• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan Meranti (Shorea Spp.) Pada Beberapa Kelas Diameter Di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan Meranti (Shorea Spp.) Pada Beberapa Kelas Diameter Di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN MERANTI

(Shorea spp.) PADA BEBERAPA KELAS DIAMETER

Di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara

JANES PURBA

061202035

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN MERANTI

(Shorea spp.) PADA BEBERAPA KELAS DIAMETER

Di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara

SKRIPSI

Oleh :

JANES PURBA

061202035

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN MERANTI

(Shorea spp.) PADA BEBERAPA KELAS DIAMETER

Di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara

SKRIPSI

Oleh :

JANES PURBA

061202035/Budidaya Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

Judul Penelitian : Potensi karbon tersimpan pada tegakan meranti (Shorea spp.) di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara

Nama : Janes Purba

NIM : 061202035

Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh :

Komisi Pembimbing

Dr. Delvian , SP. MP. Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D. Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Departemen Kehutanan

(5)

ABSTRAK

JANES PURBA: Potensi Karbon Tersimpan pada Tegakan Meranti (Shorea spp) pada Beberapa Kelas Diameter di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara, dibimbing oleh DELVIAN dan SITI LATIFAH.

Hutan mampu mengurangi kadar karbondioksida (CO2) di udara dan

memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Pendugaan cadangan karbon di Cagar Alam Martelu Purba dilakukan menggunakan rumus alometrik untuk mengetahui cadangan karbon organik serta fiksasi CO2 pada beberapa kelas

diameter tegakan meranti ( 10 – 30 cm, 30 – 50 cm dan 50 cm ke atas). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2010 – Mei 2011. Parameter yang diamati adalah diameter batang, tinggi total, berat jenis dan jumlah pohon per plot.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa serapan karbon dan fiksasi CO2 pada

tegakan meranti meningkat seiring pertambahan diameter dan kerapatan pohon. Serapan karbon dan fiksasi CO2 tertinggi terdapat pada kelas diameter 50 cm ke

atas (190,323 ton C/ha dan 698,49 ton CO2/ha) dan paling rendah pada kelas

diameter 10 – 30 cm (3,815 ton C/ha 14,00 ton CO2/ha).

(6)

ABSTRACT

JANES PURBA: Potential Carbon Stored in Stand Meranti (Shorea spp) in Some Class of Diameter at Cagar Alam Martelu Purba Simalungun North Sumatra, supervised by DELVIAN and SITI LATIFAH.

Forests can reduce levels of carbondioxide (CO2) in air and reserve in the form of forest biomass. Estimation of carbon stocks on Cagar Alam Martelu Purba performed using allometric formula to determine the reserves of organic carbon and CO2 fixation in several stands of timber diameter classes (10-30 cm, 30-50 cm and 50 cm up). The study was conducted in August 2010 - May 2011. Observations were stem diameter, total height, density and number of trees by plot.

The results showed that carbon uptake and fixation of CO2 in timber stands to increase as the diameter and density of trees. Uptake of carbon and CO2 fixation are highest at diameter class 50 cm up (190,323 ton C/ha and 698,49 ton CO2/ha) and lowest in diameter classes 10-30 cm (3,815 ton C/ha 14,00 ton CO2/ha).

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tigapanah pada tanggal 14 April 1988 dari ayah Namaken

Purba dan ibu Rosalina Ginting Suka. Penulis merupakan putra ketiga dari tujuh

bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri I Kabanjahe dan pada tahun yang

sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Budidaya Hutan, Departemen

Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan

Mahasiswa Kehutanan (HIMAS) dan Pemerintahan Mahasiswa (PEMA).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. Andalas Merapi

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikaan skripsi yang berjudul ”

Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan Meranti (Shorea spp.) Pada Beberapa

Kelas Diameter Di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan,

memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada Dr. Delvian, SP. MP. Dan Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D

selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan

meberitahukan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan

judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian terakhir.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua

staf pengajar dan pegawai di Program Studi Ilmu Kehutanan Departemen

Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per

satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)

DAFTAR ISI

Bentuk Pemanfaatan Kawasan Konservasi ... 6

Ciri dan fungsi hutan konservasi ... 6

Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon ... 14

Biomassa Dalam Komunitas Hutan ... 17

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Cagar Alam Martelu Purba ... 21

Letak Geografis ... 21

Luas Atministrasi ... 22

Potensi Kawasan ... 22

Aksesibilitas ... 24

(10)

Biomassa pohon ... 30

Biomassa pohon per blok ... 30

Biomassa pohon per hektar ... 30

Fiksasi karbondiolsida (CO2) ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Tanaman ... 32

Biomassa Pohon ... 33

Kandungan Karbon Pohon ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 39

Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kemampuan dalam Menyimpan Karbon dan Distribusinya pada Setiap Ekosistem ... 16

2. Biomassa dan Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kelompok

Komponen Vegetasi yang Menyusun Ekositem Hutan ... 19

3. Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Beberapa Tegakan ... 20

4. Total Biomassa Tegakan Meranti di Cagar Alam Martelu Purba ... 34

5. Total Karbon Tersimpan Pada Tegakan Meranti di Cagar Alam Martelu Purba ... 35

6. Total Fiksasi Karbondioksida (CO2

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Peta Kawasan Cagar Alam Martelu Purba ... 22

2. Lay Out Blok Pengamatan ... 27

3. Cara Pengukuran dbh Pohon Tidak Beraturan ... 29

4. Kerapatan Pohon Meranti di Cagar Alam Martelu Purba ... 32

5. Total Karbon Tersimpan Kawasan Cagar Alam Martelu Purba ... 36

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Faktor Fisik Lingkungan ... 42

2. Berat Jenis (ρ ) Meranti (Shorea spp ) pada Kelas Diameter 10 – 30 cm .... 43

3. Berat Jenis (ρ ) Meranti (Shorea spp ) pada Kelas Diameter 30 - 50 cm .... 43

4. Berat Jenis (ρ ) Meranti (Shorea spp ) pada Kelas Diameter 50 cm up ... 43

5. Hasil Perhitungan Biomassa Total Meranti Kelas Diameter 10 – 30 cm .... 44

6. Hasil Perhitungan Biomassa Total Meranti Kelas Diameter 30 – 50 cm .... 47

7. Hasil Perhitungan Biomassa Total Meranti Kelas Diameter 50 cm up ... 52

8. Foto-Foto Kegiatan Selama di Lapangan dan Laboratorium ... 58

9. Peta Cagar Alam Martelu Purba ... 60

10. Regresi Kelas Diameter 10 -30 cm ... 61

11.Regresi Kelas Diameter 30 – 50 cm ... 62

12.Regresi Kelas Diameter 50 cm ke atas ... 64

(14)

ABSTRAK

JANES PURBA: Potensi Karbon Tersimpan pada Tegakan Meranti (Shorea spp) pada Beberapa Kelas Diameter di Cagar Alam Martelu Purba Simalungun Sumatera Utara, dibimbing oleh DELVIAN dan SITI LATIFAH.

Hutan mampu mengurangi kadar karbondioksida (CO2) di udara dan

memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Pendugaan cadangan karbon di Cagar Alam Martelu Purba dilakukan menggunakan rumus alometrik untuk mengetahui cadangan karbon organik serta fiksasi CO2 pada beberapa kelas

diameter tegakan meranti ( 10 – 30 cm, 30 – 50 cm dan 50 cm ke atas). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2010 – Mei 2011. Parameter yang diamati adalah diameter batang, tinggi total, berat jenis dan jumlah pohon per plot.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa serapan karbon dan fiksasi CO2 pada

tegakan meranti meningkat seiring pertambahan diameter dan kerapatan pohon. Serapan karbon dan fiksasi CO2 tertinggi terdapat pada kelas diameter 50 cm ke

atas (190,323 ton C/ha dan 698,49 ton CO2/ha) dan paling rendah pada kelas

diameter 10 – 30 cm (3,815 ton C/ha 14,00 ton CO2/ha).

(15)

ABSTRACT

JANES PURBA: Potential Carbon Stored in Stand Meranti (Shorea spp) in Some Class of Diameter at Cagar Alam Martelu Purba Simalungun North Sumatra, supervised by DELVIAN and SITI LATIFAH.

Forests can reduce levels of carbondioxide (CO2) in air and reserve in the form of forest biomass. Estimation of carbon stocks on Cagar Alam Martelu Purba performed using allometric formula to determine the reserves of organic carbon and CO2 fixation in several stands of timber diameter classes (10-30 cm, 30-50 cm and 50 cm up). The study was conducted in August 2010 - May 2011. Observations were stem diameter, total height, density and number of trees by plot.

