• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Landreform di Indonesia dalam ko (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Praktik Landreform di Indonesia dalam ko (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang pluralistik dari segi apapun, agama, adat, maupun hukum. Hal ini sudah ada sejak dahulu kala sebelum bangsa kita dijajah oleh Belanda. Dengan adanya pluralistik ini maka setiap daerah memiliki aturan masing-masing terhadap masyarakat dan lingkungannya. Keadaan seperti ini masih lestari dan terjaga sampai datangnya Belanda ke Indonesia untuk menjajah dan pada akhirnya muncul peraturan baru ayan diterapkan oleh pemerintah Belanda saat itu kepada masyarakat Indonesia.

Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, di dalam masyarakat adat telah terdapat penguasaan dan pemilikan tanah yang diatur sesuai dengan ketentuan adat masing-masing. Ketentuan ini bersifat tidak tertulis yang mencirikan masyarakatnya.

Setelah Belanda menjajah Indonesia, mereka mendatangkan peraturan mengenai hukum pertanahan yang berlaku di negaranya ke Indonesia, yang kemudian diberlakukan terhadap masyarakat Indonesia. Dengan demikian, keberadaan Hukum agraria yang diakui dan ditaati oleh masyarakat adat Indonesia tergeser oleh hukum agraria yang dibawa pemerintahan Belanda. Oleh karena itu, dengan sendirinya tanah-tanah yang terdapat di Indonesia diatur oleh dua peraturan yang berbeda, peraturan adat tentang tanah yang tunduk pada hukum adat dan peraturan tanah yang tunduk pada hukum Belanda, contohnya hak opstal, hak erpacht, dan hak eigendom. Dengan adanya dua peraturan yang saling menindih maka lahirlah “dualisme” dalam pengaturan hukum pertanahan di Indonesia.

Selain peraturan di atas, pemerintah Belanda juga menciptakan hukum tanah seperti agrarisch eigendom. Di samping itu, Pemerintah Swapraja juga menciptakan hukum atas tanah yang berlaku di daerahnya, seperti Grant Sultan. Dengan adanya peraturan-peraturan mengenai hak-hak atas tanah tersebut, timbullah “pluralistik” hak atas tanah di Indonesia.1

(2)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah saya paparkan di atas, maka saya akan merumuskan beberapa permasalahan yang nantinya akan dibahas dalam makalah ini, antara lain meliputi:

1. Apa pengertian Hukum Agraria secara luas/ umum?

2. Bagaimana sejarah pengaturan hak atas tanah di Indonesia?

3. Bagaimana bentuk pemberlakuan hukum tanah pemerintah Belanda di Indonesia sehingga dikatakan bersifat dualisme?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Menjelaskan Hukum Agraria secara umum.

2. Menjelaskan sejarah pengaturan hak atas tanah di Indonesia.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. HUKUM AGRARIA SECARA UMUM

Pengertian agraria dalam bahasa umum

Dalam bahasa latin ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanahan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Sebagai kata sifat agraris dipergunakan untuk membedakan corak kehidupan ekonomi masyarakat pertanian di pedesaan dengan masyarakat non-agraris di perkotaan.

Pengertian agraria di lingkungan Administrasi Pemerintah: perangkat peraturan perundang - undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan.

Pengertian agraria dalam UUPA

Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak memberikan batasan secara tegas pengertian agraria, tetapi istilah agraria ditemukan diberbagai bidang ketentuan dalam UU tersebut yaitu : Konsideran huruf a dan penjelasan UU.

Dari beberapa rumusan ini maka dapat disimpulkan :

1) Kata agraris dipergunakan untuk menggambarkan corak kehidupan dari susunan

kehidupan, termasuk perekonomian rakyat Indonesia.

2) Materi yang diatur menyangkut pengelolaan bumi, air, ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

3) Hak-hak yang diatur meliputi hak-hak atas tanah, hak guna air, pemeliharaan dan

penangkapan ikan serta hak guna ruang angkasa.

Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.

(4)

Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi:

1) Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti

permukaan bumi;

2) Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;

3) Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan

galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;

4) Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang

terkandung di dalam air;

5) Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil

hutan;

6) Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa

(bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

(5)

B. SEJARAH PENGATURAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA

1. Masa Pemerintahan Raffles (1811)

Pada masa ini hak penguasaan atas tanah lebih diposisikan sebagai alat untuk menarik pajak bumi, tetapi pemerintahan Belanda kala itu diganti oleh pemerintahan jajahan Inggris. Belanda dinilai gagal menerapkan sistem administrasi tanah. Pada akhirnya Raffles yang menerapkan administrasi pertanahan dengan sistem domein seperti di India dengan tujuan ingin menerapkan sistem penarikan pajak bumi.

Dengan adanya sistem tersebut, maka Raffles berkesimpulan bahwa seluruh tanah adalah milik Raja atau pemerintah. Sistem ini mewajibkan setiap petani wajib membayar pajak sebesar 2/5% dari hasil tanah garapannya.

2. Masa Pemerintahan Van den Bosch (1830)

Dalam perkembangannya, pada masa ini Belanda kembali menjajah Indonesia. Adanya Gubernur Jenderal Van den Bosch ikut meletakkan sebuah konsep penguasaan tanah Cultuurstelsel atau tanam paksa. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyelamatkan keuangan Belanda saat itu.

