• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM KAJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM KAJI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM: KAJIAN

TEMATIK AL-QURAN DAN HADITS

Nurul Amin, M.Ag

nurulamin@staim-tulungagung.ac.id

Ketua STAI Muhammadiyah Tulungagung Jawa Timur Indonesia

www.staim-tulungagung.ac.id

(Disampaikan pada Seminar Konfederasi Pembangunan Kedamaian Masyarakat Thailand Selatan)

Pendahuluan

Manusia diciptakan oleh Allah Swt. ke muka bumi ini sebagai khalifah (pemimpin), oleh sebab itu manusia tidak terlepas dari perannya sebagai pemimpin yang merupakan peran sentral dalam setiap upaya pembinaan. Hal ini telah banyak dibuktikan dan dapat dilihat dalam gerak langkah setiap organisasi. Peran kepemimpinan begitu menentukan bahkan seringkali menjadi ukuran dalam mencari sebab-sebab jatuh bangunnya suatu organisasi. Dalam menyoroti pengertian dan hakekat kepemimpinan, sebenarnya dimensi kepemimpinan memiliki aspek-aspek yang sangat luas, serta merupakan proses yang melibatkan berbagai komponen di dalamnya dan saling mempengaruhi.

Tugas yang pokok manusia adalah beribadah kepada Allah Swt. serta menjadi khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah Allah, maka kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Untuk itu kita harus tahu tentang bagaimana hakekat memimpin dan kepemimpinan itu yang tercantum dalam al-Quran dan penjelasan Rasululloh dalam kumpulan hadits-haditsnya.

Kalau kita mendengar perkataan kepemimpinan dalam Islam biasanya

asosiasi pertama terarah pada “kepemimpinan tertinggi bagi umat Islam” yang

(2)

khilafah yaitu “Penggantian (tugas) kenabian untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia”.

Dari kepemimpinan tertinggi ini, kemudian berkembang ke seluruh aspek kehidupan manusia, sampai ke kelompok yang paling kecil, keluarga dan individunya. Dalam hal ini, sudah barang tentu kita tidak akan membahas masalah khalifah, suksesi pimpinan nasional dan sebagainya, akan tetapi kita hanya akan mempelajari secara sepintas bagaimana mestinya kalau kita kebetulan diserahi tugas untuk memimpin suatu lembaga atau organisasi.

Oleh karena itu, yang perlu kita ketahui adalah sifat-sifat pemimpin tersebut, sehingga kita dapat meneladaninya atau memudahkan kita untuk memilih seorang pemimpin.

Al-Quran Berbicara tentang Kepemimpinan



















































































)

۶رق۵لا

۠ :

۳

(

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata

Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu, dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman,”Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”(al-Baqarah:30).1

Allah Ta’ala memberitahukan ihwal pemberian karunia kepada Bani

Adam dan penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di al-Mala’ul A’la, sebelum mereka diadakan. Maka Allah berfirman, “Dan ingatlah

ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.” Maksudnya, hai

Muhammad, ceritakanlah hal itu kepada kaummu. “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Yakni, suatu kaum yang akan menggantikan

satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana

1

(3)

Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikanmu sebagai khalifah-khalifah

di bumi.” (al-Faathir: 39).

Abdur Razaq, dari Muammar, dan dari Qatadah berkata berkaitan

dengan firman Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi orang

yang akan membuat kerusakan padanya.” Seolah-olah Allah memberitahukan kepada para malaikat bahwa apabila di bumi ada makhluk, maka mereka akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah disana. Perkataan malaikat ini bukanlah sebagai bantahan kepada Allah sebagaimana diduga orang, karena malaikat disifati Allah sebagai makhluk yang tidak dapat menanyakan apa pun yang tidak diizinkan-Nya. Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya

ihwal keadaan penciptaan Adam. Maka malaikat berkata, “Mengapa Engkau

hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan

padanya?” Ibnu Jarir berkata, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Sesungguhnya

malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya ihwal hal itu setelah diberitahukan kepada mereka bahwa khalifah itu

terdiri atas keturunan Adam. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?” Sesungguhnya

mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan.

Pertanyaan itu bersifat meminta informasi dan mencari tahu ihwal

hikmah. Maka Allah berfirman sebagai jawaban atas mereka, “Allah berkata, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” yakni Aku

mengetahui kemaslahatan yang baik dalam penciptaan spesies yang suka melakukan kerusakan seperti yang kamu sebutkan, dan kemaslahatan itu tidak kamu ketahui, karena Aku akan menjadikan diantara mereka para nabi, rasul, orang-orang shaleh, dan para wali.2

Kesimpulannya, para malaikat jelas ingin mengetahui hikmah yang terkandung dari penciptaan makhluq jenis manusia, karena jenis ini akan

2

(4)

melakukan pertikaian selama di dunia. Para malaikat ingin pula mengetahui rahasia yang mengakibatkan Allah mengesampingkan mereka (malaikat) yang hanya bertasbih dan mensucikan-Nya. Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka bahwa Allah telah menganugerahi manusia ini suatu rahasia yang tidak pernah diberikan kepada malaikat.3





























































Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya, Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(al-An’am: 165)4

Sebagai penutup dari surat al-An’am, Allah mengingatkan bahwa Allah telah menjadikan kalian sebagai penguasa di atas bumi, yang telah menggantikan umat dan masyarakat yang sebelummu, juga Allah telah mengangkat sebagian dari kamu beberapa derajat, setingkat dari yang lain, kekuasaan dan ketinggian derajat itu tidak lain Allah akan menguji kalian, bagaimana menerima, mempergunakan dan mensyukuri pemberian Tuhanmu itu.5

Sesungguhnya Tuhanmu, Dia adalah Tuhan Segala sesuatu. Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi ini setelah lewat umat terdahulu, yang dalam perjalanan mereka terdapat pelajaran bagi orang yang ingat dan memperhatikan. Demikian pula Dia telah mengangkat sebagian kamu atas sebagian lainnya tentang kekayaan, kekafiran, kekuatan, kelemahan, ilmu, kebodohan, agar Dia menguji kalian tentang apa yang Dia berikan kepadamu. Artinya supaya dia memperlakukan kamu sebagai penguji terhadapmu pada semua itu lalu dia berikan balasan atas amalmu. Sebab telah menjadi

3Ahmad Musthofa al-Maraghi, TerjemahTafsir al-Maraghi (Semarang: Karya Toha Putra, 1992), 134.

(5)

Nya bahwa kebahagiaan manusia secara individual maupun kelompok di dunia maupun di akhirat, atau kesengsaraan mereka di dunia dan akhirat, tergantung pada amal dan tindakan mereka.

Untuk membuktikan bahwa bukan manusia yang melakukan reaksi itu,

Allah sekali lagi menjelaskan, “Dia meninggikan sebagian kamu dari sebagian

(yang lain) beberapa derajat.” Yakni karena adanya kekhalifahan itu kita menjadi tidak sama, kita menjadi berbeda.

Dia Yang Maha Kuasa itu berkehendak agar kita saling melengkapi dalam bakat dan kesempurnaan, karena kalau manusia semua persis sama dalam bentuk yang berulang-ulang, maka kehidupan akan binasa, sebab kebutuhan hidup manusia beragam. Ayat ini ditutup dengan menyebut satu sifat Allah yang berkaitan dengan siksa-Nya, yaitu amat cepat siksa-Nya, terhadap orang musyrik, namun tetap Maha Pengampun terhadap

orang-orang mu’min yang mau bertaubat, dan Maha Pengasih terhadap orang-orang

mu’min yang baik. Sebab rahmat Allah melebihi murka-Nya dan meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu Dia menjadikan balasan atas kebaikan sampai berlipat-lipat. Bahkan lebih dari itu, terkadang melipat gandakan pahala kebaikan berlipat kali banyaknya bagi orang yang Dia kehendaki. Namun, balasan atas keburukan Dia jadikan hanya berupa keburukan semisalnya, dan Dia mengampuni orang yang bertaubat dari keburukan tersebut. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pemberi pertolongan.



























































































)

ص

:

٦٢

(

6

Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan diantara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan

6

(6)

Allah, sungguh orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S Shaad: 26).7

Ini adalah pesan dari Allah Swt. kepada para penguasa agar memberikan keputusan diantara manusia dengan kebenaran yang telah diturunkan dari sisi-Nya. Jika menyimpang, mereka sesat dari jalan Allah. Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang yang sesat dan melupakan hari perhitungan suatu siksa yang amat pedih.8

Terdapat persamaan antara ayat yang berbicara tentang Nabi Daud as. diatas dengan ayat yang berbicara tentang pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah. Kedua tokoh tersebut diangkat Allah menjadi khalifah di bumi dan keduanya diberi pengetahuan. Keduanya pernah tergelincir dan keduanya memohon ampun lalu diterima permohonannya oleh Allah. Sampai disini kita dapat memperoleh dua kesimpulan. Pertama, kata khalifah digunakan al-Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Nabi Daud mengelola wilayah Palestina dan sekitarnya, sedangkan Nabi Adam secara potensial atau aktual mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan. Kedua, seorang khalifah berpotensi bahkan secara aktual dapat melakukan kekeliruan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.9























































“Katakanlah (Muhammad),”Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Ali Imron: 26).10

7

Ahmad Hatta, Tafsir Quran Perkata (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), 454.

8

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 69.

9

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 133.

10

(7)

Asbabun Nuzul:

Pada suatu hari Rasulullah berjanji kepada para sahabat bahwa suatu saat nanti kerajaan Persia dan Romawi bakal ditaklukkan oleh umat Islam. Maka orang-orang munafik mengejek dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah tidak mungkin dan jauh dari nalar.11 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah Saw. memohon kepada Allah Swt. agar raja Romawi dan Persia menjadi umatnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai tuntunan dalam berdoa mengenai hal itu.12

Ayat ini mengandung peringatan dan bimbingan untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada umat ini berupa pengalihan kenabian dari tangan Bani Israel kepada seorang nabi yang berbangsa Arab, suku Quraisy, dan orang Mekah; sebagai penutup seluruh nabi dan rasul, yang diutus kepada manusia dan jin, yang diberi beberapa keistimewaan yang tidak diberikan kepada seorangpun dari nabi dan rasul sebelumnya dari golongan manusia di seantero alam ini; dan yang mengunggulkan agama dan syariatnya atas agama dan syariat nabi lainnya.13

Maksudnya bahwa Allah adalah Tuhan kami yang Maha Suci yang kekuasaan hanya milik-Nya dan pengaturan yang sempurna di dalam mengatur segala perkara serta menegakkan keseimbangan sunatulloh terhadap alam semesta. Engkau memberikan kekuasaan kepada hamba-Mu yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki.14

Allah berkuasa sepenuhnya dalam mengatur segala urusan dan menegakkan keseimbangan tatanan umum alam semesta ini. Engkaulah yang memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dari hamba-hamba-Mu. Hal itu, kadang mengikuti derajat kenabian, seperti yang dialami oleh

11

Bishri Musthofa, Tafsiral-Ibriz (Kudus: Menara Kudus, tt), 129.

12

K.H.Q. Shaleh, Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 2007), 96.

13

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 501.

14

(8)

keluarga Nabi Ibrahim, dan ada kalanya berdiri sendiri sesuai dengan kebijaksanaan sunnah-sunnah Allah yang menuntut ke arah itu, dan mengikuti aspek-aspek sosial yang yang terdiri dari kabilah dan bangsa-bangsa.

