• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Adat Nomenklatur Strategis yang Ter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desa Adat Nomenklatur Strategis yang Ter"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Desa Adat, Nomenklatur Strategis yang Terancam Mandul1

Oleh

R. Yando Zakaria2

1. Pengantar

Untuk pertama kalinya dalam usia kemerdekaan Republik Indonesia yang telah mencapai 70 tahun, kebijakan negara tentang desa -- atau yang disebut dengan nama lain – tidak lagi terperangkap upaya penyeragaman. Seturut azas rekognisi yang dikandung oleh Pasal 18 (sebelum amandemen) dan kemudian Pasal 18B ayat (2) (pasca amandemen) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Desa – selanjutnya disebut UU Desa – mengakui keberadaan dua jenis desa, yaitu desa dan desa adat, atau bisa juga disebut dengan nama lain. Pasal 6 menegaskan bahwa keduanya merupakan “… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Sebagaimana diatur lebih lanjut pada Bab XIII, Bab khusus tentang desa adat, khususnya pada Pasal 97 ayat (1), disebutkan bahwa masyarakat hukum adat yang dapat ditetapkan sebagai desa adat itu adalah masyarakat hukum adat yang memenuhi syarat sebagai berikut:i

(a)kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup;ii

(b)kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat;iii dan

(c)kesatuan masyarakat hukum adat beserta tradisional sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.iv

Agar masyarakat hukum adat itu dapat ditetapkan sebagai desa adat melalui peraturan daerah tentang penetapan desa adat di tingkat kabupaten/kota (Pasal 101 ayat 2), keberadaan desa adat pertama-tama harus diatur dalam sebuah peraturan daerah tentang pengaturan penerapan desa adat di Propinsi (Pasal 109).v

Pada dasarnya, sebagai fakta sosial tentunya ‘desa adat’ bukanlah sesuatu yang sama sekali baru ataupun yang diada-adakan. Sekedar menyebut dua contoh saja, desa adat umum terdapat di Propinsi Bali dan disebut desa pekramanvi dan apa

yang disebut nagari Sumatera Barat.vii

Melalui UU Desa, berbeda dengan apa yang telah terjadi pada masa sebelum ini, desa adat tidak lagi dilihat sekedar sebagai fakta sosial dan budaya belaka,

1

Terbit dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 19, No. 2, Desember 2015. Halaman 168 – 193.

2 Praktisi antropologi. Fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta; dan

(2)

melainkan ‘ditinggikan derajatnya’ sebagai ‘fakta politik dan hukum’. Hal ini secara ekplisit dicerminkan oleh diberikannya hak pada desa adat itu untuk ‘mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunan’ sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 6 itu.

Secara umum tidak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa

adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat.

Sebagaimana diatur pada Pasal 19, baik desa maupun desa adat pada dasarnya memiliki kewenangan yang sama. Meski begitu, sebagaimana diatur pada Pasal 103, sesuai dengan asas rekognisi (pengakuan) sebagaimana yang diatur pada Pasal 3, desa adat dapat dikatakan memiliki kewenangan yang lebih luas dari pada desa. Perbedaan itu terletak pada keluasan makna hak asal usul pada desa adat yang mencakup hal-hal: (a) pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasaran susunan asli; (b) pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; (c) pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat; (d) penyelesaian sengketa adat

berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras

dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; (e) penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (f) pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan (g) pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

Nomenklatur desa adat pada dasarnya adalah salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi. Sejak awal kontitusi Republik Indonesia memang telah mengakui hak-hak ‘susunan asli’ yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat jelas pada Penjelasan untuk Pasal 18 UUD 1945. Pada Butir II disebutkan bahwa “Dalam territoir Negara

Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen

dan“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,

dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan

mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”. Meski begitu, alih-alih

menterjemahkannya ke dalam kebijakan yang lebih operasional, yang terjadi pada masa setelahnya adalah justru pelanggaran ataupun pengingkaran terhadap sejumlah hak asal-usul yang berupa hak-hak sosial-ekonomi, hak-hak sosial-politik, dan hak-hak sosial-budaya yang melekat ‘susunan asli’ tersebut, dan telah menimbulkan dampak sosial dan ekologi yang tidak kecil (Zakaria, 2004).

Oleh sebab itu, dalam konteks pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang amanatkan oleh konstitusi itu, nomenklatur desa adat ini adalah salah satu upaya melibatkan kelompok masyarakat hukum adat ini ke dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah menyingkirkannya.

(3)

terobosan yang tidak biasa ini?

2. Dinamika Respons Para-pihak

Nomenklatur desa adat pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya menyelesaikan permasalahan hubungan negara dan masyarakat (hukum) adat yang memang

sangat beragam itu.viii Keberagaman itu tidak hanya berdasarkan hal-hal yang

bersifat turunan, seperti kategori ras, kelompok etnik, dan agama, melainkan juga berbeda dari hal-hal yang bersifat capaian, seperti kemampuan adaptasi lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya, yang berpangkal pada sistem teknologi dan sistem mata pencahian hidup yang dikembangkannya. Pengakuan negara akan

keberagaman ini telah tergambarkan ke dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang

kemudian dilanjutkan ke dalam pengaturan dalam konstitusi seperti yang telah

disebutkan di atas.ix

Disamping sebagai upaya untuk mewujudkan amanat konstitusi, secara praktis kehadiran nomenkatur ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai titik

awal bagi penyelesaian sengketa dan/atau konflik terkait penguasaan dan

pengusahaan sumberdaya agraria yang jumlahnya terus meningkat dan konflik tata batas desa dan kawasan hutan (negara).x

Meski begitu, sepertinya momentum perubahan yang terbuka itu tidak – atau belum -- termanfaatkan secara optimal. Padahal penerapan pelaksanaan nomenklatur desa adat memerlukan persiapan sedemikian rupa agar distorsi dari penerapan politik desentralisasi – dan juga otonomi pada tingkat komunitas -- yang telah dimulai sejak reformasi bergulir tidak terulang dan/atau justru semakin parah dari yang pernah ada sebelum ini. Sebagaimana banyak dilaporkan para pengamat politik desentralisasi dan otonomi komunitas, distorsi dimaksud terwujud ke dalam

sejumlah fenomena ‘patologi sosial’ semacam elite capture, diskriminasi antar etnik

dan/atau diskriminasi antar penduduk asli dan pendatang, kekerasan berbasis

kelompok etnik, dan kembalinya ‘raja-raja kecil’ (Franz von Benda-Beckmann, 1990,

2007, 2010; Gerry van Klinken, 2007 & nd., ; Adhuri, 2002 dan 2013; Nugroho, Dirdjosanjoto, Kana, eds., 2004; Rozi, et.al., 2006; Schulte Nordhold dan Klinken, eds., 2007; Davidson, Henley, dan Moniaga, eds., 2010; Brauchler, 2012; Franz dan Keebet von Benda-Beckmann, 2012.).

Terkait kemungkinan terjadinya sejumlah distorsi itu, Undang-Undang Desa sendiri telah melengkapi dirinya dengan sejumlah norma hukum yang diharapkan dapat mengatasi persolan-persolan itu. Misalnya, meski desa adat dapat melakukan pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasaran struktur yang ada pada susunan asli, untuk menjamin terlaksananya asas-asas pengaturan desa yang lain (lihat Pasal 3), Pemerintahan Desa Adat tetap harus bisa menyelenggarakan “fungsi permusyawaratan dan Musywarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru dengan prakarsa masyarakat Desa Adat”, sebagaimana yang

diatur pada Pasal 108.xi

(4)

sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana

pendukung”.xii

Pada akhirnya, sejauh tidak diatur khusus pada Bab XIII tentang ‘Ketentuan Khusus Desa Adat’, sebagaimana yang diatur pada Pasal 111 ayat (2), ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat. Itu artinya pengakuan terhadap nomenklatur desa adat tidaklah tanpa merujuk pada asas pengaturan desa (Pasal 3)

dan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, sebagaimana diatur pada Pasal 24.xiii

Meski begitu, sejauh data yang tersedia, respons Pemerintah Daerah, baik pada tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat ini dapatlah dikatakan rendah. Hingga waktu belakangan ini hanya ada 2 (dua) inisiatif yang berarti di tingkat Propinsi. Masing-masing adalah di Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bali. Meski begitu, hingga tulisan ini disusun, ‘Peraturan Daerah Propinsi tentang Pengaturan Desa Adat’ sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 109 di kedua Propinsi ini belum lagi ada yang sudah ditetapkan sebagai peraturan daerah. Dalam situasi yang demikian maka wajar saja bila penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 98 di kedua propinsi itu belum lagi dilakukan.

