TUGAS KEWARGANEGARAAN
PERS DI NEGARA LAIN
HIDAR FATHUR RIZKY
XII IPA 1
Absen 19
SMAN 54 JAKARTA
Jumat, 21 November 2014
PERS DI REPUBLIK SINGAPURA
a) Koran dan percetakan menekan act
Tidak ada surat kabar yang dapat dicetak atau diterbitkan tanpa seijin NPPA. NPPA menyatakan bahwa perusahaan ssurat kabar yang menjadi perusahaan public harus memiliki dua kelas saham, yaitu saham biasa dana saham. Undang-undang fitnah, melarang pemfitnahan walaupun apa yang dikatan tidak jelas. Setiap perbiatan, pembicaraan, dan publikasi dilarang jika terkandung didalamnya fitnah.
Official Secrets Act (OSA) pada dasarnya adalah melarang pengungkapan informasi atau dokumen resmi. Internal Security Act (ISA) adalah undang-undang yang memungkinkan melakukan penahanan tanpa melalui pengadilan. Essential Power Act adalah undang-undang perusahaan yang berkaitan dengan pers. Secara khusus ini undang-undang ini berada di bawah pengawasan departemen pertahanan.
Berdasarkan empat teori milik Siebert, sistem media massa yang dimiliki oleh Singapura masuk dalam sistem pers otoritarian. Hal ini terlihat dalam pemerintahan yang sangat mengintervensi media massa dalam segala hal, baik dalam penerbitan, perizinan, hingga pemberitaan.
Apabila dilihat dari teori media milik Robert Picard, singapura menganut sistem media massa berkecenderungan otoriter. Otoritarian terlihat dari intervensi-intervensi yang dilakukan pemerintah sedangakan komunis terlihat dari kepemilikan-kepemilikan serta keterlibatan satu partai yang sangat berpengeruh, yaitu PAP.
Berdasarkan penjabaran diatas, saya mengambil serta memilih bahwa diantara teori-teori yang ada, yang paling berkenaan dengan sistem media massa di Singapura adalah “Sistem Media Massa Social Authoritarian”. hal ini disebabkan karena pihak swasta bisa memiliki modal atau saham akan tetapi pengontrolan kuat tetap saja tejadi, ini di tunjukkan apabila terdapat pemindah tanganan, pengeluaran serta serta pengesahan saham harus sepengetahuan pihak pemerintah
PERS DI DIRAJA MALAYSIA
Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (Malaysian Communications and Multimedia Commission), MCMC adalah badan kepengurusan industri komunikasi dan multimedia di Malaysia. Ketika diasaskan, tujuan utamanya ialah untuk mengawal urusan industri telekomunikasi dan multimedia berdasarkan kuasa-kuasa yang diberi menurut Akta Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (1998) dan Akta Komunikasi dan Multimedia (1998).
Stasiun televisi milik Diraja Malaysia :
 Radio Televisyen Malaysia : RTM 1, RTM 2, RTM i (siaran percobaan), King Malaysia TV Stasiun televisi swasta
 Stasiun TV swasta gratis: (Media Prima Berhad). TV3, NTV7, 8TV, TV9, Vision Four Media Group, MetroVision (telah berhenti beroperasi)
Stasiun TV satelit dan kabel :
 Astro, MiTV, Fine TV, Jia Yu Channel, Shining Star Channel, SR TV Channel, Bernama TV di Astro Kanal 502 (1st Phase), Mega TV (telah berhenti beroperasi) Stasiun TV di internet
 Cyberjaya.tv, Malaysianweb.tv, Malaysia.tv, Stasiun TV partai politik
 umno.tv, PAS.tv, Malaysiakini.tv, wtv8.tv Mobile Television
 Maxis TV, D'Channels dari Digi
Hubungan pemerintah dengan media di negara Malaysia sangatlah berkesinambungan. Terbukti bahwa peran Media harus memberitakan bagi rakyat Malaysia hal-hal yang positif saja dan berguna bagi perkembangan negara. Media sangatlah terkontrol oleh pemerintah dalam pelaksanaannya. Di jantung dari Malaysia otoriter reputasi adalah menekan Percetakan dan Publikasi Act of 1984, yang mewajibkan semua Publikasi untuk mendapatkan lisensi yang akan dapat dicabut oleh Menteri Dalam Negeri. Di jantung dari Malaysia otoriter reputasi adalah menekan Percetakan dan Publikasi Act of 1984, yang mewajibkan semua publikasi untuk mendapatkan lisensi yang dapat dicabut oleh Menteri Dalam Negeri. Dari keputusan Menteri yang terakhir, dan tidak ada yudisial review. Dari keputusan menteri yang terakhir, dan tidak ada yudisial review.
Di Malaysia kepemilikan pers dikuasai oleh partai nasional yang menggenggam status quo selama berdekade, pers sebagai komponen vital kontrol sosial berperan aktif melakukan pengawasan terhadap sistem politik, hukum, keadilan, penegakan hak asasi, dan sebagainya. Di Malaysia karena pers dikekang dan diatur ketat oleh pemerintah yang berkuasa. Peran utama pers yaitu kontrol sosial hampir tidak pernah dijalankan oleh pers Malaysia.
