• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEWUJUDKAN PERDAMAIAN AGAMA DALAM BINGKA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEWUJUDKAN PERDAMAIAN AGAMA DALAM BINGKA (1)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MEWUJUDKAN PERDAMAIAN AGAMA DALAM BINGKAI DIALOG Oleh: Husna Amin

A. Pendahuluan

Tema ini dipilih terinspirasi oleh ungkapan Hans Kung dalam salah satu karya besarnya tentang Islam1, “Is Dialoque Impossible” yang seolah-olah menegaskan bahwa No peace among the nations without peace among the religions; No peace among the religions without dialogue among the religions; No dialogue between religions without investigating the foundation of the religions (Tidak ada perdamaian antar bangsa-bangsa tanpa perdamaian antar agama-agama; tidak ada perdamaian antar agama-agama tanpa dialog antar agama; tidak ada dialog antar agama tanpa mempelajari fondasi agama-agama).

Kesejahteraan hidup umat beragama yang mencerminkan perdamaian secara hakiki sesuai dengan titah suci agama, sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara nyata dalam kehidupan umat manusia. Berbagai upaya telah dilakukan, bahkan oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah hingga masyarakat biasa, baik secara teoretis maupun praktis. Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia sebagai sebuah Negara yang dikenal sangat religius, sudah melakukan berbagai upaya agar tercipta hubungan harmonis antara umat beragama, namun usaha ini seakan sia-sia ketika melihat sejumlah problem yang dihadapi umat beragama semakin marak terjadi, bahkan telah merubah wajah agama menjadi sadis, kejam, intoleran, bahkan non-dialogis.

Dialog antar umat beragama, khususnya di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1970-an, mulai dari tingkat nasional maupun internasional. Sebahagian besar diprakarsai oleh proyek pengembangan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama Departemen Agama.2 Meskipun usaha mendialogkan agama dilakukan sangat intens

dan sinergis, namun sampai saat ini belum menunjukkan hasil maksimal, bahkan masih jauh dari yang diharapkan. Untuk itu perlu memikirkan serta menemukan strategi yang mapan dan sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga dialog inklusif antar umat beragama menjadi penting untuk dikaji dalam upaya mewujudkan pesan perdamaian agama.

Menurut Amin Abdullah, ukuran keberhasilan yang ditunjukkan sebagai tanda-tanda positif dari aktivitas dialog yang inklusif adalah meredanya isu pertikaian antar umat beragama di tanah air, meskipun tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Di samping itu munculnya konsep ideologi kerukunan yang disebut sebagai Trilogi Kerukunan: (1) Kerukunan Antar Inter Umat Beragama, (2) Kerukunan Antar Umat Beragama, dan (3) Kerukunan Antar Pemerintah dan Umat Beragama.3

Membangun proses keberagamaan yang dialogis dalam membina kerukunan antar umat beragama, mesti dipertimbangkan kesucian dan kehadiran agama-agama. Demikian juga memposisikan agama sebagai landasan pembangunan dan peradaban, merupakan prasyarat bagi sebuah masyarakat atau bangsa untuk melangkah pada bentuk negara maju yang lebih bermartabat, beradab, demokratis, toleran, adil, makmur dan berkarakter.

1Hans Kung: Islam: Past Present and Future, (England: One World, Publications, 2007): p.6

2Muhammad Sabri, Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif bagi Studi Agama dan Signifikansinya terhadap Kehidupan Beragama Di Indonesia. (Yogyakarta:UIN Sunan Kalidjaga, 1997), hal. 132.

3Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul

Qur’an No. 4 Vol IV. (1996), hal. 2-3

▸ Baca selengkapnya: perdamaian dalam keluarga kristen

(2)

Islam juga sangat menjunjung tinggi perdamaian agama, demikian juga agama yang lain. Manusia dilarang menghina dan memandang rendah terhadap agama lain. Allah menciptakan manusia berbeda-beda, dan perbedaan yang terlihat sangat kontradiktif justru merupakan keniscayaan bagi harmonisasi dan keseimbangan alam semesta, sebagaimana dituangkan dalam Surat al-Hujurat ayat 13. Dengan demikian kemashlahatan dan keadilan menjadi dasar bagi terwujudnya tujuan dari agama, yakni terciptanya perdamaian dalam kehidupan dan peradaban manusia, khususnya perdamaian antar umat beragama.

Keragaman corak dan ciri masing-masing gerakan keagamaan dan sejumlah problem yang muncul akhir-akhir ini khususnya di Indonesia, apabila disikapi dengan rasa saling menghargai dan kerjasama yang baik dan dialogis, akan menimbulkan dinamika dan terciptanya kehidupan harmonis antar umat beragama dalam setiap aspek kehidupan, sekaligus akan menjadi khasanah kekayaan bangsa. Memang tidak dapat dipungkiri, sebagai bangsa yang majemuk sangat berpotensi timbulnya ketidakrukunan dengan sikap eksklusif dan paham yang berbeda, terutama yang menyakini pahamnya saja yang benar, sedangkan di luar itu salah.

Situasi ini justru mencerminkan ketercerabutan kehidupan umat beragama dari karakter atau nilai-nilai luhur agama dan Pancasila sebagai jati diri bangsa dan falsafah negara, yang mengajarkan perdamaian bagi umat atau bangsa Indonesia. Semua agama mengajarkan perdamaian. Pancasila sebagai falsafah negara juga telah memberikan landasan nilai sebagai haluan sikap dasar warga negara yang adil, damai dan harmonis, baik terhadap dirinya maupun dunianya.4

Saat ini terkesan bahwa konsep agama tentang perdamaian telah terkikis dalam hati sebahagian umat beragama, sehingga kehidupan antara umat beragama sangat jauh dari cita-cita ini. Fenomena kehidupan umat beragama saat ini sedang berada dalam situasi yang memprihatinkan. Konflik, kekerasan, perang, pembunuhan dan perusakan eko sistem alam semesta terus berlangsung meningkat dan meluas, bahkan diberbagai belahan dunia. Para elit bangsa yang seharusnya menjadi teladan masih sering menampakkan sikap mereka yang jauh dari nilai-nilai sosial, bahkan sebahagian mereka mendorong penggunaan kekerasan sekadar untuk mempertahankan kekuasaan.

Di tengah-tengah kekerasan yang sedang terjadi, sebahagian kelompok dengan sengaja menarik agama ke dalam wilayah konflik dan menjadikannya sebagai alat legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lainnya. Contoh konkret, makna jihad dalam Islam yang begitu luas mencakup setiap usaha untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, direduksi menjadi perang suci atas nama agama. Inilah karakter manusia yang merusak tatanan kehidupan umat beragama dan berlawanan dengan tujuan hakiki keberagamaan manusia. Dalam kondisi seperti ini, antara damai dan perang, antara kasih sayang dan kekerasan menjadi sangat kabur, hanya dibatasi sekat yang sangat tipis, seakan-akan kedamaian hanya menjadi sekedar penantian yang penuh kecemasan dan retorika yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Isu pluralitas yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi dialog yang toleran, justru menjadi sesuatu yang dihindari bahkan dianggap mengancam identitas masing-masing agama karena notabene menuai isu tuntutan kesamaan agama, yang kadangkala hanya disebabkan oleh pandangan yang keliru tentang istilah pluralisme agama. Meskipun demikian, semangat untuk menggagas perdamaian tidak boleh padam, usaha yang serius pasti akan memperoleh hasil sebagaimana diharapkan.

4 Munir Mulkhan, Agama dalam Dialog Budaya, dalam Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana

(3)

Untuk itu dialog inklusif dalam upaya mewujudkan pesan perdamaian antar umat beragama, merupakan sebuah upaya signifikan untuk mengembalikan hakikat agama dan keberagamaan manusia. Membangun proses keberagamaan yang dialogis dalam membina kerukunan antar umat beragama, juga mesti dipertimbangkan kesucian dan kehadiran agama. Memposisikan agama dalam bingkai dialog merupakan prasyarat bagi umat beragama untuk melangkah pada kesadaran hidup yang damai, lebih bermartabat, beradab, demokratis, toleran, adil dan berkarakter.

Atas dasar pemikiran ini, menjadi penting mengkaji tentang pesan perdamaian agama dalam bingkai dialog inklusif, sehingga perdamaian antara umat beragama dapat diwujudkan. Jika dialog antara agama dapat diwujudkan maka dialog inklusif menjadi strategi membumikan pesan perdamaian abadi agama. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pemikiran dalam menjembatani isu pluralitas dan berupaya mengungkap kembali makna agama sebagai sumber perdamaian abadi kehidupan antar umat beragama, sehingga strategi membumikan pesan perdamaian agama dapat diwujudkan dan menjadi alternatif mengatasi problem pluralitas.

Berdasarkan pada uraian di atas, diketahui bahwa meskipun usaha mendialogkan agama dilakukan sangat intens dan sinergis, namun, sampai saat ini perdamaian antara umat beragama belum dapat diwujudkan, masih jauh dari yang diharapkan, bahkan konflik, pertikaian, perang, dan pembunuhan semakin meningkat. Perbedaan antar aliran saja dapat memicu gerakan keagamaan dan perang pemikiran intern umat beragama. Untuk itu perlu menggali lebih jauh makna dialog agama, khususnya relevansi dialog inklusif bagi upaya mewujudkan perdamaian agama. Untuk menjawab persoalan di atas, maka peneliti memvokuskan diri pada beberapa pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep dialog dalam kaitannya dengan agama? 2. Bagaimana membumikan pesan perdamaian agama dalam bingkai dialog inklusif?

