Jurusan Ekonomi Pembangunan
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
ISSN 2086-1575
Vol. 5, No. 1, Maret 2013
je
s
p
Ju
rn
a
l E
k
o
n
o
m
i &
S
tu
d
i P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
V
o
l.
5
, N
o
. 1
, M
a
re
t 2
0
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) terbit dua kali setahun memuat artikel hasil pemikiran filosofis, konseptual, teoritis, telaah kritis (critical review), dan penelitian di bidang ekonomi pembangunan (development economics) dan pembangunan ekonomi (economic development).
Ketua Penyunting
Dr. Hari Wahyono, M.Pd
Wakil Ketua Penyunting
Dr. Hadi Sumarsono, S.T., M.Si
Penyunting Pelaksana
Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed Dr. Sugeng Hadi Utomo, M.S
Dr. Nasikh, SE, M.P., M.Pd Dr. Imam Mukhlis, SE, MSi Grisvia Agustin, SE., M.Sc
Pelaksana Administrasi
Tutut Boedyo Wibowo, S.Kom, MT Syahrul, S.Pd, MP.d
Alamat Redaksi/TU
Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (FE UM) Jl. Semarang 5. Malang 65145. Gedung E3 Lantai 2
Tlp/ Fax (0341) 585-911
E-mail: ekonomi_um@yahoo.com, mitrojoyo@gmail.com, imm_mkl@yahoo.com
Site: www.fe.um.ac.id
Naskah artikel yang disumbangkan kepada JESP harus mengikuti aturan dalam Petunjuk bagi Kontributor JESP yang dilampirkan pada setiap nomor penerbitan.
Isi artikel beserta akibat yang ditimbulkan oleh artikel itu menjadi tanggung jawab penuh penulisnya (kontributor).
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) dikelola oleh Jurusan Ekonomi Pembangunan. Diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang (FE UM).
Dekan: Prof.Dr.Budi Eko Soetjipto M.Ed., M.Si Pembantu Dekan I: Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed. Pembantu Dekan II: Dr. Tuhardjo, SE., M.Si.Ak. Pembantu Dekan III: Drs. Djoko Dwi Kusumayanto, M.Si.
Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan: Dr. Sri Umi Mintarti Wijaya, SE, MP, Ak
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575
1
EDITORIAL
__________________________________________________________________________________________
Pengantar
Seperti pada pengantar edisi perdana, JESP (baca: jès pé) memuat karya tulis:
1. Artikel pemikiran filosofis, teoritis, konseptual, atau telaah kritis (critical reviews), yang selanjutnya diberi label kelompok: ARTIKEL.
2. Artikel hasil penelitian, yang selanjutnya diberi label kelompok: PENELITIAN.
3. Artikel tinjauan buku (book review), yang diberi label kelompok: TINJAUAN BUKU.
Artikel dalam kelompok 1 memaparkan pemikiran konseptual, telaah kritis, atau analisis kontekstual tentang teori ekonomi, pemikiran, paradigma, atau filsafat ekonomi, dan aplikasi-nya dalam ekonomi pembangunan.
Artikel dalam kelompok 2 memaparkan hasil kajian (penelitian) empiris tentang penerapan lapangan, atau simulasi lab (ekonomi eksperimental) terhadap isu, kasus, atau implementasi kebijakan ekonomi.
Artikel dalam kelompok 3 menelaah isi, cakupan, manfaat, dan kritik buku yang dipandang penting dalam kajian ekonomi dan studi pembangunan.
Dalam edisi ini dapat dihasilkan 2 artikel konseptual, 10 hasil penelitian empiris dan 1 tinjauan buku.
ISSN 2086-1575
2
Tentang Nomor Ini
Pada edisi nomor 1 tahun 2013 ini diwarnai dengan berbagai pemikiran dan kajian empiris tentang berbagai dimensi dalam pembangunan dalam konstelasi perekonomian regional, nasional dan global. Dalam perspektif regional banyak dikupas tentang perkemban-gan perekonomian regional Jawa Timur. Dalam perspektif nasional banyak dibahas tentang kondisi perekonomian nasional. Dalam skala perekonomian internasional, dianalisis konstela-si perekonomian internakonstela-sional dalam perkembangan ekonomi nakonstela-sional.
Bagian pertama dalam jurnal ini diawali dengan hasil karya pemikiran teoretis dan konseptual. Dalam kajian konseptual ini banyak dibahas tentang berbagai hasil penelitian yang dilakukan baik dalam skala regional, nasional maupun nasional. Dalam konteks internasional, tulisan dari saudara Imam memaparkan secara deskriptif implikasi dari perda-gangan bebas terhadap stabilitas harga pangan di Indonesia. Keterbukaan perekonomian Indonesia telah membawa dampak pada perkembangan harga-harga komoditi pangan di Indo-nesia. Dalam konteks perekonomian secara makro, tulisan dari Indra menganalisis tentang kondisi dan permasalahan kelistrikan di Indonesia.
Dalam paparan hasil penelitian, tulisan dari Basuki dan Haris menganalisis tentang kondi-si perkembangan perekonomian daerah di Jawa Timur. Dalam perspektif regional perekono-mian Jawa Timur menunjukkan kinerja yang cukup positif. Penelitian yang lain oleh Fitra, Citra, Rita, Lia, dan Siti M mempertegas kembali analisisnya tentang kinerja perekonomian daerah di Jawa Timur dalam perspektif yang lebih luas. Sedangkan dalam konteks makro, hasil penelitian oleh Zulfikar dan Abid menganalisis dinamika perekonomian makroekonomi dalam perspektif uang dan nilai tukar mata uang Rp/US$. Hasil penelitian lain oleh Y uldi tentang pelaksanaan program PNPM mandiri mengkritisi lagi tentang aspek akuntabilitas dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Bagian akhir dari tulisan ini adalah sebuah hasil resensi buku tentang perekonomian internasional. Pada edisi ini, hasil resensi disampaikan oleh Subagyo tentang buku yang ber-judul Dinamika Perekonomian Internasional Indonesia dalam Perspektif T eoretis dan Empiris. Buku tersebut merupakan hasil kajian teoretis dan empiris tentang perekonomian Indonesia dalam kancah perekonomian global.
Pada akhirnya semangat yang dibangun oleh tim JESP pada edisi 1 tahun 2013 ini semoga memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif dalam membangun masyarakat yang madani dan berkeadilan sosial.
Malang, 31 Maret 2013 Penyunting
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575
3
DAFTAR ISI
__________________________________________________________________________________________
EDITORIAL
Pengantar 1
Tentang Nomor Ini 2
__________________________________________________________________________________________
A
RTIKELPerdagangan Bebas dan Stabilitas Harga Komoditi Pangan
Imam Mukhlis 5
Kondisi dan Permasalahan Listrik di Indonesia
Indra Darmawan 11
_________________________________________________________________________________________
PENELITIAN
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Peran Karakteristik Regional di Jawa Timur (Periode 2000-2009)
Basuki Prasetiyo Kurniawan & Mardhono 21
Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah Di Kota Malang
Haris Galih Wardana & Nasikh 31
Analisis Keberadaan Industri Kerajinan Rotan Dalam Penyerapan Tenaga Kerja
(Studi Kasus Industri Kerajinan Rotan Kel. Balearjosari Kec. Blimbing Kota Malang)
Fitra Ria Silvida & Y ohanes Hadi Susilo 39
Analisis Produktivitas Sektor Pertanian Komoditi Tanaman Padi Berbasis Agribisnis Dalam Peningkatan Ekonomi.
(Studi Kasus di Desa Jati Tengah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar)
Citra Agung Triyanto &Prih Hardinto 53
Analisis Sektor-Sektor Ekonomi Dalam Rangka Pengembangan Pebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Kediri
Rita Erika & Sri Umi Mintarti W 63
Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Malang (Studi Kasus Kecamatan Poncokusumo)
Lia Sunfianah & Ali Wafa 79
Pemetaan Potensi Rawan Pangan PadaP e r e k o n o m ia n Da e r a h
Siti Muslihah & Sugeng Hadi Utomo 91
ISSN 2086-1575
4 Dampak Fluktuasi Indeks Harga Saham Dan Ekspor Netto
Terhadap Kurs Rupiah Pada Masa Krisis Global
Zulfikar Fatoni & Hadi Sumarsono 101
Analisis Permintaan Uang di Indonesia Periode Tahun 2000.I-2009.IV
Abid Muhtarom 118
Pengaruh Akuntabilitas Terhadap Pelaksanaan Kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan Di Badan Keswadayaan Masyarakat Kota Palu
Y uldi Mile 133
_________________________________________________________________________________________
TINJAUAN BUKU
Dinamika Ekonomi Internasional Indonesia, dalam Perspektif Teoritis dan Empiris
Subagyo 141
JESP Vol. 5, No.1, 2013
__________________________________________ Alamat Korespondensi :
Imam Mukhlis: Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email: imm_mkl@yahoo.com
PERDAGANGAN BEBAS DAN STABILITAS HARGA
KOMODITI PANGAN
Imam Mukhlis
Abstract
This research aims to analyze the relationship between free trade with price stability of food commodity. The method of analyze is descriptive with presenting the economic data. The result show that scarcity of food commodity can be solved by import from abroad in the short run. This policy in the short run will provide food commodity needed by people. But in the long run, this policy will reduce the competitiveness of agricultural sector in Indonesia.
Keywords: Food Commodity, Scarcity, Free Trade
Pendahuluan
Dalam sebuah perekonomian yang menganut keterbukaan (economic
opennes), ketergantungan diatara
perekonomian dunia menjadi sebuah fenomena yang lazim. Keterbukaan tersebut mencerminkan adanya interaksi ekonomi yang semakin luas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi masing-masing negara. Melalui keterbukaan ekonomi tersebut, setiap pelaku ekonomi dapat mengakses sumber daya yang tersedia di berbagai negara. Selain itu, pelaku ekonomi juga dapat memasarkan berbagai produk yang dihasilkannya ke pasar global. Interaksi ini menimbulkan sebuah kegiatan ekonomi yang terjadi secara lintas negara yang didukung oleh adanya mobilitas faktor produksi/sumber daya ekonomi dan juga output di berbagai negara.
Dalam era perekonomian yang semakin mengglobal dewasa ini, keterbukaan perekonomian memiliki legitimasi yang semakin kuat seiring dengan implementasi globalisasi dan liberalisasi dalam bentuk pembentukan blok perdagangan/kawasan perdagangan di berbagai kawasan perekonomian dunia.
Setiap kawasan perekonomian memiliki ikatan formal dalam bentuk blok-blok perdagangan dalam berbagai institusi yang dikembangkannya. Dalam kawasan Asia Pasifik terbentuklah APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), dalam kawasan ASEAN terbentuklah AFTA (Asean Free Trade Area) dan kerjasama ekonomi China dan ASEAN terjalin lebih erat melalui pembentukan ACFTA (Asean China Free
Trade Area). Pembentukan berbagai
kelembagaan ekonomi tersebut dimaksudkan untuk tercapainya manfaat integrasi ekonomi dalam bentuk trade creation (Mukhlis, 2009).
6
menilai kinerja pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini ketersediaan pangan yang memadai mencerminkan adanya kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduknya dalam pencapaian kesejahteraan hidup yang semakin meningkat.
Dalam perkembangannya, harga komoditi pangan di berbagai dunia mengalami fluktasi yang cenderung ekstrim. Kenaikan sebuah komoditi yang tidak terkendali ini dapat mengakibatkan ketersediaan pangan menjadi sangat rawan terhadap berbagai gejolak yang terjadi di berbagai kawasan dunia. Dalam hal ini seiring dengan keterbukaan perekonomian dan juga proses integrasi ekonomi yang terus mendunia, fleksibilitas harga pangan dunia merupakan sebuah kondisi yang dapat terjadi setiap saat. Kondisi ini manakala terjadi secara berkelanjuta dalam perekonomian, maka situai krisis ekonomi dapat terjadi pada keadaan ketidakstabilan pangan yang terjadi.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat populasi yang tinggi di dunia membutuhkan ketahanan pangan pada berbagai komoditi yang ada. Dalam hal ini beberapa komoditi pangan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dikenal dengan istilah sembako (sembilan bahan pokok), yang meliputi : beras , sagu dan jagung;gula pasir;sayur-sayuran dan buah-buahan;daging sapi dan ayam;minyak goreng dan margarin;susu;telur;minyak tanah atau gas ELPIJI;garam beriodium dan bernatrium
Dalam beberapa periode waktu yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya kelangkaan terhadap komoditi bawang merah, bawang putih, daging sapi dan komoditi cabe. Berbagai komoditi tersebut merupakan bahan kebutuhan penting yang menjadi rujukan bagi berbagai menu makanan khas di Indonesia. Manakala harga dari berbagai komoditi tersebut mengalami fluktuasi, maka hal tersebut dapat menyebabkan multipler efek yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dalam hal ini masalah ketersediaan terhadap berbagai komoditi tersebut di pasar sangat penting dalam menjaga stabilitas harga dan juga stabilitas perekonomian secara makro.
Inflasi Komoditi Pangan
Inflasi merupakan sebuah peristiwa dimana terjadi kenaikan harga-harga secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu untuk sekelompok komoditi. Terdapat berbagai pemikiran yang menjelaskan fenomena inflasi yang terjadi dalam perekonomian. Dalam hal ini menurut Totonchi (2011) studi mengenai inflasi menyebabkan debat secara makroekonomi dalam konteks Ilmu Ekonomi. Debat tersebut berkenaan dengan munculnya berbagai hipotesis terkait dengan berbagai pandangan mengenai inflasi dan juga ukuran untuk mengontrol inflasi. Inflasi di negara belum berkembang lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan jumlah uang beredar, sedangkan di negara sedang berkembang bukan persoalan moneter. Dalam hal ini menurut Friedman inflasi dapat terjadi karena adanya pertumbuhan yang cepat pada peredaran uang yang melebihi ketersediaan output dalam perekonomian.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
7 juga dapat menyebabkan terjadinya inflasi.
Defisit anggara tersebut dapat terjadi karena adanya proses politik dan lobi-lobi terhadap anggaran pemerintah sehingga mengakibatkan pengeluaran negara yang melebihi kapasitas penerimaan negara.
Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai kinerja dalam perkembangan inflasi adalah dengan ukuran Indeks Harga Konsumen (consumer price index). Menurut Akhtar (2006) Consumer Price Index (CPI) merupakan alat ukur yang penting dalam mengukur perubahan harga dan juga mengukur perubahan biaya pembeliaan pada sekelompok barang dan jasa yang diperdagangkan. Namun demikian juga terdapat berbagai ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan inflasi, yakni melalui indeks harga produsen (Producer Price Index).
Berbagai kajian empiris dikembangkan guna mengidentifikasi faktor-faktor penentu inflasi di berbagai negara. Jongwanich and Park (2009) dalam penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa inflasi di negara sedang berkembang di Asia disebabkan adanya ekspektasi inflasi dan juga terjadinya excess aggregate demand. Hasil penelitian lain Oleh Hassan and Alogeel (2008) menunjukkan adanya cost push factors yang mempengaruhi terjadinya inflasi di Saudi dan Kuwait. Sedangkan hasil penelitiannya Javed, dkk (2010) memberikan kesimpulan bahwa cost-push factors are not less important than demandpull factors yang menyebabkan terjadinya inflasi di Pakistan.
Perkembangan inflasi di Indonesia dalam kurun waktu awal tahun 2013 menunjukkan adanya trend kenaikan harga. Dalam hal ini beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga pada Maret 2013 antara lain: bawang merah, bawang putih, cabai rawit, jeruk, tarif sewa rumah, daging sapi, ikan diawetkan, jagung muda, nangka muda, tomat sayur, apel, pisang, nasi dengan lauk, rokok
kretek filter, tarif air minum P AM, bahan bakar rumah tangga, upah pembantu rumah tangga, dan bensin. Sedangkan komoditas yang mengalami penurunan harga adalah: telur ayam ras, emas perhiasan, beras, daging ayam ras, ikan segar, cabai merah, bayam, kacang panjang, dan wortel (BPS, 2013).
Dalam hal ini inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks beberapa kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok bahan makanan 2,04 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,40 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,21 persen; kelompok kesehatan 0,24 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,12 persen; dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,19 persen. Sedangkan kelompok yang mengalami penurunan indeks adalah kelompok sandang 0,70 persen. Dari 11 subkelompok dalam kelompok bahan makanan, 6 subkelompok mengalami inflasi dan 5 subkelompok mengalami deflasi. Subkelompok yang mengalami inflasi tertinggi adalah subkelompok bumbu-bumbuan 30,58 persen dan terendah terjadi pada subkelompok sayur-sayuran dan subkelompok kacang-kacangan masing-masing 0,14 persen. Kelompok ini pada Maret 2013 memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,51 persen. Komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi antara lain: bawang merah 0,44 persen; bawang putih 0,20 persen; cabai rawit 0,05 persen; jeruk 0,02 persen; daging sapi, ikan diawetkan, jagung muda, nangka muda, tomat sayur, apel, dan pisang masing-masing 0,01 persen (BPS, 2013).
8
bumbu-bumbu, sayur-sayur, dan daging merupakan bahan dasar dalam pembuatan berbagai aneka menu di Indonesia. Dengan kata lain differentiated product dari komoditi pangan tersebut sangat luas sekali, sehingga dapat menimbulkan adanya multiplier effect yang luas dalam perekonomian nasional.
Dalam konteks terjadinya inflasi yang bersumber pada bahan pangan tersebut menunjukkan adanya demand over
supply terhadap komoditi tersebut.
Sebagaimana diketahui komoditi pangan merupakan kebutuhan pokok yang menaungi hajat hidup orang banyak. Adanya permintaan yang tetap dan cenderung bertambah yang tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan komoditi di pasar, maka logika ekonomi akan mengatakan terjadi inflasi. Kondisi ini merupakan sebuah fenomena alamiah yang terjadi, manakala kelangkaan yang ada tidak dapat teratasi. Penyelesaian masalah inflasi yang mengandalkan kekuatan
demand dan supply di pasar akan
berdampak pada ketidakstabilan pada perekonomian nasional. Dalam hal ini mekanisme invisible hand hanya akan menyebabkan banyak orang akan mengalami dampak negatif dari inflasi, yakni berkurangnya daya beli mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan kepuasannya.
Adalah John Maynard Keynes yang menganjurkan adanya campur tangan pemerintah dalam mengatasi situasi ketidakstabilan dan cenderung mengarah pada terjadinya krisis ekonomi. Dalam hal ini ketidkastabilan dalam bentuk inflasi yang tinggi dapat diatasi dengan mengandalkan kekuatan kebijakan pemerintah dalam pengendalian harga dalam negeri. Salah satu obat mujarab yang sering berhasil dalam mengatasi situasi ini adalah impor komoditi yang mengalami kelangkaan. Impor dilakukan dengan tujuan untuk mendistorsi pasar yang mengalami kekakuan harga pada level tertinggi (price rigidity). Impor dilakukan untuk menambah stok barang di
pasar dalam negeri guna mencukupi lonjakan permintaan yang ada. Dalam konteks ini pada dasarnya inflasi yang disebabkan oleh adanya excess demand pada komponen aggregate demand dapat diatasi dengan mengendalikan konsumsi masyarakat. Namun demikian upaya ini akan sulit diterapkan dalam kondisi kelangkaan yang terjadi pada komoditi pokok dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia.
Adanya kebijakan impor tersebut menandakan adanya interaksi ekonomi secara internasional yang dilakukan dalam kawasan regional. Integrasi ekonomi yang dibalut dengan perjanjian dalam kerjasama ekonomi secara bilateral/multilateral pada dasarnya dapat bermanfaat pada situasi seperti terjadinya kelangkaan barang. Dalam skema perjanjian kerjasama ekonomi, pelaksanaan kegiatan perdagangan antar negara akan memiliki perlakuan khusus yang mengikat antar negara anggotanya. Perlakuan khusus ini menyangkut berbagai kemudahan dalam proses perdagangan internasional dan yang lebih penting adalah perlakukan khusus dalam bentu pengurangan/penghapusan tarif dalam perdagangan barang/jasa. Upaya ini merupakan bentuk dari penghapusan berbagai hambatan perdagangan dalam bentuk tarif (tariff barrier).
JESP Vol. 5, No.1, 2013
9 negara yang terlibat dalam perjanjian
kerjasama akan mendapatkan manfaat positif dalam bentuk supply barang dari negara anggota kerjasama yang harganya relatif lebih murah dibandingkan manakala barang tersebut dihasilkan sendiri oleh negara yang bersangkutan. Dalam konteks impor komoditi bawang putih, komoditi tersebut apabila dihasilkan dihasilkan oleh Indonesia akan memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan hasil pertanian yang dihasilkan di China. Dengan kata lain komoditi pertanian (bawang putih) dari China memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan komoditi bawang yang dihasilkan oleh Indonesia. Tentunya akan banyak faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan harga dari komoditi bawang putih tersebut di Indonesia dan di China. Oleh karena itulah dengan proses impor komoditi bawang putih.yang dilakukan Indonesia dari China, maka Indonesia dapat mendapatkan manfaat dalam bentuk trade creation.
Penutup
Inflasi yang terjadi dalam kurun waktu awal tahun 2013 disebabkan oleh adanya kelangkaan komoditi pangan yang terjadi dalam perekonomian nasional. Kelangkaan tersebut dapat terjadi karena adanya excess demand yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas output nasional. Kondisi tersebut secara eksplisit telah menimbulkan kegalaun dari masyarakat kelas bawah dan juga pelaku ekonomi akan kemampuan pemerintah dalam mengatasi problematika pangan yang dihadapi oleh masyarakat. Implementasi dari integrasi ekonomi dalam bentuk pembentukan kawasan perdagangan bebas memberikan manfaat positif bagi perekonomian nasional.
Dalam kasus terjadinya kelangkaan komoditi pangan untuk jenis bawang putih, solusi yang diambil oleh pemerintah menggunakan pendekatan impor dari luar negeri. Impor bawang putih dari China
menunjukkan adanya berbagai kemudahan dan harga yang bersaing, sehingga kelangkaan bawang putih dalam negeri dapat segera diatasi. Kebijakan ini dipandang sebagai sebuah pilihan yang rasional mengingat China dengan segenap comparative advantage yang dimilikinya mampu menghasilkan berbagai komoditi yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dengan harga bersaing dan supply tidak terbatas. Tentunya kondisi ini memberikan jaminan dalam jangka pendek akan ketersediaan pangan dalam negeri. Namun dalam jangka panjang kebijakan untuk terus menerus mengimpor barang dari luar negeri memberikan sinyal akan rendahnya produktifitas sektor pertanian yang notabene merupakan sektor penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
10
yang patut untuk diperhatikan agar komoditi pangan nasional dapat mensuplai kebutuhan dalam negeri dan juga pasar luar negeri.
Daftar Pustaka
Akhtar Q,2006. “Inflation in Pakistan”, diakses dari website dengan alamat
www.pide.org.pk/index.php?optio n=com_content&task=view&id.ta nggal 6 Maret
C. A. Sims,1980." A Comparison of Interwar and Postwar Business Cycles: Monetarism Reconsidered", Amsterdam, Elsevier Science, and Journal of Economic Review, Annual Papers and Proceedings 70,:250-257 Hasan M, Alogeel H,2008. Understanding
The Inflationary Process in Hellwig C (2002). Public Announcements, Adjustment Delays and the Business Cycle.Mimeo. Available at http://www.econ.ucla.
edu/people/papers/Hellwig/Hellwi g208.pdf.
Javed, Zahoor Hussain, Muhammad Farooq and Shama Akram, 2010. “Cost-push shocks and inflation: An empirical analysis from the economy of Pakistan”, Journal of Economics and International Finance V ol. 2(12), pp. 308-312, December, ISSN 2006-9812 Jongwanich, Juthathip and Donghyun
Park,2009. “Inflation in Developing Asia”, Journal of Asian Economics V olume 20, Issue 5, September:507–518 Mukhlis, Imam, 2009. Integrasi Ekonomi
Dalam Perspektif T eori,
Tulungagung:Cahaya Abadi Totonchi, Jalil, 2011. Macroeconomic
Theories of Inflation, Academic PaperInternational Conference on Economics and Finance Research, IPEDR vol.4, IACSIT Press, Singapore
JESP V ol. 5, No.1, 2013
__________________________________________ Alamat Korespondensi :
Indra Darmawan: adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Y ogyakarta
Email: indradarmawanusd@gmail.com
KONDISI DAN PERMASALAHAN LISTRIK DI INDONESIA
Indra Darmawan
Abstract
Electrical problems in Indonesia can be categorized into the demand side and the supply side. From the demand side can be analyzed from the electrification ratio, number of customers, and the demand for electricity. From the supply side can be analyzed from a number of power plants, types of power plants and transmission lines. Some fundamental problems such as low electrification ratio, low levels of per capita consumption, distribution inequality, the lack of utilization of renewable energy sources such as geothermal, slow growth of the construction and installed capacity, production cost structure, and network maintenance. Some alternative solution to do in the short and long term.
Keywords: Electrification Ratio, Energy Sources, Power Plants
Dewasa ini energi listrik telah
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.
Hampir semua kegiatan masyarakat
sehari-hari tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan
akan tenaga listrik. Sehingga jika ada daerah
atau sekelompok masyarakat yang belum
menikmati
aliran
listrik
maka
dapat
dipastikan daerah atau masyarakat tersebut
berada dalam kondisi keterbelakangan.
Energi adalah kebutuhan pokok manusia
yang harus dipenuhi. Energi adalah sarana
yang
penting
untuk
mendukung
pembangunan sosial dan ekonomi manusia
(World Bank, 2005).
Masyarakat Indonesia juga semakin
banyak yang telah menikmati aliran listrik
12
T abel 1.
Konsumsi Listrik Rata-rata Penduduk (kWh per penduduk)
Negara 1998 2000 2010
Cina Indonesia
Malaysia Filipina Thailand Vietnam Singapura
722 325 2.554 466 1.345 232 6.966
827 384 2.628 477 1.448 286 7.575
2.943 641 4.117 643 2.243 1.035 8.306
Sumber: World Bank, World Development Indicator database
Dari sisi penawaran, pasokan energi listrik di
Indonesia tampaknya juga menghadapi
masalah yang tidak ringan. Pasokan energi
listrik di Indonesia tidak dapat diandalkan.
Menurut survey Bank Dunia yang dilakukan
tahun 2004, kerugian dunia usaha dari
buruknya kualitas pasokan listrik (
electricity
outage
) di Indonesia telah mencapai di atas 6
persen dari total penjualan. Tingkat kerugian
yang sama juga dialami oleh para pengusaha
di Malaysia, Cina, dan Kamboja namun
dengan nilai yang lebih rendah daripada
Indonesia (Basri, 2009).
Masalah listrik di Indonesia dapat
diamati dari dua sudut pandang yaitu dari
sisi permintaan dan penawaran energi listrik.
Artikel ini mencoba melihat berbagai
permasalahan seputar energi listrik di
Indonesia dari kedua aspek tersebut.
Situasi Kelistrikan di Indonesia
Rasio elektrifikasi adalah tingkat
perbandingan jumlah penduduk suatu negara
yang menikmati listrik dengan jumlah total
penduduk
di
negara
tersebut.
Rasio
elektrisifikasi
nasional memang
telah
meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan
rasio elektrifikasi tersebut dilakukan melalui
sambungan baru pelanggan PLN dan
pemanfaatan
energi
setempat
seperti
PL TMH yang khusus diperuntukkan bagi
daerah-daerah terpencil.
T abel 2.
Rasio Elektrifikasi di Indonesia (%)
Rasio Elektrifikasi
Tahun
1980 1985 1990 1995 2000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*)
8,0 16,0 28,0 43,0 57,0 62,0 63,0 64,3 65,1 65,8 67,2 72,9 75,3
*) perencanaan
Sumber: Statistik PLN 2012, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Pengguna listrik dari kalangan rumah
tangga kebanyakan membutuhkan listrik
untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah
tangga
akan
penerangan
yang
memungkinkan masyarakat dapat melakukan
berbagai kegiatan pada malam hari. Dengan
pertumbuhan jumlah pelanggan rumah
tangga dari 39.324.520 pelanggan pada akhir
tahun 2010 menjadi 45.829.980 pelanggan
JESP V ol. 5, No.1, 2013
13
Sumatera dan Kalimantan yang notabene
sebagai daerah penghasil sumber energi pun
menunjukkan rasio elektrifikasi yang rendah
(lihat Tabel 3).
T abel 3.
Rasio Elektrifikasi berdasarkan Pulau Utama (2004)
Pulau
Jumlah Penduduk (juta jiwa)
Rasio Elektrifikasi (%)
Jawa
Bali
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara
Maluku
Papua
128,7
3,4
45,3
11,9
15,6
8,2
2,1
2,3
74
86
57
59
61
33
54
22
Total
217,7
Rata-rata = 67
Sumber: World Bank, 2005
Bahkan di Jawa sendiri juga masih
banyak daerah yang belum terjangkau oleh
jaringan
listrik khususnya di daerah
pedesaan. Sebagai contoh pembangunan
jaringan listrik pedesaan di Jawa Barat dan
Banten tersendat karena PT PLN (persero)
tidak memiliki anggaran untuk program itu.
Padahal dari sisi pembangkitan, PLN tidak
kekurangan karena masih tersedia 27.000
unit
pembangkit
yang
cukup
untuk
memeratakan
elektrifikasi
ke
seluruh
pedesaan.
Dampaknya,
selain
rasio
elektrifikasi rendah, konsumsi per kapita
juga masih rendah dan hingga akhir tahun
2012, tingkat elektrifikasi di Jawa Barat dan
Banten baru 73 persen. Sungguh ironis
mengingat Jawa Barat dan Banten yang
jaraknya tidak jauh dari Jakarta, tingkat
elektrifikasinya lebih rendah dari Provinsi
Aceh yang sudah mencapai 95 persen.
Apalagi Jawa Barat memiliki tiga PL T A
besar yang bersumber dari sungai Citarum,
yaitu Jatiluhur, Saguling, dan Cirata.
Kebutuhan energi listrik pada suatu
daerah didorong oleh tiga faktor utama
antara lain: pertumbuhan ekonomi, program
elektrifikasi, dan pengalihan
captive power
ke jaringan PLN. Ketika terjadi proses
pertumbuhan ekonomi maka terjadilah
peningkatan produksi barang dan jasa.
Proses tersebut jelas membutuhkan tenaga
listrik sebagai salah satu input dalam proses
produksi – disamping berbagai input
lainnya. Dampak lain dari pertumbuhan
ekonomi adalah peningkatan pendapatan
masyarakat yang memicu peningkatan
permintaan
terhadap
barang-barang/peralatan yang membutuhkan energi
listrik untuk mengoperasikannya seperti
radio, TV , AC, lemari es dan lainnya.
Akibatnya permintaan tenaga listrik akan
meningkat.
14
T abel 4.
Jumlah Pelanggan per Kelompok Pelanggan
Tahun Rumah
Tangga Industri Bisnis Sosial
Gedung Kantor Pemerintah
Penerangan Jalan Umum
Jumlah ∆%
2003 29.997.554 46.818 1.310.686 659.034 83.810 53.514 32.151.416 3,87
2004 31.095.970 46.520 1.382.416 686.851 87.187 67.502 33.366.446 3,78
2005 32.174.922 46.475 1.455.797 716.194 89.533 76.432 34.559.353 3,58
2006 33.118.262 46.366 1.655.325 748.558 92.395 90.318 35.751.224 3,45
2007 34.684.540 46.818 1.610.574 790.781 97.886 103.130 37.333.729 4,43
2008 36.025.071 47.536 1.716.046 838.129 103.821 113.483 38.844.086 4,05
2009 37.099.830 47.900 1.879.429 861.067 114.971 114.488 40.117.685 3,28
2010 39.324.520 48.675 1.912.150 909.312 113.676 127.054 42.435.387 5,78
2011 42.577.542 50.365 2.049.361 963.766 120.246 133.865 45.895.145 8,15
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Faktor
ketiga
yang
menjadi
pendorong pertumbuhan permintaan tenaga
listrik PLN adalah pengalihan dari
captive
power
(penggunaan pembangkit sendiri
berbahan bakar minyak) menjadi pelanggan
PLN.
Captive power
ini timbul sebagai
dampak
dari
ketidakmampuan
PLN
memenuhi permintaan pelanggan di suatu
daerah, terutama pelanggan industri dan
bisnis. Pengalihan
captive power
ke PLN
juga didorong oleh tingginya harga BBM
untuk membangkitkan tenaga listrik milik
konsumen industri/bisnis, sementara harga
jual listrik PLN relatif lebih murah. Namun
tampaknya, kondisi sistem kelistrikan PLN
saat ini belum memungkinkan melayani
pengalihan dari
captive power
menjadi
pelanggan PLN.
Konsumsi listrik di Indonesia kurun
waktu
10 tahun
terakhir
mengalami
peningkatan dengan laju pertumbuhan
rata-rata 6,5% per tahun. Konsumen utama
energi listrik yaitu sektor industri, rumah
tangga dan komersial. Sektor transportasi
(Kereta Rel Listrik, KRL) juga menjadi
salah satu konsumen energi listrik meski
tingkat konsumsinya sangat kecil dan tidak
signifikan karena KRL masih terbatas di
kota-kota besar saja. Secara historis pangsa
konsumsi listrik didominasi oleh sektor
industri, diikuti oleh sektor rumah tangga
dan komersial. Namun sejak tahun 2007,
pangsa konsumsi sektor rumah tangga
sedikit melampaui pangsa sektor industri.
Hal
ini
kemungkinan
terjadi
karena
keterbatasan pasokan listrik PLN sehingga
banyak industri membangkitkan listrik untuk
konsumsi sendiri. Kemungkinan lainnya
adalah terjadinya perlambatan pertumbuhan
permintaan
listrik
terkait
dengan
perlambatan pertumbuhan sektor industri itu
sendiri. Dari segi pertumbuhan, sektor
konsumen
listrik
yang
mengalami
JESP V ol. 5, No.1, 2013
15
Gambar 1.
Perkembangan Konsumsi Listrik di Indonesia
Sumber: Indonesia Energy Outlook 2010
Dalam Undang-Undang Nomor 30
tahun
2009
tentang
ketenagalistrikan
dinyatakan
bahwasanya
pembangunan
ketenagalistrikan ditujukan untuk menjamin
ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah
yang cukup
(availability), kualitas yang baik
(acceptability) dan harga yang wajar
(affordability).
Dalam
pengadaannya,
Undang-Undang mengenai Energi nomor 30
tahun 2007 menyatakan bahwa penyediaan
energi oleh Pemerintah (baik Pusat maupun
Daerah) diutamakan di daerah yang belum
berkembang, daerah terpencil, dan daerah
perdesaan dengan menggunakan sumber
energi setempat, khususnya sumber energi
terbarukan. Beberapa program memang telah
diluncurkan untuk mengimplementasikan hal
tersebut meski tingkat keberhasilannya
cukup rendah. Tabel 5 menunjukkan
kekurangan pasokan listrik konsumsi bagi
masyarakat Indonesia. Tabel ini juga
menunjukkan bahwa tidak semua orang di
Indonesia dapat menikmati listrik. Jumlah
penduduk Indonesia yang belum bisa
menikmati listrik ini, menunjukkan bahwa
Indonesia masih kekurangan pasokan listrik.
T abel 5.
Konsumsi Listrik di Indonesia serta Estimasi Kekurangan Pasokan Listrik (GWh)
16
Tabel 6 menunjukkan penjualan listrik per
sektor
pelanggan.
Terjadi
pergeseran
persentase penjualan energi listrik dari yang
semula sebagian besar pembeli dari sektor
industri, sejak tahun 2007 terjadi pergeseran
ke sektor rumah tangga. Dari tabel tersebut
juga
dapat
dicermati
bahwa
dengan
didominasinya penjualan listrik oleh sektor
rumah
tangga
berarti
sektor
inilah
sebenarnya yang juga menyerap subsidi
listrik terbanyak. Kenaikan harga tarif dasar
listrik bagi kelompok komersial dan industri
– yang digunakan untuk menutup subsidi
bagi sektor rumah tangga, pada akhirnya
menambah beban bagi sektor industri dan
komersial.
T abel 6.
Penjualan Listrik per Sektor
Tahun Rumah Tangga Komersial Industri Penerangan Sosial Pemerintahan
GWh % GWh % GWh % GWh % GWh % GWh %
2004 38.588 39 15.258 15 40.324 40 2.045 2 2.238 2 1.645 2
2005 41.184 38 17.023 16 42.448 40 2.221 2 2.430 2 1.726 2
2006 43.753 39 18.416 16 43.615 39 2.414 2 2.604 2 1.808 2
2007 47.325 39 20.608 17 45.803 38 2.586 2 2.909 2 2.016 2
2008 50.184 39 22.926 18 47.969 37 2.761 2 3.082 2 2.096 2
2009 54.945 41 24.825 18 46.204 34 2.888 2 3.384 3 2.335 2
2010 59.825 41 27.157 18 50.985 35 3.000 2 3.700 3 2.630 2
2011 65.110 41 28.309 18 54.725 35 3.064 2 3.994 3 2.790 2
2012*) 40.905 41 17.659 18 34.763 35 1.820 2 2.560 3 1.779 2
*) Data realisasi sales PLN status Juli 2012
Sumber: Statistik PLN 2012, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Masalah lain yang sangat dirasakan
oleh sejumlah pengusaha dan pelanggan
rumah tangga adalah biaya instalasi yang
tidak adil dan besaran daya listrik yang tidak
sepenuhnya dapat dipakai. Beberapa waktu
yang
lalu
KADIN
Jawa
Timur
menyampaikan bahwa sebagian besar dari
perusahaan
Jepang
di
Jawa
Timur
mengeluhkan besarnya biaya instalasi untuk
penambahan daya listrik sebuah pabrik.
Untuk penambahan daya itu, sebuah
perusahaan dapat
mengeluarkan
biaya
hingga ratusan juta rupiah untuk pembelian
trafo, kabel, dan tiang listrik. Para pengusaha
umumnya keberatan karena perangkat listrik
yang harus dibayar itu dipasang di luar
pabrik hingga sejauh 1 kilometer. Jika
perangkat itu berada di dalam area pabrik,
pengusaha tidak akan keberatan. Para
pengusaha dari luar negeri menganggap
pembelian perangkat listrik di tempat public
merupakan tanggung jawab pemerintah atau
perusahaan listrik.
Kebutuhan akan listrik yang semakin
meningkat tentu membutuhkan adanya
penambahan unit pembangkit listrik yang
memadai.
Tabel
7
menggambarkan
perkembangan jumlah unit pembangkit
listrik di Indonesia tahun 2003-2011. Data
menunjukkan bahwa justru beberapa tahun
menunjukkan adanya penurunan jumlah unit
pembangkit yaitu tahun 2006 turun 3,32
persen dan tahun 2008 turun 1,26 persen.
Dari semua jenis unit pembangkit masih
didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel
yang
menggunakan
BBM.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
17
T abel 7.
Jumlah Unit Pembangkit Listrik di Indonesia
Tahun PLTA PLTU PLTG PLTGU PLTP PLTD PLTMG PLT
Surya
PLT Bayu
Jumlah ∆%
2003 185 40 47 56 8 4.543 - - - 4.879 2,37
2004 190 41 55 51 8 4.776 2 - - 5.123 5,00
2005 191 41 60 51 8 4.859 2 - - 5.212 1,74
2006 203 43 60 53 8 4.670 2 - - 5.039 (3,32)
2007 196 45 54 60 9 4.705 2 - 1 5.072 0,65
2008 189 48 58 61 9 4.635 2 - 4 5.008 (1,26)
2009 201 49 63 59 9 4.626 4 - 3 5.014 0,16
2010 199 55 73 50 11 4.619 8 4 4 5.023 0,18
2011 213 59 71 61 10 4.842 4 8 1 5.269 4,90
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Pembangkit listrik di Indonesia
terdiri
atas
pembangkit
listrik
PLN,
pembangkit listrik swasta, dan sebagian
kecil berupa
captive power
.
Captive power
merupakan
pembangkit
listrik
yang
umumnya dioperasikan oleh pihak industri
dan produksi listriknya selain digunakan
sendiri oleh sektor industry – sebagian di
jual ke PLN. Kapasitas pembangkit PLN
pada tahun 1995 mencapai 14.970 MW
meningkat menjadi 25.593 MW pada tahun
2008 sementara kapasitas IPP tahun 1995
sebesar 1.184 MW , tahun 2008 meningkat
menjadi 8.518 MW . Sedangkan produksi
listrik PLN tahun 1995 sebesar 52.832 GWh
meningkat menjadi 118.047 GWh pada
tahun 2008. Sementara produksi listrik IPP
pada tahun 2005 sebesar 1.288 GWh
meningkat menjadi 31.390 GWh pada tahun
2008.
T abel 8.
Kapasitas T erpasang menurut Jenis Pembangkit (MW)
Tahun PLTA PLTU PLTG PLTGU PLTP PLTD PLTMG
PLT
Surya PLT Bayu Jumlah ∆%
2003 3.167,93 6.900,00 1.224,72 6.863,22 380,00 2.670,42 - - - 21.206,29 0,45
2004 3.199,44 6.900,00 1.481,57 6.560,97 395,00 2.911,43 12,00 - - 21.470,41 1,25
2005 3.220,96 6.900,00 2.723,63 6.280,97 395,00 2.994,54 12,00 - - 22.515,09 4,87
2006 3.529,11 8.220,00 2.727,22 7.020,97 395,00 2.941,91 12,00 - - 24.834,21 10,30
2007 3.501,54 8.534,00 2.783,62 7.020,97 415,00 2.956,25 12,00 - 0,10 25.223,48 1,57
2008 3.504,28 8.764,00 2.496,69 7.370,97 415,0 3.020,88 21,84 - 0,26 25.593,92 1,47
2009 3.508.45 8.764,00 2.570,59 7.370,97 415,00 2.980,63 26,00 - 1,06 25.636,70 0,17
2010 3.522,57 9.451,50 3.223,68 6.951,32 438,75 3.267,79 38,84 0,19 0,34 26.894,98 4,91
2011 3.511,20 12.052.50 2.839,44 7.833,97 435,00 2.568,54 25,94 1,23 0,34 29.268,16 8,82
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Selama ini energi panas bumi
utamanya dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik. Dibandingkan sumberdaya yang
dimiliki, kapasitas terpasang Pembangkit
Listrik
Tenaga
Panas
Bumi
(PL TP)
Indonesia masih rendah yaitu hanya 1052
MWe (4% dari total sumberdaya). Selain
untuk pembangkit listrik energi panas bumi
dapat juga dimanfaatkan untuk penyediaan
energi
thermal
pada
proses-proses
pengolahan produk pertanian. Produksi
listrik panas bumi pada tahun 2000 adalah
sebesar 4869 GWh. Pada tahun 2009
produksi listrik panas bumi mencapai 9295
GWh. Produksi listrik panas bumi cenderung
meningkat namun pangsa listrik panas bumi
cenderung menurun. Hal ini disebabkan
pertumbuhan
PL TP
kalah
cepat
dibandingkan
dengan
pertumbuhan
18
T abel 9.
Energi yang Diproduksi (GWh)
*) termasuk PLTMG
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Secara geografis letak Indonesia
yang berada di cincin api penuh dengan
gunung berapi ternyata tidak selalu berada
dalam keadaan yang membahayakan. Di
balik berbagai risiko bencana alam ternyata
juga menyimpan potensi sumber energi yang
luar biasa besarnya. Panas bumi yang
berlimpah di dalamnya menjadi sumber
listrik yang tidak akan habis dan bisa
menjadi salah satu solusi dari krisis energi
listrik di Indonesia.
Indonesia tercatat memiliki potensi
panas bumi terbesar di dunia, yakni 28.000
megawatt (MW) atau 40 persen cadangan
dunia, yang tersebar di 250 lapangan.
Namun, upaya pemanfaatan energi panas
bumi berjalan sangat lambat. Kapasitas
terpasang saat ini baru 1.226 MW atau 4
persen dari total potensi. Posisi Indonesia
jauh di bawah Filipina sebesar 2.000 MW
(33 persen) dari potensi 6.000 MW dan AS
2.700 MW (13 persen) dari potensi 23.000
MW . Berdasarkan distribusi produksi energi
listrik tahun 2012, panas bumi memberi
kontribusi sebesar 4,79 persen. Kontribusi
terbesar masih dipegang oleh batubara
sebesar 51,40 persen, disusul dengan gas
(23,18 persen) dan BBM (13,83 persen).
Perhatian
pemerintah
pada
pemanfaatan potensi panas bumi masih
sangat kurang. Harta ini dibiarkan terkubur
daripada dimunculkan sebagai penyelamat
defisit APBN akibat impor BBM. Setiap
tahun, negara menghabiskan triliuan rupiah
untuk subsidi listrik. Pada APBN 2012,
subsidi energi Rp168,5 triliun yang terdiri
dari subsidi BBM Rp123,5 triliun dan
subsidi listrik Rp45 triliun. Dalam APBN
Perubahan
2012,
subsidi
energy
JESP V ol. 5, No.1, 2013
19
tentang pemborosan pengelolaan energi
primer di PLN tahun 2009/2010 yang
mencapai Rp37 triliun tidak dapat dipandang
enteng.
Kapasitas terpasang panas bumi
mestinya dapat ditingkatkan sampai 800
persen, yakni dari 300 MWe (setara
megawatt) menjadi 2.090 MWe tahun
2014-2015 untuk memenuhi kebutuhan listrik
yang
meningkat
dan
efisiensi
biaya
pembangkitan
energi
listrik.
Dengan
pengembangan itu, kapasitas terpasang
pembangkit listrik tenaga panas bumi
ditingkatkan dari 402 MW menjadi
800-1.000 MW . Akan ada penghematan minyak
mentah sebanyak 50.000 barrel per hari atau
senilai 1,82 miliar dollar AS per tahun. Hal
ini didasarkan pada biaya pembangkitan
yang sangat murah untuk PL TP (lihat Tabel
10)
T abel 10.
Biaya Pembangkitan Rata-rata (Rp/kWh)
Tahun PL TA PL TU PL TD PL TG PL TP PL TGU Rata-rata 2006 143,19 389,48 1.631,36 1.999,15 579,74 889,33 705,96 2007 118,80 405,91 2.438,47 2.155,67 615,10 873,80 706,62 2008 131,60 597,26 3.578,25 3.298,03 746,61 1.278,45 1.051,84 2009 139,48 598,31 2.696,52 1.422,71 639,87 739,79 767,79 2010 98,02 559,22 2.043,71 *) 1.594,93 701,39 788,46 795,59 2011**) 155,79 588,47 2.536,85 2.260,96 792,61 960,58 1.051,14 *) Angka revisi tahun 2010
**) tahun 2011 tidak termasuk sewa pembangkit
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Penutup
Beberapa
alternatif
penyelesaian
dalam jangka pendek dan panjang terkait
dengan permintaan dan penawaran energi
listrik antara lain:
pertama
, terus mendorong
upaya penghematan energi oleh semua
segmen konsumen. Pemerintah sendiri dapat
melakukan persuasi penghematan melalui
berbagai insentif dan peraturan yang lebih
nyata misalnya dimulai dengan penghematan
di kantor-kantor pemerintah, BUMN, dan
fasilitas umum. Upaya menghemat 1 MW
energi listrik jauh lebih mudah dan murah
daripada membangkitkannya
Kedua,
mengupayakan pengurangan
beban
puncak
dengan
memanfaatkan
pembangkit cadangan yang banyak dimiliki
konsumen.
Pemanfaatan
pembangkit
cadangan
bisa
menunda
perlunya
pembangunan pembangkit dan saluran
transmisi. Beban puncak juga bisa dikurangi
dengan menerapkan sistem insentif bagi
pelanggan yang mengurangi penggunaan
listriknya di waktu beban puncak. Langkah
ini bisa segera diambil untuk mengatasi
pemadaman bergilir yang sering terjadi dan
mengurangi
antrian
pelanggan
baru.
Langkah ini memang terkesan mengalihkan
tanggung jawab pemerintah ketika tidak
mampu menyediakan listrik dengan baik.
Namun dalam jangka pendek alternatif ini
dapat dilaksanakan dengan catatan tidak
boleh terus-menerus.
Ketiga,
mendorong
munculnya
20
daerah yang belum mendapatkan akses
listrik, namun memiliki potensi yang cukup
besar untuk dibangun PL TMH.
Keempat
, memaksimumkan produksi
dari pembangkit dan saluran transmisi
eksisting yang telah ada. Fasilitas yang
sudah dibangun dengan biaya mahal harus
dipelihara
dan
dimanfaatkan
secara
maksimum. Pemerintah harus meminta PLN
menurunkan
losses
jaringan yang saat ini
masih di atas 10 persen. Penurunan kapasitas
pembangkit hidro karena pendangkalan
harus segera diperbaiki.
Kelima
, dalam jangka panjang,
pemerintah dapat mendorong penggunaan
sumber-sumber energi yang tersedia lokal di
setiap daerah. Setiap daerah mempunyai
potensi yang berbeda-beda. Setiap daerah
diupayakan untuk mengandalkan energi
lokal sebagai sumber energi utama. Sat ini,
subsidi sangat besar karena setiap daerah
dipaksa menggunakan pembangkit yang
bahan bakarnya tidak terdapat di daerah
tersebut. Di samping itu, selama ini tingkat
losses
jaringan yang tinggi disebabkan jarak
yang sangat jauh antara pembangkit dengan
konsumen yang menggunakannya.
Keenam
, terkait dengan Sumber
Daya Manusia yang ahli di dunia kelistrikan
perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
Pemerintah perlu menyiapkan SDM yang
mampu bekerja dengan iklim kelistrikan
yang baru melalui penyediaan layanan
pendidikan
yang
handal
di
bidang
kelistrikan. Perkembangan kebutuhan energi
listrik
secara
nasional
jelas
akan
membutuhkan semakin banyak SDM yang
handal. Sementara pemenuhan kebutuhan
SDM yang handal akhir-akhir ini kurang
mendapat perhatian yang memadai.
Daftar Pustaka
Basri, Faisal & Haris Munandar. 2009.
Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian
dan Renungan terhadap
Masalah-masalah
Struktural,
Transformasi
Baru, dan Prospek Perekonomian
Indonesia
. Cetakan ke-1. Jakarta:
Kencana
Data Pokok APBN 2006-2012. Kementerian
Keuangan Republik Indonesia
Indonesia Energy Outlook 2010
. Pusat Data
dan Informasi Energi Sumber Daya
Mineral Kementerian Energi dan
Sumber
Daya
Mineral
Republik
Indonesia.
Rencana Usaha Penyediaan T enaga Listrik
(RUPTL) PT PLN (Persero)
2010-2019
Statistik PLN 2009
. Sekretariat Perusahaan
PT PLN (Persero)
Statistik PLN 2010
. Sekretariat Perusahaan
PT PLN (Persero)
Statistik PLN 2011
. Sekretariat Perusahaan
PT PLN (Persero)
Tumiwa, Fabby & Henriette Imelda. 2011.
Kemiskinan Energi: Fakta-fakta yang
Ada di Masyarakat
. Institute for
Essential Services Reform (IESR)
Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang
Energi
Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan
World Bank. 2005.
Electricity for All:
Option for Increasing Access in
JESP V ol. 5, No.1, 2013
__________________________________________ Alamat Korespondensi :
Basuki Prasetiyo K: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Email : ekonomikatiok@gmail.com
Mardhono. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : ekonomi_um@yahoo.com
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERAN
KARAKTERISTIK REGIONAL DI JA W A TIMUR
(PERIODE 2000-2009)
Basuki Prasetiyo Kurniawan Mardhono
Abstract
The aims of this study is to know the influence of agglomeration in East Java. The data consists of 38 regions in which 29 of them are districts and 8 of them are cities during the 2000-2009 periods. The data used in this study is secondary data in the form of numbers so that this study will lead to quantitative study. Based on the characteristics of the problem, this study is categorized into causal-comparative study. The type of the data is panel data and the method used is GLS (General Least Square) to process the panel data calculation. Several factors which influence the economic growth are the agglomeration (X1), the labor (X2), the inflation (X3), openness rate (X4), and human capital (X5). The conclusion of this study is that the economic growth in East Java is influenced by either agglomeration and education (human capital) that have positive effect with significant value, and also the inflation and export (openness rate), although the value is not significant. Agglomeration, labor , and education (human capital) are the ones which have the positive relationship with the economic growth. Therefore, it is expected that the local government can create employments in industrial sector and increase the quality of the education in East Java so that the good economic growth can be obtained.
Keywords: Agglomeration, Human Capital, Economic Growth, and Pane Data.
Aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi sudah menjadi fakta, yaitu sebagai cermin atau gambaran perbedaan pembangunan di Indonesia. Disparitas antar daerah tidak terlepas dari perbedaan pembangunan yang ada di tiap-tiap daerah. Ketimpangan yang terjadi di Indonesia jelas memberikan masalah dalam hubungan antar daerah. Perbedaan yang terjadi tidak terlepas dari fenomena aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi di tiap-tiap daerah. Persebaran sumber daya yang tidak merata dapat menimbulkan perbedaan dalam laju pertumbuhan ekonomi antar daerah. Aglomerasi, baik itu aktifitas ekonomi dan penduduk di perkotaan menjadi obyek pembahasan dalam pemecahan permasalahan yang
dihadapi oleh pembangunan kota (Krugman, 1998). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi mampu menjelaskan perbedaan pembangunan yang ada di Indonesia.
22
masalah yang dihadapi akan mendorong terciptanya kesadaran regional dan identitas yang sama. Kedua, terdapat keterkaitan yang sangat erat di antara kota/kabupaten di Jawa Timur, dengan kata lain terdapat sebuah batas kawasan dalam interaksi di antra mereka atau dimensi ruang. Ketiga, terdapat kebutuhan bagi kota/kabupaten untuk menciptakan propinsi yang dapat membentuk kerangka aturan untuk mengatur interaksi di antara mereka dalam rangka menujuk pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Skripsi ini akan memfokuskan pada analisis aglomerasi dengan memadukan peran karakteristik Propinsi Jawa Timur yaitu berdasarkan laju angkatan kerja, laju inflasi, laju Openness, dan human capital terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur (laju pertumbuhan PDRB berdasarkan harga kostan 2000) menurut kota/kabupaten.Dari fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian aglomerasi, pertutumbuhan ekonomi, dan faktor lain yang berkaitan, di mana masih terdapat banyak perbedaat antar daerah di Jawa Timur. Jawa Timur dipilih karean Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki perekonomian yang kuat dan telah mengimbangi kondisi perekonomian DKI Jakarta. Jawa Timur, berdasarkan 9 kota dan 29 kabupaten merupakan objek penelitian karena peneliti berasumsi bahwa perubahan dalam taraf regional akan menjadi penentu gerbang perekonomian suatu negara, sehingga pengkajian lebih mendalam dalam lingkup kecil dalam hal ini regional akan dapat membawa dampak besar bagi negara.
Metode Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dalam bentuk angka sehingga penelitian ini mengarah kepada penelitian kuantitatif. Menurut desain penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian eksplanatif (explanatory research) . Penelitian eksplanatif merupakan penelitian yang menguji hubungan antar variabel. Dalam
penelitian ini terdapat lima variabel bebas yaitu aglomerasi, pendidikan, tenaga kerja, inflasi, dan ekspor yang akan diteliti untuk mengetahui hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang merupakan variabel terikat. Jadi penelitian ini termasuk penelitian eksplanatif karena dirancang untuk menguji pengaruh antar variabel yaitu aglomerasi (X1), tenaga kerja (X2) ekspor (X3), inflasi(X4), dan pendidikan (X5) sebagai variabel bebas, serta pertumbuhan ekonomi (Y) sebagai variabel terikat melalui pengujian suatu hipotesis.
Berdasarkan karakteristik masalah, penelitian ini tergolong penelitian kausal-komparatif (Causal-Comparative Research) yakni tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa hubungan sebab-akibat antara dua variabel atau lebih (Indriantoro dan Supomo, 1999: 27). Sedangkan apabila dilihat dari bentuk data yang diambil, penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang menggunakan “data yang berbentuk angka.
Jenis data untuk penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain atau data yang sudah diolah atau dipublikasikan oleh berbagai instansi pemerintah dan data primer, yaitu data yang diambil secara langsung pada tempat yang diteliti (BPS Provinsi Jawa Timur).Sedangkan datayang utama digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa data panel dengan kurun waktu 2000 – 2009 untuk Provinsi Jawa Timur.
Metode yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini dengan menggunakan Software Ekonometrika yaitu Eviews 7 untuk melakukan uji asumsi klasik, serta uji regresi terhadap variabel bebas yang ada. Dalam penelitian ini, menggunakan metode Commonyang diestimasi
menggunakan metode
GeneralizedLeastSquare (CrossSection
JESP V ol. 5, No.1, 2013
23 Hasil dan Pembahasan
Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur
Pemerintahan
Propinsi Jawa Timur dibentuk dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1950, yang ditetapkan tanggal 2 Februari 1950, merupakan gabungan dari pemerintahan daerah karisidenan Surabaya, Madura, Besuki, Malang, Kediri, Madiun, dan Bojonegoro. Ibukota propinsi Jawa Timur adalah Surabaya. Provinsi Jawa Timur, sedangkan luas Pulau Madura hanya sekirtar 10 persen. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur yang mencapai 47.156 km2 yang hingga sampai karya skripsi ini ditulis, Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi 38 Kabupaten/Kota dimana 29 adalah Kabupaten dan 9 adalah Kota.
Secara umum, wilayah Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau
Madura. Keseluruhan luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90 persen dari seluruh
Provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu bagian dari NKRI, tentu memiliki system pemerintahan yang sama dengan kebanyakan provinsi-provinsi lainnya di NKRI. Unit pemerintahan yang dikoordinir oleh provinsi secara langsung adalah kabupaten/kota terdiri dari beberapa kecamatan. Sedangkan kecamatan terbagi lagi menjadi beberapa desa.
Deskripsi Variabel
Perekonomian di Jawa Timur sampai tahun 2009 didasarkan pada PDRB atas harga konstan 2000 menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dalam kurun waktu 10 tahun (2000 – 2009) telah terjadi peningkatan PDRB dari RP202.830.063,03 pada tahun 2009 menjadi Rp 320.210.547,65 atau naik sebesar Rp 117380484.62.
Gambar 1 :
24
Analisis aglomerasi menggunakan indeks balasa, semakin tinggi nilai indeks Balasa menunjukkan aglomerasi yang semakin kuat. Aglomerasi dikatak kuat apabila angka indeks balassa di ata 4, rata-rata atau sedang bila nilainya antara 2 dan 4, lemahbila nilainya diantara 1 sampai 2, sedangkan nilai 0 sampai satu berate tidak terjadi aglomerasi atau wilayah tersebut tidak memiliki keunggulan komeratif untuk terjadinya aglomerasi.
Tenaga kerja disadari merupakan salah satu modal utama dalampembangunan. Definisi yang diberikan BPS mengenai penduduk usia kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas, dan dibedakan lagi menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk pada usia kerja yang sedang atau mencari pekerjaan. Laju pertumbuhan penduduk tentunya juga akan mempengaruhi keadaan angkatan kerja. Dalam susenas kependudukan dan tenaga kerja, di Jawa Timur hingga tahun 2009 terdapat 19,3 juta jiwa tenaga kerja. Bila melihat tenaga kerja sektor industry berdasarkan data Susenas maka dapat disimpulkan bahwa jumlah tenaga kerja sektor industry antara tahun 2000 – 2009 cenderung stagnan.
Dapat diketahui bahwa pada tahun 2000 jumlah tenaga kerja di sektor industry 2223662 pekerja dan pada tahun 2009 jumlahnya menjadi 2385686. Jadi dapat disimpulkan perkembangan tenaga kerja industri di Jawa Timur selama periode 2000 – 2009 pertumbuhannya tidak terlalu besar.
Perkembangan jumlah murid SMA/Sederajad cenderung fluktuatif. Sepanjang tahun 2000 hingga 2009 terjadi peningkatan jumlah murid SMA/sederad. Pada tahun 2004 terjadi penurunan jumlah murid. Namun pada tahun 2005 ke atas jumlah murid mengalami pertumbuhan positif.
Perkembangan nilai ekspor Jawa Timur terus mengalami peningkatatan secara signifikan mulai tahun 2003.
Namun peningkatan yang ini terhenti ketika memasuki nilai puncak sepanjang tahuyn 2007. Pada tahun 2008 nilai ekspor Jawa Timur terus mengalami penurunan.
Keaadaan inflasi Jawa Timur cenderung fluktuatif. Titik tertinggi inflasi antara tahun 2000 – 2009 terjadi pada bulan oktober tahun 2005.
Uji Asumsi Klasik Uji Multikolinieritas
Menurut Winarno (2007:5.1) multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier variabel independen. Karena melibatkan beberapa variabel independen, maka multikolinieritas tidak akan terjadi pada persamaan regresi sederhana. Kodisi terjdainya multikolinieritas ditunjukkan dengan berbagai informasi beriku:
a. Nilai R2 tinggi tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan.
b. Dengan menghitung koefisien korelasi antarvariabel independen. Apabila koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinieritas.
c. Dengan melakukan regresi auxiliary. Regresi jenis ini dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua (atau lebih).
Ada beberapa alternatif untuk menghadapi masalah multikolinieritas. Seperti diungkapkan oleh Winarno (2007:5.7) yaitu:
a. Membiarkan model mengandung multikolinieritas, karena estimatornya masih dapat bersifat BLUE. Sifat BLUE tidak terpengaruh oleh ada tidaknya korelasi antarvariabel independen. Namun harus diketahui bahwa multikolinieritas akan menyebabkan standart error yang besar.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
25 teruskan dengan model yang sekarang
digunakan.
c. Hilangkan salah satu variabel independen, terutama yang memiliki hubungan linier yang kuat dengan variabel lain. Namun apabila menurut teori variabel independen tersebut tidak mungkin dihilangkan, berarti harus tetap dipakai.
d. Transformasikan salah satu atau beberapa variabel.
Uji Heterokedastisitas dan Uji Autokorelasi
Dalam penelitian ini, analisis dilakukan dengan data panel dengan model regresi fixed effect (efek tetap). Menurut Winarno (2007:9.14) menjelaskan bahwa model regresi fixed effect (efek tetap) merupakan model regresi yang dapat menunjukkan perbedaan konstan antarobjek meskipun dengan koefisien regresor yang sama. Efek tetap dimaksudkan bahwa satu objek memiliki konstan yang tetap besarnya untuk berbagai periode waktu. Motode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan asumsi metode common effect di mana
menunjukkan ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya.
Penggunaan Software Ekonometrika Eviews yang digunakan dalam penelitian ini yang telah menggunakan metode Generalized Least Square (Cross Section Weighting) yang mengasumsikan bahwa residual observasi crosssectional bersifat heteroscedastik dan tidak mengandung autokorelasi seperti diungkapkan dalam Hadi (2008).
Pengujian Hipotesis Penelitian
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis data panel (pooleddata). Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen baik secara langsung maupun tidak langsung serta kemampuan model dalam menjelaskan pengaruh aglomerasi, tenaga kerja, ekspor, inflasi, dan pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (PDRB).
Model Persamaan Regresi