Tidak diketahui secara pasti mengapa keadaannya menjadi sedemikian rupa. Dalam satu kesempatan jumpa dengan Gubernur Kalimantan Barat, misalnya, hal itu dpat terjadi karena belum ada Peraturan Pemerintah yang menjelaskan lebih lanjut tentang keberadaan desa adat itu. Padahal, ironisnya, UU Desa sendiri tidak mengamanatkan perlunya menyusun Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat ini. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 109, pengaturan lebih lanjut tentang desa adat ini, khususnya menyangkut “susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan

daerah Propinsi”.xiv

Baru-baru ini terdengar pula ada inisiatif baru dari Kalimantan Timur.

Namun inisitif itu terwujud dalam langkah studi banding ke Bali. Padahal, sejauh

yang dapat ketahui, upaya untuk mempromosikan peluang desa adat sebagaimana yang diatur dalam UU Desa kepada berbagai stakeholder di Kalimantan Timur sudah dilakukan oleh pihak organisasi masyarakat sipil sejak awal tahun 2014 dilakukan. Tidak diketahui mengapa inisiatif DPRD setempat baru muncul di pertengahan tahun 2015 ini.xv

Meski begitu, hal yang di luar pengaturan normal yang ada dalam UU Desa justru terjadi di Propinsi Riau. Semula, tanpa merasa harus memiliki ‘Peraturan Daerah Propinsi tentang Pengaturan Desa Adat’ sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 109, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Pedesaan (BPM – Bangdes), Propinsi Riau mengumumkan bahwa setidaknya akan ada 281 desa di propinsi ini yang akan diusulkan untuk ditetapkan menjadi desa adat. Desa-desa itu tersebar di berbagai kabupaten di propinsi itu, antara lain, di Kabupaten Palalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Rokan Hilir, dan lainnya. Umumnya, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain, hingga hari ini belum ada kabupaten yang telah definitif menetapkan status

(5)

3. Tiga Kelompok Penghalang Pokok

Setidaknya ada 3 kelompok penghalang pokok yang menjadi latar-belakang mengapa respons para-pihak itu sedemikian rupa. Jika tidak segera diatasi, ketiga kelompok penghalang ini berpotensi menjadikan kebijakan tentang nomenklatur desa adat ini sebagai kebijakan yang mandul adanya.

Ketiga kelompok permasalahan itu masing-masing adalah (1) persoalan-persoalan yang menyangkut ada-tidaknya kebijakan turunan dan konsistensi

kebijakan turunan yang dibutuhkan; (2) persoalan yang terkait dengan political will

baik Pusat maupun Pemerintah di tingkat Daerah; dan (3) persoalan-persoalan yang terkait dengan ada-tidaknya kapasitas Pemerintah, terutama di tingkat Daerah dan komunitas yang bersangkutan.

Kelompok Masalah Penghalang 1 : Persoalan kelengkapan dan

konsistensi kebijakan

Sebagaimana diketahui nomenklatur desa adat adalah sesuatu yang baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan masyarakat sipil mengadvokasi ide dimaksud di dalam proses legislasi. Proses advokasi itu sendiri banyak bertumpu pada keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi yang sangat bersifat filsafati dan politis, sehingga pengaturannya lebih lanjut ke dalam norma pengaturan di tingkat undang-undang boleh dikatakan belumlah melalui proses pematangan makna yang optimal.

Oleh sebab itu, ada banyak norma pengaturan terkait desa adat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang perlu mendapatkan penjelasan dan pengaturan lebih lanjut. Oleh sebab itu pulalah kedua dokumen ini merekomendasikan perlunya disusun sebuah Peraturan Pemerintah yang khusus tentang Desa Adat meski hal ini tidak disebutkan dalam

Undang-Undang Desa (Rachman, et.al., 2014; Simarmata, 2014; dan Zakaria, 2014b dan

2014c).

Peraturan Pemerintah khusus tentang Desa Adat ini diperlukan tidak saja untuk memperjelas hal-hal yang belum jelas, namun terkait pula dengan kultur birokrasi di Indonesia yang tidak terbiasa bekerja dengan diskresi langsung tanpa pedoman kebijakan yang berjenjang, sebagaimana yang terlihat pada kasus pernyataan Gubernur Kalimantan Barat di atas. Bagi banyak pejabat di tingkat daerah, sebuah kebijakan di tingkat daerah, baik yang berupa peraturan daerah atau peraturan kepala daerah, perlu didahului oleh kebijakan yang ada di tingkat atasnya. Sebuah mandat yang ada dalam undang-undang belum bisa diterapkan jika mandat itu tidak ditegaskan (kembali) di dalam sebuah peraturan pemerintah, dan

jika perlu diperkuat oleh peraturan menteri terkait.xvii

(6)

Desa, pun tidak sinkron satu sama lainnya. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut, meski tidak ada satupun pasal Undang-Undang Desa yang mensyaratkan adanya Peraturan Menteri dalam urusan penataan desa, tiba-tiba pada Peraturan Pemerintah dimaksud, khususnya disebutkan pada Pasal 28 dan Pasal 32, urusan penataan desa itu, termasuk soal penataan desa adat, akan diatur dalam Peraturan Menteri, yang celakanya hingga laporan ini disusun juga belum tersedia.

Pada Tanggal 7 Februari 2015 ada berita yang mengabarkan bahwa “Menteri

Desa Ingin Desa Adat Diperhatikan”. Namun, nyatanya, hingga laporan ini disusun, belum ada kebijakan apapun yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Teringgal, dan Transmigrasi.xviii

Tabel 1

Sejauh catatan yang tersedia, satu-satunya inisiatif Pemerintah Pusat terkait dengan urusan desa adat ini adalah sebuah pertemuan sehari yang dilaksanakan oleh Tim Nasional Penanggulangan dan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K), sebuah unit kerja di bawah Kantor Wakil Presiden, yang diselenggarakan pada tanggal 11 Februari 2015 lalu. Sebelumnya, ada pula RDPU yang diselenggarakan oleh Komite 1 Dewan Perwakilan Daerah, yang diselenggarakan pada tanggal 21 Janurai 2015. Meski begitu, sejauh catatan yang tersedia, seperti telah dikatakan tadi, belum ada kebijakan apapun terkait desa adat yang telah dihasilkan hingga hari ini.

Anehnya, jika dapat dikatakan begitu, dalam waktu yang hampir bersamaan Kementerian Dalam Negeri justru memberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Meski keberadaan kebijakan ini tidak berhubungan langsung dengan penetapan desa adat sebagaimana dimaksudkan oleh UU Desa, UU Desa tetap menjadi salah satu kebijakan yang dirujuk dalam konsiderannya. Masalahnya, mekanisme penetapan masyarakat hukum adat menurut Permendari

(7)

No. 52/2014 ini berbeda sama sekali dengan penetapan desa adat versi UU Desa (lihat kembali Tabel 1 di atas). Maka, alih-alih (dapat) membantu daerah dalam menyongsong peluang untuk mendirikan desa adat, kehadiran Permendagri No. 52/2014 justru menambah kebinggungan Pemerintah Daerah terkait kebijakan tentang Desa Adat.

Selain itu, sejauh yang dapat diamati, peraturan menteri yang sudah ada, misalnya Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan

Hak Asal-Usul dan Kewengan Lokal Berskala Desa juga belum dapat membantu penerapan nomenklatur desa adat ini. Yang terjadi malah adanya kecenderungan untuk mengecilkan ‘ranah keberagaman’ Desa Adat melalui pengaturan yang tidak jauh berbeda dengan Desa. Jenis-jenis kewenangan desa yang diatur pun bahkan jauh lebih tidak jelas lagi ketimbang jenis kewenangan yang sudah diatur dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014.