Dan Engkau mencabut kerajaan dari tangan orang yang Engkau kehendaki melalui pemberontakan rakyat dari jalan wajar yang bisa memelihara kelestarian kerajaan, yaitu jalan keadilan, kebaikan dalam mengatur politik, dan menyisipkan kekuatan semaksimal mungkin. Hal itu, sebagaimana Allah mencabutnya dari Bani Israel dan lainnya lantaran kezhaliman dan kerusakan mereka sendiri.15

Dari beberapa ayat tersebut di atas menjadi jelas, bahwa konsep khalifah dimulai sejak Nabi Adam secara personil yaitu memimpin dirinya sendiri, dan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam juga mencakup memimpin dirinya sendiri yakni mengarahkan diri sendiri ke arah kebaikan. Disamping memimpin diri sendiri, konsep khalifah juga berlaku dalam memimpin umat, hal ini dapat dilihat dari diangkatnya Nabi Daud sebagai khalifah. Konsep khalifah di sini mempunyai syarat antara lain, tidak membuat kerusakan di muka bumi, memutuskan suatu perkara secara adil dan tidak menuruti hawa nafsunya. Allah memberi ancaman bagi khalifah yang tidak melaksanakan perintah Allah tersebut.

Hadits Berbicara tentang Kepemimpinan

١

-

Pemimpin adalah bayangan Allah Swt. di muka bumi. Kepadanya berlindung orang-orang yang teraniaya dari hamba -hamba Allah, jika ia berlaku adil maka baginya ganjaran, dan bagi rakyat hendaknya bersyukur. Sebaliknya apabila ia curang (dhalim) maka niscaya dosala h baginya dan rakyatnya hendaknya bersabar. Apabila para pemimpin curang maka langit tidak akan menurunkan

15

(9)

berkahnya. Apabila zina merajalela, maka kefakiran dan kemiskinan pun akan merajalela. (H.R. Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).

Dari hadits di atas Yahya mengartikan bahwa kata “bayangan Allah Swt.” mengisyaratkan bahwa pemimpin adalah perwakilan Allah Swt. di muka bumi ini. Dan mengisyaratkan bahwa pemimpin harus selalu dekat kepada Allah. Kata

“rakyat hendaknya bersyukur” menurutnya bahwa wujud pemimpin yang adil adalah nikmat Allah Swt. yang patut untuk disyukuri. Dan kata “rakyat hendaknya

bersabar” mengisyaratkan bahwa kelak akan muncul pemimpin yang tak bisa

untuk memimpin.

Sebaik-baik pemimpin diantara kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakannya dan merekapun mendoakan kalian, dan seburuk-buruknya pemimpin diantara kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknatnya dan merekapun melaknat kalian. (H.R. Muslim dari ‘Auf bin Malik).16

Hadits ini mengisyaratkan bahwa salah satu ciri pemimpin yang baik adalah dicintai dan didoakan rakyatnya, serta ciri pemimpin yang buruk adalah dibenci dan dilaknat oleh rakyatnya. Rasulullah Saw. adalah tauladan bagi umat Islam dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam hal kepemimpinan ini beliau adalah sosok yang mencontohkan kepemimpinan paripurna dimana kepentingan umat adalah prioritas utama beliau. Maka sangat tepatlah apabila kita sangat mengidealkan visi dan model kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.17

٦

-

16

Ahmad Sunarto, Terjemah Riyadhus Sholihin Jilid I (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 604.

17

(10)

Telah menceritakanku Abdulloh ibn Maslamah dari Malik dari Abdulloh ibn Dinar dari Abdulloh ibn Umar bahwa sanya Rasulullah Saw. bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga sua mi dan anaknya dan akan dimintai

pertanggungjawaban atas tugasnya, seorang pembantu adalah

bertanggungjawab atas harta tuannya dan akan ditanya dari tanggungjawabnya, dan kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal kepemimpinannya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).18

Pada dasarnya hadits diatas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Etika yang paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab. Semua orang yang hidup di dunia ini disebut pemimpin. Karenanya sebagai pemimpin mereka memegang tanggungjawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggungjawab terhadap isterinya, anak-anaknya dan seorang majikan bertanggungjawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggungjawab kepada bawahannya, seorang presiden, gubernur, bupati bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya.

Akan tetapi, tanggungjawab disini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggungjawab disini adalah lebih berarti sebuah upaya pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra’a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti penggembala. Ibarat penggembala, maka pemimpin harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggungjawab untuk

18

(11)

mensejahterakan binatang gembalanya. Dalam hadits tersebut mempunyai empat macam arti kepemimpinan, yaitu:

1. Pertama, ro’i. Seorang imam adalah ro’i dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami, isteri, dan pembantu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.

2. Kedua, imam. Artinya pemimpin yang selalu berada di depan. Sehingga dalam terminologi ini, imam adalah pemimpin yang berfungsi sebagai teladan dan sosok panutan yang membimbing bagi orang-orang yang dipimpinnya.

3. Ketiga, khalifah. Secara terminologi artinya pengganti kepemimpinan Rasulullah Saw. Kepemimpinan dalam terminologi khalifah juga berarti

menyiapkan kepemimpinan berikutnya sesuai dengan aturan syari’ah demi

tercapainya kemaslahatan dunia dan ukhrowi.

4. Keempat, amir. Artinya pemerintah, kita wajib menaati seorang pemimpin apapun warna kulitnya, bentuk rupanya, kaya atau miskin, selama pemimpin itu berada dalam bimbingan Allah Swt. Ketaatan kepada pemimpin adalah satu pilar pemerintahan dalam Islam. Umar bin Khattab

berkata, “Tidak ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa amir/pemimpin, dan tidak ada arti pemimpin tanpa kepatuhan.” Seorang

pemimpin memang harus memiliki keistimewaan, cerdas, berakhlaq mulia, dan bermental baja. Namun, itu semua tidak ada artinya tanpa adanya loyalitas dari rakyatnya.19

۳

-

“Dari Mu’qil bin Yasar, ia berkata,”Aku pernah mendengar Rasululloh Saw. bersabda: “Siapapun hamba yang diberi wewenang oleh Allah untuk membimbing rakyatnya, namun kebijakannya tidak mampu menjaga mereka (dari

19

E. Sujana, Visi Pemimpin Masa Depan: Menggagas Politik Berkeadilan (Bandung:

(12)

perbuatan keji) maka kelak dia tidak akan mendapatkan bau surga.”Disebutkan dalam sebuah riwayat,”Siapapun wali itu yang membawahi rakyatnya yang terdiri dari kaum muslimin kemudian mati, sedangkan pada hari kematiannya itu ia masih menipu rakyatnya niscaya Allah akan mengharamkan surga atasnya.

(H.R Bukhari dan Muslim).20

Rakyat adalah amanat yang berada di tangan pemimpin yang harus ia jaga, harus ia layani, dan harus pula ia berdayakan demi kemaslahatan mereka. Siapapun orang yang oleh Allah diberi wewenang untuk mengatur kehidupan manusia maka ia harus menjaga mereka dengan kebijakannya dan dengan hati yang tulus mengatur mereka, sehingga semua kepentingan mereka tetap terjaga seperti halnya kepentingan dirinya sendiri. Karena ia menuntut untuk diperlakukan secara adil dan apa adanya maka kepada merekapun ia harus berlaku adil dan bermuamalah dengan apa adanya juga. Karena ia mencintai kesehatan, keberhati-hatian, ilmu dan kekayaan maka kepada merekapun ia harus memberlakukan cara hidup yang terjauh dari segala macam penyakit, menjaga mereka dari bahaya yang mengancam, mendirikan pusat-pusat pembelajaran serta menciptakan sarana-sarananya, dan mengalokasikan kekayaannya untuk meningkatkan mutu wiraswasta, mendirikan jaringan perdagangan, dan mengintensifikasi pertanian. Merasa senang karena jiwa, harta dan kehormatannya dalam suasana aman, maka kepada merekapun ia harus menjaga jiwa mereka, memperhatikan harta mereka dan menjamin kehormatan mereka. Tangan-tangam penghancur yang hendak mengacaukan tatanan harus dipukul dengan tangan besi yang tujuannya semata-mata untuk mendidik. Karena senang dirinya diperlakukan dengan santun dan mulia maka ia pun harus berbuat untuk memuliakan, mengangkat dan menyantuni mereka.

Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa orang yang tidak menjaga rakyatnya dengan kebajikannya dan tidak melindungi mereka dengan kata-kata dan amal perbuatannya, tapi justru menjadi seorang hakim yang jatuh martabatnya, wali yang dzalim dan pemimpin yang curang, yang hanya menghiasi bibirnya dengan kemanisan sementara hatinya penuh dengan kebusukan,

20

(13)

menunjukkan kesungguhan kepada masyarakat dalam memperjuangkan kemaslahatan sementara di hatinya menyimpan niat-niat yang menghancurkannya, menampakkan diri sebagai seorang yang ahli ibadah dan berpantang terhadap segala kekejian namun dibalik itu semua kenyataannya bahwa ia adalah seorang penipu dan musuh yang licik, bila tidak ia hentikan sampai kematian menjemputnya, maka Allah akan mengharamkan surga atasnya bahkan tidak akan mencium baunya yang merebak kemana-mana itu; tempatnya adalah di neraka; bahwa orang-orang yang dzalim itu tidak akan mendapatkan satu penolong pun. Ini adalah sebuah ancaman yang sangat keras dan adzab yang pedih. Sesungguhnya, semua itu benar adanya, memenuhi persyaratan hukum dan merupakan keputusan yang adil. Orang yang menipu beribu-ribu bahkan berjuta-juta orang, membuat mereka terhina selama berpuluh-puluh tahun dan menghalangi mereka untuk menikmati kehidupan dunia maka ia akan menanggung adzab yang berlipat-lipat; dan sekali-kali tidaklah Rabmu

menganiaya hamba-hambanya.21

Rasulullah Saw. bersabda tentang kepemimpinan: Bahwasanya kepemimpinan adalah suatu amanat. Dan amanat itu pada hari kiamat adalah suatu kesedihan kecuali orang yang mengambil hak dan melaksanakan kewajibannya. (H.R. Muslim).

Apabila kamu menyia-nyiakan amanat, maka tunggulah waktunya, ada sahabat yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang disia-siakan itu?” Nabi menjawab:”Apabila urusan itu diberikan kepada orang yang bukan haknya, maka tunggulah waktunya”. (H.R. Bukhari).22

Sababul Wurud:

21

Abdul Qadir Ahmad Atha, Adabun Nabi (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 243-245.

22

(14)

Kata Abu Hurairah, ketika Rasulullah berada di dalam masjid bercakap-cakap dengan sekumpulan orang, datanglah seorang Arab desa, kemudian ia

bertanya:”Kapan saat (kehancuran) itu datangnya? “Namun Rasulullah meneruskan percakapannya sehingga sebagian mereka berbisik-bisik: ”Beliau mendengar apa yang dikatakan orang itu, tetapi beliau membenci apa yang

ditanyakan kepadanya”. Sebagian mereka mengatakan, bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah selesai percakapannya, Rasulullah bertanya:”Siapa yang

bertanya tentang saat?”. “Ini saya ya Rasulullah”. Sabda Rasulullah:”Jika amanah

hilang, maka nantikanlah saatnya”. Mereka bertanya:”Bagaimana hilangnya?”. Jawab Rasulullah: ”Jika urusan itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya…dan

seterusnya”.

Keterangan:

Khianat terhadap amanah, termasuk menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya. Sehingga timbullah kerusakan-kerusakan di tengah masyarakat. Dan ini merupakan tanda akan dekatnya saat-saat kehancuran.

“Ya Allah, barang siapa yang mengendalikan urusan umatku mengenai sesuatu hal, lalu ia menyulitkan urusan mereka (kasar), maka timbulkan pula kesulitan atas dirinya, dan barang siapa yang mengendalikan urusan umatku suatu hal, lalu mereka memperlakukan dengan lemah lembut, maka perlakukan pula ia dengan lemah lembut”.23

Sababul Wurud:

Ibnu Syamamah masuk ke rumah Aisyah. Lalu istri Rasulullah Saw. itu bertanya: “Dari mana (dari suku apa) kamu berasal? Dia menjawab:”Dari suku (bani) Mudhar. Aisyah bertanya lagi: Bagaimana kesanmu tentang Ibnu Khudaij

dalam peperanganmu? Ia menjawab: “Dia adalah pemimpin yang terbaik. Tetapi

Aisyah mengatakan yang sebaliknya: “Dia tidak mencegahku membunuh saudaraku. Akan aku ceritakan kepadamu apa yang pernah aku dengar dari

23

(15)

Rasulullah Saw.: “Ya Allah, barang siapa yang mengendalikan urusan umatku… dan seterusnya seperti bunyi hadits diatas”.

Keterangan:

Yang mengendalikan urusan umatku (Islam) itu bisa orang-orang yang terkena seruan masuk Islam tetapi menolaknya (ummatul ijabah) atau orang-orang yang memperkenankan seruan dakwah Nabi (ummatul dakwah), karena risalah Rosul adalah sebagai rahmat untuk sekalian manusia, guna mewujudkan keadilan di muka bumi ini. Maka siapa yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam, baik dalam kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala negara atau pemimpin rakyat dalam bidang tugas tertentu, lalu dia bebankan rakyatnya dan menjalankan pemerintahan itu dengan hal-hal yang menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka Nabi mendoakan supaya sang pemimpin itu ditimpa siksa Tuhan. Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertindak dengan lemah lembut (ramah-tamah), maka Nabi mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya. Dialah yang mengendalikan setiap pemimpin yang harus bertanggung jawab kepada-Nya sepanjang yang diketahui oleh pemimpin itu.

Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) kalimat yang benar di hadapan penguasa yang dzalim.

Sababul Wurud:

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili r.a. bahwa seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Saw. ketika ia melontar jumrah pertama. Lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah, apakah jihad yang paling utama? Beliau mendiamkan saja (tidak menjawab). Selesai melontar jumrah kedua, laki-laki itu bertanya lagi seperti tadi. Beliau tetap tidak menjawabnya. Setelah selesai melontar jumrah yang ketiga, laki-laki itu meletakkan kakinya ke dalam kaki

pelana kendaraannya dan siap berangkat. Nabi bersabda:”Mana orang yang

(16)

yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan

penguasa yang dzalim”.

Keterangan:

Menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim itu dipandang sebagai jihad yang paling utama, oleh karena orang yang menyampaikannya itu telah merelakan dirinya menanggung bahaya (resiko) pada jalan yang benar dan ingin mewujudkan kebenaran itu.

Sesungguhnya kamu akan menginginkan sekali pangkat (dalam pemerintahan), dan sesungguhnya kamu akan menyesal dan sedih (karena gila pangkat). Maka sebaik-baiknya adalah wanita yang menyusui dan yang sejaha t-jahatnya wanita yang menyapih.

Sababul Wurud:

Abu Hurairoh menceritakan, aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw:

”Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak mengangkatku untuk memangku suatu

jabatan?” Rasulullah Saw. menjawab seperti bunyi hadits diatas. Keterangan:

Khilafah atau imaroh (jabatan dalam pemerintahan) menimbulkan kesedihan/penyesalan di hari kiamat bagi orang yang menjalankan fungsi khalifah itu dengan mengabaikan (tidak memperdulikan sunah Rasulullah) dan sunah

khulafa’ur rasyidin. Maka nikmatnya menduduki jabatan pemerintahan itu

hanyalah pada permulaannya, yakni di dunia ini, karena dapat memamerkan harta dan pangkat, serta kelezatan kepuasan. Oleh sebab itu disebut dengan kiasan dalam hadits di atas dengan ungkapan”nikmatnya wanita yang menyusui”. Tetapi ketika pangkat itu dilepaskan, waktu itulah dirasakan pahitnya, yaitu ketika datangnya kematian. Rasulullah melukiskan dengan ungkapan “sejahat-jahatnya

wanita yang menyapih”. Disaat yang bersangkutan diperiksa segala perbuatannya

(17)

compang-camping, dan yang teraniaya. Demikian pula diperiksa mengenai harta yang dia peroleh. Untuk apa dibelanjakan, dan bagian-bagian yang berhak memperoleh perbelanjaan (dari negara). Bila ia melaksanakan dengan baik, maka kebaikanlah yang akan diperolehnya. Kalau dia dilalaikan oleh dunia dan selalu sibuk sehingga lupa mengingat akherat, maka keadaannya seperti bayi yang baru lepas dari penyapihan ibunya.

Akan ada setelah aku nanti pemimpin-pemimpin. Janganlah engkau membenarkan kedustaan mereka dan janganlah engkau membantu mereka dalam kedzaliman. Barang siapa membenarkan kedustaan mereka dan membantu kedzalimannya, dia tidak akan sampai ke telaga.

Sababul Wurud:

Diriwayatkan dalam al-Jami’ul Kabir dari Khabab bahwa dia pernah duduk-duduk di pintu rumah Nabi sampai beliau keluar. Kata beliau:

“Dengarlah!”, Jawab kami, “Kami dengar ya Rasulullah!”. Beliaupun bersabda:

“Akan ada setelah aku nanti…….dan seterusnya.”

Barangsiapa dari pemimpin (pemerintah) yang menyuruh kamu mengerjakan maksiat maka janganlah kamu taati perintahnya.

Sababul Wurud:

Abu Said al-Khudry menceritakan: “Kami berada dalam perjalanan ekspedisi militer (sariyah) yang dipimpin Abdulloh ibnu Hudzafah yaitu seorang yang pernah ikut perang Badar. Dalam perjalanan itu kami mengadakan sejenis permainan (du’aabah). Maka kami singgah di suatu tempat. Orang-orangpun bangun dari tidurnya dan mulai menyalakan api unggun. Abu Hudzafah

mengajukan pertanyaan: “Bukankah kalian harus mendengar dan mentaatiku?

(18)

berdiri mendekat ke api unggun tersebut, sedangkan yang lain berusaha mencegahnya, sehingga sebagian mereka menyangka bahwa orang-orang tersebut benar-benar hendak terjun ke dalam api. Maka Abu Hudzafah berteriak:

“Tahanlah (berhentilah), karena sesungguhnya aku hanya ingin bercanda dengan kamu”. Setelah mereka sampai di Madinah mereka ceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka beliau bersabda: Barangsiapa dari pemimpin (pemerintah)

menyuruh kamu…..dan seterusnya.”

