• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal PendarPena Nomor 6 Tahun I Mei 20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal PendarPena Nomor 6 Tahun I Mei 20"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

media populer alternatif

P e n d a r P e n a

Penanggung Jawab:

Rapat Dewan Redaksi

Pemimpin Redaksi: Berto Tukan

Redaksi: Sulaiman Harahap, Mufti Ali. S, Tia

Septian, Hendra Kaprisma, Oscar Ferry, Firly

Afwika

Tlp: 0813 200 12821, 0856 1112 954

E-Mail: memendar_pena@yahoo.com

Penerbit: Kelompok Belajar Pendar Pena

N o m o r 6 Ta h u n I , Mei 2 0 0 8

*Karya

Nanda

Daftar Isi

Pembuka Kalam: Dunia Kita,

Dunia Sastra...2

Kata Pembaca...3

Secangkir Cappucino

Sastra...4

Dosa Balai Pustaka Kepada Bangsa,

Dosa Bangsa K

epada

Balai Pustaka...6

Buku-buku

……...8

Cerpen:

Janin yang Berbicara……...11

Yang Melukai Halimunda,

Kerabat Macondo Itu ……13

Karya Sastraku, Ekspresi

Diriku... ………..15

Wawancara Imajiner dengan Pram....17

(2)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

2

Pembuka Kalam

“Manusia adalah Homo Fabulans, makhluk bercerita atau bersastra” (A. Teeuw)

M

anusia, pikiran, dan karya adalah trinitas dunia perikehidupan kemanusiaan. Pikiran, alam, dan teks adalah tiga serangkai dunia kesusasteraan. Sedangkan Interaksi, Bahasa, dan Pembacaan adalah trilogi dunia teks. Antara dunia manusia, dunia sastra, dan dunia teks adalah tiga dunia yang terhimpun dalam satu tubuh, yakni semesta Manusia. Maka tak heran apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk bersastra (Homo Fabulans). Sehingga tidak dapat dipungkiri pula bahwa dunia kita adalah dunia sastra; kita dan sastra satu dunia.

Omong-omong dunia sastra, bincang-bincang sastra atau dalam kalimat lain dari seorang guru besar Bahasa dan Sastra Indonesia di Leiden, A. Teeuw, yaitu membaca dan menilai sastra (persis dengan judul buku karangannya), kita tak pernah lepas dengan kode-kode dalam proses memaknai sastra. Ada tiga kode yang mesti dikuasai dalam proses membaca sastra. Yakni kode bahasa, kode budaya, dan kode khas bersastra.

Kode bahasa, jelas menjurus pada soal bahasa yang digunakan dalam sebuah karya sastra. Tidak bisa tidak, bahasa yang digunakan dalam sebuah karya sastra mesti kita kuasai, sebagai langkah awal memaknainya. Kode kedua soal konteks budaya, kita mesti paham akan citra manusia dan latar budaya dibalik teks sastra yang kita kaji. Ketiga lebih ruwet, kode khas bersastra. Di sini terujilah kita sebagai pembaca untuk menggali kreativitas, ketajaman interpretasi dan mengajak format kebahasaan yang kita pakai sehari-hari keluar dari ranahnya. Sepertinya rumit. Kenapa? karena kita tidak biasa. Padahal sederhana, sebab kita makhluk bersastra. Potensi ada dalam diri kita, maka tinggal rutinitas, pendekatan diri saja. Ayo coba, terus coba!

Dalam upaya meramaikan obrolan seputar dunia sastra dan seirama dengan pokok penggalan-penggalan teks diatas, Pendar Pena edisi VI hadir dengan tema seputar dunia sastra. Dalam edisi ini tersaji esei-esei sastra dari berbagai perspektif penulisan. Ada ruang bagi esei sastra yang ditelisik dari jendela filsafati dengan bahasa yang renyah, yaitu Secangkir Cappucino Sastra, sekedar umbaran dari Danang Budiawan dan Karya Sastraku, Ekspresi Diriku sebuah goresan pemikiran Aloysius Adhitama, yang menyuratkan bahwa karya sastra adalah ekspresi manusia dari dunia ide yang abstrak menjadi tulisan yang konkret.

Selain itu, terdapat pula tiga esei lain yang masing-masing bertajuk, Dosa Balai Pustaka Kepada Bangsa dan Dosa Bangsa Kepada Balai Pustaka; Yang Melukai Halimunda, Kerabat Macondo Itu, dan Wawancara Imajiner dengan Pramoedya Ananta Toer. Pada judul pertama, Endang Rukmana mengajak kita membenahi

image kurang tepat yang terbentuk di masyarakat terhadap Balai Pustaka selama ini. Kedua, bersama Berto Tukan dan pembacaannya atas Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez dan Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, kita bertamasya sastra ke Macondo dan Halimunda. Selanjutnya tak kalah menarik, Oscar Ferry menyeret kita menyimak wawancara imajinernya dengan sastrawan Realisme Sosialis nan legendaris yang populer dengan panggilan Pram.

Tidak hanya itu, kini Pendar Pena pun menyuguhkan ruang baru bagi pembedahan buku. Buku yang dibedah kali ini adalah Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia dan Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru. Kemudian kita pun diajak Teraya Parahmeta untuk bertamasya dalam ruang Karya dengan Cerita Pendeknya berjudul Janin yang Berbicara. Ada juga laporan sekilas dari acara Markas Sastra (Komunitas Sastra di FIB-UI). Semoga edisi seputar dunia sastra ini dapat membaui khasanah membaca dan menilai sastra. Sekian dan selamat membaca.

Sulaiman Harahap

Dunia Kit a,

(3)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

Kata Pembaca

E-m a il d a ri H ilm a n Fa rid

Saya sudah baca sem ua edisi Pen dar Pen a (edisi I-IV, red). Saya sen an g, ada tem an -tem an yan g m au bikin terbitan seperti in i. Kebetulan saya ikut di redaksi len tera, terbitan SM-FSUI jam an dulu (1990 kalau n ggak salah), dan beberapa terbitan gerilya lain n ya. J adi, bisa m en an gkap sem an gatn ya. Di sisi lain , saya berpikir, k ok setelah sekian belas tah un , tem an -tem an yan g kritis dan pun ya m in at dalam dun ia tulis-m en ulis m asih h arus bergerilya juga?

Un tuk terbitan den gan form at n ewsletter, isi Pen dar Pen a m en urut saya rada berat. Usul saya, kalau m em an g m aksudn ya adalah m em perken alkan tem a-tem a yan g m en urut redaksi pen tin g un tu k diketahui um um , tam bahkan juga in form asi m en gen ai apa yan g ditulis dalam artikel yan g “rada berat” tad i. Misaln ya, tu lisan ten tan g h istor iogr afi In d on esia, ya d iban tu sed ikitlah d en gan in for m asi soal buku-buku yan g pern ah ditulis oran g, sedikit in fo rin gan ten tan g siapa Sarton o Kartodirdjo, On g H ok H am , dan pen dekar-pen dekar lain n ya. Sehin gga pem baca tidak kewalahan m em baca artikel yan g rada abst r ak.

Lain lagi kalau m aun ya bikin jurn al. Tapi un tuk form at jurn al, Pen dar Pen a m asih kuran g dielaborasi dan kuran g dalam . Masalahn ya den gan jurn al, dia m em an g bukan bacaan populer, dan biasan ya pun ya kom un itas pem bacan ya (dan pen ulis) sen dir i.

salam ,

fa y

Ko m e n ta r d a ri Ch ris ta S a b a th a ly

Pen dar Pen a sebagai jurn al m ah asiswa setiap edisin ya selalu m em berikan tem a-tem a yan g m en in ju,

tulisan -tulisan yan g m en on jok, dan alh asil adalah keselur uh an paket yan g m em ber ikan bekas-bekas kesan m en gh ibu r dan ju ga in for m atif. Yan g m asih per lu dikem ban gkan dar i Pen d a r Pen a m u n gkin adalah ben tuk dan kem asan luarn ya, agar lebih m en arik bagi para calon pem baca, yan g keban yakan adalah m ahasiswa dan m en ggem ari ben tuk-ben tuk visualisasi. Satu lagi yan g saya kagum dari Pen dar

Pen a ad alah p ar a p r aju r itn ya yan g p an tan g m en yer ah d alam m ewu ju d kan ju r n al in i! Sem an gatn ya

am at revolusion er! Sem oga m akin hari arm ada Pen dar Pen a m akin ban yak, jadi prajurit yan g sekaran g

gak perlu babak belur setiap m en jelan g deadlin e! am iiin n =) .

( Ch ris ta S a b a th a ly, p r o j e c t o ffi c e r Th e Th r e e D e c a d e s

o f J a z z G o e s To c a m p u s, p e n ggia t ko m u n ita s p e n u lis A g e n d a 18)

S MS d a ri Ro s id a Ero w a ti, M. H u m .

J ika Pen dar Pen a sudah terbit rutin seperti in i, Pen dar Pen a harusn ya jan gan han ya m en jadi m ajalan in die yan g tan pa in stitusi, kar en a poten si yan g dim iliki Pen dar Pen a h ar us dipr ofesion alisasi tetapi bu kan kom su m er isasi.

( Ro s id a Ero w a ti, M. H u m ., D o s e n U IN J a ka rta )

*Pendar Pena edisi Juni akan membahas seputar Jakarta. Bagi yang berminat

menyumbangkan artikel, harap dikirimkan ke e-mail redaksi sebelum 10 Juni 2008. Tulisan berkisar antara 5.500-7.000 karakter, nir-spasi.

*

Pendar Pena

tersedia di: Bengkel Deklamasi TIM, Toko Buku Kalam Utan Kayu, Toko Buku Cak

Tarno Depok, Perpus FIB UI, Perpus Pusat UI, Perpus UIN Syarif Hidayatulah, Perpus STFK

(4)

PENDAR PENA

Cappuccin o dalam can gk ir itu seperti lautan berw arn a cok elat dan rem bulan itu datan g lan gsun g dari lan git, tercem plun g k e dalam can gk ir, ten ggelam seben tar, tapi lan tas terapun g-apun g

seperti bola pim pon g – tapi itu bukan bola pim pon g, in i rem bulan .

Rem bulan dalam Cappuccin o – Sen o Gum ira Ajidarm a

D. Budiawan

.

Essei

K

bersama kopi, nikmatata rapat melekat. Bergerak menyayat. Merobek makna dan menggerus hujan di bawah langit Margonda, lamat-lamat. Persetubuhan dengan cappuccino masih setengah jalan. Bergerak-gerak bersama buih sebuah bulatan coklat di antara uap dari dalam cangkir. Coco granule memberi rasa manis serta sensasi lumer di tiap butirnya. Melepas dan kekinian. Sebagai bagian dari budaya, kata berganti menjadi alat bagi kuasa. Memastikan setiap anggota dalam lingkaran kolektifitas untuk tetap di bawah otoritas. Bersama alasan untuk

(5)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

sesuatu yang baku sehingga mengantarkan kita pada kesimpulan yang sama dan satu. Sistem ini sesungguhnya mereduksi the other dalam konsep kesatuan dan menyeragamkan pluralitas ke dalam unitas.

Teks merupakan perlawanan terhadap pusat yang dianggap sebagai kebenaran absolut. Adanya differensial tanda dalam teks menyebabkan teks bersifat diseminatif. Teks bersifat diseminatif karena tanda-tanda yang termuat dalam teks menyebar dan berhubungan dengan teks-teks lain. Tidak ada kebenaran yang otonom karena kebenaran dibentuk dari teks, ditemukan dalam teks, dan direkayasa oleh teks.

Kenyamanan tersebut karena seseorang yang tunduk pada otoritas malah mendapatkan kesejahteraan lebih baik dibanding para pembangkang dan penolak hegemoni otoritas. Sastra memberi ruang bagi manusia untuk bebas. Terlepas dari universalitas dan hegemoni otoritas. Tidak ada sekat. Seolah terbang, entah menyentuh mega atau malah bergumal di kedalaman jantung. Melihat manusia bersama angan yang jauh membumbung langit. Hingga menukik, menelusuri

D a n a n g B u d i a w a n

a d a la h p e n ik m a t k a r ya sa st r a ya n g kin i t er d a ft a r sebagai m ahasiswa Filsafat FIB-UI an gkatan 20 0 4.

kedalaman jiwa. Menembus ruang gelap diantara bilik-bilik ketakutannya sendiri. Chairil Anwar menyebutkan bahwa dalam diri manusia ada “gedong besar dan gelap tempat jiwa yang sejati bersembunyi”. Sehingga ketika sastra menyaput kata menjadi kelabu, mungkin banyak yang memberi arti biru. Tapi tak jarang yang melihatnya sebagai ungu. Seketika kata terlepas dari dirinya. Melebur bersama interpretasi dan persepsi, tak ada yang hakiki. Sebagaimana kopi yang berbeda-beda rasa. Bahkan jika di tangan pembuat yang berbeda, akan berbeda pula rasanya. Hampir susah untuk membedakan antara kopi arabika dengan robusta. Kopi telah bercampur karena tak ada rasa kopi di dalamnya. Walaupun

(6)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

6

Endang Rukmana

.

Dosa Balai Pustaka

Kepada Bang

sa

DAN

D o s a B a n g s a

K e p a d a

B a l a i

P u s t a k a

B

alai Pustaka memang punya dosa. Diawali sebagai alat kepentingan pemerintah kolonial, misi Balai Pustaka jelas bukan hanya hendak mencerdaskan rakyat di tanah Hindia Belanda. Namun betapa besar peranan Balai Pustaka dalam memajukan dan membentuk bahasa serta kesusastraan di Indonesia tidak dapat kita tampik. Menarik untuk kita telaah kembali jejak yang ditinggalkan Balai Pustaka sebagai sebuah institusi yang mengemban misi ekonomi, sosial dan budaya.

Istilah BP, menurut Ajip Rosidi, berasal dari usulan H. Agus Salim yang pada saat itu bekerja di kantor tersebut, atau suka membantu kantor tersebut untuk menerjemahkan beragam bacaan berbahasa Inggris dalam bahasa Melayu.1

Menurut Doris Jedamski dalam “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing” (Archipel No. 44, 1992), ide pendirian komisi ini berasal dari seorang pegawai kolonial bernama J. E. Jasper. Dalam laporannya pada Desember 1905, Jasper meminta pemerintah untuk meningkatkan sistem sekolah desa, terutama di Jawa dan Madura. Hal ini terkait dengan kebijakan politik etis yang mulai diterapkan di Hindia Belanda. Jasper menyarankan adanya pemusatan produksi, distribusi, dan penyimpanan bahan bacaan oleh Departemen Pendidikan dan Agama (Department van Onderwijs en Eerdienst, disingkat O&E).2

Ide Jasper itu kemudian menjadi kenyataan melalui Keputusan Pemerintah No. 12 pada 14 September 1908 dengan dibentuknya Commisie voor de Inlandsce School en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat). Dengan bertambahnya pekerjaan komisi yang tidak semata-mata memberi pertimbangan, tetapi juga menerbitkan bacaan, didirikanlah Kantoor voor de Volkslectuur berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 63 tanggal 22 September 1917. Lembaga inilah yang kemudian kita kenal sebagai Balai Pustaka. Dengan berdirinya Balai Pustaka, maka pekerjaan Komisi Bacaan diambil alih.

Salah satu tujuan penerbitan buku-buku Balai Pustaka adalah mencegah menjamurnya “bacaan liar” yang dikeluarkan oleh penerbit swasta. D. A. Rinkes, direktur Balai Pustaka, sebagaimana yang dikutip Maman S. Mahayana (2005), menyatakan sebagai berikut:

“Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang hendak mengacau. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu perlu dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketenteraman negeri.”

D. A. Rinkes yang menjabat sebagai direktur pertama Balai Pustaka mencatat tiga kriteria penting yang digunakan Balai Pustaka dalam menyeleksi naskah-naskah yang akan diterbitkan; (1) tidak mengandung unsur anti kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu, (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu. Konsekuensinya adalah munculnya sastra bercorak

(7)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

Belanda, Balai Pustaka tetap dipertahankan di bawah pengawasan Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Syidosyo). Jepang rupanya sadar betul pentingnya membangun sebuah citra yang baik lewat media kebudayaan. Bidang sastra dan produk kesenian lainnya ditangani dengan sangat serius. Berbagai sayembara penulisan puisi, cerpen dan naskah drama, dengan tema-tema propaganda kerap dilaksanakan3,

tetapi bukan oleh Balai Pustaka, melainkan oleh Keimin Bunka Syidosyo. Di tangan Jepang ini Balai Pustaka hanya bertugas sebagai “penerjemah” dan “percetakan” bagai kepentingan propaganda Jepang, tanpa wewenang berarti dalam menentukan apa-apa yang akan diterbitkan. Sebagai pihak yang menguasai sistem penerbitan, pemerintah tidak hanya melakukan sensor atas teks yang akan diterbitkan, tetapi juga melakukan sejumlah perubahan atau revisi yang disesuaikan dengan semangat propaganda pemerintah.

Selepas proklamasi dikumandangkan, kelesuan sejak masa pendudukan Jepang masih terwariskan. Balai Pustaka mengalami masa

vacuum. Pada Agresi militer Belanda ke-1 hingga ke-2, Belanda yang menguasai Jakarta berusaha merengkuh kembali Balai Pustaka ke dalam pengaruh dan kekuasaannya. Namun para redaksi dan karyawan memilih keluar dari Balai Pustaka tinimbang harus bekerjasama dengan Belanda.

Baru pada tahun 1948 P. L. Wery berhasil mengajak Kasuma Sutan Pamuntcak untuk kembali menghidupkan Balai Pustaka. Sejumlah bantuan keuangan diberikan pada Balai Pustaka.4 Perubahan

kebijakan terjadi dalam tubuh Balai Pustaka:

Dan sedjak tanggal 1 Mei 1948 itu Balai Pustaka sudah memasuki suatu djaman jang baru pula, baru sama sekali.

Balai Pustaka dengan tepat dan sadar ditudjukan kearah kedudukan jang sewadjarnya harus diduduki oleh Balai Pustaka sebagai suatu badan pembangun kebudajaan.

Tjara kerdjanja buat sementara ini ialah:

1. Menjusul kembali kekurangan jang timbul dimasa 6 tahun jang lalu (mengulang mentjetak buku-buku jang masih baik untuk masjarakat kita sekarang);

2. Memperkenalkan kesusasteraan dunia jang terpilih kepada masjarakat Indonesia;

3. Menjadjikan berbagai-bagai pendapat dan pendirian tentang kebudajaan dari ahli-ahli dalam dan luar negeri;

4. Menerbitkan hasil kesusasteraan pudjangga dan ahli pikir Indonesia;

5. Mengusahakan batjaan untuk anak-anak, pemuda dan untuk orang dewasa jang baru pandai membatja (hasil pem-berantasan buta huruf). 5

Dalam kurun waktu yang singkat (1948 – 1950), Balai Pustaka mengalami masa keemasannya. Inilah kondisi ideal bagi Balai Pustaka sebagai sebuah institusi penerbitan dan lembaga kebudayaan; pada rentang waktu ini redaksi Balai Pustaka memiliki kesadaran, kebebasan dan wewenang penuh dalam menerbitkan buku-buku. Maka lahirlah karya-karya sastra penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, seperti Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma

(1948) karya Idrus; Atheis (1949) karya Achdiat Kartamihardja; Tambera (1949) karya Utuy Tatang Sontani; Dia jang Menjerah (1950) karya Pramoedya elitis, tidak menyinggung

masalah perbedaan etnis, dan yang paling mutlak adalah terlarang menyuarakan gagasan yang mengandung semangat (kesadaran) kebangsaan.

Pemerintah kolonial berupaya membendung pengaruh produk-produk bacaan non Balai Pustaka. Maka, muncullah beberapa istilah pejoratif yang mendistorsi dan meminggirkan proses kreatif para pengarang di luar ‘pagar’ Balai Pustaka. Karya-karya mereka diklaim sebagai “bacaan liar ”, “roman pitjisan”, dan penerbitnya dianggap sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya”. Akibatanya, sebagian besar karya-karya sastra penulis non-Balai Pustaka di Hindia Belanda tidak terdokumentasikan dalam sejarah. Inilah dosa besar Balai Pustaka kepada bangsa Indonesia.

Dosa Bangsa Kepada Balai Pustaka

Ketika Jepang menggantikan kedudukan

Gambar: Poster untuk perpustakaan pribumi tentang biro kesusasteraan populer, Weltevreden.

(8)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

8

Ananta Toer; Aki (1950) karya Idrus; Si Djamal (1950) karya Mochtar Lubis; dan Surapati (1950) karya Abdul Muis.

Naasnya, kondisi ideal Balai Pustaka yang mencapai puncaknya pada tahun 1950 harus redup di tahun itu juga akibat ulah bangsanya sendiri. Balai Pustaka dipecah dua menjadi bidang penerbitan dan bidang percetakan di bawah wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang cenderung memfungsikannya sebagai percetakan milik negara.6 Balai Pustaka

kehilangan otonominya sebagai penerbit dan lembaga kebudayaan. Inilah dosa besar bangsa kita kepada Balai Pustaka; gagal menafsirkan dan memposisikan maksud, tujuan dan fungsi didirikannya Balai Pustaka.

Ironis, Balai Pustaka ternyata bernasib lebih baik di tangan pemerintahan kolonial Belanda—bahkan pemerintah pendudukan Jepang—yang sadar benar fungsi sosial dan budaya Balai Pustaka ketiimbang di tangan pemerintah bangsanya sendiri yang sengaja atau tidak telah menjadikan Balai Pustaka sekadar percetakan milik negara. Meskipun di tahun 1953 lini penerbitan dan percetakan Balai Pustaka digabungkan kembali, perlakuan pemerintah kepada Balai Pustaka di tahun-tahun kemudian tetap sama. Akibatnya image yang terbentuk hingga saat ini Balai Pustaka bukan lagi sebuah institusi yang berperan besar dalam memajukan bahasa dan kesusastraan Indonesia melainkan sekadar percetakan milik negara dan penerbit buku-bu.

Catatan Akhir

1 Atep Kurnia, “Balai Pustaka dan Buku Sunda”,

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/16/ khazanah/index.html (diakses pada 31 Desember 2007).

2 Ibid.

3 H. B. Jassin, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang,

Jakarta, Balai Pustaka, 1948.

4Tentu saja bantuan ini punya pamrih. Kuat dugaan

saya redaktur Balai Pustaka kembali menerbitkan dan mencetak ulang buku-buku yang berisi pencitraan baik pada Belanda seperti Salah Asuhan dan Siti Nurbaya adalah kompensasi atas bantuan yang diberikan.

5 Maman Mahayana, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta,

Bening Publishing, 2005 (hlm 329).

6 Sori Siregar dkk., 80 Tahun Balai Pustaka Menjelajah

Nusantara, Jakarta, Balai Pustaka, 1997 (hlm 42– 43).

Endang Rukmana mahasiswa Ilmu Sejarah FIB-UI angkatan 2004, ambasador Rumah Dunia, pemenang anugerah “Unicef Award for Indonesian Young Writers 2004”. Ia juga telah menulis sejumlah novel populer.

Judul : NIRBAYA : Catatan Harian Mochtar Lubis Dalam Penjara Orde Baru Penulis : Mochtar Lubis

Penerbit : LSPP dan Yayasan Obor Indonesia Tahun Terbit: 2008

Tebal Buku : xi + 142 hlm

Sebagaimana banyak kita ketahui, bahwa manusia hebat memang selalu lahir dari sebuah kondisi yang tidak lazim. Manusia hebat selalu hadir dalam kacaunya situasi zaman yang akhirnya membutuhkan seorang manusia hebat untuk menjadi penyelamat kondisi yang ada. Hal yang sama rupanya terjadi pada Mochtar Lubis, seorang jurnalis kelas wahid yang pernah hidup di Indonesia. Mochtar Lubis merupakan anak zaman yang dengan keberaniandan intelejensinya mampu membuat para tokoh Indonesia tercengang. Ia juga merupakan seorang penulis hebat yang pernah hidup dalam penjara Orde Lama dan Orde Baru.

Sebagai seorang penulis, tentunya banyak buku yang telah ditulisnya. Karyanya, walaupun merupakan karya lama, baru-baru ini diterbitkan dengan judul NIRBAYA. Buku ini pada awalnya merupakan sebuah catatan harian yang dtulis Mochtar Lubis ketika ia berada di dalam rumah tahanan Nirbaya yang terletak di timur Jakarta. Buku ini bercerita tentang kehidupan keseharian, pikiran, keinginan Mochtar Lubis dalam penjara Orde Baru.

Dalam buku Nirbaya, Mochtar Lubis menuliskan dengan tegas pikiran-pikirannya tentang Indonesia. Ia berbicara tentang konsep

(9)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

keberanian yang harus dimiliki warga negara Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan. Sikap berani dan sikap kritis harus dimiliki warga Indonesia dalam melihat problem kebangsaan. Dalam hal ini, ia dengan tegas mengkritik sikap para tokoh Indonesia seperti Jacob Oetama yang terlihat ketakutan dalam mengkritisi permasalahan sosial-politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1970an.

Selain itu, Mochtar Lubis juga menghendaki adanya keberanian sikap pemerintah Orde Baru ketika itu terhadap problem bangsa Indonesia seperti pemberantasan korupsi Pertamina, pengaturan penanaman modal asing dan pembukaan sektor usaha milik warga negara asing yang ia curigai juga sebagai agen kebudayaan asing. Selanjutnya, dalam buku ini terlihat juga sisi-sisi kemanusiawian Mochtar Lubis sebagai seorang suami dan ayah. Dia menuliskan rasa cintanya yang sangat mendalam terhadap istrinya Halimah atau Hally dan anak-anaknya. Sebagai seorang suami, ia menuliskan surat cinta yang bercerita tentang rasa rindu diselingi dengan muatan kritiknya terhadap kondisi Indonesia. Dan sebagai seorang ayah, ia memberi nasihat kepada anak-anaknya agar tetap tabah dan sabar menghadapi ujian yang diterima.

Secara keseluruhan, buku ini memperlihatkan bagaimana seorang tahanan yang dimasukan dalam penjara tetap bebas berpikir, karena tahanan sejatinya hanya mengurung kebebasan tubuh tanpa pernah bisa mengurung kebebasan seseorang untuk berpikir dan menuliskan apa yang sedang menjadi fokus perhatiannya. Disamping itu, Mochtar Lubis memperlihatkan tahanan bukanlah rumah yang akhirnya mengkebiri akal sehat, tapi malah memberi inspirasi untuk akal sehatnya dalam menilai sebuah kasus. (Mufti Ali Sholih)

Judul : Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia Penyunting : Lisabona Rahman Penerbit : Kalam dan Hivos Tahun Terbit : 2007

Tebal Buku : iv + 162 hlm

Buku suntingan Lisabona Rahman ini menyajikan lima esei mengangkat berbagai permasalahan perempuan di era postmodern ini. Esei-esei itu berkutat seputar semiotik, pembentukan bahasa publik dan subjektivitas perempuan. Dalam Tubuh, Hasrat, Relasi, Diana Teresa Pakasi memaparkan konstruksi sosial masyarakat patriarki, bahwa tubuh sebagai situs seksualitas memegang peranan penting dalam membangun ‘nilai’ sosial perempuan. Diana membongkar penanda-penanda yang muncul dalam

tataran konotatif pada majalah laki-laki yang menggunakan bahasa teks falogosentris, yang tentu saja mengeksklusikan perempuan dalam afirmasi pembentukan bahasa publik. Esei ini ingin membuktikan seksualitas yang bersifat relasional telah membangun hubungan yang bersifat antagonis atas tubuh perempuan yang dikomodifikasikan hanya berdasarkan atribut

artificial.

Tulisan-tulisan dalam buku ini mencoba mengangkat sebuah bahasa baru dalam dunia intelektual feminisme. Manneke Budiman dalam

Mencari Ruang Simbolik nampaknya tengah mengusung proyek “bring the margin back into its origin”. Ia mencoba mengangkat 3 karya perempuan Indonesia, yaitu Laluba (Nukila Amal), Kuda Terbang Maria Pinto (Linda Christanty) dan Intan Paramadhita dalam Sihir Perempuan, yang termarjinalkan karena melawan mainstream

penulisan “sastrawangi” yang dipelopori Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu sebagai pendobrakan penulisan perempuan pasca-reformasi. Kenyataannya, ketiga karya ini harus menelan kenyataan pahit: mereka gagal merebut perhatian pembaca sastra Indonesia hanya karena mereka tidak memaknai seks sebagai arus utama cerita.

Keberbedaan tidak semestinya diserap dan dikungkung dalam pre-given dan predefined space

(10)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

10

perempuan semata. Satu yang missed dari pembongkaran karya sastra ini, Manneke tidak menjelaskan terlebih dahulu tentang “sastrawangi” yang akhirnya menyebabkan pemaknaan genre karya sastra menjadi blur, terutama bagi orang awam sastra yang langsung membaca buku ini.

Melalui tulisan-tulisan dalam buku ini, kita akan mampu melihat relevansi bahwa perempuan tengah menjalani, apa yang disebut Irigaray ‘mimetic matrix’ dimana perempuan membiarkan a story of subjection terus berulang dalam tataran semiotik yang menjadikan teks sebagai alat untuk semakin menguatkan dan melanggengkan dominasi seksual laki-laki terhadap perempuan. Sayangnya kebanyakan teks yang dihadirkan hanya sampai pada tahap dekonstruksi tekstual tapi belum mampu menyentuh ranah dekonstruksi seksual. Padahal, diperlukan pemeriksaan ulang hubungan antara tubuh perempuan dengan hukum-hukum dari the symbolic demi memperbaiki posisi injustice yang begitu lama ditanggung perempuan. (Firly Afwika)

OBITUARI

Ketika bangsa ini tengah merayakan seabad Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2008 yang lalu, pada hari itu juga, bangsa ini ditinggalkan putra dan putri terbaiknya. Bang Ali dan SK Trimurti menutup usia pada hari itu juga.

Bang Ali atau Ali Sadikin tentu kita sudah tahu siapa dia. Beliaulah gubernur Jakarta pasca kemerdekaan yang paling dihormati, disegani dan dirindukan. Pada dua periode masa kepemimpinannya, pembangunan di Jakarta betul-betul memihak pada rakyat. Tentu generasi sekarang sudah mulai asing atau melupakan jasa Bang Ali. Namun kenyataan bahwa sampai hari ini banyak dari kita masih mengenal Bang Ali adalah bukti betapa besar sosok dan jasanya.

Soerastri Karma Trimurti adalah pejuang 45, yang terus berjuang sampai akhir hayatnya. Ia adalah tokoh gerakan perempuan lima jaman. Ia pernah aktif di Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia juga pejuang Buruh Perempuan, serta pionir wartawan perempuan, dll. Ia juga adalah istri dari seorang pejuang 45 yang tentu sangat kita kenal; Sayuti Melik, sang pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Seluruh pekerja Pendar Pena mengucapkan turut berduka cita atas kepergian kedua

pejuang, serta berterima kasih sebesar-besarnya atas jasa keduanya untuk bangsa ini.

Semoga semangat, kinerja, dan apa yang mereka cita-citakan untuk bangsa ini bisa kita

lestarikan, bisa kita lanjutkan.

Ali Sadikin

(11)

PENDAR PENA

Seperti sebuah benih y ang ingin kau t u a i s e b e lu m s a a t n y a . S e p e r t i adalah k ala dia hidup seperti pion -pion y an g sudah tersusun rapi pada bergantian seperti anak-anak kecil y ang b e r m a in ju n g k a t - ju n g k it . T e r t a w a k em bali dok trin -dok trin sp iritual m e n g h a n t u i, m e n ja d i s a t u -akan seperti daun , hijau dan segar, t e t a p i k e la k a k a n m e n g e r u t , m en g er in g , b er lu b a n g d im a k a n ulat, jatuh tertiup an gin di m usim g u g u r , t e r in ja k , k e h u ja n a n , terp ecah, terlup ak an .

(12)

PENDAR PENA

bisik-bisik n akal. Bisik-bisik an tara seoran g ibu-ibu berk on de den gan suam in y a y an g berdahi hitam dan setem p at, dian tara p erbin can gan pen uh n ilai-n ilai m oral dan etik a-m erdu, satu lagi jiw a, tubuh, dan r o h u n t u k b er m im p i. B u a t a p a hidup. Seperti apa dun ia? Adak ah dia n erak a y an g hidup, n erak a y an g tidak b er k es u d a h a n h in g g a a k h ir n y a a k u harus hidup dalam derita? Kehidupan a k a n m en ca m b u k k u sep er t i seor a n g k rim in al y an g d isik sa d i ten gah k ota, d is a k s ik a n d a n d it e r t a w a k a n o le h sek elom p ok m u lu t ber bisa . Dit im p u k o leh s a y u r a n b a s i d a n t elu r b u s u k . Diludahi. Diin jak -in jak . Disalib?

D u lu s e m u a it u k u a la m i, harusk ah sek ali lagi? H idup han y alah a r en a u n t u k m en y a k it i d ir i s en d ir i. H id u p a d a la h k u t u k k a n ja h a t d a r i n en ek sih ir d en g a n h id u n g b en g k ok y an g berbisul dan berlen dir.

H arusk ah k ualam i lagi? Sekali lagi. Sekali lagi. Sekali lagi. H idup tidak ak an pern ah bosan m en y ik sak u. pada ak hir, pada k egelapan .

(13)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

T

entu judul di atas akan mengingatkan anda pada dua novel tebal yang sempat menarik perhatian para penikmat sastra dan buku itu. Ya benar! Macondo adalah kota imajiner dalam

Seratus Tahun Kesunyian (STK) karya Gabriel Garcia Marquez dan Cantik Itu Luka (CIL) karya Eka Kurniawan berkisah di Halimunda. Tentu sudah sering kedua tempat dan kedua karya ini dibahas dalam berbagai kaca mata pembacaan. Karya sastra memang tak kering untuk dibahas. Lihatlah Layar Terkembang, Romeo dan Juliet, atau Madame Bovary. Apakah ketiganya sudah bosan diperbincangkan? Menurut hemat saya tidak.

Kreatifitas pengarang bisa dipandang sebagai kerja tanpa sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak disadari pula. Jadi, karya sastra mengungkapkan sesuatu yang tak disadari dalam keadaan yang tak sadar (Kutha Ratna, 2008). Di sinilah peran pembacaan karya nampak; mencari yang tak disadari, buah dari kerja yang tanpa disadari pula. Maka, setiap pembacaan dengan sudut pandang apa pun sangat mungkin mengungkapkan hal-hal yang menyusup tanpa sadar ke dalam karya sastra. Sama dengan hasil pembacaan saya atas STK dan CIL

y a n g

b e r k e l i n d a n -bersetubuh dengan hasil pembacaan saya atas hasil pembacaan-pembacaan terhadap STK dan CIL lainnya yang terkristalkan dalam tulisan ini; mencoba mengungkapkan sesuatu yang (mungkin) tak terungkap.

***

Kenapa saya sebut Halimunda adalah kerabat Macondo? Pasalnya, dalam pembacaan sepintas pun terlihat bagaimana kesamaan antara keduanya; pertama sama-sama menggunakan gaya

realisme magis. Realisme magis sendiri merupakan gaya penulisan yang menggunakan surealisme dan realisme secara bersamaan serta tak terpisahkan. Istilah ini diambil dari kasanah seni lukis oleh kritikus sastra untuk mencandrakan karya Marquez, Grass (The Tin Drum) Borges, Okri serta Eka Kurniawan. Elleke Boehmer (dalam Bandel, 2003) mengatakan, bahwa gaya realisme magis sangat cocok bagi penceritaan tanah-tanah pascakolonial untuk menceritakan dirinya dengan kaca matanya sendiri. Kedua, STK dan CIL punya atribut-atribut cerita yang

hampir-hampir mirip.

Salah satu yang

paling kentara adalah kedua novel ini menyertakan pohon silsilah. STK t e n t a n g s i l s i l a h keluarga B u e n d i a sedangkan CIL silsilah anak cucu Ted S t a m m l e r . K e d u a n y a mengambil latar tempat kota imajiner, seperti yang diungkapkan pada awal tulisan ini. Peristiwa moksa terdapat pada keduanya; Maman Gendeng di CIL dan Si Cantik Remedios pada STK. Perlindungan terhadap keperawananpun terdapat pada keduanya; Ursula dengan “…celana dalam yang panjang buatan ibunya dari kain layar yang diperkuat dengan tali kulit yang disiliang-menyilang dan bagian depannya ditutup dengan gesper besi tebal.” (STK, hal.27). Sedangkan Alamanda dalam CIL menggunakan “…celana dalam terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tak memiliki lubang anak kunci untuk membukanya.” (CIL, hal. 248) Bahkan, Alamanda menggunakan

Yang Melukai

Yang Melukai

Yang Melukai

Yang Melukai

Yang Melukai

Halimunda,

Halimunda,

Halimunda,

Halimunda,

Halimunda,

Kerabat Macondo Itu

Kerabat Macondo Itu

Kerabat Macondo Itu

Kerabat Macondo Itu

Kerabat Macondo Itu

Berto Tukan

.

(14)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

14

semacam mantra khusus. Perkawinan sedarah muncul tak putus-putus dalam kedua novel ini. Si Cantik Remeditos muncul kembali dalam persamaan berikut; keluguan dua tokoh perempuan yang cantiknya tak terkira, bahkan akibat kecantikan itu, laki-laki yang melihatnya dipastikan akan demam tinggi dalam beberapa minggu; Rengganis Si Cantik dalam CIL dan Si Cantik Remeditos dalam STK. Bedanya, Si Cantik Remeditos akhirnya moksa. Berarti, kecantikan dan keluguannya tak tersentuh apa pun. Sedangkan Rengganis Si Cantik diperkosa oleh saudaranya sendiri, Krisan, hingga melahirkan seorang anak. Kedua novel berakhir dengan pandangan yang cenderung nihilis; STK dengan ketak-bersisaan ‘dinasti’ keluarga Buendia di Macondo dan CIL diakhiri dengan kenyataan, bahwa kutukan Ma Gedik ternyata akan terus berlanjut.

***

Menengok pendapat Elleke Boehmer di atas, tentu kedua novel menjanjikan sesuatu ketika dibaca dengan sudut pandang postkolonialisme. Kaca mata satu ini yang adalah varian postmodernisme mengandaikan adanya pengetahuan sejarah kolonial dari tanah pascakolonial tempat karya itu lahir. Maka dengan penuh kerendahan hati, tulisan ini akan lebih fokus pada CIL dengan terkadang menengok sebentar pada STK.

Adalah menarik ketika melihat tokoh sentral CIL adalah Dewi Ayu. Walau pun banyak yang mengatakan, bahwa cerita ini bercerita tentang keturunan Ted Stammler, kata Stammler sendiri sangat jarang muncul. Saya lebih condong menyebut cerita ini sebagai kisah Dewi Ayu dan keturunannya. Dewi Ayu adalah seorang indo tiga perempat Belanda, seperempat pribumi Indonesia. Indo merupakan warisan kolonial yang paling nyata. Biasanya, seorang Indo (pada masa penjajahan) akan lebih condong pada darah Belandanya. Ini akan ditujukan pula dengan penggunaan nama Belanda di antara mereka. Sekolah-sekolah modern barat a la Belanda sangat berperan dalam konstruksi pembeda-bedaan ini. Sekolah-sekolah Belanda bahkan akan menamakan semua muridnya dengan nama Belanda. Minke dalam tetralogi Buruh Pramoedya serta Corrie dalam Salah Asuhan pun demikian. Adalah sesuatu yang aneh ketika Henri Stamler dan Aneu Stamler menamai anak mereka Dewi Ayu; sebuah nama yang sangat pribumi. Namun baiklah kita menerima Dewi Ayu sebagai Indo yang lebih memilih Indonesia ketimbang Belanda. Hal ini semakin dibuktikan dengan kekeras-kepalaan Dewi Ayu untuk tetap tinggal di Halimunda ketika semua keluarganya meninggalkan Indonesia.

Dewi Ayu bisa dilihat pula sebagai simbol tanah Indonesia pasca VOC yang masih tetap eksotis, indah dan menantang untuk disetubuhi. Kolonialis cenderung menampilkan diri sebagai laki-laki, maskulin, agresif dan tanah jajahan kerap

disimbolkan dengan perempuan perawan, cantik rupawan, lugu dan siap ditaklukan laki-laki.

Kolonialisme Indonesia dalam CIL adalah Indonesia pasca VOC (yang ditandai dengan Dewi Ayu: nama Indonesia dengan darah campuran: warisan VOC). Maka tak heranlah ketika Komandan Bloedenkamp (mewakili Jepang) menghadapi Dewi Ayu (simbol Indonesia) yang menyerahkan diri tanpa syarat, Komandan itu memperkosa dengan “…menyerangnya dengan ganas, langsung tanpa basa-basi…” (CIL, hal. 77) sedangkan Dewi Ayu hanya bisa menghindar ketika laki-laki itu hendak mencium bibirnya. Itulah kali pertama Dewi Ayu benar-benar disetubuhi laki-laki.

Dalam ketakberdayaan sebagai “pelacur karena keadaan”, Dewi Ayu bukan tak melakukan perlawanan. Berkali-kali ketika prajurit Jepang menyetubuhinya, Dewi Ayu hanya berbaring saja, tidak melakukan apa pun, seakan pasrah, sama sekali tak berusaha mengimbangi permainan cinta menggebu-gebu para prajurit itu. Nampak di sini kemiripan cara perlawanan Dewi Ayu dengan perlawanan a la Gandhi.

Selepas kepergian Jepang, Dewi Ayu beberapa kali diperkosa para gerilyawan. Ketika kemerdekaan Indonesia (yang ternyata di Halimunda diketahui belakangan) Dewi Ayu menjadi pelacur primadona di Halimunda. Bila masih mau mengartikan Dewi Ayu sebagai tanah negara pascakolonial Indonesia ini, ditemukanlah betapa kita semua adalah pengkhianat tanah ini. Dewi Ayu bukan saja ditiduri prajurit Jepang, tubuhnya juga dinikmati tentara gerilya, preman kesohor Halimunda (Maman Gendeng), orang yang ditunjuk sebagai pemimpin TKR (Shondanco) dan juga oleh hampir semua lelaki di Halimunda.

Tanah Indonesia yang disimbolkan Dewi Ayu tetap menjadi tanah jajahan, tanah kolonial bahkan ketika ia sudah merdeka. Para imperialis sekarang adalah anak-anak tanah itu sendiri. Maman Gendeng, Shodanco, Kamerad Kliwon dan semua lelaki yang meniduri pelacur Dewi Ayu adalah simbol hampir semua orang di negeri ini yang di satu sisi begitu hebohnya merayakan hari kebangkitan nasional, namun di sisi lain mewarisi dan terus melestarikan semangat imperialis. Maka, siapa yang melukai Halimunda, kota imajiner representasi Indonesia itu?

CIL mengakhiri dunianya dengan sebuah kenyataan, bahwa kutukan Ma Gedik akan terus berlanjut. Itu berarti, semangat imperialis yang terus dilestarikan dan diidap itu akan terus ada. Maka, ia pun sebenarnya menyisakan pertanyaan ; apakah kita harus hidup terus dalam kutukan atas warisan kolonial ini?

*Berto Tukan adalah Pemimpin Redaksi Pendar Pena

(15)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

K

arya sastra di dalam tulisan ini dimengerti sebagai hasil ekspresi manusia yang berasal dari ide abstrak pikiran yang menjadi konkret dalam tulisan. Ekspresi manusia itu dapat muncul karena adanya kebebasan. Kebebasan ada karena manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan berkehendak. Jadi karya sastra ada karena manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan berkehendak (kebebasan berkehendak dalam hal ini lebih mengarah pada ke-ada-an kemungkinan dalam menghasilkan suatu karya sastra).

Manusia yang tanpa kemampuan berpikir tidak memiliki kebebasan. Ia ‘diikat’ oleh ketidakmampuan berpikirnya. Ketidakmampuan berpikirnya menentukan dirinya sehingga ia kehilangan kebebasannya. Bayangkanlah bila manusia tidak mampu berpikir, maka ia akan hanya mengikuti nalurinya. Manusia tidak dapat lagi menentukan ingin makan apa, di restoran mana ia akan makan. Maka bukan suatu kebutuhan lagi untuk membangun toilet umum. Manusia telah dikuasai oleh naluri-nalurinya. Ia akan makan begitu saja ketika lapar juga akan buang air kapanpun ia mau. Dapatkah sebuah karya sastra dihasilkan oleh manusia semacam ini?

Selain kemampuan berpikir, diperlukan pula kemampuan berkehendak demi kebebasan. Ketiadaan kemampuan untuk berkehendak membuat manusia

tak dapat menghasilkan apapun termasuk karya sastra. Ia berada dalam situasi sedemikian rupa sehingga kehendaknya bukan di bawah dirinya, melainkan dikuasai suatu realitas di luar dirinya.

***

Apa yang dirasakan manusia begitu kompleks. Emosi manusia sangat beragam dan variatif. Kata-kata verbal dalam percakapan keseharian kadang tak mampu menggambarkan secara tepat apa yang dirasakan atau tersirat dalam ‘kata-kata’ tubuh. Apakah kita begitu saja tahu seseorang adalah bersedih ketika ia menangis? Seandainya ia memang bersedih, apakah kita segera tahu sedalam apa kesedihannya hanya dengan melihatnya menangis? Dalam kenyataan, tangisan si A terlihat sama dengan tangisan si B walaupun ‘kadar’ kesedihannya berbeda. Seseorang yang mengerti apa yang dirasakan tak akan pernah mampu mentransfer secara utuh apa yang dirasakannya kepada orang lain. Ia hanya mampu memberi gambaran abstrak yang mendekati apa yang sesungguhnya dirasakan. Kata-kata verbal dapat melakukannya namun kata-kata yang tertuang dalam puisi dapat lebih membingkainya. Ada sebuah cerita singkat yang menarik untuk disimak.

Lyra meneteskan air matanya. Beberapa hari yang lalu, Denis, mantan kekasihnya, tiba-tiba memutuskan untuk pergi. Hari ini dia melihat jari kelingking lelaki itu terkait pada jari kelingking seorang gadis yang juga sahabat satu fakultasnya. Mereka berjalan mesra. Denis pergi setelah Lyra memberikan segala-galanya. Ia diam, mengenang semuanya, terlarut dalam suatu refleksi panjang tentang dirinya.

Akhirnya, di suatu malam, ia dapat mengenali kesedihannya. Ia dapat merasakan puluhan sensasi dan gerak batin dalam perasaannya, yang menyatu atau melepaskan satu sama

Aloysius Aditama

.

*Gambar: Poster pembacaan puisi Sutardji. Dari “Indonesia Heritage, Bahasa dan Sastra 10” hal. 125)

Essei

K a r y a

K a r y a

K a r y a

K a r y a

K a r y a

Sastraku,

Sastraku,

Sastraku,

Sastraku,

Sastraku,

E k s p r e s i

E k s p r e s i

E k s p r e s i

E k s p r e s i

E k s p r e s i

D i r i k u

D i r i k u

D i r i k u

(16)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

16

lain, hingga menjadi suatu kombinasi sempurna akan kesedihan.

Keesokan harinya, Anit, sahabatnya, menghampiri. “Mengapa kamu terlihat murung sekali akhir-akhir ini?” tanya Anit. Lyra menjawab dengan lirih, “Aku sedang sedih.”

Wajah sahabatnya itu menunjukkan ketidakpercayaan. Ia mengenal Lyra sebagai perempuan yang tegar. Kesedihan macam apa yang menjadikan harimau mengembik seperti kambing, pikirnya. Anit mengungkapkan pertanyaan dalam batinnya, tentu saja dengan dibalut kata-kata yang lebih terdengar manis, “Tidak biasanya kamu sedih hingga berhari-hari seperti ini. Kamu seperti bukan Lyra yang kukenal.. Denis hanya laki-laki...”

Lyra tak mampu membendung kekesalannya. Ia merasa tidak dimengerti. Sambil berjalan pergi ia berkata, “Kamu tidak tahu apa yang kurasakan!”

“Kalau begitu mengapa kamu tidak mengatakan apa yang kamu rasakan?” Lyra terdiam sesaat dan menghentikan langkahnya. Ia palingkan wajah ke arah sahabatnya itu. Bibirnya bergetar seakan ingin mengucapkan suatu kata-kata, namun hanya nafas panjang yang mengalir dari sana. Dengan lirih ia berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan....” Lalu, Lyra pergi sambil berharap ada waktu baginya untuk sendiri. Dalam hati ia meminta maaf pada sahabatnya. Sahabatnya bukan tidak mau mengerti, melainkan Lyra yang tidak mampu menjelaskan.

Terlihat bahwa Lyra yang telah mengobyektifikasi dirinya mampu mengenal perasaan-perasaan yang ia alami. Kesulitan terjadi ketika ia harus membahasakannya dalam kata-kata verbal. Ada dua kemungkinan mengapa Lyra memilih untuk diam. Pertama, ia tidak menemukan padanan kata yang pas bagi apa yang dirasakannya, dan yang kedua adalah ia tahu bahwa ia dapat menggunakan kata-kata tertentu untuk membahasakan namun ia juga tahu bahwa kata-kata tertentu tersebut tidak dapat mewakili secara utuh apa yang ia rasakan. Kata-kata memang mengungkapkan, namun sekaligus membatasi.

Manusia tidak pernah dapat mengenal perasaan orang lain setepat orang lain itu merasakan perasaannya sendiri. Yang dapat dilakukan manusia hanya mencoba merasakan apa yang dirasakan orang lain sedekat mungkin sejauh ia mampu. Dengan mengatakan ‘sedih’, Anit tidak pernah tahu kesedihan apa yang dirasakan Lyra, sedalam apa, sepedih apa, bagaimana, bagaikan apa, dan sebagainya. Bayangkan bila Lyra menulis sebuah puisi di diary-nya tentang kesedihannya :

“Tuhan, malam ini aku merasa seperti bintang malam yang kehadirannya ditolak oleh matahari. Matahari tak bersedia membiarkan aku memantulkan lagi sinarnya, untuk menggantikan ia di malam hari. Aku menjadi gelap. Di kegelapan malam ini, aku tanpa cahaya.

Lihat! Gadis kecil di bawah sana mencari aku di langit. Ia tidak memandangku, ia tidak dapat memandangku, tidak ada yang dapat memandangku di malam ini.

Aku tanpa daya. Aku tidak ada walaupun aku ada. Sekelilingku tidak kukenal. Aku seperti terasing di duniaku. Aku bukan di duniaku. Aku dalam suatu ketiadaan yang tidak kumengerti. Aku adalah ada yang mengada dalam ketiadaan.

Aku menangis, mereka mungkin merasakan air mata dari langit, namun tak ada yang tahu bahwa tangisan ini bukan hujan yang sejuk atau embun di pagi hari seperti ketika aku bahagia. Tangisan ini adalah tetes air di padang gurun. Tak sempat menyejukkan, tapi mati ditelan panas.

Mana yang kiranya lebih mampu mendeskripsikan perasaan Lyra? Saya pribadi yakin kalau Anit dapat ikut menangis bersama Lyra ketika membaca puisinya. dibandingkan hanya suatu kata-kata singkat, “Aku sedang sedih!” yang tidak ia mengerti. Bahkan sebab-sebab kesedihan itu sendiri seperti (“Aku sedih karena Denis telah...”, dan sebagainya) yang seandainya diceritakan oleh Lyra dengan mendetail sekalipun, tidak lebih baik dalam mengungkapkan kesedihan dibandingkan dengan puisi. Karya sastra dapat mengekspresikan apapun yang dirasakan manusia, tentu saja sejauh manusia itu adalah manusia bebas.

Manusia memiliki kebebasan yang melekat dalam eksistensinya sebagai kemampuan dalam diri manusia untuk mencari esensinya atau kemampuan untuk menentukan dirinya yang seharusnya (eksistensi mendahului esensi, menurut Sartre). Kebebasan sudah melekat dalam eksistensi setiap manusia. Maka kita dapat berefleksi dan bertanya pada diri kita sendiri: sudahkah aku di dalam kebebasanku sebagai manusia yang bereksistensi mampu mengekspresikan diriku dalam sebuah karya sastra?

(17)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

E

mpat masa pemerintahan ia lewati tanpa lelah. Masa Kolonial, Pendudukan, Era Soekarno, dan rezim Soeharto. Ia adalah Pramoedya Ananta Toer atau biasa disapa Pram; Seorang sastrawan yang pantas mendapatkan hadiah nobel. Seorang sastrawan berpendirian teguh dan menjadi wajah yang berbeda dari Indonesia bagi mancanegara.

Pram menghela nafas pertamanya di bumi Blora tanggal 6 Februari 1925. Anak sulung dari sembilan bersaudara ini telah mengenal apa itu kerja keras di umur belasan tahun, yaitu membiayai keluarga dengan cara berjualan rokok dan tembakau. Ini dilakukan setelah ibunya meninggal di usia 34, sedangkan ayahnya yang merupakan seorang guru dan nasionalis merasa frustasi dan melarikan diri di meja-meja perjudian.

Pada suatu ketika, secara imajiner, Pram bersedia menerima saya di tumpukan idenya.

Apa yang anda rasakan di Blora pada waktu kecil?

Di waktu kanak-kanak saya sudah merasakan dan melihat kesewenangan penguasa. Bagaimana waktu itu koleksi buku-buku ayah saya dirampas dan disita pemerintah kolonial, baik yang di rumah maupun koleksi di perpustakaan sekolah tempatnya mengajar.

Apakah hal itu dikarenakan ayah anda yang seorang nasionalis kiri?

Ya benar. Setelah meninggalkan Hollands-Indische School (HIS), beliau menjadi pemimpin di sekolah pergerakan Budi Utomo. Ia menjadikan sekolah itu antikolonial. Selain itu, Beliau sempat menjadi ketua Partai Nasinal Indonesia (PNI) dan ketua kehormatan gerakan Pramuka Indonesia.

Kemudian pada 1932 ditetapkanlah “undang-undang” mengenai sekolah-sekolah liar. Maka pada waktu itu PNI dilarang, dan akhirnya merembet kepada pendidikan nasionalisnya, yaitu Budi Utomo (dianggap liar) serta ditahannya ayah saya. Oleh karena undang-undang pelarangan sekolah liar itu, Budi Utomo menjadi sulit. Saya masih ingat pada waktu itu banyak orang tua siswa yang menggunakan meja, kursi atau sepeda sebagai ganti uang pembayaran sekolah.

Berarti, bisa dikatakan, jiwa perjuangan anda berasal dari ayah anda?

Bisa dibilang begitu. Tapi tentu, diri saya berbeda dengan Beliau. Beliau memang orang yang konsistensi dalam bersikap dan berpandangan

Hak Bernafas pun

Hak Bernafas pun

Hak Bernafas pun

Hak Bernafas pun

Hak Bernafas pun

Direnggut

Direnggut

Direnggut

Direnggut

Direnggut

dari Saya

dari Saya

dari Saya

dari Saya

dari Saya

Wawancara Imajiner dengan Pramoedya

liberal. Saya ingat, waktu itu saya p e r n a h bermain kartu b e r s a m a teman-teman. K e m u d i a n

ayah saya lewat dan berkata: “Berhenti! Jangan lakukan itu sebelum kamu punya penghasilan”. Dia melarang saya berjudi meskipun ia sendiri melakukannya. Itulah sikapnya: liberal.

Oke. Sekarang mengenai karya-karya anda. Roman apa yang menjadi debut kepengarangan anda?

Di Tepian Kali Bekasi, tahun 1947. Namun roman itu tak selesai, karena dua hari setelah “aksi polisionil” Belanda, 21 Juli 1947 saya ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Bukit Duri. Lalu saya dipindahkan ke Pulau Edam di lepas pantai Jakarta. Dan Desember 1949 saya dibebaskan. Namun sebelum dibebaskan, saya sempat menyelesaikan roman Perburuan. Sejatinya Perburuan-lah yang menjadi debut roman saya. Dalam roman itu, saya mencandrakan orang-orang Jepang sebagai penindas yang bengis. Setahun dari pembebasan atau bertepatan dengan tahun terakhir tertancapnya bendera Merah Putih Biru di ranah pertiwi ini, saya juga menyelesaikan Keluarga Gerilya.

Lalu setelah itu…

Tahun 1950 saya juga menulis roman tebal,

Mereka Jang Dilumpuhkan. Tahun 1951 terbit pula “Blora” dalam bundel kecil Subuh. Di tahun itu selesai pula Bukan Pasar Malam. Saya bisa mengatakan jika “Blora” merupakan sebuah mimpi buruk, maka

Bukan Pasar Malam adalah versi realitasnya. Kemudian terbit bundel Tjerita dari Blora tahun 1952. Lalu tahun 1954 saya menulis roman pendek Korupsi. Dan tahun 1957 terbit karya prosa (untuk sementara merupakan karya prosa fiktif yang terakhir) Tjerita dari Jakarta: Sekumpulan karikatur keadaan dan manusianya. Lalu saya menulis Gadis Pantai

(18)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

18

saya itu maka terbitlah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1988). Di Buru pula saya menulis roman sejarah: Arok Dedes (1976) dan

Arus Balik (1979). Dalam roman

Arok Dedes saya terilhami oleh fenomena Sang Jenderal Bintang Lima yang seperti Arok berasal dari kalangan sederhana namun tanpa belas kasihan.

Di mulai tahun 1980 terbitlah tetralogi roman saya mengenai lahirnya nasionalisme Indonesia, yaitu Bumi Manusia

(bagian pertama). Menyusul tak lama kemudian bagian keduanya: Anak Semua Bangsa. Lalu pertengahan tahun 1985 terbit bagian ketiga: Jejak Langkah. Sedangkan bagian terakhir, Rumah Kaca, terbit tahun 1988. Namun semua karya tetralogi saya itu dilarang dan dirampas dari pasaran oleh pemerintahan Soeharto. Bahkan dua orang mahasiswa di Yogyakarta harus mendekam di sel 8 tahun karena menjual buku-buku itu pada tahun 1989.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Untuk negeri inilah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu itu saya tulis. Sebab berapa banyak pun bagian-bagian menarik di dalamnya: daftar panjang nama-nama tapol yang meninggal, dengan jalan-jalan dan areal pertanian yang dibuat oleh para tahanan. Semua itu lebih berarti untuk orang Indonesia sendiri.

Bisa dijelaskan kapan tepatnya anda dikirim ke Pulau Buru?

Berawal dari masa empat tahun di RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba, 1965 sampai 1969. Kemudian saya dipindahkan ke Nusa Kambangan. Di tahun itu pula, tepatnya 16 Agustus, saya dikirim dalam rombongan lebih dari 800 orang menuju Pulau

Buru menggunakan kapal ADRI XV.

Apa yang ada rasakan selama dalam perjalanan di Kapal ADRI XV itu?

Dalam pelayaran menuju Buru, kami terkukung dalam ruangan berpintu jeriji besi, dikunci, dalam sekapan, dalam tiga ruang besar di bawah dek. Waktu itu saya teringat ucapan Peltu Marzuki di RTC Salemba: “kalian tak punya hak apa-apa selain bernafas”. Namun apa lacur, hak untuk bernafas pun telah direnggut pula.

Dan ajaran klasik di sekolah yang menyatakan bahwa: kami sedang di perairan sendiri, berdiri di tanah air sendiri. Maka setiap jengkal tanah di antara ribuan pulau yang mengapung, serta setiap cakupan cangkir dari perairan antara dua samudera adalah milik kami juga. Namun tak ada daya yang kami miliki dalam kurungan di ruang besar berpintu jeriji untuk menggunakan hak melihat langit, apalagi hak untuk memiliki atau ikut memiliki setiap jengkal tanah dan setiap cakupan cangkir itu.

Yang teramat jelas dari keadaan kami adalah tentunya kelaparan. Di kapal itu saya dan teman-teman mendapat pola jatah makan seperti di Nusa Kambangan. Hari pertama, sama dengan jatah di Nusa Kambangan. Hari berikutnya, menyusut dan lauknya pun menghindar ke alam arwah. Dan sisa pelayaran selanjutnya: makan dua kali dengan air cabe. Ini terpaksa di lakukan karena jadwal pelayaran tak cocok dengan prakteknya. Dan kami pun mengangguk, lebih dari sekedar mengerti tentang mereka yang leluasa merakus.

Apa yang anda lakukan dan bagaimana keadaan di Pulau Buru?

Saya bersama teman-teman diharuskan merambah dan membuka hutan untuk dibuat jalan dengan peralatan seadanya, membangun barak-barak kami sendiri, menggarap areal pertanian dan membudidayakan bahan makanan yang kemudian hasilnya pun terlalu sering dirampas. Di sana tak ada perawatan kesehatan, pengawal pun sering kali berlaku keras terhadap tahanan. Pulau itu masih teramat liar, banyak hewan

buasserta penduduknya pun masih tergolong suku kanibal.

Tiga bulan pertama kami tidak punya sabun dan garam selama enam bulan. Jika panen gagal kami pergi ke rawa-rawa dan menebang pohon sagu untuk dibuat tepung. Penyakit pun mulai menjangkit para tapol. Kebanyakan dari mereka menderita hepatitis, cacingan, filaria dan malaria serta TBC.

Kami di sana makan sangat sedikit. Makan apa saja yang dijumpai menjadi lumrah. Ada yang memakan keong, cumi-cumi mentah, bahkan ada seorang teman berpenyakit TBC, melahap tikus kecil hidup-hidup. Tapi secara ajaib, ia sembuh dan malah menjadi kuat. Saya pun ikutan memakan tikus dan ular. Tapi kulit saya pecah-pecah dan mengeluarkan cacing-cacing kecil dari dalamnya.

Anda masih ingat berapa lama anda menjadi tahanan?

14 tahun. Itu belum termasuk dua tahun di penjara Bukit Duri dan Pulau Edam serta 10 tahun tahanan rumah.

Hampir semua karya anda di rampas dan tidak dikembalikan…

Benar. Banyak naskah saya dirampas dari rumah saya ketika penggeledahan. Buku

Baik. Dari kehidupan anda selama ini, apa yang anda inginkan?

Cuma satu, yaitu saya ingin melihat akhir semua ini. Namun hal itu belum terwujud, bahkan ketika kata berakhir terjadi dalam kehidupan saya.

(19)

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

PENDAR PENA

S

etelah mengadakan acara apresiasi sastra berupa resital puisi pada 9 April 2008 lalu. Markas sastra sebuah komunitas sastra yang diawaki mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI) kembali hadir dalam acara “Dua Hari Bersama Markas Sastra. Acara tersebut diadakan pukul 13.30 pada 5 dan 6 Mei 2008 di ruang Serba Guna gedung IV.

Di hari pertama, Senin, 5 Mei 2008 dibuka dengan sambutan dari orang-orang yang berkepentingan di acara ini. Lalu, diisi pembacaan puisi yang eksentrik dari Bimo dan hiburan musik oleh Elsa dan Yuka. Acara inti hari pertama adalah talkshow yang diberi tajuk “Ayo Menulis 1000 Kisah” dengan pembicara Asep Sambodja dan Endang Rukmana. Talkshow hari pertama ini di moderatori Tri Mulyono, seorang Mahasiswa penggiat Markas Sastra. Asep Sambodja dihadirkan dalam talkshow ini dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi yang gemar menulis Kisah (Karya Fiksi-Red). Sementara Endang Rukmana adalah seorang mahasiswa yang sudah terbiasa hidup dengan menulis Kisah. Dari Talkshow

ini diharapkan munculnya kegairahan baru dalam penulisan fiksi sebagai salah satu bentuk apresiasi sastra. Sayangnya acara ini kurang bersifat interaktif dengan penonton. Tidak adanya sesi tanya jawab dalam acara ini membuat acara ini sedikit sisi menariknya.

Hari kedua, Selasa, 6 Mei 2008 Inti acaranya adalah diskusi dan pelucuran buku “Pola dan Silangan: Jender Dalam Teks Indonesia”, sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan yang mengkaji bagaimana teks-teks Indonesia selama ini menulis wacana jender sebagai wujud artefak budaya. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi dan peluncuran buku ini Ibu Melanie Budianta (Guru Besar FIB-UI) yang memang seorang pakar dalam analisis teks-teks fiksi. Selain Ibu Melanie Budianta, hadir sebagai pembicara lain yakni, Eka Kurniawan yang mewakili kalangan praktisi. Eka Kurniawan adalah penulis yang dikenal melalui novelnya Cantik itu Luka. Bertindak sebagai moderator dalam diskusi ini adalah Hendra Kaprisma, mahasiswa FIB-UI yang juga penggiat Markas Sastra.

Dalam paparannya pembicara menilai bahwa tulisan-tulisan buku ini masih kurang mencakup keseluruhan teks-teks yang ada di Indonesia sehingga analisa jender di dalam buku tersebut belum begitu menyeluruh. Harapannya akan ada buku kedua mengenai analisa penulisan jender dalam teks yang dapat melengkapi buku “Pola dan Silangan: Jender Dalam Teks Indonesia” mengingat pesatnya kajian jender di Indonsia saat ini. Selain acara inti berupa diskusi dan peluncuran buku hari kedua juga di isi oleh selingan berupa pembacaan puisi yang menarik dari Gema Mawardi dan Nosa Normanda dan hiburan musik dari Payung Teduh.

Rangkaian acara Dua Hari Bersama Markas Sastra di isi dengan ragam acara yang cukup variatif. Meskipun acara intinya hanya berupa talkshow dan diskusi bedah buku tapi selingan-selingan berupa pembacaan puisi dan musik adalah salah satu cara membuat sebuah acara diskusi dan Talkshow tidak tampak terlalu kaku dan dapat menghibur. Kedepan diharapkan apresiasi terhadap sastra yang ada di FIB UI akan makin bergelora. Mengutip sebuah puisi: dari mana asal kata, dari kau. .(red)

Warta

Semangat

Semangat

Semangat

Semangat

Semangat

Apresiasi Sastra

Apresiasi Sastra

Apresiasi Sastra

Apresiasi Sastra

Apresiasi Sastra

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota dengan Kedalaman

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode ASM, metode Stepping Stone dan metode Modi dalam meminumumkan biaya angkut transportasi pendistribusian Raskin Perum

0 = 0% Dari hasil presentase diatas dapat kita lihat bahwa dalam buku teks siswa PAI kelas XII, jumlah nilai-nilai multicultural berupa, toleransi sebanyak 6 topik merupakan

Berdasarkan hasil uji normalitas dengan metode grafik yang dilakukan untuk variabel ROA sebagai variabel dependen pada gambar diatas, maka model regresi memenuhi asumsi

Kucing hamil dan anak kucing yang lebih muda dari 4 minggu usia jangan diberi Kucing hamil dan anak kucing yang lebih muda dari 4 minggu usia jangan

Identifikasi Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, dilakukan terhadap Risiko Perangkat Daerah dan Risiko Kegiatan dengan cara mengidentifikasi penyebab

• Sewaktu memesan part pengganti untuk selang bahan bakar, selang pemakaian umum dan selang vinyl yang standard, pakailah nomor part borongan yang dicantumkan pada parts

"Marketing sales di kuartal pertama sebesar Rp 585 miliar, artinya hampir sama dibandingkan tahun lalu," kata Indaryanto, Direktur Keuangan PPRO, Rabu (19/4)..