Meski PP 43/2014 sudah direvisi arah revisi yang diharapkan jauh dari kebutuhan sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu. Dalam kertas kerja yang disusun untuk menyongsong proses revisi itu disebutkan bahwa, masalah yang berkaitan dengan pasal-pasal tentang desa adat adalah (1) ketentuan Pasal 6 UU Desa yang mengatur jenis desa, meliputi desa dan desa adat, ditafsirkan secara dikotomis, hal yang menimbulkan masalah desa dinas dan desa adat di Bali karena mereka menjadi satu kesatuan yang dua-duanya harus mendapatkan pengakuan hukum, bukan disuruh memilih desa atau desa adat. Disebutkan pula bahwa “hal ini merupakan kekeliruan yang fatal dalam memahami desa dan desa adat; dan Pengakuan yang mendasar atas jenis desa ini seharusnya juga dirinci pengaturan pelaksanaannya di dalam materi muatan PP 43/2014. Selain temuan secara umum di atas, studi ini menemukan secara khusus beberapa materi muatan

dalam PP 43/2014”.xix

Sepertinya penyusun masukan ini justru tidak – atau belum -- memamahi

konstelasi pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat yang menjadi dasar munculnya nomenklatur desa adat itu. Juga belum menyadari betapa lemahnya kedudukan hukum ‘desa adat’ di Bali itu dalam konteks pengakuan lebih lanjut atas hak asal-usul yang dimilikinya. Adanya pro-kontra yang kini terjadi di Bali tidak seharusnya menghilangkan dikotomi desa dinas dan desa adat dalam konteks pendaftarannnya dalam sistem administrasi Negara. Peleburan yang ‘begitu saja’ tetap akan membuat pengakuan atas hak asal-usul desa adat itu tetap rawan adanya. Sepertinya penyusun masukan revisi peraturan pemerintah itu ‘kalah gertak’ oleh kekuatan yang pro sistem dualitas yang sejatinya memendam konflik laten dan hegemonik itu.xx

Kelompok Masalah Penghalang 2 : Persoalan keseriusan Pemerintah

untuk mewujudkan komitmen ‘politik pengakuan’ terhadap hak-hak masyarakat (hukum) adat.

Kekosongan kebijakan turunan tentang desa adat menjadi bukti ketidaktulusan Negara dalam implementasi pengakuan hak-hak konstitusional ‘susunan asli’.

(8)

konteks penerapan UU Desa sebagai salah satu jalan untuk melakukan pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat ini, ketidaktulusan ini semakin nyata dengan hadirnya tafsir sepihak dari Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri, yang beranggapan masa transisi untuk menetapkan keberadaan desa adat itu telah berakhir pada tanggal 15 Januari 2015 lalu. Tafsir ini berpangkal pada Pasal 116: 3 yang memang dapat ditasir masa transisi itu hanya berlaku selama 1 tahun

pasca-penetapan undang-undang.xxi

Tafsir itu telah memakan korban. Di Bali, karena kurangnya waktu untuk bermusyawarah untuk menarapkan amanat Pasal 6 dan Penjelasannya, telah menimbulkan ketegangan antara pihak yang pro pada keadaan hari ini dengan pihak yang ingin menjadikan desa adat sebagai desa yang diregistrasikan di Pusat,

sebagaimana yang dimaksudkan oleh Penjelasan Pasal 6.xxii Di beberapa kabupaten

di Riau proses legislasi untuk penetapan desa adat yang sudah sampai pada tahap paripurna akhirnya dihentikan karena tengat penetapan desa adat yang diasumsikan adalah Tanggal 15 Januari 2015 itu telah terlewati. Dalam berita di media massa diketahui bahwa alasanya adalah Pemerintah Kabupaten yang bersangkutan tidak mau terlibat dalam masalah-masalah yang muncul akibat dari

waktu yang kadaluarsa ini.xxiii Dari sekian inisiatif di Propinsi Riau, akhirnya

peraturan daerah tentang desa adat berhasil ditetapkan di Kabupaten Siakxxiv dan

Kabupaten Rokan Hulu. xxv Meski begitu kejelasan status desa adat ini di

Kementerian Dalam negeri belum lagi jelas. “Belum ada instrumen hukum yang dapat digunakan dalam menindaklanjuti ketetapan di daerah itu,” ujar sebuah

sumer dari Kementeria Dalam Negeri.xxvi

Tafsir yang dikemukakan pihak Kementrian Dalam Negeri ini sama sekali berbeda dengan sikap Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dalam Press Release yang dikeluarkan Kementrian Desa PDTT pasca

pelaksanaan FGD “Outlook dan Roadmap Pelaksanaan UU Desa” yang

diselenggarakan kementrian itu pada tanggal 6 Januari 2015, salah satu rekomendasi pertemuan itu adalah Kementrian Desa PDTT akan mengambil inisiatif

dengan memasukkan kebijakan tentang desa adat ke dalam roadmap Desa dan

perancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat.xxvii Pasca-tanggal 15 Janurai

2015 dalam beberapa kesempatan Menteri Desa PDTT justru menegaskan akan

serius membantu masyarakat hukum adat untuk bisa mendirikan desa adat.xxviii

Menyambut hadirnya PP 47/2015 yang menggantikan PP 43/2015 Menteri Desa

PDTT menegaskan kembali komitmennya yang sama. "Jadi saya optimis dengan

terbitnya PP 47/2015 ini akan makin memperkokoh asas kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum, khususnya desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara prinsip genealogis dan prinsip teritorial" ujar Sang Menteri.xxix

(9)

‘pertama kali’ yang berdasarkan pada pengakuan hak oleh konstitusi itu, yang

kemudian ditegaskan ulang pada (Penjelasan) Pasal 98 ayat 1. Dalam proses

legislasi dulu, selaku Tenaga Ahli dari pihak Panitia Khusus RUU Desa DPR RI, saya menyampaikan bahwa hak ini tidak dapat dibatasi sampai kapanpun, kecuali komunitas yang bersangkutan sudah menggunakan hak ‘penetapan untuk pertama kalinya’ itu sendiri. Padangan yang demikian ini juga diamini oleh Zein Badjeber, seorang politisi dan ahli hukum tata negara senior yang menjadi salah seorang

Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa DPR RI lainnya. xxx

Sejak awal pihak Pemerintah (baca; Kementrian Dalam Negeri) memang menginginkan bahwa masa transisi menjadi desa adat itu akan dibatasi hanya berlaku satu tahun saja. Oleh sebab itu, dalam proses penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah yang melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Desa yang sudah direvisi itu pihak pemerintah pernah mencantumkan masa keberlakukan masa transisi bagi desa adat itu, seperti halnya untuk desa, secara eksplisit akan berakhir pada tanggal 15 Januari 2014. Usulan itu dikuatirkan oleh beberapa pihak, khususnya kalangan organisasi pemerintah pembela hak-hak masyarakat adat. Mengingat hak untuk menjadi desa adat itu adalah hak konstitusional maka hak itu tidak boleh/bisa dibatasi oleh siapapun kecuali oleh konstitusi itu sendiri. Kecuali itu, pembatasan yang demikian terbatas itu juga tidak relevan mengingat diperlukannya waktu rekonsiliasi yang akan memakan waktu yang cukup lama untuk mencapai kesepakatan ‘kembali ke desa adat’ itu.

Maka, alasan kedua, saya justru mengusulkan penghapusan pasal yang diusulkan pihak pemerintah dan menggantinya dengan pasal yang justru menjelaskan bahwa masa transisi bagi desa adat itu tidak terbatas waktunya, dan baru bisa berakhir ketika komunitas yang bersangkutan menggunakan haknya itu

untuk ‘pertama kali’-nya.xxxiAtas usul itu timbul perdebatan. Di ujung perdebatan

kesepakatan pun dicapai. Yakni, adalah BENAR bahwa masa transisi untuk menjadi desa adat itu tidak terbatas sifatnya. Oleh sebab itu pihak Pemerintah SETUJU mencabut pasal yang jelas-jelas menyebut tanggal keberlakuan masa transisi bagi desa adat itu; namun MENOLAK usul untuk menambahkan pasal yang saya ajukan.

