MEDIA ALTERNATIF DI INDONESIA
(Napak Tilas dan Pencarian Arah di Masa Depan)
Sandy Allifiansyah 1 Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Sepanjang sejarahnya, media dan pers selalu menjadi bagian penting dari sebuah peradaban. Di Indonesia, media alternatif selalu identik dengan perlawanan, karena memiliki kecenderungan untuk menyuarakan kabar-kabar yang tidak tersaji atau ditutupi oleh rezim. Sejak zaman kolonial hingga pasca reformasi, kecenderungan itu selalu berulang. Media-media alternatif ini beredar dibawah tanah dan dinikmati oleh kalangan tertentu yang tak jarang memicu pergolakan, baik secara hukum maupun etika. Di era reformasi, media alternatif perlu didefiniskan ulang karena dampak dari terbukanya keran arus informasi yang menjadikan fakta dan berita mengalir deras. Kini informasi-informasi yang semula terpendam, menjadi lebih mungkin untuk kita dengar, sehingga saluran informasi bawah tanah lebih mudah untuk muncul ke permukaan. Saat ini, media-media di pedalaman Indonesia memiliki posisi yang unik. Kehadirannya menjadi alternatif karena mengabarkan apa yang tidak dikabarkan oleh media arus utama, mengingat permasalahan ketimpangan akses yang masih lebar terjadi di Indonesia.
Kata Kunci : media alternatif, komparasi, pers, sistem pers, wacana
Latar Belakang
Sepanjang sejarah media massa global dan Indonesia, sistem pemerintahan dari negara tersebut pasti menentukan sistem media itu sendiri. Di era Presiden Soekarno kehidupan bermedia sudah tentu berbeda dengan zaman Presiden
1
Soeharto. Begitu juga saat ini, ketika arus kebebasan pers dibuka seluas-luasnya sejak dihapusnya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan dihilangkannya jabatan Menteri Penerangan yang menjadi momok pers saat masa Orde Baru.
Selalu ada pergolakan di setiap perkembangan pers di Indonesia. Ada yang menggunakannya sebagai alat kekuasaan, ada pula yang menggunakannya sebagai alat perjuangan. Bila berbicara dalam konteks media alternatif, kemunculannya
selalu dianggap sebagai disorder atau penyimpangan dari apa yang lazim dilakukan atau dipraktikkan oleh kebanyakan insan pers pada saat itu. Misalnya selebaran-selebaran yang beredar di kalangan aktivis Orba atau media-media yang khusus membahas kaum LGBT yang beredar secara terbatas. Tak jarang pula eksistensi media alternatif ini mengalami keterkekangan karena sikapnya yang berlawanan dengan norma mayoritas, sehingga kerap dianggap sebagai ancaman oleh negara dan otoritas terkait.
Namun, tidak selamanya insan-insan pers selalu berlaku pasif atas keterkungkungan sistem otoriter dan breidel yang selalu mengancam eksistensi mereka. Para insan pers ini pada akhirnya bergerak dibawah tanah dan menerapkan apa yang disebut sebagai cara-cara alternatif untuk mempublikasikan produk jurnalistik. Cara pandang ini adalah pemahaman model alternatif yang dirumuskan sebagai model sistem media massa yang terbit secara periodik tanpa persetujuan dari pemerintah atau otoritas (Sterling,2009:1146).
Pengertian semacam ini bisa kita pakai dalam konteks sistem media yang otoriter atau totaliter terhadap pers. Artinya, pers diancam eksistensinya bila memberitakan berita-berita yang tidak sesuai dengan kehendak penguasa atau berpotensi menimbulkan kerusuhan. Misalnya media-media alternatif di zaman Orde Baru seperti milis “Apa Kabar” atau milis dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) bernama “Suara Independen” yang bergerak di dunia maya
memberitakan beragam berita dan isu-isu sensitif yang tidak berani ditampilkan oleh media-media komersil arus utama.
