengikatkan dirinya merupakan syarat

penentu tentang ada tidaknya perjanjian sehingga dengan adanya kesepakatan dari

para pihak mengenai suatu hal yang diperjanjikan (dan telah memenuhi syarat

lainnya), maka para pihak akan terikat dengan perjanjian tersebut berdasarkan

asas konsensualisme. Asas konsensualisme ini sangat terkait pula dengan

kebebasan berkontrak karena dengan kebebasan yang dimiliki seseorang untuk

mengadakan perjanjian terhadap orang tertentu dengan persyaratan atau isi

perjanjian yang tertentu pula, sangat menentukan ada tidaknya kesepakatan yang

diberikan oleh orang tersebut terhadap orang atau isi perjanjian yang dimaksud.103

(21)

Penggunaan perjanjian kontrak baku dalam perjanjian-perjanjian yang

biasanya dilakukan oleh pihak yang banyak melakukan perjanjian yang sama

terhadap pihak lain, didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang secara tidak

langsung diatur dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Kebebasan berkontrak yang merupakan „roh‟ dan „napas‟ sebuah kontrak

atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak

pihak-pihak diasumsikan harus mempunyai kedudukan yang seimbang bagi para

pihak, keseimbangan tersebut terjadi ketika para pihak dalam kontrak memiliki

kedudukan yang sama dalam memperoleh keuntungan dan tidak ada yang

dirugikan secara sepihak. Menurut Sultan Remi Sjahdeni, kontrak baku sebagai

perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul nya dibakukan oleh pihak

pembuatnya mengakibatkan pihak lain yang menerima perjanjian tersebut pada

dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta

perubahan.104 Apabila dicermati dari pengertian asas kebebasan berkontrak yang

sesungguhnya, sebenarnya kontrak baku tidak bertentangan dengan asas

kebebasan berkontrak karena asas kebebasan berkontrak itu sendiri memberi

kebebasan bagi para pihak dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian.

Dapat diketahui bahwa keempat point kebebasan yang diberikan oleh

hukum perjanjian terhadap para pihak yang membuat perjanjianbahwa

sesungguhnya asas kebebasan berkontrak tidaklah bertentangan dengan kontrak

baku tersebut karena para pihak dijamin kebebasannya dalam menetukan isi

104 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta:PT.Grasindo,2006),

(22)

perjanjian, namun harus dipahami bahwa kebebasan berkontrak bukanlah

satu-satunya asas yang harus diperhatikan dalam suatu perjanjian, terdapat banyak

asas-asas lain yang harus berjalan beriringan bersama asas kebebasan berkontrak

tersebut sehingga membuat perjanjian tersebut benar-benar mewakili kepentingan

kedua belah pihak dan memberikan posisi yang seimbang bagi kedua belah pihak.

Perjanjian kontrak baku tidak akan bertentangan dengan asas kebebasan

berkontrak sepanjang asas kebebasan berkontrak tersebut dilaksanakan dengan

itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

kesusilaan,dan ketertiban umum. J.M van Dunne berpendapat daya berlaku asas

itikad baik meliputi seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan“the rise

and fall contract”. Dengan demikian, itikad baik meliputi tiga fase proses

perjanjian, yaitu: pre contractual fase, contractual fase, dan post contractual fase.

105

Kaitannya dengan perjanjian kontrak baku adalah disaat dimana kontrak baku

tersebut menggunakan klausula baku atau mencantumkan klausul yang

mencerminkan ketidakseimbangan di antara para pihak sebagai isi atau ketentuan

dari perjanjian kontrak baku tersebut yang pada akhirnya membuat pihak si

penerima kontrak baku berada dalam kedudukan yang lemah dan dirugikan secara

sepihak. Alhasil, keadaan demikian menimbulkan ketidakseimbangan, yang

akhirnya juga melanggar asas keseimbangan sebagai salah satu asas yang juga

penting untuk diperhatikan dalam hubungan kontraktual.

105 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak (Jakarta:Program Pasca

(23)

D.Perkembangan Penerapan Perjanjian Kontrak Baku di Indonesia

Perkembangan hukum kontrak saat ini diwarnai oleh semakin tipisnya

tabir pemisah antara dua sistem hukum besar, yaitu common law dan civil law.