Dengan kata lain, Pasal 116 ayat 3 itu dibiarkan dalam posisi status quo, meski

sejatinya ada kesepakatan atas tafsir yang disepakai bersama yang memang tidak

dituangkan ke dalam norma dalam peraturan pemerintah.xxxii

Alasan ketiga, dari perspektif substansi lainnya dan juga secara administratif, pertanyaan pokoknya adalah, sebagaimana telah disinggung di atas, bisakah hak konstitusional digugurkan oleh persyaratan adminisratif? Apalagi jika syarat adminstratif itu tidak/belum disediakan oleh Pemerintah itu sendiri?

(10)

Kelompok Masalah Penghalang 3 : Kapasitas Daerah & Kapasitas Masyarakat: Dinamika sosial dan politik dalam jebakan ‘pesimisme makro’ dan ‘optimisme mikro’

Di samping belum adanya kemauan politik Pemerintah Pusat sebagaimana telah diuraikan di atas, belum termanfaatkannya peluang perubahan melalui penerapan nomenklatur desa adat di daerah-daerah yang relevan juga tidak dapat dilepaskan dari relatif rendahnya kapasitas Pemerintah Daerah terkait, dan sampai pada batas tertentu, juga rendahnya kapasitas komunitas dan organisasi masyarakat sipil di masing-masing daerah itu sendiri. Hal ini terlihat dari pengalaman adanya peluang pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat setempat melalui kebijakan daerah, seperti kebijakan tentang penetapan hutan adat; kebijakan tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat; dan juga kebijakan tentang ‘pemerintahan desa’ yang ramah tradisi lokal yang sejatinya telah dimulai sejak diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lalu.xxxiii

Oleh sebab itu dapat dimaklumi jika kemudian muncul pandangan yang saya dikategorikan sebagai pandangan ‘pesimis makro’, diwakili oleh analisis yang disampikan Vel & Bedner (2015, in coming). Pandangan Vel & Bedner berpangkal pada kajian yang dilakukan Franz dan Keebeet von Benda-Beckmann terhadap

sebuah polity di Indonesia yang disebut nagari di Minangkabau dalam rentang

waktu sekitar 40 tahun terakhir.xxxiv Berdasarkan dinamika yang terjadi pada

masyarakat Minangkau itu Vel & Bedner sampai pada kesimpulan yang agak skeptis bahwa UU Desa berpotensi sebagai alat yang dapat mengatur proses yang mirip dengan 'kembali ke nagari' dapat terjadi pada banyak kasus di Indonesia. Bagi Vel & Bedner, “proses di Sumatera Barat itu adalah unik dan tidak akan pernah dapat direplikasi. Fakta bahwa daerah lain tidak merebut peluang untuk memulihkan struktur pemerintahan desa yang lebih tua setelah proses desentralisasi yang dimulai pada tahun 1999 sudah menawarkan indikasi bahwa ini tidak mungkin terjadi. Kombinasi ketidaksesuaian antara administrasi dan struktur pemerintahan adat, inisiatif seorang gubernur yang berjiwa kewirausahaan sosial, pentingnya

nagari sebagai penanda identitas dan kelangsungan struktur adat bagi warga masyarakat yang bersangkutan, merupakan faktor-faktor di antara banyak faktor lain yang menghasilkan proses untuk kembali ke ‘masa lampau’ yang dilewati proses evolusi kelembagaan desa yang berlangsung lambat itu.”

Jika disederhanakan, pandangan pesimis makro itu bermakna bahwa

(11)

Desa telah digantikan dengan sebutan baru sesuai sebutan lokal. Seperti nagari (di Sumatera Barat, minus Kepulauan Mentawai), negeri (di Maluku), pekon (di Lampung), lembang (di Toraja), dan kampung (di Kutai Barat, Kalimantan Timur dan Sanggau, di Kalimantan Barat), sekedar menyebut beberapa contoh saja. Meski begitu, jika dicermati lebih dalam, dari sedikit kasus itu pun umumnya hanya menyangkut perubahan sebutan semata. Tidak lebih dari itu. Yang umum terjadi justru banyak daerah yang tidak melakukan perubahan sama sekali meski UU 22/1999 dan kemudian digantian oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) memberikan peluang untuk penyesuaian secara lokal.xxxv Padahal, peluang untuk melakukan penyesuaian itu

tidak hanya menyangkut nama namun juga struktur. Malah, justru ada daerah di Jawa cq. Kabupaten Malang dan Jember misalnya, yang sejatinya tidak banyak dirugikan oleh peraturan perundang-undangan yang berbau jawasentris itu, yang justru mengubah penyebutan unsur-unsur pemerintahan desa-nya dengan istilah-istilah lokal cq. adat yang pernah dikenal pada masa lampau.

Meski begitu, sebagaimana yang dilaporkan Arizona (2015), saat ini telah ada sekitar 90 produk hukum daerah dan terdapat pula kegiatan advokasi hukum daerah dalam jumlah yang hampir sama. Produk-produk hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya ‘pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat’;xxxvi

‘pengakuan terhadap masyarakat hukum adat’;xxxvii dan ‘pengakuan sebagai unit

pemerintahan’.xxxviii Perkembangan ini menimbulkan apa yang saya sebut sebagai

fenomena ‘optimis mikro’; banyak, namun dalam cakupan wilayah yang relatif sangat terbatas. Dalam kenyataannya memang ada banyak inisiatif di tingkat kabupaten atau bahkan tingkat komunitas yang berserakan di berbagai pelosok Indonesia. Tentu dengan skala dan intensitas yang tidak sebesar apa yang terjadi di Sumatera Barat ataupun Maluku (dan juga Papua dan Aceh).

Meski begitu, perkembangan yang ada menunjukkan bahwa berbagai inisitif itu juga menghadapi kendala yang tidak kecil. Dalam mewujudkan hak-hak konstritusionalnya itu seringkali komunitas-komunitas masyarakat (hukum) adat itu justru mendapat perlawanan dari dalam dirinya sendiri. Kasus batalnya penetapan desa adat di Kabuaten Palalawan dan beberapa kabupaten lain di Riau sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah contoh kasus yang terang-berderang.

Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan dalam banyak kasus kesatuan masyarakat (hukum) adat itu tengah mengalami masalah defisit modal kultural, modal sosial, dan juga modal politik!

(12)

dengan status ‘alokasi penggunaan lain’ (apl) maka Kepala Daerah yang bersangkutan akan memiliki kewenangan yang luas dalam menentukan penggunaannya lebih lanjut. Hal ini tentu akan menjadi berbeda jika kawasan tertentu itu dijadikan ‘wiayah adat’ atau ulayat dari komunitas-komnitas

masyarakat (hukum) adat yang ada di wilayahnya.xxxix

Sebagaimana dilaporkan Arizona (2015), disamping agenda advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat terjebak pada kerumitan keragaman subyek, obyek, dan pilihan instrumen hukum, agenda pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu juga terkendala oleh kondisi lapangan yang

fragmented. Ada kalanya kebijakan lama telah melahirkan kekuatan-kekuatan politik baru, sehingga kenyamanannya bisa saja akan terganggu jika ada kebijakan baru itu. Info tentang perubahan kebijakan yang optimal belum sampai secara utuh sehingga masing-masing kelompok terjebak dengan asumsi-asumsinya sendiri-sendiri.

