BAB II
KEWAJIBAN MENERAPKAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT
A. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian dalam Undang-undang Perbankan
Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau
prinsip yang mmenyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan
usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya.23
1) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip
kehati-hatian
Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU
Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian.
Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung
substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal 29 ayat 2, 3 dan 4 UU Nomor 10 tahun
1998.
Pasal 29:
2) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah
dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara
23
yang tidak mmerugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan danannnyya kepada bank
3) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank.
Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d
pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup
pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan prudent banking sendiri
merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi
menurut Anwas Nasution, ketentuan prudent banking termasuk dalam ruang
lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.24
a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 huruf b dan huruf c;
Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga
pada bagian pasal sebelumnya, seperti pasal 8, 10 dan 11 UU Perbankan.
Pasal 8:
“Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajiib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Pasal 10: “Bank Umum dilarang:
b. melakukan usaha perasuransian;
24
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 dan pasal 7.
Pasal 11
1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi Surat Berharga, atau hal lain yang serupa,
yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
elompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh
melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa,
yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih
dari modal disetor bank;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c;
f. Perushaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari
pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e.
4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh
melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau
pembiaayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan
sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam
penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya
saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas. Dalam bagian
akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap
senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset,
kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan
dengan usaha bank.25
Dalam pada itu, dalam rangkamendukung atau menjamin terlaksananya
proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak
dijelaskan.
25
prisnsip kehatihatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan
intern dalam bentuk self regulations.26
Anwar menyebutkan bahwa ruang lingkup aturan prudent banking
(pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio
modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK (batas
maksimumpemberian kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun
posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva
produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi
akuntansi serta audit.
\
27
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian
nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan
usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya
transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank ini adalah adanya
kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya
resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 4 pasal 29 di atas.
26
Self regulation merupakan peraturan intern bank yang dibuat dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam kebijakan Pemerintah disektor perbankan tahun 1994 disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah, mempercepat proses konsolidasi, mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip pengaturan sendiri (self regulation principple) dan kehati-hatian dalam usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan tangguh. Untuk itu BI melakukan penyempurnaan rencana kerja bank dan laporan pelaksanaannya yang kemudian dituangkan dalam SK Direksi BI No.27/117/KEP/DIR, tanggal 25 Januari 1995 termasuk juga salahstunya SK Direksi Bi No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang ketentuan kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan dabnk berdasarkan Pedoman Penyususnan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) .
27
bank termasuk kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut
telah tersedia atau disediakan, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini.
Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara
penempatan danan dari nasabah atau pembelian/’ penjualan Surat Berharga untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya.28
Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini
menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggungjawab terhadap para
nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan
berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya
nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Hal ini juga
relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya
sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai
hubungan kepercayaan (fiduaciary relationship).29
Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking pernah
diatur secara khusus dalam beberapa Paket deregulasi, misalnya Paket deregulasi
25 Maret 1989 dan Paket deregulasi Februari 1991, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Salah tujuan atau tugas yang diemban Paket Februari 1991 misalnya,
berupaya mmengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan
mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimum 8 % dari kekayaan.
28
Periksa penjelasan ayatb 4 dari pasal 29 UU Perbankan
29
Yang diharapkan dari paket itu adalah adanya peningkatan kualitas perbankan
Indonesia.30
1. SK BI 30/11/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan
bank
Kewajiban bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan dalam Paket
deregulasi diatas, tampaknya tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan
yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus collapsnya beberapa bank umum
nasional, seperti Bank Perbankan Asia, Bank Duta danBank Umum Majapahit.
Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah
seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik stelah lahirnya UU No.7 tahun
1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No.10 tahun 1998. Regulasi
tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi
Bank Indonesia. Aturan-aturan tersebut misalnya :
2. SK BI 30/12/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan
Bank Perkreditan Rakyat
3. SK BI 30/46/KEP/DIR/1997, tentang pembatasan pemberian kredit oleh
bank umum untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah
4. SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit bank
umum
5. SK BI 31/177/KEP/DIR tentang batas maksimum pemberian kredit bank
umum
6. SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
30
7. SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang pemantauan likuiditas bank umum
8. SK BI 31/179/KEP/DIR tentang pemantauan likuiditas bank umum
9. SK BI 31/148/Kep/DIR/1998 tentang pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva produktif
10.SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang kualitas aktiva produktif
11.SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
12.Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang perubahan SK Direksi BI
31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit
13.Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan modal
minimum bank
14.Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan bank
15.Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang rencana bisnis bank umum
16.Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang prinsip kehati-hatian dalam aktivitas
sekuritisasi asset bagi bank umum
17.Dll
Sebagaimana halnya bank-bank di negara-negara maju dan berkembang
lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar kesehatan bank, mengikuti
ketentuan Bassel International Standart (BIS). Dalam rangka pemenuhan kondisi
perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS . Sampai saat ini baru
%, dan NPL/Non Performing Loan (kredit macet) 5 % yang harus segera dipenuhi
bank-bank sebelum akhir 2001.31
1. Mempunyai wewenang, tanggung jawab dan tujuan yang jelas, bersifat
independent dan memiliki sumber daya yang cukup
Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip dasar
pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui untuk
diterapkan di Indonesia melalui komitment yang dilakukan oleh BI dengan IMF.
25 butir ketentuan BIS tersebut adalah sebagai berikut:
2. Kegiatan yang diizinkan
3. Kriteria perizinan
4. Otoritas untuk mengkaji dan menolak usul
5. Otoritas untuk menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian (prudential)
6. Kecukupan modal
7. Standar kredit dan monitoring
8. Kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas asset
9. Sistem informasi manajemen bank
10.Ketentuan pinjaman terkait (BMPK)
11.Monitoring terhadap resiko
12.Memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar
13.Mempunyai prosedur penegndalian resiko manajemen yang komprehensip
14.Sistem pengendalian internal
15.Meningkatkan kode etik profesional metode pengawasan bank
31
16.Meliputi off site dan on site
17.Senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank
18.Mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan
19.Mempunyai independensi
20.Mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi perbankan
21.Seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang lengkap dan
akurat
22.Pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan mampu
melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama
pengawasan internasional
23.Menerapkan praktik pengawasan konsolidasi
24.Melakukan kerjasama antar pengawas, dan
25.Menerapkan standar yang sama antar bank lokal dengan bank asing32
Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan BIS
tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap prbankan, tetapi juga
lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat empiris
historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan yang
notabene di bawah pengawasn bank sentral sesungguhnya berkaitan dengan
kegiatan lembaga keuangan non-bank.33
32
Elvyn G.Masassya, Indepedensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ ekonomi/ek0001040.asp. Diakses tanggal 10 Juni 2010.
33Ibid
B. Kehati-hatian sebagai Prinsip Utama Bank dalam Memberikan Kredit
Menurut pasal 1 angka 11, kredit adalah:
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak penjamin untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan
menyebutkan bahwa sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian
yang seksama, mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan dana
dari bank itu sendiri, tetapi dana yang berasal dari masyarakat sehingga perlu
penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam,
penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang
sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi
perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan agar kredit yang
disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit
yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan
bank kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada bank
tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit, maka kualitas kredit dapat
digolongkan menjadi non performing lean (NPI). Jumlah kredit yang NPLnya
tinggi akibatnya dapat mengganggu kesehatan bank yang bersangkutan.
Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dinilai
akan menurunkan kredit bermasalah (non performing loan/ NPL). Selain itu,
bank-bank yang memiliki NPL besar saat ini terus melakukan restrukturisasi
untuk menurunkan kredit bermasalahnya. Oleh karena itu, dalam memberikan
bermasalah. Terdapat 5C of credit yang meliputi character, capacity, capital,
collateral, condition of economy. 5 C of credit tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Character (watak)
Salah satu unsur yang mesti diperhatikan oleh bank sebelum memberikan
kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/ watak dari calon
debiturnya. Karna itu sebelum kredit diluncurkan, harus terlebih dahulu
ditinjau apakah calon debitur berkepribadian yang baik, jujur, selalu
menepati janji, memiliki lingkungan yang baik, mepunyai riwayat hidup
yang baik, tidak terlibat tindakan criminal, bukan merupakan penjudi,
pemabuk, atau tindakan tidak terpuji lainnya.34 Namun terkadang ini tidak
bisa dijadikanukuran, karena bank biasanya tidak mengenal nasabahnya
secara mendalam mengingat waktu dari pihak bank yang sangat terbatas.
Oleh karena itu perlu diterapkan oleh bank prinsip mengenal nasabah yang
antara lain mencakup kewajiban bank memiliki kebijakan dan prosedur
penerimaan nasabah, pemeliharaan profil nasabah, pengenaan sanksi
administrasi terhadap pelanggaran peraturan ini, dan lain-lain.35
2. Capacity (kemampuan)
Karakter yang baik belum memenuhi syarat untuk mempeoleh kredit.
Bahwa seseorang yang jujur secara moril bisa dipercaya, teatpi mungkin ia
tidak mampu mengolah kredit. Oleh karena itu, yang perlu juga
34
H.A. S. Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 25.
35
diperhatikan bank adalah apakah ia mampu mengelola perusahaan yang
dapat dilihat dari kemampuan manajemennya, apakah ia mampu
berproduksi dengan baik yang dapat dilihat dari kapasitas produksinya,
apakah ia mampu mengembalikan kredit dilihat berdasarkan perhitungan
penghasilan bersih, perputaran usaha, situasi keuangan, dan modal kerja
yang dimilikinya.36
3. Capital (modal)
Pada umumnya untuk menilai capacity seseorang
didasarkan pada pengalaman dalam dunia bisnis yang dihubungkan
dengan pendidikan dari calon nasabah (pemohon kredit) serta kekuatan
perusahaan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perkembangan
teknologi.
Permodalan dari suatu debitur merupakan hal yang penting harus diketahui
oleh calon krediturnya, karena permodalan dan kemampuan keuangan dari
suatu debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat
kemampuan membayar kredit. Bank tidak dapat memberikan kredit
kepada pengusaha tanpa modal sama sekali.37
4. Collateral (agunan)
Kredit senantiasa dibayangi oleh resiko. Untuk berjaga-jaga timbulnya
resiko ini, diperlukan benteng untuk menyelamatkan yaitu berupa
agunan.38
36
H. A. S Mahmoeddin, Op. cit, hal. 26.
37Ibid 38Ibid,
hal. 27
dimana ia merupakan sarana pengaman atas resiko yang mungkin timbul
atas cidera janjinya nasabah di kemudian hari.
5. Condition of economy (keadaan ekonomi)
Kondisi ekonomi secara umum serta kondisi pada sector usaha si pemohon
kredit (calon nasabah) perlu mendapatkan perhatian dari pihak bank untuk
memperkecil resiko yang mungkin timbul akibat kondisi ekonomi.
Kondisi ini dapat terpengaruh oleh keadaan social, politik dan ekonomi,
dari suatu periode waktu tertentu dan perkiraan yang akan terjadi pada
waktu mendatang.39
C. Sanksi bagi Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian
Akhir-akhir ini permasalahan yang terjadi pada beberapa bank disebabkan
oleh tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan,
lemahnya law enforcement. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang represif
bagi pihak yang terbukti melakukan penyimpangan, serta langkah preventif untuk
mencegahnya.
Bagi bank yang tidak dapat memenuhi keawjibannya dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya, maka terhadap bank ini dapat
dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi administratif
a. Denda
b. Teguran tertulis
c. Penurunan tingkat kesehatan bank
d. Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring
e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu baik untuk kantor cabang tertentu
maupun untuk bank secara keseluruhan
f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia
g. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.40
Bank Indonesia tidak mungkin melakukan sendiri upaya penataan system
perbankan dan pemberian sanksi administratifnya, tetapi diperlukan kerja
samayang baik dengan aparat penegak hukum maupun dengan internal perbankan,
antara lain melalui direktur kepatuhan perbankan.
2. Pencabutan izin usaha bank
Selain sanksi administrasi, kepada bank yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perbankan dapat
dijatuhi sanksi pencabutan izin usaha bank.
Pencabutan izin usaha terhadap beberapa bank yang tidak dikelola secara
professional merupakan upaya melindungi kepentingan masyarakat, agar tidak
mengganggu atau membahayakan atau membahayakan sistem perbankan secara
keseluruhan.
40