PEMETAAN KLASIFIKASI IKLIM OLDEMAN DAN
SCHMIDTH-FERGUSSON SEBAGAI UPAYA PEMANFAATAN
SUMBERDAYA IKLIM DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA ALAM DI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
AYI SUDRAJAT
077004004/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMETAAN KLASIFIKASI IKLIM OLDEMAN DAN
SCHMIDTH-FERGUSSON SEBAGAI UPAYA PEMANFAATAN
SUMBERDAYA IKLIM DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA ALAM DI SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
AYI SUDRAJAT
077004004/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMETAAN KLASIFIKASI IKLIM OLDEMAN DAN SCHMIDTH-FERGUSSON SEBAGAI UPAYA PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKLIM DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
DI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Ayi Sudrajat
Nomor Pokok : 077004004
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Ketua
(Dr. Delvian, SP, M.Si) (Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal: 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
Anggota : 1. Dr. Delvian, SP, MSi
2. Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS
3. Prof. Dr. Erman Munir, MSc
ABSTRAK
Adanya pemetaan wilayah klasifikasi iklim di Sumatera Utara dapat membantu semua fihak dalam melakukan kebijakan yang berkaitan dengan iklim. Akan tetapi peta klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang dibuat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Sampali yang selama ini digunakan merupakan produk lama yang dibuat tahun 1993, tentunya banyak hal yang terjadi selama dasawarsa terakhir ini yang membuat klasifikasi iklim tersebut perlu ditinjau kembali. Sementara Peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara selama ini belum ada, padahal di Sumatera Utara mempunyai potensi sumberdaya alam hutan yang sangat besar yang tentunya klasifikasi iklim yang cocok adalah menggunakan klasifikasi iklim Scmidht-Fergusson yang memang membagi klasifikasi iklim berdasarkan kesesuaian curah hujan untuk tanaman hutan bukan klasifikasi Oldeman yang berdasarkan pada kebutuhan air (curah hujan) tanaman pangan (padi dan palawija).
Penelitian ini bertujuan membuat klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang baru. Membuat klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara dan mengevaluasi penggunannya dalam bidang kehutanan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan data sekunder yaitu data curah hujan di Sumatera Utara yang didapat dari beberapa instansi terkait (BMKG, PPKS, PU, PTPN). Data yang digunakan sebanyak 265 data, dengan rentang waktu data dari tahun 1970 – 2008. Analisis data untuk menentukan apakah ada perubahan yang terjadi antara data tahun 1970-1993 dengan 1970-2008 digunakan uji statistik beda rata-rata (uji Z) terhadap jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering (1970-1993 dan 1970-2008). Untuk membuat peta klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson digunakan software arcview gis 3.3.
Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara jumlah bulan basah dan bulan kering pada periode 1993 dengan periode 1970-2008. Artinya telah terjadi perubahan pola hujan dari rentang waktu 1970-2008 dengan demikian klasifikasi iklim yang dibuat tahun 1993 tidak relevan lagi. Hasil pengolahan data curah hujan 1970-2008 adalah Klasifikasi Oldeman di Sumatera Utara tahun 2009 terdapat 8 klasifikasi (A1, B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3). Sedangkan Klasifikasi Schmidth-Fergusson terdapat 5 klasifikasi (A, B, C, D, E). Berdasarkan hasil evaluasi literatur dan hasil overlay peta klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson dengan peta tutupan lahan maka untuk tanaman perkebunan dan kehutanan lebih tepat digunakan klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson.
ABSTRACT
The climate classification mapping existence in North Sumatra can help all sides in conducting related to climate policy. However, North Sumatra Oldeman climate classification mapping that was made by Meteorological, Klimatology and Geofisical agency (BMKG) Klimatology Sampali Station which is used is old product that was made in 1993. Of course, there was much matters which develop during this last decade that make climate classification is referred must be revised. Meanwhile, North Sumatra Schmidth-Fergusson climate classification currently there isn’t exist, though in North Sumatra have very big potency of forest nature resources that it is of course compatible climate classification is using Scmidht-Fergusson climate classification that is divide climate classification bases on precipitation compatibility for forest plants nor Oldeman classification that is based on amount of water required (precipitation) of crop (padi and palawija).
This Research bent on making the new North Sumatra Oldeman climate classification. Making the North Sumatra Schmidth-Fergusson climate classification and evaluating in its benefit for the forestry.
This Research is executed by using seconder data that is precipitation data in North Sumatra that was got from some institutions related (BMKG, PPKS, PU, PTPN). It is using 265 datas during 1970 – 2008. Data Analysis to determine if there is change that happened on data during 1970-1993 and 1970-2008, it is using test of average difference statistic (Z test) to wet month and dry month amount (1970-1993 and 1970-2008). To make a Oldeman climate classification and Schmidth-Fergusson mapping is used arcview gis 3.3 software.
Research Result shows that there is real difference between wet month and dry month amount at 1970-1993 and 1970-2008 period. It means there is already happened a change of rain pattern between 1970-2008 so that climate classification that was made in 1993 was irrelevant. The result of precipitation data processing in 1970-2008 are Oldeman classification in north sumatra in 2009 are existed 8 classifications (A1, B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3). Whereas Schmidth-Fergusson classification are existed 5 classifications (A, B, C, D, E). Base on result of literature evaluation and overlay between Oldeman climate classification and Schmidth-Fergusso with farm mapping then for plantation crop and forestry is more precisely used Schmidth-Fergusson climate classification.
KATA PENGANTAR
Penulis senantiasa bersyukur kepada Allah swt atas selesainya penyusunan
tesis ini. Selesainya penyusunan tesis ini merupakan karunia mutlak dari Allah swt
melalui kerja keras, bantuan, pengorbanan dan dukungan doa dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih secara
khusus kepada yang terhormat Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, Bapak Dr.
Delvian SP, MSi dan Bapak Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS yang telah
memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dengan sangat simpatik, telaten, sabar
dan bijaksana.
Penulis juga merasa harus mengucapkan terima kasih kepada:
1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Studi Pengalolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, yang
telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi ini.
2. Kepala Stasiun Klimatologi Sampali, yang telah memberikan dukungan kepada
penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2.
3. Istri dan anak-anakku tersayang, Nurhayati, Chinta Maisya Puteri Sudrajat dan
Tegar Abhipraya Putera Sudrajat. Mereka telah memberikan dukungan dan
pengorbanan total untuk suksesnya penulis dalam menyelesaikan S2 ini.
4. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan USU dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.
Di dalam tesis ini tentu masih banyak terdapat banyak kekurangan, meskipun
telah disusun dengan cermat dan bersumber dari berbagai acuan. Oleh karena itu
penulis akan sangat berterima kasih dan sangat bangga apabila pembaca berkenan
memberi saran dan koreksi. Saran dan koreksi dapat disampaikan melalui
Kendatipun disadari masih banyak kekurangan di dalam tesis ini, penulis tetap
berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.
Medan, Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 13 September 1974. Penulis
merupakan anak ke-3 dari 5 bersaudara sebagai putera dari Ayahanda Utom dan
Ibunda Tutiarsih.
Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1982-1988, menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Rancagede II
Ciwidey, Kab. Bandung.
2. Tahun 1988-1991, menempuh pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri I
Ciwidey Kab. Bandung.
3. Tahun 1991-1994, menempuh pendidikan tingkat atas di SMAN Margahayu
Bandung.
4. Tahun 1994-1995, menempuh pendidikan D-I Meteorologi di Akademi
Meteorologi dan Geofisika Jakarta.
5. Tahun 1998-2003, menempuh pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas
Medan Area Medan.
6. Tahun 2007, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program
DAFTAR ISI
1.4. Hipotesis Penelitian ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Iklim ... 5
2.2. Klasifikasi Iklim ... 6
2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 14
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17
3.2. Bahan dan Alat ... 18
3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data ... 18
3.3.1. Pengumpulan Data ... 18
3.3.2. Analisis Data ... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22
4.1. Analisis Rata-rata Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Tahun 1970-1993 dan Tahun 1970-2008 ... 23
4.2. Pemetaan Klasifikasi Iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson ... 25
4.3. Evaluasi Kesesuaian Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson untuk Bidang Kehutanan ... 43
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
5.1. Kesimpulan ... 57
5.2. Saran ... 57
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1. Kriteria Penentuan Tipe Iklim Oldeman ... 9
2. Zona Agroklimat Oldeman ... 10
3. Kriteria Pembagian Tipe Iklim Schmidth-Fergusson (Tabel Q). ... 12
4. Zona Agroklimat Schmidth-Fergusson ... 13
5. Hasil Uji Statistik ... 23
6. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009) di Masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ... 26
7. Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson di Masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ... 27
8. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009 dan 1993) ... 28
9. Perbedaan Prinsip Dasar Penentuan Klasifikasi Iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson ... 44
10. Kriteria Rawan Banjir Berdasarkan Rata-Rata Curah Hujan Bulanan ... 54
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Segitiga Oldeman ... 10
2. Diagram Segitiga Schmidth-Fergusson ... 13
3. Peta Lokasi Penelitian ... 17
4. Peta Lokasi Sebaran Data Penelitian... 22
5. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 2009 ... 26
6. Peta Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson ... 27
7. Peta Klasifikasi Oldeman Tahun 1993 ... 29
8. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe A1 . 30 9. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe B1 . 31 10. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe C1 . 32 11. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D1 . 33 12. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D2 . 34 13. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E1 .. 35
14. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E2 .. 36
15. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E3 .. 37
16. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe A ... 38
18. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi
Schmidth-Fergusson Tipe C ... 40
19. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi
Schmidth-Fergusson Tipe D ... 41
20. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi
Schmidth-Fergusson Tipe E ... 42
21. Peta Overlay Tutupan Lahan Dengan Peta Klasifikasi Iklim
Schmidth-Fergusson ... 44
22. Peta Overlay Tutupan Lahan dengan Peta Klasifikasi Iklim Oldeman... 45
23. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk
Tanaman Padi (Oryza sativa) ... 48
24. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Karet (Ficus Elastica) . 50
25. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Kelapa
Sawit (Elaeis Guineensis) ... 52
26. Peta Tingkat Kerawanan Terjadi Banjir Berdasarkan Rata-Rata Jumlah Curah Hujan Bulanan ... 55
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 1993 ... 62
2. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 2009 ... 63
3. Peta Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson ... 64
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya alam ialah semua kekayaan bumi, baik biotik (tumbuhan,
hewan) maupun abiotik (iklim, air, tanah, bahan tambang) yang dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia. Alam pada
dasarnya mempunyai sifat yang beranekaragam namun serasi dan seimbang.
Di Indonesia, pemanfaatan informasi iklim dalam berbagai sektor masih
sangat sedikit. Masih terdapat kesalahan persepsi di masyarakat umum bahwa iklim
merupakan fenomena alam pembawa bencana dan penghambat kegiatan. Dewasa
ini, para peneliti iklim percaya bahwa sudah selayaknya merubah paradigma ini,
iklim yang semula dianggap sebagai “penyebab bencana” menjadi iklim sebagai
potensi sumberdaya alam. Untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam
iklim ini, kendala yang terbesar adalah kesediaan informasi iklim yang akurat, tepat
waktu, bersifat khusus dan mudah dipahami oleh pengguna di berbagai sektor
(Anonimus, 2008).
Perubahan iklim yang terjadi akibat fenomena pemanasan global
menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan siklus hidrologi. Di Indonesia dampak
perubahan iklim yang dapat dirasakan saat ini semakin keringnya musim kemarau
dan intensitas banjir yang semakin tinggi di musim hujan. Tindakan mitigasi
bencana tersebut memerlukan informasi kondisi iklim yang ada sebagai dasar acuan,
tahun 1970. Kehandalan peta-peta tersebut perlu diperbaharui dengan seri data yang
aktual. Lebih jauh pengambil kebijakan dan perencana serta pelaksana lapangan
di sektor pertanian dan sektor terkait lainnya dapat menyusun strategi menyeluruh
sesuai dengan kondisi iklim terkini.
Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan
antara lain: Sistem Klasifikasi Koppen, Sistem Klasifikasi Mohr, Sistem Klasifikasi
Schmidt-Ferguson, Sistem Klasifikasi Oldeman dan Sistem Klasifikasi Iklim
Thorntwaite. Klasifikasi dari Mohr, Schmidt-Ferguson dan Koppen klasifikasinya
sesuai bagi iklim yang berlaku di Indonesia. Sedangkan klasifikasi Oldeman dan
Thorntwaite berlaku umum, yang sesuai untuk iklim dunia termasuk di Indonesia
(Kartasapoetra, 2004). Di Indonesia pada umumnya menggunakan klasifikasi iklim
Oldeman dan Schmidth-fergusson, sedangkan di Sumatera Utara selama ini
menggunakan Sistim Klasifikasi Iklim Oldeman.
Adanya pemetaan wilayah klasifikasi iklim di Sumatera Utara dapat
membantu semua pihak dalam melakukan kebijakan yang berkaitan dengan iklim.
Akan tetapi peta klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang dibuat Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Sampali
yang selama ini digunakan merupakan produk lama yang dibuat tahun 1993,
tentunya banyak hal yang terjadi selama dasawarsa terakhir ini yang membuat
klasifikasi iklim tersebut perlu ditinjau kembali.
Peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara selama ini belum
sangat besar. Klasifikasi iklim yang cocok untuk hutan dan perkebunan adalah
klasifikasi iklim Scmidht-Fergusson yang memang membagi tipe iklim berdasarkan
kesesuaian curah hujan untuk tanaman perkebunan dan hutan. Berdasarkan hal
tersebut perlu dilakukan penelitian pemetaan klasifikasi iklim oldeman dan
Schmidth-Fergusson sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya iklim dalam
pengelolaan sumberdaya alam di Sumatera Utara.