Belum lagi, adakalanya organisasi masyarakat sipil mengusung tema advokasi yang berada di luar wacana hukum formal yang ada. Misalnya soal gerakan yang memperjuangkan pengakuan wilayah adat yang mengandung makna beragam ketimbang hak ulayat masyarakat hukum adat misalnya. Karenanya, banyak

pertanyaan yang jawabannya masih menggantung. Misalnya, jika katakanlah

'wilayah adat' ini dikukuhkan/ditetapkan, apakah 'struktur pemerintahan adat' komunitas yang bersangkutan akan otomatis 'berdaulat', baik ke dalam dan keluar? Bagaimana eksistensi 'pemerintahan desa' yang ada di 'wilayah adat' itu? Apakah dengan sendirinya 'pemerinatah desa' itu bubar dan kemudian menjadi 'desa adat' menurut versi UU Desa yang baru? Begitu pula, apakah persil-persil tanah yang ada di dalam 'wilayah adat' itu akan serta-merta pula memenuhi syarat -- dan karenanya dapat diadministrasikan -- menurut kebijakan-kebijakan Nasional tentang 'tanah adat' yang ada?

Betapapun, adanya dua fenomena yang sepertinya berseberangan itu justru menjelaskan kondisi bahwa ‘kekuatan lokal’ itu memang berbeda-beda antara satu daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, seturut adanya variasi besaran dan soliditas kelompok etnik yang ada di Indonesia itu sendiri. Tugas pemerintahlah untuk mengaselerasikan dan memampukan kekuatan-kekuatan yang memang masih sangat terbatas itu.

4. Langkah-langkah Strategis ke Depan

Seperti telah dijelaskan nomenklatur desa adat adalah salah satu cara menterjemahkan amanat konstitusi. Hal ini dimungkinkan karena, pasca-amandemen Pasal 18 pada tahun 2000, pengaturan tentang pengakuan hak-hak ‘susun asli’ itu semakin terang adanya. Hal ini ditandai oleh lahirnya pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.xl

(13)

mengemuka dalam wacana publik soal ini adalah, lagi-lagi, rumusan pasal dimaksud dinilai masih terlalu abstrak dan juga masih mengandung kondisionalitas tertentu. Keadaan menjadi berbeda sama sekali ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007. Pada intinya Putusan ini mengatur 3 kriteria pokok pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu, lengkap dengan penjelasan tentang kondisionalitas yang perlu dipenuhi, sebagaimana telah diadopsi ke dalam Pasal 97 yang telah diuraikan di atas.

Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi telah merumuskan kriteria dan penjelasan kondisionalitas yang harus dipenuhi ini dalam, sekurang-kurangnya, 4 Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikeluarkan pada masa-masa sebelumnya. Keistimewaan Putusan MK 35/2012 ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas

yang diperlukannya saja, melainkan telah menggunakannya dalam menilai legal

standing dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review atas beberapa pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.xli

Dalam Putusan MK 35/2012 itu Mahkamah Konstitusi menganggap masyarakat hukum adat itu adalah masyarakat yang dinamis dan tidak statis. Sementara itu, ahli hukum tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshaddiqi, SH, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa kebijakan untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu, karena telah dirusak sendiri oleh berbagai kebijakan negara, haruslah bersifat – istilah saya -- affirmative action (Assiddiqi, 2006).

Berdasarkan kedua pandangan itu UU Desa menerapkan pendekatan baru dalam pemenuhan ‘pengakuan bersyarat’ yang masih dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Berbeda dari yang pernah ada sebelumnya, undang-undang ini memperkenalkan nomenklatur baru, yakni apa yang disebut sebagai ‘desa adat’, yang menggunakan pendekatan pemenuhan syarat secara fakultatif, tidak secara akumulatif sebagaimana yang dianut berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat ini (Zakaria, 2015).

Demikianlah, mewujudkan nomenklatur desa adat di berbagai wilayah yang relavan sejatinya adalah upaya untuk merawat kemungkinan terus berlangsungnya negara-bangsa Indonesia ini. Saat ini adalah momentum untuk menjawab protes masyarakat adat di negeri ini, yang pernah mengatakan: “kami tidak akan mengakui negara, jika negara tidak mengakui kami”, sebagaimana yang disampikan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999 lalu.xlii

Oleh sebab itu, Pemerintah harus memiliki strategi tertentu untuk menyiasatinya, agar peluang yang sejatinya diupayakan dalam memenuhi mandat konstitusi itu dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak/masyarakat adat, dan tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok etnik tertentu saja.

(14)

Namun, yang hendak dikatakan adalah jangan sampai ada komunitas adat yang tersisih dari peluang yang terbuka akibat dari tidak terciptanya kondisi-kondisi pemungkin yang dibutuhkan, yakni berupa kelengkapan peraturan yang lebih operasional; adanya kemauan politik yang jelas dan kapasitas yang cukup untuk memformasikan kebijakan di tingkat Daerah; dan tersedianya kapasitas komunitas itu sendiri dalam menyongsong pengakuan hak-hak konstitusionalnya itu.xliv

Untuk memungkinkan itu semua, hal-hal yang mendesak yang harus segera dikerjakan oleh Pemerintah Pusat adalah sebagai berikut:xlv

1. Menyusun Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat;

2. Menyusun Peraturan Menteri mengenai tata cara pengubahan status desa

menjadi desa adat (Psal 28, PP 43/2014);

3. Menyusun Peraturan Menteri tentang Penataan Desa (Pasal 32, PP 43/2014)

4. Melakukan sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan;

(15)

Daftar Pustaka

Adhuri, Dedi Supriadi, 2002. “Antara Desa dan Marga: Pemilihan Struktur pada Perilaku Elit Lokal di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan”, dalam Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, Nomor 68, Tahun 2002.

………… 2013. Selling the Sea, Fishing for Power. A Study of conflict over marine tenure in Kei Islands, Eastern Indonesia. Canberra: ANU E Press.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2015. “Implementasi Pengakuan Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia’. Bahan yang dipresentasikan pada “FGD Pengkajian Hukum tentang Mekansime Pengakuan Masyarakat Hukum Adat’. Diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta, 12 Oktober 2015.

Andiko, dan Nurul Firmansyah. 2014. Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk Pengakuan Masyarakat Adat. Jakarta: HuMa.

Arizona, Yance , ed. 2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: HuMa.

…………., 2015. “Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada “Sarasehan dalam rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Maret 2015.

ARD Inc., 2004. Miningkatnya Konflik dan Keresahan di Kawasan Indonesia. Burlington: USAID/ANE/TS.

Assiddiqqi, Jimly, 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.

Bedner, Adriaan, and Stijn Van Huis. 2008. "The return of the native in Indonesian law: indigenous communities in Indonesian legislation." Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 164 (2-3): 165-193.

Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague: Martinus Nijhoff.

Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.

Benda-Beckmann, Franz von, and Keebet von Benda-Beckmann. 1994. "Property, politics, and conflict: Ambon and Minangkabau Compared." Law and Society Review 28(3): 589-607.

………... 2010. “Unity and Diversity: Multiple Citizenship in Indonesia” In: Marie-Claire Foblets, Jeans-Francois Gaudreault-Desbiens und Alison Dundes Renteln (Hg.), Cultural Diversity and the Law: State Responses from Around the World. Bruxelles: Bruylant: 889-917.

(16)

Brauchler, Birgit 2012. The Revival Dilemma: Reflection on Human Rights and Self-Determination in Eastern Indonesia. Asia Research Institute Working Paper Seres No. 142, September 2010.

Davidson, Jamie S., David Henley, dan Sandra Moniaga, eds., 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV – Jakarta.

Dwipayana, AAGN Ari, 2005. Desa Mawa Cara. Problematika Desa Adat di Bali. Yogyarta: Intitute for Research and Empowerment.

Galizia, Michele. 1996. "Village Institutions after the Law no. 5/1979 on Village Administration. The Case of Rejang-Lebong in South-Western Sumatra." Archipel 51 (1): 135-160.

GTZ- SfDM, 2005. Support for Decentralization Measures. Guidelines on Capacity Building in the Regions. Module C: Supplementary Information and References. SfDM Report 2005-4 (2005).

Gunawan, Daddi H., 2014. Perubahan Sosial di Pedesaan Bali. Dualitas, Kebangkitan Adat, dan Demokrasi Lokal. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Kana, Nico L., Pradjarta Ds., Kutut Suwondo, eds., 2001. Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Perubahan, Tantangan dan Harapan. Salatiga: Pustaka Percik & Ford Foundation.

Klinken, Gerry van 2007. Perang Kota Kecil. Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV – Jakarta.

