Tingginya angka kematian anak merupakan ciri yang umum dijumpai di
negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu
penyebabnya yaitu keadaan gizi yang kurang baik atau buruk. Status gizi yang
buruk pada anak dapat menimbulkan pengaruh yang tidak baik karena dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Kekurangan gizi pada awal
kehidupan anak akan berdampak terhadap pertumbuhan fisik anak, perkembangan
kognitif, dan kecerdasan lainnya. Selain itu, gizi kurang/buruk merupakan
penyebab dasar kematian bayi dan anak.
Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan
masalah kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Ibu yang mengalami kekurangan gizi pada saat hamil, atau anaknya mengalami
kekurangan gizi pada usia 2 tahun pertama, pertumbuhan serta perkembangan
fisik dan mentalnya akan lambat (Kemenkes RI, 2013).
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi kekurangan
gizi pada balita antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila
≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi
kekurangan gizi pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah kekurangan
gizi pada balita di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
mendekati prevalensi tinggi (Kemenkes RI, 2013).
oleh status gizi yang baik. Asupan makanan dengan gizi yang tepat dan seimbang
sangat dibutuhkan agar janin bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Salah
satu upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia dan menjawab
permasalahan gizi adalah Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Dalam
Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan. Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan
(1000 HPK) melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan untuk
bekerjasama dalam menurunkan masalah gizi. Gerakan 1000 HPK ini sejalan
dengan upaya global dalam penanganan masalah gizi melalui program Scaling Up
Nutrition Movement (SUN Movement) yang diprakarsai oleh PBB (Priyatna &
Asnol, 2014).
Tujuan global SUN Movement adalah menurunkan masalah gizi, dengan
fokus pada 1000 HPK yang dimulai saat anak masih dalam kandungan hingga
sampai usia 2 tahun. Para ahli menyatakan periode usia anak di bawah 2 tahun
dikenal sebagai “periode emas” atau window of opportunity. Dengan begitu, kalau
ingin mendapatkan generasi yang sehat dan kuat, maka skala prioritas 1000 hari
pertumbuhan dimulai saat anak masih dalam kandungan hingga usia 2 tahun. Jika
terjadi kegagalan pertumbuhan (growth faltering) pada periode emas ini, hal itu
tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan fisik anak, melainkan juga
perkembangan kognitif dan kecerdasan lainnya (Priyatna & Asnol, 2014).
Meski gangguan pertumbuhan fisik anak masih dapat diperbaiki di
kemudian hari dengan peningkatan asupan gizi yang baik misalnya, namun tidak
dengan perkembangan kecerdasannya. Fakta-fakta ilmiah menunjukkan bahwa
berusia 2 tahun akan mengakibatkan penurunan tingkat kecerdasan anak. Sayang
nya, periode emas inilah yang sering kali kurang menjadi perhatian keluarga, baik
karena kurangnya pengetahuan maupun luputnya skala prioritas yang harus
dipenuhi (Priyatna & Asnol, 2014).
Periode 1000 HPK yang dihitung sejak hari pertama selama kehamilan
(270 hari) dan kelahiran bayi sampai anak usia 2 tahun (730 hari) merupakan
periode yang menentukan kualitas kehidupan (Bappenas, 2012). Gizi yang tepat
pada periode ini memberi dampak besar pada kemampuan anak untuk tumbuh,
belajar, dan bangkit dari keterpurukan. Maka dari itu, diperlukan asupan gizi yang
baik dan diberikan pada waktu yang tepat. Pengetahuan tentang 1000 HPK
diharapkan dapat membuat ibu lebih memahami betapa pentingnya asupan gizi
pada periode itu, dan lebih memperhatikan tentang pemberian makanan
pendamping air susu ibu (MP ASI) pada anak mereka di umur 6-24 bulan, dimana
umur 6-24 bulan tersebut termasuk dalam periode 1000 HPK yang merupakan
periode emas.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Yuli, dkk (2016) di Puskesmas
Sokaraja Kabupaten Banyumas menunjukkan bahwa sebagian besar responden
yang berpengetahuan baik (76%) mempunyai sikap yang mendukung terhadap
pentingnya gizi 1000 HPK. Namun, sebagian besar responden (60%) yang
berpengetahuan kurang juga memiliki sikap mendukung terhadap gizi 1000 HPK.
Salah satu faktor penyebab langsung dari permasalahan gizi anak yaitu
ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan (ASI
anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan
kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi
terutama tentang gizi dan kesehatan (Bappenas, 2013).
Kemiskinan dan kurangnya pendidikan keluraga menyebabkan banyak
anak yang tidak memperoleh MP-ASI memenuhi prinsip gizi seimbang, yaitu
cukup energi, protein, lemak dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Suatu
penelitian di daerah miskin di Jakarta menunjukkan hanya 9,5 persen mendapat
MP-ASI yang benar (US-AID, Nutrition Report, 2010).
Penelitian oleh Diana (2016) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo
menunjukkan bahwa hanya ada sebanyak 15 orang responden (21,1%) yang
memiliki tindakan terhadap pemberian MP-ASI pada baduta (6– 24 bulan) dalam
kategori yang baik.
Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui
bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan
menyusui anak sampai umur 24 bulan. Mulai umur 6 bulan, bayi mendapat MP
ASI yang bergizi sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya. Cakupan
pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat
terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya peraturan perundangan tentang
pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi,
dan kampanye terkait pemberian ASI maupun MP ASI, masih kurangnya
ketersediaan sarana dan prasarana KIE ASI dan MP ASI, dan belum optimalnya
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa terdapat 19,6% balita
kekurangan gizi yang terdiri dari 5,7% balita dengan gizi buruk dan 13,9%
berstatus gizi kurang. Sebesar 4,5% balita dengan gizi lebih. Jika dibandingkan
dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %),
prevalensi kekurangan gizi pada balita tahun 2013 terlihat meningkat. Balita
kekurangan gizi tahun 2010 terdiri dari 13,0% balita berstatus gizi kurang dan
4,9% berstatus gizi buruk. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu
dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013. Untuk
mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5% maka prevalensi gizi
buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 %dalam periode 2013 sampai
2015 (Kemenkes RI, 2013).
Profil Kesehatan Kota Medan (2015) menunjukkan dari 1.218.718 jumlah
balita yang timbang, terdapat 14.839 balita (1,22%) yang berat badannya dibawah
garis tmerah (BGM), sedangkan yang menderita gizi buruk ada sebanyak 1.279
balita (0,10%). Bila dibandingkan dengan data gizi buruk tahun 2014 sebanyak
1.228 kasus (0,09%) ada peningkatan kasus sebesar 0,01 %.
Data Puskesmas Medan Area Selatan (2016) menunjukkan dari 1404
balita yang ditimbang, yang menderita gizi buruk terdapat 1 balita, sedangkan
yang gizi kurang terdapat 12 balita. Cakupan ASI eksklusif terdapat 60,7% pada
bayi 0-5 bulan yang mendapat ASI eksklusif, dan 84,6% pada bayi 5 bulan yang
mendapat ASI eksklusif. Angka tersebut menunjukkan bahwa cakupan ASI
Eksklusif di Puskesmas Medan Area sudah melampaui target nasional ASI
terdapat kasus gizi buruk yang membuat peneliti ingin mencari tahu faktor lain
yang mengakibatkan kasus tersebut selain pembeian ASI Ekslusif, yaitu
pemberian MP ASI yang seharusnya diberikan pada anak umur 6-24 bulan dan
termasuk ke dalam periode 1000 HPK tersebut. Pada Puskesmas Medan Area
Selatan, sudah terdapat sosialisasi mengenai program 1000 HPK yang dilakukan
langsung oleh petugas puskesmas, tetapi partisipasi ibu dalam program tersebut
sangat minim sehingga petugas puskesmas melakukan usaha yang maksimal
untuk mengajak ibu mengikuti sosialisai tersebut.
Survei pendahuluan yang telah dilakukan terhadap sepuluh ibu di wilayah
kerja Puskesmas Medan Area Selatan menunjukkan bahwa hanya satu ibu dari
sepuluh ibu yang tahu tentang program 1000 HPK, tetapi satu ibu tersebut tidak
memahami benar yang termasuk periode 1000 HPK yang seharusnya dimulai dari
anak saat di dalam kandungan sampai berumur dua tahun, menurut ibu tersebut
yang termasuk periode 1000 HPK dimulai saat anak baru dilahirkan. Selain itu,
semua ibu tidak mengetahui pada saat kapan seharusnya MP-ASI tersebut
diberikan dan makanan apa saja yang seharusnya dikonsumsi si anak sesuai
dengan umur mereka, serta tindakan mereka dalam memberikan anaknya
makanan tambahan berupa sayur-sayuran dan buah-buahan.
Uraian yang telah dikemukakan di atas membuat penulis tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut tentang hubungan antara pengetahuan ibu tentang 1000
HPK dengan pemberian MP-ASI anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja
1.2 Perumusan Masalah
Latar belakang yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa
permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara pengetahuan
ibu tentang 1000 HPK dengan pemberian MP-ASI anak usia 6-24 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hubungan
pengetahuan ibu tentang 1000 HPK dengan pemberian MP-ASI anak usia 6-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan.
1.4 Hipotesis
Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah adanya hubungan
antara pengetahuan ibu tentang 1000 HPK dengan pemberian MP ASI anak 6-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan.
Hipotesis nol (Ho) dalam penelitian ini adalah tidak adanya hubungan
antara pengetahuan ibu tentang 1000 HPK dengan pemberian MP ASI anak 6-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan yaitu agar penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi puskesmas dan sebagai
salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan
bagi program penanganan gizi selanjutnya maupun program penanganan gizi yang
saya sebagai penulis tentang pengetahuan ibu tentang 1000 HPK dan