Keterangan:

Maksud hadits tersebut adalah barangsiapa para wali (pemimpin) yang memerintahkan berbuat durhaka terhadap agama, maka tidak ada hak bagi pemimpin tersebut untuk ditaati terhadap apa yang dia perintahkan. Tidak ada kewajiban taat terhadap makhluq (manusia) yang menyuruh durhaka kepada Tuhan Sang Pencipta. Allah lebih berhak kamu mencari keridlaan-Nya. Jika kamu mendurhakai Allah maka tiada arti kamu taat kepadaku.

Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah, sedangkan (pekerjaan) itu suatu kepercayaan (amanah), dan sesungguhnya pada hari kiamat karena menyia-nyiakan amanah itu suatu kehinaan dan penyesalan kecuali barangsiapa yang mengambilnya dengan menjalankan haknya dan menunaikan sesuatu (kewajiban) yang terdapat dalam amanah itu.24

Sababul Wurud:

Abu Dzar berkata: “Aku meminta kepada Rasulullah Saw., wahai Rasulullah apakah tiada engkau dapat memberikan suatu pekerjaan (jabatan)?”

Beliau menjawab: Hai Abu Dzar ……dst, hadits di atas. Keterangan:

Hadits tersebut menunjukkan bahwa suatu jabatan/urusan yang diserahkan kepada seseorang (imaroh) merupakan amanah, dan tiada sepatutnya seseorang

24

(19)

menuntut atau mencarinya melainkan jika dia memiliki kecakapan (kesanggupan) melaksanakannya.

Tidak akan memperoleh keberhasilan suatu kaum yang menyerahkan (kepemimpinan) urusannya kepada wanita.

Sababul Wurud:

Dari Abi Bakrah, ia berkata: “Ketika sampai berita kepada Rasulullah bahwa penduduk Persi telah mengangkat Putri Kisra sebagai Raja, Rasulullah

bersabda: Tidak akan memperoleh keberhasilan…..dst.

Keterangan:

Hadits ini menerangkan tentang persyaratan menjadi Hakim atau penguasa yakni harus seorang laki-laki, sebab untuk wanita bukan bidangnya disebabkan banyaknya kekurangan dan kelemahannya. Sebab pemimpin diperintahkan untuk melaksanakan urusan dan kepentingan rakyat dengan penuh ketegasan dan ketegaran. Dia harus berbaur dengan semua jenis dan lapisan, sedangkan wanita punya keterbatasan-keterbatasan. Oleh karena itu wanita tidak dibenarkan menjadi kepala pemerintahan, dan tidak boleh menjadi kepala Hakim (qadli).25

Sifat-Sifat Pemimpin

Sebelum disebutkan sifat-sifat pemimpin, perlu disampaikan disini apa yang pernah disampaikan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah: “Setiap orang yang memegang satu urusan dari kaum muslimin, baik yang telah disebutkan atau lainnya, wajib menempatkan orang-orang yang paling baik (mampu) pada bidang tersebut pada bidang-bidang yang ada di bawahnya.”

Hal ini berdasarkan pada hadits riwayat Imam al-Hakim:

25

(20)

“Barang siapa memegang satu urusan kaum muslimin, kemudian ia mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) padahal dia mendapatkan orang yang lebih maslahat (untuk jabatan itu), maka berarti dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.

Mengenai sifat-sifat atau syarat-syarat pemimpin tertinggi umat Islam banyak sekali uraian para ulama. Misalnya dapat disebutkan disini apa yang disampaikan oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Shulthaniyah

bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang adil, mampu berijtihad, sehat jiwa dan sehat badan, mengutamakan kemaslahatan rakyat, berani dan berjuang untuk memerangi lawan, dan berasal dari keturunan Quraisy.

Sedangkan Imam Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad menulis syarat-syarat pemimpin sebagai berikut:

1. Mampu mengurusi keperluan orang banyak dan membawa mereka kepada petunjuk ilahi.

2. Berilmu dan wara’

3. Memenuhi syarat-syarat qadli 4. Keturunan Quraisy

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa seorang pemimpin haruslah seorang yang berilmu, adil, kecukupan, sehat jiwa dan badan yang dapat mempengaruhi dalam berpikir dan berbuat. Mengenai syarat yang kelima, yaitu berasal dari keturunan Quraisy, para ulama berbeda pendapat.

Kesemuanya itu merupakan syarat-syarat bagi pemimpin tertinggi umat Islam. Demikian pula para pemimpin di bawahnya, tentunya juga memiliki syarat-syarat semacam itu, tetapi tingkatnya di bawahnya ditambah dengan keahlian masing-masing bidang.26

Tugas-tugas Para Pemimpin

26

(21)

Mereka yang mendapat anugrah “menguasai wilayah” diberi berbagai

tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat al-Hajj ayat 41:

























































Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan

(Q.S al-Hajj: 41).

“Mendirikan sholat” adalah lambang hubungan baik dengan Allah, sedangkan “menunaikan zakat” adalah lambang perhatian yang ditujukan kepada masyarakat lemah. “Amar ma’ruf” mencakup segala macam kebajikan, adat istiadat, dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedang nahi ‘an al

munkar adalah lawan dari amr ma’ruf.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, para penguasa dituntut untuk selalu melakukan musyawaroh, yakni bertukar pikiran dengan siapa yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua. Mereka juga dituntut untuk memanfaatkan semua potensi yang dapat dimanfaatkan guna mencapai hasil maksimal yang diharapkan.27

Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam

Menurut Soebagio Atmodiwirio, kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian utama karena melalui kepemimpinan yang baik kita harapkan lahirnya tenaga-tenaga yang berkualitas dalam berbagai bidang, baik sebagai pemikir maupun pekerja. Intinya, melalui pendidikan, kita menyiapkan tenaga-tenaga yang berkualitas, tenaga yang siap latih, dan siap pakai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.28

27

M. Quraish Shihab, Wa wa san al-Quran (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), 429.

28

(22)

Ali Muhammad Taufiq menjelaskan macam-macam sifat kondusif yang harus dimiliki oleh pemimpin sebagai berikut:

1. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mengendalikan. 2. Memfungsikan keistimewaan yang lebih dibanding orang lain (Q.S.

al-Baqarah: 247).

