POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN DI TAMAN
HUTAN RAYA BUKIT BARISAN KABUPATEN KARO
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
SERINGENA BR KARO
087004011/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
S
E K
O L
A
H
P A
S C
A S A R JA N
POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN DI TAMAN
HUTAN RAYA BUKIT BARISAN KABUPATEN KARO
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SERINGENA BR KARO
087004011/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN DI TAMAN HUTAN RAYA BUKIT BARISAN
KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA
UTARA
Nama Mahasiswa : Seringena Br Karo Nomor Pokok : 087004011
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D) Ketua
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Ir A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal: 10 Februari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc 3. Dr. Delvian, SP. M.Si
POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN DI TAMAN HUTAN RAYA BUKIT BARISAN KABUPATEN KARO
PROVINSI SUMATERA UTARA
Seringena Br Karo, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc
ABSTRAK
Penelitian ini untuk mengetahui komposisi jenis tegakan dan potensi karbon tersimpan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara telah dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2010. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode kuadrat. Ukuran plot 20 m x 100 m sebanyak 20 plot, yang di dalamnya masing-masing terdapat 5 sub plot pengamatan berukuran 20 m x 20 m.
Plot pengamatan 20 m x 20 m untuk pohon (diameter > 30 cm), plot 10 m x 10 m untuk tiang (diameter 10 – 30 cm) dan plot 5 m x 5 m untuk pancang (diameter < 10 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 59 jenis pada tingkat pohon, 55 jenis pada tingkat tiang dan 77 jenis pada tingkat pancang. Jenis yang dominan adalah Pinus mercusii dengan nilai INP 68,7 untuk tingkat pohon, untuk tingkat tiang didominasi oleh Lithocharpus ewyckii dengan nilai INP 70,5 dan untuk tingkat pancang didominasi oleh Eugenia sp dengan nilai INP 20,8. Kandungan karbon tersimpan pada tegakan pada plot pengamatan adalah 485,01 ton/ha dan kandungan karbon tersimpan tegakan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara adalah 9.605.623 ton.
THE POTENCY OF STORED CARBON FOUND ON STAND OF NATIONAL PARK BUKIT BARISAN KARO DISTRICT,
NORTH SUMATRA PROVINCE
Seringena Br Karo, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS and Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc
ABSTRACT
A study of the composition of stand type and stored carbon content in the Bukit Barisan National Park, Karo District, the Province of North Sumatera has been conducted from May until July 2010. The data were collected through square method, with the plot size of 20 m x 100 m for 20 plots. Each plot has 5 sub-plots (20 m x 20 m) for observation of tree (diameter > 30 cm). Plot (10 m x 10 m) inside of sub-plot was for observation of pole (diameter 10 – 30 cm) and the smallest plot (5 m x 5 m) was for sapling (diameter < 10 cm). The result of this study showed that, there are 59 species of tree level, 55 species of pole level, and 77 species of sapling level. The dominant tree species are Pinus mercusii with INP of 68.7 at tree level, Lithocharpus ewyckii with INP of 70.5 at pole level, and Eugenia sp with INP of 20.8 at sapling level. The stored carbon content of stand a studied plots are 485.01 tons/ha and the total of stored carbon content in the Bukit Barisan National Park, Karo District, Province of North Sumatera are 9,605,623 tons.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Potensi
Karbon Tersimpan pada Tegakan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten
Karo Provinsi Sumatera Utara”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D, Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti,
M.Si dan Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, yang telah membimbing saya
dalam penulisan tesis ini.
2. Bapak Dr. Delvian, SP. M.Si dan Bapak Dr. Budi Utomo, SP. MP., selaku
Penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan tesis
ini.
3. Kepada orang tua dan anak saya Boy Chandra Ginting, Erika Susanti Ginting
yang dengan sabar memberi dorongan dan doa selama pendidikan.
4. Saudara Mahya dan kawan-kawan yang telah membantu penulis ke lapangan dan
mengidentifikasi pohon selama penelitian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu dengan segala senang hati penulis menerima kritik dan saran yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Medan, Februari 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabanjahe Kabupaten Tanah Karo pada tanggal 13 April
1960. Penulis merupakan anak pertama dari 5 bersaudara dari Bapak B.N. Karo-karo
Kaban (Alm) dan ibu J. Br. Sembiring, Menikah dengan Drs. Jani Ginting (Alm) pada
tanggal 25 Maret 1989 yang dikaruniai dua orang anak yaitu Boy Chandra Ginting
dan Erika Susanti Ginting.
Pada tahun 1979 penulis lulus dari SMA Negeri Tigabinanga, pada tahun
yang sama penulis diterima pada Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK
(Penelusuran Minat dan Kemampuan) dan lulus pada tahun 1984. Pada tahun 2008
penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains pada Program Studi PSL
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada tahun 1985 - 1987 penulis bekerja sebagai Dosen Yayasan Universitas
Darma Agung Medan dan tahun 1987 sampai saat ini bekerja sebagai Staf Pengajar
Kopertis Wilayah I Medan dpk Universitas Karo Kabanjahe yang sekarang berubah
DAFTAR ISI
2. Biomassa dan Karbon dalam Komunitas Taman Hutan Raya ... 7
3. Peranan Hutan Sebagai Penyerap Karbon ... 9
4. Peranan Hutan Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan ... 11
5. Perubahan Iklim ... 13
6. Komposisi Tegakan Hutan ... 15
7. Analisis Vegetasi ... 18
8. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 20
III METODE PENELITIAN ... 23
1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 23
2. Alat dan Bahan ... 23
3. Pelaksanaan Penelitian ... 24
3.1.Di Lapangan ... 24
3.2.Di Laboratorium ... 25
4. Analisis Data ... 25
4.1. Analisis Vegetasi ... 25
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
1. Kekayaan Jenis Tegakan ... 28
2. Dominasi Jenis Tegakan ... 35
3. Karbon Tersimpan pada Tegakan... 40
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
1. Kesimpulan ... 45
2. Saran ... 45
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Daftar Jumlah Jenis dan Famili di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara ... 28
2. Daftar Jumlah Jenis Tegakan di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara ... 29
3. Daftar Jumlah Famili Tegakan di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara ... 32
4. Indeks Nilai Penting Beberapa Jenis Dominan yang Ditemui di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera
Utara ... 36
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Kerangka Berpikir Penelitian ... 4
2. Peta Tahura Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Transek Pengukuran Vegetasi Hutan ... 51
2. Dominansi Jenis pada Tingkat Pertumbuhan Pohon yang Ditemukan di TAHURA Bukit Barisan Kab. Karo Provinsi
Sumatera Utara... 52
3. Dominansi Jenis pada Tingkat Pertumbuhan Tiang yang Ditemukan di TAHURA Bukit Barisan Kab. Karo Provinsi
Sumatera Utara……… 54
4. Dominansi Jenis pada Tingkat Pertumbuhan Pancang yang
Ditemukan di Tahura Bukit Barisan Kab. Karo Provinsi Sumatera Utara... 55
5. Daftar Biomassa dan Karbon Tersimpan pada Tingkat
Pertumbuhan Pohon ... 56
6. Daftar Biomassa dan Karbon Tersimpan pada Tingkat
Pertumbuhan Tiang ... 75
7. Daftar Biomassa dan Karbon Tersimpan pada Tingkat
Pertumbuhan Pancang ... ... 83
POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN DI TAMAN HUTAN RAYA BUKIT BARISAN KABUPATEN KARO
PROVINSI SUMATERA UTARA
Seringena Br Karo, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc
ABSTRAK
Penelitian ini untuk mengetahui komposisi jenis tegakan dan potensi karbon tersimpan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara telah dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2010. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode kuadrat. Ukuran plot 20 m x 100 m sebanyak 20 plot, yang di dalamnya masing-masing terdapat 5 sub plot pengamatan berukuran 20 m x 20 m.