Lewat pers, salah satu nilai yang dijunjung demokrasi dipenuhi, yakni kebebasan menyampaikan pendapat. Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Karena itu, orang banyak berharap dari demokrasi.Dalam melihat kecendrungan tersebut, dapat disimpulkan sistem pers di Malaysia menganut sistem teori pers Otoritarian, dimana pemerintah dapat menekan media massa yang ada di negaranya.
media massa. Jika pemberitaan tidak sejalan dengan pemerintah, maka izin penerbitan dapat dicabut tanpa alasan yang jelas atau melalui proses hukum.
PERS DI REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK
Jaringan komunikasi di China hampir seluruhnya merupakan usaha partai atau Negara secara resmi, di mana isi dan pengelolaannya dikendalikan oleh para pengusasa elite pusat. Masyarakat hanya diberitahu tentang hal-hal yang menurut elite politik itu perlu, pesan yang saling bersaing dan berlawanan tidak mendapatkan tempat dalam jaringan semacam ini. Gaya komunikasi publik ini bersifat mendidik dan system komunikasi memainkan peran penting dalam pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
China menganut system pers otoriter.
Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak tersebut tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa. Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa. Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan ke-empat ( Fourth estate ) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa. Ketakutan terhadap pers ini dimiliki juga oleh para elite penguasa di China.
Sehingga pers digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan politik mereka. Dari sini pemerintah dan elite penguasa di China mengambil tindakan dengan melakukan control kepada pers karena pers dapat menciptakan integritass social karena pers mampu menyatukan individu menjadi kesatuan khalayak besar juga kemampuannya untuk menyajikan seperangkat nilai, ide, informasi dan persepsi yang sama kepada setiap orang.
Penyensoran pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman (seperti pembredelan perusahaan penerbitan pers) khususnya yang berlaku bagi hal-hal yang politis. Bentuk penterapan dan pengungkapan teori otoriter sangat beragam, melalui perundangundangan, pengendalian produksi secara langsung, kode etik yang diberlakukan, pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya, dan pengendalian impor media.
Selain itu wartawan asing di China juga dibatasi ruang geraknya. Mereka seringkali menghadapi berbagai macam kesulitan saat melakukan peliputan, seperti visa masuk ditolak, berita disensor, bahkan penculikan dan dipenjara. Keberadaan wartawan-wartawan asing di China rupanya belum seratus persen aman. Berbagai hambatan berupa sensor dan kurangnya kebebasan pers membuat China menjadi medan yang
terjal bagi para wartawan asing.
teater, film, penyiaran dan radio yang bila dibandingkan persentasenya lebih besar dari pada terhadap surat kabar dan buku
Kaum komunis China berusaha keras untuk membatasi penggunaan kekuasaan birokrasi. Sekalipun mereka mengakui perlunya hirarkhi organisasi yang diatur secara sentral, mereka berusaha agar birokrasi tanggap terhadap pengawasan yang dilakukan oleh penguasa politik ( PKC ) dan menjaga agar struktur birokrasi tetap sederhana dan efisien. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa system pers yang otoriter juga dipengaruhi
oleh system Politik di China.
PERS DI THAILAND
Di Thailand menganut sistem penyiaran Libertarian Theories. Yang manapenekanannya adalah pada kebebasan media, dan selalu dikontrol pemerintah. Meskipun kebebasannya ada pada media namun terdapat juga beberapa peraturan, pembatasan dan tindakan pemerintah dalam mengambil bagian mempublikasikan informasi sehingga wartawan dan masyarakat tidak memiliki kebebasan berpendapat dan mengritik pemerintah.
Peran media cetak dan kebebasan pers di Thailand secara historis telah dipengaruhi oleh raja tertentu yang berkuasa dan sejak 1932, oleh para pemimpin kudeta dan politisi yang memegang kendali pemerintahan. Pada tahun 1955 pemerintah militer merasa cukup aman untuk mendukung “demokrasi terbatas” dan memungkinkan orang untuk mengkritik rezim. Pers menanggapi dengan kritik vokal parah dan serangan verbal terhadap pemerintah. Ketika pemilu gagal untuk menciptakan pemerintahan parlementer stabil, percobaan negara dengan demokrasi berakhir pada tahun 1958. Pemerintah melarang partai politik, kritikus dipenjara termasuk siswa, guru, pemimpin buruh, jurnalis, dan anggota parlemen liberal. Sebuah sedikitnya selusin surat kabar ditutup.
Seiring berjalannya waktu pers di Thailand mengalami perubahan-perubahan kebijakan dari yang memegang kekuasaan di negara tersebut. Pers mengalami goncangan-goncangan sehingga kebebasan berpendapat dicabut dan pers dilarang mengritik pemerintah. Apabila pers kedapatan mengkritik atau mencemarkan nama baik raja maka akan dihukum seberat-beratnya. Kebebasan pers sepenuhnya dipegang oleh monarki atau pemerintah militer. Pemerintah militer sewenang-wenang mencabut hak-hak dasar ini masyarakat Thailand, diantaranya melarang perbedaan pendapat, menangkap para demonstran, menutup ratusan radio komunitas, dan membatasi penyiaran.