Membangun keberagamaan yang saling menyapa membutuhkan sikap keberagamaan yang dialogis. Sikap keberagaman yang dialogis ini tidak akan terbentuk apabila tidak memahami agama sebagai sebuah ajaran yang menjunjung tinggi perdamaian agama-agama. Hal ini menunjukkan signifikansi pendekatan dialog inklusif dalam menyelesaikan konflik antar umat beragama yang terjadi selama ini. Selama ini pendekatan yang digunakan masih bersifat top down, belum menggunakan model dialog yang bersifat bottonm up, sehingga dialog inklusif bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi penyelenggaraan dialog antara umat beragama di masa depan, sekaligus menjadi alternatif bagi problem pluralitas agama. Pada dataran ini pesan perdamaian yang terkandung dalam agama memungkinkan untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah teologi kerukunan antar umat beragama yang dikembangkan oleh Karl Rahner dan Raimundo Pannikar. Karl Rahner menggunakan pendekatan teosentris/kristosentris dan Raimundo Pannikar menggunakan pendekatan dialogis. Teosentris Karl Rahner merupakan upaya sistematis untuk menegaskan sikap eksklusifisme dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan sifat universalnya.5

Sementara Pannikar melalui metode dialog berusaha menunjukkan kehadiran kebenaran agama yang ada dalam setiap agama dan memperlihatkan bagaimana “penyingkapan

5 Karl Rahner, Christianity and The Non-Christian Religions” dalam Christianity and Other

(4)

kebenaran tersebut dapat menjadi pencerahan timbal balik bagi semua yang terlibat.6

Dengan berpijak pada dua teori yang dikembangkan masing tokoh dia atas, peneliti mencoba mengungkap makna dialog bagi upaya mewujudkan perdamaian anta umat beragama.

B. Pembahasan

Indonesia merupakan salah satu bentuk masyarakat multikultural. Multikulturalitas masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan ras, tetapi juga agama. Agama yang diakui di Indonesia adalah: Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Dengan perbedaan agama yang dianut masyarakat Indonesia, menjadi rasional adanya gesekan-gesekan. Keadilan dan kebersamaan merupakan hal penting dan utama yang mesti dipertimbangkan antar kelompok yang berbeda, baik dalam kaitannya dengan ras atau agama. Untuk itu dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, maka diperlukan sikap saling menghormati dan rasa saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari.

Dalam pembukaan UUD 45 pasal 29 ayat 2 disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap individu untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kebebasan beragama dalam Islam juga diatur sedemikian rupa. Manusia diberi kebebasan untuk beriman atau tidak. Tidak ada paksaan dalam agama. Keadilan Tuhan nyata diberikan kepada manusia dengan menjunjung tinggi nilai, harkat dan martabat kemanusiaannya.

Keadilan ekonomi, politik, budaya maupun agama merupakan seperangkat nilai-nilai yang berkaitan erat dengan harkat, martabat dan kesejahteraan manusia. Visi sejati agama, khususnya syari’at Islam juga bertujuan mewujudkan kemaslahatan dan keadilan bagi manusia dunia dan akhirat. Syari’at Islam itu dibangun berlandaskan pada kebijaksanaan. Islam mengajarkan keadilan, kemaslahatan, kebijaksanaan, dan kasih-sayang. Jika keluar dari nilai-nilai ini, maka dianggap bertentangan dengan syari’at Islam.

Ketika reformasi lahir bersama nilai-nilai demokratis yang dibawanya, keterbukaan dan kebebasan yang melekat pada nilai itu telah disalahartikan oleh sebahagian orang. Keterbukaan untuk menyatakan pendapat didistorsi menjadi kebebasan memfitnah dan menyerang orang lain. Kebebasan mengeluarkan aspirasi dan ekspresi mengalami pembiasaan menjadi prilaku anarkhis yang sewenang-wenang. Akibatnya, kebebasan bagi yang satu menjadi ancaman bagi yang lain. Yang terancam merasa bebas untuk membalas, sehingga terjadilah konflik berkepanjangan, baik bersifat horizontal maupun (semi) vertikal. Ironisnya, agama ikut berperan menciptakan dan mengembangkan anarkisme dan konflik tersebut. Sebahagian orang atau kelompok menjadikan agama sebagai justifikasi untuk menyerang kelompok lain yang tidak sealiran atau tidak seagama. Dengan menggunakan lebel agama, konflik dan kerusuhan atau api permusuhan semakin mudah berkobar dan merambah ke mana-mana.7

Menurut Azra, akar berbagai konflik bermula pada rasa frustasi, alienasi, serta derivasi ekonomi dan politik. Situasi politik yang berkembang menumbuhkan kekecawaan dan kemarahan yang siap meledak setiap saat menjadi kekerasan politik. Pada kondisi ini, agama menjadi pemicu paling mudah dan efektif sebagai alat

(5)

pemersatu dalam mengarahkan massa untuk melakukan kekerasan yang dibungkus dengan lebel agama. Pada saat yang sama hukum sulit ditegakkan. Akibatnya, proses pengadilan hukum terhadap pelaku kekerasan bersifat setengah hati.8

Kondisi ini semakin diperburuk oleh sebahagian elit politik yang kini duduk di lembaga tinggi Negara yang membuat situasi kehidupan semakin memanas melalui pernyataan-pernyataan yang justru membuat masyarakat semakin marah, seakan-akan tidak lagi tersisa sikap dan prilaku mereka yang mengarah untuk penyelesaian masalah, selain sikap mengumpulkan kekuatan untuk saling rebut pengaruh. Selama egoisme, ambisi, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan semua interes di luar kepentingan rakyat dan bangsa, maka segala upaya dari pihak manapun – termasuk pemerintah – tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan dengan tuntas, bahkan bangsa terus terpuruk dalam krisis yang lebih parah. Dengan demikian, perlu upaya serius dan intens serta menyeluruh agar dapat menyelesaikan persoalan secara tuntas. Untuk itu jeda pilitik yang diusulkan J. Kristiadi (Kompas, 10 Juli 2000) menjadi sangat signifikan diperhatikan. Melalui jeda politik, pertarungan politik dan perebutan kekuasaan dikalangan elit yang bertujuan untuk kepentinan subyektif atau kelompok, yang mengabaikan kepentingan rakyat atau umat beragama harus benar-benar dihentikan.9

Dalam perspektif mana pun, politik semacam itu tidak pernah berdampak positif, termasuk si pelaku sendiri. Para elit politik dalam Negara, termasuk kaum agamawan, perlu melakukan semacam dialog yang benar-benar tumbuh dari nilai kemanusiaan dan ajaran substansial agama, yang mencerminkan ketulusan hati nurani, sikap kedewasaan dan rasa tanggung jawab sosial serta kesadaran moral yang tinggi, sehingga perdamaian antar bangsa dan antar umat beragama dapat terbangun, bukan dialog semu sebagaimana sering dilakukan selama ini. Dialog seperti ini perlu dikembangkan dalam skala nasional yang melibatkan tokoh-tokoh seluruh komponen bangsa dan dari semua unsur - dari daerah, suku, intelektual, dan agama. Dialog ditekankan pada upaya menumbuhkan kesadaran intrinsik bahwa kekerasan, konflik dan perang tidak pernah membuahkan nilai positif bagi siapap pun dan dalam aspek mana pun, dan tidak pernah ditolerir oleh agama apa pun dan rasa kemanausiaan universakl yang hakiki.

Abd A’la dalam bukunya “Melampaui Dialog Agama” (2002), menegaskan bahwa keinginan untuk menciptakan perdamaian antar umat beragama semakin tampak ketika pada tahun 1993 dilaksanakan konferensi World Parliament of Religions di Chicago. 6.500 anggota Majlis Perlemen Agama-agama Dunia hadir dalam konferensi ini dan berhasil merumuskan suatu pernyataan yang diberi judul Global Ethics. Dalam pernyataan itu disebutkan bahwa “menjadi manusia seutuhnya dalam spirit agama-agama besar dan tradisi etik berarti umat manusia seluruh dunia dalam kehidupan publik dan pribadi harus peduli terhadap sesamanya dan alam lingkungannya, siap membantu dan tidak boleh brutal dan keras. Setiap bangsa, ras, dan penganut agama hendaknya menunjukkan toleransi dan respek dalam bentuk apresiasi yang tinggi terhadap yang lain. Yang minoritas perlu dilindungi dan dibantu dan pada saat yang sama kelompok mayoritas jangan bersifat angkuh dan arogan serta mau menang sendiri.10

Budhy Munawar Rachman, dalam bukunya “Argumen Islam untuk Pluralisme” (2010), mengatakan bahwa umat Islam pada umumnya tidak memiliki persepsi untuk

(6)

melihat krisis yang muncul dari sudut Islam sendiri, tetapi yang dilihat adalah bahwa Islam menghadapi ancaman dan konspirasi, khususnya konspirasi Yahudi dan Kristen untuk menghancurkan Islam. Pandangan itu mengacu pada ayat-ayat al-Qur’an yang melihat sikap orang Yahudi dan Kristen itu sebagai permanen dan tidak berubah. Sebaliknya kebangkitan Islam juga menjadi ancaman bagi orang lain dan lingkungannya. Krisis umat Islam sebenarnya terjadi diseluruh dunia Islam. Dunia Islam tidak lagi menjadi Dar al-Islam (Bumi Yang damai), tetapi Dar al-Harb (Bumi Konflik dan Perang). Krisis ini juga terjadi di Indonesia yang ditandai oleh munculnya terorisme yang dilakukan oleh organisasi-organisasi atau individu yang mengatasnamakan Islam. Islam sebagai syari’at yang toleran tidak lagi tercermin dalam perilaku umat Islam sendiri. Partai-partai Islam tidak bersatu bahkan terpecah belah. Jika John Naisbitt melihat gerakan fundamentalis Islam dan aksi-aksi teroris sebagai fenomena kebangkitan agama, maka dalam realitasnya gejala itu sama sekali tidak bisa disebut sebagai gejala kebangkitan, justru menjadi gejala krisis keagamaan.11