The results showed that carbon uptake and fixation of CO2 in timber stands to increase as the diameter and density of trees. Uptake of carbon and CO2 fixation are highest at diameter class 50 cm up (190,323 ton C/ha and 698,49 ton CO2/ha) and lowest in diameter classes 10-30 cm (3,815 ton C/ha 14,00 ton CO2/ha).

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Emisi karbon meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk.

Meningkatnya aktivitas manusia terutama dalam penggunaan bahan bakar fosil

untuk alat transportasi atau sebagai bahan bakar industri dan pemakaian

bahan-bahan kimia menimbulkan efek negatif terhadap atmosfer dimana meningkatnya

Gas Rumah Kaca (GRK). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pemanasan

global (Global warming) seperti yang sedang terjadi saat ini. Suhu rata-rata

permukaan bumi meningkat dan terjadi penipisan lapisan ozon. Pantulan sinar

matahari dari permukaan bumi tidak menembus awan dan kembali dipantulkan ke

atmosfer sehingga suhu permukaan bumi menjadi naik.

Umat manusia di seluruh dunia semakin resah dan takut melihat perubahan

iklim dunia sekarang ini. Antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2004 emisi

global gas CO2

Keberadaan hutan mampu menyerap dan menyimpan gas-gas emisi karbon

yang sedang terjadi saat ini. Satu hektar hutan tropis Indonesia menurut perkiraan meningkat 28 persen. Akan tetapi pengalaman menunjukkan

bahwa mengurangi penggunaan bahan bakar fosil ternyata prosesnya lambat.

Sehingga perhatian dunia Internasional terhadap perlindungan hutan semakin

intensif. Pada Tahun 1992, sebagian besar Negara-negara maju di dunia sepakat

terhadap dibentuknya suatu lembaga dalam rangka Perubahan Iklim atau

UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).

UNFCCC dirancang untuk memberi batasan-batasan dalam hal emisi gas rumah

(17)

San Afri dalam Hairiah dan Rahayu (2007) sanggup menyerap 150-200 ton

karbon per tahun. Jumlahnya bisa meningkat lebih besar lagi karena belum ada

metode perhitungan yang benar-benar akurat. Karbon-karbon tersebut disimpan di

badan pohon, akar, di atas permukaan tanah serta di dalam tanah (humus).

Hutan juga merupakan sumber daya alam yang multifungsi. Dalam

kaitannya dengan efek pemanasan global, hutan mengurangi kadar CO2 di udara

dan memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Hutan klimaks ada dalam

keseimbangan dinamik yang tidak lagi berfungsi mengurangi kadar CO2. Jika

dilakukan penebangan dengan cara yang benar, misalnya dengan tebang pilih

yang mengikuti aturan, kerusakan yang terjadi adalah minimum, pohon yang di

tempat tebang itu dipicu untuk tumbuh. Nisbah fotosintesis dan respirasi (P/R)

naik sampai tercapai lagi keseimbangan. Oleh karena itu, jika penebangan

dilakukan dengan baik akan menguntungkan dalam usaha penangkalan

pemanasan global.

Dengan menjaga kelestarian dan keabadian hutan akan sangat mengurangi

atau bahkan menyeimbangkan efek GRK. Kita butuh kesabaran dan ketekunan

dalam menjaga hutan yang ada sekarang dan untuk kurun waktu yang lama luas

hutan semakin bertambah baik itu berupa hutan alam, hutan rakyat bahkan hutan

tanaman (Hutan Tanaman Industri dan Agroforestri). Para ilmuan memperkirakan

bahwa kita perlu mengurangi emisi global, gas CO2

Kita bisa belajar dari begitu banyak penelitian tentang tentang pendugaan

biomassa karbon dalam ekosistem hutan. Begitu besarnya potensi hutan dalam sedikitnya 50% dari tingkat

emisi sekarang. Pada tahun 2050 untuk menstabilkan tingkat konsentrasi

(18)

penyerapan dan penyimpanan karbon. Termasuk juga Cagar Alam Martelu Purba

yang terletak di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara ikut memberikan

potensinya. Tetapi perhitungan seberapa besar potensinya di kawasan Cagar Alam

Martelu Purba selama ini belum ada. Oleh sebab itu penulis mencoba untuk

melakukan penelitian perhitungan potensi karbon tersimpan di bagian badan

pohon khusunya untuk pohon jenis Meranti (Shorea spp) yang ada di seluruh

hutan Kawasan Cagar Alam Martelu Purba.

Tujuan Penelitian

Mengetahui cadangan karbon organik berdasarkan kelas diameter batang

dan seberapa besar fiksasi CO2 oleh tegakan meranti.

Kegunaan Penelitian

Penelitian in berguna sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang

membutuhkan khususnya bagi peneliti yang terkait dengan biomassa karbon

tersimpan pada tegakan hutan dan bagi dunia pendidikan , penelitian, masyarakat

umum dan instansi/lembaga terkait dalam pengelolaan sumber daya hutan secara

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan

Hutan adalah lahan yang ditumbuhi pohon cukup rapat sehingga tajuknya

bertaut satu sama lain. Hutan dibedakan atas hutan boreal di bagian utara bumi,

hutan tropika di bagian khatulistiwa dan hutan temperet (temperate) di antara

hutan boreal dan hutan tropis pada daerah dengan curah hujan lebih dari 1.000

mm/tahun. Hutan tropis masih terbagi dua yaitu hutan tropika basah di daerah

yang curah hujannya banyak dan panjang serta hutan tropika kering atau hutan

gugur daun di daerah yang curah hujannya pendek (Sagala, 1994).

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem adalah sangat tepat, mengingat

hutan itu dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing

komponen tidak berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling

mempengaruhi dan saling bergantung. Berkaitan dengan hal tersebut di dalam

UU RI No.41 Tahun 1999 menyatakan hutan adalah kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak

dapat dipisahkan (Indriyanto, 2006).

Jika ditelaah lebih mendalam tentang beberapa pengertian atau defenisi

tentang hutan, maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan erat kaitannya

dengan proses alam yang saling berhubungan. Diantara proses alam yang

dimaksudkan antara lain sebagai berikut (Arief,1994 dalam Indriyanto, 2006):

14. Proses yang berkenaan dengan siklus air dan pengawetan tanah, dan disebut

(20)

15. Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap eksistensi hutan.

16. Proses yang berkaitan dengan kesuburan tanah.

17. Keanekaragaman hayati. Hutan merupakan gudang plasma nuftah (sumber

genetic) dari berbagai jenis tumbuhan (flora) dan binatang (fauna).

18. Kekayaan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan

manusia.

19. Objek wisata alam.

Indonesia memiliki wilayah 750 juta hektar dengan luas daratan 193 juta

hektar (24,7%). Di atas daratan tersebut, terdapat hutan seluas 143,9 juta hektar

(75% dari luas daratan). Wilayah hutan itu sebagian besar berada di Kalimantan,

Sumatera, Irian Jaya bagian timur, dan Jawa yang merupakan tipe hutan tropis.

Sebagian berupa hutan tropis musiman berada di Jawa Timur, Bali, NTB,

Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya bagian selatan. Sebagian kecil dari

hutan tersebut berupa hutan rawa air tawar, yaitu di Sumatera bagian timur,

Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya (Indriyanto, 2008)

Hutan Indonesia termasuk hutan tropika basah di wilayah barat dan hutan

tropika kering di wilayah timur. Hutan tropika basah masih dibedakan atas hutan

bakau, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan dataran rendah, hutan perbukitan

dan hutan pegunungan. Kemudian berdasarkan komposisi jenisnya dibedakan lagi

menjadi hutan eboni, hutan meranti, hutan ramin, hutan rasamala dan lain-lain.

Dibandingkan dengan hutan lainnya, hutan tropika basah Indonesia mengandung

paling banyak jenis mahluk hidup dengan kata lain keanekaragaman hayati paling

(21)

Menurut Vickery (1984) dalam Indriyanto (2006) hutan hujan tropis

merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan

yang terletak pada 10°LU dan 10° LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk

oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun,

rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang

tahun, rata-rata kelembaban udara 80%. Santoso (1996) dan Direktorat Jenderal

Kehutanan (1976) dalam Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa tipe ekosistem

hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut

klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson).

Bentuk Pemanfaatan Kawasan Hutan Konservasi

Ciri dan fungsi hutan konservasi

Jenis-jenis hutan berdasarkan fungsi utamanya, maka hutan di Indonesia

dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu hutan lindung, hutan produksi dan hutan

konservasi. Hal ini diuraikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor

41 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990

yang defenisinya sebagai berikut:

1. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah

banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

kesuburan tanah.

2. Hutan Produksi ialah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

memproduksi hasil hutan. Hasil utama dari hutan produksi berupa kayu,

(22)

bambu, tumbuhan obat, rumput, bunga, buah, biji, kulit kayu, daun, lateks

(getah), resin (damar, kopal, gom, gondorukem dan jernang) dan zat ekstraktif

lainnya berupa minyak.

3. Hutan konservasi ialah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya (Indriyanto, 2008).

Hutan konservasi dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan

fungsinya yaitu:

1. Hutan suaka alam ialah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi

pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan

(UU RI No. 5 tahun 1990 dan UU RI No. 41 Tahun 1999). Selain itu hutan

suaka alam didefenisikan sebagai suatu kawasan hutan karena keadaan dan

sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala, dan keunikan alam bagi

kepentingan pengawetan plasma nuftah, ilmu pengetahuan, wisata dan

pembangunan pada umumnya (Direktorat Bina Program Kehutanan, 1981

dalam Indriyanto, 2008).

2. Hutan pelestarian alam ialah hutan dengan ciri khas tertentu dan mempunyai

fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (UU RI No. 5 tahun 1990 dan UU

(23)

3. Taman buru ialah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru

(UU RI No. 41 Tahun 1999). Di dalam kawasan hutan yang disebut sebagai

taman buru di dalamnya terdapat satwa buru yang memungkinkan

diselenggarakannya perburuan yang teratur untuk kepentingan rekreasi

(Indriyanto, 2008).

Pengelolaan kawasan hutan konservasi

Kriteria penetapan hutan suaka alam dilakukan berdasarkan ketetapan dan

penilaian Menteri Kehutanan. Untuk menjaga agar hutan suaka alam dapat

berfungsi dengan sebaik-baiknya, maka di dalam hutan suaka alam tidak boleh

dilaksanakan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi tersebut.

Penegasan ini tercantum dalam Kepmen Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/1981

tanggal 8 Agustus 1981 (Zain, 1995).

Berdasarkan fungsinya hutan suaka alam terdiri dari;

1. Cagar alam ialah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya yang

mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem

tertentu yang perlu dilindungi dan pengembangannya berlangsung secara

alami.

2. Suaka margasatwa ialah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa

keanekaragaman dan keunikan jenis satwa sehingga untuk kelangsungan

hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

3. Cagar biosfer adalah suatau kawasan yang terdiri atas ekosistem asli, ekosistem

(24)

unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan penelitian dan

pendidikan (Indriyanto, 2008).

Komponen di kawasan pelestarian alam terdiri dari 3 bagian yaitu:

1. Taman Nasional, adalah kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola

dengan sistem zonasi yang dimanfatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

2. Taman Hutan Raya adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau

satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, yang

dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

kebudayaan, budaya, pariwisata dan rekreasi.

3. Taman Wisata Alam adalah kawasan yang terutama dimanfaatkan untuk

kepentingan periwisata dan rekreasi alam (Zain, 1995).

Khusus untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah

berdasarkan UU Konservasi dapat memberikan hak pengusahaan pada zona

kawasan pemanfaatan di Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata

dengan mengikutsertakan rakyat. Kegiatan ditujukan bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat (Zain,1995).

Tanaman Meranti

Ciri umum meranti

Meranti termasuk marga Shorea, famili Dipterocarpaceae. Jumlah

spesiesnya mencapai 130 jenis dan sebagian besar tumbuh secara alami di hutan

Kalimantan dan Sumatera. Dalam perdagangan dikenal jenis meranti kuning,

(25)

Pohon Meranti dapat mencapai tinggi 60 m, bebas cabang 35 m, diameter

1 m. Banir menonjol tetapi tidak terlalu besar. Tajuk lebar, berbentuk payung

dengan ciri berwarna coklat kekuning-kuningan. Kulit coklat keabu-abuan, alur

dangkal, kayu gubal pucat, dan kayu teras merah tua. Daun lonjong sampai bulat

telur, panjang 8 - 14 cm, lebar 3,5 - 4,5 cm. Permukaan daun bagian bawah

bersisik seperti krim, tangkai utama urat daun dikelilingi domatia terutama pada

pohon muda, sedang urat daun tersier rapat seperti tangga. Bunga kecil dengan

mahkota kuning pucat, helai mahkota sempit dan melengkung ke dalam seperti

tangan menggenggam (Irwanto, 2009).

Klasifikasi ilmiah

Kingdom : Plantae

Ordo : Malvales

Family : Dipterocarpaceae

Genus : Shorea

Species : Shorea spp.

Penyebaran

Famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili yaitu Dipterocarpaceae,

Pakaraimoideae dan Monotoideae. Penyebarannya cukup luas mulai dari Afrika,

Seychelles, Srilangka, India, China hingga ke wilayah Asia Tenggara (Burma,

Thailand, Malaysia, Indonesia). Jumlah jenisnya yang sudah tercatat adalah 512

jenis dari 16 genus (Rasyid et al.tahun 1991 dalam Irwanto, 2009).

Sub famili Pakaraimoideae, pertama kali dijumpai di Guyana Selatan pada

(26)

lain Pakaraimoideae. Selanjutnya sub famili terdiri dari dua marga yaitu Monotes

A.Dc. dan Margueria Gilg. Marga Monotes memiliki 36 jenis pohon dan marga

Margueria memiliki jenis pohon yang lebih sedikit. Diantara sub family tersebut

di atas yang terpenting adalah Dipterocarpaceae, karena memiliki jumlah jenis

yang banyak dan diantaranya banyak yang diperdagangkan. Sub famili ini

memiliki 13 genus dan 470 jenis, diantaranya 9 genus terdapat di Indonesia yaitu

Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Vatica, Cotylelobium, Parashorea,

Anisoptera, Upuna. Secara alam jenis-jenis Dipterocarpaceae merupakan hutan

alam campuran dan relatif masih sedikit yang sudah dibudidayakan dalam bentuk

hutan tanaman murni. Penyebaran potensi hutan alamnya di Indonesia merupakan

data sementara, karena belum ada inventarisasi secara menyeluruh (Rasyid et al.

tahun, 1991 dalam Irwanto, 2009).

Tempat tumbuh

Pohon meranti banyak terbesar di kawasan tropis Asia, mulai dari Brunei,

Indonesia (terutama di Kalimantan dan Sumatera), Malaysia (terutama di Sabah

dan Serawak) dengan habitat alami pada ketinggian yang kurang dari 600 meter di

atas permukaan laut. Tanah yang baik untuk pertumbuhan pohon ini adalah liat

alluvial lahan kering pada hutan hutan dataran rendah, meskipun dapat tumbuh

pada tanah yang kadang-kadang atau selalu tergenang air, tanah berbatu, tanah

berpasir, namun kurang baik pada tanah liat berat (Rauf, 2009).

Pohon meranti tumbuh baik pada tipe iklim A dan B di daerah dengan

curah hujan berkisar antara 1000-3000 mm per tahun. Suhu udara optimal yang

(27)

dewasa memerlukan sinar matahari yang cukup, namun pohon muda akan tumbuh

baik di bawah naungan (tegakan) pohon lainnya (Rauf, 2009).

Sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim

basah dan kelembaban tinggi dibawah ketinggian tempat 800 mdpl, yaitu pada

curah hujan di atas 2000 mm per tahun dengan musim kemarau yang pendek.

Pada ketinggian tempat di atas 800 meter di atas permukaan laut (m dpl) sangat

sedikit jumlahnya. Jenis pohon Dipterocarpaceae yang tumbuh sampai ketinggian

1200 m dpl adalah Shorea carapae, Shorea rubra, Vatica hepteroptera.

Kemudian yang tumbuh sampai ketinggian tempat 1500 m dpl, antara lain

Dipterocarpus longisperma, Vatica dulitensis, Shorea monticola, Shorea ovata,

Vatica oblongifolia dan yang tumbuh sampai ketinggian 1800 m dpl. adalah

Shorea platyclados, Shorea venolosa, Hopea cernua, Vatica grenulata (Rasyid

dkk., 1991 dalam Irwanto, 2009).

Adanya asosiasi dengan ekotomikorisa yang memungkinan jenis-jenis

Dipterocarpaceae dapat hidup pada tanah-tanah asam. Jamur ektomikorisa

umumnya berasal dari Basidiomycetes. Temperature tanah optimum yang

dibutuhkan untuk perkembangan ektomikorisa 25,5 – 28,5°C dan diatas 32°C

perkembangan terhambat bahkan diatas 35°C mati (Irwanto, 2009).

Shorea leprosula Miq. merupakan salah satu jenis asli Kalimantan yang

dikenal dengan nama Meranti merah. Di hutan alam jenis ini dapat mencapai

diameter 100 cm dengan tinggi batang bebas dahan 30 m. Kayunya dapat

digunakan untuk berbagai keperluan seperti kayu lapis, kayu gergajian dan bahan

bangunan. Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman meranti merah di berbagai

(28)

Di Kamboja tanaman S. leprosula umur 10 tahun mempunyai rataan diameter

23,8 cm dengan diameter tertinggi mencapai 26,7 cm. Selanjutnya di Malinau

tanaman umur 30 tahun rataan diameternya adalah 35,6 cm dengan diameter

tertinggi mencapai 54,1 cm. Penanaman jenis ini dalam skala besar belum banyak

dilakukan, untuk itu pembangunan hutan tanaman khususnya meranti merah perlu

ditingkatkan guna menunjang industri perkayuan. Disamping itu dengan tingkat

pertumbuhan yang relatif cepat dan pasaran kayu yang sudah terkenal maka

prospek penanaman Shorea leprosula cukup cerah dan cukup menjanjikan

(Irwanto,2009).

Shorea parvifolia sering disebut Meranti Sabut, Meranti Sarang Punai,

Kantoi Burung (Kalimantan Barat); Abang Gunung (Kalimantan Timur).

Penyebarannya Sumatera, Kalimantan, Peninsula Malaysia, Thailand pada hutan

dipterocarps, jenis tanah liat di bawah 800 mdpl. Pohon raksasa tinggi mencapai

65 m; tajuk besar, terbuka, berbatang lurus, silindris, mencapai diameter 200 cm;

banir besar, mencapai tinggi 4 m. Meranti ini dikategorikan dalam jenis meranti

merah bersama-sama dengan Shorea leprosula. Meranti merah terdiri dari pohon

besar dan berbanir besar. Batang merekah atau bersisik, pada umumnya berdamar.

Kulit luar tebal, kulit dalam juga tebal, berurat-urat, warnanya merah atau

kemerah-merahan, gubalnya kuning pucat. isi kayu berwarna merah

(Irwanto, 2009).

Manfaat dan kegunaan

Kayu meranti merupakan kayu berharga dan sangat baik untuk perabot,

(29)

banyak digunakan untuk kontruksi berat atau sedang, untuk kosen, daun pintu dan

jendela, badan kapal dan lain-lain. Pohon meranti juga menghasilkan resin yang

dikenal dengan nama dagang damar daging yang dapat digunakan untuk obat.

Kulitnya dapat dipakai untuk produksi tannin. Ekstrak dari spesies tertentu

diketahui dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan tumor. Selain itu, biji

tengkawang yang dihasilkan dari pohon meranti merupakan salah satu hasil

non-kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Rauf, 2009).

Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon

Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik.

Pergerakannya melalui suatu ekosistem berbarengan dengan pergerakan energi,

melebihi zat kimia lain: karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis, dan CO2

dibebaskan bersama energi selama respirasi. Dalam siklus karbon, proses timbal

balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara

lingkungan atmosfer dan lingkungan terrestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon,

dalam bentuk CO2 dari atmosfer melalui stomata daunnya dan

menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses

fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon

bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO2

Organisme autotrofik yang umunya berupa tumbuhan hijau merupakan

komponen produsen di alam. Produsen menggunakan energi radiasi matahari

dalam proses fotosintesis, sehingga mampu mengasimilasi CO

ke atmosfer

(Widhiastuti dan Aththorick,2006).

2 dan H2O

(30)

kimia inilah sebenarnya merupakan sumber energi yang kaya senyawa karbon.

Dalam proses fotosintesis tersebut, oksigen dikeluarkan oleh tumbuhan hijau

kemudian dimanfaatkan oleh semua mahluk hidup di dalam proses pernapasan

(Indriyanto, 2006).

Hutan adalah sumber daya alam yang multi fungsi. Dalam kaiatannya

dengan efek pemanasan global hutan mengurangi kadar CO2 di udara dan

memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Reboisasi dan penghijaun

membuat tanaman dengan jenis yang tumbuh cepat, penyerapan CO2 akan

berjalan cepat. Karbon yang tersimpan dalam hutan tanaman akan lebih besar

daripada biomassa hutan yang rusak. Dengan demikian hutan tanaman itu akan

membantu dalam penurunan kadar CO2

Pada ekosistem dengan komunitas tumbuhan sempurna dan

keanekaragaman spesies tumbuhannya tinggi, maka produksi karbondioksida baik

oleh aktivitas organisme pengurai, proses respirasi, maupun penggunaan bahan

bakar fosil akan diimbangi oleh proses pengikatan/fiksasi karbondioksida oleh

tumbuhan. Hal demikian menyebabkan ekosistem hutan hujan tropis memiliki

kemampuan yang lebih besar dalam mereduksi pencemaran udara khususnya yang

disebabkan gas karbon di udara. Telah diketahui bahwa meningkatnya kandungan

karbondioksida di udara akan menyebabkan kenaikan suhu bumi yang terjadi

karena efek rumah kaca, panas yang dilepaskan dari bumi diserap oleh

karbondioksida di udara dan dipancarkan kembali ke permukaan bumi, sehingga

proses tersebut akan memanaskan bumi. Oleh karena itu keberadaan ekosistem

(31)

di udara melalui pemanfaatan gas karbondioksida dalam proses fotosintesis oleh

komunitas tumbuhan hutan (Indriyanto,2006).

Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem teretrial yang paling

produktif, dan karena hutan hujan tropis menutupi sebagian besar bumi.

Ekosistem ini menyumbang dalam proporsial besar bagi keseluruhan

produktivitas planet ini (Widhiastuti dan Aththorick, 2006).

Pada setiap ekosistem jumlah karbon tersimpan berbeda-beda, hal ini

disebabkan perbedaan keanekaragaman dan kompleksitas komponen yang

menyusun ekosistem. Kompleksitas ekosistem akan berpengaruh kepada cepat

atau lambatnya siklus karbon yang melalui setiap komponennya. Pada ekosistem

hutan hujan tropis keanekaragaman biota (termasuk spesies tumbuhan) sangat

tinggi, sehingga pengembalian karbon organik ke dalam tanah berjalan dengan

cepat, dan karbon yang tersimpan dalam biomassa tumbuhan lebih besar

dibandingkan dengan ekosistem lainnya (ekosistem hutan iklim sedang, padang

rumput iklim sedang, dan ekosistem gurun). Kemampuan penyimpanan karbon

pada tiap-tiap tipe ekosistem dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kemampuan dalam Menyimpan Karbon dan Distribusinya pada Setiap Ekosistem

Ekosistem

Karbon pada Produksi Primer Bersih (Ton/Ha/Th)

Karbon yang Tersimpan pada Biomassa Tumbuhan

(Ton/Ha/Th)

Karbon Organik Tanah (Ton/Ha/Th)

Hutan hujan tropis Hutan iklim sedang Padang rumput Sumber data: Killham,1996 dalam Indriyanto, 2006.

Hutan tropis memiliki indeks area-daun tinggi karena spesiesnya sangat

banyak dan stratifikasinya, berakibatkan produksi primer bruto yang tinggi

(32)

22 ton per hektar) karena konsumsi respirasi yang tinggi (lebih besar dari 50%)

oleh biomassa yang besar. Hutan tropis menyusun 44% produksi primer total

bumi, sehingga penting bagi keseimbangan CO2 dunia (Rodin et al. tahun 1975 dalam Polunin, 1997). Karena struktur dan produktivitas siklus hara lewat jalur

autotrof dan heterotrof yang dapat dengan mudah diganggu oleh setiap gangguan

manusia pada hutan (Polunin, 1997).

Biomassa Dalam Komunitas Hutan

Biomassa merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula

bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol dan berbagai senyawa lainnya.

Begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang

dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Biomassa inilah yang merupakan

kebutuhan makhluk di atas bumi melalui mata rantai antara binatang dan manusia

dalam proses kebutuhan CO2 yang diikat dan O2

Biomassa atau bahan organik merupakan suatu bagian yang dapat

digunakan sebagai bahan bakar, sebagai sumber energi untuk memasak, dan

memanaskan. Kandungan energi dari selulosa adalah 4.500 kkal/kg (18,8 MJ/kg),

sedangkan kayu adalah 4.200 kkal/kg (17,6 MJ/kg). Kuantitas energi potensial

dari proses fotosintesis yang diserap oleh tumbuhan digunakan untuk membentuk

biomassa. Penggunaan biomassa sebagai bahan bakar akan menghadapi beberapa

kelemahan diantaranya adalah nilai kalor rendah, kelembaban tinggi, BJ rendah, yang dilepas. Di permukaan

bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat dalam hutan

berbentuk pokok kayu, dahan/cabang, daun, akar, dan sampah hutan (serasah),

(33)

dan secara fisik jarang yang homogeni dan tidak padat (White dan Plaskett, 1981

dalam Onrizal, 2004).

Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas

permukaan tanah (above ground biomass) dan di bawah permukaan tanah adalah

(below ground biomass). Lebih lanjut dinyatakan bahwa biomassa di atas

permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu

yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktivitas, umur tegakan, dan

distribusi organik (Kusmana et al, 1992, Kusmana, 1993 dalam Onrizal, 2004).

Hairiah et al., (2001) menyatakan di atas permukaan tanah terdiri atas batang

pohon, cabang, dan daun pada pohon yang masih hidup, tumbuhan menjalar,

tumbuhan pemanjat, tumbuhan bawah serta tumbuhan epifit termasuk juga

serasah. Bagian pohon yang berasal dari pohon komersial umumnya terdiri dari

batang pohon (60-65%), tajuk (5%), daun dan cabang (10-15%), tunggak (5-10%)

dan akar (5%). Kayu memiliki komposisi sebagai berikut selulosa (50%),

hemiselulosa (20%) dan lignin (30%) (White dan Piaskett, 1981 dalam Onrizal,

2004).

Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya

sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang

tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan

pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas merupakan gambaran kemampuan

hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atsmosfer melalui aktivitas fisiologisnya.

Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa

(34)

penyerapan CO2 biomassa dalam umur tertentu yang dapat dipergunakan untuk

mengestimasi produktivitas hutan (Heriansyah, 2005).

Ada dua golongan tumbuhan utama yang membedakan efisiensi

masing-masing dalam pembentukan karbohidrat, ialah golongan C3 termasuk jenis tumbuhan yang tidak efisien dan golongan C4 termasuk yang efisien. Tumbuhan efisien merupakan tumbuhan yang mempunyai kapasitas fotosintesis tinggi, dan

sebaliknya tumbuhan non-efisien mempunyai kemampuan berfotosintesis dengan

laju rendah. Golongan tumbuhan efisien mempunyai kemampuan mengambil CO2

mengikat pada intensitas cahaya yang tinggi. Kapasitas berfotosintesisnya

menyerap CO2

Kelompok komponen vegetasi

pada suhu berkisar 30-40°C, dan kemampuan akan menurun bila

suhu berkisar di bawah 15-20°C (Sutarno dan Sudibyo, 1997).

Di dalam suatu ekosistem hutan pada umumnya terjadi distribusi vertikal

dari produktivitas primer bersih, hal itu berhubungan dengan terjadinya distribusi

vertikal dari biomassanya. Data distribusi biomassa dan produktivitas primer

bersih pada setiap kelompok komponen vegetasi yang menyusun ekosistem hutan

disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2. Biomassa dan Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kelompok Komponen Vegetasi yang Menyusun Ekositem Hutan

Biomassa (g/m2

Produktivitas Primer Bersih (g/m

) 2

Pohon (bagian batang dan tajuk) Perdu (bagian batang dan tajuk) Semak dan herba (bagian batang dan tajuk)

Pohon (bagian akar) Perdu (akar)

Semak dan herba (bagian akar)

/tahun)

(35)

Piramida biomassa menggambarkan penurunan dan peningkatan biomassa

organisme pada tiap tahap tingkatan trofik. Piramida biomassa pada ekosistem

daratan dan ekosistem perairan terjadi perbedaan bentuk. Pada ekosistem daratan,

piramida biomassanya tegak. Pada ekosistem daratan memiliki jumlah produsen

yang lebih banyak dibandingkan jumlah organisme konsumen pada tiap tingkat

trofik, dan siklus hidup organisme produsen pada umumnya lebih panjang, maka

biomassa semua produsen pada setiap waktu selalu lebih besar, sedangkan

biomassa konsumen makin kecil menuju ke puncak piramida. Adapun pada

ekosistem perairan memiliki piramida biomassa terbalik karena biomassa

(36)

Tabel 3. Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Beberapa Tegakan

No Lokasi Umur

(Tahun)

Biomassa

(Ton/Ha) Sumber Data

1 Biomassa Pada Acasia Mangium

- BKPH Parung Panjang

Prov. Jawa Barat

- HTI WKS Seri Tapa, Prov.

Jambi

- RPH Maribaya Prov. Jawa

Barat

- Madang, PNG

- MHP, Prov. Sumatera

Selatan

Dahlan dkk (2005)

Ardiansyah et al (2004) dalam Dahlan dkk (2005) Heriansyah et al (2003) dalam Dahlan dkk (2005)

Yanada et al. (2003) dalam Dahlan dkk (2005)

Hardiyanto et al (2000) dalam Dahlan dkk (2005)

2 Biomassa Tegakan di RPH Somagede, BKPH Karang Anyar, KPH Kedu Selatan

- Pinus

- Damar 126,28

21,6

Sukresno, et al. (2004) Sukresno, et al. (2004)

3 Cadangan Karbon Tersimpan pada Pohon Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara kecamatan Lumban julu kabupaten Toba samosir

- 95,82 Bakri (2009)

4 Biomassa dan Karbon Tegakan

Hutan Kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat

(37)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Cagar Alam Martelu Purba

Cagar Alam Martelu Purba merupakan Kawasan Cagar Alam yang

termuda di Propinsi Sumatera Utara. Menurut Sagala (1994) jenis meranti di

kawasan Cagar Alam ini ditananm mulai dari tahun 1948 sampai tahun 1952.

Status kawasan ini sebelumnya adalah Kawasan Hutan Lindung Martelu Purba,

yang kemudian tanggal 8 Juli 1916 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri

Pertanian No. 9232/Kpts/Um/1982 tanggal 27 Desember 1982. Akhirnya

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 471/Kpts-II/1993 tanggal 2

September 1993, statusnya dialih fungsikan menjadi kawasan Cagar Alam

Martelu Purba dengan luas sekitar 195 Ha. Kawasan ini secara administratif

pemerintahan terletak di Desa Tiga Runggu Kecamatan Purba Kabupaten

Simalungun (Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, 2010).

Letak Geografis

Cagar Alam Martelu Purba secara administratif terletak di Desa Purba

Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungan,

Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan letak geografis, Cagar Alam Martelu Purba

terletak pada koordinat 2°53’ - 2°54’ LU dan 98°43’ BT. Kawasan Cagar Alam

Martelu Purba terletak pada ketingian s/d 1.320 m dpl. Berdasarkan letak DAS

(Daerah Aliran Sungai) maka Cagar Alam Martelu Purba terletak di dalam

(38)

Gambar 1. Peta Kawasan Cagar Alam Martelu Purba

Luas Adsministrasi

Berdasarkan SK Menhut No. 471/Kpts-II/1993, tentang perubahan fungsi

Kawasan Hutan Lindung Martelu Purba menjadi Cagar Alam Martelu Purba,

Cagar Alam Martelu Purba ditetapkan seluas 195 Ha (Kementrian Kehutanan

Republik Indonesia, 2010).

Potensi Kawasan

Potensi wisata kawasan hutan Cagar Alam Martelu Purba ini berada di tepi

jalan raya, bahkan dibelah jalan, sehingga pengunjung dapat mengamati

pepohonan yang tumbuh. Meskipun Cagar Alam Martelu Purba dulunya

merupakan hutan tanaman, namun sekarang ini telah tumbuh berbagai jenis

tumbuhan alam, beberapa jenis diantaranya merupakan pepohonan. Pada bagian

utara kawasan, tanda-tanda hutan tanaman sudah tidak jelas lagi karena hampir

(39)

Cagar Alam Martelu Purba merupakan aset seumur hidup bagi kelangsungan

hidup masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Martelu Purba.

Cagar Alam Martelu Purba merupakan cagar alam yang unik karena

sebenarnya istilah alam di sini kurang cocok, karena hutan yang ada disini

bukanlah alam tetapi merupakan hutan buatan hasil tanaman reboisasi. Seluruh

luas kawasan hutan ini ditanami dengan jenis meranti (Shorea sp). Tegakan

meranti tersebut saat ini telah mencapai tinggi pohon 25 m dengan diameter

batang sekitar 60 cm, tegakan ini memiliki formasi umur yang sama. Kawasan

hutan ini berada di tepi jalan raya, bahkan dibelah jalan, sehingga bila kita

menggunakan kendaraan dari dalam mobil sudah dapat mengamati pepohonan

yang tumbuh. Karena hutan ini sejenis dan seumur, maka dari jauh nampak

pemandangan yang indah dengan tajuk merata (Kementrian Kehutanan Republik

Indonesia, 2010).

Dalam menjaga kawasan ini petugas kehutanan baik Sub Seksi KSDA

Simalungun maupun dari Cabang Dinas telah memiliki kantor yang berada di tepi

kawasan. Jenis fauna yang ada dalam kawasan ini antara lain Harimau (Panthera

tigris) meskipun populasinya sangat jarang namun daerah ini merupakan home

range. Satwa yang lain seperti Kambing hutan, Babi Hutan, Beruang (Helarctos

malayanus), burung-burung seperti burung murai, perkutut, pergam dan

sebagainya. Kawasan ini sangat berpotensi dalam pengembangan penelitian

bidang kehutanan, ekologi, serta untuk mempelajari pepohonan (Arboretum)

(40)

Aksesibilitas

Aksesibilitas menuju Cagar Alam Martelu Purba cukup baik dan lancar

karena terletak pada jalur lintas kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Karo,

serta Dairi. Lokasi dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum

maupun kendaraan pribadi. Untuk mencapai Cagar Alam Martelu Purba dapat

ditempuh melalui jalan darat dengan rute antara lain:

1. Medan → Pematang Siantar → Tiga Runggu/Purba Tongah (Kawasan). Waktu

tempuh sekitar 4 jam dengan jarak ±140 km.

2. Medan → Kabanjahe → Merek → Seribu Dolok → Tiga Runggu/Purba

Tongah (Kawasan). Waktu tempuh sekitar 4 jam dengan jarak ±175 km

(41)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Martelu Purba, Desa Purba

Tongah, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara dan di Laboratorium Teknologi

Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Agustus

2010 sampai dengan Mei 2011.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan meranti

sebagai objek yang akan diamati.

Dan alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

6. Geographic Position System (GPS) untuk menentukan titik/posisi jalur

pengamatan.

7. Pita ukur (meteran) berukuran 50 m.

8. Tali rafia berukuran panjang 100 m dan 20 m untuk pembuatan plot.

9. Tongkat kayu/bambu sepanjang 1.3 m untuk memberi tanda pada pohon yang

akan diukur diameternya (dbh).

10.Parang atau gunting tanaman untuk memotong spesimen (daun dan ranting

atau cabang).

11.Spidol warna biru atau hitam untuk penanda diameter batang dan spesimen.

12.Alat pengukur tinggi pohon (Clinometer).

13.Kompas untuk menentukan arah transek.

14.Tali pita untuk penanda plot.

(42)

16.Oven untuk mengeringkan objek yang akan diamati sesuai dengan suhu yang

akan digunakan.

17.Kantong plastik untuk meletakan spesimen.

18.Tally sheet untuk mencatat data penelitian.

19.Alat tulis untuk mencatat data penelitian.

20.Kalkulator untuk menghitung data.

21.Kamera digital untuk dokumentasi di lapangan.

22.Program SPSS dan Microsoft Exel untuk mengolah data.

Metode Penelitian

Penentuan blok pengamatan

Penentuan blok pengamatan dengan menggunakan GPS yaitu untuk

mengetahui posisi dan arah blok pengamatan. Pelaksanaan penelitian ini

dilakukan dengan metode jalur dengan teknik pengambilan sampel adalah

purposive sampling.

Jalur pengamatan

Jalur pengamatan dibagi menjadi tiga blok pengamatan yaitu diletakkan

pada lokasi yang berbeda secara sistematik pada lokasi penelitian. Jarak setiap

blok pengamatan adalah sejauh 300 m. Setiap blok pengamatan terdiri dari tiga

(3) kali ulangan jalur pengamatan (plot) seluas 20 m x 100 m. Dengan jarak

anatara plot pengamatan sejauh 100 m untuk masing-masing blok. Pada setiap

(43)

20 m

Gambar 2 . Lay Out Blok Pengamatan Keterangan :

(44)

Proses pengambilan bahan dan data

Dalam setiap plot dilakukan pengamatan terhadap pohon berdiameter 10

cm ke atas (10 cm up). Hasil pengamatan diameter dibagi menjadi 3 (tiga) kelas

diameter yaitu 10 cm - 30 cm, 30 cm -50 cm dan 50 cm ke atas. Parameter yang

diamati meliputi jumlah individu pada tiap plot, diameter batang setinggi dada

(dbh = diameter at breast height = 1,3 m dari permukaan tanah) dan tinggi total

pohon.

Pada setiap pohon dilakukan pengukuran diameter (dbh) dengan

menggunakan pita ukur, sehingga diperoleh data keliling untuk penggunaan pita

ukur (Keliling batang (K) = πD), kemudian data primer akan diperoleh dengan

rumus : Diameter = Kπ-1

a. Pohon pada lahan berlereng, letakkan ujung tongkat 1.3 m pada lereng bagian

atas.

sedangkan pada pengukuran tinggi dengan menggunakan

clinometer.

Untuk menentukan ketinggian pengukuran dbh pada batang pohon yang

tidak beraturan bentuknya menurut Simon (2007) dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

b. Pohon bercabang sebelum ketinggian 1.3 m, maka ukurclah dbh semua cabang

yang ada.

c. Bila ketinggian 1.3 m terdapat benjolan, maka lakukanlah pengukuran dbh

pada 0.5 setelah benjolan.

d. Bila pada ketinggian 1.3 m terdapat banir (batas akar papan) maka dilakukan

(45)

Keterangan diatas sebagai berikut:

Gambar

3. Cara Pengukuran dbh Pohon Tidak Beraturan.

Analisis Data

Diukur berat jenis (ρ) dari masing-masing kelas diameter pohon dengan

jalan memotong kayu dari salah satu cabang sebanyak 3 (tiga) kali ulangan,

kemudian diuku r panjang, diameter dan ditimbang berat basahnya (digunakan

rata-rata dari 3 kali ulangan). Dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1000C selama 48 jam dan ditimbang berat keringnya. Hal ini sesuai dengan panduan

buku Hairiah dan Rahayu (2007). Untuk volume dan berat jenis kayu dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Volume (cm3) = π R2 T Dimana:

R = Jari-jari potongan kayu = ½ x Diameter (cm)

T = Panjang kayu (cm)

Berat Jenis (g cm-3) = Berat Kering (g) / Volume (cm3).

Data yang telah diperoleh dari kegiatan pengukuran di lapangan diolah

untuk mendapatkan biomasa dengan menggunakan persamaan alometrik yang

telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya yaitu Katterings (2001) dalam

(46)

Biomasa pohon

Biomassa (BK) = 0.11ρD2.62 Keterangan:

BK : Berat kering

ρ : Berat jenis pohon

D : Diameter batang (cm)

Mengingat tingkat validasi hubungan alometrik antara karbon (C) dengan

diameter (D) pohon setara dengan hubungan alometrik C dengan D dan tinggi (H)

pohon, maupun dengan D2H, maka pendugaan kandungan karbon bagian pohon di atas tanah cukup dengan hanya menggunakan diameter pohon atau dalam arti kata

C= a D b

Biomasa pohon per hektar

. Sealain praktis, pendugaan kandungan karbon dengan hanya

menggunakan diameter pohon juga benar ilmiah.

Biomasa pohon per blok

Maka untuk estimasi karbon tersimpan pada tegakan pohon dihitung

dengan memperkirakan bahwa konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya

sekitar 46%, oleh karena itu estimasi karbon tersimpan per hektar dapat dihitung

dengan formulasi yang dikembangkan oleh Hairiah dan Rahayu (2007 ) sebagai

(47)

Karbon tersimpan = Biomasa pohon per hektar x 0.46

Fiksasi karbondioksida (CO2)

(48)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi Tanaman

Pohon dikelompokkan menjadi tiga (3) kelas diameter yaitu kelas diameter

10 – 30 cm, 30 – 50 cm dan 50 cm ke atas. Kerapatan kelas diameter 50 cm ke

atas paling tinggi mencapai 97 pohon/ha (49,57%), kemudian diikuti oleh kelas

diameter 30 - 50 cm yaitu 72 pohon/ha (36,75%) dan terendah kelas diameter 10

– 30 cm sebanyak 27 pohon/ha (13,67 %). Dari distribusi diameter ini diketahui

bahwa kerapatan pohon meningkat secara eksponensial dari kelas diameter kecil

ke kelas diameter besar. Hal ini berarti bahwa Cagar Alam Martelu Purba lebih

didominasi oleh pohon pada kelas diameter 50 cm ke atas dibandingkan kelas

diameter 30 – 50 cm dan 10 - 30 cm, karena tegakan meranti di Cagar Alam

Martelu Purba merupakan tegakan seumur yang hingga saat ini sudah mencapai

umur 58 tahun.

(49)

Biomassa Pohon

Persamaan alometrik biomassa dibangun untuk melakukan penaksiran

besar biomassa bagian atas permukaan tanah total. Persamaan tersebut

menyatakan hubungan antara biomassa dengan dimensi tegakan Meranti seperti

diameter batang, tinggi total dan berat jenis. Dalam penelitian ini digunakan

rumus alometrik yang sudah dibangun oleh peneliti sebelumnya yaitu persamaan

BK = 0.11ρD2.62. Persamaan ini adalah persamaan yang dibuat oleh Katterings et

al. tahun 2001 dalam Hairiah dan Rahayu (2007). Persamaan ini dibentuk pada

penelitian yang dilakukan di Hutan Campuran Sekunder Sepunggur, Muara

Bungo Provinsi Jambi (Katterings, et al, 2001). Persamaan ini umum digunakan

dalam pendugaan biomassa pohon khususnya untuk daerah ekosistem hutan tropis

di Indonesia.

Dari persamaan alometrik yang digunakan pada studi ini maka persamaan

linear Ŷ = a ± bX yang dapat dibentuk untuk seluruh kelas diameter adalah Ŷ

= -1291,15 + 104,93X. Untuk kelas diameter 10 – 30 cm adalah Ŷ =

-218,76 + 19X, kelas diameter 30 – 50 cm adalah Ŷ = -1394,43 + 57,83X dan

kelas diameter 50 cm ke atas adalah Ŷ = -7125,89 + 171,08X. Peubah terikat Ŷ

sama dengan biomassa per pohon dan peubah bebas X sama dengan diameter.

Dari persamaan linear ini kita dapat mengetahui besarnya biomassa pada setiap

individu dengan menggunakan data diameter batang. Data diameter dimasukkan

ke dalam persamaan linear sehingga akan diperoleh nilai biomassa. Penggunaan

persamaan ini hanya cocok digunakan untuk kawasan Cagar Alam Martelu Purba

saja, karena untuk lokasi atau daerah lain akan diperoleh persamaan linear yang

(50)

Hasil perhitungan biomassa pohon dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Total Biomassa Tegakan Meranti di Cagar Alam Martelu Purba

Kelas

Diameter Persamaan Linear

R Biomassa

Total 5.570,04 483,768 94.334,83

Pada kelas diameter 10 – 30 cm biomassanya 8,29 ton/ha, kelas diameter

30 – 50 cm biomassanya 61,72 ton/ha dan biomassa tertinggi terdapat pada kelas

diameter 50 cm ke atas yaitu mencapai 413,76 ton/ha. Perbedaan biomassa ini

pada vegetasi pohon dipengaruhi oleh diameter dan tinggi. Semakin besar

diameter maka potensi karbon tersimpan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat

dari biomassa per pohon untuk ketiga kelas diameter yaitu untuk kelas diameter

10 – 30 cm biomassa rata-ratanya hanya 210,62 kg/pohon dan meningkat pada

kelas diameter 30 – 50 cm yaitu 951,68 kg/pohon. Dan biomassa rata-rata per

pohon tertinggi pada kelas diameter 50 cm ke atas yaitu 4.407,74 kg/pohon.

Rahayu et al. tahun 2007 dalam Bakri (2009) menyatakan bahwa suatu

sistempenggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai

nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan

dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah.

Kerapatan pohon untuk kelas diameter 50 cm ke atas paling tinggi di Cagar Alam

Martelu Purba dibandingkan kelas diameter 10 – 30 cm dan 30 – 50 cm. Hal ini

(51)

distribusi diameter dominan berada pada satu kelas diameter. Cagar Alam Martelu

Purba ditanam sejak tahun 1948 dan terakhir penanaman pada tahun 1952. Jadi

rata-rata umur tanaman hingga sekarang adalah 58 Tahun.

Berdasarkan persamaan alometrik yang digunakan, maka biomassa

tegakan meranti dapat dihitung. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa total

biomassa untuk seluruh kawasan Cagar Alam Martelu Purba dengan luas 195 ha

mencapai 94.334,83 ton. Dengan nilai biomassa tertinggi terdapat pada kelas

diameter 50 cm ke atas dan nilai biomassa terkecil terdapat pada kelas diameter

10 – 30 cm.

Kandungan Karbon Pohon

Hasil perhitungan kandungan karbon dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Total Karbon Tersimpan Pada Tegakan Meranti di Cagar Alam Martelu Purba

Kelas Diameter Karbon Tersimpan (ton/ha) Total Karbon Tersimpan

Kawasan Cagar Alam (ton)

10 - 30 cm 3,82 743,88

30 – 50 cm 28,39 5.535,87

50 cm ke atas 190,32 37.114,27

Total 222,53 43.394,02

Sebagian besar karbon tersimpan pada kelas diameter 50 cm ke atas yaitu

37.114,27 ton C (85%), diikuti oleh kelas diameter 30-50 cm yaitu 5.535,87 ton C

(13%) dan hanya sebagian kecil pada kelas diameter 10-30 cm (2%). Total karbon

tersimpan untuk seluruh kawasan Cagar Alam Martelu Purba mencapai 43.394,02

(52)

744

Gambar 5. Total Karbon Tersimpan Kawasan Cagar Alam Martelu Purba

Nilai karbon tersimpan menyatakan banyaknya karbon yang mampu

diserap oleh tumbuhan dan disimpan dalam bentuk biomassa. Jumlah emisi

karbon yang semakin meningkat pada saat ini harus diimbangi dengan jumlah

serapannya oleh tumbuhan guna menghindari pemanasan global. Dengan

demikian dapat diramalkan berapa banyak tumbuhan yang harus ditanam pada

suatu lahan untuk mengimbangi jumlah gas emisi karbon yang terbebas di udara.

Pada setiap ekosistem jumlah karbon tersimpan berbeda-beda, hal ini

disebabkan perbedaan keanekaragaman dan kompleksitas komponen yang

menyusun ekosistem. Kompleksitas ekosistem akan berpengaruh kepada cepat

atau lambatnya siklus karbon yang melalui setiap komponennya. Jumlah karbon

tersimpan di Cagar Alam Martelu Purba sedikit lebih kecil dibandingkan dengan

cadangan karbon terimpan di Hutan Primer Kecamatan Sebuku dan Sembakung

Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur yang vegetasi pohonnya 40 %

didominasi oleh famili Dipterocarpaceae seperti keruing (Dipterocarpus sp.),

meranti (Shorea sp.) dan kayu kapur (Dryobalanops sp.) (Rahayu et al., 2004).

(53)

tinggi dibandingkan dengan cadangan karbon untuk kawasan Cagar Alam Martelu

Purba yaitu 222,53 ton C/ha.

Tabel 6. Total Fiksasi Karbondioksida (CO2

Kelas Diameter

) Di Cagar Alam Martelu Purba

Fiksasi Karbondioksida (CO2

Total Fiksasi Karbondioksida (CO )

(ton/ha)

2

10 – 30 cm

) Di Cagar Alam Martelu Purba

(ton)

14,00 2.730,05

30 – 50 cm 104,19 20.316,62

50 cm ke atas 698,49 136.209,37

Total 816,70 159.256,05

Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO2 dari atmosfer melalui

stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya

sendiri melalui proses fotosintesis (Widhiastuti dan Aththorick, 2006). Jumlah

karbon yang tersimpan pada tegakan meranti di Cagar Alam Martelu Purba adalah

sebesar 222,53 ton C/ha. Mirbach (2000) dalam Onrizal (2004) menyatakan

bahwa setiap 1 ton karbon (C) yang terdapat pada tegakan mengartikan bahwa

tegakan telah memfiksasi 3,67 ton karbondioksida (CO2). Sehingga untuk kelas

diameter 10 – 30 cm sudah mefiksasi CO2 sebesar 14,00 ton CO2/ha, kelas

diameter 30 – 50 cm sebesar 104,19 ton CO2/ha dan paling tinggi diserap oleh

kelas diameter 50 cm ke atas sebesar 698,49 ton CO2/ha. Untuk semua kelas

diameter total fiksasi karbondioksidanya mencapai 816,70 ton CO2/ha. Nilai ini

jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan fiksasi karbondioksida tegakan Pinus

(Pinus merkusii) yaitu 301,96 ton CO2/ha dan Ekaliptus (Eucalyptus spp) sebesar

283,54 ton CO2/ha (Sembiring, 2010). Hal ini dipengaruhi karena umur tegakan

(54)

tahun. Untuk keseluruhan kawasan Cagar Alam Martelu Purba yang luasnya

mencapai 195 ha mampu menyerap 159.256,05 ton CO2.

Sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim

basah dan kelembaban tinggi dibawah ketinggian tempat 800 meter di atas

permukaan laut (m dpl), yaitu pada curah hujan diatas 2000 mm per tahun dengan

musim kemarau yang pendek. Pada ketinggian tempat di atas 800 m dpl, sangat

sedikit jumlahnya (Rasyid et al. tahun 1991 dalam Irwanto, 2009). Jadi akan lebih

besar serapan karbon oleh tegakan meranti di hutan dataran rendah yang memiliki

riap pertumbuhan dan kerapan lebih tinggi dibandingkan pada daerah diatas 800

m dpl termasuk Cagar Alam Martelu Purba yang berada pada ketinggian ±1335 m

(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tegakan meranti (Shorea spp) mampu menyimpan karbon sebesar 222,53

ton C/ha atau sudah memfiksasi CO2 sebesar 816,70 ton CO2/ha hingga saat ini.

Sebagian besar terdapat pada kelas diameter 50 cm ke atas (85%) bila

dibandingkan dengan kelas diameter 30 – 50 cm (13 %) dan kelas diameter 10 –

30 cm (2%). Banyak faktor yang mempengaruhi simpanan karbon pada suatu

tegakan atau kawasan diantaranya adalah kerapatan pohon, umur, diameter dan

tinggi pohon.

Saran

Cagar Alam Martelu Purba dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk

proyek pengurangan emisi sehingga perlu dilakukan perhitungan nilai

perdagangan karbonnya sebagai penambah devisa negara dari sektor pelestarian

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C. 2007. Persamaan Alometrik Biomassa Dan Faktor Expansi Biomassa Vegetasi Hutan Sekunder Bekas Kebakaran Di PT Inhutani I Batu Ampar Kalimantan Timur. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.

Bakri, 2009. Analisis vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon tersimpan pada Pohon di Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir.

Dahlan , Jaya, I. S. dan Istomo. 2005. Estimasi Karbon Tegakan Acacia Mangium Wild Menggunakan Citra Landsat ETM+ Dan SPOT-5; studi Kasus di

BKPH Parung Panjang KPH Bogor.

2009].

Djajoesman. 1982. Salinan Laporan Hasil Penelitian Riap Pertumbuhan Tumbuhan Meranti (Shorea spp.) Di Hutan Purba Tongah. Balai Penelitian Kehutanan Sumatera Utara Aek Nauli Sumatera Utara.

Hairiah, K., SM. Sitompul, M. Van Noorwijk, dan C. Palm. 1999. Methods For Sampling Carbon Stoks Above And Below Ground. ICRAF South asian regional reseach program. Bogor.

Hairiah, K. dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya. Bogor.

Heriansyah, I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri Dalam Mensequester Karbon. Studi kasus di hutan tanaman akasia dan pinus. Buletin inovasi 17

(3): 43-46. http:/

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwanto, 2009. Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai

Shorea sp Dipersemaian.

(57)

Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, 2010. Cagar Alam Martelu Purba.

[25 Januari 2011].

Onrizal. 2004. Model pendugaan dan karbon tegakan hutan kerangas di taman nasional danau sentarum, Kalimantan barat. Tesis Pascasarjana. IPB. Bogor.

Polunin, N. 1997. Ekosistem dan Penerapannya, Polu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Rahayu, S., B. Lusiana dan M. van Noordwijk. 2004. Cadangan Karbon Di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Monitoring Dan Pemodelan.

Rauf, A. 2009. Profil Arboretum USU 2006-2008. USU Press. Medan.

Ruspandi, 2007. Pengelolaan Hutan “Back To Basic” ; Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi IV. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Sagala, P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sembiring, I. 2010. Pendugaan Karbon Tersimpan Pada Tegakan Pinus (Pinus

merkusii) dan Ekaliptus (Eucalyptus spp) Di Taman Hutan Raya Bukit

Barisan Kabupaten Karo. Skripsi. USU. Medan.

Simon, H. 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Belajar. Yogyakarta.

Sukresno, T.M. Basuki, R. Nugroho. 2004. Informasi Teknis Stok Karbon Organik Dalam Tegakan Pinus merkusii, Agathis loranthifolia Dan Tanah. Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta. Surakarta.

Sutarno, H. dan Sudibyo. 1997. Pengenalan Pemberdayaan Pohon Hutan. PROSEA Indonesia:Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan,Bogor.

Wibowo, S. 2006. Rehabilitasi Hutan Pasca Operasi Illegal Logging. Penerbit Wana Aksara. Tanggerang.

Widhiastuti, R. dan A. Aththorick. 2006. Ekologi Tumbuhan; Buku Ajar. Departemen Biologi FMIPA USU. Medan.

Wikipedia. 2009. Klasifikasi Shorea sp.

(58)
(59)

Lampiran 1. Faktor Fisik Lingkungan

Faktor Fisik-Kimia Keterangan / Nilai

Topografi Datar hingga berombak

(kemiringan s/d 8%)

Jenis tanah Podsolik Coklat dan Kelabu

dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi vulkanik

Kisaran pH Tanah Lapisan A - Lapisan B 5,83 – 6,83 (rata-rata 6,38)

Tipe Iklim B

Rata-rata Curah Hujan setahun

Rata-rata hari hujan setahun

2.585 mm

168 hari

Rata-rata suhu maksimum

Rata-rata suhu minimum

24,1 °C

16,5 °C

(60)

Lampiran 2. Berat Jenis (ρ) Meranti (Shorea spp ) pada Kelas Diameter 10 – 30

Rata-Rata 0.489

Lampiran 3. Berat Jenis (ρ) Meranti (Shorea spp ) pada Kelas Diameter 30 - 50

Rata-Rata 0.506

Lampiran 4. Berat Jenis (ρ) Meranti (Shorea spp ) pada Kelas Diameter 50 cm ke

(61)

4.743 2.372 10.000 176.594 107.200 0.607

4.644 2.322 10.300 174.378 97.400 0.559

Jumlah 5.498

(62)

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Biomassa Total Meranti Kelas Diameter 10 – 30

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 648,492

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 3242,46

Plot 2

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 2.059,479

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 10.297,400

(63)

4 40.0 12,7 12.3 0,489 41,922

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 7.715,251

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 38.576,250

Total Biomassa Per Hektar (ton/ha) 17,370

Blok II/Plot 1

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 308,350

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 1.541,750

Plot 2

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 1.339,228

(64)

Plot 3

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 1.037,156

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 5.185,780

Total Biomassa Per Hektar (ton/ha) 4,475

Blok III/ Plot 1

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 1.263,241

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 6.316,210

Plot 2

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 421,852

(65)

Plot 3

No Keliling (cm)

Diameter (cm)

Tinggi (m)

Berat Jenis (g/cm3

BK/ Biomassa )

1 57.0 18,2 15.3 0,489 107,612

2 34.0 10,8 12,0 0,489 27,419

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 135,030

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 675,150

(66)

Lampiran 6. Hasil Perhitungan Biomassa Total Meranti Kelas Diameter 30 – 50

Total Biomassa Pohon Per Plot (kg) 19.573,172

Biomassa Pohon Per Hektar (kg/ha) 97.865,860

Gambar

Tabel 2. Biomassa dan Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kelompok Komponen Vegetasi yang Menyusun Ekositem Hutan Biomassa Produktivitas Primer
Tabel 3. Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Beberapa Tegakan
Gambar 1. Peta Kawasan Cagar Alam Martelu Purba
Gambar 2 . Lay Out Blok Pengamatan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan potensi karbon tersimpan pada tegakan di hutan kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman

Penelitian ini untuk mengetahui komposisi jenis tegakan dan potensi karbon tersimpan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara

Tema yang dipilih dalam penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 ini ialah karbon, dengan judul Potensi Simpanan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung cadangan karbon tersimpan pada tegakan Gmelina arborea (Jati Putih), Tectona grandis (Jati), dan Alstonia

YUNUS THAMRIN HUTAGAOL: Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Agroforestri Karet (Hevea brasiliensis) di Desa Marjanji Asih, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun..

Perbedaan jumlah karbon tersimpan pada Casuarina equisetifolia L di Pantai Tenggara Cina dengan tegakan Casuarina equisetifolia L di kedua lokasi penelitian ini

KEPLER DOPLER PURBA : Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) Pada Tegakan Sawit ( Elaeis guineensis Jacq.) Di Kabupaten Langkat.. Dibimbing oleh RAHMAWATY

Pengukuran biomassa pohon Shorea leprosula dilakukan melalui pengukuran diameter pada tegakan yang berumur 6, 8 dan 10 tahun lalu dikonversikan dengan memakai alometrik 0,067D2,859