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang berkaitan dengan pemetaan klasifikasi iklim dalam
penelitian ini yaitu:
a. Bagaimana klasifikasi iklim Oldeman di Sumatera Utara berdasarkan data yang
terbaru.
b. Bagaimana klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson dan kaitannya dengan
penggunaannya dalam bidang kehutanan di Sumatera Utara.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Membuat klasifikasi iklim Oldeman Sumatera Utara yang baru.
b. Membuat klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara dan
1.4. Hipotesis Penelitian
Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penulis
merumuskan beberapa hipotesis yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu:
a. Klasifikasi iklim Oldeman yang digunakan saat ini di Sumatera Utara tidak
sesuai lagi berdasarkan data iklim yang terbaru (1970-2008).
b. Dalam bidang kehutanan klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson lebih cocok
dibandingkan dengan klasifikasi iklim Oldeman.
1.5. Manfaat Penelitian
Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Adanya peta klasifikasi iklim Oldeman yang baru dan peta klasifikasi iklim
Schmidth-Fergusson.
2. Bagi Pengambil kebijakan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
menyusun rencana pembangunan di Sumatera Utara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Iklim
Klimatologi berasal dari bahasa Yunani, klima dan logos yang
masing-masing berarti kemiringan (“slope”) yang diarahkan ke lintang tempat sedangkan
logos sendiri berarti Ilmu. Jadi definisi klimatologi adalah ilmu yang mencari
gambaran dan penjelasan sifat iklim, mengapa iklim di berbagai tempat di bumi
berbeda, dan bagaimana kaitan antara iklim dengan aktivitas manusia. Klimatologi
memerlukan interpretasi dari data-data yang banyak sehingga memerlukan statistik
dalam pengerjaannya, orang-orang sering juga mengatakan klimatologi sebagai
meteorologi statistik (Bayong, 2004).
Iklim dinyatakan sebagai rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang
cukup lama, diperlukan kegiatan penelitian lebih banyak yang lebih dari sekedar
kumpulan data statistik yang mungkin diliputi oleh perkataan “rata-rata”. Data
statistik memang penting, akan tetapi hanya merupakan bahan mentah dengan
pengertian harus mendapat pengolahan yang lebih lanjut agar benar-benar dapat
mendekati kondisi yang sebenarnya. Semuanya merupakan suatu pemeriksaan
eksperimental dalam suatu rangkaian yang terus menerus pada akhirnya akan timbul
suatu gambaran mengenai kondisi iklim tersebut. Iklim merupakan kebiasaan alam
yang digerakkan oleh gabungan beberapa unsur. Unsur-unsur cuaca dan iklim antara
lain: radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, awan dan presipitasi (hujan),
2.2. Klasifikasi Iklim
Unsur-unsur iklim yang menunjukkan pola keragaman yang jelas merupakan
dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah
suhu dan curah hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang
didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau
kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim
sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang
berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam
bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002).
Thornthwaite (1933) dalam Bayong (2004) menyatakan bahwa tujuan
klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi
unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin,
sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif
untuk tujuan khusus.
Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia
sering ditekankan pada pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada
daerah tropik suhu udara jarang menjadi faktor pembatas kegiatan produksi
pertanian, sedangkan ketersediaan air merupakan faktor yang paling menentukan
dalam kegiatan budidaya pertanian khususnya budidaya padi (As-Syakur, 2007).
Variasi suhu di kepulauan Indonesia tergantung pada ketinggian tempat
tingginya ketinggian tempat dari permukaan laut. Suhu menurun sekitar 0.6 oC
setiap 100 meter kenaikan ketinggian tempat. Keberadaan lautan disekitar
kepulauan Indonesia ikut berperan dalam menekan gejolak perubahan suhu udara
yang mungkin timbul (Lakitan, 2002).
Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut
waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor
pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum. Oleh karena itu klasifikasi iklim
untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan
dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama (Lakitan, 2002). Bayong
(2004) mengungkapkan bahwa dengan adanya hubungan sistematik antara unsur
iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan pemahaman baru tentang
klasifikasi iklim, di mana dengan adanya korelasi antara tanaman dan unsur suhu
atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai kriteria
dalam pengklasifikasian iklim.
Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan
dan pernah digunakan di Indonesia antara lain adalah:
a. Sistem Klasifikasi Oldeman
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah
kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklimnya
berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut.
Oldeman et al. (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman
mm/bulan. Dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75%,
maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan diperlukan curah
hujan sebesar 220 mm/bulan, untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman
palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan. Maka menurut Oldeman
suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih
besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih
kecil dari 100 mm.
Lamanya periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis/varietas
yang digunakan, sehingga periode 5 bulan basah berurutan dalam satu tahun
dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani
dapat melakukan 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka
tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi tambahan (Bayong, 2004).
Oldeman et al, (1980) membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim.
Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut
yang terjadi dalam setahun, sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya
jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zone iklim
berdasarkan huruf yaitu zone A, zone B, zone C, zone D dan zone E, sedangkan
pemberian nama sub zone berdasarkan angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3 sub 4 dan sub
5.
Zone A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zone B hanya
dapat ditanami padi 2 periode dalam setahun. Zone C, dapat ditanami padi 2 kali
bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan sistem gogo rancah. Zone D, hanya
dapat ditanami padi satu kali masa tanam. Zone E, penanaman padi tidak dianjurkan
tanpa adanya irigasi yang baik (Oldeman et al., 1980).
Penentuan tipe iklim Oldeman dapat dilihat pada Tabel 1 dan segitiga
Oldeman pada Gambar 1, sedangkan penentuan zona agroklimat Oldeman dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Kriteria Penentuan Tipe Iklim Oldeman
Sumber: (Oldeman et al., 1980)
Gambar 1. Segitiga Oldeman
Tabel 2. Zona Agroklimat Oldeman
Tipe Iklim Penjabaran
A Sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena
fluks radiasi matahari sepanjang tahun rendah.
B1 Sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim
yang baik.
B2-B3 Dapat tanam padi dua kali setahun dengan varietas umur pendek dan musim kering yang pendek cukup untuk palawija.
C1
Dapat tanam padi sekali dan palawija dua kali setahun.
C2-C4 Setahun hanya dapat tanam padi satu kali dan penanaman palawija
jangan tanam di musim kering. D1
Tanam padi umur pendek satu kali dan palawija cukup.
D2-D4 Hanya mungkin tanam padi sekali dan palawija sekali. Perlu
adanya irigasi. E
b. Sistem Klasifikasi Schmidth-Fergusson
Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Menurut Irianto et al, (2000)
penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidth-Fergusson lebih banyak
digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidth-Fergusson
ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah
dan bulan kering klasifikasi iklim Mohr. Menurut As-Syakur (2008) pencarian
rata-rata bulan kering atau bulan basah dalam klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson
dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering atau bulan basah
selama tahun pengamatan dengan banyaknya tahun pengamatan.
Klasifikasi Iklim menurut Schmidth-Fergusson (1951) didasarkan kepada
perbandingan antara Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB). Ketentuan
penetapan bulan basah dan bulan kering mengikuti aturan sebagai berikut:
Bulan Kering : bulan dengan curah hujan lebih kecil dari 60 mm
Bulan Basah : bulan dengan curah hujan lebih besar dari 100 mm
Bulan Lembab : bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm.
Bulan Lembab (BL) tidak dimasukkan dalam rumus penentuan tipe curah
hujan yang dinyatakan dalam nilai Q, yang dihitung dengan persamaan berikut:
Rata-rata jumlah BK
Q = --- x 100 % Rata-rata jumlah BB
Rata-rata jumlah bulan basah adalah banyaknya bulan basah dari seluruh
jumlah bulan kering adalah banyaknya bulan kering dari seluruh data pengamatan
dibagi jumlah tahun data pengamatan.
Berdasarkan besarnya nilai Q ini selanjutnya ditentukan tipe curah hujan
suatu tempat atau daerah dengan menggunakan Tabel Q atau diagram segitiga
kriteria klasifikasi tipe iklim menurut Schmidth-Fergusson, seperti terlihat pada
Tabel 3 dan Gambar 2, untuk zone agroklimatnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Kriteria Pembagian Tipe Iklim Schmidth-Fergusson (Tabel Q)
Gambar 2. Diagram Segitiga Schmidth-Fergusson
Tabel 4. Zona Agroklimat Schmidth-Fergusson
Tipe Iklim Schmidth-Fergusson Zona Agroklimat
A Hutan hujan tropis
B Hutan hujan tropis
C
Hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya
di musim kemarau
D Hutan musim
E Hutan savana
F Hutan savana
G Padang ilalang
2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System
(GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG
adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data
yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja
(Barus dan Wiradisastra, 2000). Di samping itu, SIG juga dapat menggabungkan
data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan
keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah
yang berhubungan dengan geografi (As-Syakur, 2008).
Sistem Informasi Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem
manual (analog), dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan
yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem Informasi manual
biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk
tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survey lapangan.
Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa
komputer, sedangkan Sistem Informasi Geografis otomatis telah menggunakan
komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital
dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi
(As-Syakur, 2008).
Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah untuk
atribut suatu lokasi atau obyek. Ciri utama data yang bisa dimanfaatkan dalam
Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi dan
merupakan data dasar yang belum dispesifikasi (As-Syakur, 2008).
Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan
data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan
adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang
berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data
atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek
sebagai data spasial.
Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik,
bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari
sepasang koordinat x, y yang menunjukkan lokasi suatu obyek berupa ketinggian,
lokasi kota, lokasi pengambilan sampel dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan
titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan,
kontur dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu
garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya: batas daerah, batas
penggunaan lahan, pulau dan lain sebagainya (As-Syakur, 2008).
Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data
vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat
(grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data yang
direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan
Bentuk produk suatu SIG dapat bervariasi baik dalam hal kualitas, keakuratan dan
kemudahan pemakainya. Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk peta-peta, tabel
angka-angka: teks
di atas kertas atau media lain (hard copy), atau dalam cetak lunak (seperti file
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang terletak
diantara 1-4° Lintang Utara dan 98-100° Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi
Sumatera Utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72% dari luas Wilayah Republik
Indonesia, Provinsi Sumatera Utara memiliki 162 pulau, yaitu 6 pulau di Pantai
Timur dan 156 pulau di Pantai Barat (BPS, 2007). Penelitian ini dilaksanakan mulai
bulan Maret 2009 sampai dengan bulan Mei 2009.
3.2. Bahan dan Alat
2007, MS. Excel 2007 (Software), GPS.
3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data
3.3.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu:
a. Mengambil data curah hujan sebagai bahan pembuatan klasifikasi Oldeman yang
lama yaitu periode tahun 1970-1993.
b. Mengambil data curah hujan periode tahun 1970-2008.
Data yang digunakan sebanyak 265 data yang berasal dari pos pengamatan
curah hujan yang tersebar di seluruh Wilayah Sumatera Utara dari instansi terkait
yaitu Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), PPKS (Pusat
Penelitian Kelapa Sawit), Dinas Pertanian, Pekerjaan Umum (PU) Pengairan,
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN), Perseroan Terbatas Perkebunan
Swasta (PTPS). Data yang lain yaitu data informasi geografis Sumatera Utara diambil
3.3.2. Analisis Data
Untuk membuktikan hipotesis yang pertama maka digunakan uji statistik beda
rata-rata dengan rumus sebagai berikut:
derajat kebebasan (dk) = (n1+n2-2) dan peluang (1-α), di mana:
: rata-rata jumlah bulan basah/kering tahun 1970-2008
: rata-rata jumlah bulan basah/kering tahun 1970-1993
n : besar sampel
S : simpangan baku
n1 : jumlah data bulan basah/kering tahun 1970-2008
n2 : jumlah data bulan basah/kering tahun 1970-1993
S1 : besarnya varians data rata-rata bulan basah/kering tahun 1970-2008
S2 : besarnya varians data rata-rata bulan basah/kering tahun 1970-1993
Untuk menjawab hipotesis yang kedua digunakan cara studi literatur
mengoverlaykan masing-masing peta (Oldeman dan Schmidth-Fergusson) dengan
peta tutupan lahan.
Untuk memetakan klasifikasi iklim dan zona agroklimat masing-masing
metode (Oldeman dan Scmidth-Fergusson) dianalisis dengan menggunakan
software ArcView GIS. Data-data yang digunakan yaitu data pos penakar curah
hujan yang berisi data atribut koordinat lintang dan bujur serta nilai Q
(Schmidth-Fergusson) masing-masing titik, jumlah bulan basah dan bulan kering (Oldeman),
serta peta digital wilayah Sumatera Utara sebagai batasan analisis.
Tahapan berikutnya adalah merubah data koordinat tabel dalam format *.xls
menjadi format *.dbf dengan menggunakan mikrosoft excel, dengan menggunakan
software arcview data point *.dbf dirubah kedalam bentuk *.shp dengan terlebih
dahulu menyiapkan peta dasar Sumatera Utara. Kemudian untuk melakukan analisis
pemetaan data ini digunakan extension spasial analyst, avswatx. Setelah data atribut
menjadi *.shp dan peta batas administrasinya Sumatera Utara disiapkan serta
extension spasial analystnya aktif, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
interpolasi titik penakar curah hujan melalui menu surface-interpolate grid.
Setelah itu akan muncul hasil dengan klasifikasi nilai Q
(Schmidth-Fergusson) secara beraturan lalu sesuaikan dengan urutan klasifikasi nilai Q dalam
tabel Q Schmidth-Fergusson (Tabel 3 di halaman 12 dan Tabel 4 di halaman 13).
Untuk klasifikasi Oldeman dilakukan metode tumpang tindih (overlay) dari peta
berturut-turut sehingga mendapatkan satu peta, lalu sesuaikan dengan kriteria klasifikasi
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk menjelaskan posisi 265 data yang digunakan bisa dilihat pada Gambar
4 berikut ini (Objek data penelitian terdapat pada Lampiran 4).
Gambar 4. Peta Lokasi Sebaran Data Penelitian
Berdasarkan peta sebaran data pada Gambar 4 terlihat bahwa ada ketidak
seimbangan sebaran data antara tiap wilayah. Sebaran data di wilayah pantai timur
terlihat lebih rapat, sementara di wilayah pegunungan dan pantai barat sebarannya
sudah berkurang kerapatannya. Hal tersebut tentunya bisa mempengaruhi keakuratan
stasiun penakar hujan rata-rata di daerah tropik 14 km2/stasiun, jadi untuk Sumatera
Utara yang luasnya 71.680,68 km2 idealnya memiliki stasiun penakar hujan sebanyak
5120 penakar.
4.1. Analisis Rata-Rata Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Tahun 1970-1993 dan Tahun 1970-2008
Berdasarkan hasil uji statistik beda rata-rata Bulan Basah dan Bulan Kering
pada 265 data dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Statistik
Variabel Z- hitung Z-tabel α Keterangan
Bulan Basah 0,01602 -1,95996 1,95996
0.05 **
Bulan Kering 1,55756 -1,95996 1,95996 **
** = Berbeda nyata
Berdasarkan Tabel 5 dapat kita lihat bahwa pada Bulan Basah terjadi
perbedaan yang nyata. Hal tersebut ditunjukan pada nilai Z-hitung Bulan Basah
(0,01602) lebih kecil dari pada Z-tabel (1,95996), dengan menggunakan kaidah yang
digunakan dalam uji statistik (uji Z) maka Ho ditolak, artinya tidak sama antara Bulan
Basah dari data Curah Hujan tahun 1970-1993 dengan Bulan Basah dari data Curah
Hujan tahun 1970-2008.
Demikian juga untuk Bulan Kering terjadi perbedaan yang nyata. Hal tersebut
ditunjukkan pada nilai Z-hitung Bulan Kering (1,55756) lebih kecil dari pada Z-tabel
(1,95996), dengan menggunakan kaidah yang digunakan dalam uji statistik (uji Z)
1970-1993 dengan Bulan Kering dari data Curah Hujan tahun 1970-2008.
Berdasarkan hasil uji statistik tersebut maka dapat dikatakan bahwa klasifikasi
iklim berdasarkan Oldeman yang dibuat tahun 1993 memang sudah tidak bisa
digunakan lagi karena sudah terjadi perubahan jumlah bulan basah dan bulan kering
yang menjadi dasar pengklasifikasian iklim Oldeman.
Banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa fenomena pemanasan global sedang
berlangsung akibat terjadinya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cepat
di atmosfer. Selama periode 1850 sampai 1998, diperkirakan sebesar 270 (+30) Gt
karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40% dari karbon yang dilepaskan ini
berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan
industri (67%) dan pembukaan hutan atau konversi lahan (33%), sedangkan yang
60% berasal dari proses alami yang kemudian diserap kembali oleh laut dan
ekosistem bumi. Dengan demikian dengan meningkatkan aktivitas kehidupan
manusia dalam mengkonsumsi energi dan pembukaan hutan, konsentrasi gas rumah
kaca di udara akan terus meningkat. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
di atmosfer akan diikuti dengan meningkatnya suhu global, karena gas rumah kaca
mempunyai kemampuan untuk menyerap radiasi gelombang panjang dan
merubahnya menjadi bentuk panas terasa. Terjadinya perubahan suhu global ini akan
diikuti oleh perubahan iklim global (Boer et al., 2002).
Menurut Boer et al, ( 2002), perubahan iklim akibat adanya pemanasan global
diyakini akan mengarah pada terjadinya penurunan curah hujan yang berlebihan pada
Dengan demikian tingkat resiko kekeringan atau kebanjiran akan semakin
besar. Indonesia bagian Utara (Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Sumatera
bagian Utara), curah hujan musim hujan akan semakin berkurang sedangkan curah
hujan musim kemarau akan cenderung semakin tinggi, khususnya Kalimatan bagian
Utara. Hasil uji statistik menunjukan adanya perbedaan yang nyata antara jumlah
bulan basah dan bulan kering pada periode tahun 1970-1993 dengan periode tahun
1970-2008 hal tersebut menunjukan bahwa indikasi adanya perubahan iklim
di Sumatera Utara telah terjadi. Adanya bukti ini dapat dijadikan sebagai landasan
bagi kita semua untuk tidak lagi mengabaikan aspek perubahan iklim.
4.2. Pemetaan Klasifikasi Iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson
Dari 265 data curah hujan yang digunakan dengan menggunakan software
GIS maka didapat hasil peta klasifikasi iklim Oldeman (Gambar 5 dan Tabel 6) dan
Gambar 5. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 2009
Tabel 6. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009) di Masing-masing Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara
5 Serdang Bedagai C1, D1, D2, E1, E2, E3 19 Tapanuli Tengah A1, C1, D1
6 Tebing Tinggi D1, E1, E2, E3 20 Labuhan Batu C1, D1, E1
7 Karo C1, D1, D2, E1, E2 21 Tapanuli Selatan A1, C1, D1, E1, E2
8 Dairi C1, D1, D2, E1, E2 22 Padang Sidempuan D1, E1, E2
9 Pak-Pak Barat C1, D1, E1 23 Padang Lawas Utara D1, E1, E2
10 Simalungun B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3 24 Padang Lawas D1, D2, E1, E2
11 Pematang Siantar C1, D1 25 Mandailing Natal C1, D1, E1, E2
12 Asahan C1, D1, D2, E1, E2, E3 26 Nias A1, C1, D1
13 Tanjung Balai D1, D2, E2 27 Nias Selatan C1, D1
14 Batu Bara C1, D1, D2, E1, E2, E3
Gambar 6. Peta Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson
Tabel 7. Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson di Masing-masing Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara
5 Serdang Bedagai A, B, C, D 19 Tapanuli Tengah A, B
6 Tebing Tinggi B, C 20 Labuhan Batu A, B
7 Karo B, C, D 21 Tapanuli Selatan A, B
8 Dairi A, B, C, D 22 Padang Sidempuan B
9 Pak-Pak Barat A, B 23 Padang Lawas Utara A, B, C
10 Simalungun A, B, C 24 Padang Lawas B, C
11 Pematang Siantar A 25 Mandailing Natal A, B, C
12 Asahan A, B, C, D 26 Nias A
13 Tanjung Balai B 27 Nias Selatan A, B
14 Batu Bara B, C, D
Tabel 8. Klasifikasi Iklim Oldeman (Tahun 2009 dan 1993)
13 Tanjung Balai D1, E2 D1, D2, E2
14 Batu Bara E2 C1, D1, D2, E1, E2, E3
15 Tobasa C1, D1, E2 C1, D1, D2, E1, E2
16 Samosir E2 C1, D1, E1, E2
17 Humbahas A, D1, E2 A1, C1, D1, E1, E2
18 Tapanuli Utara A, C1, D1 A1, D1, E1, E2
19 Tapanuli Tengah A A1, C1, D1
20 Labuhan Batu C1, D1 C1, D1, E1
21 Tapanuli Selatan A, C1, D1, E2 A1, C1, D1, E1, E2
22 Padang Sidempuan E2 D1, E1, E2
23 Padang Lawas Utara C1, D1, E2 D1, E1, E2
24 Padang Lawas D1, E2 D1, D2, E1, E2
25 Mandailing Natal A, E2 C1, D1, E1, E2
26 Nias B1 A1, C1, D1
27 Nias Selatan B1 C1, D1
NO KAB/KOTA
Berdasarkan hasil rincian tabel di atas dapat dilihat bahwa peta Oldeman
tahun 1993 telah mengalami banyak perubahan, dengan kecenderungan terjadinya
pertambahan jumlah klasifikasi Oldemannya. Pada Klasifikasi iklim Oldeman tahun
1993 terdapat 6 klasifikasi (A, B1, C1, D1, D2, E2) sedangkan pada Klasifikasi
Oldeman tahun 2009 terdapat 8 klasifikasi (A1, B1, C1, D1, D2, E1, E2, E3). Hal ini
rentang waktu 1970-2008. Jika dibandingkan dari penampilan petanya dilihat dengan
jelas bahwa terjadi penurunan luasan terutama wilayah klasifikasi iklim C1 dan A1,
pada klasifikasi iklim 2009 (Gambar 5) luasan klasifikasi iklim C1 dan A1 menjadi
lebih kecil dibandingkan dengan peta Oldeman tahun 1993 (Gambar 7).
Gambar 7. Peta Klasifikasi Iklim Oldeman Tahun 1993
Hasil pengolahan data curah hujan tahun 1970-2008 didapatkan klasifikasi
Oldeman sebagai berikut:
a. Klasifikasi Oldeman A1
Klasifikasi iklim Oldeman tipe A1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat,
Gambar 8. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe A1
Pola hujan pada Tipe A1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 10 bulan
(Maret-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 100 mm. Jumlah curah hujan
tahunannya antara 3108-4388 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 3822
mm. Zona agroklimat pada Tipe A1 adalah sesuai untuk padi terus menerus tetapi
produksi kurang karena pada umumnya kerapatan fluks radiasi surya rendah
sepanjang tahun.
b. Klasifikasi Oldeman B1
Klasifikasi iklim Oldeman tipe B1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat,
Gambar 9. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe B1
Pola hujan pada Tipe B1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 8 bulan
(Mei-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 100 mm. Jumlah curah hujan tahunannya
antara 2595-3104 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 2933 mm. Zona
agroklimat pada Tipe B1 adalah sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan
awal musim tanam yang baik.
c. Klasifikasi Oldeman C1
Klasifikasi iklim Oldeman tipe C1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat,
Binjai, Deli Serdang, Medan, Serdang Bedagai, Karo, Dairi, Pak-Pak Barat,
Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas,
Gambar 10. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe C1
Pola hujan pada Tipe C1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 5 bulan
(Agustus-Desember) dan terjadi hujan yang < 100 mm pada bulan Pebruari. Jumlah
curah hujan tahunannya antara 1750-3957 mm, rata-rata jumlah curah hujan
tahunannya 2729 mm. Zona agroklimat pada Tipe C1 adalah dapat tanam padi sekali
dan palawija dua kali setahun.
d. Klasifikasi Oldeman D1
Klasifikasi iklim Oldeman tipe D1 ini terdapat di seluruh Kabupaten/Kota
Gambar 11. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D1
Pola hujan pada Tipe D1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 4 bulan
(Agustus-Nopember) dan terjadi hujan yang < 100 mm pada bulan Pebruari. Jumlah
curah hujan tahunannya antara 1705-3085 mm, rata-rata jumlah curah hujan
tahunannya 2274 mm. Zona agroklimat pada Tipe D1 adalah tanam padi umur
pendek satu kali dan biasanya produksi bisa tinggi karena kerapatan fluks radiasi
surya tinggi, waktu tanam palawija cukup.
e. Klasifikasi Oldeman D2
Klasifikasi iklim Oldeman tipe D2 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat,
Binjai, Deli Serdang, Medan, Serdang Bedagai, Karo, Dairi, Simalungun, Asahan,
Gambar 12. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe D2
Pola hujan pada Tipe D2 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 3 bulan
(September-Nopember) dan curah hujan yang < 100 mm berturut-turut terjadi selama
2 bulan (Pebruari-Maret). Jumlah curah hujan tahunannya antara 1749-2409 mm,
rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1911 mm. Zona agroklimat pada Tipe D2
adalah hanya mungkin tanam padi satu kali atau palawija sekali setahun, tergantung
pada adanya persediaan air irigasi.
f. Klasifikasi Oldeman E1
Klasifikasi iklim Oldeman tipe E1 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Serdang
Bedagai, Binjai, Tebing Tinggi, Karo, Dairi, Pak-Pak Barat, Simalungun, Asahan,
Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas, Tapanuli Utara, Labuhan Batu, Tapanuli
Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas dan Mandailing
Gambar 13. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E1
Pola hujan pada Tipe E1 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 2 bulan
(September-Oktober) dan terjadi hujan yang < 100 mm pada bulan Pebruari. Jumlah
curah hujan tahunannya antara 1615 – 2145 mm, rata-rata jumlah curah hujan
tahunannya 1922 mm. Zona agroklimat pada Tipe E1 adalah daerah ini umumnya
terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali tanam palawija, itu pun tergantung pada
ada tidaknya hujan.
g. Klasifikasi Oldeman E2
Klasifikasi iklim Oldeman tipe E2 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Langkat,
Deli Serdang, Medan, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Karo, Dairi, Simalungun,
Asahan, Tanjung Balai, Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas, Tapanuli Utara,
Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas dan
Gambar 14. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E2
Pola hujan pada Tipe E2 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 2 bulan
(September-Oktober) dan curah hujan yang < 100 mm berturut-turut terjadi selama 2
bulan (Januari-Pebruari). Jumlah curah hujan tahunannya antara 1172-2233 mm,
rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1685 mm. Zona agroklimat pada Tipe E2 adalah
daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali tanam palawija, itu
pun tergantung pada ada tidaknya hujan.
h. Klasifikasi Oldeman E3
Klasifikasi iklim Oldeman tipe E3 ini terdapat di Kabupaten/Kota: Deli
Gambar 15. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Oldeman Tipe E3
Pola hujan pada Tipe E3 seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 200 mm berturut-turut terjadi selama 1 bulan
(Oktober) dan curah hujan yang < 100 mm berturut-turut terjadi selama 4 bulan
(Januari-April). Jumlah curah hujan tahunannya antara 1027-1823 mm, rata-rata
jumlah curah hujan tahunannya 1488 mm. Zona agroklimat pada Tipe E3 adalah
daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali tanam palawija, itu
pun tergantung pada ada tidaknya hujan.
Hasil pengolahan data curah hujan tahun 1970-2008 didapatkan klasifikasi
Schmidth-Fergusson sebagai berikut:
a. Klasifikasi Schmidth-Fergusson A
Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe A ini terdapat hampir di seluruh
Kabupaten/Kota Sumatera Utara, kecuali: Tebing Tinggi, Karo, Tanjung Balai, Batu
Gambar 16. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe A
Pola hujan pada Tipe A seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 12 bulan
(Januari-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya
antara 1705-4338 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 2687 mm. Rata-rata
jumlah bulan keringnya adalah 1 bulan. Zona agroklimat pada Tipe A adalah daerah
sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis.
b. Klasifikasi Schmidth-Fergusson B
Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe B ini terdapat hampir di seluruh
Gambar 17. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe B
Pola hujan pada Tipe B seperti terlihat pada grafik di atas menunjukan bahwa
jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 12 bulan (Januari-Desember) dan
tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya antara 1480-2751
mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1931 mm. Rata-rata jumlah bulan
keringnya adalah 2 bulan. Zona agroklimat pada Tipe B adalah daerah basah dengan
vegetasi hutan hujan tropis.
c. Klasifikasi Schmidth-Fergusson C
Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe C ini terdapat di Kabupaten/Kota:
Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Karo, Dairi, Simalungun, Asahan,
Batu Bara, Tobasa, Samosir, Humbahas, Padang Lawas Utara, Padang Lawas dan
Gambar 18. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi Schmidth-Fergusson Tipe C
Pola hujan pada Tipe C seperti terlihat pada grafik di atas menunjukan bahwa
jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 10 bulan (Januari-Mei;
Agustus-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya
antara 1283-2083 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1629 mm. Rata-rata
jumlah bulan keringnya adalah 3 bulan. Zona agroklimat pada Tipe C adalah daerah
agak basah dengan vegetasi hutan rimba, diantaranya terdapat jenis vegetasi yang
daunnya gugur pada musim kemarau, misalnya Jati.
d. Klasifikasi Schmidth-Fergusson D
Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe D ini terdapat di Kabupaten/Kota:
Gambar 19. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi
Schmidth-Fergusson Tipe D
Pola hujan pada Tipe D seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 4 bulan
(September-Desember) dan tidak terjadi hujan yang < 60 mm. Jumlah curah hujan tahunannya
antara 1172-1319 mm, rata-rata jumlah curah hujan tahunannya 1213 mm. Rata-rata
jumlah bulan keringnya adalah 5 bulan. Zona agroklimat pada Tipe D adalah daerah
sedang dengan vegetasi hutan musim.
e. Klasifikasi Schmidth-Fergusson E
Klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson tipe E ini terdapat di Kabupaten
Gambar 20. Grafik (Histogram) Rataan Curah Hujan pada Klasifikasi
Schmidth-Fergusson Tipe E
Pola hujan pada Tipe E seperti terlihat pada grafik di atas menunjukkan bahwa
jumlah curah hujan yang > 100 mm terjadi selama 4 bulan (September-Desember),
curah hujan hujan yang < 60 mm terjadi selama 3 bulan (Januari-Maret). Jumlah
curah hujan tahunannya antara 1027-1088 mm, rata-rata jumlah curah hujan
tahunannya 1058 mm. Rata-rata jumlah bulan keringnya adalah 7 bulan. Zona
agroklimat pada Tipe E adalah daerah agak kering dengan vegetasi hutan Sabana.
Pada peta Oldeman hasil olahan tahun 2009 terlihat bahwa terjadi penurunan
luasan wilayah tipe iklim dibanding peta Oldeman tahun 1993. Pada peta Oldeman
tahun 1993 seluruh Tapanuli Tengah sampai ke daerah pesisir Tapsel dan Madina
adalah tipe iklimnya A, sedangkan pada peta Oldeman tahun 2009 Tapanuli Tengah
hanya sebagian kecil yang tipenya A, selebihnya didominasi oleh tipe iklim C1.
Daerah pesisir Tapsel berubah menjadi C1 dan pesisir Madina berubah menjadi D1.
D1. Namun secara umum wilayah Sumatera Utara didominasi oleh tipe D1. Adanya
informasi perubahan ini tentunya bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk
mengantisipasi kejadian yang ekstrim yang berdampak negatif dengan teknik adaptasi
(penyesuaian seluruh kegiatan terhadap kondisi iklim). Menurut IPCC (2001)
kemampuan adaptasi (adaptive capacity) merujuk pada kemampuan dari suatu sistem
(misalnya pertanian) untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman
iklim saat ini dan akan datang, termasuk kejadian iklim ekstrim, sehingga dampak
negatif yang akan ditimbulkan dapat ditekan atau sebaliknya kondisi tersebut dapat
disiasati sehingga menimbulkan dampak yang positif. Jadi kemampuan adaptasi tidak
hanya menunjukkan kemampuan untuk menekan dampak negatif dari suatu kejadian,
tetapi juga kemampuan untuk memanfaatkan potensinya sehingga menimbulkan
dampak yang positif.
4.3. Evaluasi Kesesuaian Klasifikasi Iklim Schmidth-Fergusson untuk Bidang Kehutanan
Berdasarkan hasil kajian literatur, yang difokuskan pada prinsip dasar
penentuan klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson maka terdapat
beberapa perbedaan. Dengan adanya perbedaan ini tentunya dalam aplikasinya pun
akan berbeda, terutama untuk kepentingan evaluasi kesesuaian tanaman terhadap
iklim di wilayah tertentu. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan tersebut dapat
Tabel 9. Perbedaan Prinsip Dasar Penentuan Klasifikasi Oldeman dan Schmidth-Fergusson
Dasar Penentuan Klasifikasi Iklim Klasifikasi Ikli m
Kl asifikasi Oldeman Sc hmidth-Fergusson
Hidrologi Kebutuhan Tan. Padi dan Palawija Penguapan
Bulan Basah > 200 mm Bulan Basah > 100 mm Bulan Kering < 100 mm Bulan Kering < 60 mm Penghitungan Bulan Basah
dan Bulan Ke ring
Jumlah bulan basah dan Nilai Q = Rata-rata bulan kering bulan ke ring Rata-rata bulan basah
Aplikasi Pertanian (Tan. Pangan) Kehutanan dan Perkebunan
Curah Hujan
Rataan seluruh data Se tiap tahun
Penentuan akhir
Gambar 22. Peta Overlay Tutupan Lahan Dengan Peta Klasifikasi Iklim Oldeman
Berdasarkan hasil evaluasi peta klasifikasi iklim Oldeman dan
Schmidth-Fergusson yang dioverlay dengan peta tutupan lahan seperti terlihat pada Gambar
21 bisa kita lihat bahwa di Kabupaten Labuhan Batu wilayah yang diklasifikasikan
berdasarkan Schmidth-Fergusson (A dan B dengan zone agroklimatnya hutan hujan
tropis) sesuai dengan tutupan lahannya yang didominasi oleh perkebunan dan hutan.
Sedangkan dari Gambar 22 bisa kita lihat bahwa di Kabupaten Labuhan Batu,
wilayah yang diklasifikasikan berdasarkan Oldeman C1, D1 dan E1 dengan zone
agroklimat padi dan palawija secara umum tidak sesuai dengan tutupan lahannya
dapat dikatakan bahwa untuk bidang perkebunan dan kehutanan lebih tepat
digunakan klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson, sedangkan untuk tanaman pangan
(pangan dan palawija) lebih tepat digunakan klasifikasi iklim Oldeman.
4.4. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan Memanfaatkan Informasi Sumberdaya Iklim
Dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan faktor sumberdaya
iklim selama ini kurang mendapat perhatian. Namun dengan adanya fakta-fakta
terjadinya pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim,
paradigma yang tadinya kurang atau bahkan tidak memperdulikan faktor iklim dalam
setiap kegiatan menjadi berubah. Pada saat ini masyarakat lebih sadar betapa
besarnya peranan sumberdaya iklim dalam segala aspek kehidupan.
a. Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Pengelolaan Sumberdaya Pertanian dan Perkebunan di Sumatera Utara (Peta Kesesuaian Komoditas Pertanian dengan Iklim)
Iklim merupakan salah satu faktor pembatas dalam proses pertumbuhan
dan produksi tanaman. Jenis-jenis dan sifat-sifat iklim bisa menentukan
jenis-jenis tanaman yang tumbuh pada suatu daerah serta produksinya. Oleh karena itu
kajian klimatologi dalam bidang pertanian sangat diperlukan. Seiring dengan
semakin berkembangnya isu pemanasan global dan akibatnya pada perubahan
iklim, membuat sektor pertanian begitu terpukul. Tidak teraturnya perilaku iklim
dan perubahan awal musim dan akhir musim seperti musim kemarau dan musim
masa panen. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, hujan merupakan faktor
pembatas penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian (Asyakur,
2007).
Adanya peta Oldeman dapat membantu sektor pertanian dalam
mengatasi adaptasi terhadap iklim. Dengan informasi peta klasifikasi Oldeman
maka dapat dipetakan wilayah iklim yang sesuai untuk tanaman padi khususnya.
Tanaman padi (Oryza sativa) dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan
banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan
atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per
tahun sekitar 1500-2000 mm (Anonimus, 2008). Berdasarkan informasi tersebut
maka yang sesuai untuk tanaman padi tanpa bantuan irigasi teknis adalah wilayah
klasifikasi iklim C1, D1, dan D2 seperti terlihat pada Gambar 23. Untuk wilayah
klasifikasi iklim E1, E2 dan E3 bisa ditanami padi dengan bantuan irigasi teknis
terutama di musim kemarau (Januari-Juni) seperti terlihat pada Gambar 23.
Selain itu untuk tanaman pangan informasi klasifikasi iklim Oldeman dapat
Gambar 23. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Tanaman Padi (Oriza sativa)
Pemanfaatan peta Schmidth-Fergusson terutama untuk informasi
kesesuaian iklim pada komoditas tanaman perkebunan misalnya karet dan kelapa
sawit tentu sangat membantu pihak-pihak terkait di Sumatera Utara dalam
memutuskan pengembangan tanaman tersebut.
Dalam kegiatan evaluasi kesesuaian lahan untuk perkebunan faktor
iklim adalah faktor utama yang harus terlebih dahulu dievaluasi sebelum evaluasi
faktor lahan lainnya (bentuk wilayah dan sifat tanah). Jika dalam evaluasi
ternyata lahan tersebut secara klimatologis tidak sesuai, maka dapat disimpulkan
ini sangat beralasan karena setiap tanaman memiliki persyaratan agronomis yang
pada kenyataannya didominasi oleh persyaratan iklim (Rahmat et al., 1999).
Maka dengan adanya peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara
kita bisa memetakan wilayah yang sesuai dari sisi iklimnya untuk tanaman
perkebunan andalan Sumatera Utara (karet dan sawit).
Menurut Endert (1949), dalam Djikman, (1951) tanaman karet (Ficus
elastica) paling cocok ditanam pada wilayah yang mempunyai iklim dengan
kriteria bulan kering antara 0-3 dan jumlah curah hujan tahunan yang ideal
adalah 2500-5000 mm, maka untuk wilayah Sumatera Utara yang cocok adalah
wilayah yang mempunyai tipe iklim Schmidth-Fergusson A-B, artinya kalau
dilihat dari sisi iklim (curah hujan) hampir semua wilayah Sumatera Utara cocok
Gambar 24. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Karet (Ficus
elastica)
Berdasarkan Gambar 24, hampir seluruh wilayah Sumatera Utara dari
segi iklim (curah hujan) cocok untuk tanaman karet. Kecuali beberapa daerah
yang relatif kecil yang tidak cocok (sebagian kecil Kab. Madina, Paluta, Dairi,
Batu Bara; sebagian besar Kab. Tobasa, Samosir, Karo, Sergai). Namun dalam
kenyataannya di lapangan di Sumatera Utara hampir sebagian besar perkebunan
yang ada adalah sawit. Hal ini tentunya banyak faktor yang mempengaruhinya
antara lain pengetahuan tentang pentingnya informasi iklim yang sesuai untuk
sudah pasti untung, peranan lembaga-lembaga yang berwenang untuk
memberikan pemahaman tentang kesesuaian lahan dengan faktor pendukung
lainnya masih kurang.
Menurut Rahmat et.al (1999), tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis)
paling cocok ditanam pada wilayah yang mempunyai iklim dengan kriteria bulan
kering < 1 dan jumlah curah hujan tahunan yang ideal adalah 1750-3000 mm,
maka untuk wilayah Sumatera Utara yang cocok adalah wilayah yang
mempunyai tipe iklim Schmidth-Fergusson A, seperti terlihat pada Gambar 25.
Berdasarkan Gambar 25, hanya beberapa wilayah Sumatera Utara dari
segi iklim (curah hujan) cocok untuk tanaman kelapa sawit (Langkat di bagian
pegunungan, sebagian besar Kab. Labuhan Batu, Nias dan Nisel, Simalungun;
sebagian kecil Dairi, Pak-Pak Barat, Deli Serdang, Sergai). Tetapi dalam
kenyataannya sama dengan kasus tanaman karet, masyarakat tidak mengetahui
informasi ini dan akhirnya hampir di seluruh Sumatera Utara ramai-ramai
merubah lahannya menjadi perkebunan sawit dengan harapan akan mendapat
Gambar 25. Peta Wilayah Iklim (Curah Hujan) yang Sesuai untuk Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
b. Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Upaya Peringatan Dini
Wilayah-Wilayah yang Rawan Terkena Bencana Akibat Terjadinya Iklim Ekstrim
Kondisi iklim yang menyimpang dari normal seringkali menimbulkan
dampak yang negatif. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya
penyimpangan iklim di Indonesia ialah fenomena ENSO (El-Nino and Southern
Oscillation). Kejadian El-Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau
panjang atau kekeringan sedangkan La-Nina berasosiasi dengan kejadian banjir.