BAB II
LANDASAN TEORITIS PERKAWINAN DAN PERCERAIAN A. Definisi Perkawinan
Sebelum diuraikan mengenai pengertian penyesuaian perkawinan, terlebih dahulu diuraikan pengertian dari perkawinan itu sendiri. Di Indonesia sendiri perkawinan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974, dimana pada pasal 1 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Subekti & Tjitrosudibio, 2001).
Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa perkawinan adalah monogamous, hubungan berpasangan antara satu wanita dan satu pria. Sehingga bisa didefinisikan sebagai suatu kesatuan hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah menikah, dimana didalamnya terdapat hubungan seksual,keinginan mempunyai anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami istri. Dyer (1983) menyatakan bahwa perkawinan adalah bagaimana hubungan dibentuk dan dipertahankan, dan bagaimana hubungan ini kemungkinan akan diakhiri. Dyer mengatakan bahwa warga Amerika pada umumnya berpikir bahwa perkawinan adalah hubungan dua orang dewasa dengan jenis kelamin yang berbeda menetapkan komitmen untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Menurut Azar (dalam Walgito, 1984) perkawinan atau nikah artinya melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang lakilaki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah. Perkawinan bukan sematamata untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan untuk memenuhi kebutuhan afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan oleh pasangannya.
istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga secara sah dimana didalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan biologis, kebutuhan afeksional dan adanya pembagian peran sebagai pasangan yang telah menikahi.
B. Definisi Perceraian
Pengertian Perceraian menurut Prof. Subekti ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Perkawinan dapat putus karena tiga hal : - Karena kematian
- Karena perceraian - Atas putusan pengadilan
Yang dimaksud dengan kematian adalah kematian salah satu pihak, suami atau istri atau kematian kedua-duanya secara sekaligus . yang dimaksud “atas putusan pengadilan” adalah yang menyangkut pembatalan perkawinandengan keputusan pengadilan. Cara pemutusan perkawinan yang lain adalah perceraian. Perceraian hanya dapat diputuskan setelah pengadilan berusaha untuk memperdamaikan suami dan istri yang bersangkutan dan perdamaian tersebut tidak berhasil. Usaha harus dilakukan untuk menyelamatkan perkawinan, sebab apabila perceraian akibatnya akan sangat luas yang akan berpengaruh kepada pendidikan anak-anak.
Alasan-alasan untuk bercerai adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat, setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu :
1. Suami melanggar taklik talak dan
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
Ada tiga macam perceraian
1. Perceraian yang dilakukan oleh seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang beragama islam
2. Perceraian yang diajukan oleh seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang beragama islam
3. Perceraian yang diajukan kepada Pengadilan negeri oleh suami atau istri yang menikah di kantor catatan sipil
Ad.1 suami yang beragama islam yang hendak menceraikan istrinya mengajukan surat kepada Pengadilan tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia berkehendak untuk menceraikan istrinya disertai alas an-alasannya. Pengadilan akan mengadakan siding untuk menyaksikan perceraian. Perceraian semacam ini terjadi, terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan
Ad.2 perceraian ini diajukan oleh istri yang beragama Islam dengan suatu gugatan. Perceraian tersebut terjadi saat putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan yang pasti.
Ad.3 Bentuk perceraian ini dilakukan oleh suami atau istri yang menikah di hadapan kantor pencatatan sipil, caranya adalah dengan mengadakan gugatan perceraian kepada Pengadilan Negeri. Setelah memperoleh putusan yang sudah berkekuatan pasti, perceraian ini didaftarkan di kantor catatan sipil. Perceraian dianggap terjadi terhitung putusan tersebut didaftarkan. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat mengijinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Juga selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
Selain itu setelah berceraipun, orangtua tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak-anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.
Apabila perkawinan putus karena perceraian atau dibatalkan oleh pengadilan waktu tunggu adalah 90 hari sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan yang pasti. Apabila sebelumnya telah terjadi hubungan kelamin, tidak ada waktu tunggu. Setelah perceraian terjadi sebaiknya harta benda suami istri dibagi secara musyawarah dan mufakat, apabila tidak dapat dilakukan secara demikian, dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri agar masing-masing pihak memperoleh bagiannya.bagian masing-masing pihak adalah setengah harta bersama, harta bawaan tetap milik masing-masing.
D. Pengukuhan Putusan
Undang-undang Perkawinan mengharuskan bahwa setiap putusan pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Untuk itu setiap putusan Pengadilan Agama akan dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.
E. Akibat Perceraian
Perceraian antara suami dan istri bukan hanya memutuskan ikatan perkawinan saja, lebih lanjut perkawinan juga melahirkan beberapa akibat seperti timbulnya pembagian harta
Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadisi isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh isteri :
a) Apabila si suami dengan kelakuan yangnyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga
c) Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan isterinya.