Maka dari itu sangat sulit untuk membuat sebuah model alternatif media yang
rigid. Model alternatif media akan sangat lekat dengan konteks sosial politik yang terjadi pada saat itu. Tulisan ini akan membahas sejarah perkembangan media-media alternatif apa saja yang pernah muncul di Indonesia sejak era kolonial hingga pascareformasi. Tulisan ini juga akan mengambil contoh kasus media massa di pedalaman sebagai media alternatif era reformasi sebagai sebuah
paradoks bahwa jalur informasi yang diidam-idamkan untuk masuk ke seluruh wilayah Indonesia ternyata belum mampu bekerja sepenuhnya. Maka kemunculan media-media di pedalaman ini adalah bukti bahwa alternatif media masih perlu dan eksis di daerah pelosok Nusantara.
Eksistensi Media Alternatif Era Kolonial di Indoensia
Di zaman Hindia Belanda, geliat pers alternatif sudah mulai terasa semenjak adanya pertentangan antara pers official dan unofficial. Awalnya, pada zaman kolonial, surat kabar yang diperbolehkan terbit hanya surat kabar yang dimiliki oleh pemerintah. Surat kabar pertama di Hindia Belanda bernama Bataviasche Nouvelles yang lahir tahun 1744. Itu berarti 120 tahun sejak mesin cetak pertama kali didatangkan ke Batavia. Surat kabar ini diinisiasi oleh Gubernur Jenderal VOC di Batavia, Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang memberikan mandat kepengolaan surat kabar kepada J.E. Jordens, seorang pedagang dan pegawai senior di kantor sekretariat jenderal VOC (Faber, 1930: 14).
Surat kabar yang harus berstempel pemerintah kolonial tersebut berisi iklan, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan administrasi pemerintah kolonial di Indonesia. Gubernur Jenderal Daendels dicatat sebagai orang pertama yang
membuat regulasi percetakan dan penerbitan surat kabar milik pemerintah. Regulasi yang diumumkan pada tahun 1809 tersebut menjelaskan antara lain
regulasi ini, Daendels menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant, yakni surat kabar yang masih berupa perpanjangan tangan pemerintah kolonial yang sepi dari kritik apalagi kontroversi terkait kebijakan yang diambil pemerintah kolonial pada saat itu.
Namun, kecenderungan itu mulai berubah sejak koran yang dikelola oleh swasta (unofficial) mulai menggeliat dan berani mengkritik kebijakan pemerintah
kolonial, terutama terkait Tanam Paksa. Gerakan inilah yang memulai spirit pers dan media alternatif di era kolonial. Sebab, mengacu pada konsep Atton (2002:13), ciri media alternatif adalah kontennya yang berisi suara-suara kaum minoritas/yang terpinggirkan, mengandung ekspresi masyarakat dari berbagai sudut pandang, berisi social responsibility, mengeskpos subjek-subjek pemberitaan yang tidak terpublikasi secara reguler. Pers unofficial di era kolonial ini resisten terhadap otoritas dan berhasil mengekspos sesutu yang dianggap tabu oleh pemerintah.
Ahmat Adam dalam The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness, 1855-1913 (1995:7) mencatat bahwa pada tahun 1825 kalangan swasta mulai menerbitkan surat kabar. Pada tahun 1840an, ketika dampak buruk sistem tanam paksa mulai terasa, banyak jurnalis yang mencoba melaporkannya ke dalam konten surat kabar. Tak jarang dari mereka yang pada akhirnya ditangkap dan dideportasi karena dianggap melawan pemerintahan Hindia Belanda. Ditambah lagi surat kabar swasta ini secara vulgar berani mengkritisi kebijakan bupati-bupati di Priangan (Adam,1995:13).