Dinamika hubungan bisnis telah membawa dampak perkembangan hukum

kontrak yang mengadoptir asas-asas universal yang dikembangkan dalam praktik

kebiasaan (lex mercartoria).106 Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka,

artinya Buku III KUH Perdata memberi keleluasaan kepada para pihak untuk

mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III BW

hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend-aanvullendrecht), dimana para

pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada didalam Buku III KUH

Perdata tersebut.107

Sistem terbuka Buku III KUH Perdata ini tercemin dari substansi Pasal

1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan

jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada di muka perkataan

“perjanjian”. 108

Dikatakan bahwa Pasal 1338 yat (1) itu seolah-olah membuat

suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa

saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban

(24)

sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk

perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk perjanjian

kontrak baku. Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para

pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan,

scriptless, paperless, autentik, non autentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standar / baku, dan lain-lain), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diiginkan para

pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak seseorang pada

umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian.109

Upaya mempertahankan pelanggan atau mempertahankan pasar atau

memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas padasituasi ekonomi baik dalam

skala nasional maupun global dalam menuju era perdagangan bebas merupakan

dambaan bagi setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk

berusaha. Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha demi memperlancar

usahanya dan memenuhi kebutuhan konsumen atas barang dan jasa yang ia

tawarkan. Konsep-konsep pemasaran dipandang dari strategi pemasaran global

telah berubah dari waktu ke waktu dengan berbagai cara.

Salah satu tandanya adalah dengan berkembangnya penggunaan perjanjian

kontrak baku dalam dunia bisnis barang dan jasa. Latar belakang tumbuhnya

perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Tingginya kebutuhan

konsumen akan barang dan jasa menuntut para pelaku usaha untuk berpikir

bagaimana melayani konsumen yang demikian banyak namun tetap efisien dan

efektif. Hal inilah yang menjadi alasan bagi para pelaku usaha dalam menerapkan

(25)

perjanjian kontrak baku, dimana para pelaku usaha menyiapkan suatu perjanjian

yang sifatnya kolektif dan massal, yang bisa ditawarkan kepada semua orang

tanpa harus membuat perjanjian secara perorangan kepada tiap konsumen.

Bentuk perjanjian baku yang paling lazim ditemukan dalam kehidupan

sehari-hari adalah perjanjian baku sepihak yang sekaligus menjadi bahan

penelitian dalam skripsi ini. Perjanjian baku sepihak tersebut dapat dijumpai di

berbagai bidang antara lain seperti perjanjian kerja (perjanjian kerja kolektif),

perbankan (ketentuan umum perbankan, peransuransian (polis), pembangunan

(ketentuan administratif untuk pelaksanaan pekerjaan, perdagangan eceran, sektor

pemberian jasa-jasa, hak sewa (erpacht), dagang dan perniagaan, perusahaan

pelabuhan, sewa-menyewa, beli-sewa, hipotek, pemberian kredit, pertanian,

urusan makelar, praktik notaris dan hukum lainnya, perusahaan-perusahaan

umum, penyewaan urusan pers, pengangkutan.110Perjanjian-perjanjian baku diatas

memiliki ciri-ciri yang sama pada umumnya mengikuti perkembangan kebutuhan

masyarakat yang semakin meningkat, ciri-ciri tersebut antara lain yaitu:111

1. Perjanjian dibuat secara tertulis.

2. Format perjanjian distandardisasikan.

3. Syarat syarat dalam perjanjian ditentukan oleh pelaku usaha.

4. Konsumen hanya menerima atau menolak.

5. Perjanjian baku berlaku secara kolektif dan massal.

110

Salim, Op.Cit., hlm. 154-155.

111Abdulkadir Muhammad,Perjanjian Baku dalam Praktek Usaha Perdagangan

(26)

Sedangkan menurut Mariam D. Badrulzaman, adapun ciri-ciri dari

perjanjian baku antara lain sebagai berikut:112

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat

dari debitur.

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian.

3. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut.

4. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan individual.