Van den Bosch dalam menerapkan sistemnya tetap mengacu pada pemikiran Raffles bahwa tanah adalah milik pemerintah, para kepala desa dianggap menyewa tanah kepada pemerintah, dan selanjutnya kepala desa meminjamkan kepada petani. Atas dasari ini pemilik tanah tidak harus membayar 2/5 dari hasil garapan tanahnya, tetapi 1/5 dari tanahnya harus ditanami tanaman tertentu sesuai perintah dari pemerintah Belanda.

3. Tahun 1848

Pada masa ini masih bercerita mengenai pemerintahan Belanda yang menciptakan peraturan baru yaitu Regerings Reglement (RR) 1845 yang pada intinya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan yang akan ditetapkan dengan ordonansi. Tujuannya adalah agar pribumi diberi hak milik mutlak (eigendom) untuk dijual atau disewakan, karena tanah ulayat/ adat tidak dapat dijual atau disewakan keluar.

(6)

komunal dijadikan hak milik eigendom. Namun RUU ini ditolak oleh Parlemen dan gagal terwujud.

4. Tahun 1870

Pada masa ini Peerintah jajahan de Waal mengajukan RUU yang hampir sama dengan RUU Frans van de Putte yang isinya pada salah satu ayat dalam pasal 62 RR adalah pemberian hak erpacht selama 75 tahun.pasal 62 RR ini dijadikan pasal 52 dari Indische Staatsregeling (IS), inilah yang disebut Agrarische Wet 1870 yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblaad) N0. 55, 1870.

Terdapat salah satu keputusan penting di dalamnya yaitu adanya Agrarische Besluit.

5. Tahun 1960

Setelah menyadari bahwa peraturan di bidang agraria telah menyengsarakan rakyat Indonesia, Pemerintah mulai untuk fokus terhadap pengaturan tentang agraria dimulai sejak 1948 dengan dibentuknya “Panitia Agraria” yang antara lain: Panitia Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Soewahjo (1956), Panitia Soenario (1956), Rancangan Sadjarwo. Dengan proses yang panjang maka lahirlah UU No 5 Tahun 1960 ini mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

C. HUKUM TANAH ADMINISTRATIF DI MASA KOLONIAL (BENTUK PEMBERLAKUAN HUKUM AGRARIA BELANDA DI INDONESIA)

1. Agrarische Wet (1870)

(7)

2) Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang di peruntukan perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan kerajinan/industri.

3) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dengan ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Ada pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lainnya tidak boleh dipersewakan.

Tambahan Agrarische Wet tahun 1870 sebagai berikut:

1) Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan Hak Erfacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.

2) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada pemberian Hak yang melanggar Hak penduduk asli Pribumi.

3) Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempat pengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan tanaman yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi atas tanah.

4) Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak pakai perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yakni mengenai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli/pribumi.

(8)

2. Tujuan Agrarische Wet

Tujuan dari adanya Agrarische Wet ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk berkembang di Hindia Belanda. Bentuk hak pemberiannya adalah dengan Hak erpacht. Dalam pasal 720 dan 721 KUH Perdata berbunyi bahwa erpacht merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Pemegang hak ini dapat menggunakan kewenangan yang terkandung dalam eigendom atas tanah.

3. Agrarisch Besluit

Ketentuan dalam Agrarisch Wet (AW) pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam S. 1870-118. Dalam pasal 1 AB termuat sebuah pernyataan yang dinilai kurang menghargai bahkan memerkosa hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat, yang pada pokoknya berbunyi: “... semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah doemein (milik) negara. Ketentuan yang terdapat dalam asas tersebut disebut Domein Verklaring.

4. Fungsi Domein Verklaring

a. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk memberika tanah dengan hak-hak barat Yat diatur dalam KUH Perdata, seperti erpacht, opstal, dan lain lain.

b. Di bidang pembuktian pemilikan.

(9)
(10)

BAB III PENUTUP

SIMPULAN

Bahwa sejarah hukum agraria barat bertitik tolak dari pengutamaan kepentingan pribadi sehingga pangkal dan pusat pengaturan terletak pada eigendom-recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang penuh dan mutlak, disamping domein verklaring (pernyataan domein) atas pemilikan tanah oleh Negara. Hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari hukum adat, bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat (komunalistis) yang berakibat senantiasa memperimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Budi, 1994, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan

Supriadi, 2008, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria

Referensi

Dokumen terkait

• Misalkan S adalah kesamaan (identity) di dalam aljabar Boolean yang melibatkan operator +, ⋅, dan komplemen, maka jika pernyataan S* diperoleh dengan cara mengganti.. ⋅ dengan

“Nikah Sirri dalam Perbincangan Media Massa” menjelaskan bahwa persoalan nikah sirri menjadi suatu yang sangat menarik dan berkembang di era modern ini. Nikah sirri

Penilaian keterampilan dilakukan guru dengan melihat kemampuan peserta didik dalam mengkomunikasikan hasil analisis sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan

[r]

Bila kemungkinan terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan Ijazah yang

Selanjutnya menurut Herdian, model pembelajaran VAK merupakan suatu model pembelajaran yang menganggap pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut

[r]

Dewasa ini epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara