• Tidak ada hasil yang ditemukan

Opinio Juris Vol 1 Jan Maret 2010 20 33

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Opinio Juris Vol 1 Jan Maret 2010 20 33"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Negara adalah / 71 Interaksi antarnegara di dalam konsepsi / diibaratkan sebagai suatu interaksi ‘pergumulan’ kekuasaan tiada akhir yang pada akhirnya menciptakan suatu konflik kepentingan yang tidak menentu

yang dikenal dengan “ + ”.

Tonggak sejarah kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dimulai ketika pada 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan Sputnik I, satelit pertama buatan manusia. Perkembangan kepentingan hegemoni antariksa yang besar dari kedua negara tersebut dan situasi perang dingin yang tidak

menentu menciptakan kondisi +

yang pada akhirnya mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk

membentuk 2 3 ** + *

. + ** (UNOOSA) pada 13 Desember

1958 melalui Resolusi 1348 (XIII) dan 2

3 , + * 2 *

. + (UNCOPUOS) pada 1959

melalui Resolusi 1472 (XIV). Perbedaan keduanya adalah bahwa UNOOSA berfungsi sebagai kantor sekretariat bagi masalah eksplorasi dan eksploitasi antariksa, sedangkan

UNCOPUOS berfungsi sebagai komite

yang menangani masalah antariksa.

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF

-

DAN

%

-Oleh:

Ferry Junigwan Murdiansyah

1. Negara sebagai / , menurut Thomas Hobbes adalah negara sebagai bentuk realisasi dari sesosok makhluk yang sangat mengerikan dengan kekuatan yang sangat besar dan memiliki kemampuan bertahan hidup untuk mempertahankan kepentingannya.

Pembahasan lebih lanjut dalam artikel ini akan berfokus pada UNCOPUOS saja.

Suatu terobosan pun diperkenalkan pada tahun 1970an melalui lima instrumen hukum internasional di bidang antariksa, yaitu:

, + . = / + /

* )1. 2 *

. + +

> %&9E . + !$

+ * $

* *

+ 4 + . + %&9<

!$ /

" 4 * #

. + + %&E' 4 / !$

/ * +

4 + . + %&E9

/ !$ dan

= / + / *

> %&<B !7

. + menjadi landasan hukum yang

(2)

dari mandat yang terdapat di dalam . +

. Pada awal pembentukannya, lima instrumen hukum antariksa ini, yang dise: but sebagai rezim hukum antariksa klasik,2 dianggap “sekedar cukup saja” untuk men: jembatani kekosongan hukum di dalam kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun dengan pesatnya perkembangan teknologi antariksa, diperlukan suatu pengaturan/instrumen hukum antariksa yang komprehensif, detail, dan melindungi

kepentingan . + * dan

. + * , serta memperhatikan

aspek lingkungan haruslah dianggap sebagai

suatu persyaratan dasar terbentuknya

suatu rezim hukum antariksa modern.

Penekanan pada aspek lingkungan menjadi penting dalam rezim hukum antariksa modern, mengingat secara alami negara sebagai /

akan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaannya untuk eksploitasi suatu bidang tertentu pada titik maksimal. Pada

prinsipnya, negara / lainpun akan

melakukan hal yang sama, sehingga tanpa

disadari + * + + akan

terjadi yang berdampak pada kerusakan lingkungan.

Artikel inipun dibuat sebagai renungan sederhana

atas dua pemasalahan yang ber: erat

di balik jubah diskusi hukum antariksa modern antarnegara dewasa ini, yaitu: (i) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif

. + * dan celah hukumnya,

dan (ii) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif Indonesia dan celah hukumnya.

Rezim Hukum Antariksa Klasik dari

Perspektif dan Celah

Hukumnya

. + * yang selangkah lebih

unggul dalam penguasaan antariksa memiliki

+ yaitu ‘kecanduan

antariksa’ atau adanya ketergantungan dengan teknologi antariksa dan memiliki motivasi penguasaan antariksa secara dominan dan berlebihan. Berdasarkan berbagai kajian

hukum antariksa di antara . + *

, terdapat 3 (tiga) inti masalah yang menjadi perhatian, yaitu: denuklirisasi dan

pelarangan senjata antariksa, wisata

antariksa, dan mitigasi sampah antariksa

( . + !7

A. DENUKLIRISASI DAN PELARANGAN SENJATA ANTARIKSA

I. Denuklirisasi dan Pelarangan Senjata Antariksa sebagai Suatu Masalah Internasional

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat secara diam : diam terus mengembangkan teknologi antariksanya dan secara bertahap melakukan perakitan senjata antariksa yang mampu menyerang aset antariksa negara lain baik di darat dan di antariksa, dan juga melakukan pengembangan teknologi senjata anti misil balistik demi keamanan nasionalnya. Berbagai pengembangan teknologi tersebut diprakarsai oleh Pemerintahan Bush yang berkeinginan untuk memperkuat profil militer antariksanya dengan 2

(3)

. + * C * '('(

dan 2 + '('D .

Hal tersebut dilaksanakan dengan memberikan rekomendasi untuk menguasai antariksa dalam berbagai aspek, yang meliputi perang melawan terorisme global pada akhir 2001.

Pada 23 Mei 2009, Laura Grego, seorang

peneliti dari 2 * + + ,

membuat testimoni di hadapan +

3 + ** *

/ = /

* mengenai program antariksa Amerika

Serikat yang bertujuan pada penguasaan dan hegemoni antariksa termasuk di dalamnya

penciptaan senjata antariksa untuk

melindungi aset antariksa mereka. Pihak dari pemerintah Amerika Serikat pada saat itu membantah testimoni tersebut, namun terdapat dua bukti konkrit yang mendukung testimoni dari Laura Grego, yaitu:

a. Amerika Serikat pada Desember 2001

menarik diri dari > +

(ABM) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet pada saat itu) pada 26 Mei 1972, sehingga dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat sekarang lebih mempunyai “fleksibilitas” dalam memproduksi senjata balistik di kemudian hari.

b. 2001 Rumsfeld .

memberikan rekomendasi bahwa dalam rangka mencegah terjadinya “

* 0 maka kepentingan nasional

Amerika Serikat adalah untuk menciptakan senjata antariksa yang berfungsi defensif dan ofensif.

Upaya pengembangan senjata antariksa oleh Amerika Serikat ini tercium oleh negara lain yang langsung memperkenalkan instrumen hukum baru yang mengatur pelarangan

senjata antariksa ( , /

* , + * : .

. + * 2 * +

. + + atau yang

biasa disebut ,,: ). Respon lain

terhadap masalah ini salah satunya adalah Rusia pada 2004 melakukan deklarasi bahwa negaranya tidak akan menjadi negara pertama

yang akan menempatkan senjata di antariksa. Hal ini merupakan upaya politis pertama yang patut diteladani oleh negara: negara sebagai langkah awal pencegahan nuklirisasi dan penempatan senjata di antariksa.

II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik

Terdapat 2 (dua) pasal dalam . +

yang sekiranya bersinggungan dengan isu

(4)

a) : hanya mengatur senjata yang diletak: kan di orbit bumi tanpa penjelasan lebih lanjut. Bagaimana dengan senjata pemusnah massal yang berada di bumi dan mempunyai kemampuan jangkau tembak antariksa? Bagaimana dengan yang dikendalikan oleh sistem kendali (bukan senjata) yang secara permanen berada di antariksa? Hal – hal semacam ini belum tercakup di dalam definisi ini.

b) . dan .

" :

: misil balistik seperti yang dikembang: kan oleh Iran dan didemonstrasikan oleh Cina pada tahun 2007 yang ditembakkan keluar angkasa dan mampu menghancurkan satelit Cina tidak termasuk di dalam definisi ini.

senjata yang mampu men: gacaukan frekwensi gelom: bang radio satelit dan menye:

babkan pada satelit

seperti yang dilakukan Irak pada awal 2000:an juga tidak termasuk dalam definisi ini.

c) : apa yang dimaksud

dengan aktivitas personil militer untuk penelitian ilmiah disini? Kalimat ini sangatlah multitafsir. mendapat perhatian Penulis, yaitu:

a) * " " #

# "

:

● apa sebenarnya definisi dari kon: taminasi berbahaya dan perubahan fatal dari lingkungan bumi? Apakah arti penggunaan bahan kimia, limbah antariksa, atau limbah beracun di antariksa juga diatur dalam pasal ini?

● Perubahan fatal terhadap titik

jenuh = akibat

penempatan satelit yang berlebihan tidak diatur dalam pasal ini. ● Kerusakan lingkungan antariksa

akibat pengawasan dan manajemen sampah antariksa yang baik juga tidak diatur di dalam pasal ini.

b) " : kalimat ini

ambigu dan multitafsir. Penulis ber: pendapat bahwa kalimat ini tidak menjelaskan bentuk tanggung jawab

dari negara pemilik wahana

antariksa dan seharusnya lebih diatur secara detil.

Dari kajian singkat dua pasal tersebut di

(5)

isu ini memiliki celah hukum sebagai berikut:

a) . + hanya mengatur prinsip dan norma dasar dari kegiatan ek: splorasi dan eksploitasi antariksa.

b) . + mengesampingkan

kemungkinan digunakannya senjata dari bumi ke antariksa.

c) . + belum mengisi

kekosongan hukum yang ada dengan keluarnya Amerika Serikat dari

> + pada

2001. Hal mana, menjadi penting bagi kita semua untuk mempelajari

draft ,,: berkenaan dengan

penciptaan instrumen hukum baru dalam pelarangan senjata antariksa

yang akan bersifat komplementer

terhadap . + ataupun

rezim antariksa klasik secara keseluruhan.

III. Conference on Disarmament

* + # (CD) merupakan

suatu forum multilateral yang didirikan pada tahun 1979 oleh komunitas inter: nasional untuk merundingkan berbagai upaya pengawasan persenjataan dan kesepakatan perlucutan senjata. CD bukanlah suatu badan resmi PBB. Keterkaitannya dengan PBB, adalah melalui penempatan seorang wakil Sekjen PBB yang juga bertugas sebagai Sekjen Konperensi ini. Saat ini, beranggotakan 65 negara, yang meliputi lima (5) negara pemilik senjata nuklir. Indonesia juga menjadi anggota CB.

Salah satu catatan penting dalam aktivitas

CD adalah pembahasan isu , / *

+ . + (PAROS)

pada tahun 2000 yang dipelopori oleh Cina dan Rusia, yang menganggap bahwa upaya

penggunaan senjata nuklir dan . +

. memerlukan suatu diskursus

tersendiri di dalam CD. Dalam hal ini, penulis memandang perlunya suatu . +

dari negara : negara untuk menjadikan CD sebagai institusi resmi PBB dengan wewenang untuk melakukan pengawasan, pelarangan, pemberian sanksi bagi penggunaan senjata berbahaya, wewenang dalam isu denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, serta menentukan dan mengatur mekanisme kontrol terhadap keadaan lingkungan yang dimungkinkan mengalami dampak akibat aktivitas tersebut. Pada masa yang akan datang, diharapkan CD yang lebih ter:institusi

dapat melakukan ** + dengan

UNCOPUOS demi terciptanya sistem

hubungan kerja + dan

yang ideal dalam upaya eksplorasi dan eksplorasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai.

B. WISATA ANTARIKSA

I. Industri Baru dalam Komersialisasi Antariksa

Pada 28 April 2001, milyarder asal California, Amerika Serikat, Dennis Tito, membuat sejarah dengan menjadi turis antariksa pertama di dunia dengan menggunakan wahana antariksa Rusia, Soyuz yang melakukan wisata antariksa selama sebelas (11) hari

menginap di " . +

(6)

Ekspedisi fenomenal Tito ini membuktikan bahwa kini antariksa merupakan tujuan wisata baru yang dapat dikembangkan di kemudian hari.

Wisata antariksa pada awalnya merupakan proyek pemerintah yang mulai ditawarkan pada masyarakat sipil pada tahun 2001 dengan biaya yang relatif mahal, sebagai perbandingan harga yang ditawarkan badan antariksa Rusia pada tahun tersebut adalah US$ 45 juta. Kini wacana tersebut mendapat tantangan dari operator swasta yang menawarkan harga yang jauh lebih menarik yaitu berkisar pada US$ 200.000 (harga yang di tawarkan C = + +). Oleh karenanya, bisnis wisata antariksa kini mendapat pesaing kelas ekonomi yang lebih terjangkau.

Melihat perkembangan yang ada, beberapa perusahaan pun berlomba : lomba untuk dibayangkan sebelumnya ketika rezim antariksa klasik lahir.

Wisata antariksa adalah fenomena baru yang layak mendapat perhatian lebih dalam dan serius. Peluang bisnis wisata antariksa

bukanlah sesuatu yang ;* melainkan

penuh resiko bagi + dan turis di pesawat antariksa itu sendiri, + di . + .

tempat peluncuran wahana antariksa, maupun terhadap publik lainnya. Lebih jauh lagi,

kemungkinan polusi, kemungkinan + ,

masalah sertifikasi kelayakan penerbangan

antariksa, dan masalah cuaca di orbit antariksa adalah masalah – masalah yang memerlukan perhatian lebih dalam. Sehingga timbul suatu pertanyaan, apabila wisata antariksa di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim untuk dilakukan maka: (i) instrumen hukum apa yang akan mengaturnya, dan (ii) apakah akan ada organisasi internasional yang akan mengawasinya?

II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik

Di dalam rezim hukum antariksa klasik, pembahasan mengenai isu ini sama sekali belum tersentuh. Sehingga implikasinya adalah, akan sangat beresiko apabila wisata antariksa hanya dilakukan berdasarkan multi kontrak antara: (i) investor – negara, (ii) negara – operator wisata antariksa, (iii). operator wisata antariksa – turis antariksa , (iv) operator antariksa – perusahaan asuransi, dan sebagainya. Sehingga, diperlukan suatu rezim hukum antariksa modern yang juga membahas dan mengatur masalah ini.

III. # # % /

(ICAO) untuk Wisata Antariksa?

ICAO dibentuk pada Oktober 1947 dan diberi mandat untuk menjadi organisasi inter: nasional yang berwenang mengenai segala sesuatu yang berurusan dengan penerbangan

udara sipil, seperti: pengaturan frekwensi radio, pengaturan sistem komunikasi pilot dengan stasiun udara, penetapan prosedur dan mekanisme untuk kontrol penerbangan, dan sebagainya.

(7)

ICAO sebagai organisasi yang juga akan melakukan kontrol dan berwenang terhadap penerbangan antariksa. Alasan perlunya perluasan mandat dan kewenangan ICAO sehubungan dengan wisata antariksa adalah bahwa baik penerbangan udara maupun penerbangan antariksa memiliki rutinitas, aktivitas dan mekanisme kontrol yang sama. Dimana kesemuanya itu menggunakan teknologi komunikasi dan

satelit. Oleh karenanya, sistem, prosedur, dan mekanisme penerbangan udara yang

diatur dalam ICAO sekarang bisa

diperluas mencakup penerbangan antariksa dengan sistem, prosedur, dan mekanisme yang kurang lebih sama.

Berkaitan dengan wacana ini, penulis setuju dan memandang perlunya suatu organisasi inter:nasional baru yang akan mengatur hal tersebut, namun, apakah organisasi baru tersebut merupakan organisasi internasional yang terpisah dari ICAO atau hanya merupakan “perluasan” tugas dan mandat ICAO dilakukan penelitian lebih lanjut.

C. MITIGASI SAMPAH ANTARIKSA

Sampah antariksa merupakan +

. bagi . + * dan

. + * dan merupakan suatu

ancaman terhadap keamanan antariksa. Benturan sampah antariksa sekecil apapun, akan dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan hancurnya suatu aset antariksa, seperti sampah antariksa dengan diameter sebesar 1 cm apabila bersinggungan dengan satelit pada kecepatan 80 mil per jam dapat

menyebabkan kerusakan fatal pada satelit tersebut.

Pada 2007, sub:komite ilmiah dan teknis

dari UNCOPUOS telah mengadopsi 23

= . + #

(# = ) yang mengatur prosedur

– prosedur yang dipandang dapat mengurangi jumlah sampah antariksa. Pada 31 Maret 2009, sub:komite hukum UNCOPUOS telah mengadakan sesi dengan salah satu pemba:

hasannya adalah tentang # = .

Namun, sesi subkomite hukum UNCOPUOS tersebut belum menghasilkan komitmen baru dalam mitigasi sampah antariksa. Penulis berpendapat bahwa sesi pada level subkomite hukum UNCOPUOS yang membahas mengenai mitigasi sampah antariksa dan # =

harus terus ditingkatkan, hingga terciptanya suatu komitmen negara–negara untuk mem: bentuk intrumen hukum antariksa baru

yang mengatur mengenai . + .

REZIM HUKUM ANTARIKSA KLASIK DARI PERSPEKTIF INDONESIA DAN CELAH HUKUMNYA

Indonesia memandang hukum antariksa sebagai suatu kajian konseptual. Namun, penulis berpendapat bahwa terdapat tiga kajian konseptual yang belum diatur di dalam rezim hukum antariksa klasik. Tiga hal tersebut antara lain definisi dan delimitasi antariksa; hak berdaulat dan

kedaulatan pada = dan

pemisahan tanggung jawab dari definisi

(8)

I. Definisi dan Delimitasi Antariksa

Masalah definisi dan delimitasi antariksa sudah menjadi pembahasan sub komite hu: kum UNCOPUOS sejak 1966, berdasarkan proposal dari Perancis. Dalam proposal tersebut ditekankan pentingnya mengatur definisi dan batas terendah yang jelas dari antariksa, sehingga perbedaan antara ruang antariksa dengan ruang udara dapat terukur.

Namun demikian, Amerika Serikat

memandang masalah ini sebagai suatu hal

yang tidak perlu menjadi bahan

perbincangan. Hal inilah yang menjadi kendala mengapa tarik ulur kepentingan di dalam isu ini sangatlah panjang dan tidak

menentu. Sejak disepakatinya . +

hingga tahun artikel ini ditulis$masalah ini belum terselesaikan. Dengan demikian, definisi dan delimitasi antariksa merupakan suatu isu klasik yang telah larut selama hampir separuh abad lamanya.

Dalam isu definisi dan delimitasi antariksa, Indonesia menggunakan pendekatan spasial (kewilayahan) dengan beberapa referensi teori spasial sebagai berikut:

a) Batas kedaulatan negara berada pada lapisan atmosfir dimana komposisi gasnya

membentuk lapisan : lapisan ( ),

yaitu pada ketinggian 80 km di atas permukaan air laut.

b) Batas kemampuan terbang pesawat udara yaitu 60 – 80 km di atas permukaan air laut. c) , terendah dari orbit satelit yaitu

ketinggian antara 80 – 120 km di atas permukaan air laut.

d) Garis von Karman yang mengajukan batas terendah antariksa berada pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut.

e) Teori penguasaan efektif yang menekankan kemampuan negara untuk melakukan pengawasan di dalam zona t er seb ut, ya i t u 100 km d i a t as permukaan air laut.

Berdasarkan kajian dan penelitian para ahli sebagaimana tertuang dalam laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, pendekatan teori spasial dalam menentukan definisi dan delimitasi antariksa bagi kepentingan nasional Indonesia adalah pada

ketinggian 100 kmdi atas permukaan air

laut. Sehingga, ruang dengan ketinggian di bawah 100 km permukaan air laut disebut dengan ruang udara dan tunduk kepada

+ / %&BB, sedangkan

ruang di atas 100 km permukaan air laut disebut ruang antariksa dan tunduk kepada rezim hukum antariksa.

Penulis berpendapat bahwa upaya definisi dan delimitasi antariksa haruslah terus

diperjuangkan dalam pembahasan

sub:komite hukum UNCOPUOS. Bila tercapainya kesepakatan dalam pembahasan mengenai isu ini, maka kepastian hukum di dalam ruang antariksa dapat tercipta. Oleh karenanya, akan membawa kepastian hukum lainnya bagi seluruh negara

terutama ; . + * , seperti

(9)

II. Hak Berdaulat dan Kedaulatan pada

- % (GSO)

a. Pengertian GSO

GSO merupakan suatu orbit lingkaran yang terletak sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± 35.786 km dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi, berupa cincin dengan diameter ± 150 km dan mem: punyai ketebalan ± 70 km. Keistimewaan dari GSO adalah bahwa satelit yang ditem: patkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai dengan rotasi bumi itu sendiri. Keistimewaan lain dari GSO adalah jika kita menempatkan sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya dengan lebar 17° saja akan dapat meliput sepertiga dari bagian bumi.

Jalur GSO hanya terdapat di atas negara : negara khatulistiwa seperti Columbia, Congo, Equador, Kenya, Uganda, Zaire, Brazil, dan Indonesia. Indonesia adalah satu : satunya negara yang memiliki jalur GSO terpanjang diatas wilayah teritorialnya, yakni 13% dari panjang GSO seluruhnya atau sepanjang 34.000 km.

b. Arti Penting GSO Bagi Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang garis khatulistiwa dan merupakan negara khatulistiwa yang terpan: jang. Secara geografis2strategis Indonesia merupakan negara yang mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada di atas wilayah Indonesia.

Dengan memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit:satelit, maka kelangsungan dan keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin.

c. Status Hukum GSO

Secara yuridis, status GSO sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada

Penjelasan di atas menegaskan bahwa GSO merupakan sumber daya alam yang amat terbatas baik dari panjang jalur tersebut namun dari keterbatasan satelit yang dapat ditempat: kan pada GSO. Namun pada kenyataannya, jalur tersebut didominasi oleh negara: negara yang telah mempunyai kemampuan

teknologi tinggi, negara berkembang

khususnya negara : negara khatulistiwa yang berada di bawah jalur tersebut tidak mampu mengikutinya.

d. Hak Berdaulat dalam GSO

Dengan dikembangkannya prinsip *

(10)

dalam penguasaan GSO$ telah membawa

suasana + . serta mengakibatkan

lahirnya + + .. . 7 Hal

ini menambah keadaan kelompok negara khatulistiwa semakin dirugikan. Kelompok negara khatulistiwa menginginkan adanya suatu pengaturan hukum international yang tidak merugikan posisi mereka dalam rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut. Pada awalnya, negara khatulistiwa tersebut mencoba untuk melakukan suatu

klaim terhadap GSO yakni dengan

dicetuskannya Deklarasi Bogota 1976. Namun,

kelompok . + * , terutama

Amerika Serikat, dengan kemampuan teknologinya selalu menekankan efisiensi penggunaan GSO sebagai hal utama yang harus dicapai dalam penyelesaian masalah tersebut sebagai suatu pendekatan teknis, dan menghindari tercapainya suatu penyelesaian dalam kerangka hukum internasional. Oleh karena itu, dalam pembahasan sub:komite ilmiah dan teknik UNCOPUOS, Amerika Serikat selalu memberikan argumentasi teknis yang ditujukan untuk mendukung posisinya dalam subkomite hukum.

Sebaliknya kelompok negara khatulistiwa yang pada umumnya belum memiliki satelit bumi, tidak mempunyai jalan lain kecuali menempuh jalan hukum serta menghindari perdebatan teknis. Kelompok negara ini pada prinsipnya memperjuangkan hak berdaulat penuh atas ruang antariksa di atas wilayah: nya, dalam hal ini GSO.

e. Kedaulatan dalam GSO

Bentuk lain dari perjuangan Indonesia terhadap GSO adalah dengan dikeluarkannya

Indonesia pada sidang UNCOPUOS

1979 yang menuntut kedaulatan atas GSO.

3 ini kemudian diterje:

mahkan menjadi Posisi Dasar RI 1979 atas GSO yang di dalamnya berisi tuntutan kedaulatan Indonesia atas GSO yang juga disertai dengan kompromi sebagai berikut:

i) Pengakuan terhadap GSO sebagai sumber alam terbatas yang mempunyai ciri : ciri khusus;

ii) Negara : negara khatulistiwa memiliki

hak berdaulat ( / ) atas

GSO di atas wilayahnya;

iii) Hak:hak berdaulat tersebut hanya untuk tujuan:tujuan yang ditentukan (. + * ), antara lain:

a) bagi kepentingan rakyat negara: negara khatulistiwa;

b) pencegahan terjadinya titik jenuh

( ) pada orbit GSO;

c) pencegah akibat:akibat yang merugikan negara:negara khatulistiwa dikemudian hari.

iv) Pada prinsipnya memberikan kebebasan terhadap satelit : satelit yang digunakan untuk kemanusiaan dan perdamaian.

Dalam hal ini, Indonesia secara konsisten melakukan tuntutan yang sama sebagai: mana tertuang di dalam

(11)

f. Fondasi Hukum Nasional atas GSO

Perjuangan diplomasi Indonesia atas GSO berlanjut dengan penguatan fondasi hukum yang memuat materi mengenai GSO seba: gaimana tertuang dalam kebijakan nasional sebagai berikut:

i) Pasal 30 Ayat 3, Undang:Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan Negara sebagai berikut:

6 3 "

2 0bertugas:

! .

.

; . .

. ?

Penjelasan resmi pasal ini adalah:

6 .

.

'! * .

7 . .

+ .

6

= 6 .

67

ii. Pasal 7, Undang : Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi sebagai berikut :

, . *

.

, ;

, 0

Penjelasan resmi pasal ini adalah:

6A

. ;

. * *

6 0

.

. " 07

g. Kekosongan Hukum dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik Berkenaan Mengenai GSO

Rezim hukum antariksa klasik, adalah suatu produk yang dibuat hanya untuk menjelaskan prinsip dan norma dasar mengenai eksplorasi dan eksploitasi antariksa, tanpa pengaturan khusus mengenai GSO, kedaulatan dan hak berdaulat atas GSO. Hal ini dipandang sebagai suatu kesengajaan yang dibuat oleh . +

* s, demi kepentingan untuk

eksploitasi GSO guna penempatan satelitnya, sementara negara khatulistiwa seperti Indonesia memperhatikan mengenai kemungkinan

terjadinya di dalam eksploitasi

tersebut yang secara nyata akan membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia.

(12)

dapat melahirkan format baru yang dapat diajukan di dalam sidang khusus subkomite hukum UNCOPUOS berikutnya (2010), bersama : sama dengan isu lainnya, yaitu "definisi dan delimitasi antariksa".

Apabila sinergi di dalam pembahasan dua topik ini berhasil, langkah terakhir bagi Indonesia adalah membuat suatu hukum nasional yang lebih tegas mengenai definisi dan delimitasi antariksa, GSO, serta hak berdaulat dan kedaulatan di dalamnya.

III. Definisi di dalam

Rezim Hukum Antariksa Klasik

Indonesia adalah negara yang memiliki aset dan nilai jual yang sangat tinggi untuk ikut meramaikan industri antariksa. Aset dan nilai jual tersebut adalah posisi Indonesia yang berlokasi langsung di bawah GSO dengan jalur terpanjang yaitu 34.000 km. Hal ini ber: implikasi pada setidak : tidaknya empat hal:

a) Implikasi ekonomis dimana sesungguhnya Indonesia dapat menawarkan “paket” yang lebih terjangkau kepada negara:negara peluncur satelit apabila meluncurkan

satelitnya dari . + . yang dibangun

di Indonesia dan disisi lainnya, Indonesia dapat mengambil keuntungan ekonomi dan pembangunan daerah yang akan dijadikan . + . antariksa tersebut.

b) Implikasi efisiensi, dimana negara peluncur

satelit dapat merasa lebih + apabila

satelitnya di luncurkan dari . + .

Indonesia, karena satelit akan lebih mudah

3. Sementara Malaysia, Singapura, dan India melihat peluang ini dan sekarang sedang membangun . + . di negaranya masing–masing

untuk berposisi di dalam GSO yang terletak langsung di atas wilayah Indonesia.

c) Implikasi eksklusivitas, dimana Indonesia akan mendapatkan informasi dan teknologi antariksa yang lebih baik dibandingkan negara lain dengan tingginya frekwensi peluncuran satelit yang dilaksanakan di Indonesia. Kemungkinan diikutserta: kannya Indonesia di dalam proyek: proyek bergengsi seperti ISS pun akan semakin tinggi.

d) Implikasi + (daya tangkal),

dimana dengan semakin aktifnya suatu negara terhadap aktivitas dan penguasaan teknologi antariksa, maka semakin dekat negara tersebut dengan kemampuan

+ yang lebih besar terhadap negara lain.

Namun Indonesia belum mengambil opsi tersebut3 dikarenakan masih adanya suatu ganjalan yang terdapat di dalam rezim hukum antariksa klasik, yaitu disatukannya definisi negara yang meluncurkan satelit dengan

negara yang menyediakan . + . bagi

pluncuran satelit sebagai + .

(13)

Sangatlah tidak wajar apabila negara pemilik satelit dan negara . + . memiliki tanggung jawab yang sama apabila terjadi kerusakan yang timbul dari peluncuran satelit tersebut.

Kondisinya akan sedikit berbeda apabila bentuk tanggung jawab antara negara pemilik satelit

dan negara . + . di pisahkan secara

proporsional. Penulis memandang pasal karet di dalam rezim hukum antariksa klasik seperti ini harus segera diamandemen, agar sesuai

Perkembangan isu eksplorasi dan eksploitasi antariksa memiliki dua pendekatan yang

berbeda antara . + * dan

. + * seperti Indonesia. . +

* pada umumnya sudah melakukan

pendekatan yang lebih berorientasi pada aplikasi teknis dan industrialisasi antariksa sementara Indonesia masih berorientasi pada perdebatan (atau boleh dikatakan perjuangan) konseptual.

Namun demikian, terdapat satu benang merah yang dapat diambil dari perbedaan

derajat kepentingan antara . + *

dan Indonesia. Kedua kelompok negara ini sama2sama membutuhkan suatu rezim hukum antariksa modern yang lebih baik, lebih komprehensif, dan lebih detail yang mengatur seluruh kepentingan yang ada di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa. Sehingga, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa kini saatnya membuat suatu rezim

hukum antariksa modern yang bertumpu pada tiga (3) hal:

a) amandemen atau penyempurnaan terhadap rezim hukum antariksa klasik yang sudah ada;

b) perumusan instrumen : instrumen hukum antariksa baru yang mengatur elemen elemen yang dibahas di dalam artikel ini, dan

c) penciptaan dua organisasi internasional baru sehingga dimasa yang akan datang, isu antariksa memiliki tiga pilar organisasi internasional, yaitu UNCOPUOUS sebagai isu antariksa, satu organisasi yang berwenang mengatur mengenai komersialisasi dan industrialisasi antariksa (termasuk di dalamnya wisata antariksa,

aplikasi . dan / , dan

sebagainya), dan organisasi internasional yang terakhir merupakan perwujudan

institusional + * + *

sebagai organisasi + untuk mengatur

mengenai aspek politik:keamanan di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa.

SARAN

Perbedaan pendekatan antara . + *

dan . + * perlu dijembatani,

(14)

Ada dua kesalahan fatal yang memberikan kontribusi langsung terhadap terjadinya

. Pertama; tidak adanya komitmen dan aturan hukum yang jelas dalam eksploitasi

sektor industri. Kedua; yang salah

yang dilakukan oleh negara : negara pada saat

itu. Negara maju melakukan bahwa

demi kepentingan nasional masing:masing negara dalam melakukan eksploitasi industri yang dilakukan secara masif tanpa memperdulikan negara berkembang, lingkungan dan kaedah– kaedah yang ada. Di lain pihak, negara berkem:

bang memiliki bahwa belum menjadi

kepentingannasionalnya untuk membicarakan eksploitasi industri secara terukur dan terencana.

= dan isu Kopenhagen

adalah suatu momentum untuk dapat dijadikan cermin agar kesalahan yang sama tidak terulang dalam pembahasan isu antariksa, sehingga saran yang dapat diberikan guna

pencapaian suatu rezim antariksa modern adalah:

a) pembangunan kesadaran ( )

yang berkelanjutan akan perlunya suatu rezim hukum antariksa yang lebih baik yang memenuhi kebutuhan : kebutuhan dan persoalan : persoalan antariksa yang berkembang pada masa sekarang harus terus ditingkatkan oleh semua negara termasuk Indonesia; dan

b) Perubahan pola pikir ( ) bahwa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan dilakukan pengujian beban aksial maximum sampai terjadi retak pada kolom beton bertulang dengan perencanaan tampang dua, ukuran kolom 20 x 20 x

Produk pertanian banyak dalam bentuk bubuk dan tepung, bubuk dan tepung jagung memiliki kadar air yang rendah dan porositas yang tinggi sehingga bersifat higroskopis

78 14/ Universitas Trisakti Jakarta klinik gigi Terhadap kepuasan dan kepercayaan pasien Sehingga meningkatk an keinginan untuk Berobat kembali Kepuasan (X2)

Kebanyakan sistem selulase yang dihasilkan oleh jamur selulotik, jumlah β -glukosidasenya lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara

Internal audit anggota kelompok Memenuhi Kelompok KTH Kembang Hijau telah memiliki dokumen hasil audit internal yaitu dokumen hasil audit inernal terhadap seluruh

Untuk mengetahui apakah air sungai yang akan diambil memenuhi syarat untuk dijadikan air baku atau tidak, maka hasil pemeriksaan sampel dibandingkan dengan baku mutu air baku

Maksud mengadakan wawancara adalah untuk mengkontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain kegiatan;

Survey Pendahuluan dan Identifikasi Lapangan Pengukuran Kerangka Acuan Kerja (metode Polygon) Pengukuran Stake Out Rencana Jalur Pipa Uap Pembuatan dan Pemasangan