………….., no date, “Return of the Sultan, the Communitarian turn in local politics (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1309406)

Koentjaraningrat, ed., 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Li, Tania M., 2002. “Ethnic cleansing, recursive knowledge, and the dilemmas of sedentarism”, dalam International Jounal of Social Sciences, 173: 361 – 71. Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), 2012. “Mengagas ‘RUU Desa

atau disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia: Pandangan dan Usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang Diajukan oleh Pemerintah Tahun 2012”. Disampaikan pada Rapat Dengar pendapat Umum yang diselenggarakan Panita Khusus (Pansus) RUU Desa DPR RI, Jakarta, tanggal 20 Juni 2012. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012. Putusan Perkara No. 35/PUU –

X/2012 tentang Uji Materi Undang-Undang No. 49 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, sebagaimana dapat dilihat pada

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id= 1&kat=1

Nugroho, Fera, Pradjarta Dirdjosanjoto, dan Nico L. Kana, eds., 2004. Konflik dan Kekerasan pada Ras Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Pustaka Percik. Parimartha, I Gde, 2013. Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Denpasar:

Udayana University Press.

(17)

…………, 2014. Pokok-Pokok Pikiran untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat. Yogyakarta: Forum Pengembangan dan Pembaruan Desa.

Rozi, Syafuan, et.al., 2006. Kekerasan Komunal. Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Yogykarta: Pustaka Pelajar & P2P – LIPI.

Safitri, Myrna A. dan Luluk Uliyah, 2014. Adat dan Pemerintah Daerah. Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Epsitema Institute

Sakai, Minako, 2002. “Solusi Sengketa Tanah di Era Reformasi Politik dan Desentralisasi Indonesia”, dalam Antropologi Indonesia, Nomor 68. Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia.

Schulte Nordholt, H. , and G. Van Klinken. 2007. Renegotiating boundaries; Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Simarmata, Rikardo, 2006. Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP – Jakarta).

…………., 2015. Kedudukan Hukum dan Peluang Pengakuan Surat Keterangan Tanah Adat. Laporan Penelitian untuk Kemitraan, The Partnership for Governance Reform, Jakarta.

Soetarto, Endriatmo, 2006. Elite versus Rakyat. Dialog Kritis dalam Keputusan Politik di Desa. Yogyakata: Lappera Pustaka Utama.

Topatimasang, Roem, ed., 1994. Maluku Kini dan Nanti. Laporan Hasil Pemairan Data Perkembangan Pembangunan di Maluku. Laporan Penelitian.

………, 2004. Orang-Orang Kalah. Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepualauan Maluku. Yogyakarta: INSIST Press.

Vel, Jacqueline. 2008. Uma Politics: an Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. Leiden: KITLV Press.

Vel, J.A. C., dan A. W. Bedner, 2015. “Decentralisation and village governance in Indonesia: return to the nagari and the 2014 Village Law”, in coming.

Zakaria, R. Yando, 1996. “Dasar Hukum Pengakuan dan Pengukuhan Hak-hak Adat dalam Peraturan-perundangan Nasional Republik Indonesia”. INDISCA Working Paper, Vol. III, No. 2, Thn. 1996. Jakarta: Indonesia Institute for Social and Cultural Analysis (INDISCA).

………. 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Hak-hak Masyarakat (ELSAM).

………. 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) & LAPERA Pustaka Utama.

……….. 2012, “Makna Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 bagi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu

Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan tema “Negara Hukum ke Mana

Akan Melangkah?”.Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9-10 Oktober 2012.

(18)

………, 2014b. “Peta Umum Permasalahan dan Usulan Norma Pengaturan Lebih Lanjut Desa Adat dalam Peraturan Pemerintah”.

………., 2014c. “Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat”. Kedua dokumen ini dipersiapkan sebagai bahan advokasi RPP Desa Adat.

……….., 2015. “Dinamika Pengakuan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat dan Lokal Pasca-reformasi”. Bahan Bacaan yang dipersiapkan untuk Pelatihan ‘Social Affair Specialist’. Diselenggarakan oleh Center of Social Excellence (CSE) – The Forest Trust.

Zakaria, R. Yando, Noer Fauzi Rachman, Dadang Juliantara, 2001. Men-siasat-I Otonomi Daerah. Pengalaman Dari Tiga Daerah. Yogyakarta: Lingkat Pembaruan Desa dan Agraria.

Zakaria, R. Yando Zakaria dan Paramita Iswari, 2015. Pelembagaan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Agraria di Kalimantan Tengah. Kajian Awal. Laporan Penelitian untuk Jakarta: Kemitraan, The Partnership for Governance Reform, sebagaimana dapat diakses pada tautan berikut: https://www.academia.edu/3501996/Pelembagaan_Mekanisme_Penyelesa ian_Sengketa_Agraria_di_Kalimantan_Tengah_-_Kajian_Awal

Zakaria, R. Yando, et.al., 2015. Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria. Alternatif Lokal di Tengah Kemandegan Inisiatif Nasional. Jakarta: Kemitraan, The Partnership for Governance Reform, sebagaimana dapat diakses pada tautan berikut:

(19)

Catatan Akhir

i Dalam wacana akademik dan hukum di Indonesia, istilah masyarakat hukum adat merupakan

terjemahan dari rechgemeenschap atau ada pula yang menyebutnya adatrechgemeenschap ataupun

volksgemeenscappen. Konsep ini pertama kali disebut oleh Cristiaan Snouck Hurgronye, dan dikembangan lebih lanjut oleh Cornelius van Vollenhoven dan para muridnya. Sebagaimana yang ditulis oleh Rikardo Simarmata (2006), menurut Ter Haar, salah seorang murid van Vollenhoven merumuskan bahwa persekutuan hukum adat (adatrechsgemeenschap) adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan sendiri yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus dan kekayaan sendiri, baik materil maupun non-materil. Selanjutnya, Hazirin, ahli hukum adat berikutnya,

merumuskan bahwa masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasaa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Menurut Simarmata, istilah masyarakat hukum adat dan

persekutuan hukum adat memiliki masksud yang sama. Begitu pula, menurut saya, meski berbagai peraturan perundangan memiliki defenisi yang saling berbeda satu sama lainnya (misalnya lihat Arizona, 2010), pada hakekatnya kebijakan-kebijakan itu juga merujuk pada fenomena sosial yang sama. Demikian pula dengan munculnya istilah baru, yakni masyarakat adat, yang disorongkan oleh gerakan sosial yang peduli dengan nasib komunitas-komunitas yang disebut sebagai masyarakat adat itu. Meski kemunculan istilah baru seringkali dikaitkan dengan Konvensi ILO 169 tahun 1989

mengenai ‘Bangsa Pribumi dan Masyarakat Traibal di Negara-negara Merdeka’, saya setuju dengan Simarmata, agak sulit untuk menyetujui bahwa istilah masyarakat adat adalah terjemahan langsung dari istilah indigenous peoples ataupun tribal society yang diusung oleh konvensi ILO itu.

ii Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dapat dikatakan masih hidup jika

masyarakat hukum adat itu sekurang-kurangnya memiliki ‘wilayah’ (karena desa adat memang akan memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan di wilayah terentu), dan memenuhi salah satu dari 4 syarat berikut: (1) adanya sekelompok orang yang memiliki perasaan sebagai satu kelompok masyarakat hukum adat tertentu; (2) adanya pranata pemerintahan adat; (3) memiliki harta kekayaan adat; dan (4) norma-norma hukum adat yang masih ditaati bersama (Pasal 97 ayat 2).

iii Kondisionalitas soal ini telah diatur lebih lanjut pada Pasal 97 ayat (3). iv Kondisionalitas soal ini telah diatur lebih lanjut pada Pasal 97 ayat (4).

v Penetapan dengan peraturan daerah kabupaten/kota ini ditempuh karena nomenklatur ‘desa adat’

ini akan berkaitan dengan hak untuk ‘mengatur pemerintahan dan pembangunan’, karenanya juga akan berkaitan dengan penggunaan sumberdaya-sumberdaya Negara, seperti keuangan Negara.

vi Keberadaan desa adat di Bali yang disebut desa pekraman itu kini diatur oleh Peraturan Daerah

Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman, sebagaimana yang kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pekraman yang ditetapkan sebelum lahirnya kebijakan yang lebih pasti tentang pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat pasca Putusan MK 35 Tahun 2012. Ulasan tentang dinamika sosial, budaya dan politik desa pekraman dapat dilihat dalam juga Gunawan (2014)

vii Keberadaan nagari di Sumatera Barat saat ini diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Sumatera

Barat Nomor 9 Tahun 2000 sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari. Sebagaimana juga terjadi di Bali, perturan daerah tentang nagari ini belum lagi merujuk pada pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang lebih jelas. Hal ini tampak pada judul kebijakan daerah dimaksud yang masih menyebut

‘pemerintahan nagari’. Padahal desa adat versi UU Desa tidak hanya sekedar mengatur soal pemerintahan melainkan memberikan pengakuan yang lebih utuh pada entitas masyarakat hukum adat itu. Ulasan tentang dinamika sosial, budaya dan politik nagari dapat dilihat pada Franz von Benda-Beckmann and Keebet von Benda-Beckmann (2014).

viii Kata hukum dalam frasa ‘masyarakat (hukum) adat’ disengaja diberi tanda kurung mengingat

masih adanya perdebatan di sejumlah kalangan yang menyangkut keberadaan, berikut persamaan dan perbedaan antara terma-terma ‘masyarakat adat’, ‘masyarakat hukum adat’, ‘kesatuan

(20)

ix Tentang variasi dalam konteks besaran/jumlah ataupun perbedaan tingkat perkembangan sistem

sosial-budaya dari masing-masing kelompok etnik yang ada di Indonesia silahkan lihat Koentjaraningrat, ed., 1970; Hidayah, 1996; dan Melalatoa, ed., 1997.

x Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan pada kala itu, dalam sesi Keynote Speech pada International

Tenure Conference, Lombok 15 Juli 2011, menyakan bahwa dari sekitar 74.000 desa ada 33.000-an desa yang batas wilayahnya tumpang-tindih dengan kawasan hutan. Dalam sebuah laporan Bank Dunia (2014) disebutkan bahwa hampir 25 juta ha atau sekitar 20% total kawasan hutan, di 20,000 desa terjadi konflik terkait lahan. Dalam pada itu Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat,

sepanjang 2014 saja sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan

mencapai 2.860.977,07 hektar. Konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga (KK).

Lebih lanjut lihat Konsorsium Pembaruan Agraria, 2014. Catatan Akhir Tahun 2014. Silahkan taut ke:

https://www.academia.edu/9935999/Catatan_Akhir_Tahun_2014_Konsorsium_Pembaruan_Agraria.

xi Asas pengaturan desa (dan desa adat) dimaksud adalah (a) rekognsi; (b) subsidiaritas; (c)

keberagaman; (d) kebersamaan; (e) kegotongroyongan; (f) kekeluargaan; (g) musyawarah; (h) demokrasi; (i) kemandirian; (j) partisipasi; (k) kesetaraan; (l) pemberdayaan; dan (m) keberlanjutan.

xii Terkandung pengertian bahwa penetapan sebuah desa adat sebagaimana dimaksudkan pada Pasal

96 dan 97 tidak serta-merta berarti terbentunya Pemerintahan Desa Adat. Untuk dapat ditetapkan sebagai unit Pemerintahan Desa (Adat) sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2), desa adat yang telah ditetapkan itu perlu pula memenuhi aturan-aturan lain sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 98 ayat (2).

xiii Adapun asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa dimaksud adalah (a) kepastian hukum; (b)

tertib penyelenggaraan pemerintahan; (c) tertib kepentingan umum; (d) keterbukaan; (e)

proporsionalitas; (f) profesionalitas; (g) akuntabilitas; (h) efektivitas dan efisiensi; (i) kearifan lokal; (j) keberagaman; dan (k) partisipatif.

xiv Kecuali yang kemudian tiba-tiba muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU Desa tidak mengatur keberadaan ‘Peraturan Pememerintah tentang Desa Adat’. Peraturan Pemerintah 43 Tahun 2014 menyatakan bahwa penataan desa, termasuk desa adat, akan diatur melalui Peraturan Menteri yang sampai saat tulisan ini disusun belum juga kunjung diundangkan.

xv Berita tentang inisiatif di Kalimantan Timur silahkan taut ke

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/05/14/noav5x-kaltim-berharap-punya-desa-adat

xvi Lihat http://Utusanriau.co. Jumat, 09 Januari 2015; dan

http://www.goriau.com/berita/dprd- bengkalis/ranperda-pengelolaan-keuangan-daerah-disahkan-ranperda-penetapan-desa-adat-dipending.html; lihat juga “Hindari Anulir, Dewan Tunda Pengesahan Perda Desa Adat Bengkalis”, sebagaimana dapat diakses pada http://riauterkini.com/dprdbengkalis.php?arr=92841

xvii Hal ini saya alami berkali-kali selama 2 tahun terakhir ini. Tidak saja ketika berkomunikasi

dengan Gubernur, terlebih lagi dengan para Bupati. Apakah keengganan Gubernur dan/atau Bupati bersangkutan menyongsong peluang desa adat ini murni karena belum tersedianya kebijakan turunan ini atau karena adanya alasan-alasan lain, katakanlah tidak memberi insentif politik-ekonomi yang jelas pada dirinya sebagai Gubernur atau Bupati, perlu penyelidikan lebih jauh.

xviii Lihat tautan berikut:

http://news.okezone.com/read/2015/02/07/337/1102651/menteri-desa-ingin-desa-adat-diperhatikan. Lihat juga

http://www.metrosiantar.com/2015/02/08/177627/nagori-diperkuat-jadi-desa-adat/

xix Saat ini PP 43/2014 telah dganti dengan PP 47/2015. Sejauh yang terkait dengan desa adat, tidak

ada perubahan apapun yang terjadi.

xx Meski begitu, evaluasi yang demikian itu tetap tidak dilanjutkan dan mendapat tempat dalam

proses revisi PP 43/2014. Tidak ada pasal perbaikan atau tambahan yang ditujukan untuk mengatasi masalah yang dikemukakan. Tentang potensi konflik yang terpendam dalam sistem dualitas yang berlaku di Bali saat ini lihatlah Gunawan, 2014.

xxi Perlu saya sampaikan di sini bahwa ‘tafsir sepihak’ ini pernah saya dengar langsung pada suatu

(21)

Pembangunan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri. Kami pun kemudian berbantahan tentang ‘bagaimana tafsir yang sebenarnya’. Belakangan tafsir ini juga saya dengar dari Suhirman dan Sutoro Eko, dua kolega sesame mantan tenaga ahli RUU Desa DPR RI yang saat ini banyak terlibat dalam penyusunan kebijakan turunan UU Desa melalui keterlibatannya di beberapa lembaga donor yang bekerjasama dengan Kementrian Dalam Negeri maupun Kementrian Desa PDTT.

xxii Penjelasan Pasal 6 itu berbunyi: “Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang-tindih

wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam (1) wilayah), harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Ketentuan inilah yang telah menimbulkan ketegangan di Bali karena menganggap akan ada ‘kekuatan politik’ yang akan tergusur. Padahal tidakharus ditafsir demikian, karena pasal ini menyangkut soal jenis desa mana yang akan diregistrasi oleh Pusat. Pada pelaksanaannya, kedua struktur yang sudah ada saat uni, yakni ‘desa dinas’ dan ‘desa adat’ bisa saling melengkapi satu sama lainnya. Belakangan situasi menjadi reda setelah menerima kabar bahwa batas waktu penetapan menjadi desa adat itu tidaklah pada tanggal 15 Janurai 2015 lalu. Panitia Khusus Peraturan Desa Adat di Bali, yang diberi mandat untuk mengkaji persoalan ini lebih jauh, serta mencari model penerapan yang paling pas untuk keadaan di Bali, pun dibentuk dan yang masih bekerja hingga saat ini. Meski begitu, bagaimana masa depan penerapan nomenklatur desa adat di Bali belum lagi diketahui bagaimana persisnya.

xxiii Lihat misalnya Tribun Pekanbaru, edisi Senin, 6 April 2015, dalam berita bertajuk “Pembentukan

Desa Adat di Palalawan Ditangguhkan.”; GoRiau.Com, edisi Minggu, 10 Mei 2015, dalam berita bertajuk “Seluruh Fraksi di DPRD Pertanyan Ranperda Desa Adat. Ini Jawaban Bupati Inhil”. Apakah keputusan DPRD dan ataupun pihak eksekutif setempat berpangkal dari tafsir pihak Kementerian Dalam Negeri, perlu dilakukan pengecekan lebih jauh.

xxiv

xxvii Lihat Press Release “FGD Outlook dan Roadmap Pelaksanaan UU Desa”, Kementrian Desa, PDT,

dan Transmigrasi, Tanggal 6 Januari 2015.

xxviii Lihat juga pernyataan Menteri Desa PDTT pada tautan berikut:

http://www.metrosiantar.com/2015/02/08/177627/nagori-diperkuat-jadi-desa-adat/ dan

http://news.okezone.com/read/2015/02/07/337/1102651/menteri-desa-ingin-desa-adat-diperhatikan yang keduanya dinyatakan setelah tanggal 15 Januari 2015.

xxix Lihat

http://www.jpnn.com/read/2015/07/11/314654/Saatnya-Pemerintah-Lebih-Menghormati-Hak-hak-Desa-Adat-

xxx Zein Badjeber adalah politisi senior yang kini juga menjad anggota sebuah ‘komunitas yang peduli

dengan konstitusi’, yang anggotanya terdiri dari sejumlah plitisi senior dan ilmuwan tata negara senior, sering menjadi referensi – dihadirkan sebagai saksi ahli -- dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi

xxxi Saat ini saya masih menyimpan dokumen draf RPP versi Pemerintah yang mencantumkan tengat

masa transisi yang hanya 1 tahun itu, dan juga rekaman usulan penghapusan dan penambahan versi saya dimaksud pada saat rapat pleno konsinyasi penyusunan RPP tentang Desa yang berlangsung di kawasan Puncak, tanggal 13 April 2014.

xxxiiMaka, jika saja pihak Pemerintah kembali pada tafsir semula, sebagaimana yang terjadi dalam

lokaarya yang dilaksanakan KWI tempo hari, sesungguhnya dapat dikatakan pihak Pemerintah telah menggelapkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam proses penyusunan peraturan-pemerintah dimaksud.

xxxiii Tentang hal ini, misalnya, periksalah Zakaria, 2004 dan 2015

(22)

xxxiv Lihat Franz dan Keebet von Benda-Beckmann, 2012,

xxxv Apa yang terjadi di Aceh dan Papua tentu harus dikecualikan karena kedua propinsi ini memang

memiliki otonomi khusus, meski dampak positif yang muncul dari diakuinya ‘susunan asli’ dalam kebijakan daerah di dua itu juga masih merupakan tanda-tanya besar. Bahkan, di Bali pun peluang pasca-reformasi ini tidak bermuara pada lahirnya kebijakan baru yang ‘mendamaikan’ dualitas – begitu para-pihak setempat menyebutnya – antara ‘desa dinas’ dan ‘desa adat’ karena dualitas itu telah – sejak lama – menemukan ‘keseimbangan’ baru (misalnya lihat Parimartha, 2013).

Kesimpualan telah terciptanya ‘keseimbangan baru’ itu perlu dicermati lebih lanjut karena nyatanya munculnya pro-kontra tentang ‘pengutamaan’ model ‘desa adat’ versis UU Desa di Bali. ‘Pro-kontra’ itu boleh jadi justru menunjukkan adanya ‘konflik laten’ yang tersembunyi di balik ‘keseimbangan baru’ dualitas desa adat – desa dinas di Bali itu. Tentang ‘konflik laten’ ini silahkan periksa Gunawan, 2014.

xxxvi Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak

Ulayat Baduy dan Peraturan Daerah Kabupaten Kerinci tentang Rencana Tataruang Wilayah (RTRW).

xxxvii Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum

Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan tentang Amatoa Kajang.

xxxviii Misalnya, Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang

Pemerintahan Nagari.

xxxix Terlepas dari efektivitasnya, dalam konteks ini perlulah kita memberikan apresiasi kepada

Pemerintah Daeran Propinsi Kalimantan Tengah dan Gubernur Kalimantan Tengah yang telah melahirkan kebijakan-kebijakan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan hak-hak Adat di Atas di Provinsi Kalimanatan Tengah. Ulasan tentang dinamika pemberlakuan kebijakan ini, khususnya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan hak-hak Adat di Atas di Provinsi Kalimanatan Tengah, dapat dilihat pada Simarmata, 2015 dan Zakaria & Iswari, 2015.; dan Zakaria,

et.al., 2015.

xl Ulasan lebih jauh tentang makna amandemen Pasal 18 yang melahirkan Pasal 18 ayat 2 ini, dan

perlunya kebijakan negara mengakomodasi nomeklatur ‘desa adat’ dalam sistem pemerintahannya, silahkan lihat Zakaria, 2012, dan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), 2012.

xli Keempat Putusan MK itu adalah Putusan No. 010/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; Putusan No. 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; Putusan No. 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan Putusan No. 45/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dst. Bahasan tentang konstitusionalitas kriteria masyarakat (hukum) adat ini dapat dilihat pada R. Yando Zakaria, 2014 dan 2014b. Ulasan yang konprehensif terhadap kekuatan dan kelemahan putusan ini dalam konteks pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat ke depan dapat dilihat pada berbagai tulisan yang terkandung dalam WACANA, Jurnal Transformasi Sosial, Nomor 33, Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang

Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan. Yogyakarta: Indonesia Society for Social Transformation.

xlii Melalui kongres ini lahir kesepakatan untuk mendirika sebah organisasi yang diberi nama Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara, disingkat AMAN, itu. Lihat Zakaria, 2004.

xliii Hingga saat ini setidaknya ada 4 (empat) kebijakan negara yang dapat digunakan masyarakat

(23)

Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut-II/2014; Nomor 17/PRTM/2014; Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan; dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada di dalam Kawasan Tertentu (sebagai pengganti Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Ulasan tentang kekuatan dan kelemahannya, termasuk jika dibandingkan dengan nomenklatur desa adat sebagaimana diatur dalam UU Desa, silahkan periksa R. Yando Zakaria, 2015.

xliv Kapasitas yang dimaksud di sini merujuk pada (1) kebijakan; (2) sistem kelembagaan atau

organisasi; dan (3) ketrampilan individu/personel. Lihat Lihat GTZ- SfDM, 2005.

xlv Rekomendasi ini sejalan dengan hasil FGD yang diselenggarakan oleh Kementrian Desa,

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Murtabak yang dihasilkan oleh responden 2 dimasukkan ke dalam pembungkus plastik dan dilekatkan (seal) dengan mesin khas. Responden 3 pula membungkus keropok lekor

Ia termasuk pengemis mandiri, karena saat beroperasi ia hanya sendiri dan hasilnya juga untuk dirinya sendiri, ia mengaku tidak ada yang memintanya untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara besaran porsi dan citra tubuh dengan perubahan Body Mass Index (BMI) remaja putri usia 14 – 17 tahun di Pondok

Dalam studi kebijakan, perspektif ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, antara lain: pertama, sifat eksklusivitas teknokrat membuat proses pembentukan kebijakan

Penelitian merupakan kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan

Informan merupakan individu yang dapat memberikan data untukkeperluan penelitian yang bersifat lisan, kemudian dicatat secara tertulis. Informan yang

c. Adanya penemuan alat untuk keperluan percetakan yang mengakibatkan ketersediaan buku lebih luas. Adanya alat elektronika yang bermacam-macam radio, telepon, TV,

Dengan konsumsi listrik lebih rendah beserta perangkat aksesoris dan fitur inovatif yang baru, mesin pembersih serba guna ini membersihkan tanpa kompromi.. Kärcher memberikan