Di era kebangkitan nasional, sebuah pergolakan nasional yang dimotori oleh warga Indonesia keturunan Belanda yang tak puas dengan sistem ekonomi politik
di Padang, Sumatera Barat. Maka pada 1877, Padang Handelsblad meluncurkan gerakan bernama Jong Indie atau disebut juga gerakan Padang. Gerakan ini
Pergerakan yang pada akhirnya melibatkan masyarakat Indonesia asli atau pribumi ini, mencapai puncaknya ketika media aternatif pertama lahir. Artinya, surat kabar ini adalah milik pribumi, dan lepas dari campur tangan pihak kolonial, baik dari sisi redaksi atau pun pendanaan. Di era kolonial, surat kabar pertama milik pribumi terbit dengan judul Medan Prijaji yang menjadi blueprint dari semangat nasionalisme bangsa Indonesia melalui media massa di era awal
terbentuknya kesadaran nasional. Setelah merdeka bangsa Indonesia mengalami banyak keterkekangan kebebasan pers, terutama pada masa Orde Baru. Selama lebih dari 30 tahun berkuasa, Orde Baru sukses membungkam daya kritis pers yang kontra dengan kebijakan pembangunan. Namun, bukan berarti semangat untuk menggelorakan informasi yang transparan berhenti dilakukan para aktivis.
Eksistensi Media Alternatif Pasca Era Kolonial Di Indonesia
Pasca kemerdekaan, pers dan altenatif memegang peran penting dalam menjaga ragam suara daerah atau pun kabar-kabar yang tidak disiarkan oleh media arus utama. Masing-masing media ini memiliki ciri khasnya tersendiri. Mereka berusaha untuk lepas dan independen dari otoritas. Mengabarkan apa yang dikaburkan atau ditutupi oleh kekuasaan. Beberapa di antaranya bahkan beredar secara diam-diam dan keras terhadap pemerintah. Pencekalan dan pelarangan, menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi mereka. Pasca Kemerdekaan, era media alternatif ini dibagi menjadi 3 era, yakni era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Era Orde Lama
Era ini dimulai saaat Republik Indonesia mengumandangkan kemerdekaan dan kedaulatannya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Media pada saat itu bersatu
Belum lagi adanya seruan untuk menjadikan pers sebagai alat untuk mempropagandakan revolusi dan demokrasi terpimpin. Pers akhirnya menjadi alat kultus Presiden Soekarno. Di tengah kondisi seperti itu, muncul selebaran-selebaran dari bawah tanah yang disebut juga dengan underground publication
yang diterbitkan oleh para aktivis-aktivis PRRI ataupun pemberontak lainnya di masa Orde Lama. Selebaran itu berisi pembentukan opini publik atas
permasalahan dan ketimpangan ekonomi di masa Orde Lama. Bila kita mengacu pada buku seorang aktivis bernama Soe Hok Gie, ia mengungkapkan bahwa ia dan teman-teman sejawatnya sempat membuat selebaran yang berisi ulasan dan analisis sekaligus pembentukan opini tentang peristiwa politik bangsa Indonesia saat itu. Soe Hok Gie didukung langsung oleh Prof. Soemitro yang eksil di Sumatera. Ia menamakan media dan gerakannya sebagai Gerakan Pembaharuan Indonesia (Gie,1983:41-42).
Media-media bawah tanah yang dilancarkan oleh aktivis pergerakan yang tersingkir karena ideologi Nasakom, adalah tonggak dari cara-cara mereka dalam mengemas media alternatif guna membentuk opini publik. Tujuannya jelas, yakni pada keragaman sudut pandang dan prinsip non-profit, persis seperti ciri media alternatif. Pada era Orde Lama, media alternatif masih bercorak ideologi tandingan. Artinya, mereka para aktivis yang membuat dan menyebarkan selebaran maupun publikasi bawah tanah, berorientasi pada pengenalan akan sebuah ideologi tandingan atau wacana yang berlawanan terhadap apa yang selama ini menjadi pegangan masyarakat.
Mengingat belum munculnya internet, dan terbatasnya distribusi kertas, di masa Orde Lama media alternatif hanya bisa dinikmati oleh para aktivis seperti
mahasiswa dan cendekiawan. Daya jangkau media alternatif ini belum mampu menjangkau masyarakat umum. Kendati demikian, salah satu ciri media alternatif
menghadirkan wacana tandingan yang dipegang teguh oleh satu kelompok dan disebarkan melalui cara-cara non-populer dan tak jarang sangat tersegmentasi.