Selain menurut Mariam D.Badrulzaman, ada juga ahli lain yang

mengemukakan ciri-ciri dari perjanjian baku. Menurut Sluyter ciri-ciri perjanjian

baku antara lain:113

1. Bahwa isinya telah terlebih dahulu ditetapkan secara tertulis.

2. Bahwa perjanjian baku selalu menyimpang dari hukum yang mengatur.

3. Bahwa perjanjian baku lebih sebagai “adhesie contract” lebih bersifat dipaksakan berdasarkan kekuatan ekonomi.

Itulah beberapa ciri-ciri dari perjanjian baku, maka dapat disimpulkan

bahwa ciri-ciri perjanjian baku yang paling menonjol adalah sifatnya yang tertulis

dan dibuat oleh pelaku usaha sebagai pihak yang mempunyai posisi (bargaining)

yang kuat. Penggunaan perjanjian baku dalam dunia bisnis baik barang dan jasa di

Indonesia kian meningkat seiring tingginya tuntutan konsumen akan barang dan

jasa. Pelaku usaha sebagai pihak yang kuat disini memanfaatkan kesempatan yang

ada dengan cara salah satunya yaitu menerapkan perjanjian baku dalam hubungan

bisnis nya dengan pihak konsumen, adapun motif dari pelaku usaha semata-mata

112Darus, Op.Cit., hlm. 50.

(27)

untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, berkaitan dengan hal tersebut

adapun bentuk keuntungan yang dapat diraih pelaku usaha ketika menerapkan

perjanjian baku antara lain:114

1. Perolehan keuntungan dalam hal biaya, waktu, dan tenaga.

2. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko

yang siap diisi dan ditandatangani.

3. Proses transaksi cepat karena konsumen hanya menerima (menyetujui) atau

tidak;

4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak.

5. Pembebanan tanggung jawab kepada konsumen.

Perjanjian baku memegang peranan penting dalam aktivitas perdagangan

barang dan jasa. Tak dapat dipungkiri, bentuk perjanjian seperti ini disatu sisi

sangat menguntungkan jika dilihat dari segi waktu, tenaga, dan biaya yang dapat

diminimalisir. Perjanjian ini biasanya diterapkan oleh pengusaha dalam hubungan

ekonomi misalnya pemberian kredit, pelayanan jasa parkir, jual beli perumahan

dan berbagai hubungan ekonomi lain yang pada hakikatnya menawarkan barang

dan jasa yang serupa kepada tiap konsumen. Pelaku usaha menetapkan isi

perjanjian secara sepihak dan menuangkan ke dalam bentuk formulir dalam

jumlah banyak dengan maksud agar dapat digunakan kembali ketika melakukakan

penawaran kepada konsumen. Penentuan isi perjanjian secara sepihak jika dikaji

114

Tumbelaka, Arkie V,Y, “Kajian Kontrak Baku Dalam Perjnajian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun Dalam Perspektif Itikad baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara

Nyonya X Dengan PT.Putra Surya Perkasa)”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Magister Hukum

(28)

dari sisi ekonomis memang baik untuk diterapkan karena pelaku usaha dan

konsumen tak perlu lagi melakukan perundingan terlebih bagi pelaku usaha dan

konsumen yang sering melakukan hubungan ekonomi, jelas hal ini sangat

menguntungkan dari segi waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan, namun

permasalahan muncul tatkala pelaku usaha sebagi pihak yang menetapkan isi

perjanjian melakukan pencantuman klausul-klausul yang memberatkan pihak

konsumen sebagai si penerima kontrak.

E.Keterikatan Para Pihak dalam Perjanjian Kontrak Baku

Suatu perjanjian disusun dan dibuat oleh para pihak dalam perjanjian

berdasarkan persesuaian kehendak antara para pihak. Para pihak dalam membuat

suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian agar

perjanjian yang dibuat menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Demikian

pula dengan kontrak baku, harus lah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian

agar perjanjian kontrak baku tersebut menimbulkan akibat hukum. Dalam

penerapan kontrak baku, dikenal 4 (empat) cara atau metode dalam

memberlakukan syarat-syarat baku dalam suatu kontrak baku, antara lain:115

1. Penandatanganan perjanjian kontrak baku

Dokumen perjanjian kontrak baku memuat secara lengkap dan rinci

syarat-syarat perjanjian kontrak baku. Ketika membuat perjanjian kontrak baku,

dokumen tersebut diberikan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani.

(29)

Dengan penandatanganan itu, maka konsumen menjadi terikat pada syarat-syarat

baku yang terdapat pada perjanjian kontrak baku tersebut.

2. Pemberitahuan melalui dokumen perjanjian

Menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak diatas

dokumen perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen, misalnya surat

penerimaan, surat pesanan dan nota pembelian. Syarat-syarat baku tersebut

diberitahukan melalui dokumen perjanjian .

3. Penunjukan dalam dokumen perjanjian

Dokumen perjanjian dalam hal ini tidak memuat atau menuliskan

mengenai syarat-syarat baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat

baku, misalnya dalam dokumen jual beli perdagangan ditunjuk suatu syarat

penyerahan barang secara free on board berarti syarat baku mengenai penyerahan

barang tersebut atas dasar free on board berlaku dalam perjanjian tersebut.

4. Pemberitahuan melalui papan pengumuman

Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi perjanjian dengan cara

pemberitahuan melalui papan pengumuman. Dalam hal ini papan pengumuman

harus di pasnag ditempat yang jelas, mudah dilihat, dan ditulis dalam bentuk huruf

dan bahasa yang sederhana serta mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat.

Dapat diketahui dari keempat metode di atas bahwa ketika konsumen

melakukan penandatangan atas kontrak baku yang ditawarkan kepadanya maka itu

berarti konsumen tersebut menyetujui ketentuan-ketentuan perjanjian yang ada

(30)

hukum perjanjian di Indonesia yaitu asas pacta sunt servanda yang mana asas ini tertuang secara tertulis dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Perjanjian kontrak baku apabila dikaji dari sifatnya yaitu take it or leave

itcontract maka sesungguhnya dapat dijadikan dasar pengikatan para pihak yaitu pelaku usaha dan konsumen. Namun menurut Sluitjer perjanjian baku bukanlah

perjanjian sebab kedudukan pengusaha didalam perjanjian tersebut adalah seperti

pembentuk undang- undang swasta (legio particuliere wet-gever). Syarat-syarat

yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian tersebut adalah undang-undang dan

bukan perjanjian. Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan

tidak memberikan kesempatan pada konsumen mengadakan “real bargaining”

dengan pelaku usaha. Konsumen tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan

kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu

perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 KUH

Perdata jo Pasal 1338 KUH Perdata.116

Selain itu menurut Hondius dalam tanggapannnya terhadap pendapat

Zaylemaker yang mengatakan bahwa “ajaran penundukan kemauan

(wilsonderwerping) yang menyatakan bahwa orang mau tunduk karena ada pengaturan yang aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang

yang ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat

berbuat lain selain tunduk” memang dapat dijadikan dasar pengikatan bagi para

pihak dalam kontrak baku sepanjang kontrak baku tersebut dilengkapi dengan

alasan kepercayaan. Alasan kepercayaan yang dimaksud disini adalah

(31)

kepercayaan yang timbul dari konsumen sebagai pihak penerima kontrak baku,

dimana ketika konsumen menandatangani kontrak baku tersebut bukan

semata-mata ia menyetujui saja karena ia butuh melainkan karena konsumen percaya

bahwa kontrak tersebut telah memihak kepada kepentingan nya dan tidak

merugikannya.117

Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan diatas maka dapat diketahui

bahwa kontrak baku sepanjang ditandatangani oleh para pihak dan isi

perjanjiannya disetujui,maka kontrak baku tersebut berlaku sebagai

undang-undang dan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

Namun jika kontrak baku tersebut isinya terdapat unsur ketidakseimbangan yang

dalam penerimaannya juga mengandung unsur keterpaksaan, maka secara

normatif perjanjian tersebut dapat dibatalkan melalui gugatan ke pengadilan atau

badan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

pelaku usaha.

F. Batasan Penggunaan Perjanjian Kontrak Baku

Perjanjian kontrak baku dalam penerapannyaharuslahmemperhatikan

mengenai tata cara dan pengaturan hal-hal yang dilarang dalam penggunaan

klausula baku. Pengaturan tersebut menjadi batasan dalam penggunaan perjanjian

kontrak baku. Mengenai pembatasan penggunaan perjanjian kontrak baku selain

dapat dikaji dari KUH Perdata juga dapat dikaji dari peraturan hukum yang lain,

(32)

yang dimana secara konkrit mencantumkan batasan-batasan penggunaan kontrak

baku tersebut, pengaturan batasan tersebut dapat dilihat dalam UUPK. Didalam

UUPK, diatur mengenai pencantuman klausula baku, hal ini dapat dilihat dalam

Pasal 18 UUPK yang berbunyi sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang untuk membuat atau mencantumkan klausula baku

pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen.

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang

yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

(33)

oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya.

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap bara

yang dibeli konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya

sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya

sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen

atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

undang-undang ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal

hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula

baku didalamnya, wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUPK tersebut.

Konsekuensi atas pelanggaran Pasal 18 UUPK adalah batal demi hukum pada

perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula sevarability of provisions

atau severability clause yaitu “persyaratan dalam perjanjian yang menyatakan bahwa setiap pasal dari perjanjian merupakan pasal-pasal yang berdiri sendiri (

independent), sehingga seandainya pengadilan membatalkan salah satu

persyaratan perjanjian, maka persyaratan-persyaratan yang lain akan tetap

(34)

umumnya menegaskan apabila satu atau beberapa ketentuan yang dinyatakan

batal, maka terhadap klausul yang dinyatakan batal dianggap tidak pernah ada.

Namun sepanjang tidak terkait dengan substansi klausul yang dibatalkan serta

masih memungkinkan untuk dilaksanakan, maka sisa kontrak yang ada dinyatakan

masih berlaku, maka dalam hal ini yang batal demi hukum hanyalah klausula

yang bertentangan dengan Pasal 18 saja.118

Ketentuan pencantuman klausula baku sebagaimana diatur dalam Bab V

Pasal 18 UUPK dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara

dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.119Pada

prinsipnya, Pasal 18 UUPK tidak menghambat pelaku usaha dalam menjalankan

aktivitas ekonomi mereka, hanya saja UUPK membatasi penggunaan perjanjian

kontrak baku yang menimbulkan ekses negatif bagi konsumen yang berdampak

pada kerugian yang diderita konsumen.

Selain peraturan-peraturan diatas, dalam KUH Perdata juga memberi

batasan terhadap penggunaan perjanjian kontrak baku meski tidak secara tegas

disebutkan, adapun Pasal-Pasal dalam KUH Perdata yaitu Pasal 1493 KUH

Perdata: “kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan

istimewa memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh

undang-undang ini; bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si

penjual tidak akan diwajibkan menanggung apapun dan Pasal 1494 KUH

118Riswan Hanafiah Harahap, “Perbandingan Hukum Belanda dengan Hukum Indonesia

Terkait dengan Hukum Perikatan”,

http://riswanhanafiah.blogspot.com/2016/perbandingan-hukum-belanda-dengan-hukum-indonesia-terkait-dengan-hukum-perikatan(di akses pada tanggal (30 November 2015).

119Yusuf Shofie,Kapita Selekta Hukum Pelindungan Konsumen di Indonesia

(35)

Perdata:meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung

apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari

sesuatu perbuatan yang dilakukan olehnya; segala persetujuan yang bertentangan

dengan ini adalah batal.”

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dapat diabstraksikan bahwa perjanjian

kontrak baku diperkenankan oleh KUH Perdata untuk dipergunakan dalam dunia

perdagangan barang dan jasa (vide Pasal 1493) sesuai asas kebebasan berkontrak,

namun dalam hal penggunaan nya bukannya tanpa batas seperti yang terjadi pada

praktik penggunaan perjanjian kontrak baku dewasa ini meski UUPK sudah

efektif sekalipun.120 Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan sebagai batasan

dalam penggunaan perjanjian kontrak baku terutama yang berkaian dengan asas

itikad baik dan asas keseimbangan. Dengan hadirnya pasal-pasal tersebut maka

terjadi pembatasan dan pengontrolan terhadap penggunaan perjanjian kontrak

baku tersebut agar tidak merugikan pihak lainnya terutama pihak yang

mempunyai kedudukan yang lemah.

120

Referensi

Dokumen terkait

menjadi negara-negara Arab independen. Hal itu bermula dari dialektika inteligensia 19 yang mendapat tantangan hebat dari penetrasi lempengan sejarah menarik yang menyedot

Berdasarkan bentuk dan sifatnya, data penelitian dapat dibedakan dalam dua jenis yakni data kualitatif (yang berbentuk kata-kata atau kalimat) dan data kuantitatif

strategi adaptasi yang dilakukan adalah dengan cara meninggikan pondasi rumah dari bahan bangunan seperti batu, semen dengan perkiraan ketinggian banjir rob

Melakukan berbagai macam penelitian khususnya dibidang pengembangan pengetahuan dan pendidikan yang bermamfaat bagi semua pihak yang terlibat didalamnya dan melakukan pembinaan

Berdasarkan hasil analisa mineralgrafi yang didukung analisa x-ray mapping dan ditampilkan secara tampilan spectro electron microscpe, dapat dikatakan bahwa contoh-contoh

Pada kasus ini pemberi gadai telah memberikan uang untuk menebus tanah gadai tersebut tetapi penerima gadai menolaknya. Hal ini telah melanggar hukum yang mana si

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan

[r]