Plot pengamatan 20 m x 20 m untuk pohon (diameter > 30 cm), plot 10 m x 10 m untuk tiang (diameter 10 – 30 cm) dan plot 5 m x 5 m untuk pancang (diameter < 10 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 59 jenis pada tingkat pohon, 55 jenis pada tingkat tiang dan 77 jenis pada tingkat pancang. Jenis yang dominan adalah Pinus mercusii dengan nilai INP 68,7 untuk tingkat pohon, untuk tingkat tiang didominasi oleh Lithocharpus ewyckii dengan nilai INP 70,5 dan untuk tingkat pancang didominasi oleh Eugenia sp dengan nilai INP 20,8. Kandungan karbon tersimpan pada tegakan pada plot pengamatan adalah 485,01 ton/ha dan kandungan karbon tersimpan tegakan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara adalah 9.605.623 ton.
THE POTENCY OF STORED CARBON FOUND ON STAND OF NATIONAL PARK BUKIT BARISAN KARO DISTRICT,
NORTH SUMATRA PROVINCE
Seringena Br Karo, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS and Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc
ABSTRACT
A study of the composition of stand type and stored carbon content in the Bukit Barisan National Park, Karo District, the Province of North Sumatera has been conducted from May until July 2010. The data were collected through square method, with the plot size of 20 m x 100 m for 20 plots. Each plot has 5 sub-plots (20 m x 20 m) for observation of tree (diameter > 30 cm). Plot (10 m x 10 m) inside of sub-plot was for observation of pole (diameter 10 – 30 cm) and the smallest plot (5 m x 5 m) was for sapling (diameter < 10 cm). The result of this study showed that, there are 59 species of tree level, 55 species of pole level, and 77 species of sapling level. The dominant tree species are Pinus mercusii with INP of 68.7 at tree level, Lithocharpus ewyckii with INP of 70.5 at pole level, and Eugenia sp with INP of 20.8 at sapling level. The stored carbon content of stand a studied plots are 485.01 tons/ha and the total of stored carbon content in the Bukit Barisan National Park, Karo District, Province of North Sumatera are 9,605,623 tons.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Beberapa aktivitas manusia menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK)
semakin meningkat dan menyebabkan suhu permukaan bumi semakin panas sehingga
terjadilah perubahan iklim (global warming). Emisi dari kendaraan bermotor dan
aktivitas industri yang menggunakan bahan bakar fosil sumber utama karbon dioksida
(CO2). Gas ini merupakan salah satu GRK yang memiliki pengaruh sangat besar
terhadap terjadinya perubahan iklim (Departemen Kehutanan, 2007).
Perubahan iklim yang sedang terjadi pada akhir-akhir ini semakin
mengkhawatirkan dan tidak dapat dihindari. Apabila dibiarkan akan semakin
mengancam terhadap keberadaan semua makhluk yang hidup di muka bumi ini, tanpa
terkecuali manusia. Oleh karena itu harus dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi
untuk mempersiapkan diri dan hidup dengan berbagai perubahan akibat perubahan
iklim, baik yang telah terjadi maupun mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi.
Menurut Hairiah dan Rahayu (2007) perubahan iklim global yang terjadi
akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi
dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan
karbondioksida (CO2), metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O) yang lebih dikenal
dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK diatmosfir meningkat
sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat. Salah satu cara untuk
mempertahankan keberadaan hutan, karena hutan diyakini mampu menyimpan
karbon dalam jumlah yang cukup banyak.
Melalui proses fotosintesa CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah
menjadi karbohidrat, kemudian ditransfer ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun
dalam tubuh tanaman hidup (biomassa). Dalam suatu area yang diasumsikan sebagai
hutan dapat menggambarkan banyaknya tanaman hidup (biomassa) guna
menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman. Tanaman
atau pohon yang berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun
merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan karbon. Oleh karena itu hutan atau
kebun/taman yang jenis pepohonannya berumur panjang merupakan gudang
penyimpanan karbon.
Hutan mengabsorbsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpan sebagai
materi organik dalam biomassa hutan per unit luas merupakan pokok dari
produktivitas hutan. Pengukuran produktivitas hutan dalam konteks studi ini relevan
dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam
menduga besarnya potensi penyerapan CO2, sebab menurut Brown (1997) lebih
kurang 50% dari biomassa merupakan karbon.
Selama ini, potensi pohon hanya dihitung berdasarkan besarnya volume kayu
batang pohon yang dapat dimanfaatkan untuk industri-industri pengolahan kayu yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Ternyata tidak hanya batang, bagian-bagian pohon
yang lain seperti cabang, ranting dan daun mempunyai peran besar dalam menyimpan
Kabupten Karo memiliki wilayah seluas 212.725 Ha, termasuk Taman Hutan
Raya (Tahura) Bukit Barisan seluas 19.805 Ha (BPS, 2009). Hutan ini memiliki
berbagai manfaat misalnya kebutuhan air, oksigen, kenyamanan, keindahan,
penyerapan karbon, pangan dan obat-obatan. Potensi hutan berupa keanekaragaman
hayati dan kandungan karbon tersimpan perlu dikaji. Salah satunya adalah dengan
mengukur karbon tersimpan pada tegakan. Keterangan yang diperoleh diharapkan
dapat menjadi dasar dalam membantu tindakan yang tepat sehingga tujuan
pengelolaan hutan yang lestari dapat tercapai.
Berdasarkan hal tersebut maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian
tentang potensi karbon tersimpan pada tegakan di Taman Hutan Raya Kabupaten
Karo Provinsi Sumatera Utara.