Era Orde Baru
Di era ini kehidupan pers Indonesia seperti mengalami pengulangan atas apa yang pernah terjadi pada masa Orde Lama, yakni pelarangan dan breidel. Bahkan pada
masa Orde Baru, pelarangan tersebut lebih ganas, terstruktur, dan represif. Mengingat rezim ini berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
Hantu bernama SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan Kementerian Penerangan adalah momok bagi insan pers Indonesia untuk berkarya dan menyajikan beragam sudut pandang terkait isu dan peristiwa nasional. Dua momok tersebut adalah malaikat pencabut nyawa bagi setiap ruh kehidupan pers Indonesia setiap kali memberitakan isu yang tidak sesuai dengan keinginan penguasa atau dianggap mengganggu stabilitas nasional. Kendati demikian, media alternatif tidak absen untuk hadir di era ini.
Di era Orba segala bentuk produk pers yang tidak memiliki SIUPP akan dicekal dan dituding sebagai produk ilegal juga subversif. SIUPP sesungguhnya bertujuan untuk mengontrol pers dalam situasi darurat, tetapi oleh Orde Baru digunakan sebagai alat pemanis pers yang selalu menjadi pemanis rezim (Lubis,2005:81). Mulai dari Peristiwa Malari, Peristiwa Priok, Peristiwa 77/78, hingga pembereidelan paling terkenal yang menimpa Monitor, Detik, dan Tempo
pada tahun 1994 saat menyinggung kebijakan Habibie.
Bagi Lubis (2005:82) SIUPP adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM, sebab otoritas melakukan tindakan guilty by association terhadap seluruh elemen
pers. Tindakan seperti ini justru bertentangan dengan demokrasi yang dijunjung tinggi lewat retorika-retorika penguasa. Di balik ganasnya perlakuan pemerintah
memiliki posisi tawar yang unik sebagai media alternatif di tengah pembreidelan media-media nasional.
Contoh produk pers mahasiswa yang keras menetang pemerintah Orde Baru disetiap tulisan-tulisannya adalah Salemba dari UI, Gelora Mahasiswa dari UGM, dan Kampus dari ITB (Siregar,1979:20). Pers Mahasiwa ini memiliki daya tahan untuk berkembang, kendati berganti nama produk, tetapi spirit yang mereka
gunakan tetap sama, yakni mengabarkan apa yang tidak dikabarkan oleh media nasional. Kampus menjadi corong utama lahirnya media alternatif ini, belum lagi selebaran-selebaran buletin yang berisi tentang tanggapan dan ulasan kritis mahasiswa. Tak jarang pula media pers yang berasal dari mahasiswa juga ikut dilarang untuk beredar oleh penguasa.
Rezim Orde Baru yang identik dengan rezim militer, selalu menggunakan senjata dalam menjalankan represinya, tak terkecuali untuk melawan mahasiswa. Maka jangan heran jika mereka para mahasiwa sering keteteran dalam menghadapi represi tersebut, begitu pula dalam hal penerbitan Pers Mahasiswa. Siregar (1979) berpendapat bahwa ada beberapa produk Pers Mahasiwa yang pada akhirnya diedarkan melalui bawah tanah dan menyebar secara diam-diam dikalangan aktivis. Namun uniknya, dalam beberapa kali kesempatan, konferensi nasional Pers Mahasiswa selalu dihadiri oleh tokoh-tokoh pers nasional, misalnya Jacob Oetama dan Mochtar Lubis. Hal ini menjadi indikasi bahwa tokoh-tokoh pers nasional pun mengakui dan ikut mendorong eksistensi Pers Mahasiswa agar tetap hidup dan menjadi alternatif di tengah kondisi media nasional yang dibisukan oleh SIUUP dan Menteri Penerangan.
berkuasa, nyaris tak ada media yang berani mengkritisi setiap kebijakan yang diambil. Lucunya, pemerintah alpa memperhatikan regulasi internet, sehingga dimanfaatkan oleh aktivis untuk memberikan sudut pandang lain terkait kebijakan kontroversial yang sedang terjadi.