3. Memahami kebiasaan dan bahasa orang yang menjadi tanggung jawabnya (Q.S. Ibrahim: 4).

4. Mempunyai karisma dan wibawa di hadapan manusia atau orang lain (Q.S. Hud: 91).

5. Konsekuen dengan kebenaran dan tidak mengikuti hawa nafsu (Q.S. Shad: 26).

6. Bermuamalah dengan lembut dan kasih sayang terhadap bawahannya, agar orang lain simpatik kepadanya (Q.S. Ali Imron: 159).

7. Menyukai suasana saling memaafkan antara pemimpin dan pengikutnya, serta membantu mereka agar segera terlepas dari kesalahan. (Q.S. Ali Imron: 159).

8. Bermusyawarah dengan para pengikut serta mintalah pendapat dan pengalaman mereka (Q.S. Ali Imron: 159).

9. Menertibkan semua urusan dan membulatkan tekad untuk bertawakkal kepada Allah Swt (Q.S. Ali Imron: 159).

10.Membangun kesadaran akan adanya pengawasan dari Allah (Muraqabah) sehingga terbina sikap ikhlas di manapun, kendati tidak ada yang mengawasi kecuali Allah.

11.Memberikan santunan sosial (takaful ijtima’) kepada para anggota, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang menimbulkan rasa dengki dan perbedaan strata sosial yang merusak (Q.S. al-Hajj: 41).

(23)

13.Tidak membuat kerusakan di muka bumi, serta tidak merusak ladang, dan lingkungan (Q.S. al-Baqarah: 205).

14.Bersedia mendengar nasehat dan tidak sombong karena nasehat dari orang yang ikhlas jarang sekali kita peroleh (Q.S. al-Baqarah: 206).29

Dalam menghadapi kehidupan terbuka abad 21 ini, diperlukan pemimpin yang profesional, yaitu pemimpin yang bukan hanya menguasai kemampuan dan keterampilan untuk memimpin, tetapi juga harus:

1. Dapat mengejawantahkan nilai-nilai Islam di dalam sistem pendidikan Islam, dan

2. Menguasai nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan permintaan zaman.

Profil profesional tersebut berbatas dalam konteks kemampuan sebagai pemimpin. Sementara itu, dalam konteks kemampuan sebagai pengelola, pemimpin yang profesional memiliki tuntutan yang berbeda lagi. Dalam kaitan ini menurut Tilaar, seorang pemimpin profesional tidak hanya harus menguasai visi, misi, serta program-program yang telah disepakati, tetapi juga strategi yang sesuai dengan potensi masyarakat untuk melaksanakan program-program tersebut.

Kemampuan manajerial ini mengharuskan penguasaan sejumlah ilmu pengetahuan manajemen, khususnya manajemen pendidikan. Sedangkan penguasaan strategi harus memperhatikan bahwa suatu strategi yang mantap hanya dapat dilaksanakan di dalam suatu organisasi yang efisien. Maka, seorang pemimpin yang profesional harus menguasai dan mengembangkan struktur organisasi pendidikan Islam yang efisien, sehingga sumber daya yang tersedia baik sumber daya manusia maupun sumber dana serta infrastruktur lainnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.30

Keberhasilan suatu lembaga pendidikan sangat tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah. Karena ia merupakan pemimpin di lembaganya,

29

Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga: 2007), 277-278.

30

(24)

maka ia harus mampu membawa lembaganya kearah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, ia harus mampu melihat adanya perubahan serta mampu melihat masa depan dalam kehidupan global yang lebih baik. Kepala sekolah/madrasah harus bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan semua urusan pengaturan dan pengelolaan sekolah secara formal kepada atasannya atau secara informal kepada masyarakat yang telah menitipkan anak didiknya. Kepala sekolah sebagai seorang pendidik, administrator, pemimpin, dan supervisor, diharapkan dengan sendirinya dapat mengelola lembaga pendidikan ke arah perkembangan yang lebih baik dan dapat menjanjikan masa depan.31

Khasanah Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam 1. Kepemimpinan Umar bin Abdul Azis

Umar bin Abdul Azis dilahirkan di Hulwan, nama sebuah desa di Mesir. Ayahnya, Marwan pernah menjadi gubernur di wilayah itu. Dia dilahirkan pada tahun 61 H, ada juga yang menyatakan 63 H. Ibunya bernama

Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin al-Khattab.32

Umar bin Abdul Azis adalah salah seorang khalifah Bani Umayyah yang memimpin pemerintahan hanya dua tahun lima bulan (717-720 M). Meskipun memerintah dalam tempo yang singkat, pada masanya kondisi masyarakat aman, tentram dan sangat makmur. Sang khalifah sangat bijaksana dan hidup secara sederhana meskipun kekayaan negara berlimpah. Ia mengamalkan ajaran-ajaran Islam, baik secara pribadi di tengah kehidupan keluarga maupun dalam memimpin negara. Dalam suatu kisah disebutkan bahwa ia memadamkan lampu yang dibiayai negara hanya karena yang dibicarakan dengan anaknya tidak ada hubungannya dengan kepentingan negara.

Umar bin Abdul Azis memiliki karakter mental yang terpuji. Jabatan yang ia sandang bukanlah sesuatu yang dipuja-puja karena ia tidak

31Marno dan Trio Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam (Bandung: Refika Aditama, 2008), 33.

(25)

mengharapkan sebelumnya. Bahkan ketika Sulaiman, khalifah sebelumnya yang menyerahkan tahta kekhalifahan kepadanya memberi mandat, dia ingin sekali menolak. Tetapi penolakannya tidak dapat diterima karena masyarakat tetap menghendaki agar Umar menduduki jabatan tersebut. Oleh karena itu,

ketika jabatan itu “terpaksa” diterima, ia memikulnya dengan penuh tanggung jawab tanpa merasa terbebani. Umar menyakini bahwa apa yang ditanggung sekarang adalah amanat yang harus dijalankan sebagaimana mestinya.

Pemerintahannya yang dipenuhi dengan kebijakan-kebijakan yang menentramkan masyarakat membawa konsekuensi kepatuhan masyarakat yang tulus. Demikian juga kemampuannya memberikan motivasi spiritual yang disertai contoh yang kongkret dalam tindakan semakin mengukuhkan kepribadiannya yang amat terpuji. 33

Umar bin Aziz berkata,”Jika mampu, jadilah kalian orang alim; jika tidak mampu, jadilah penuntut ilmu; jika tidak mampu, jadilah pecinta ulama;

jika tidak mampu, janganlah kalian membenci ulama.” Umar bin Abdul Aziz

juga berkata,”Allah Swt. Akan memberikan kepada seseorang jalan keluar jika dia menerima ilmu.”

Suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengutus Yazid bin Abi Malik dan Harits bin Muhammad ke tengah kampung untuk mengajarkan sunnah kepada rakyat. Umar memberi mereka gaji. Yazid menerimanya dan al-Harits tidak

menerimanya seraya berkata,”Aku tidak mau mengambil gaji dari ilmu yang

diajarkan Allah kepadaku.” Hal itu disampaikan kepada Umar bin Abdul

Aziz, lalu ia berkata,”Setahuku, apa yang dilakukan Yazid tidak apa-apa dan semoga Allah memperbanyak orang semisal al-Harits pada kita.”34

2. Kepemimpinan Pendidikan K.H. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA

Abdullah Syukri Zarkasyi dilahirkan di Desa Gontor pada tanggal 19 September 1942. Beliau putra pertama K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985),

33Ahmad Kholil, Konsep Pemimpin Ideal dalam Syi’ir Madah Jarir dalam Jurnal el-Qudwah Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang No. 4, Edisi April 2010, 161.

(26)

salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. Abdullah Syukri Zarkasyi memulai pendidikannya di SR, KMI Pondok Modern Gontor, kemudian meneruskan kuliah di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta sampai memperoleh gelar sarjana muda (BA). Lalu meraih gelar Lc dan MA di Fakultas Adab Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.

Kyai Syukri bukan hanya dikenal sebagai seorang pimpinan pondok modern Gontor yang sangat disegani di dalam negeri dan luar negeri, melainkan juga sebagai seorang cendekiawan muslim yang sangat akrab serta mengerti lika-liku dan tradisi kehidupan pesantren. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa beliau juga seorang enterpreuner dan manajer handal yang mampu mengelola pesantren besar Pondok Modern Darussalam Gontor beserta cabang-cabangnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Tidak hanya itu, bagi sejumlah kalangan beliau adalah seorang tokoh pesantren yang mampu menjelaskan peran dan kiprah alumninya dalam mengembangkan kemandirian, kepemimpinan, dan dasar-dasar persaudaraan Islam sebagai modal dalam menyatukan umat Islam di seluruh dunia.35

35

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi. Asbabul Wurud. Jakarta: Kalam Mulia, 2008.

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Terjemah Tafsir al-Maraghi. Semarang: Karya Toha Putra, 1992.

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar Ihya’ wal Turots al

-‘Azali, tt.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

As-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa’, Terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Atha, Abdul Qadir Ahmad. Adabun Nabi. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992. Atmodiwirio, Soebagio. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Ardadizya

Jaya, 2000.

Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan al-Quran. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Hakam, Abdullah bin Abdul. Biografi Umar bin Abdul Aziz. Jakarta: Gema Insani Pers.

Hatta, Ahmad. Tafsir Quran Perkata. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.

Kholil, Ahmad. Konsep Pemimpin Ideal dalam Syi’ir Madah Jarir dalam Jurnal el-Qudwah Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang No. 4, Edisi April 2010.

Marno dan Trio Supriyatno. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. Bandung: Refika Aditama, 2008.

Marzuqi, Asyhari. Wawasan Islam. Yogyakarta: LP2M Nurul Ummah, 1998. Musthofa, Bishri. Tafsiral-Ibriz. Kudus: Menara Kudus, tt.

Shaleh, K.H.Q. Asbabun Nuzul. Bandung: Diponegoro, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2003. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan Pustaka, 2007. Sunarto, Ahmad. Terjemah Riyadhus Sholihin. Jakarta: Pustaka Amani, 1999. Sujana, E. Visi Pemimpin Masa Depan: Menggagas Politik Berkeadilan.

Bandung: Marja’, 2003.

(28)

Yahya, R. Memilih Pemimpin dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Nawaitu, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan dari enam varietas yang diuji, tiga varietas lokal memiliki kelebihan yang seimbang dari segi potensi produksi, indeks mutu, indeks tanaman, kadar

(a) Nyatakan satu tabiat yang boleh mengganggu proses hidup manusia.. (i) Nyatakan tabiat buruk yang dilakukan oleh

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang kami ikuti berada di SMP NEGERI 34 SEMARANG, di tempat latihan mahasiswa praktikan mendapatkan kesempatan untuk praktik

Jadi, rezim adaptasi berbasis konvensi akan cenderung berfokus lebih banyak pada kebijakan dan langkah-langkah yang dirancang sebagai tanggapan langsung terhadap perubahan

Pengenceran dilakukan dengan penambahan NaCl 0.9 % pada ekstrak kental daun salam dengan konsentrasi 100% yang didapat dari LPPT UGM.. Cawan Petri dihangatkan

Pencapaian target indikator Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBPKP) di Puskesmas Kota Palembang dinilai belum optimal karena sebagian besar Puskesmas belum

[r]

Finally, ccharacteristicss of the media developed are (1) media of waterfalls and ladders consists of a game board, 4 pieces pawns, 1 dice, cards matter, and the rules of the