BAB II
PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DILAKUKAN ATAS DASAR ADANYA AKTA PERDAMAIAN ANTARA PARA AHLI
WARIS
A. Pembagian Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan ketika
terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Dalam hukum waris
perdata untuk mewarisi harus adanya orang yang meninggal yang disebut dengan
pewaris. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.42 “Peristiwa kematian menurut hukum mengakibatkan terbukanya warisan dan sebagai konsekwensinya
seluruh kekayaan (baik berupa aktiva maupun pasiva ) yang tadinya dimiliki oleh
seorang peninggal harta beralih dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya
secara bersama-sama”.43Untuk waktu pelaksanaan pembagian warisan tidak adanya ketentuan tersendiri dari peraturan waris perdata yaitu yang termuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Namun adanya ketentuan mengenai tidak
dibenarkan harta warisan atau harta peninggalan dibiarkan dalam keadaan tidak
terbagi yang mana dituangkan dalam Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan penentuan
siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut, menentukan besar
42Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
43 Syahril Sofyan, Bebearapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan :
bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta langkah selanjutnya penyelesaian
pembagian harta warisan yang dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak yang
berhak dalam pembagian harta warisan tersebut.
Pihak yang berhak dalam pembagian harta warisan atau harta peninggalan
adalah ahli waris, ahli waris merupakan “orang-orang yang berhak menerima harta
warisan (harta pusaka)”44. Ahli waris dalam waris perdata ada dua pembagian, yaitu ahli waris karena undang-undang (ab intestato) dan ahli waris karena wasiat
(testamentair).
1. Ahli waris karena undang-undang (ab intenstato)
Ahli waris karena undang-undang atau ab intestatomerupakan keluarga yang
sedarah, baik sistem kekeluargaan ke atas maupun ke bawah. “Prinsip yang dipegang
oleh undang-undang ialah bahwa dalam pewarisan menurut undang-undang, keluarga
sedarah yang terdekat selalu mengenyampingkan atau menindih keluarga yang lebih
jauh sehingga keluarga yang lebih jauh itu tidak ikut mewaris”45.
Pada pewarisan karena undang-undang adanya beberapa golongan yang
ditentukan, sehingga golongan yang terdekat dari pewaris memiliki prioritas utama
untuk menjadi ahli waris dari pewaris. Golongan tersebut yaitu, golongan pertama,
golongan kedua, golongan ketiga dan golongan keempat. Setiap golongan adanya
kategori tertentu dan pembagian yang berbeda pula.
a. Golongan pertama
Golongan pertama merupakan golongan paling dekat dengan pewaris, yaitu
istri dan anak-anak. Dalam hal ini berlaku adanya posisi penggantian46, maksudnya bila mana anak dari pewaris meninggal dunia namun adanya keturunan dari anak
tersebut (cucu) maka keturunan dari anak pewaris naik menggantikan ayah atau
ibunya sebagai ahli waris. Begitu juga selanjutnya kepada ahli waris yang di
bawahnya, jika ahli waris yang diatasnya telah meniggal terlebih dahulu dari pewaris.
“Menurut Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawaninan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu.
Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri; mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti”.47
Pewarisan perdata tidak membedakan jenis kelamin dalam pembagian
warisan, selagi keluarga sedarah dan diakui sah bagi anak luar kawin maka adanya
hak untuk menuntut bagian dari pembagian warisan. Begitu juga dengan status anak
dari perkawinan terdahulu maupun perkawinan yang baru, jika pewaris meninggal
maka anak yang sedarah dengan pewaris tetap berhak mendapatkan warisan, dan
anak dari perkawinan keberapapun selagi masih sedarah dan adanya pengakuan bagi
anak luar kawin tetap mendapatkan bagian warisan. Lain hal dengan istri atau suami,
46
Penggantian maksudnyadimana ahli waris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka ahli waris dari yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris tersebut naik menggantikan posisi ahli waris sebenarnya.
jika putusnya perkawinan karena perceraian48 maka hubungan harta dan hubungan perdata antara suami dan istri telah berakhir dan adanya pemisahan tersendiri. Namun
anak tidak dapat diperlakukan dengan demikian, sehingga sampai kapanpun adanya
hak anak dalam pewarisan terhadap ibu dan atau ayahnya.
Begitu juga dengan keturunan dari anak-anak si pewaris, jika anak dari
pewaris meninggal dunia terlebih dahulu, maka warisan turun kepada cucu atau
keturunan sah dari si anak (masih hubungan darah). Yang mana kalimat dari Pasal
852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan mewarisi pancang demi
pancang yang bermaksud sebatas hanya sebagai pengganti dalam pewarisan.
Pada golongan pertama adanya hak suami atau istri dalam pewarisan untuk
saat ini, namun tidak demikian sebelum tahun 1935.
“Persamaan waris suami atau istri dengan seorang anak sah itu baru terjadi setelah adanya perubahan undang-undang, yaitu di Indonesia tahun 1935 (staatsblaad tahun 1935 nomor 488), sebelum tahun 1935 suami atau istri terpanggil sebagai ahli waris apabila tiada atau musnahnya sanak keluarga sedarah sampai dengan derajat ke 12, sehingga pada sebelum tahun tersebut jarang sekali seorang janda atau duda medapatkan warisan dari almarhum atau almarhumah suami atau istrinya. Sebagai akibat dari dipersamakannya janda atau duda dengan seorang anak sah itu, maka apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau keturunan lain, maka janda atau duda tersebut berhak atas harta peninggalan almarhum atau almarhumah suami atau istrinya mendahului orang tua, saudara-saudara kandung dan yang lainnya”.49
Pembagian pada golongan pertama dengan anak-anak sah dan janda atau
duda, maka pembagiannya sama rata, yang mana pembagian janda atau duda setara
dengan anak-anak. Seperti contoh :
48
Perceraian merupakan salah satu hal yang mengakibatkan bubarnya perkawinan, Pasal 199 angka 4e Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
49 Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab
Skema 1
Pembagian waris terhadap golongan pertama
A B
C
Keterangan skema 1: A (pria) semasa hidup menikah dengan B (wanita) dan memiliki anak C (pria).
Penjelasan dari skema 1 ialah A meninggal dunia dengan ahli waris B dan C,
maka istri dan anak merupakan golongan pertama dan mengenyampingkan
golongan-golongan yang lain. Pembagiannya masing-masing B dan C mendapat ½ (seperdua)
atau setengah bagian untuk masing-masing. Begitu juga jika anaknya lebih dari satu,
misalnya dua atau tiga dan seterusnya maka pembagian sama besarnya. Dalam
perhitungan tersebut berlaku jika tidak adanya harta persekutuan dalam perkawinan
pewaris, namun jika adanya harta persekutuan setiap hendak mulai pembagian
warisan maka awalnya dikeluarkan harta persekutuan terlebih dahulu.
Pada kasus skema 1 di atas jika adanya harta persekutuan maka
perhitunganya:
1) Langkah awal pisahkan harta persekutuan, yang mana harta perseketuan
merupakan ½ (seperdua) bagian dari harta peninggalan. Sehingga sisa harta
peninggalan menjadi ½ (seperdua) bagian;
2) Sisa harta peniggalan ½ (seperdua) bagian tersebutlah yang merupakan bagian
(seperdua) bagian x ½ (seperdua) = ¼ (seperempat) bagian untuk
masing-masing;
3) Bagian istri menjadi ½ (seperdua) + ¼ (seperempat) = ¾ bagian, sedangkan
anak mendapatkan ¼ (seperempat) bagian.
“Bagian istri atau suami yang hidup terlama dengan dipersamakan dengan seorang anak bermaksud untuk melindungi kepentingan anak , terutama untuk janda yang almarhum suaminya kawin lebih dari satu. Perhatikan bunyi Pasal 852a dan 902 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sejak kodifikasi 1935 suami atau istri yang kedua atau selanjutnya terdahulu, hak atas keuntungan karena perkawinan atau pewarisan dibatasi, yaitu suami atau istri yang kedua atau selanjutnya tidak boleh mendapat keuntungan yang lebih banyak dari bagian anak, dengan batas maksimum seperempat dari budel/barangnya istri atau suami (pewaris) yang kawin lagi itu. Pembatasan dimaksud baru tejadi, apabila terdapat perkawinan yang terdahulu. Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang tidak hanya untuk anak-anak saja melainkan juga cucu pewaris dari perkawinan terdahulu, jika mereka bertindak sebagai ahli waris pengganti”.50
Lain hal jika perkawinan berlangsung dua kali, dimana perkawinan pertama
putus karena perceraian dan salah satu dari suami atau istri menikah kembali dan
adanya anak dari perkawinan terdahulu, maka pembagiannya sebagai berikut :
Skema 2
Pembagian waris golongan pertama terhadap ahli waris dari perkawinan lebih dari satu
D E F
G H
Keterangan skema 2: E (pria) semasa hidup menikah dengan D (wanita) dan memiliki anak G, namun E dan D bercerai. Kemudian E
50R. Soetojo Prawirohamidjojo,Hukum Waris Kodifikasi,(Surabaya : Air Langga University
menikah untuk kedua kali dengan F (wanita) dan memiliki anak H.
Pada skema 2 merupakan perkawinan berlangsung dua kali, dengan adanya
anak dari perkwaninan terdahulu, dimana E (pria) meninggal dunia, yang mana E
semasa hidup pernah menikah dengan D (wanita) dan memiliki satu anak yaitu G,
perkawinan tersebut putus karena perceraian dan E menikah kembali dengan F
(wanita) dan memiliki anak satu yaitu H. Dalam hal ini berlaku Pasal 852a Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan dimana istri kedua tidak lebih dari
batas maksimal ¼ (seperempat) bagian saja, maka dari itu ¼ (seperempat) bagian
dikeluarkan dahulu untuk istri kedua dan dua anak tersebut mendapatkan ¾ (tiga
perempat) bagian, dengan bagian masing-masing ½ (seperdua) x ¾ (tiga perempat)
memperoleh sebesar 3/8 (tiga perdelapan) bagian untuk G dan H.
Pada golongan pertamalah paling banyak kasus-kasus yang nyata terdapat di
lapangan, dimana satu keturunan dan bagian yang seharusnya sama besar tidak dapat
terlaksana karena alasan-alasan yang sering dikemukakan, yaitu ketidaktahuan serta
ketamakan akan harta warisan atau harta peninggalan. Seperti kasus yang sebagai
contoh yang telah dipaparkan pada latar belakang bagian Bab I pendahuluan, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 841 K/Pdt/2012. Dimana adanya kasus warisan yang telah
sepuluh tahun tidak terbagi, padahal ahli waris yang terdapat hanya sebatas golongan
pertama, lima bersaudara, dengan pembagian 1/5 (seperlima) bagian perorang, namun
penguasaan sepihak oleh ahli waris yang menghilangkan hak waris dari anak
pertama.
b. Golongan kedua
Apabila bila seorang meningal dunia tanpa meninggalkan suami atau istri atau
keturunan, maka dipanggillah sebagai ahli waris orang tuanya, saudara dan keturunan
dari saudara.51 Pembagian antara ahli waris golongan kedua ini telah diatur dengan baik dalam Pasal 854 sampai dengan Pasal 857 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Pasal 859 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
“Golongan kedua adalah orang tua dan saudara pewaris atau keturunan saudara pewaris. Tiap orang tua yang ditinggal medapat bagian yang sama besarnya dengan tiap saudara pewaris, tetapi tidak boleh kurang dari ¼ (sepermpat) bagian dari warisan, dengan ketentuan lagi bahwa hanya untuk menentukan bagian orang tua, saudara lain bapak atau lain ibu dihitung sebagai saudara penuh pewaris”.52
Berdasarkan Pasal 854 sampai dengan Pasal 855 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dimana jika pewaris tidak adanya meninggalkan istri atau suami
serta keturunan yang sah, maka harta peninggalan berhak jatuh kepada orang tua dan
saudara-saudara kandung dari pewaris. Yang mana ketentuan bagian dari orang tua
tidak boleh kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan. Pembagian
yang diperuntukan untuk saudara-saudara kandung dari pewaris merupakan sisa dari
bagian orang tua, baik saudara seayah dan seibu maupun saudara dari perkawinan
kedua atau seterusnya dari salah satu orang tua pewaris.
51 A.Pitlo,
Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta : PT. Intermasa, 1986), hlm. 44.
Orang tua masing-masing mendapatkan bagian yang sama dengan
saudara-saudara kandung, akan tetapi ayah dan ibu tersebut masing-masing tidak boleh
kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan. Jika tidak ada
saudara-saudara sekandung, maka masing-masing orang tua mendapat ½ (seperdua) atau
setengah bagian dan salah satu dari orang tua itu meninggal, maka orang tua yang
masih hidup mewaris seluruh harta warisan itu. Jika kedua orang tua meninggal
terlebih dahulu, maka saudara-saudaranya sekandung mewaris untuk seluruhnya.53 Ketentuan bahwa para saudara sama besar haknya terhadap warisan saudara mereka
yang meninggal dunia, hanya berlaku selama mereka itu adalah saudara kandung dari
pewaris. Akan tetapi jika diantara mereka ada saudara tiri dari pewaris maka
pembagian dari warisan itu menjadi lain caranya.
Pada hal ini lebih terinci jika dipaparkan dalam contoh kasus, yaitu :
Skema 3
Pembagian waris terhadap golongan kedua
A B
C
Keterangan skema 3: C meniggal dunia, dengan meniggalkan ahli waris A (ayah) dan B (ibu).
Skema 3 di atas dimana pewaris C meninggalkan orang tua, yaitu A (ayah)
dan B (ibu), dalam kasus ini maka orang tua masing-masing mendapatkan ½
(seperdua) bagian, jika dalam hal lainnya salah satu orang tua meninggal terlebih
dahulu, maka yang hidup terlama hanya satu orang tua saja, maka sepenuhnya harta
peninggalan hak dari salah satu orang tua hidup yang terlama.
Skema 4
Pembagian waris terhadap golongan kedua yang mana turut serta saudara kandung
A B
C E
D
Keterangan skema 4: D meniggal dengan meninggalkan dua saudara C dan E serta kedua orang tua A (ayah) dan B (ibu).
Kasus dari skema 4 tersebut di atas, di mana yang D meniggal dunia dan
meninggalkan A (ayah), B (ibu), C dan E merupakan saudara kandung.
Pembagiannya sama rata ¼ (seperempat) untuk masing-masing. A, B, C dan E
sama-sama mendapatkan ¼ (seperempat) bagian. Karena bagian orang tua tidak kurang dari
¼ (seperempat) bagian.
Skema 5
Pembagian warisan terhadap golongan kedua mengenai Pasal 855 KUHPerdata
A B
C D E F
Skema 5 memberikan penjelasan dimana pewaris F meninggalkan orang tua
dan tiga saudara kandung, dalam kasus seperti ini tidak boleh langsung dibagi 1/5
(seperlima) bagian, karena orang tua paling kecil bagian hanya diperbolehkan ¼
(seperempat) bagian. Karena itu langkah awal dilakukan adalah mengeluarkan bagian
kedua orang tua terlebih dahulu, dimana masing-masing orang tua mendapat ¼
(seperempat) bagian, dan sisanya ½ (seperdua) bagian merupakan bagian
saudara-saudara kandung dari pewaris F, yaitu C, D, dan E. Hitungannya ½ x 1/3 jadi 1/6
(seperenam) bagian untuk tiap masing-masing saudara-saudara kandung. Sehingga
pembagiannya menjadi:
1) A (ayah) mendapatkan ¼ (seperempat) bagian;
2) B (ibu) mendapatkan ¼ (seperempat) bagian;
3) C,D, dan E masing-masing mendapatkan 1/6 (seperenam) bagian.
Skema-skema kasus di atas merupakan kasus dimana hanya hubungan saudara
kandung seayah dan seibu, jika beda salah satu orang tua dari saudara kandung
pewaris,maka sistem perhitungannya tidak sama dengan sistem perhitungan atau
pembagian yang telah dipaparkan di atas.
dahulu diadakan pembelahan (kloving) warisan itu dalam dua bagian yang sama besarnya”.54
“Pembagian antara saudara dilakukan sama rata, asalkan mereka dilahirkan dari perkawinan yang sama. Jika mereka dilahirkan dari berbagai perkawinan, maka apa yang mereka warisi (seluruh warisan sesudah dipotong bagian orang tua pewaris) harus dibagi menjadi dua bagian antara garis ayah dan garis ibu pewaris ( pembagian dua ini disebut splitsing). Saudara seayah seibu memperoleh bagian mereka dari kedua garis dan yang seibu atau seayah hanya dari garis mereka aja”.55
Tan Thong Kie dalam hal ini menggunakan dua istilah, dimana penggunaan
klovingdansplitsingyang mana makna tujuannya sama.
Kasus pada golongan kedua ini khususnya pada kasus dimana ahli waris
dilahirkan dari berbagai perkawinan, maksudnya baik kedua orang tua atau salah satu
dari orang tua pewaris menikah lebih dari satu, sehingga pewaris memiliki saudara
tiri atau saudara seayah atau saudara seibu. Contoh pemaparan kasus ini sebagai
berikut :
Skema 6
Pembagian warisan pada golongan kedua dengakloving
A B C D
E F G H
Keterangan skema 6: G meninggal dunia, yang mana G memiliki saudara kandung F dan saudara tiri yaitu E dan H, karena orang tua kandungnya bercerai dan sama-sama
54 M.U. Sembiring,
Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op. Cit, hlm. 26.
menikah untuk kedua kalinya, serta sama-sama memiliki anak juga dari perkawinan yang kedua kalinya. Sehingga dalam pembagian tersebut harus adanyaklovingatau pembelahan.
Skema 6 merupakan kasus dimana orang tua dari G yaitu B dan C menikah
dua kali, pembagian waris dengan kasus ini menggunakan sistem kloving atau
pembelahan. Ada beberapa langkah penyelesaian perhitungannya yang dilakukan:
1) Keluarkan bagian orang tua dari pewaris, B (ayah) dan C (ibu);
masing-masing mendapatkan ¼ (seperempat) bagian, sehingga sisa harta peninggalan
½ (seperdua);
2) Sisa harta peninggalan sebesar ½ (bagian), dibagi dua sisi, yaitu sisi ayah dan
sisi ibu. Dimana saudara sisi ayah E dan F, sedangkan saudara sisi ibu F dan
H. Dari hal ini barulah jelas yang dipaparkan di atas tadi, bahwa saudara
seayah seibu mendapat bagian dua kali perhitungan, sedangkan saudara
seayah atau seibu hanya sekali perhitungan. Sehingga ½ x ½ = ¼ . ¼
(seperempat) untuk sisi ibu dan ¼ (seperempat) untuk sisi ayah.
3) Sisi ibu : ¼ x ½ = 1/8 ; sisi ayah : ¼ x ½ = 1/8. Sehingga bagian
masing-masing yaitu E mendapat 1/8, F mendapat 1/8 +1/8 = 1/16, dan H mendapat
1/8 bagian.
4) Pembagian warisan yang diterima oleh ahli waris dari kasus skema 6 adalah:
a) Ayah ( B) : ¼ (seperempat) bagian;
b) Ibu (C) : ¼ (seperempat) bagian;
c) Saudara seayah seibu (F) : 1/16 (seperenam belas) bagian;
d) Saudara seayah (E) : 1/8 (seperdelapan)bagian;
c. Golongan ketiga
“Bilamana orang yang meninggal dunia (pewaris) tidak meninggalkan
keturunan atau suami atau istri atau orang tua, saudara atau keturunan saudara, maka
sanak keluarga dalam garis lurus keatas merupakan ahli waris”.56
“Jika seorang meninggal tanpa keturunan, suami atau istri, ataupun saudra-saudara, harta warisan dibelah dua (kloving) antara hubungan darah di garis ayah dan hubungan darah di garis ibu, kedua-duanya di garis lurus ke atas, dengan ketentuan bahwa hubungan darah di garis lurus ke atas yang terdekat derajatnya mendapat seluruh warisan”.57
Dalam hal permasalahan pembagian dalam golongan ketiga ini sedikit rumit,
karena sebelum menentukan ahli waris yang termasuk golongan ketiga, harus adanya
penentuan silsilah yang diketahui oleh pihak yang akan membagi warisan tersebut.
Jika salah penarikan silsilah keluarga keatas, maka salah juga penunjukan ahli
warisnya. Dikarenakan itu dalam pembagian waris yang termasuk kedalam golongan
ketiga harus jelas alur silsilah keturunan keluarga dari si pewaris. Untuk
mempermudah dalam menganalisa pembagian waris terhadap golongan ketiga akan
dituangkan dalam beberapa contoh kasus yang ada, yaitu :
Skema 7
Pembagian waris terhadap golongan ketiga
A . . C
.(ayah) .(ibu)
Q
56 Komar Andasasmita,
Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Teori danPraktek), Op.Cit, hlm. 205.
Keterangan skema 7: Q meninggal dengan meninggalakn ahli waris dari dua sisi, sisi ayah dan sisi ibu. Kakek dari sisi ayah (A) dan Nenenk dari sisi ibu (B), sehingga mengharuskan adanya pembelahan dalam pembagian waris.
Pada skema 7 di atas, Q meninggal dengan meninggalkan kakek dari sisi ayah
dan nenek dari sisi ibu, dimana ayah dan ibu dari almarhum Q sudah meninggal
terlebih dahulu. Sehingga adanya pembelahan terhadap dua sisi itu, yaitu sisi ayah
dan sisi ibu, sehingga sisi ayah ½ (seperdua) bagian untuk kakek dan sisi ibu ½
(seperdua) bagian untuk nenek. Begitu seterusnya, dengan ketentuan derajat keatas
yang terdekat lebih didahulukan, sehingga menutup kesempatan mewaris bagi derajat
keatas yang lebih jauh jarak derajatnya kepada pewaris.
Berdasarkan ketentuan undang-undang Pasal 843 dan 851 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata:58
1) Tidak ada penggantian tempat atau kedudukan terhadap keluarga sedarah
dalam garis menyimpang ke atas, dan
2) Pembelahan atau kloving itu hanya terjadi satu kali saja, sehingga dalam
cabang-cabang pembagian tidak terjadi lagi pembelahan.
Pada kasus terjadinya pembelahan atau kloving perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a) Langkah awal dilakukan pembelahan, dimana sebelum dilakukan pembagian
harta warisan kepada golongan ketiga;
58 Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab
b) Setelah pembelahan dilaksanakan dan dipisahkan antara bagian keluarga
pihak ayah dan bagian keluarga pihak ibu, selanjutnya harta warisan tersebut
dibagi secara biasa yang telah ditentukan oleh undang-undang;
c) Pada setiap golongan pihak atau keluarga yang derajatnya lebih dekat kepada
pewaris mengenyampingkan yang lainnya
d. Golongan Keempat
Para ahli waris keempat ialah semua keluarga sedarah diluar ahli waris
golongan pertama, kedua dan ketiga, selagi masih dalam batas derajat kekeluargaan
yang masih diperkenankan oleh undang-undang untuk mewaris. Semua itu adalah
keluarga sedarah garis kesamping dan keturunannya (jika adanya penggantian
tempat).59
Pada pewarisan keluarga sedarah dalam garis ke samping (menyimpang)
terjadi jika dalam hal golongan pertama, golongan kedua dan golongan ketiga tidak
ada lagi. Jika golongan ketiga itu tidak ada maka setiap setengah bagian dari ayah
atau ibu jatuh pada saudara-saudara sepupu dari si pewaris, yaitu yang sekakek atau
senenek dari si pewaris secara sama rata dan tidak dibedakan antara saudara-saudara
penuh atau tidak. Jika ini pun tidak ada, maka harta warisan jatuh pada keluarga yang
sekakek buyut atau senenek buyut dengan pewaris. Dalam hal ini akan ada
penggantian waris, apabila warisan ini meniggal dunia terlebih dahulu dari pada
pewaris, maksudnya mereka digantikan oleh anak-anaknya atau keturunannya.
e. Anak luar kawin
Ahli waris ab intestato,dalam hal keturunan sedarah salah satunya adalah
anak. Adanya anak sah dan anak luar kawin, anak sah merupakan anak yang
dibenihkan atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, baik
sah menurut agama dan sah menurut perturan perundang-undangan. Sedangkan anak
luar kawin merupakan anak yang lahir dari hubungan kedua orang tua yang tidak
menikah melainkan hidup bersama (samenleven). Anak yang terlahir dari hubungan
hidup bersama hanya ada hubungan hukum, terutama hukum perdata terhadap ibunya
dan keluarga ibunya, sedangkan dari ayah harus adanya pengakuan terlebih dahulu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang mana menyatakan anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawaninan yang sah, sedangkan Pasal
selanjutnya yaitu Pasal 43 menyatakan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.60
Bagi anak luar kawin adanya pilihan yang dapat ditempuh bagi orang tua anak
luar kawin tersebut agar adanya hubungan perdata yang timbul antara anak luar
kawin dan orang tuanya, terutama ayah biologis dari si anak luar kawin itu. Pilihan
yang dapat ditempuh adalah dengan cara pengesahan atau pengakuan. Segala hal
tersebut bertujuan untuk kesejahteraan anak diluar kawin tersebut.
Dalam hal anak luar kawin Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
membagi secara jelas yang anak luar kawin ini, namun dari Pasal 272 dan Pasal 283
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin
adanya pembagian, yaitu :
1) Anak luar kawin biasa;
2) Anak zinah dan;
3) Anak sumbang.
Anak luar kawin biasa, maksudnya dimana anak tersebut dibenihkan oleh
wanita dan pria yang tidak terikat perkawinan dan tidak adanya hubungan tali darah.
Baik gadis dengan bujang maupun janda dengan duda ataupun kebalikannya, yang
intinya wanita dan pria itu tidak dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lainnya.
Sehingga adanya keleluasaan dalam pengesahan maupun pengakuan, sedangkan bagi
anak zinah dan anak sumbang tidak diperbolehkan pengakuan apalagi pengesahan.
a. Pengakuan
Anak luar kawin bertindak sebagai ahli waris dalam hukum waris sepanjang
adanya hubungan perdata antara anak tersebut dengan pewaris. Antara anak dengan
ayah hubungan waris mewaris terjadi hanya dengan adanya pengakuan. Anak yang
tidak sah, hubungan perdata dengan satu orang tuanya, dinamakan anak luar kawin
dari orang tua itu. Dengan kelahirannya, maka anak yang tidak sah itu menjadi anak
luar kawin dari ibunya, dengan adanya pengakuan dari ayah anak tersebut merupakan
anak luar kawin dari ayah yang mengakuinya. Hubungan anak luar kawin yang diakui
tidak adanya hubungan perdata dengan keluarga orang tua yang mengakuinya.
Sebaliknya juga begitu, keluarga dari orang tua yang mengakui anak luar kawin itu
Pengakuan merupakan suatu pernyataan yang dilakukan oleh seseorang dalam
bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang, bahwa yang membuat pernyataan itu
adalah ayah atau ibu dari seorang anak yang lahir diluar perkawinan61. Kedudukan anak luar kawin yang diakui oleh orang tuanya mempunyai kedudukan yang
terbelakang dibandingkan dengan anak yang sah. Dengan adanya pengakuan terhadap
anak luar kawin maka adanya hak mewaris bagi anak yang diakui tersebut.
Pengakuan bagi anak luar kawin merupakan pengakuan yang dilakukan oleh
orang tua dari anak luar kawin itu baik ayah maupun ibunya mengakui anak luar
kawin tersebut sebelum perkawinan selanjutnya dari salah satu orang tuanya. Jika
pengakuan dilaksanakan dalam masa perkawinan salah satu dari orang tua anak luar
kawin tersebut, baik ayah maupun ibunya, maka dampak hukum waris untuk
pengakuan anak tersebut tidak ada sama sekali. Hak mewaris dari anak luar kawin
tersebut tidak ada, hanya sebatas pengakuan saja bagi orang tuanya.
Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan “anak luar
kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak
dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan
ibu anak tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina atau anak
sumbang”. Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan “pengakuan
yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak
luar kawin yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri
atau suaminya, tidak akan merugikan baik bagi istri maupun bagi anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang baru”.
Pengakuan bagi anak luar kawin dalam hukum waris perdata adanya bagian
hukum waris aktif dan hukum waris pasif. Hukum waris untuk bagian anak luar
kawin yang diakui adanya hukum waris aktif dan hukum waris pasif. Hukum waris
aktif terjadi apabila anak luar kawin adalah seorang ahli waris, sedangkan hukum
waris pasif terjadi apabila anak luar kawin adalah pewaris.
Hukum waris aktif tercakup dari Pasal 862 sampai dengan Pasal 866, Pasal
872 dan Pasal 873 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak dari anak luar
kawin ini atas harta warisan, pada hakekatnya sepenuhnya sama dengan hak dari
keluarga sedarah yang sah. Besar bagian dari anak luar kawin dalam mewaris
tergantung dari derajat kekeluargaan sedarah dari para waris yang sah.
Anak luar kawin yang diakui jika mewaris dengan golongan satu mendapat
bagian 1/3 (sepertiga) bagian untuk masing-masing anak luar kawin. Jika mewarisi
dengan golongan dua anak luar kawin tersebut mendapat ½ (setengah) dalam hal ini
untuk kelompok bukan untuk masing-masing. Dalam hal mewaris dengan golongan
ketiga anak luar kawin tersebut mendapatkan ¾ (tiga perempat) bagian. Hal ini
dituangkan dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu62
“Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya andai kata mereka anak-anak yang sah; jika si meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis keatas ataupun saudara
laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka mereka mewarisi setengah dari warisan; dan jika hanya sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat. Jika para waris yang sah dengan si meninggal bertalian keluarga dalam lain-lain perderajatan, maka si yang terdekat derajatnya dalam garis yang satu, pun terhadap mereka yang dalam garis yang lain, menentukan besarnya bagian yang harus diberikan kepada si anak luar kawin”.
Pada bagian dimana si meninggal tidak adanya meninggalkan ahli waris
sedarah maka anak luar kawin yang diakui tersebut dapat keseluruhan harta warisan
dari si meninggal, sebagaimana bunyi Pasal 865 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, “jika seorang anak luar kawin meninggal dunia lebih dahulu, maka sekalian
anak luar kawin mendapat seluruh warisan”.63
Pengakuan anak luar kawin menurut Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilaksanakan dengan 4 cara, yaitu:64
1) Dengan akta Notaris; 2) Pada akta kelahiran;
3) Pada akta perkawinan, yang mana sekaligus pengesahan; 4) Dengan akta khusus dari Kantor Dinas Kependudukan.
Salah satu contoh kasus pewarisan bagi anak luar kawin yang telah diakui
adalah kasus keluarga Boenjamin, yang mana pewaris semasa hidup menikah dua kali
dan sekali hidup bersama (samenleven). Anak yang dilahirkan dari samenleven
tersebut ada 6 anak dan keenamnya di akui sebelum perkawinan ke dua oleh pewaris.
Sehingga adanya hak mewaris bagi keenam anak tersebut terhadap warisan dari
pewaris.
Pewarisan bagi anak luar kawin jika dituangkan dalam contoh dengan skema
waris seperti yang akan terlihat di bawah ini:
Skema 8
Pembagian waris terhadap anak luar kawin yang diakui
C A --- B
d e f
( f anak diakui oleh A)
Keterangan skema 8: A (pria) semasa hidup samenleven dengan B memiliki anak f yang telah diakui oleh A sebelum perkawinannya denga C dan memiliki anak d dan e.
Skema 8 merupakan skema waris yang mana adanya anak luar kawin ikut
mewaris bersama dengan golongan pertama. A (pria) semasa hidupnya pernah hidup
bersama dengan wanita bernama B, yang mana kemudian A pisah dengan B dan A
menikah secara resmi baik agama dan hukum dengan C, dalam hal ini berlaku Pasal
863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari hidup bersama A dengan B
melahirkan seorang anak bernama f yang telah diakui oleh A sebelum A menikah
dengan C. Serta dari perkawinan A dengan C lahir 2 orang anak bernama d dan e.
dalam pembagian waris dengan adanya anak luar kawin maka adanya beberapa tahap
a) Karena f mewaris dengan golongan pertama, maka f berhak 1/3 bagian. Jadi
perhitungan awal untuk f, 1/3 x ¼ = 1/12. Sisanya 1-1/12= 11/12. 11/12 ini
lah bagian untuk C, d dan e.
b) Masuk kedalam perhitungan C, d dan e. masing-masing mendapatkan 11/12 x
1/3= 11/36 bagian.
c) Bagiag C, d, dan e adalah 11/36 bagian masing-masing; sedangkan f
mendapat 1/12 bagian.
Selanjutnya mengenai hak waris pasif bagi anak luar kawin yang diakui, hak
waris pasif sesuai dengan penjelasan di atas, dimana anak luar kawin yang di akui
tersebut kedudukannya sebagai pewaris. Dalam hal ini adanya ketentuan tersendiri,
hak waris pasif terjadi jika anak luar kawin yang diakui oleh ayah atau ibunya
meninggal dunia terlebih dahulu dan tidak memiliki keturunan. Pengakuan yang
dilakukan oleh ayah atau ibu dari si anak luar kawin tersebut harus sewaktu anak
masih hidup, karena pengakuan setelah meninggal dunia tidak menimbulkan akibat
hukum bagi pihak yang mengakui, serta pengakuan tersebut juga tidak selama
perkawinan selanjutnya dari ayah atau ibu anak luar kawin tersebut.
Anak luar kawin yang diakui tersebut meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan keturunan, namun ayah atau ibunya masih ada, maka ayah atau ibunya
berhak menerima warisan tersebut. Jika ayah atau ibu dari anak luar kawin tersebut
masih ada keduanya, maka ayah dan ibu mendapat ½ (seperdua) bagian.
Sebagaimana bunyi Pasal 870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “warisan
maupun suami atau istri, adalah untuk bapak atau ibunya yang telah mengakuinya,
atau untuk mereka berdua masing-masing setengahnya, jika keduanya telah
mengkuinya”.65 b. Pengesahan
Pengesahan terhadap anak luar kawin dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diatur mulai Pasal 272 hingga Pasal 279 . “Pengesahan merupakan satu
lembaga hukum yang jika dipergunakan akan mengakibatkan anak yang diakui, naik
statusnya menjadi anak yang disahkan”.66
Pengesahan dilaksanakan dengan pernikahan kedua orang tua anak yang
status awalnya diakui. Dimana orang tua biologis dari si anak yang diakui. Dengan
demikian anak yang statusnya dari diakui menjadi sah sama dengan anak sah yang
lahir dari perkawinan resmi dari pasangan suami istri, baik secara agama maupun
secara hukum.
Naiknya status anak yang diakui menjadi anak yang disahkan, maka akibat
hukum dari pengakuan berubah juga, dimana pada pengakuan anak yang diakui
hubungan perdata hanya sebatas orang tua yang mengakui tidak sampai kepada
keluarga dari orang tua yang mengakui, baik keluarga garis keatas maupun keluarga
garis kebawah. Lain halnya dengan pengesahan, anak yang disahkan telah sama
statusnya dengan anak sah, dimana hubungan perdata tidak hanya sebatas orang tua
tapi juga adanya timbul hubungan perdata terhadap dua keluarga, baik keluarga ayah
maupun keluarga ibu dari anak yang disahkan tadi.
2. Ahli waristestamen(wasiat)
Segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan
sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu dengan surat
wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.67Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang
tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali.68
Surat wasiat merupakan keinginan terakhir dari pewaris mengenai harta
pewaris, yang mana kehendak terakhir itu dapat berupa pengangkatan ahli waris,
hibah wasiat, pengangkatan executeur testamenter, dan terkadang ada juga
memasukan pengakuan anak didalam wasiat.69 Pada wasiat yang memuat kehendak terakhir bukan berarti keseluruhan kehendak tersebut dapat dilaksanakan, namun
adanya keterbatasan yang dapat dilaksanakan.
Wasiat merupakan kehendak terakhir dari pewaris, namun terkadang
kehendak dari pewaris adanya faktor-faktor yang mempengaruhi sehinggalegitimaris
tidak mendapatkan bagian atau dengan kata lain hilangnya hak mewaris dari
legitimaris, hal ini tidak dibolehkan oleh undang-undang. Dimana jika wasiat yang
67Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 68Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
dibuat oleh pewaris mengandung unsur penghilangan hak legitimaris maka,
legitimarisberhak menuntutlegitimportiedari haknya.
Wasiat adanya beberapa bentuk, wasiat umum dan wasiat rahasia serta wasiat
olograpis, yaitu:70
a. surat wasiatolograpis, adapun yang dimaksud dengan surat wasiatolograpis adalah surat wasiat yang dibuat dan ditulis sendiri olehtestateur. Surat wasiat yang demikian harus seluruhnya ditulis sendiri oleh testateur dan ditanda tangani olehnya, sebagaimana Pasal 932 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kemudian surat wasiat tersebut dibawa ke Notaris untuk dititipkan atau disimpan dalam protokol Notaris. Notaris yang menerima penyimpanan wasiat olograpis, wajib dengan dihadiri oleh 2 orang saksi,membuat akta penyimpanan atau disebut akta van depot. Sesudah dibuat aktavan depot dan ditandatangani oleh testateur, saksi-saksi dan Notaris, maka surat wasiat tersebut mempunyai kekuatan yang sama dengan wasiat umum, yang dibuat di hadapan Notaris, berdasarkan Pasal 932 ayat (2) dan Pasal 933 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Surat wasiat umum, surat wasiat umum adalah surat wasiat yang dibuat oleh testateur di hadapan Notaris. Ini merupakan bentuk testament yang paling umum yang paling sering muncul, dan paling paling dianjurkan, karena Notaris sebagai seorang yang ahli dalam bidang ini, berkesempatan dan malahan wajib, memberikan bimbingan dan petunjuk, agar wasiat tersebut dapat terlaksana sedekat mungkin dengan kehendaktestateur.
c. Surat wasiat rahasia, wasiat ini dibuat oleh testateur sendiri dan kemudian diserahkan kepada Notaris dalam keadaan tertutup atau disegel. Notaris yang menerima penyerahan wasiat yang demikian, harus membuat akta pengalamatan atau aktasuperscriptie, dengan dihadiri oleh empat orang saksi.
Pada ahli waris yang ditunjuk oleh surat wasiat, dimana bagiannya juga tetap
dibatasi oleh undang-undang, sehingga tidak adanya ahli waris lain yang juga berhak
merasa dirugikan. Dalam hal ini dikenalnya istilahlegitime portie, menurut Pasal 913
Kitab Undang-Undang Hukum Perdatalegitime portie adalah suatu bagian dari harta
peniggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut
undang-undang, terhadapat bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan
menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, mau yang
selaku wasiat.
Legitime portie atau bagian mutlak telah ditentukan dalam Pasal 914 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana menetukan jika satu anak maka bagian
mutlaknya adalah ½ (seperdua) bagian, jika dua anak maka bagian mutlaknya adalah
2/3 (dua pertiga) bagian, dan jika tiga, empat atau lebih anak bagian mutlaknya
adalah ¾ (tiga perempat) bagian. Untuk bagian mutlak bagi garis lurus keatas dan
anak luar kawin selamanya bagian mutlaknya adalah ½ (seperdua), yang ditentukan
oleh Pasal 915 dan 916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Perhitungan jika adanya dalam wasiat penujukan ahli waris pihak ketiga yang
tidak legitimaris serta adanya ahli waris ab intestato namun tidak merupakan
legitimaris, maka berlakulah Pasl 916a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
B. Perdamaian Dalam Pembagian Waris
Pada persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan
biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan seperti ini
biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi, sehingga masing-masing pihak
mencari jalan keluar tanpa memikirkan kepentingan pihak lainya. Agar tercipta
proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasayarat yang harus dipenuhi adalah
kedua belah pihak harus sama-sama memperthatikan atau menjunjung tinggi hak
untuk mendengar. Dengan persayaratan tersebut proses dialog dan pencarian titik
penyelesaian sengketa mengharuskan para pihak mengembangkan penyelesaian agar
dapat diterima bersama.
Pelaksanaan perdamaian dengan dua cara, yakni di luar sidang Pengadilan
atau melalui sidang Pengadilan. Di luar sidang Pengadilan, penyelesaian sengketa
dapat dilaksanakan oleh para pihak yang berdamai baik dengan adanya pihak
penengah atau dengan kesepakatan para pihak saja.
Ada pun yang dimaksud dengan pelaksanaan perdamaian yang dipaparkan di
atas adalah menyangkut tempat dan waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang
diadakan oleh para pihak yang dapat diklasifikasikan kepada :
1. Perdamaian melalui sidang Pengadilan
Perdamaian melalui sidang Pengadilan berlainan caranya dengan perdamaian
di luar sidang Pengadilan, perdamaian melalui sidang Pengadilan dilangsungkan pada
saat perkara tersebut diproses di depan sidang Pengadilan (gugatan sedang berjalan).
Di dalam ketentuan undang-undang ditentukan, bahwa sebelum perkara itu diproses
(dapat juga selama diproses, sebelum adanya kekuatan hukum tetap) Hakim harus
menganjurkan agar para pihak yang bersengketa berdamai. Dalam hal ini tentunya
peranan Hakim sangat menentukan. Andainya Hakim berhasil untuk mendamaikan
para pihak yang bersengketa, maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak
yang bersengketa dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut.
2. Perdamaian di luar Pengadilan
Pada persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak yang bersengketa,
Dalam hal ini seperti para pihak yang bersengketa meminta bantuan kepada sanak
keluarga pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari penyelesaian
sengketa tersebut di luar sidang secara damai. Namun tidak menutupi untuk
timbulnya sengketa yang sama dikemudian hari, seperti dalam hal sengketa waris,
awalnya telah sepakat harta warisan tidak dibagi dahulu namun dengan pernyataan
tersebut adanya ahli waris yang menguasai secara utuh seakan-akan milik pribadi,
menghilangkan hak waris dari ahli waris lainya. Sedangkan awalnya kesepatakan
tidak membagi harta warisan terdahulu dengan maksud dikelola bersama dan
dinikmati bersama, namun kenyataanya tidak demikian. Untuk menghindari
timbulnya kembali persoalan yang sama dikemudian hari, maka dalam praktek sering
perjanjian perdamaian itu dilaksananakan secara tertulis, yaitu dibuat dengan akta
perdamaian.
Penyelesaian sengketa adanya pilihan jalur Pengadilan dan jalur di luar
Pengadilan. Namun adanya pilihan penyelesaian sengketa di luar Pengadilan lebih
cendrung masyarakat untuk memilih penyelesaian sengketa di luar Pengadilan,
karena adanya faktor-faktor yang lebih kearah kebaikan dan kekeluargaan. Adanya
pilihan proses penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yaitu Alternative Dispute
Resolution (ADR), arbitrase dan musyawarah yang kesemua proses tersebut
bertujuanya kepada perdamaian yang sesuai dengan kehendak para pihak yang
bersengketa.Alternative Dispute Resolutiondan arbitrase lebih kepada permasalahan
hukum bisnis, yang mana bersifat tertutup dan tidak memakan waktu lama seperti hal
di ranah hukum perdata di luar dari hukum bisnis, yang mana telah masuk kejalur
Pengadilan tetap adanya proses perdamaian untuk awalnya, dimana ada ditunjuknya
hakim untuk melaskanakan perdamaian tersebut, jika perdamaian dapat terwujud
dengan keinginan kedua belah pihak yang tidak adanya unsur paksaan, maka akan
adanya putusan hakim mengenai perdamaian tersebut.
Alternative Dispute Resolution dan arbitrase lebih kepada permasalahan
hukum bisnis. Namun tidak menutupi pada ADR adanya sistem penyelesaian
sengketa yang dapat juga diterapkan untuk kasus perdata selain kasus perdata
dibidang hukum bisnis, karena tujuannya sama yaitu berujung pada perdamaian dan
yang mana bersifat tertutup dan tidak memakan waktu lama seperti hal penyelesaian
kasus hukum melalui jalur Pengadilan, yaitu negosisasi dan mediasi. Negosiasi
merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada
saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.
Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan
penyelesaian tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak
berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.71 Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau
mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah
perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai
71 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase,( Jakarta : Ghalia
dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada
paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama
proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari
para pihak. Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa berdasarkan
perundingan, yang memiliki unsur-unsur :
a. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan.
b. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian.
c. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama
perundingan berlangsung.
d. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengeketa.
Peran mediator sebagai sebuah garis rentang dari sisi peran terlemah hingga
yang terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanankan
peran sebagai berikut:
1) Penyelenggara pertemuan;
2) Pemimpin diskusi netral;
3) Pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan
berlangsung secara beradap;
5) Pendorong pihak atau perunding yang kurang mampu atau segan
mengemukakan pandangannya.
Sisi peran yang kuat mediator adalah bila dalam perundingan mediator
mengerjakan atau melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan.
b. Merumuskan titik temu atau kesepakatan para pihak.
c. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengeketa atau kasus bukan
sebuah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan untuk diselesaikan.
d. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah.
e. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
Menurut Fuller dan Riskin yang dikutip oleh Suyud Margono dalam bukunya,
ada 7 fungsi mediator :72
1) Sebagaikatalisator, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
2) Sebagai pendidik berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usuaha dari para pihak. oleh sebab itu, mediator harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan di antara para pihak.
3) Sebagai penerjemah, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
4) Sebagai nara sumber, berarti mediator harus mendaya gunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5) Sebagai penyandang berita jelek, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
6) Sebagai agen realitas, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasaranya tidak mungkin atau tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
7) Sebagai kambing hitam, berarti seorang mediator harus siap disalahkan, contohnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Proses mediasi adanya tahapan-tahapan yang dilewati, yang mana harus
berurutan, sehingga sinkron permasalahan yag akan diselesaikan, yaitu:
a). Sepakat untuk menempuh proses mediasi
Kesepakatan merupakan merupakan awal untuk memulai mediasi, para pihak
yang bersengketa harus menyetujui dan mematuhi aturan dalam mediasi, sehingga
lebih mudah utnuk mencapai kesepakatan. Tidak hanya sepihak saja, melaiankan
kedua belah pihak.
b). Memahami masalah-masalah
Baik bagi para pihak yang bersengketa maupun mediator harus memahami
betul duduk permasalahan yang ada. Terutama mediator, karena mediator tidak boleh
berpihak dan mendengar dari satu sisi saja, harus kedua sisi dari pihak yang
bersengketa.
c). Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan permasalahan
Maksud dari membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan permasalahan ialah
dimana mediator memberikan pilihan dalam pemecahan permasalahan, pilihan
tersebut tidak memberatkan kedua belah pihak yang bersengketa, dimana para pihak
nyaman dengan pilihan-pilihan yang ditawarkan, sehingga adanya keterbukaan
menang atau kalah, melainkan benang kusut yang harus dirapikan namun tidak
merusak benang tersebut.
d). Mencapai kesepakatan
Proses yang telah dilewati dari tahap awal hingga tahap ketiga dengan
menentukan pilihan pemecahan permasalahan, maka adanya kesepakatan yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk
tulisan dan lebih baik dalam bentuk otentik. kesepakatan yang telah ditentukan
merupakan peraturan bagi para pihak yang bersengketa untuk tunduk dan terikat
dengan kesepakatan tersebut.
e). Melaksanakan kesepakatan
Tahap terakhir merupakan tahap pelaksanaan dimana para pihak
melaksanakan kesepakatan yang telah dipilih dan ditentukan. Kesepakatan tersebut
merupakan Undang-undang bagi para pihak yang awalnya berengeketa dan harus
dilaksanakan sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa keberatan.
Pada permasalahan yang timbul di ranah hukum perdata di luar dari hukum
bisnis, yang mana telah masuk kejalur Pengadilan tetap adanya proses perdamaian
untuk awalnya, dimana ada ditunjuknya Hakim untuk melaskanakan perdamaian
tersebut, jika perdamaian dapat terwujud dengan keinginan kedua belah pihak yang
tidak adanya unsur paksaan, maka akan adanya putusan Hakim mengenai perdamaian
tersebut.
Selain pilihan perdamaian yang diceritakan di atas, adanya juga jalur
sengketa waris. Pada masyarakat Indonesia mengenai waris masih hal yang tabu dan
jika terbuka ke umum maka menjadi suatu aib bagi keluarga pewaris. Karena itulah
para ahli waris lebih cendrung kepada musyawarah dengan cara kekeluargaan untuk
menyelesaikan sengketa waris. Musyawarah yang dilaksanakan bertujuan untuk
menghindari atau menyelesaikan permasalahan yang timbul, yang mana diharapkan
hasilnya merupakan perdamaian.
Perdamaian merupakan jalur yang dipilih dan ditempuh untuk menghindari
dan menyelesaikan permasalahan di luar Persidangan. Ada beberapa alasan pemilihan
penyelesaian permasalahan melalui perdamaian yaitu dikarenakan lebih efisien waktu
dan biaya yang tidak terlalu besar. “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana
kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya
suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”.73 3. Bentuk perdamaian
Perdamaian yang telah disepakati, baik dari hasil musyawarah maupun dari
hal lain haruslah tertulis, sebagaimana ketentuan yang telah ditegaskan dalam Pasal
1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tulisan adalah sesuatu yang memuat
suatu tanda yang dapat dibaca dan menyatakan suatu buah pikiran, tulisan dapat
berupa akta dan tulisan yang bukan akta. Akta adalah tulisan khusus yang dibuat
untuk dijadikan bukti atas hak yang disebut didalamnya.74 Tulisan (geschrift) menurut Asser-Anema adalah “dragers van verstaanbare leestekens dienende om een
gedachteneenheid te vertolken, yang diterjemahkan oleh Tan Thong Kie adalah
pengemban tanda baca yang mengandung arti serta bermanfaat untuk
menggambarkan suatu pikiran”.75 Kesepakatan dalam bentuk tertulis seperti yang diungkapkan dalam Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebenarnya
undang-undang tidak menjelaskan secara tereprinci mengenai kata-kata “persetujuan
ini tidaklah sah, melainkan dibuat secara tertulis”, ataupun hasilnya dituangkan dalam
suatu kesepakatan tertulis, tidak ada ketentuan yang mengharuskan untuk dituangkan
dalam bentuk akta otentik, namun bukan berarti dalam perdamaian selalu akta di
bawah tangan, sangat di anjurkan untuk menuangkan perdamaian tersebut dalam akta
otentik, sehingga adanya kekuatan hukum dalam hal pembuktian jika dikemudian hari
adanya sengketa yang timbul.
Akta merupakan suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani, dibuat oleh
seseorang atau oleh pihak-pihak dengan maksud dapat dipergunakan sebagai alat
bukti dalam proses hukum.76 Akta sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani, hal ini sesuai dengan Pasal 1867 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa akta itu dibuat sebagai tanda bukti,
berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum yang dengan tujuan menghindari
74Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW),(Jakarta : Bina Aksara, 1986), hlm. 190.
75
Tan Thong Kie,Op.Cit,hlm. 441.
76Santia Dewi dan R.M. Fauwas Diradja,Panduan Teori Dan Praktik Notaris,( Yogyakarta :
sengketa, sehingga dalam pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang
diingikan untuk dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat
tersebut77.
Akta perdamaian harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Ciri pertama dari perjanjian adalah kata sepakat, yaitu pernyataan kehendak
beberapa orang (duorum vel plurium in idem placitum consensus). Artinya, perjanjian
hanya dapat timbul dengan kerja sama dari dua orang atau lebih atau perjanjian
dibangun oleh perbuatan dari beberapa orang. Karenanya, perjanjian digolongkan
sebagai perbuatan hukum berganda.78 Sepakat atau perizinan dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat atau setuju mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan terjadinya
perjanjian dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
77Syafruddin Adi Wijaya,Akta Perdamaian Sebagai Jalan Penyelesaian Sengketa Tanah di
Luar Pengadilan (Studi Kasus Penyelesaian Perkara Antara Pemilik Tanah Adat Ahli Waris PA Nampati Purba Dengan PT. Bank Sumatera Utara Di Kabanjahe), Tesis, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2008), hlm. 65-66.
78Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Pihak-pihak yang membuat perjanjian harus cakap hukum, pada asasnya
setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikiranya adalah cakap menurut hukum.
Pandamgan cakap hukum harus diterapkan dalam sahnya perjanjian dikarenakan dari
sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat perjanjian dan nantinya
akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk bertanggung
jawab akan perbuatanya mengenai perjanjian tersebut, sedangkan dari sudut
ketertiban hukum, karena orang yang membuat suatu perjanjian itu berarti
mempertaruhkan kekayaanya, maka orang tersebut haruslah seorang yang
sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaanya.79 c. Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian harusharus mengenai hal tertentu, maksudnya apa yang
diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan.80 Barang atau objek dari perjanjian harus jelas dan ada, bukan berarti barang yang masih diangan-angan.
d. Suatu sebab yang halal
Sebab yang halal berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat
suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asanya
tidak diperdulikan oleh undang-undang, jadi yang dimaksud dengan sebab atau causa
dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.81Dimana perjanjian isinya tidak
79R. Subekti,
Hukum Perjanjian,(PT. Intermasa : Jakarta, 2001), hlm. 17-18.
boleh memperjanjikan mengenai hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang atau
bertentangan dengan undang-undang.
Dalam hukum perjanjian termasuk akta perdamaian ada beberapa asas, namun
secara umum asas perjanjian ada lima, yaitu:82 a. Asas kebebasan berkontrak
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Asas tersebut bermakna bahwa setiap orang bebas
membuat perjanjian dengan siapa saja, apa saja isinya, dan bentuknya bebas sejauh
tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan.83 Pasal-Pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bersifat memaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh
membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum
perjanjian namun bila para pihak tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka
tunduk pada undang-undang dalam hal ini Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,
mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratannya dan menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.
82Salim HS,
Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), (Jakarta : Sinar Grafika. 2003). hlm 9.
Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Asas konsensualisme
Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat, hal ini dimaksudkan
untuk mewujudkan kemauan para pihak.
c. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda)
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuat, Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
d. Asas itikad baik
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, Pasal 1338 ayat (3) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
e. Asas kepribadian (personalitas)
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk
dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada 10 asas perjanjian, yaitu84 a. Kebebasan mengadakan perjanjian;
b. Konsensualisme; c. Kepercayaan; d. Kekuatan mengikat; e. Persamaan hukum; f. Keseimbangan; g. Kepastian hukum; h. Moral;
84Mariam Darus Badrulzaman,KUHPerdata Buku III,(Bandung : Alumni, 2009)
i. Kepatutan; j. Kebiasaan.
Akta dalam perdamaian yaitu akta di bawah tangan dan akta otentik. Dalam
akta otentik adanya pembagian akta perdamaian kembali yaitu Akta perdamaian
dengan persetujuan Hakim atau acta van vergelijk, dan Akta perdamaian tanpa
persetujuan Hakim atauacta van dading(termasuk akta perdamaian yang dibuat oleh
dan di muka Notaris).
a. Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa
perantaraan seorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh
para pihak yang mengadakan perjanjian.85 Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti.86
Pada akta di bawah tangan yang membuat dan menandatanganinya adalah
para pihak yang terkait, dimana tidak adanya pejabat yang berwenang terkait dalam
akta tersebut, seperti sewa menyewa yang sering terjadi di lapangan atau dikenyataan
yang mana lebih banyak memilih dengan akta di bawah tangan dan didukungnya
faktor-faktor kemudahan, salah satu faktor tidak terlepas alasan ekonomis. Dalam hal
akta di bawah tangan kaitannya kepada Notaris hanya sebatas mendaftarkan atau
85Santia Dewi dan R.M. Fauwas Diradja,
Loc.Cit.
86 Efendi Perangin Angin, Kumpulan Kuliah Pembuatan Akta I, ( Jakarta : Raja Grafindo,
legalisasi, yang mana Notaris hanya menjamin tanda tangannya saja, tidak terkait
kepada isi dari akta tersebut.
Dalam hal perdamaian yang dituangkan dalam akta di bawah tangan, bentuk
dan format dari akta itu tidak terikat dengan satu atau lebih peraturan, namun lebih
kepada ketentua isi dari perdamaian tersebut, mengenai sah nya dari suatu perjanjian,
baik dari sisi subjektif maupun objektif. Akta di bawah tangan berkaitan dengan
Notaris jika para pihak berkeinginan mendaftarkan akta tersebut atau dengan kata lain
legalisasi, sesuai dengan Pasal 1874 dan 1874 a KHUPerdata. Mengenai akta di
bawah tangan Notaris hanya menjamin sebatas tandan tangan dari para pihak yang
termuat dalam akta tersebut.
b. Akta otentik
Akta otentik merupakan akta yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang,
dimana baik isi dan tanda tangan dari akta tersebut dijamin oleh pejabat yang
berwenang tersebut. Akta otentik merupakan “suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”.87
Akta otentik menjadi sah secara hukum apabila akta tersebut telah memenuhi
persyaratan sebagai alat bukti dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,
maksudnya adalah akta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum pembuktian
keluar baik dalam bentuk formil maupun materil karena itu kedudukannya sama
dengan undang-undang yaitu apabila suatu pihak mengajukan sebuah akta resmi
maka apa yang tertulis di dalam akta itu harus dipercaya oleh hakim, kecuali jika ada
bukti-bukti lawan yang mempunyai derajat atau nilai yang mempunyai kekuatan
melumpuhkan.
Akta otentik bukan hanya karena penetapan undang-undang tetapi karena
dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. Atau dengan kata lain akta otentik
adalah :
“Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan. Akta otentik yang terutama memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya”.88
Perdamaian memang tidak tegas diatur tuangkan dalam bentuk akta otentik,
namun secara tegas hanya diharuskan tertulis. Dalam hal perdamaian terutama dalam
waris sangat di anjurkan untuk akta otentik, karena waris tidak jauh dari konflik.
Sehingga dalam pembuktian kelak telah sempurna untuk kekuatan pembuktiannya.
Bentuk akta perdamaian tidak terlepas dari bentuk-bentuk akta lainnya yang otentik,
terutama akta Notaris. Adanya ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan dipatuhi.
Pada akta otentik termasuk Akta perdamaian dengan persetujuan Hakim atau
acta van vergelijk dan Akta perdamaian tanpa persetujuan Hakim atau acta van
dading(termasuk akta Notaris), yang mana penjelasannya sebagai berikut :
1. Akta perdamaian dengan persetujuan Hakim atauacta van vergelijk.
Pasal 130 H.I.R atau 154 RBG menghendaki penyelesaian sengketa secara
damai, Pasal tersebut berbunyi: “jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak
88Victor M. Situmorang dan Cormenyana Sitanggang,Grosse Akta Dalam Pembuktian dan
datang maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan
mereka”.89
Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, Akta perdamaian adalah akta yang
memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan Hakim yang menguatkan
kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun
luar biasa. Sedangkan “kesepakatan damai adalah dokumen yang memuat
syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna untuk mengakhiri sengketa yang
merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih
berdasarkan Peraturan ini”.90 Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, penyebutannya dengan kesepakatan damai yang telah dinyatakan pada uraian sebelumnya.
Kesepakatan damai dan akta perdamaian tidaklah sama dalam peradilan,
kategori kesepakatan damai merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan oleh
pihak bersengketa, dengan kata lain mediasi. Mediasi91dengan mediator92yang telah disediakan oleh Pengadilan untuk memberi fasilitas pelaksanaan kesepakatan damai,
namun pihak yang bersengketa dapat menunjuk mediator yang pihak bersengketa
inginkan.
Akta perdamaian dengan persertujuan Hakim yang melalui mediasi di
Pengadilan tertuang dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
89R.Subekti,
Aneka Perjanjian,(Bandung : PT Citra Aditya, 1999), hlm . 177.
90Pasal 1 angka 5 Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mendiasi di Pengadilan. 91 Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator. Lihat Pasal 1 angka (7) Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Proses Mediasi Di Pengadilan.
92
Di Pengadilan, Pasal 2 ayat (1) mengatakan Perma ini hanya berlaku untuk mediasi
yang terkait dengan proses perkara di Pengadilan.
Perkara yang dapat menjalani mediasi adalah seluruh perkara yang masuk
melalui Pengadilan kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan
Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan kePengadilan Tingkat pertama wajib
lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan
mediator.93
Perkara yang dalam proses banding, kasasi dan peninjauan kembali dapat
juga menempuh upaya perdamaian terhadap kasus tersebut, namun selama kasus
banding, kasasi dan peninjauan kembali itu belum diputus. Dengan proses para pihak
yang bersengketa mengajukan perdamaian dengan tertulis kepada Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama dari kasus tersebut, dengan diterimanya kesepakatan perdamaian
yang diajukan tersebut maka Ketua Pengadilan Tingkat pertama memberitahukan
kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah
Agung bahwa kehendak para pihak bersengketa untuk menempuh perdamaian.
Sehingga kasus yang sedang berjalan pada tingkat banding maupun tingkat kasasi
atau peninjauan kembali diundur selama 14 (empat belas) hari, karena proses
perdamaian yang dilaksanakan di Pengadilan Tingkat pertama selama 14 (empat
belas ) hari kerja.
Dalam waktu yang ditentukan tersebut maka proses perdamaian dilaksanakan,
jika tercapai kesepakatan damai pihak yang bersengketa, maka melalui Pengadilan
Tingkat Pertama para pihak dapat mengajukan kesepakatan damai yang dalam bentuk
tertulis kepada majelis Hakim banding atau kasasi ataupun peninjauan kembali agar
kesepakatan damai tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
Perdamaian pada proses banding contohnya pada kasus pembagian waris yang
mana mengenyampingkan putusan Pengadilan Negeri, kasus dengan nomor putusan
305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi. Pada kasus tersebut ahli waris dipaksa untuk pembagian
harta peninggalan berupa tanah dengan bagian 1/5 (seperlima) bagian masing-masing,
namun jika sulit dalam pembagian dengan harta peninggalan berupa tanah beserta
bangunan, maka dipaksa jual lelang. Sebagian ahli waris yang sebagai penggugat
mengajukan banding, namun pertengahan proses banding para pihak sepakat
mengadakan perdamaian dengan menentukan bagian masing-masing langsung
diperuntukan berupa tanah beserta bangunan yang ada. Sehingga perdamaian
terlaksana dengan mengenyampingkan putusan Pengadilan Negeri.
Bentuk akta perdamaian dengan persetujuan Hakim, untuk sekarang telah
dibakukan, karena adanya perbedaan bentuk akta perdamaian yang diputuskan oleh
Hakim, sehingga Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan penyeragaman bentuk
akta perdamaian dengan persetujuan Hakim. Penyeragaman bentuk akta perdamaian
disini bukanlah berarti seluruh akta perdamaian termasuk akta perdamaian di luar