Belum lagi kemunculan majalah bawah tanah “Suara Independen” yang lahir dari gerakan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan bergerak menentang PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) yang mereka anggap perpanjangan tangan dari Menteri Penerangan saat itu. Kemunculan internet inilah yang menjadi pembeda paling kentara bila kita membedakan media alternatif di era Orba dengan era sebelumnya. Kemunculan internet juga menjadi angin segar bagi aktivitas pergerakan, terutama sebagai media tukar menukar informasi antar aktivis. Maka tak heran, dengan milis dan kanal internet ini, kekuatan aktivis yang dimotori oleh mahasiswa dapat berjalan dengan simultan dan berkesinambungan, di tengah sulitnya mendapatkan informasi di media cetak (Sen & Hill,2006:27).
Intinya, pada zaman Orde Baru, media alternatif menjadi motor penggerak sekaligus medium yang ampuh dalam menggalang kekuatan melawan hegemoni otoritas yang mengekang. Hal baru terkait media alternatif di era Orde Baru adalah munculnya bentuk baru dari varian media alternatif, yakni dalam wujud pers mahasiswa dan milis internet. Sebuah bentuk media alternatif yang belum muncul di era kolonial maupun zaman Orde Lama. Kendati demikian, perubahan zaman mengharuskan bentuk-bentuk dan orientasi dari meda alternatif juga berubah. Di zaman Orde Baru ini, media alternatif masih dinikmati secara terbatas oleh kalangan intelektual dan kelas menengah atas.
Media di Pedalaman sebagai Media Alternatif Era Reformasi
Dari uraian perkembangan media alternatif di atas, harus diakui bahwa sangat
didominasi oleh pemilik alat produksi atau media itu sendiri. Maka tak heran bila para elit penguasa media menggunakan media massa sebagai alat untuk pencitraan dan seremonial kekuasaan. Disnilah media alternatif pada akhirnya muncul sebagai peneyimbang dari sistem media yang berorientasi pada elit tersebut.
Memasuki era reformasi dan informasi, model media alternatif ternyata telah berubah wujud dan paradigmanya. Dari yang semula activist oriented,
menjadi custom oriented. Artinya, media alternatif kini muncul eksistensinya di wilayah-wilayah pedalaman yang menjangkau suku-suku adat di berbagai belahan Nusantara dalam bentuk seperti radio dan jaringan internet (Cahyadi,2015).
Ciri media alternatif semacam ini sejalan dengan konsep alternative media
dikemukakan oleh Atton (2002:13-14), yaitu kontennya berisi suara-suara kaum minoritas/yang terpinggirkan, berisi ekspresi masyarakat dari berbagai sudut pandang. Harus diakui bahwa pasca reformasi, penyebaran informasi di Indonesia belum merata sepenuhnya. Banyak daerah-daerah di Indonesia bahkan belum tersentuh internet. Maka dari itu, media di daerah pedalaman muncul sebagai
alternative media yang menghimpun aspirasi masyarakatnya, mengingat penduduk di pedalaman juga butuh media guna menjalin relasi terkait bercocok tanam maupun perkebunan. Misalnya akses radio untuk masyarakat Badui Dalam, atau internet untuk masyarakat Sedulur Sikep atau Suku Samin.
Media ini bisa berupa radio, jaringan internet terbatas, atau pun televisi lokal. Keberadaan media alternatif semacam ini, bukannya tanpa kendala. Aspek-aspek seperti SDM (Sumber Daya Manusia) hingga sulitnya mendapatkan fasilitas, menjadi momok tersendiri dalam tumbuh kembangnya media-media di pedalaman Indonesia. Terlebih lagi bila kita melihat bagaimana sulitnya akses
informasi bagi warga di daerah-daerah terluar atau pulau terluas Indonesia. Media di perbatasan adalah sebuah jawaban dari ketimpangan informasi antara pusat dan
daerah. Pemerintah juga harus jemput dalam mengakomodir masalah ini dengan mednjadikan media alternatif di daerah sebagai corong pembangunan, sehingga masyarakat yang bermukim di pedalaman tetap bisa literate terhadap informasi dan isu-isu nasional dan berdaulat atas informasi.
Penutup dan Kesimpulan
Dari penjelasan tentang sejarah dan perkembangan media alternatif diatas, harus diakui bahwa media alternatif tidak memiliki model secara rigid. Sistematika dan modelnya akan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan sosial dan politik yang terjadi saat media media alternatif itu muncul.