2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana komposisi jenis tegakan hutan di Taman Hutan Raya (TAHURA)
Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.
b. Berapa besaran biomassa dan potensi simpanan karbon pada tegakan hutan
taman hutan raya (TAHURA) Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi
Tegakan Hutan Tahura Bukit Barisan Kab. Karo Provinsi Sumatera Utara
Vegetasi Tegakan Hutan Tanaman Pohon
Diameter dan Tinggi Pohon
Kandungan Total Karbon 3. Kerangka Pemikiran
Alur pemikiran di dalam melakukan penelitian ini merujuk pada bagan alur
berikut:
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Biomassa Tegakan
4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui komposisi jenis tegakan hutan di TAHURA Bukit Barisan
Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.
b. Untuk mengetahui potensi karbon yang tersimpan di TAHURA Bukit Barisan
Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.
5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai bahan informasi bagi para
pengambil keputusan untuk perbaikan dan pengembangan TAHURA Bukit Barisan
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Hutan
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41
Tahun 1999). Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh
pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat
di wilayah-wilayah yang luas di dunia ini dan berfungsi sebagai penampungan karbon
dioksida, habitat hewan dan pelestarian tanah yang merupakan salah satu aspek
biosfer bumi yang paling penting. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar
di seluruh dunia dan merupakan suatu kumpulan tumbuhan, terutama pepohonan atau
tumbuhan berkayu lainnya, yang menempati daerah cukup luas yaitu dijumpai
di daerah tropis maupun daerah sub tropis dan daerah beriklim dingin (Ensiklopedia,
2010).
Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut
FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton
biomassa, jauh lebih tinggi dari negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20%
biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar
Menurut Marit (2008), hutan dipandang sebagai suatu ekosistem dikarenakan
hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan pembentuk hutan, binatang liar dan
lingkungannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan sangat erat
kaitannya, serta tidak dapat dipisahkan karena saling bergantung antara satu dengan
yang lainnya.
Fungsi hutan adalah (1) Sebagai proses siklus air dan pengawetan tanah;
(2) Sebagai pengendali iklim; (3) Perlu dalam proses kesuburan tanah; (4) Tempat
keanekaragaman hayati; (5) Sebagai kekayaan sumberdaya alam; (6) Sebagai objek
wisata (Marit, 2008). Sedangkan menurut Ahira (2010) mengatakan bahwa fungsi
hutan adalah: (1) Menghasilkan oksigen bagi kehidupan; (2) Menyerap karbon
dioksida; (3) Mencegah erosi; (4) Sebagai kawasan lindung dan pariwisata.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1978) hutan adalah masyarakat
tumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan
lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap (Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 70/Kpts –
II/2001).
2. Biomassa dan Karbon dalam Komunitas Taman Hutan Raya
Biomassa adalah jumlah organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan)
persatuan unit area suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti
berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit
satuan biomassa adalah gr per m2 atau ton per ha (Brown, 1997). Menurut PP RI
Nomor 150 Tahun 2000 dan Siradz (2006), menyatakan bahwa biomassa adalah
tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan
akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan
hutan tanaman. Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses foto
sintetik, baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain tanaman,
pepohonan, rumput (Guntoro, 2008).
Whitmore (1985), menulis bahwa berat kering total dari suatu komunitas
tumbuhan, termasuk daun, cabang, batang dan akar disebut biomassa tumbuhan.
Berat kering tersebut meningkat oleh proses fiksasi dari atmosfer dalam fotosintesis.
Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas
permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah
(bellow ground biomass). Lebih lanjut dikatakan bahwa biomassa di atas permukaan
tanah adalah berat bahan unsur organik per unit area yang ada dalam beberapa
komponen ekosistem pada waktu tertentu (Indrawan, 1999). Hairiah et al., (2001)
menyatakan biomassa di atas permukaan tanah terdiri dari batang pohon, cabang dan
daun pada pohon yang masih hidup, tumbuhan menjalar, tumbuhan pemanjat,
tumbuhan bawah epifit termasuk juga serasah.
Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan, sejarah
perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan, kondisi iklim setempat
tanaman dipengaruhi oleh umur tanaman, tingkat kesuburan tanah atau habitat tempat
tumbuhan dan jarak tanam atau kerapatan (Hadi, 2007).
Penanaman pohon menghasilkan absorbsi CO2 dari udara dan menyimpan
karbon, sampai karbon dilepaskan kembali akibat vegetasi tersebut busuk atau
dibakar. Hal ini disebabkan karena pada hutan yang dikelola dan ditanam akan
menyebabkan terjadinya penyerapan karbon dari atmosfir, kemudian sebahagian kecil
biomassanya dipanen dan atau masuk ke kondisi masak tebang atau mengalami
pembusukan (IPCC, 1995).
3. Peranan Hutan Sebagai Penyerap Karbon
Peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi
dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan
suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya
pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca
(GRK) di atmosfer di mana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi
berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas (Wahyu, 2010).
Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 di mana dengan
bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu
menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara
lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi
makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai
dengan “net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada pada fase
pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan
pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak menyerap CO2
berlebih. Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan
akan semakin banyak semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi
pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu
menyerap kelebihan CO2 di atmosfer (Adinugroho, et al, 2009).
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun
di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan
C (rosot C=C sink) yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena
itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah
yang banyak merupakan gudang penyimpanan karbon tertinggi (baik di atas maupun
di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat resprasi dan
dekomposisi serasah, namun pelaksanaannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar
bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila
hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan maka jumlah
karbon yang tersimpan akan merosot (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Hairiah dan Rahayu (2007), juga menyatakan bahwa jumlah karbon tersimpan
antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang
ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan karbon suatu lahan
menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain
jumlah karbon tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT). Untuk itu
pengukuran banyaknya karbon yang ditimbun dalam setiap lahan perlu dilakukan.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa cadangan karbon di Hutan Taman
Wisata Alam Taman Eden sebanyak 95.82 ton/Ha. Sehingga pada Taman Wisata
Alam Taman Eden yang memiliki luas 40 Ha didapat jumlah karbon tersimpan
sebesar 3832.8 ton (Bakri, 2009). Menurut Agustina (2009) keberadaan pohon pada
ruang terbuka hijau di Taman Beringin yang berlokasi di Jalan Sudirman Medan
memiliki kemampuan menyimpan karbon sebesar 348.755,69 kg.
4. Peranan Hutan sebagai Penyedia Jasa Lingkungan
Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan
hutan makin marak terjadi di mana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman
kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya
terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai nilai fungsi ekologis. Badan
planologi Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang
masih berhutan atau masih ditutupi pepohonan di pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya
tinggal 4% saja. Kawasan ini sebagian besar merupakan tangkapan air pada daerah
aliran sungai (DAS). Akibat dari kejadian ini tidak saja hilangnya suatu kawasan
hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia dalam berbagai aspek misal
kebutuhan akan air, oksigen, kenyamanan, keindahan (wisata), penghasilan (hasil
hutan non kayu), penyerapan karbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan
Saat ini di dunia Internasional telah berkembang trend baru melalui
perdagangan karbon (CO2). Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto
Protocol bahwa negara-negara penghasil emesi karbon harus menurunkan tingkat
emisinya dengan menerapkan tekhnologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada
negara-negara yang memiliki potensi sumber daya alam untuk mampu menyerap
emisi karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas
hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi karbon
dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi bila hutan yang ada dijaga
kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan
serta melakukan kawasan hutan yang rusak dengan cara penghutanan kembali
(Waryono, 2002).
Hutan pinus di Indonesia sebagai salah salah satu hutan tanaman yang
memiliki nilai ekonomi strategis dan persebarannya yang cukup luas saat ini
diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya.
Nilai ekonomi hutan pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai
getah dan kayunya saja, sudah saat dilakukan upaya penghitungan manfaat hutan
sebagai penyedia jasa lingkungan yang diharapkan mampu memberikan nilai
ekonomi lebih tinggi dengan berbagai kemampuannya dalam menyediakan sumber
daya air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam dan satwa
5. Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau
keragaman iklim dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain sebagai akibat dari
aktivitas manusia (Peraturan Presiden RI No. 46 Tahun 2008).
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang terjadi akibat terjadinya
pemanasan global karena meningkatnya kosentrasi gas rumah kaca di atmosfir
sehingga suhu rata-rata di permukaan bumi meningkat. Perubahan iklim tersebut
ditandai dengan mencairnya es di daerah kutub, naiknya permukaan laut serta
berubahnya pola curah hujan sehingga memberikan dampak yang sangat besar bagi
seluruh makhluk hidup di berbagai belahan dunia (Susandi, 2008).
Di Indonesia kontribusi terbesar terhadap semakin meningkatnya konsentrasi
GRK adalah tingginya laju kerusakan hutan termasuk perubahan tata guna lahannya.
Selain itu kontribusi lainnya terhadap meningkatnya konsentrasi GRK adalah
pemanfaatan (seperti batu bara), minyak bumi dan gas alam, praktek pengelolaan
pertanian dan pembakaran hutan untuk lahan pertanian/perladangan dan perkebunan
serta meningkatnya sampah terutama di perkotaan yang merupakan limbah rumah
tangga dan industri (Kurniawan, 2007).
Dampak perubahan iklim di mana suhu rata-rata di permukaan bumi semakin
meningkat menyebabkan es di daerah kutub utara dan daerah selatan mencair
sehingga terjadinya kenaikan permukaan air laut. Kondisi ini akan mengancam
kehidupan masyarakat pesisir pantai di Indonesia dan akan menenggelamkan ribuan
negara lainnya tidak melakukan upaya apapun untuk mengurangi emisi GRK, maka
diperkirakan tahun 2070, akan terjadi kenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm.
Jika permukaan pantai landai, maka garis pantai akan mundur dari 60 cm kearah
barat. Hal ini diperkirakan akan mengancam tempat tinggal ribuan bahkan jutaan
penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Tahun 2070 diperkirakan sebanyak 800 ribu
rumah ditepi pantai harus dipindahkan atau diperbaiki (Kurniawan, 2007).
Perubahan iklim akan mempengaruhi hasil panen yang kemungkinan besar
akan berkurang disebabkan oleh semakin keringnya lahan akibat musim kemarau
yang lebih panjang. Pada skala yang ekstrim, berkurangnya hasil panen dapat
mengancam ketahanan pangan. Selain itu, kebutuhan irigasi pertanian juga akan
semakin meningkat, namun di saat yang sama terjadi kekurangan air bersih karena
mencairnya es di kutub yang menyebabkan berkurangnya cadangan air bersih dunia.
Hal ini dapat berujung pada kegagalan panen berkepanjangan yang juga
menyebabkan pasokan pangan menjadi semakin tidak pasti (Maulidia, 2010).
Dampak lainnya dari perubahan iklim tersebut di Indonesia adalah
meningkatnya frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah.
Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare,
gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan
berbagai serangga dan hewan. Pemanasan global juga memicu meningkatnya kasus
penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Faktor iklim berpengaruh
penyakit malaria dan demam berdarah ini terus meningkat dalam 10 tahun terakhir,
seperti beberapa kasus terakhir di berbagai daerah di Indonesia (Kurniawan, 2007).
Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut diantaranya
adalah:
1. Semakin banyak penyakit (tifus, malaria, demam).
2. Meningkatnya frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir,
kekeringan, badai tropis).
3. Mengancam ketersediaan air.
4. Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan.
5. Menurunkan produktivitas pertanian.
6. Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan.
7. Mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati.
8. Kenaikan muka laut menyebabkan banjir permanen (Susandi et al, 2008).
6. Komposisi Tegakan Hutan
Masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam arti luas disebut vegetasi. Satuan
vegetasi hutan yang tersebar (Major vegetation unit) adalah formasi hutan. Untuk
daerah tropika perbedaan antara formasi-formasi hutan dapat bertolak dari perbedaan
iklim, fisiognomi (struktur) hutan, perbedaan habitat terutama tanah dan letak tinggi,
dan sejarah perkembangannya (Soerianegara dan Indrawan, 1978).
Biasanya, suatu asosiasi hutan menempati wilayah yang luas. Bagian dari
pohonnya disebut asosiasi konkrit. Asosiasi-asosiasi hutan yang berlainan
komposisinya tetapi memiliki fisiognomi yang bersamaan digolongkan ke dalam satu
formasi hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1978).
Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan
di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok
tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Mueller and
Ellenberg, 1974).
Menurut Kershaw (1964) dalam Bako (2009), struktur vegetasi terdiri dari 3
komponen, yaitu:
1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram frofil
yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun
vegetasi.
2. Sebaran, horisontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu
individu terhadap individu lain.
3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Hutan hujan tropika terkenal karena stratifikasinya, ini berarti bahwa populasi
campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu.
Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi
hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi yang
dalam kehidupan dan pencarian makanannya tampak terbatas (Whitmore, 1975).
Selanjutnya Kershaw (1964) dalam Bako (2009), menyatakan stratifikasi
pohon-pohon yang tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon
yang berada di bawahnya atau yang berukuran sedang), lapisan D (lapisan semak dan
belukar) dan lapisan E (merupakan lantai hutan). Struktur suatu masyarakat tumbuhan
pada hutan hujan tropika basah dapat dilihat dari gambaran umum stratifikasi
pohon-pohon perdu dan herba tanah.
Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan
dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis- jenis lain ditentukan
berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas
bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara, 1996).
Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal.
jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya
jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran
yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan
jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis,
makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Dominasi suatu jenis
merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis terhadap komunitas
(Soerianegara, 1996).
Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka
daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah.
Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas/memiliki
kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis
komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah individu tiap jenis pada komunitas
tersebut. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan
variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan
kelimpahan relatif dari setiap jenis (Soerianegara, 1996).
Pulau Sumatera dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati yang
memiliki kawasan hutan dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi. Hutan
Alam Rimbo Panti di Sumatera Barat dengan luas 3400 ha termasuk salah satu
kawasan hutan yang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan mempunyai tipe
vegetasi cukup beragam.
7. Analisis Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme
kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik antara sesama individu
penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan
suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono dan Surachman, 1990).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai
keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi
di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan
sesuatu sistem yang dinamis. Selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis)
dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam ekologi
hutan satuan yang diselidiki adalah suatu tegakan, yang merupakan asosiasi konkrit.
Analisa vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi
atau masyarakat tumbuh-tumbuhan:
I. Mempelajari tegakan hutan, yaitu tingkat pohon dan permudaannya,
II. Mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah,
adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali
permudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang dan vegetasi semak belukar
(Soeranegara dan Indrawan, 1978).
Supaya data penelitian yang akan diperoleh bersifat valid, maka sebelum
melakukan penelitian dengan metoda sampling kita harus menentukan terlebih dahulu
tentang metode sampling yang akan digunakan, jumlah, ukuran dan peletakan
satuan-satuan unit contoh. Pemilihan metode sampling yang akan digunakan bergantung
pada keadaan morfologi jenis tumbuhan dan penyebarannya, tujuan penelitian dan
biaya serta tenaga yang tersedia (Kusmana, 1997).
Untuk mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan
petak-petak pengamatan yang sifatnya permanen atau sementara. Soerianegara (1974)
mengatakan bahwa petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda
ataupun berbentuk jalur atau dengan metode tanpa petak. Untuk mempelajari suatu
digunakan cara jalur atau tansek. Cara ini paling efektif untuk mempelajari perubahan
keadaan tanah, topografi (Soerianegara dan Indrawan, 1978).
Petak ukur jalur pada umumnya cukup panjang, mencapai 5 km atau lebih.
Untuk memudahkan pencatatan data, petak ukur dibagi-bagi kedalam satuan (100 m).
Dalam perkembangan berikutnya, pengukuran tidak dilakukan pada seluruh jalur
melainkan diseling. Hal ini dilandasi dugaan bahwa cara pengukuran
selang-seling akan mengurangi waktu pengukuran, tetapi kecermatan samplingnya tidak
banyak berpengaruh. Pada mulanya panjang jalur 100 m dan lebar 20 m, kemudian
panjang semakin berkurang sampai menjadi bentuk bujur sangkar. Bentuk petak ukur
persegi panjang maupun bujur sangkar merupakan penyederhanaan bentuk petak ukur
jalur (Simon, 1993).
8. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
berdasarkan Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November 1988
seluas 19.805 Ha. Secara geografis terletak pada koordinat 30 6' 00''- 30 16'48''
Lintang Utara dan 98 0 13'12'' – 98 0 36' 36'' Bujur Timur (Gambar 2). Secara
administratif, Tahura Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
memiliki batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Tobasa.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara.
Keadaan lapangan umumnya terjal sampai ke puncak gunung dan sebagian
kecil bergelombang atua landai. Elevasi lapangan berkisar antara 400 – 2.451 meter
dari permukaan laut. Wilayah ini merupakan Daerah Hulu Sungai (DAS) yang utama
yang bermuara ke Pantai Timur Sumatera Utara, seperti Sungai Ular, Sungai Wampu,
Sungai Bingei, Sungai Belawan dan Sungai Deli (Andayani, 2005).
Sebagian besar tanahnya terdiri dari litosol, podsolik, regosol dan yang
lainnya jenis andosol coklat. Curah hujan berkisar antara 1.500 – 4.000 mm/tahun.
III. METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Mei 2010 sampai Juli 2010
di Taman Hutan Raya (TAHURA) Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera
Utara.
Berdasarkan pengamatan di lapangan pada umumnya memiliki topografi
bergelombang sampai dengan curam, sebagian bergelombang sedang dan ringan,
dengan ketinggian 1400 mdpl. Vegetasi yang biasanya dijumpai adalah Pinus
merkusii, Altingia excelsa, Castnopsis sp, Lithocarpus sp, Ficus sp (Andayani, 2005).
2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran kain/pita ukur,
alat tulis (papan ujian, pinsil 2B, format data), buku catatan lapangan, parang, gunting
tanaman, lakban, alat ukur faktor fisik lapangan adalah termometer air raksa, kamera
digital (dokumentasi), Global Posision System (GPS), kertas koran, kertas karton,
Ranges Finder, kompas, bambu sepanjang 1,3 m.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%,
kantung plastik berukuran 40 x 60 cm dan bagian-bagian tumbuhan hasil koleksi pada
3. Pelaksanaan Penelitian 3.1. Di Lapangan
Lokasi penelitian ditetapkan dengan metode Purposive Sampling with random
start. Metode ini merupakan metode penentuan lokasi penelitian secara sengaja yang
dianggap representatif. Pengambilan data pada lokasi penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode kuadrat (Kusmana, 1997) yaitu suatu teknik analisis vegetasi
dengan menggunakan plot atau petak contoh pada umumnya berbentuk segi empat
atau persegi. Kemudian dibuat petak-petak contoh dengan ukuran 100 x 20 m
sebanyak 20 plot, yang di dalamnya masing-masing terdapat 5 sub plot pengamatan
yang berukuran 20 x 20 m sehingga keseluruhan terdapat 100 sub plot pengamatan.
Jarak antar plot 100 m. Plot pengamatan berukuran 20 x 20 m untuk pohon dengan
diameter > 30 cm, plot dengan ukuran 10 x 10 m untuk jenis tiang dengan diameter
10-30 cm, dan plot dengan ukuran 5 x 5 m untuk jenis pancang dengan diameter < 10
cm dan tinggi pohon lebih dari 1,5 m. Pada setiap plot dilakukan pengamatan seluruh
pohon, tiang dan pancang dengan mengukur diameter batang, tinggi pohon dicatat
jenis dan jumlah jenis (jalur pengamatan pada Lampiran 1). Setiap tumbuhan yang
ditemukan dikoleksi dan dicatat ciri-ciri morfologinya. Kemudian dilakukan
pengawetan spesimen, untuk spesimen kering yaitu spesimen dibungkus dengan
kertas koran dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi alkohol 70%.
Udara dalam kantong plastik dikeluarkan kemudian ditutup dengan lakban.
diidentifikasi di Fakultas MIPA Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara
Medan.
3.2. Di Laboratorium
Spesimen yang berasal dari lapangan dikeringkan dengan menggunakan oven
dengan suhu 60oC selama 48 jam kemudian selanjutnya diidentifikasi dengan
menggunakan buku-buku acuan seperti:
Latihan Mengenal Pohon Hutan: Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis (Sutarno &
Soedarsono, 1997).
1. Flora Pegunungan Jawa (Hamzah, 2006).
2. Flora Malesiana Volume 5 (Van Steenis).
3. Flora Malesiana, Series 1 Volume 6 (Van Steenis, 1960-1972).
4. Flora Malesiana, Series 1 Volume 8 (Van Steenis, 1974-1978).
5. Colletion of Illustrated Tropical Plant (Corner, 1969).
6. Tree Flora of Malaya (Phill, 1978).
7. Tree Flora of Malaya (Whitmore, 1972).
8. Tree Flora of Malaya (Whitmore, 1973).
4. Analisis Data 4.1. Analisis Vegetasi
Keanekaragaman hayati akan dianalisis secara taksonomi dan ekologi.
Analisis Taksonomi akan mendeskripsi dan mentabulasikan setiap jenis vegetasi yang
menganalisis komposisi jenis dan struktur vegetasi. Komposisi jenis dilakukan
dengan menganalisis parameter yang mengacu pada Indriyanto (2006), yaitu:
a. Kerapatan
4.2. Analisis Potensi Karbon Tersimpan (Carbon Sink)
Potensi karbon tersimpan ditentukan berdasarkan kandungan biomassa
vegetasi dilakukan secara non-destruktif dengan menggunakan model Allometrik
2007). Biomassa vegetasi dihitung dengan persamaan W = 0,11 D2,62 untuk pohon
bercabang, W =
HD2/40 untuk pohon tidak bercabang, di mana W = biomassa, D= Diameter pohon H = tinggi pohon,
= berat jenis kayu, = 3,14 (Kettering, 2001).Cara menetapkan berat jenis (BJ) kayu dari masing-masing jenis pohon
dengan jalan memotong kayu dari salah satu cabang, lalu diukur panjang, diameter
dan timbang berat basahnya. Masukkan dalam oven pada suhu 100o C selama 48 jam
dan timbang berat keringnya. Volume dan BJ kayu dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Volume (cm3) = R2 T
Di mana:
R = Jari-jari potongan kayu = ½ x Diameter (cm)
T = Panjang kayu (cm)
BJ (g cm-3) =
Bagi tanaman yang tidak dapat diambil sampelnya maka berat jenisnya
diambil dari buku yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian (1983) tentang
jenis-jenis pohon disusun berdasarkan nama daerah dan nama botaninya. Berat kering(g)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kekayaan Jenis Tegakan
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada 20 plot penelitian dengan luas 4 Ha,
tercatat 50.105 individu yang terdiri dari 705 pohon, 5880 tiang dan 43.520 pancang.
Jumlah jenis dan famili tegakan di hutan Taman Hutan Raya Bukit Barisan
Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar Jumlah Jenis dan Famili di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
Uraian Pohon Tiang Pancang
Jumlah Jenis 59 55 77
Jumlah Famili 29 25 34
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada tingkat pohon terdapat 59 jenis dan 29
famili, pada tingkat pertumbuhan tiang terdapat 55 jenis dan 25 famili sedangkan
pada tingkat pertumbuhan pancang terdapat 77 jenis dan 34 famili. Jenis yang paling
banyak terdapat pada pancang. Hal ini disebabkan karena adanya pelaksanaan
penanaman di areal TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera
Lanjutan Tabel 2
23 Moraceae + + +
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pertumbuhan tiang dan pancang
terganggu karena jenis-jenis tiang dan pancang bersaing dengan jenis lainnya dalam
kompetisi memperebutkan unsur-unsur pendukung kehidupan dalam ekosistem hutan.
Hal ini dapat terjadi karena dalam ekosistem hutan terjadi persaingan hidup antar
jenis sedemikian tingginya sehingga hanya beberapa jenis yang mampu untuk
menjadi penguasa.
Jenis pohon yang tidak memiliki permudaan pada tingkat tiang dan pancang
terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
a. Biji pohon hutan secara umum bersifat rekalsitran sehingga saat biji jatuh ke
lantai hutan, bila tidak segera berkecambah akan membusuk/mati oleh tingginya
kandungan air.
b. Kondisi lingkungan yang kompleks, seperti kemiringan tanah yang berbeda dan
kandungan batuan yang tinggi menyebabkan biji yang jatuh di tempat yang
berbatu tidak dapat tumbuh, dan karena kemiringan biji dapat terlempar jauh dari
pohon induk. Tingginya kandungan serasah dan tumbuhan bawah yang
membentuk lapisan tersendiri di atas permukaan tanah sehingga biji yang jatuh
tidak menyentuh tanah, namun berada di atas serasah dan atau tajuk tumbuhan
bawah sehingga tidak dapat tumbuh.
c. Beberapa jenis pohon klimaks yang ada sangat jarang berbuah sehingga produksi
biji yang dihasilkan untuk membentuk semai lebih terbatas.
d. Beberapa biji jenis pohon hutan tertentu disukai satwa.
Jenis-jenis pohon yang tidak memiliki permudaan dikhawatirkan akan
mengalami kepunahan dari ekosistem TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara. Hal ini akan mengakibatkan penurunan keanekaragaman
hayati pada ekosistem tersebut. Untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dan
terjaminnya penyediaan sumber genetik di masa depan maka eksistensi jenis-jenis
tumbuhan di alam ini mutlak harus dipertahankan. Tidak hanya kelestarian jenisnya
yang harus dijaga namun pengembangannya pun perlu ditingkatkan.
Tinggi dan rendahnya jumlah spesies pada suatu hutan selain dipengaruhi oleh
terutama akibat kegiatan manusia. Kegiatan manusia yang mengeksploitasi hutan
dengan menebang pohon menyebabkan dampak yang tidak menguntungkan bagi
kelestarian jenis, terutama apabila kemoditi yang ditebang seringkali terdiri atas jenis
yang sudah langka.
2. Dominasi Jenis Tegakan
Dominasi spesies menunjukkan tingkat kehadiran dan penguasaan suatu jenis
dalam ekosistem. Dominasi jenis tegakan diperoleh dari hasil perhitungan Indeks
Nilai Penting (INP) pada masing-masing jenis. Jenis yang dominan adalah jenis yang
memiliki INP tinggi. Nilai INP untuk pancang, tiang dan pohon diperoleh dari hasil
penjumlahan Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominasi Relatif
(DR). Daftar INP tegakan seluruh jenis yang ditemukan di TAHURA Bukit Barisan
Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4.
Beberapa jenis tegakan dominan pada tingkat pertumbuhan pohon, tiang dan
Tabel 4. Indeks Nilai Penting Beberapa Jenis Dominan yang Ditemui di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
Famili Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP
Pohon
Pinaceae Pinus mercusii 17,30 4,62 46,8 68,7
Hammamelidaceae Altingia exelsa 13,30 3,59 25,8 42,8
Fagaceae Megacarpa 4,26 3,59 2,86 10,7
Lauraceae Lithocarpus bennetti 4,54 3,08 2,58 10,2
Tiang
Fagaceae Lithocarpus ewyckii 15,0 8,77 46,8 70,5
Sapotaceae Polyalthia sp 7,14 4,09 12,5 23,7
Thiaceae Gordania imbricata 4,08 4,68 5,12 13,9
Myrsinaceae Eugenia koordersiana 5,44 5,85 5,17 16,5
Moraceae Ficus variegata 5,10 3,51 3,96 12,6
Hammamelidaceae Altingia exelsa 3,40 2,34 5,44 11,2
Pancang
Myrtaceae Eugenia sp 4,78 3,62 12,40 20,8
Rubiaceae Urophylum sp 4,23 3,99 9,73 17,9
Moraceae Arthocarpus lakoocha 4,04 3,62 5,99 13,7
Myrcinaceae Ardisia lurida 4,96 3,62 4,55 13,1
Myrtaceae Eugenia garcinifolia 3,49 2,54 6,68 12,7
Theaceae Gordonia imbricata 3,13 3,62 4,84 11,6
di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara didominasi
oleh jenis Pinus Mercusi dengan INP 68.7%, kemudian diikuti oleh jenis Altingia
exelsa dengan INP 42,8%, jenis Megacarpa dengan INP 10.7%, jenis Lithocarpus
bennetti dengan INP 10.2%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ini sudah
ekosistem hutan yang bersangkutan. Dalam komunitas vegetasi hutan persaingan
yang terjadi sangat kompleks sehingga hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat
berkuasa.
Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa jenis-jenis tiang yang dijumpai di TAHURA
Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh jenis
Litocarpus ewyckii dengan INP 70.5%, kemudian diikuti oleh jenis Polyalthia sp
dengan INP 23.7%, jenis Eugenia koordersiana dengan INP 13.9%, jenis Ficus
variegata dengan INP 12.6% jenis Altingia exelsa dengan INP 11.2%, jenis Gordonia
imbricata dengan INP 16.5%. Jenis-jenis dominan tersebut diduga memiliki batas
toleransi yang lebih lebar dibandingkan dengan jenis lain, dan mampu beradaptasi
dengan lingkungan sehingga dapat mengalahkan jenis lainnya dalam kompetisi
memperebutkan unsur-unsur pendukung untuk pertumbuhan seperti: unsur hara,
cahaya matahari dan air (Soerianegara dan Indrawan, 1978).
Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa jenis-jenis pancang yang dijumpai
di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara didomonasi
oleh jenis Eugenia sp dengan INP 20.8%, kemudian diikuti oleh jenis Urophylum sp
dengan INP 17.9%, jenis Artocarpus lakoocha dengan INP 13.7%, jenis Ardisia
lurida dengan INP 13.1%, jenis Eugenia garcinifolia dengan INP 12.7%, jenis
Gordonia imbricata dengan INP 11.6%, jenis Malastoma decentidum dengan INP
11.2%, jenis Litsea discocalyx dengan INP 10.6%, jenis Ficus variegata dengan INP
Menurut ketahanannya terhadap lingkungan, tumbuhan dapat dibagi atas dua,
yaitu: (a) Tumbuhan yang batas toleransinya lebar (eury) terhadap lingkungan, dan
(b) Tumbuhan yang batas toleransinya sempit (steno) terhadap lingkungannya.
Soerianegara dan Indrawan (1978) menambahkan bahwa pada tumbuhan-tumbuhan
yang batas toleransinya sempit (steno), titik minimum, optimum, dan maksimum
berdekatan sekali, sehingga perbedaan yang sedikit saja untuk tumbuhan-tumbuhan
eury tidak berarti apa-apa adalah kritis bagi jenis ini.
Pada Tabel 4 dapat dilihat Pinus mercusii mendominasi pada tingkat pohon
tetapi pada tingkat tiang dan pancang tidak ada pada INP > 10%. Hal ini disebabkan
karena pelaksanaan penanaman pohon di TAHURA Bukit Barisan adalah jenis-jenis
pohon di luar tanaman pinus.
Nilai Kerapatan Relatif (KR) tertinggi pada pohon terdapat pada jenis Pinus
mercusii dengan nilai sebesar 17.3%, pada tiang terdapat KR tertinggi pada jenis
Polyalthia sp dengan nilai sebesar 7.14% sedangkan KR terbesar pada pancang
terdapat pada jenis Ardisia lurida dengan nilai sebesar 4.96%. Tingginya nilai ini
menunjukkan banyaknya jenis tersebut pada hutan ini. Beragamnya nilai Kerapatan
Relatif ini mungkin disebabkan karena kondisi hutan pegunungan yang memiliki
variasi lingkungan yang tinggi. Seperti topografinya yaitu ada yang curam dan ada
yang bergelombang, keadaan tanah, kelembaban, suhu. Krebs (1985) menyatakan
hutan pegunungan sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan angin, di mana
dengan naiknya ketinggian temperatur menurun, curah hujan meningkat dan
Menurut Loveless (1989), sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi
lingkungan yang beraneka ragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung tersebar
luas.
Nilai Frekuensi Relatif (FR) tertinggi terdapat pada pohon jenis Pinus
mercusii dengan nilai sebesar 4.62%, FR tertinggi terdapat pada tiang jenis
Lithocarpus ewyckii dengan nilai sebesar 8.77%, FR tertinggi terdapat pada pancang
jenis Urophylum sp dengan nilai sebesar 3.99%. Dari nilai tersebut dapat dilihat
bahwa jenis-jenis ini banyak terdapat pada TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara. Jenis-jenis tersebut dapat beradaptasi dengan kondisi
lingkungan pegunungan. Berdasarkan nilai FR tersebut dapat dilihat proporsi antara
jumlah pohon dalam suatu jenis dengan jumlah jenis lainnya di dalam komunitas
serta dapat menggambarkan penyebaran individu di dalam komunitas.
Penyebaran dan pertumbuhan dari pada individu sangat dipengaruhi oleh daya
tumbuh biji, topografi, keadaan tanah dan faktor lingkungan lainnya. Biji yang
tersebar di daerah yang miskin akan bahan organik dan dengan intensitas cahaya yang
berlebihan dapat berakibat buruk dan mematikan bagi pertumbuhan biji tersebut.
Frekuensi kehadiran sering pula dinyatakan dengan konstansi. Konstansi atau
frekuensi kehadiran organisme dapat dikelompokkan atas empat kelompok yaitu jenis
yang aksidental (Frekuensi 0-25%), jenis assesori (Frekuensi 25-50%), jenis Konstan
(Frekuensi 50-75%), dan jenis absolut (Frekuensi di atas 75%) (Suin, 2002).
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa pohon, tiang dan pancang pada
kategori aksidental (nilai FR 0-25%). Hal ini memperlihatkan jenis-jenis tersebut
daerah penyebarannya terbatas, dan menyebarkan bijinya hanya pada sekitar lokasi
hutan tempat tumbuhnya saja. Monk, et al, (2000), menyatakan pohon-pohon yang
tumbuh di bawah ketinggian optimum, umumnya mengandalkan pasokan bijinya dari
pohon-pohon di ketinggian atasnya.
3. Karbon Tersimpan pada Tegakan
Biomassa tegakan di Tahura Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
dihitung dengan menggunakan kesamaan alometrik yang telah dikembangkan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. Untuk tegakan yang memiliki cabang digunakan
persamaan analometrik (Ketterings, et al, 2001).
Untuk menghitung kandungan karbon tersimpan, dilakukan dengan
memperkirakan bahwa biomassa tegakan mengandung 46% karbon. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Hairiah et al, (2001) yang mengatakan bahwa bahan organik
mengandung 46% karbon. Hasil penghitungan biomassa tegakan secara lengkap
disajikan pada Lampiran 5-7. Kandungan biomassa dan karbon tersimpan tegakan
di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara yang
Tabel 5. Daftar Kandungan Biomassa Tegakan (ton/ha) dan Karbon Tersimpan pada Tegakan (Ton/Ha) di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
No Tingkat Pertumbuhan Biomassa
(Ton/Ha)
di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar
1054,36 ton/ha. Besaran tersebut terdiri dari biomassa tegakan tingkat pertumbuhan
pancang sebesar 9,58 ton/ha, biomassa tegakan untuk tingkat pertumbuhan tiang
sebesar 46,72 ton/ha, dan biomassa tegakan untuk tingkat pertumbuhan pohon
sebesar 998,06 ton/ha.
Tabel 5 juga menunjukkan bahwa untuk setiap hektar luas kawasan TAHURA
Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara terdapat karbon tersimpan
pada tegakan sebesar 485,01 ton/ha. Di mana untuk tingkat pertumbuhan pancang
terdapat 4,41 ton/ha, untuk tingkat pertumbuhan tiang sebesar 21,49 ton/ha dan untuk
tingkat pertumbuhan pohon sebesar 459,11 ton/ha.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa kawasan TAHURA Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi karbon tersimpan cukup tinggi, bila
dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan diantaranya:
memiliki potensi karbon tersimpan sebesar 348,76 ton/ha; Bakri (2009) yang
melaporkan bahwa kawasan hutan Taman Wisata Alam Taman Eden memiliki
potensi karbon tersimpan sebesar 95,82 ton/ha, Bako (2009) yang melaporkan bahwa
di Hutan Lindung Kabupaten Pakpak Barat sebesar 143,7 ton/ha.
Potensi karbon tersimpan di Tahura Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
dengan luas areal 19.805 Ha adalah 9.605.623 ton pada kelas pertumbuhan pancang,
tiang dan pohon. Kandungan karbon tersimpan di TAHURA Bukit Barisan
Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara dan di Hutan Kota Taman Beringin Medan
tidak jauh berbeda, karena di Hutan Kota Taman Beringin Medan jumlah karbon
tersimpan yang dihitung meliputi semai, pancang, tiang dan pohon serta taman
tersebut didominasi oleh pohon-pohon yang besar.
Simpanan karbon pada tumbuhan dipengaruhi oleh curah hujan, suhu udara,
intensitas cahaya dan umur tanaman. Berpengaruhnya umur tanaman terhadap
simpanan karbon pada suatu pohon dilihat dari kadar air pohon, di mana kadar air
pohon berumur muda lebih tinggi dibanding pohon berumur lebih tua, sehingga kadar
biomassa pohon yang lebih tua lebih tinggi dibanding yang lebih muda.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada TAHURA Bukit Barisan Kabupaten
Karo Provinsi Sumatera Utara terdapat pancang dan tiang. Dalam hal ini diharapkan
perhatian pemerintah untuk memeliharanya agar pancang dan tiang dapat tumbuh
menjadi pohon sehingga potensi karbon tersimpan dapat meningkat lagi.
Pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan merupakan tempat penimbunan
karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan
serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan CO2. Hutan juga melepaskan
CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun
pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang
melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar.
Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan
atau ladang pengembalaan maka jumlah CO2 tersimpan akan merosot. Berkenaan
dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus
dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak
mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin.
Menurut Indriyanto (2006), pada setiap ekosistem jumlah karbon yang
tersimpan berbeda-beda. Hal ini disebabkan perbedaan keanekaragaman dan
kompleksitas komponen yang menyusun ekosistem. Kompleksitas ekosistem akan
berpengaruh kepada cepat atau lambatnya siklus karbon melalui setiap komponennya.
Pada ekosistem hutan hujan tropis keanekaragaman biota (termasuk spesies
tumbuhan) sangat tinggi, sehingga pengembalian karbon organik ke dalam tanah
berjalan dengan cepat, dan karbon yang tersimpan dalam biomassa tumbuhan lebih
besar dibandingkan ekosistem lainnya (ekosistem hutan iklim sedang, padang rumput
iklim sedang, dan ekosistem gurun).
Indriyanto (2006) mengatakan bahwa hasil dari kegiatan metabolisme adalah
produktivitas kedua-duanya secara umum berhubungan dengan biomassa pada tingkat
tropik tertentu.
Perbedaan jumlah cadangan karbon pada setiap lokasi penelitian disebabkan
karena perbedaan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi. Cadangan karbon pada
suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem
penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai
kerapatan kayu tinggi, biomassanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan
yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah (Hairiah dan Rahayu,
2007).
Nilai karbon tersimpan menyatakan banyaknya karbon yang mampu diserap
oleh tumbuhan dalam bentuk biomassa. Jumlah karbon yang semakin meningkat pada
saat ini harus diimbangi dengan jumlah serapannya oleh tumbuhan guna menghindari
pemanasan global. Dengan demikian dapat diramalkan berapa banyak tumbuhan yang
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan tentang potensi karbon tersimpan pada
tegakan di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Provinsi Sumatera Utara dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Jenis dominan pada tingkat pertumbuhan pohon adalah Pinus mercusii, pada
tingkat pertumbuhan tiang adalah pohon Lithocarpus ewyckii dan pada tingkat
pertumbuhan pancang adalah Eugenia sp.
b. Potensi karbon tersimpan pada tegakan pohon, tiang dan pancang adalah
485,01 ton/ha.
c. Potensi karbon tersimpan di TAHURA Bukit Barisan Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara seluas 19.805 ha adalah 9.605.623 ton pada kelas
pertumbuhan pohon, tiang dan pancang.
2. Saran
a. Kepada pemerintah diminta agar tetap menjaga kelestarian hutan di TAHURA
Bukit Barisan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara demi terjaganya
ekosistem yang baik.
b. Perlu dilaksanakan penelitian pada TAHURA Bukit barisan Provinsi