Sementara itu, J.B. Banawiratma, Zainal Abidin Baqir dkk, dalam bukunya

Dialog Antar Umat Beragama (2010), membagikan upaya dialog yang telah dilakukan dalam tiga kelompok: pertama, dialog yang disponsori oleh pemerintah, terutama Kementerian Agama yang memulai sejarah dialog di Indonesia, kemudian oleh kementerian Luar Negeri melalui diplomasi publiknya yang baru dimulai beberapa tahun yang lalu. Kedua, dialog yang difasilitasi lembaga masyarakat sipil. Ketiga, dialog yang dikembangkan di lembaga-lembaga akademis, khususnya pada tingkat pascasarjana, dan pengembangan studi agama yang memiliki implikasi pada dialog.12

Di era teknologi informasi saat ini, mulai memberikan warna lain bagi metode dialog antar agama, sehingga kesulitan berdialog dalam dunia nyata dengan leluasa dapat dilakukan melalu kecanggihan dunia maya (internet). Facebook misalnya, yang sangat digandrungi oleh masyarakat Asia, khususnya bangsa Indonesia, meskipun gagasan ini merupakan milik sebuah organisasi Yahudi Inggris, yang bertujuan untuk mempertemukan orang dari berbagai latar belakang kepercayaan dan agama melalui internet. Uniknya, Facebook yang bertujuan untuk memerangi ekstremisme keagamaan ini juga didukung oleh Muslim Institute London yang merupakan organisasi terkemuka di Inggris, tanpa menghiraukan muatan budaya apa pun, latar belakang rasial atau keyakinan yang diikuti, mereka sama-sama mengakui serta menerima bahwa pencipta adalah sama apapun manusia menyebutnya.13

Hassan Hanafi, sebagaimana diuraikan panjang lebar oleh M. Zainuddin (2010), bahwa tujuan dialog adalah terwujudnya landasan humanisme umum; memodernisir kedua agama (Islam-Kristen) pada satu titik pusat sasaran, yakni peran dan arti agama; meningkatkan keimanan; membangun dialektika yang berciri pluralisme, tidak hanya bersifat teoretis, tetapi dialog kehidupan yang bersifat praktis.14 Sementara itu, dialog

menurut Howe Reuel L., ibarat darah dengan tubuh, jika darah berhenti mengalir, maka tubuh tidak akan berfungsi dan mati. Melalui dialog inklusif dapat menghadirkan Tuhan dalam dunia, karena dalam dialog inklusif manusia saling membuka diri, sekaligus

11Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Pluralisme, (Jakarta: Gramedia, 2010), hal. xxii-xxiii

12 J.B. Banawiratma dan Zainal Abidin Baqir, etc., Dialog Antar Agama, (Bandung: Mizan, 2010), hal. ix

13 J.B. Banawiratma dan Zainal Abidin Baqir, etc., Dialog..., hal. 35

(7)

membuka diri kepada Tuhan. Apabila manusia telah membuka diri kepada Tuhan, maka disanalah ditemukan hakikat serta keajaiban dialog.15

Dialog inklusif menurut Hans Kung adalah bahwa setiap orang beragama harus membuktikan keimanannya masing-masing, terlepas dari semua perbedaan yang ada. Setiap umat beragama harus bertanggung jawab terhadap Tuhan dan melayani masyarakat manusia dengan penuh penghormatan satu sama lain. Dialog antar umat beragama benar-benar dapat menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam dialog inklusif diperlukan sikap saling terbuka antar pemeluk agama.16

Mudji Sutrisno menegaskan bahwa tidaklah cukup membangun dialog antar umat beragama hanya dengan dialog logika rasional, tetapi perlu logika psikis, sehingga upaya dialog teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencarian-pencarian psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul, dan ini baru dapat dilakukan oleh orang yang inklusif dalam beragama, karena sikap eksklusivisme terus berusaha agar orang lain mengikuti agamanya dengan menganggap agama lain keliru dan tidak mempunyai keselamatan.17

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, dapat ditegaskan bahwa bahwa dialog inklusif antar umat beragama yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan sesuatu yang urgen dan berada dalam kerangka relasi serta pencarian makna kebenaran dan perdamaian antar agama yang hendak dicapai. Dialog dalam penelitian ini diarahkan untuk kebenaran yang mengantarkan pada situasi di mana isi dan ajaran yang dipertentangkan satu sama lain dapat terlampaui, dengan memperhatikan aspek sosiologis, filosofis religius dan aspek edukasi. Tujuan dilakukan dialog adalah memecahkan persoalan yang terjadi dalam kehidupan beragama, sehingga agama dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

A. Agama dan Kebutuhan Manusia

Agama merupakan kebutuhan fundamental kehidupan manusia. Di sepanjang sejarah dan disetiap tahap evolusi umat manusia, ada agama yang diikuti oleh penduduk dunia. Pada tahap evolusi apa pun dan dalam periode manapun, manusia selalu membutuhkan kehadiran agama. Kebutuhan manusia pada agama tidak dapat digantikan oleh pemenuhan lainnya, seperti ekonomi, politik dan lain-lain. Agama pada hakikatnya diturunkan ke bumi atas kehendak Tuhan, sebagai pedoman dan petunjuk bagi hambanya beriman. Agama melandasi setiap peradaban yang dibuat manusia, namun sering manusia tidak menyadarinya.

Manusia memang tidak mungkin dilepaskan sama sekali dari agama, setinggi apapun kemajuan yang dicapainya. Ada ruang spiritualitas dalam diri manusia, karena manusia bukan hanya homo sapiens, melainkan juga homo religius. Karen Amstrong, dalam bukunya A History of God mengungkapkan kekhawatirannya sebagai berikut: “Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan, mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala-hala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan, Tuhan senantiasa ada dan akan selamanya ada dalam setiap jiwa manusia sebagai spirit identity”.18

15 M. Zainuddin, Pluralisme..., hal. 65

16 Hans Kung, Islam, Past, Present and Future, (England: One World Publication, 2007), p. 504 17 Hans Kung, Islam..., p. 507

(8)

Meskipun agama berasal dari Tuhan, tetapi memahami serta merealisasikan agama diserahkan kepada manusia. Pada dataran inilah ilmu agama lahir, yang bersifat sepenuhnya manusiawi dan bergantung pada pengetahuan dan penguasaan manusia. Para pencari unsur-unsur yang konstan dan yang varian dalam agama, hendaknya mengetahui bahwa perbedaan antara keduanya dan ketentuan atas perwujudannya adalah bagian dari wilayah ilmu agama.

Dengan demikian, keduanya mengikuti interpretasi tertentu terhadap agama. Ketentuan atas unsur-unsur yang konstan dan yang varian ini tidak akan diperoleh sebelum memahami agama, melainkan setelah memahaminya. Konsekuensinya, di mana pun dan apa pun yang kita hadapi adalah ilmu manusia tentang agama yang mengamati dan memahami agama, sehingga yang demikian itu tidak bisa serta merta disebut agama, bahkan bukan agama. Ketentuan semacam ini mencakup semua cabang ilmu pengetahuan manusia.

Atas dasar ini suatu bidang ilmu yang dikaji manusia, baik itu ilmu agama, kurang lengkap bahkan tidak memadai dan selalu terikat dengan budaya. Upaya memperbaiki serta meluruskan pandangan merupakan upaya terpuji, sehingga ilmu keagamaan selalu uptudate dan seiring dengan perubahan peradaban manusia, serta selalu mempertimbangkan keseimbangan antara ilmunya dengan realitas kosmis atau ajaran Tuhan yang disebut sebagai agama. Aktivitas seperti ini dapat disebut sebagai reformasi dan kebangkitan agama, sehingga maraknya muncul gerakan keagamaan akhir-akhir ini, meskipun kadangkala menimbulkan konflik, agama semakin menunjukkan signifikannya di tengah-tengah kancah perdebatan dan peradaban manusia.

Memposisikan agama pada dataran eksistensialnya sebagai sumber kedamaian dan kemashlahatan hidup manusia, memang dirasakan sangat sulit dalam situasi dunia yang karut-marut saat ini, jika tidak dilandasi oleh kemampuan intelektual dan strategi yang mapan. Apabila kaum agamawan bersedia mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang keberagamaannya, maka orang akan mengetahui adanya perubahan dan evolusi ilmu agama. Jika psikologi Islam lahir pada zaman modern, jika ilmu agama tetap di bawah dominasi pemikiran Yunani, dan jika gaya tradisional penetapan hukum agama (ijtihad) dianggap tidak memadai lagi, apakah ilmu agama akan mengalami kefanaan? Tentu tidak, hanya orang yang tidak mengetahui perbedaan antara agama dan ilmu agama yang akan mencapai kesimpulan yang keliru bahwa ilmu agama, bahkan agama itu sendiri akan fana.

Wahyu Ilahi berasal dari wilayah yang mengatasi ruang dan waktu, wahyu bukan penjara alam atau peradaban, sehingga pengetahuan atau pemahaman manusia atas agama berlangsung temporal, jika tidak maka tidak dapat bertahan. Dengan demikian, sifat ilmu agama adalah temporal, suatu pedoman yang berlaku secara universal, tidak lain maksudnya selain mensikronkan dan mengadaptasi cabang ilmu pengetahuan manusia ini dengan ilmu-ilmu dan kebutuhan masing-masing zaman. Transformasi dalam bentuk ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia kecil kemungkinannya menjadi penyebab transformasi ilmu agama.

(9)

masing-masing budayanya? dan mengapa filsuf Islam berbeda dengan kaum sufi? Sejumlah pertanyaan inilah yang menggiring sejumlah pemerhati ilmu agama kepada pertanyaan besar yang harus di jawab, yakni: mengapa manusia membutuhkan reformasi dan kebangkitan agama?

Titik tolak untuk memperoleh jawaban dari sejumlah pertanyaan yang muncul di atas, dapat dimulai dengan mencoba memehamai kembali eksistensi agama dan fungsinya bagi kepentingan kemanusiaan. Agama sebagai sistem nilai dan ajaran, memiliki fungsi yang pasti dan jelas untuk mengembangkan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan sejahtera. Secara historis, agama Islam termasuk agama apapun yang terdapat di dunia ini bertujuan untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia bermoral. Karena itu, ketika manusia telah jauh menyimpang dari fitrah, nabi-nabi diturunkan untuk mengembalikan mereka kepada kehidupan yang benar, yang cenderung kepada kebaikan dan menjauhi segala kejahatan.19

Kebenaran agama sebagai suatu tradisi universal adalah abadi (perennial). Sejak diturunkan pertama sekali kepada Adam, hingga Nabi yang terakhir Muhammad saw, kebenaran, kesejatian dan kesucian agama ada dan terpelihara, tidak pernah berubah. Sifat al-Qur’an yang disebut universal, menunjukkan bahwa kebenaran yang ada dalam agama sebagai subtansi dari Firman Allah senantiasa dapat hadir dan siap menghadapi tantangan apapun yang ada dan terjadi dalam kehidupan manusia.

Meskipun ilmu pengetahuan manusia terus berubah dan peradaban yang diciptakan manusia terus melangkah ke arah lebih maju dan berkembang tanpa mengenal kata henti, agama dalam dimensi fitrahnya, senantiasa mampu menjawab setiap persoalan kehidupan. Agama akan senantiasa hadir, bahkan manusia sendiri yang akan berusaha menghadirkan agama saat di mana manusia sendiri membutuhkannya. Jika agama kini dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman, berarti manusia tidak lagi memahami agama sebagai mana mestinya dan tidak mampu menangkap pesan dan menemukan kebenaran sejati agama sebagai jalan keluarnya.

Hal ini dapat dilihat pada prilaku yang ditunjukkan oleh sebahagian umat beragama diseluruh dunia saat ini, tampak tidak bersesuaian dengan anjuran suci agama-agama. Suasana paradoks selalu mengitari kehidupan umat beragama, bahkan ada yang merasa bahwa dengan melakukan hal-hal yang menjatuhkan atau menganggap salah serta melawan agama lain sebagai pekerjaan mulia dan mendapat pahala, dakwah agama dengan cara kekerasan menjadi sebuah ajaran yang seolah-olah diajarkan agama. Tidak jarang sebahagian orang menganggap bahwa perbuatan menghalangi atau melarang adalah jihad yang didorong oleh justifikasi agama. Cara semacam ini semakin menunjukkan tanda-tanda ortodoksi pemahaman agama.

Keadaan ini menjadi tugas berat umat beragama yang ingin beragama secara benar, saleh, mendamaikan dan menebar keselamatan. Memposisikan agama sebagai kepentingan kemanusiaan, berarti mengembalikan agama pada posisi yang sebenarnya, yang mengajarkan keadilan, kedamaian dan kemashlahatan bagi kehidupan. Kedamaian dan kemashlahatan agama berdimensi universal, dalam arti mencakup seluruh umat manusia dan setiap aspek kehidupannya, baik prilaku ekonomi, politik, hukum, mauun aktivitas-aktivitas sosial kemanusiaan lainnya.

Apabila selama ini dirasakan adanya pemegang otoritas atas tafsir wacana agama, sudah semestinya dipikirkan ulang untuk melakukan reinterpretasi, agar dapat menjawab tantangan-tantangan yang terus menghdang. Peradaban telah berubah,

(10)

pemahaman dan cara pandang serta penafsiran tentang agama juga harus dipertimbangkan agar sesuai dengan tuntan zaman. Jika tidak, maka agama akan terus dipandang lemah dan bahkan dianggap tidak mampu menjawab persoalan kemanusiaan.20

Dapat diprediksikan bahwa akan tiba suatu saat, ketika manusia mencari keadilan yang lebih utuh daripada yang telah ditemukan diantara manusia, yakni suatu perasaan keagamaan yang merindukan kebenaran suci yang mendamaikan kehidupan lahir dan batin. Perasaan ini timbul bukan karena dorongan dari luar, tetapi justru bentuk perlawanan kesejatian jiwa manusia terhadap apa yang terjadi dan berlawanan dengan naluri kemanusiaannya. Sudah saatnya umat beragama membangun tradisi atau wacana keagamaan yang menghargai kehadiran setiap agama, sehingga mampu menghadirkan suasan kehidupan bersama yang lebih toleran dan transformatif.

Sudah saatnya juga para elit agama tampil sebagai pengemban misi agama-agama yang bernuansa baru, yakni humanis, universalis, kulturalis, bahkan multikuralis, menjadi sebuah model di mana para pemeluk agama menunjukkan sikap yang lebih kental dan hanif keberagamaannya dengan leluasa memberikan kebebasan berekspresi di kalangan setiap pemeluk agama-agama tanpa suatu pemaksaan untuk beriman pada Tuhan.

Dalam kaitannya dengan hal ini, maka bukan saatnya lagi khutbah-khutbah agama yang disampaikan di mesjid, gereja atau pura tidaklah harus berupa pemaparan dogma-dogma yang kaku dan parsial, sehingga dipahami umatnya menjadi sangat parsial. Khutbah atau ajaran agama akan lebih bermanfaat jika diarahkan pada pemahaman dan perolehan ilmu pengetahuan tentang hakikat nilai yang terkandung dalam agama dan dimensi spiritualitas agama yang tertanam dalam diri manusia sebagai fitrah kemanusiaan yang melandasi iman. Ajaran agama yang bersifat dogmatik bukan hanya membuat ilmu agama dan daya pikir umatnya tumpul, namun berpeluang terjadinya claim-claim dan justifikasi yang menuai konflik antar umat beragama dan merusak harmonisasi kehidupan yang kini sudah mulai terjalin dengan baik.

Saatnya kini umat beragama mulai memikirkan bagaimana membangun sikap inklusif dalam beragama yang dilandasi pada etika pergaulan yang diajarkan setiap agama dalam bingkai moral universal. Ini menjadi tugas sentral seluruh umat beragama yang percaya bahwa Tuhan mengajarkan manusia melalui para nabi sebagai utusannya untuk bertindak secara moral. Ukuran kebaikan adalah moralitas universal yang senantiasa mendorong manusia sendiri untuk melakukan tindakan baik dan meninggalkan tindaka yang buruk.

Dorongan tersebut bukan karena sekedar perintah Tuhan, tetapi merupakan bagian dari perintah moral manusia sendiri yang ingin memperoleh kebaikan atas dirinya. Kesadaran ini hanya dapat muncul apabila manusia memang ingin mendapatkan kedamaian dalam hidupnya, sehingga manusia sendiri yang meretas perdamaian abadi yang terkandung dalam agama sebagai unsur hakiki tujuan yang ingin dicapainya, demi untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman dalam hidupnya.

Untuk itu dialog dalam upaya mewujudkan pesan perdamaian antar umat beragama, merupakan sebuah upaya signifikan untuk mengembalikan hakikat agama dan tujuan hakiki kehidupan manusia. Dalam upaya mewujudkan cita-cita perdamaian agama, salah satu strategi yang dianggap mapan dan sesuai dengan tuntutan zaman adalah model dialog inklusif. Model dialog ini diharapkan dapat menjadi salah satu

(11)

strategi implementasi pesan perdamaian agama dalam kehidupan, demi keselamatan agama dan masa depan kemanusiaan.

Dalam upaya membangun proses keberagamaan yang dialogis, juga mesti dipertimbangkan dimensi metafisik dari makna kesucian dan kehadiran agama-agama. Memposisikan agama dalam bingkai dialog inklusif berarti umat beragama mulai melangkah kepada bentuk kesadaran hidup yang damai, harmonis, terbuka, toleran, adil dan berkarakter. Jika dialog antar agama dapat diwujudkan maka dialog inklusif menjadi strategi membumikan pesan perdamaian abadi yang terkandung dalam setiap agama

. Gambaran Umum tentag Dialog Antar Agama

Akar kata dialog adalah dialektika dari bahasa Inggris (dialectic) dan Yunani (dialektos) yang artinya pidato, pembicaraan atau perdebatan. Dalam konteks ilmu, dialetika ini berawal dari Zeno, Sokrates dan Plato. Pada awal sejarah kemunculannya, dialektika menunjuk kepada debat dengan tujuan utama menolak argumen lawan atau membawa lawan kepada kontradiksi-kontradiksi, dilematis atau paradoks. Biasanya seorang dialektikawan, tidak pernah membiarkan sesuatu untuk tidak dipersoalkan. Dialektika juga dipandang sebagai seni mengajukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tepat dalam sebuah diskusi pada saat tepat, secara tepat, sehingga melahirkan sebuah rumusan atau kesepakatan.21

Sokrates adalah orang pertama yang memberikan bentuk klasik tentang dialektika. Melalui metode dialektika, Sokrates menggiring pemikiran manusia kepada hakikat hal-hal dengan menjelaskan konsep-konsep secara bertahap. Tahapan-tahapan ini kemudian dilanjutkan oleh Plato (murid Sokrates) dalam bentuk dialog-dialog. Dialog-dialog yang dilakukan Plato berupaya menggali hakikat hal-hal melalui proses pernyataan dan kontradiksi. Pada akhirnya dialog tersebut menyiapkan jalan naik kepada realitas asli, yakni ide-ide. Karena itu bagi Plato dialektika adalah sebuah metode metafisika dan menghasilkan pengetahuan tertinggi. Plotinus mengembangkan lebih jauh dan memandang dialog sebagai sebuah jalan naik menuju Yang Satu. Sementara Fichte menganggap proses dialektika mencakup tiga hal yang saling terkait, yakni tesis, antitesis dan sintesis, jejak ini kemudian diikuti oleh Hegel.22

Dialog dalam penelitian ini diarahkan pada sikap inklusif dalam beragama, Sikap inklusisf biasanya dilawankan dengan sikap eksklusif dan dipertemukan dengan sikap pluralis dalam beragama. Sikap eksklusif adalah sikap yang secara tradisional telah sangat berpengaruh dan mengakar dalam masyarakat Muslim hingga saat ini, yang menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan. Sedangkan sikap inklusif adalah sikap yang memandang bahwa Islam adalah agama yang mengisi dan menyempurnakan berbagai jalan yang lain. Semetara sikap pluralis adalah sikap yang memandang bahwa setiap agama mempunyai jalannya sendiri, yang sama absah, untuk mencapai keselamatan.23 Ketiga istilah ini terkait erat dengan

perdamaian agama.

Dalam pemikiran Islam paham inklusivisme dimulai dengan penggalian pengertian Islam bukan sebagai organized religion (agama terlembaga), tetapi menggalinya dalam arti metafisik-transendental (rohani). Sebagai wujud dari fitrah kemanusiaan, Islam bermakna pasrah sepenuhnya kepada Allah, sebuah sikap yang

21Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedi, 1996), 161 22Lorens Bagus, Kamus..., hal. 162-163

23Budi Munawar Rahman, Argumen Islam untuk Pluralisem: Islam Progressif dan Perkembangan

(12)

menurut para pendukung paham inklusif menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Karena itu semua agama yang benar disebut Islam. Al-Qur’an memang mengatakan bahwa Nabi Nuh mengajarkan Islam dan mewasiatkan ajaran itu kepada anak turunannya, termasuk keturunan Nabi Ya’qub atau Israil (QS. 2: 130-132).

Sikap inklusif menerima sifat plural dari agama. Sebagai agama atau sebagai sejarah awal dari sebuah tradisi universal menurut pandangan inklusif, Islam adalah agama yang mengembangkan ide plural. Islam hadir dalam lingkungan yang plural. Akar dari sifat plural inilah yang kini dicoba kembangkan oleh kalangan intelektual Islam progressif, sehingga mapan menjadi pandangan Islam tentang pluralisme. Islam telah bertemu dan berdialog dengan agama-agama lain sejak awal sejarahnya.

Dialog Islam dimulai dengan etika pergaulan yang diinspirasi oleh al-Qur’an yang mengajarkan pluralitas. Al-Qur’an menganut prinsip plural (QS. 2:62), prinsip kebebasan beragama (QS. 2:256), hidup berdampingan secara damai (QS. 109; 1-61), dan banyak lagi ayat-ayat lain yang berbicara tentang bagaimana membangun kerjasama, bersikap adil serta melindungi tempat-tempat ibadah agama lain. Inilah dasar yang membenarkan anggapan paham inklusif agama yang memandang bahwa Islam agama yang melindungi setiap agama dan mengelola perbedaan dalam Rahmat Ilahi yang mendamaikan.

Motivasi dari dialog inklusif adalah teleransi dan kerukunan antar umat beragama dengan tujuan menyelamatkan agama dan misi ajarannya yang telah direduksi oleh sains modern. Dialog yang sejati adalah dialog yang berangkat dari ketulusan hati masing-masing pemeluk agama dengan menyadari adanya keterbatasan, tetapi sekaligus mempunyai pelbagai kelebihan untuk saling berbagi. Yang paling bijak adalah mendalami agama masing-masing, lalu mencari titik temu dan bersepakat untuk berbeda dengan sikap saling menghargai hal-hal yang tidak bisa bertemu. Jika antara umat beragama dapat bersikap seperti ini maka semua umat beragama dapat hidup dan merasakan damai dalam perbedaan. Atas dasar ini dialog inklusif diharapkan dapat menjadi landasan teoretis bagi kehidupan yang damai antar umat beragama sehingga konsep perdamaian agama dapat menjadi alternatif mengatasi problem pluralitas dan titik temu antar agama dapat dikenali.

Gagasan dialog antar agama di satu sisi merupakan bentuk dukungan bagi keimanan masing-masing umat beragama dalam menghadapi tantangan, konflik serta peperangan antar agama. Di sisi lain juga merupakan dukungan persaudaran umat manusia dalam menghadapi rasialisme. Gagasan dialog antar agama menjadi penting dalam upaya mewujudkan budaya damai dan kesadaran akan tanggungjawab kemanusiaan. Sejak awal kemunculnya, dialog agama sebenarnya hendak menyeru semua umat beragama untuk berhimpun merumuskan kembali strategi membangun hubungan antar manusia atas dasar keadilan, toleransi, dan hidup berdampingan secara damai dalam komunitas yang berbeda.

Pola dialog inklusif mengedepankan hati nurani, sekaligus mengembalikan agama dan nilai hakiki kemanusiaan pada wilayah kekuasaannya, sehingga manusia beragama adalah manusia yang memiliki sifat sifat Tuhan, bukan makhluk monster yang selalu siap memangsa manusia lain. Dialog inklusif yang konstruktif akan memberi solusi yang lebih menyegarkan dan bersifat transformatif, sehingga dimungkinkan untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian yang telah tergadaikan.

(13)

inklusif antar umat beragama, di satu sisi dapat menjembatani sikap eksklusif dalam agama agar tidak merambat ke wilayah publik. Sikap eksklusif dalam agama memang perlu untuk memelihara keimanan masing-masing umat beragama, tapi tidak untuk menghakimi agama lain. Masing-masing umat beragama memiliki landasan iman yang berbeda, dan berhak mempertahankan kebenaran agama mereka. Klaim pembenaran agama hanya berlaku untuk agama masing-masing, tetapi tidak dapat dibenarkan jika klaim pembenaran ini digunakan untuk menghakimi kebenaran atau menganggap salah kebenaran yang diakui agama lain.

C. Membangun Sikap Keberagamaan Yang Damai dan Dialogis: Tantangan dan Solusi

Tidak mudah untuk mencapai cita-cita perdamaian dan kemanusiaan di tengah-tengah kompleksitas masalah yang sedang dihadapi umat beragama saat ini. Umat beragama sedang menghadapi arus perubahan yang sangat cepat dan mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan. Kaum agamawan dituntut untuk memikirkan kembali tentang agama dan nilai kemanusiaannya.

Bagaimana agama dan keberagamaan dapat berperan mengantarkan manusia menjadi individu yang dewasa, merdeka dan bertanggung jawab terhadap agama dan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat dan bangsa di dunia, umat beragama harus memperluas wawasan serta berlapang dada menghadapi berbagai isu yang terus mengancam keutuhan bangsa. Kompleksitas persoalan yang muncul terkait dengan isu keagamaan akhir-akhir ini, semakin mendorong para intelektual dan praktisi pendidikan untuk memikirkan tentang agama, sehingga tak heran banyak sekali muncul pemerhati agama dan masalahnya, baik di kalangan agamawan, budayawan, sosiolog, maupun akademisi.

Salah satu faktor ketidakmampuan agama dalam memberikan landasan bagi penciptaan kehidupan yang damai dan sejahtera terletak pada mandulnya teologi dalam menangkap perkembangan realitas kehidupan. Teologi yang berkembang saat ini masih disominasi oleh devensive teologia yang theistic-oriented dan sangat kental dengan karakter eksklusif. Teologi semacam ini menitikberatkan bahasannya pada upaya memperkukuh keimanan transcendental semata. Sementara nilai-nilai imanen yang terdapat pada aspek akidah dan ibadah diabaikan.

Keimanan yang dikembangkan dalam konstruksi teologi tersebut tidak mampu menjadi world view yang berfungsi sebagai landasan etika bagi kehidupan manusia. Dalam kondisi seperti ini, sseorang atau sejumlah kaum agamawan bisa saja hidup dalam simbol-simbol agama, tapi sikap dan prilaku mereka tidak mencerminkan sama sekali nilai-nilai substansial agama. Demikian juga umat beragama di Indonesia, dapa saja mengklaim sebagai bangsa yang religius, namun dalam kehidupan praktis mereka melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran agama mereka sendiri.24

Dalam ranah pemikiran keagamaan, persoalan pelik yang dihadapi umat beragama saat ini adalah minimnya pemahaman agama dan kesadaran masyarakat memisahkan antara aspek doktrinal-teologis dari ajaran sebuah agama dengan aspek kultural sosiologis-historisnya, padahal hanya merupakan hasil inteterpretasi atau penafsiran para intelektual agama. Akibatnya, hal ini kemudian berimbas lebih jauh pada efektivitas tawaran solusi agama atas persoalan-persoalan yang memiliki korelasi positif

(14)

dengan historisitas kemanusiaan. Dengan kata lain, karena hanyut dalam persoalan eskatologis dan cenderung diinterpretasikan secara taken for granted, agama kemudian menjadi tumpul dan tidak lagi peka dalam merespon persoalan-persoalan kemanusiaan.

Mengatasi hal ini dibutuhkan upaya serius dan intens serta menyeluruh agar dapat menyelesaikan persoalan secara tuntas. Para elit politik dalam Negara, khususnya kaum agamawan, perlu melakukan dialog yang benar-benar tumbuh dari kesadaran religius yang mencerminkan ketulusan hati nurani, sikap kedewasaan dan rasa tanggung jawab sosial serta kesadaran moral yang tinggi, sehingga perdamaian antar bangsa dan antar umat beragama dapat terbangun, bukan dialog semu sebagaimana sering dilakukan selama ini. Dialog seperti ini lebih dikenal dengan dialog inklusif.

Dalam menciptakan hubungan yang harmonis di antara pemeluk agama, setidaknya ada sepuluh prinsip menurut Leonard Swidler25, yang harus dijunjung tinggi

agar dialog inklusif antar umat beragama dapat terjalin dengan baik, damai dan harmonis: Pertama, adanya keinginan untuk belajar. Tujuan penting dialog adalah belajar mengenal dan memperoleh pengetahuan yang luas tentang bermacam-macam agama-agama yang ada; Kedua, mengupayakan dialog dalam dua arah, memandang secara adil antara agama yang dipeluk sendiri dengan yang dipeluk orang lain. Dalam proses dialog tidak diperkenankan hanya melalui satu sudut pandang saja, diperlukan sikap bijaksana serta tidak memihak pada satu agama yang dianut saja; Ketiga, kejujuran. Setiap pemeluk agama harus bersikap jujur terhadap urusan intern agamanya; Keempat, membuat perbandingan secara adil, antara afiliasi sikap beragama dengan doktrin keagamaan, misalnya meyakini bahwa setiap agama mengajarkan hal-hal yang mengarah kepada kebaikan bersama; Kelima, adanya identitas yang otentik. Dalam dialog setiap anggota diharuskan menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi pada diri serta agamanya. Hal ini menjadi penting dalam menjaga keotentikan cara pandang masing-masing agama; Keenam, menghilangkan prasangka-prasangka buruk, demi menjaga hubungan harmonis antar umat beragama. Visi dari dialog antara agama adalah bukan mendakwahkan agama, tetapi sebuah upaya mengenali dan menjalin komunikasi antar pemeluk agama; Ketujuh, adanya kesetaraan atau keseimbangan. Hal ini akan memberikan stimulus bahwa tiap agama memiliki kebaikannya masing-masing. Prinsip kesetaraan mengajarkan bahwa tiap pemeluk agama tidak berhak untuk merasa paling benar dari agama lain; Kedelapan, adanya rasa saling percaya, hal ini berguna untuk menghapus prasangka-prasangka buruk atas agama lain; Kesembilan, sikap kritis terhadap tradisi sendiri; Kesepuluh, merasakan dari dalam. Poin terakhir inilah menjadi pokok dalam menumbuhkan kedamaian dan keharmonisan antar pemeluk agama dalam bingkai dialog inklusif. Poin terakhir ini disebut juga dengan “passing over”, sebuah upaya merasakan kesejukan dan kenyamanan dari agama lain di luar agama yang di anut. Prinsip ini merupakan bentuk tingkatan sikap keberagamaan yang paling tinggi dan paling jujur di antara tahapan-tahapan dialog antar iman.

Dengan demikian, seseorang diharapkan mampu menghormati komitmen sendiri sebagai mutlak untuk dirinya sendiri, dan sekaligus menghormati komitmen mutlak yang berbeda dari orang lain. Inilah yang oleh Sayyed Hossein Nasr disebut sebagai

relatively absolute. Dari uraian di atas bisa dipahami, betapa pentingnya dialog antaragama. Bahwa umat beragama harus menyadari adanya persamaan dan perbedaan di antara mereka, tetapi etika dan perilaku agama-agama memiliki banyak kesamaan. Harus disadari pula, bahwa dialog antaragama bukan hanya bertujuan untuk hidup

(15)

bersama secara damai dengan membiarkan pemeluk agama lain bereksistensi, melainkan juga berpartisipasi secara aktif dan mengakui eksistensi pemeluk agama lain.26

Persoalan yang muncul kemudian adalah, dalam bentuk yang seperti apakah dialog itu bisa dilaksanakan? Ada beberapa alternatif: Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta seperti yang dilakukan oleh World’s Parliament of Religions pada 1893 di Chicago. Dalam dasawarsa 1980-an dan 1990-an dialog parlementer sering dilakukan di bawah pengawasan organisasi-organisasi multi agama, seperti World Conference on Religion and Peacre (WCRP) dan The World Congress of Faiths (WCF).27

Dalam pertemuan parlementer ini, ratusan peserta cenderung memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerjasama antar agama sekaligus menggalang perdamaian di antara pemeluk agama. Kedua, dialog kelembagaan (institutional dialogue), yakni dialog di antara wakil-wakil institusi berbagai organisasi agama. Dialog ini sering dilakukan untuk membicarakan dan memecahkan masalah-masalah mendesak yang dihadapi oleh umat yang berbeda agama. Biasanya dialog kelembagaan ini melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, seperti MUI, PGI, KWI, Walubi, dan lainnya. Ketiga, dialog teologis (theological dialogue). Dialog ini mencakup berbagai pertemuan –baik reguler maupun tidak– untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filsafat. Dalam dialog semacam ini tema yang pernah diangkat, misalnya, pemahaman kaum Muslim dan Kristen tentang Tuhan, sifat wahyu Tuhan, dan sebagainya. Dialog teologis sebenarnya juga bisa menjangkau hal-hal yang lebih luas, seperti makna tradisi keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme agama. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialogue in community) dan dialog kehidupan (dialogue in life). Dialog model ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian ”hal-hal praktis” dan ”aktual” dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama. Misalnya, hubungan antara agama dan negara, hak-hak kaum minoritas agama, penyebaran agama, perkawinan antaragama, dan sebagainya.28

Kelima, dialog spiritual (spiritual dialogue). Dialog semacam ini bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Dialog model ini tidak bisa dipisahkan dari ”dialog teologis”, tetapi keduanya dapat dibedakan, karena orang-orang yang melibatkan diri dalam dialog spiritual lebih menekankan pendalaman kehidupan spiritual ketimbang artikulasi problem-problem teologis. Dialog teologis-filosofis yang sarat dengan nuansa mistik dan spiritual dalam kenyataannya banyak dilakukan oleh para pemikir yang sangat akrab dengan dunia mistisisme dan spiritualitas. Menyebut sekadar contoh, misalnya, Sarvepalli Radhakrishnan (An Idealist View of Life), Masao Abe (Zen and Western Thought), Stanley Samartha (Courage for Dialogue), Raimundo Panikkar (Intra-Religius Dialogue), Huston Smith (Forgotten Truth: The Primordial Tradition), Frithjof Schoun (The Transcendent Unity of Relegions), dan Sayyed Hossein Nasr (Knowledge and The Sacred).29

Bagi pemikir-pemikir di atas, dialog bertujuan bukan hanya untuk menjawab berbagai tantangan intelektual dan teologis serta tradisi dan budaya lain, tetapi juga untuk mencari makna terdalam bagi kehidupan manusia yang sangat berharga untuk

26S. H. Nasr, Islam Tradisi Di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1989), 57

27 Mun’im Sirry, Membendung Militansi Agama, Iman dan Poltik dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: IKAPI Erlangga, 2003), 199-200.

(16)

memperkaya dan memperdalam pengalaman spiritualnya. Bagi mereka, dialog bertujuan bukan hanya untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul dari pluralitas keagamaan, melainkan juga untuk mengembangkan bentuk spiritualitas yang dapat memenuhi kepuasan rohani.

Demikianlah, berbagai bentuk dan model hubungan serta dialog antaragama yang mungkin bisa dilakukan. Yang pasti, bahwa dengan adanya dialog antaragama yang dilakukan secara sehat, cerdas dan dewasa, kita semua akan menyadari betapa kebersamaan dalam hidup beragama dapat menjadi pendorong munculnya sikap-sikap kritis yang sejati, yang tidak terhalang oleh perbedaan, pluralitas dan batas-batas formalisme agama. Dan jika dikatakan, bahwa setiap agama memiliki daya kritisnya sendiri dalam memahami realitas, serta dapat menjadi sumber moral bagi kehidupan yang lebih bermakna, maka setiap pemeluk agama memiliki alasan kuat untuk saling memberdayakan iman masing-masing menuju keberagamaan yang inklusif, toleran dan sejati.

Gagasan dialog agama bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan umat beragama, khususnya Islam. Islam sejak awal sejarah munculnya telah dihadapkan pada kenyataan yang serba plural. Berbagai peristiwa yang dihadapi telah memberikan petunjuk kepada dunia Islam tentang bagaimana hidup berdampingan secara damai di tengah-tengah kenyataan yang berbeda dan beragam. Atas alasan pluralitas ini, dalam mewujudkan stabilitas Negara yang tenteram dan damai, Nabi Muhammad saw mengadakan suatu perjanjian dengan masyarakat non-muslim.

Peristiwa penting yang dapat dijadikan landasan sejarahnya adalah lahirnya “Piagam Madinah” sebagai bentuk Perjanjian Kaum Muslimin dengan Kaum Yahudi di Madinah. Makna dan tujuan dari Piagam Madinah ini dibuat adalah untuk menjamin hak dan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok non-Muslim lainnya. Kemerdekaan dan kebebasan beragama dijamin, dan seluruh masyarakat baik muslim atau non muslim berkewajiban untuk mempertahankan kedamaian dan keamanan Negara dari ancaman luar.30

Setiap agama, oleh Islam diberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan menentukan agama apa yang dianut. Di samping memberikan kebebasan, Islam juga melarang adanya pemaksaan dalam agama. Prinsip ini merupakan dalil yang cukup jelas bagi tumbuh dan berkembangnya dialog antar umat beragama. Al-Qur’an juga menegaskan sikap penerimaan terhadap kehadiran agama-agama lain selain Islam untuk hidup berdampingan. Yahudi, Nasrani, dan agama-agama lain, diakui sepenuhnya eksistensi atau keberadaannya oleh al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam Firmannya: “Sesungguhnya orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi’in, siapa saja (di antara manusia) yang beriman kepada Allah dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhan-nya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati”.31

Al-Qur’an juga mendorong umat beragama untuk bekerjasama dan membangun solidaritas iman dengan orang lain, demi menegakkan keadilan dan kebenaran. Solidaritas ini dilandasi oleh kehendak yang sama untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman, dengan menentang ketidakadilan demi menciptakan negeri yang hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Sikap Islam terhadap agama lain berdiri di atas prinsip kesejajaran, toleran dan salin melengkapi atas dasar Rahmat Ilahi yang bersifat universal. Sikap toleran dan hidup bersama dalam keberagaman lebih baik dari sikap

(17)

saling berseberangan karena perbedaan. Dialog inklusif ditekankan pada upaya menumbuhkan kesadaran intrinsik bahwa kekerasan, konflik dan perang tidak pernah membuahkan nilai positif bagi siapapun dan dalam aspek mana pun, dan tidak pernah ditolerir oleh agama apa pun, bahkan termasuk jauh dari sifat hakiki agama dan nilai kemanusiaan.

Dalam teori Global Ethic, sebagaimana ditegaskan Abul A’la dalam bukunya

Melampoui Dialog Agama, bahwa untuk menjadi manusia seutuhnya dalam spirit agama-agama besar dan tradisi etik, berarti umat manusia seluruh dunia dalam kehidupan publik dan pribadi harus peduli terhadap sesamanya dan alam lingkungannya, siap membantu dan tidak boleh brutal dan keras. Setiap bangsa, ras, dan penganut agama hendaknya menunjukkan toleransi dan respek dalam bentuk apresiasi yang tinggi terhadap yang lain. Yang minoritas perlu dilindungi dan dibantu dan pada saat yang sama kelompok mayoritas jangan bersifat angkuh dan arogan serta mau menang sendiri.32

Membangun sikap keberagamaan yang saling menyapa membutuhkan sikap keberagamaan yang inklusif. Sikap keberagamaan yang inklusif tidak akan terbentuk apabila tidak memahami agama sebagai sebuah ajaran yang menjunjung tinggi perdamaian agama-agama. Selama ini pendekatan yang digunakan masih bersifat top down, belum menggunakan model dialog yang bersifat bottom up. Dialog yang berkembang dari bawah (bottom up), dapat digambarkan dengan tujuh dataran yang berhubungan satu sama lain. Tujuh dataran dialog tersebut adalah: dialog kehidupan; analis sosial dan refleksi etis kontekstual; studi tentang tradisi-tradisi agama; dialog antar umat beragama (berbagi pengalaman keagamaan); dialog lintas agama); dialog aksi; dan dialog intra religius umat beragama.33

Dataran dialog ini dapat digambarkan sebagai bentuk lingkaran praktik, yang terus berkembang sebagai bentuk proses penafsiran hidup melalui analisis sosial dan refleksi etis, dan lebih jauh dapat juga di perdalam dengan penafsiran teks suci agama, sehingga lingkaran praktik ini masuk dalam lingkaran hermeneutik. Dialog ini beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama membiarkan pembahasan teologi satu agama dipengaruhi oleh teologi agama lain, sehingga satu teologi lebih memperdalam kehidupan rohani agama sendiri. Prasyarat dari sikap yang harus dimiliki untuk melakukan dialog agama, bukan terletak pada penyelarasan semua keyakinan, melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan teguh akan kebenaran muthlak, dan bahwa keyakinan-kenyakinan ini berbeda-beda.

Umat Kristen merasa terikat pada Kristus, Muslim merasa terikat pada Qur’an sebagai Firman Allah yang penghabisan. Islam mengajarkan keselamatan universal bagi semua manusia, dan Kristen juga mengakui adanya keselamatan di luar agama mereka, demikian juga agama lainnya. Dalam pandangan inklusif, tiap-tiap agama dianggap memiliki sesuatu yang muthlak, yang tidak dapat dilepaskan tanpa menghancurkan identitas paling pokok dari iman. Dialog seperti ini membutuhkan kematangan ego yang memadai untuk membiarkan lawan dialog hidup berdampingan secara damai tanpa merasa bahwa mereka dapat disesuaikan. Setiap kemampuan dan kebutuhan akan penegasan kategoris dipahami sebagai milik bersama oleh semua orang beragama, sehingga dengan sendirinya menjadi landasan untuk berdialog.

32 Abd A’la, Melampaui..., hal. 11-12

(18)

Sikap inklusif meniscayakan adanya paham pluralisme, sebaliknya pluralisme juga menuntut adanya sikap inklusif. Karena pluralisme merupakan realitas yang niscaya, dalam bentuk apa pun dan di mana pun kita berada, maka berarti sikap inklusif pun menjadi suatu keniscayaan. Di sinilah kemudian muncul satu cara interaksi sosial antar keyakinan, agama dan ideologi, yakni apa yang biasa disebut sebagai dialog. Karena itu, setiap pemeluk agama harus menyadari kenyataan tentang pluralisme ini. Sebab, hanya dengan kesadaran inilah hubungan dialogis antarumat beragama bisa dibangun.

Penggabungan antara pengalaman keagamaan dan pengetahuan sejati tentang Tuhan, Yang maha Absolut, bukan saja berhasil menemukan kesatuan transenden agama-agama dari sudut esotericnya, tetapi juga membentangkan berbagai kemungkinan atau jalan sebagai upaya mengembalikan manusia kepada fitrahnya, sebagai insan religius yang sudah menerima pesan-pesan agama dalam perjanjian primordialnya. Dialog antar umat beragama dimaksudkan untuk membangun komunikasi antar orang-orang yang berbeda agama dan inter pemeluk agama. Dialog juga merupakan jalan bersama dalam mencapai kebenaran dan kerjasama dalam segala aspek kehidupan. Dialog juga merupakan perjumpaan antar pemeluk agama, tanpa merasa rendah dan tinggi, tanpa agenda atau tujuan yang dirahasiakan, tetapi tujuan dari agama.34.

Pancasila juga mengisyaratkan tesis bahwa ”Tuhan Maha Esa” terkandung makna universalitas, sehingga iman atau kepercayaan seorang hamba adalah pengakuan dan penerimaan akan kebenaran, keindahan dan kebaikan Tuhan merupakan awal dan akhir, (”Tradisi” atau agama) tanpa batas dan universal.35 .

Untuk mendapatkan pemahaman yang kaya akan tradisi agama-agama lain diperlukan sikap keberagamaan yang perennial, tidak sekedar inklusif, tetapi pluralis. Inilah yang diajarkan oleh para ahli Filsafat Agama, seperti: John Hick, Karl Rahner, Raimundo Pannikar, Smith, Frithjof Schuon dan Nasr dalam gagasan perennialnya. Nasr mengatakan bahwa agama lain sebenarnya adalah bentuk implisit dari Islam sebagai ”Tradisi” universal atau awal agama. Keselamatan universal secara ontologis telah dituangkan dalam agama sebagai bentuk esoteric dari ”Tradisi” yang diwahyukan melalui utusan Tuhan.36

Menurut Raimundo Pannikar, masing-masing agama mengekspresikan bagian penting dari kebenaran. Ekspresi itu dapat berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan tantangan antar agama yang satu dengan agama yang lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pluralitas. Pannikar mengakui bahwa pertemuan agama-agama hanya dapat berlangsung pada inti tradisi-tradisi agama itu sendiri. Tradisi-tradisi tersebut juga harus dipahami dalam perspektif yang lebih luas yang melampaui batas-batas geografis dan budaya.37.

Jadi, dalam upaya membangun kehidupan umat beragama yang harmonis dan dilogis di Indonesia, sedikitnya menurut peneliti akan menyentuh dua hal pokok: Pertama, menghidupkan suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain; Kedua, mengarah kepada upaya membangun kerja sama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan secara bersama di masyarakat. Dengan demikian, dialog antar

34Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaaga, Press, 1992), 208

35Damardjati Supadjar, Filsafat Ketuhanan Menurut Alfred North Whitehead, (Yogyakarta: Fajar

Pustaka Baru, 2000), 191.

36S. H. Nasr, Traditional Islam In The Modern Word, (London: Kegan Paul International, 1987),

119

(19)

agama akan mengarah kepada suatu pemahaman mengenai keyakinan orang lain, dengan menghindari sikap meremehkan, apalagi mendistorsikan keyakinan-keyakinan mereka. Setiap agama harus memberikan kebebasan bagi manusia untuk menentukan agama apa yang akan dipeluknya. Islam juga melarang pemaksaan dalam agama. Prinsip ini merupakan dalil paling jelas bagi pluralitas dalam Islam. Dalam banyak ayat, al-Qur’an menjelaskan prinsip ini (Q.2: 256; 10:108; 17:15; 18:29).

Menghargai warisan keagamaan dan menjunjung tinggi kepercayaan setiap agama dan kemajemukannya, merupakan sikap yang harus dijaga serta dipelihara dalam berdialog intens antara umat beragama. Dialog yang dilakukan tidak berpijak pada pandangan teologi tertentu, kecuali teologi yang terbuka kepada dialog antar iman. Sebagaimana John Hick menegaskan bahwa gagasan-gagasan agama didialogkan bersama agar dapat saling merangsang dan menunmbuhkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih eksplisit tentang kemanusiaan, demi kedamaian dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan. John Hock adalah figur yang sangat mengagumkan, yang dikenal sebagai ahli Filsafat Agama.38 Pemikirannya merupakan kombinasi antara

seorang sarjana yang memiliki keimanan mendalam, anti rasisme, figur pluralis sejati, sekaligus seorang yang sangat toleran. Pemikiran John Hick juga sangat penting bagi pemerhati agama dalam memaknai nilai-nilai kemajemukan.

Mendukung pendapatnya tentang Kristen, Rahner membentuk pendiriannya dalam empat tesis berikut: (1) Agama Kristen memahami dirinya sebagai agama mutlak yang ditujukan untuk semua orang dan oleh karena itu tidak dapat mengakui agama lain sebagai sama dengan dirinya; (2) Injil mengajarkan bahwa agama bukan Kristen dapat mengisi individu tidak saja melalui pengetahuan alamiah tentang Allah, tetapi juga melalui unsur-unsur rahmat yang adiduniawi; (3) Agama Kristen tidak hanya menghadapi penganut agama lain sebagai bukan Kristen, melainkan sebagai orang Kristen yang anonim; dan (4) Gereja tidak akan terlalu menganggap dirinya sebagai komunitas eksklusif orang-orang yang memiliki keselamatan, melainkan lebih sebagai barisan dengan sejarah dan ungkapan yang tersurat dari harapan Kristen yang hadir sebagai realitas terselubung dalam agama-agama lain.39

Melalui empat tesis ini, Rahner menunjukkan rahmat Allah yang terdapat dalam ajaran agama yang menyelamatkan dan mendamaikan serta bersifat universal, dengan sikap eksklusivisme Kristus sebagai kriteria yang nyata sempurna untuk rahmat itu. Apabila seseorang belum terbuka terhadap Kristus, maka orang tersebut dapat mengalami rahmat Allah – yang dipahami secara apriori semua agama – dalam agama lain. Meskipun demikian, Rahner dan orang-orang Kristen tidak dapat menolak dan harus mengakui bahwa Allah lebih besar daripada manusia dan gereja. Menurut Rahhner, memperhitungkan realitas mengenai rahmat Allah dalam agama-agama lain, menjadi dasar bagi orang Kristen untuk bersikap toleran, rendah hati, namun tegas terhadap semua orang yang bukan Kristen. Nampak disini bahwa teori teosentris Rahner mengalihkan perhatian dari keunikan Kristus kepada universalitas Tuhan.40

Sementara itu, Raimundo Pannikar bertitik tolah pada anggapan bahwa kebenaran yang dikemukakan oleh setiap ajaran agama yang ada, pada dasarnya bersifat universal, tetapi kemudian sering dianggap sebagai pendirian yang – kalau tidak fanatik – partikular dan terbatas, dan semuanya merupakan perumusan yang dibatasi oleh

faktor-38John Hick, Philosophy of Religion, (Philadelvia: Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, Wistminster Press, 2006), 174.

(20)

faktor budaya, sehingga sulit mencapai suatu kebenaran universal. Pannikar berusaha menunjukkan kehadiran kebenaran agama yang ada dalam setiap agama dan memperlihatkan bagaimana “penyingkapan kebenaran tersebut dapat menjadi pencerahan timbal balik bagi semua yang terlibat. Pada dataran ini Pannikar dipandang telah mereduksi arti pengalaman tentang kebenaran dalam satu agama dengan menjelaskannya dalam kaitan dengan simbol-simbol dari agama lain. Sebenarnya Pannikar tidak mengecilkan atau mereduksi pengalaman mengenai kebenaran dalam satu agama, Karena Pannikar mengakui bahwa apabila suatu kebenaran diakui oleh kedua belah pihak (dalam dialog), berarti dimiliki oleh kedua belah pihak, maka masing-masing pihak akan menyebut kebenaran itu dengan nama yang cocok bagi tradisi partikular yang mengakuinya.41

Konsekuensinya adalah apabila Kristen mengakui kebenaran agama di luar agamanya sendiri, maka tentu saja sepantasnya mereka akan melihatnya dengan kacamata Kristen dan akan menjelaskannya sebagai suatu kebenaran Kristen yang ditemukan. Demikian juga agama Hindu, melihat kebenaran dalam agama Kristen, kebenaran itu akan dinilai sebagai kebenaran Hindu dalam pandangan Kristen.

Tesis Pannikar menjelaskan bahwa dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran – Kristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu, demikian juga agama lainnya – dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman baru mengenai kebenaran. Melalui dialog menurut Pannikar, akan terjadi perluasan dan pendalaman setiap pengalaman partikular tentang kebenaran Ilahi. Dalam dialog, hubungan antar agama bukanlah hubungan assimilasi, atau hubungan substitusi (yang belakangan disebut dengan istilah yang salah, yaitu “konversi”), melainkan hubungan yang saling menyapa dan saling menyuburkan”.

Dalam dunia yang serba plural ini, dialog menurut Pannikar bertujuan untuk menekankan kesinambungan dalam kedalaman yang dapat ditemukan di antara agama-agama dan komunitas-komunitas yang ada. Di balik seluruh dialog terdapat Misteri Ilahi yang kebenarannya ada dan dicari oleh setiap agama sebagai tujuan hakiki kemanusiaan. Misteri Ilahi bukanlah realitas yang sama sekali transenden yang hanya dapat dikenali melalui peribadatan, tetapi benar-benar imanen dan aktif dalam situasi sejarah kemanusiaan, di mana manusia selalu berhubungan erat sebagai sesama peziarah.42

Teologi Karl Rahner merupakan upaya sistematis untuk menegaskan sikap eksklusivitas dan universalitas ajaran Kirsten, sekaligus mengakui serta menghormati Kehendak Allah yang berlaku universal. Rahner mangatakan bahwa: “apabila satu pihak memahami keselamatan sebagai sesuatu yang khas dalam ajaran Kristen, dan pihak lain menganggap Allah benar-benar dan sungguh-sungguh bermaksud menyelamatkan semua orang, maka kedua pihak ini tidak dapat didamaikan dengan cara lain, kecuali dengan menyatakan bahwa setiap manusia sesungguhnya memang terbuka dan menerima Rahmat Ilahi yang adiduniawi. Rahmat yang berlaku universal inilah yang mendorong Rahner untuk mendamaikan teologi Kristen dengan pengalaman keagamaan orang-orang di luar Kristen.43

Rahner secara seksama melindungi keunggulan ajaran Kristen dan keberadaan agama lain. Menurutnya, meskipun setiap individu terbuka terhadap Rahmat Allah

41 Raimundo Pannikar, The Unknown Christ of Hinduism, (Maryknoll: Orbis Books,1981),p.7 42 Raimundo Pannikar, dalam Harol Coward, Pluralisme..., hal 79.

43Karl Rahner, Christianity and The Non-Christian Religions, dalam Christianity and Other

Referensi

Dokumen terkait

Syair-syair GK lahir dan hidup di masa modern yakni pada tahun 2002, oleh karena itu timbul pertanyaan ”Apakah parikan dalam syair GK masih mengikuti pola metrum

Memang, untuk jenis chart yang sudah umum seperti column dan bar, Anda dapat mengatur data secara sederhana pada baris dan kolom di worksheet.. Tapi untuk jenis chart seperti pie

Berdasarkan analisis deskriptif dari variabel kinerja karyawan (Y), hasil grand mean sebesar 4,07 yang berada pada interval baik, yang berarti secara keseluruhan dapat

Pada bagian pengujian ini penulis menggunakan teknik kuisioner untuk mengetahui keberhasilan dari film yang penulis buat. Adapun konsep kuisioner yang penulis gunakan yaitu

Proses utama yang pertama adalah analisis kebutuhan, yaitu proses identifikasi dan deskripsi kebutuhan, permintaan, dan kendala dalam pengembangan Pembelajaran

Laporan keuangan Reksa Dana untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019 telah diselesaikan dan diotorisasi untuk penerbitan pada tanggal 10 Februari 2020

Walaupun kadar kalium dalam serum hanya sebesar 2% dari kalium total tubuh dan pada banyak kasus tidak mencerminkan status kalium tubuh; hipokalemia perlu dipahami karena