Perbedaan yang bisa dilihat dari mediumnya, siapa yang memulai, dan cara
penyebarluasannya. Di era pra internet, media alternatif muncul dari bawah tanah dan diprakarsai oleh aktivis dan cendekiawan yang menginginkan perubahan. Mereka menggunakan media alternatif untuk mengekspresikan berbagai sudut pandang yang dibungkam oleh penguasa. Di era internet, ketika informasi telah terbuka luas, otoritas tidak lagi bisa seketat dulu dalam membatasi gerak-gerik aktivitas pers. Model dan jenis media alternatif kembali mengalami pergeseran. Konteks belum ratanya akses informasi di Indonesia, menjadikan media-media di pedalaman menjadi media alternatif di era reformasi, mengingat fungsinya yang sanggup mengabarkan apa yang tidak bisa dikabarkan oleh media nasional yang notabene adalah media arus utama. Media di pedalaman adalah jawaban dari reformasi itu sendiri, yakni setiap warga negara harus berdaulat atas informasi dan keterbukaan informasi. Maka dari itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara harus turun tangan dan memperhatikan eksistensi media-media di pedalaman tanah air ini.
Dari penjelasan tentang media alternatif sejak zaman kolonial (pra internet) hingga reformasi (pasca internet), dapat disajikan kesimpulan dalam bentuk bagan dibawah berikut ini:
Media Alternatif
Berdasarkan Kondisi Otoritas dan Konteks Sosial Politik
Pra Internet Pasca Internet
Media Diawasi Secara Ketat Sistem Media Demokratis Partisipan Media Harus Mempunyai Lisensi Media Bisa Eksis Tanpa Lisensi Represif Terhadap Media Tak Berizin Lunak dan Bebas Terhadap Media
Belum Terdapat Jaringan Internet Ada Jaringan Internet Interaktif
Media Alternatif Bergerak Dibawah Tanah
Media Alternatif Banyak Bermunculan di Internet (Mis. Media LBGT dan Media
dengan Ideologi Kiri) Media Alternatif Digerakkan Oleh Kaum
Terpelajar dan Intelektual
Media Alternatif Bisa Digerakkan Oleh Siapa Saja yang Memiliki Akses Informasi Media Alternatif Dianggap Sebagai
Ancaman Oleh Negara
Media Alternatif Diperbolehkan, bahkan
Digunakan Pemerintah di Daerah Pedalaman
Tak bisa dipungkiri bahwa internet sudah menjadi bagian penting dalam eksistensi media alternatif itu sendiri. Pada awal kemunculannya, internet dianggap sebagai saluran media alternatif paling ampuh karena kebebasan yang ada di dalamnya dan kealpaan pemerintah dalam mengaturnya. Tetapi kini
internet dianggap media yang mainstream, daya sengatnya sebagai media alternatif sudah berbeda, mengingat konteks sosial politik juga berbeda ketika
Daftar Pustaka
Adam, Ahmat. (1995). The Vernacular Press and the Emergence of Modern
Consciousness (1855-1913). Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program.
Atton, Chris. (2002). Alternative Media. London: SAGE Publications.
Bosma, Ulbe, and Remco Raben. (2008). Being" Dutch" in the Indies: A Histor y Cr eolisa tion a nd Empir e, 1500-1920. Ohio: Ohio University Press.
Cahyadi, Firdaus. Tantangan Gerakan “Online” Masyarakat Adat. Dalam
Kompas 26 Februari 2015. Dinduh 27 April 2015 jam 22.34 WIB.
Faber, GH von. (1930). A Short History of Journalism in the Dutch East Indies. Surabaya: Kolff & Co.
Gie, Soe Hok. (1983). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Lubis, Todung Mulya. (2005). Jalan Panjang Hak Assasi Manusia. Jakarta: Gramedia.
Puthut, EA. (2011). Oposisi Maya. Yogyakarta: Insist Press.
Semma, Mansyur. (2008). Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas
Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta:Yayasan Obor. Sen, Krishna & David T Hill. (2006). Media, Culture , and Politic in Indonesia.
Australia: Equinox Publishing.
Siregar, Amir Effendi. (1983). Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti.