• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMANKU dan TINGGAL DI JERMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGALAMANKU dan TINGGAL DI JERMAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMANKU TINGGAL DI JERMAN

1

Oleh : Vita Sarasi

2

Mörfelden-Walldorf

Jerman

Awal Januari 2005

1 Untuk milis WRM, http://www.wrm-indonesia.org

(2)

PROLOG

Tak pernah sebelumnya aku bermimpi bahkan terpikir bisa pergi dan tinggal di luar negeri. Semua itu tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Namun takdir mengatakan lain. Di usiaku yang ke 32, setelah dinyatakan lulus tes yang berlapis-lapis, dan yang terpenting dari yang penting mendapat ijin dari suami tercinta, akhirnya keputusanku bulat. Aku akan berangkat meneruskan studi ke Jerman. Negeri yang konon merupakan pilihan terakhir berhubung bahasanya sulit, penduduknya tak ramah sama pendatang dan terkenal banyak aturan itu.

Tapi di sisi lain, dengan sederet keistimewaannya, rasanya Jerman tepat untuk jadi pilihan. Di bidang teknologi dan ekonomi Jerman patut diakui sebagai negara maju. Siapa sih yang tak kenal dengan mobil VW, BMW, Opel dan Mercedes-Benz? Siapa pula yang meragukan mutu produk kimia Bayer dan BASF dan produk kelistrikan Siemens? Di bidang teknologi transportasi, Jerman melesat dengan desain kereta api super cepat ICE beserta jaringan relnya yang menjangkau hingga pelosok. Di bidang tulis-menulis, sejumlah penyair dan penulis kelahiran Jerman, tulisannya banyak dibaca orang di seluruh dunia, di antaranya Johann Wolfgang von Goethe dengan karyanya ”Faust”, The Brothers Grimm, kakak beradik Jacob Ludwig Karl dan Wilhelm Karl, menulis dongeng anak-anak yang sangat akrab di telinga kita seperti si Topi Merah, Putri Salju dan 7 Kurcaci, dan Cinderella, Karl May menulis di Radebeul tentang kehidupan suku Indian Winnetou. Banyak komposer jenius lahir di Jerman, di antaranya Johann Sebastian Bach dan Ludwig van Beethoven. Hasil karya mereka dikonser dan operakan di seluruh dunia. Selain itu filsuf Jerman mulai yang klasik, Immanuel Kant, Georg Hegel, Karl Marx, Friedrich Engels hingga yang modern, Martin Heidegger, Karl Jaspers banyak berperan mewarnai sejarah filsafat dunia. Para ilmuwan dengan berbagai penemuannya menghasilkan tak kurang dari 69 buah Nobel Prize. Tentu kita semua mengenal Albert Einstein dengan ”teori relativitas”-nya, Wilhelm C. Röntgen dengan ”sinar X”-nya dan Robert Koch dengan ”virus TBC”-nya. Di samping itu keindahan alamnya berupa sungai Rhein yang sepanjang tepinya bertebaran puluhan kastil dan puri dari abad pertengahan, pegunungan Alpen yang puncaknya selalu putih ditutupi salju, danau Bodensee yang luas dan merupakan perbatasan dari tiga negara sangat tepat untuk menjadi pilihan obyek wisata.

Saat ini aku menjelang tiga tahun tinggal di Jerman. Pengalaman yang tak terlupakan, apalagi keluarga juga dibiayai untuk mendampingi. Rasanya kehangatan keluarga inilah yang menjadi faktor utama segalanya nampak indah dan berkesan. Kami tinggal di kota mungil Mörfelden-Walldorf, yang bisa dicapai sekitar setengah jam memakai bus dari bandar udara Frankfurt am Main. Interaksi sehari-hari dengan orang Jerman hampir tak bermasalah. Ternyata mereka tak sedingin yang dibayangkan, bahkan menurutku mereka lebih menghargai dan memberikan perhatian penuh waktu berkomunikasi. Anak-anak lebih lancar ngomongnya dibandingkan aku yang masih patah-patah karena harus berpikir dulu ketepatan gramatiknya. Hanya suamiku yang tetap bertahan memakai bahasa Inggris. Masih kagok alasannya. Padahal orang Jerman yang mau berbahasa Inggris bisa dihitung dengan jari.

Berikut ini aku mencoba untuk bercerita, sejauh yang bisa kuingat dan kubaca di literatur, pengalaman selama tinggal di Jerman. Aku bukan tipe orang yang suka menulis di buku harian, atau nge”blog” di internet seperti yang saat ini sedang nge”trend”. Jadi pengalaman ini ditulis benar-benar hanya mengandalkan daya ingat dan literatur yang kumiliki. Walau kusadari banyak sekali kekurangannya, namun aku berharap semoga tetap bermanfaat bagi siapa saja yang bersedia meluangkan waktu untuk membacanya.

Salam,

vitasarasi@yahoo.com

(3)

1. Awal Kedatangan

Saat itu, tepatnya tanggal 8 April 2002, setelah sempat transit selama satu jam di Singapur dan hampir selama 12 jam menempuh penerbangan, akhirnya pesawat Lufthansa yang kutumpangi dari Jakarta mendarat juga di Jerman. Lega rasanya meluruskan tubuh yang penat setelah sekian lama dalam posisi duduk. Jam menunjukkan pukul 6.00 pagi. Udara dingin menembus di sela-sela mantel membuatku sedikit menggigil. Padahal menurutku mantel itu sudah sangat tebal. Aneh seharusnya saat ini sudah musim semi. Musim yang dalam benakku pasti hangat. Mungkin karena masih pagi, pikirku. Sambil menunggu koper diproses di bagasi, tak kuasa aku menahan mataku untuk mengamati sekeliling bandar udara yang konon paling sibuk di Eropa itu. Bangunannya mirip kubah menjulang tinggi, didominasi warna putih rangka-rangka baja, khas desain bangunan modern.

Menurut literatur yang sempat kubaca di pesawat tadi, bandar udara Frankfurt am Main AG memang dijuluki sebagai „kota“ tersendiri karena ukurannya yang sangat besar, sekitar 15,6 km2. Kalau diperhatikan, julukan itu memang benar adanya. Di sana-sini nampak orang lalu lalang dengan kecepatan tinggi, dari satu tempat ke tempat lainnya. Sekilas mirip semut-semut berseliweran, sangat dinamis. Selain pengunjung, pekerja yang pasti puluhan ribu jumlahnya itu, tak pernah kelihatan berhenti aktivitasnya. Barangkali sepanjang hari bahkan sepanjang tahun. Ketika aku menengadah ke atas, tampak di jendela kereta otomatis antar terminal Sky Line melaju di rel yang menjulang tinggi di atas bangunan-bangunan.

Belum puas juga, sambil berjalan-jalan, aku memperhatikan fasilitas apa saja yang tersedia di bandar udara itu. Ada restoran, toko yang menjajakan aneka ragam oleh-oleh mulai dari buku, kue, minuman, busana, mainan anak-anak, sepatu, kamera dan keperluan sehari-hari lainnya. Pandanganku tiba-tiba terhenti pada salah satu pemandangan yang menarik perhatianku. Sebuah visitor terrace yang sangat luas. Di teras itu, sambil menunggu pesawat berangkat atau datang, atau barangkali sekedar mengisi waktu luang, pengunjung dapat menikmati sajian berupa jajaran pesawat-pesawat jumbo dan pesawat badan lebar maupun badan sempit dari berbagai negara. Kupikir menarik juga membayangkan ada semacam airport tour, dimana kita dibawa berkeliling ke bagian-bagian yang selama ini tidak pernah kita lihat. Menyaksikan dari dekat jumbo-jumbo jet Boeing 747 yang tengah diisi perutnya dengan bagasi.

Tak terasa sudah setengah jam berlalu. Tiga orang rekan dari kejauhan nampak melambai-lambaikan tangannya menyambut kedatangan kami. Rupanya mereka bertugas menjemput, karena tinggalnya paling dekat dengan bandar udara.

”Hallo, selamat datang di Jerman.” Kami bersalam-salaman. „Bagaimana tadi selama di perjalanan? Tak ada masalah kan?“

„Perjalanannya lancar. Baru kali ini naik pesawat semewah Lufthansa”. ”Betul. Suasananya juga nyaman jadi tak terasa menjenuhkan.”

”Iya. Pramugari dan pramugaranya ramah-ramah.”

”Perut juga rasanya kenyang sekali. Makanan seperti tak habis-habisnya disajikan.“ „Wah beruntung dong. Lidah saya sama sekali tak cocok tuh sama makanannya.” ”Ingat keluarga yang ditinggalkan kali. Kalau begitu tadi makannya apa?” ”Untung bawa bekal nasi rendang dan abon”

“Kalian sendiri bagaimana selama di Jerman? Sudah lebih dari setahun ya di sini?“

„Yah sejauh ini sih lancar-lancar saja. Yang penting berusaha maksimal dan banyak berdoa“

(4)

komando pemimpin rombongan. Bergegas kami berlari-lari kecil sambil membawa koper besar menuju ke RE (Regional Express/kereta api antar kota). Untuk mengejar waktu, mereka yang kota tujuannya jauh dibelikan karcis untuk naik ICE. Kecepatan ICE sekitar 300 km/jam. Masih di bawah kereta tercepat di Perancis, TGV yang kecepatannya pada tahun 1990 mencapai rekor 515 km/jam. Data ini kulihat dari buku ”Der Zug” terbitan Mannheim tahun 2004.

***

Selama di RE menuju ke Mannheim kami berbincang-bincang mengenai bagaimana bepergian di Jerman.

”Pertama-tama kita harus punya Fahrplan (rencana perjalanan) yang jelas. Artinya untuk sampai ditujuan perlu ganti kereta atau tidak. Kalau ternyata harus ganti kereta, kita perlu tahu di mana dan di Gleis (jalur) berapa kita harus turun dan berapa lama menunggu kereta selanjutnya.”

Fahrplan itu bisa didapatkan di mana, Mas?”

„Bisa minta di-print-kandi Reisezentrum (pusat informasi perjalanan). Gratis koq.”

”Juga jangan sampai salah Gleis ya?”

”Bukan cuma itu. Pada Hauptbahnhof (stasiun kereta utama) yang besar seperti Frankfurt, Hamburg, Berlin, dalam satu jalur bisa terdapat satu sampai dua rangkaian jenis kereta yang berbeda. Jika tak teliti, bisa-bisa salah naik kereta, padahal Gleis-nya sudah betul.”

”Saya perhatikan tiketnya juga macam-macam.”

“Iya. Ada yang sekali jalan, harian, sendiri atau kelompok.”

Untungnya kami ada yang menjemput. Terbayang kalau harus bergerak sendiri, pasti kebingungan.

„Keretanya selalu tepat waktu Mas?“

„Biasanya Zug (kereta api) akan datang dan pergi tepat waktu, kecuali ada peringatan sebelumnya akan ada Verspätung (keterlambatan). Di sini kita harus membudayakan untuk selalu tepat waktu“.

„Iya. Tadi aku lihat masinis tak mau menunggu seorang nenek-nenek yang terlambat naik kereta karena tak bisa berlari cepat. Kasihan, nampaknya dia kecewa sekali.“

„Memang tak ada ampun. Bukan hanya kehilangan waktu, b

ahkan untuk kereta jenis ICE, kita pun

akan kehilangan uang jika terlambat“.

(5)

negara-negara Uni Eropa, karena pada tahun tersebut mulai diberlakukan mata uang tunggal Euro di seluruh wilayah Uni Eropa.

2. Malam Pertama di Europahaus

Begitu sampai di Mannheim, kami segera mencari S-Bahn (kereta api dalam kota) menuju Goethe Institut, tempat kursus bahasa. Setelah mendaftar, sambil menenteng koper besar, kami langsung dihadapkan pada tes penempatan kelas. Ya ampun, pikirku, begitu efisiennya sampai-sampai ujian pun harus sekarang. Dalam keadaan masih jetlag, aku berusaha mengisi lembaran-lembaran tes. Yang kuingat, pada lembar pertama konsentrasiku masih penuh. Memasuki lembar-lembar berikutnya, aku mulai banyak menguap dan tak bisa berpikir jernih lagi. Akhirnya setelah nomor terakhir kuisi tanpa melihat lagi soalnya, kertas langsung kukumpulkan. Aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan hasilnya tak terlalu mengecewakan.

Selesai pre-test, kami masing-masing diberi uang kas sebesar 410 Euro dan diantar menuju ke Europahaus, sebuah Gästehaus (wisma tamu) milik Goethe Institut. Wisma itu letaknya di Steubenstraße 80 (pojok Hans-Sachs-Ring), 68199 Mannheim. Memang stylenya bergaya Eropa, makanya disebut Europahaus. Sebelum menempati kamar, kami diwajibkan membayar Kaution (uang jaminan) sebesar 25 Euro. Uang Kaution ini nantinya akan dikembalikan bila kita keluar, dengan catatan tidak ada yang rusak. Bila terjadi sesuatu, maka pengembalian uang Kaution ini bisa-bisa tidak utuh. Makanya begitu ada yang tak berfungsi atau rusak, kita harus segera melapor ke Hausmeister (orang yang bertanggung jawab pada Gästehaus).

Kami juga diberi kunci kamar. Kunci kamar ini bisa juga dipakai untuk membuka kunci pintu masuk utama wisma. Aneh juga pikirku. Setiap kunci bisa dipakai untuk membuka pintu utama dan kamar masing-masing, tapi tidak bisa untuk membuka kamar orang lain. Di Jerman ini kalau kunci hilang atau rusak kita tak bisa begitu saja menggandakan seperti di Indonesia. Yang bisa menggandakan kunci hanya pemilik rumah. Jika kunci hilang kita harus membayar sejumlah uang yang jumlahnya cukup besar. Uang sewa kamar untuk perorangan di Europahaus paling murah 217 Euro. Untuk yang kamarnya lebih besar atau yang bisa dipakai berdua tentunya lebih mahal lagi. Untungnya kami terbebas dari biaya kursus dan biaya sewa wisma.

”Dapat kamar yang mana?” seorang rekan bertanya.

”Lantai lima, paling atas” jawabku sambil bersyukur karena ada lift. Bayangkan kalau tidak ada.

”Jadi semua rekan perempuan ditempatkan di atas, dua di lantai lima, dua lagi di lantai empat. Yang laki-laki satu di lantai bawah satu lagi di lantai dua. Catat nomor kamar masing-masing ya. Biar gampang nanti kalau mau bertemu”.

Di Jerman lantai paling bawah belum disebut lantai satu, tapi Erdgeschoss (lantai bawah). Lantai berikutnya baru mulai disebut lantai satu, dua, tiga, dst. Lantai di bawah Erdgeschoss disebut Keller (ruang bawah tanah). Kamarku terletak paling pojok, berukuran 4 x 2,5 meter. Di dalamnya ada tempat tidur, lemari dan meja belajar. Untuk setiap lima orang disediakan satu Küchen (dapur), satu kamar mandi dan satu WC. Ada peraturan tiap dua minggu, kami bisa mengganti seprei, sarung bantal, handuk, tissue kamar mandi dan tirai korden. Dengan catatan harus antri.

(6)

Indonesia, lebih günstig (menguntungkan) kalau kita memakai handphone, karena dengan harga yang sama bisa menelepon lebih lama, 51 menit. Ini tentunya jauh lebih murah ketimbang dari Indonesia menelepon ke Jerman.

Karena waktu itu belum beli kartu telepon, jadinya aku cuma kirim pesan saja (sms), menanyakan kabar. Kata suamiku, anak-anak menanyakan kapan bisa menyusul mamanya. Memang ini pertama kalinya aku harus berpisah dengan mereka. Teringat kembali betapa kerasnya tangis anak bungsuku, Fadhilla, saat aku harus masuk pesawat di bandara Soekarno-Hatta. Bahu suamiku sampai luka digigit dan dicakar. Anak sulungku Naufal, lebih bisa memendam kesedihannya, meski nampak matanya berkaca-kaca. Dalam hati aku hanya berdoa semoga saja dapat segera dipertemukan dengan mereka.

***

Tengah hari baru terasa lapar. Perut keroncongan dan minta segera diisi.

”Kita cari donner kebab aja yuk. Rasanya tadi lihat kedai Turki tak jauh dari sini”, ajak seorang rekan. ”Iya deh, rasanya memang masih malas untuk masak”

”Donner Kebab itu apa sih?“. Rupanya ada juga yang belum tahu. ”Itu roti isinya salad dan daging. Bisa ayam atau kambing”. ”Kalau suka bisa juga ditambah cabe dan saus putih“ ”Harganya berapa ya?”

”Tak tahu percisnya berapa. Tapi pasti terjangkau”.

„Iya. Porsinya besar koq, jadi cukup kenyang sampai besok”

”O iya. Besok kan hari Minggu. Toko-toko pada tutup lho. Kalau mau belanja sekarang saja. Kalau tidak salah buka sampai jam 4 sore“.

Di Jerman ini, pada saat itu, setiap Hari Minggu toko-toko tutup dan hari Sabtu buka sampai jam 4 sore. Jadi persediaan makanan harus sanggup ”bertahan” selama hari libur. Tapi mulai tahun ini jam buka di beberapa toko sudah diperpanjang sampai jam 8 malam. Kebetulan, di depan tempat tinggal kami, ada Tengelmann yang menjual kebutuhan sehari-hari. Walaupun harga-harganya relatif lebih mahal dibandingkan toko lainnya misalnya Penny, LiDl atau Aldi tapi letaknya yang dekat memudahkan kami kalau tiba-tiba kehabisan susu atau gula.

Setelah kenyang, rasa kantuk kembali menyerang. Tapi lama sekali rasanya menunggu hari jadi gelap. Memang di musim semi, matahari baru tenggelam sekitar pukul 8 malam. Aneh rasanya tidur dalam kondisi terang benderang. Aku mencoba untuk melihat-lihat aktivitas orang lain di luar melalui jendela. Mungkin lebih baik kubuka saja sekalian jendelanya, pikirku. Supaya udara segar bisa masuk. Begitu jendela kubuka, betapa terkejutnya aku karena jendela seperti akan jatuh ke arah samping. Jangan-jangan rusak. Tapi setelah diperhatikan, ternyata jendela memang dirancang untuk bisa dibuka dua arah, ke arah samping dan sedikit ke arah bawah. Di luar ternyata ramai sekali. Ada yang berolah raga, atau sekedar jalan-jalan bersama anjingnya, ada juga yang baru pulang berbelanja. Kuperhatikan di bagian luar jendela ada roller. Aku jadi punya ide untuk menutup roller rapat-rapat, supaya cahaya tak bisa masuk kamar. Begitu ditutup, kesan hari telah gelap segera tercipta dan aku jadi lebih mudah untuk tidur.

***

(7)

di ruangan pun lampunya dimatikan kecuali sedang digunakan. Rasanya aneh karena di Indonesia lampu-lampu biasa dinyalakan pada malam hari. Konon malah orang Jerman kadang-kadang menggunakan lilin pada saat makan malam. Selain menghemat juga menimbulkan kesan romantis.

Di kamar mandi, aku menggigil kedinginan. Untung tersedia air panas. Di dinding sempat kuperhatikan ada tulisan penuh angka-angka. Setelah kucermati tenyata statistik penggunaan air. Rupanya sebuah peringatan perlunya menghemat air. Kita memang tak pernah terpikir untuk menghemat air, karena merasa air selalu tersedia dengan melimpah. Tapi rasanya jadi tersentak ketika di Jerman ini diingatkan betapa berharganya air bersih itu untuk berbagai keperluan lainnya daripada sekedar dibuang-buang untuk mandi secara berlebihan. Benarlah kalau orang Jerman selain dikenal sebagai pekerja keras, punya prinsip, juga sangat efisien.

***

Hari-hari selanjutnya aku mencoba berkenalan dengan penghuni kamar lainnya.

Hallo, ich bin Vita. Ich komme aus Indonesien“ (Halo, saya Vita. Saya dari Indonesia) „Ich bin Mirey aus Lebanon“ (Saya Mirey dari Libanon)

Was studierest du?“ (Kamu ambil studi apa?)

Wirtschaftswissenschaften. Und du? “ (Ekonomi, dan kamu?). „Mathematik

„Toll!“ (hebat)

Setelah berkenalan, ada tradisi untuk saling mengundang makan bersama, mencoba makanan khas dari negara masing-masing. Aku sempat diundang untuk makan bersama orang Arab dan Thailand. Kita jadi bisa tahu bukan saja makanan khas mereka, tapi juga cara makannya. Misalnya orang Arab biasa makan bersama-sama dalam satu piring besar dan orang Thailand senang makan makanan panas berkuah memakai sumpit. Di sini yang tadinya tak pernah ke dapur, mendadak jadi bisa memasak. Sebenarnya tak terlalu sulit mengingat bumbu-bumbu telah tersedia dalam bentuk bubuk. Tak perlu lagi mengupas dan mengulek.

3. Kursus Bahasa di

Goethe Institut

Setiap minggu dari Senin sampai Jum’at aku diwajibkan ikut kursus bahasa di Goethe Institut. Untung jaraknya cukup dekat dari Europahaus tempatku menginap. Aku biasa berjalan kaki bersama rekan-rekan lainnya. Lumayan sekitar 10 menit, sekalian olah raga. Trotoar di Jerman memang didesain cukup lebar dan nyaman untuk pejalan kaki dan pemakai sepeda. Kalau kita akan menyeberang di jalan kecil, otomatis kendaraan akan berhenti menunggu kita sampai di seberang. Kalau di jalan besar, kita cukup menekan tombol lampu di tepi jalan hingga berwarna hijau. Rasanya aman sekali berjalan-jalan di Jerman. Tak heran kalau orang-orang cacat yang memakai kursi roda dan orang butapun bisa berjalan-jalan dengan bebas sendirian tanpa ada yang mendampingi. Semua alat-alat transportasi dirancang sedemikian rupa hingga dapat digunakan baik untuk orang normal maupun cacat.

(8)

Peserta lain sepertinya berasal dari Eropa, Afrika dan Asia, dan mungkin ada juga dari Amerika. Mereka berbondong-bondong memenuhi papan pengumuman melihat hasil tes penempatan kelas.

Jam menunjukkan pukul 8.30, waktu untuk memulai pelajaran. Aku mendapat kelas yang cukup menyenangkan. Guruku seorang wanita, sangat ramah, berkaca mata dan berambut panjang berwarna merah kecoklatan.

Guten Morgen alles. Herzlichen Willkommen. Ich bin Sibylle Grabowsky. Ich komme aus Ungarn“. (Selamat pagi semua. Selamat datang. Saya Sybille dari Hungaria)

Selain mengajar bahasa, Sibylle ternyata juga seorang psikolog. Ia tinggal sekaligus buka praktek di Heidelberg, satu jam naik RE dari Mannheim. Teman sekelasku ada 12 orang dari Jepang, Korea, Rusia, Amerika Latin, Yunani, Turki dan paling banyak dari Cina. Peserta dari non Asia nampak lebih lancar dalam berkomunikasi. Mereka selalu mendominasi pembicaraan di kelas. Peserta dari Asia agak sedikit malu-malu. Tapi dari segi gramatik, mereka umumnya lebih jagoan. Supaya lebih aktif berkomunikasi, Sybille kadang-kadang memancing emosi peserta. Katanya kalau bisa marah-marah dalam bahasa Jerman bisa dibilang sudah menguasai.

***

Aussprache (pengucapan) beberapa huruf terutama yang menggunakan Umlaut (ada titik dua di atas huruf) sering menjadi masalah. Huruf-huruf itu harus diucapkan dengan mulut yang agak dimonyongkan ke depan. Kalau kurang monyong tidak ada artinya atau artinya akan lain sama sekali. Misalnya Küchen, kita harus mengucapkannya kuechen artinya dapur. Kalau mulut kita kurang monyong jadinya kuchen artinya kue. Hari hari pertama bibir rasanya jontor juga karena sering dimonyong-monyongin.

Sebagai alat bantu, kadang-kadang dipakai juga korek api. Sambil mengucapkan kata, misalnya gar nicht, kita harus meniup korek sampai apinya mati. Kalau apinya masih nyala berarti pengucapan kita belum betul. Orang Indonesia sering bermasalah dalam mengucapkan huruf w. Mulut harus benar-benar dilebarkan ke samping kanan dan kiri, baru betul.

Hal lain yang membuat otak harus berputar lebih keras adalah setiap benda mempunyai artikel atau jenis kelamin, apakah maskulin (der), feminin (die) atau netral (das). Misalnya die Uhr (jam) feminin, der Tisch (meja) maskulin, das Radio (radio) netral. Artikel ini harus dihafal karena menjadi dasar dari pembentukan kalimat. Dalam bahasa Spanyol pun dikenal pemakaian artikel. Tapi menurut Libertad temanku asal Meksiko, kadang ada perbedaan artikel. Misalnya kalau celana panjang, dalam bahasa Jerman artikelnya feminin tapi dalam bahasa Spanyol artikelnya maskulin. Tak heran dia agak terbingung-bingung ketika menghafal artikel benda-benda.

***

Tema bahasan di kelas macam-macam. Mulai dari rumah, belanja, acara tv, keluarga, karir, liburan, cuaca, etika sampai ramalan masa depan. Hari ini temanya tentang makanan. Tiga orang, dari USA, Yunani dan Jepang dimintai pendapatnya mengenai kebiasaan makan dan minum orang Jerman.

„Semuanya serba teratur. Waktu makan, bumbu-bumbu dan variasinya sangat sedikit. Makan siang di Jerman umumnya hangat, berupa kentang, mie dan kadang-kadang nasi ditambah lauk pauk dan salat. Sayuran relatif jarang, kalaupun ada biasanya sayuran kalengan atau sayuran beku dari kulkas. Sayuran segar sangat sedikit. Konsumsi daging sangat tinggi”, demikian komentar orang Yunani.

(9)

”Di Jepang orang suka makan ikan. Semua hidangan disajikan sekaligus. Di Jerman dihidangkan secara bergiliran. Di Jepang orang makan bermacam-macam hidangan, setiap orang sekali makan bisa lima sampai enam macam hidangan. Di Jerman variasinya lebih sedikit tapi porsinya besar.”

Makan malam yang dingin, antara jam 6 sampai jam 8 malam menurut ketiga orang tersebut sangat khas di Jerman. Sementara di negara mereka makan malam yang hangat sangat penting. Di Jepang tidak ada pembatasan yang jelas antara makanan dingin dan hangat.

”Sarapan pagi di Jerman lebih baik. Di Yunani sarapannya cuma minum kopi”

”Menurut kami sarapan pagi di Jerman sangat membosankan. Selalu roti, mentega, selai, susis atau keju”, orang USA dan Jepang menimpali.

”Orang Jerman makan dalam porsi yang besar, kadang-kadang bicara dengan isyarat tangan pada saat makan. Mereka menghabiskan semua makanan dan tidak menyisakan sedikit pun. Di Jepang orang makan tidak hanya dengan mulut, tapi juga dengan mata. Jadi menyajikan makanan ada estetikanya.” Menurut orang Jepang, orang Jerman tidak benar-benar menikmati saat makannya karena waktunya sangat pendek.

Pada hari Minggu dan hari libur orang Jerman pada umumnya makan lebih istimewa dibandingkan hari biasa. Walau demikian secara umum mereka jarang pergi ke restoran.

”Orang Amerika pergi makan keluar kira-kira tiga kali dalam seminggu. Kadang-kadang cuma pergi ke McDonald untuk makan siang. Orang Jerman pergi makan keluar hanya satu kali dalam seminggu atau bahkan dua minggu, karena sangat mahal biayanya”.

Untuk kebiasaan minum, semua sepakat kalau orang Jerman minum lebih banyak alkohol dibandingkan dengan di negara mereka.

”Kebiasaan untuk menghilangkan rasa haus dengan minum bir seperti di Jerman tidak ada di Yunani. Kalau haus kami minum air putih”

”Barangkali minuman bir di Jerman tidak mengandung alkohol”, celetuk orang Jepang.

***

Di kelasku yang terpandai namanya Illona dari Rusia. Menurut dia bahasa Jerman lebih sulit daripada bahasa Rusia. Tapi ketika dia memberi contoh, menulis satu kata dalam bahasa Rusia, seketika semua kening berkerut-merut. Kata yang ditulis itu mengandung huruf konsonan yang berderet-deret sampai lebih dari empat huruf baru ada huruf vokalnya. Jadi ketika dibaca, lidah rasanya terlipat-lipat. Yang terpandai berikutnya adalah Ayumi dan Noriko dari Jepang. Mereka juga bilang bahasa Jerman lebih sulit daripada bahasa Jepang. Padahal menurutku, bahasa Jepang itu jauh lebih sulit. Selain gramatik juga cara menulisnya, dibutuhkan seni tersendiri. Huruf Jepang setahuku ada tiga macam, Katakana, Hiragana dan Kanji. Yang lebih lucu, kadang tulisannya sama, tapi ketika dibaca orang Korea, Jepang dan Cina bisa berbeda cara mengucapkan maupun artinya. Rasanya perlu menelusuri sejarah apa yang menjadi penyebabnya. Ketika aku tanya, merekapun tak mengerti mengapa demikian. Diam-diam aku jadi ingin tahu, bagaimana pendapat orang Jerman sendiri terhadap bahasanya. Sulitkah menurut mereka?

(10)

Masalahnya sekarang, benarkah belajar bahasa Jerman itu sulit? Kalau diperhatikan, bahasa Jerman sebenarnya masih serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris (Germanische sprachen). Jadi amat berbeda dengan bahasa Perancis yang serumpun dengan bahasa Italia, Portugis, atau Spanyol yang menginduk ke bahasa Latin. Yang pasti bahasa Jerman memang jauh lebih sulit ketimbang bahasa Inggris karena struktur kalimatnya lebih rumit. Apalagi, bahasa Jerman tidak hanya diserap secara kognitif, tapi juga untuk kebutuhan sehari-hari. Memang benar kalau hanya mengandalkan kursus tak cukup. Kursus bahasa Jerman memang lebih mengutamakan practical skill atau skill oriented. Makanya pada ujian akhir bagian ’mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara’ mendapat bobot lebih besar. Gramatik lebih sebagai penunjang dan diajarkan bersamaan dengan ketiga komponen itu. Mendengarkan dan membaca boleh disebut pasif skill, menulis dan berbicara adalah aktif skill.

***

Kursus berakhir jam 13.00. Saatnya untuk ke mediotek atau ruang audio-video. Di sana kita bisa memilih program-program dalam bentuk CD-Rom, pita audio, atau video. Fasilitas internet juga disediakan, tapi harus ngantri berhubung yang berminat banyak. Jadi setiap orang cuma dapat jatah masing-masing 30 menit. Cukup untuk mengirim email ke keluarga, teman atau profesor. Kegiatan lainnya adalah mengerjakan PR. Membuat PR secara bersama-sama di perpustakaan rasanya lebih cepat selesai dibandingkan membuat sendiri di rumah.

Belajar bahasa identik dengan memahami budaya. Jadi kegiatan di Goethe-Institut dibagi tiga, bahasa, budaya, dan informasi. Pada saat Freizeitprogramm (program waktu luang), kita bisa memilih untuk mengikuti program kultur atau olah raga. Aktivitasnya antara lain jalan-jalan (Stadtrundgänge atau Rundfahrten) ke berbagai obyek wisata, seperti musium, teater, konser atau opera. Setiap hari Rabu malam ada kegiatan Stammtische, yaitu duduk-duduk berkeliling, ngobrol sambil minum. Orang Indonesia biasanya pesan teh atau air jeruk, tak seperti kebanyakan peserta kursus lain, yang pesannya bir. Bahkan salah seorang peserta wanita dari Korea bisa minum bir sampai bergelas-gelas tanpa mabuk. Mungkin sudah terbiasa. Pada saat itulah kami menjajal bahasa Jerman dengan sesama peserta kursus. Selain itu juga ada kegiatan namanya Tandem. Kita mencari partner orang Jerman yang ingin belajar bahasa kita. Aku kebetulan dapat partner Tandem orang Jerman yang ingin belajar bahasa Indonesia. Tapi sayangnya, ketika dihubungi dia lagi berada di Indonesia selama dua bulan.

***

Tiga bulan berikutnya, aku dipindahkan ke kelas khusus untuk mengikuti DSH (Deutsche Sprachprüfung für den Hochschulzugang ausländischer). Guru pembimbingnya seorang pria setengah baya, namanya Herr Scheiner. Berkacamata, terkesan sangat serius, tegas, disiplin dan nyaris tanpa senyum. Pada akhir kursus, jika lulus test, peserta akan mendapat sertifikat DSH. Sertifikat itu penting sebagai syarat untuk bisa kuliah di beberapa universitas. Tapi ada juga universitas yang tidak mensyaratkannya, terutama kalau profesor atau universitas memberi ijin kita untuk menulis thesis/disertasi dalam bahasa Inggris. Ketika hasil test diumumkan, ternyata dari 15 orang di kelas, hanya 4 orang yang lulus. Padahal di kelas lainnya, ada yang semuanya lulus.

Scheiße! (sial)”, kata mereka.

Di antaranya ada yang menangis sedih dan berencana langsung pulang ke negaranya, tapi banyak juga yang bertekad untuk mengulang lagi, walaupun untuk itu mereka harus menyediakan waktu dan membayar biaya yang cukup besar. Ketika aku bertanya, berapa biaya kursus pada salah seorang peserta kursus, mereka menyebutkan sekitar € 1000 sampai € 1.500,-. Untungnya peserta dari Indonesia sebanyak 7 orang dinyatakan lulus semua.

(11)

menari modifikasi tarian bali, aceh dan poco-poco. Ada juga teman yang membawakan puisinya Taufik Ismail yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Setiap peserta juga menghidangkan makanan tradisional dari negaranya masing-masing. Dengan membayar 2 Euro, kami bebas memilih makanan apa saja yang kami inginkan. Dari Indonesia kami membuat cendol dan bakwan. Rupanya makanan Indonesia termasuk yang digemari, terbukti „jualan“ kami ludes.

Setelah pesta perpisahan itu, kami merencanakan untuk ke kota masing-masing sesuai dengan universitas yang dipilih. Berat rasanya berpisah, karena sudah enam bulan kami selalu bersama-sama. Tapi bagi yang berkeluarga mungkin agak terhibur, karena mereka bisa segera datang. Namun ada juga yang sedih, karena keluarganya tidak bisa mendampingi. Karena itu mereka dibiayai dua kali untuk pulang menengok keluarga ke Indonesia.

4. Pengalaman Tinggal di

Jugendherberge

Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Menyambut datangnya keluarga yang telah lama dirindukan. Enam bulan rasanya seperti enam tahun. Tak sabar aku menanti di terminal 2, Fraport AG. Sebentar-sebentar aku melihat jam. Menurut jadual harusnya Malaysia Airlines yang membawa suami dan anak-anakku mendarat jam 5.30. Menurut suamiku, ibuku ikut juga, memakai visa turis. Jadi maksimal bisa tiga bulan di sini. Lumayan cukup untuk jalan-jalan.

Saat itu sudah memasuki musim gugur. Pemandangannya sangat indah. Daun-daun beragam warnanya. Sebelum gugur, daun yang tadinya berwarna hijau, berubah menjadi merah lalu kuning keemasan. Aku jadi teringat sebuah lagu lama judulnya Autumn leaves.

The falling leaves drift by the window

The autumn leaves of red and gold

I see your lips, the summer kisses

The sun-burned hands I used to hold

Since you went away the days grow long

And soon I'll hear old winter's song

But I miss you most of all my darling

When autumn leaves start to fall

Beberapa penumpang sudah berdatangan. Mereka langsung disambut keluarga atau temannya dengan pelukan, salaman atau bunga. Aku mencari-cari dimana keluargaku. Mudah-mudahan saja tak mendapat masalah waktu pemeriksaan koper. Pemeriksaan itu memang dilakukan secara acak. Siapa saja bisa jadi sampelnya. Tiba-tiba di kejauhan aku melihat sosok yang begitu kukenal. Suamiku mendorong trolley, diikuti anak-anak dan ibuku. Aku langsung bergegas menghampiri mereka.

”Ibu”, anak-anakku Fadhilla (4 tahun) dan Naufal (7 tahun) langsung turun dari trolley berlari memelukku. Betapa bahagianya bertemu mereka lagi. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan.

”Waduh kalian sudah besar ya. Tapi koq kelihatan kurus?”

”Iya barangkali kecapean. Kemarin transit di Kuala Lumpur lama sekali, hampir 6 jam”, ibuku menjelaskan.

”Terus ngapain saja di sana?”

“Ya keliling-keliling. Anak-anak sampai ketiduran di kursi karena lelah”.

(12)

”Sekitar jam 12 malam”.

”Wah pasti masih pada jetlag dan ngantuk ya. Ini kan pengalaman pertama pergi ke luar negeri yang jauh sekali.”

Idealnya keluarga datang dua minggu lagi, jadi bisa langsung menempati rumah. Tapi berhubung rindu sudah tak tertahan lagi, akhirnya mereka dipercepat datangnya. Walaupun jadinya selama dua minggu tinggal sementara di Jugendherberge, Mannheim. Wisma murah itu sebetulnya untuk anak muda yang sedang dalam perjalanan. Jadi fasilitasnya seadanya. Yang penting menghemat pikir kami. Kebetulan pengurusnya orang Indonesia yang bersuamikan orang Jerman. Kami mendapat satu kamar besar, tempat tidurnya bertingkat, ada tiga. Biayanya 12 Euro perorang perhari, termurah untuk penginapan di Jerman. Selain kunci kamar, setiap penginap diberi nomor pin untuk masuk ke dalam rumah. Demi keamanan. Kami perhatikan pengunjungnya bervariasi dari berbagai negara. Ada serombongan wanita dari Afrika yang katanya mau mengadakan seminar wanita. Ada juga pelajar dari Italia di depan kamar kami, yang cuma ingin melancong di Jerman menghabiskan waktu libur.

***

Setiap pagi kami mendapat Frühstück (sarapan pagi). Menunya khas Jerman, roti, mentega, Marmelade (selai), keju, dan susis yang diiris tipis-tipis. Menurut literatur yang kubaca, roti di Jerman ini sangat bervariasi. Yang ukurannya besar ada sekitar 300 jenis dan yang kecil sekitar 1200 jenis. Ada Weizenbrot (dari gandum putih), Roggenbrot (gandum hitam), Vollkornbrot (roti kasar kecoklat-coklatan dari terigu yang bekatulnya tidak dipisahkan) dan Schrotbrot (roti dari biji padi-padian yang digiling kasar). Roti yang jenisnya kecil, diantaranya Croissants dan Brezel. Brezel ini bentuknya sangat khas, seperti angka delapan. Waktu pertama kali mencobanya, aku tak begitu suka, karena rasanya sangat asin. Tapi lama-lama aku suka juga, karena ternyata enak dimakan hangat-hangat. Butiran-butiran garam di atasnya bisa dihilangkan dengan sedikit menggesek pakai jari. Lagipula harganya sangat murah, satu Brezel sekitar 0,55 sampai 1 Euro.

Selain roti, ada juga Müsli, campuran havermout, kismis, kacang, buah-buahan kering yang dimakan bersama susu segar. Bagi yang suka Joghurt juga disediakan. Joghurt ini sejenis produk dari susu yang dibuat asam dan berlemak yang biasanya dicampur buah. Minumannya selain kopi ada juga teh. Tak seperti di Indonesia, teh di Jerman lebih banyak variasi rasanya. Ada Früchtetee (rasa buah-buahan), Pfefferminztee (rasa mint), Kamillentee (rasa bunga Kamille yang biasanya diminum kalau sakit maag), Hustentee (diminum kalau sakit batuk). Tapi menurut ibuku tehnya rasanya aneh. Mendingan minum teh tubruk katanya. Kami makan sekenyang-kenyangnya karena ada peraturan tak boleh membawa makanan ke kamar. Beberapa penginap yang mencoba membawa makanan karena tak tahu ada peraturannya, nampak ditegur oleh karyawan. Di Jerman ini memang banyak peraturan yang sifatnya tertulis. Jadi kita harus selalu memperhatikan dinding, jangan-jangan ada peraturan baru yang ditempel.

”Makan siangnya apa ya?. Di sini kan ada peraturan tak boleh masak pakai kompor. Katanya bisa mengotori dinding”, tanyaku.

”Masak nasi Hainan saja pakai rice cooker”, ibuku punya ide.

”Ide yang bagus. Daging, sayur dan bumbu dicampur jadi satu dengan beras. Sangat praktis”

(13)

***

”Kita sarapan yuk sudah jam 7 pagi. Habis sarapan kita bisa jalan-jalan ke pusat kota”, ajak suamiku suatu pagi.

”Aneh, tapi sarapan paginya koq belum disiapkan ya?” aku keheranan ketika melihat pintu menuju ruang makan masih tertutup dan sepi. Jangan-jangan ada perubahan peraturan atau jam tanganku yang kecepatan.

Seorang karyawan segera mendekati kami yang kebingungan dan menjelaskan bahwa sudah saatnya kita harus memajukan jam selama 1 jam. Jadi jarum arloji harus dimajukan menjadi jam 6 pagi.

”Hari Minggu terakhir bulan Oktober adalah permulaan waktu (jam) musim dingin (Beginn der Winterzeit). Sebaliknya hari Minggu terakhir bulan Maret adalah permulaan waktu (jam) musim panas (Beginn der Sommerzeit).” , karyawan itu mencoba menjelaskan lebih rinci.

Kami manggut-manggut berusaha untuk mengerti. Sambil kembali ke kamar di kepala kami timbul pertanyaan mengapa harus demikian. Tapi memang, kalau melihat keluar jendela, hari masih gelap. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas sekolah atau bekerja di musim dingin. Jadi memang logis kalau waktu aktivitas disesuaikan setiap bulan Oktober dan Maret.

5. Sulitnya Mencari Tempat Tinggal di Jerman

Tanggal 1 November kami pindah dari Jugendherberge ke apartemen (Wohnung) sementara di lantai tiga daerah Hausen, Frankfurt am Main. Walaupun hanya overcontract selama 3 bulan, namun lega rasanya. Apartemen terdiri dari dua kamar. Di Jerman ini, dua kamar bukan berarti dua kamar tidurnya. Tapi satu kamar tidur dan satu ruang tamu. Selain itu ada satu dapur dan kamar mandi. Mesin cuci ada di Keller (ruang bawah tanah). Rumah itu termasuk yang möbliert, artinya semua perabotan rumah termasuk gelas dan piring disediakan pemilik apartemen. Kita tinggal bawa koper isi pakaian, makanan, dan mainan anak. Tampaknya enak, tapi aku justru kuatir kalau anak-anak memecahkan gelas atau piring. Pecah satu piring, bisa-bisa disuruh ganti satu set. Urusan anak kadang bikin repot. Aku sering menegur mereka yang kalau bermain pasti sambil melompat-lompat atau berteriak keras-keras. Pasalnya, kata si pemilik apartemen (Vermieter), penghuni di bawah kami adalah seorang nenek yang berpenyakit jantung. Kalau anak-anak terlalu ribut, bisa-bisa penyakitnya kambuh, dan dia bisa komplain ke kami sekaligus pemilik apartemen. Itulah sebabnya pemilik apartemen hanya mengijinkan kami tinggal untuk sementara sambil mencari apartemen yang permanen.

Mulailah kami berburu apartemen sewaan. Jangan mimpi mendapat rumah utuh karena sewanya sangat mahal. Untuk ukuran keluarga dengan 2 anak, minimal perlu 2,5 kamar (satu kamar tidur, satu kamar tidur anak ukuran kecil, dan satu ruang tengah/tamu plus dapur dan kamar mandi). Di Frankfurt, pasaran sewanya sekitar 500 Euro perbulan. Itu baru disebut Kaltmiete (sewa dasar rumah), belum Warmmiete (sewa total sebulan) karena harus ditambah dengan Nebenkosten (biaya operasional seperti biaya listrik, air bersih, air kotor, sampah, kebersihan dan penerangan jalan, asuransi rumah dan sebagainya) yang berkisar antara 100-200 Euro tergantung fasilitas dan letak rumah.

(14)

Status pendatang (Ausländer) juga menjadi alasan pemilik apartemen menolak kami. Sekilas dia tidak bilang secara eksplisit, namun kata seorang teman, banyak kasus Ausländer ingkar janji, menunda-nunda membayar uang sewa, bahkan kabur meninggalkan tunggakan sewa berbulan-bulan. Orang Jerman mengidentikkan Ausländer dengan pengangguran. Kami harus sering menunjukkan bukti surat beasiswa untuk menjamin kontinunya pembayaran sewa, namun masih sering ditolak juga. Mereka bilang, ”Apa cukup uang segini untuk sewa rumah dan biaya hidup dengan dua anak?”. Standar hidup di Frankfurt memang cukup tinggi sehingga beasiswaku plus tunjangan keluarganya terbilang pas-pasan.

Satu bulan kami mencari apartemen berbekal iklan di koran, internet, dan informasi dari beberapa rekan. Akhirnya kami memperoleh apartemen sewa di Mörfelden hingga sekarang. Letaknya kira-kira 20 km sebelah selatan kota Frankfurt am Main, arah ke Mannheim. Memang sudah bukan bagian kota Frankfurt lagi, tapi termasuk Kreis (daerah) Gross-Gerau. Kotanya kecil, mungkin seukuran kota kecamatan Lembang di Bandung. Suasana kota cukup tenang dan damai, berbeda dengan Frankfurt yang hingar bingar.

Yah, beginilah nasib kami. Tapi walau demikian kami tetap bersyukur telah mendapat tempat tinggal sebelum puncak musim dingin tiba. Transportasi ke Frankfurt Hauptbanhhof memakai S-Bahn selama 20 menit, lumayan cepat. Yang membuat kami terhibur, Mörfelden hanya berjarak 30 menit naik bus ke Flughafen Frankfurt, jadi kami katakan ini kota di Jerman yang terdekat dengan Indonesia. Beberapa kali kami mengantar atau menjemput rekan-rekan yang mau ke dan datang dari Indonesia. Biasa... kangen cerita-cerita di tanah air dan sekaligus titip sesuatu dari atau ke ibu dan adik-adik di Indonesia.

Yang membuat anak sulungku Naufal senang sekali tinggal di Mörfelden, stasiun keretanya sering dilewati kereta ICE. Kadang kami menemaninya makan siang di halaman stasiun sambil menikmati ngebutnya kereta ICE. Malah ada kesempatan buat mengajarinya Ilmu Fisika.

”Naufal, kenapa kalau yang lewat kereta ICE, angin yang berhembus tak kencang?”

”Karena mulutnya lancip”

”Kalau yang lewat kereta barang atau kargo?”

”Rasanya seperti terdorong ke belakang karena anginnya kencang sekali”

Begitu senangnya Naufal pada kereta, sehingga dia juga tahu persamaan kedua jenis kereta itu.

”Sama-sama panjang sekali, bertenaga listrik, hanya disopiri oleh seorang masinis dan selalu ngebut waktu lewat Mörfelden”.

”Betul, padahal tadi itu masinisnya perempuan lho”

Apartemen kami terletak di lantai dua, sedangkan lantai dasar berupa Bistro (rumah makan) Thailand. Kata teman-teman, ”Wah, enak dong. Kalau malas masak tinggal pesan mie atau nasi goreng ke bawah”. Apartemen kami cukup luas, terdiri dari empat kamar yaitu 3 kamar tidur dan 1 ruang tengah, plus 2 kamar mandi dan dapur. Di antara kamar-kamar ada lorong panjang, yang suka dimanfaatkan anak-anak untuk main sepakbola. Rumah kami terletak di tepi jalan besar sehingga mengurangi keheningan kota kecil Mörfelden. Pemiliknya orang Turki, sudah agak tua dan baik hati. Kalau ada kerusakan di rumah, dia selalu turun tangan sendiri untuk memperbaikinya.

(15)

Lagipula teramat mahal untuk bisa membeli semua perabotan yang diperlukan. Mau mencari apartemen lain belum tentu ada yang cocok, terbukti dari beberapa kali ditolaknya permohonan kami.

Akhirnya Tuhan berkenan memberikan karuniaNya. Seorang teman mengajak suamiku, ”Saya diminta tolong untuk membereskan apartemen bekas pakai orang Indonesia yang pulang habis. Perabotan-perabotan harus dikeluarkan dari apartemen ini sebelum diserahkan ke pemiliknya. Kalau Anda ada waktu, bantu saya beres-beres, perabotan yang Anda perlu disisihkan, sisanya Anda bantu saya membuangnya”.

Jadilah, kami mendapat hibah almari pakaian, tempat tidur, kulkas, kursi, meja, sofa, bahkan gantungan baju. Sisa perabotan dibuang ke tempat pembuangan barang bekas. Ongkos buangnya sekitar 40 Euro per angkut mobil. Karena lantainya dingin, kami membeli karpet sisa potong dengan harga separuh dari harga normal. Namanya juga sisa potongan, jadi tiap kamar mendapat karpet dengan corak dan warna yang berbeda-beda. Kami sebut karpet rumah pelangi. Sekali lagi kami bersyukur, seorang teman dari kota lain, Speyer, juga memberi hibah mesin cuci yang baru dipakai selama 3 bulan. Yang lebih bersyukur lagi, ongkos mobil angkut semua barang hampir semuanya gratis karena dimanfaatkan dalam rangka membereskan apartemen orang Indonesia yang pulang habis tadi.

Ada lagi sumber perolehan barang perabotan, yaitu dari Spermull, kumpulan barang-barang bekas pakai. Konotasi barang bekas memang tidak enak, tapi siapa sangka di sana juga ada almari atau meja kursi yang masih bagus. Orang Jerman sering membuang barang lamanya jika sudah bosan dan mau membeli merk yang baru. Persoalan tinggal bagaimana menaikkan barang-barang berat tadi ke lantai dua lewat tangga, tidak ada lift, apalagi dilakukan pada saat-saat musim dingin.

6. Mengenal Lingkungan Tempat Tinggal

Modal pertama tinggal di luar negeri tentulah sebuah paspor. Dari sebuah buku kecil bersampul hijau atau biru itulah proses kependudukan dimulai. Ada dua jalur yang harus ditempuh yaitu melaporkan diri ke Kantor Imigrasi (Ausländeramt) untuk memperoleh visa atau ijin tinggal dan ke Kedutaan Besar atau Konsulat Jendral yang merupakan perwakilan pemerintah Indonesia. Untuk urusan yang kedua lebih mudah karena berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang sebahasa dan fleksibel, namun harus membayar sejumlah uang jika memakai paspor hijau.

Urusan di Ausländeramt gampang-gampang susah. Gampang, karena kita tinggal antri, tidak usah membayar sepeserpun, dan cukup menunjukkan paspor dan surat beasiswa (bagi yang sekolah) atau surat dari kantor (bagi yang bekerja), lalu jika disetujui maka petugas menempel stiker visa dan cap di buku paspor. Urusan repotnya, Indonesia termasuk dalam daftar salah satu negara asal teroris internasional.

Kata petugas, "Ok, kami beri ijin sebulan dulu karena file Anda mau diperiksa di polisi. Sebulan lagi Anda ke sini, jika tidak ada masalah maka ijin tinggal bisa diperpanjang hingga satu tahun".

Wah, kena getah ulah teroris! Urusan repot yang lain adalah jika membawa keluarga dan masing.masing tidak ada nama keluarga (Familienname). Ausländeramt di Frankfurt memberlakukan beberapa loket dengan pengelompokan berdasarkan huruf awal nama keluarga. Jadi kami berempat yang tidak mempunyai nama keluarga yang sama terpaksa mendaftar di empat loket yang berbeda.

(16)

seluruh Jerman. Isinya formulir pendataan TV dan radio untuk keperluan iuran. Untuk satu buah TV, iuran sebesar 48,45 Euro per tiga bulan.

Salah satu syarat wajib untuk bisa tinggal di Jerman, di samping adanya penghasilan tetap, juga adalah asuransi. Setiap orang harus memiliki asuransi kesehatan (Krankenversicherung), namun bagi yang mempunyai anak juga harus menyediakan asuransi tanggung jawab pribadi ( Privathapftflicht-Versicherung). Bila anak membuat ulah sehingga merugikan orang lain, maka komplain-nya dapat diganti oleh asuransi yang kedua ini. Kami pernah memanfaatkan asuransi ini untuk mengganti biaya perbaikan kunci rumah sebesar € 278 akibat keteledoran anak. Semua asuransi kami sekeluarga ditanggung oleh DAAD sebagai pemberi beasiswa. Fasilitas dokter dan apotek cukup tersedia, bahkan di dekat sekolah di sulung terdapat rumah jompo (Seniorenheim). Namun untuk urusan sakit pusing, sakit perut dan luka ringan kami cukup mengandalkan obat-obatan yang disuplai dari Indonesia (titip teman yang menuju Jerman). Di samping sederhana prosedurnya, namun juga untuk mengobati sakit ”kangen tanah air”.

***

Kota kecil Mörfelden cukup sepi, apalagi jika musim dingin, seakan tidak ada penghuninya. Kumpulan manusia hanya sering dijumpai di sekitar Rathaus (balai kota), pertokoan, sekolah, dan stasiun kereta. Satu hal lagi yang membuat banyak orang keluar rumah yaitu waktu tahun baru. Tepat jam 00.00 semua orang keluar untuk membunyikan petasan dan kembang api. Suasana meriah menghangatkan musim dingin.

Toko-toko yang diminati orang adalah bagian dari jaringan supermarket seperti LiDl, Plus, Minimal, dan Aldi. Sayangnya toko yang terkenal paling murah, yaitu Penny, tidak ada di Mörfelden. Sejak tahun 2004, hampir semua toko buka setiap hari kecuali Minggu antara jam 08.00 – 20.00. Peraturan ini ditaati oleh semua toko karena ada sanksinya. Jika Minggu ingin membeli sesuatu terpaksa ke Frankfurt Hauptbahnhof, Flughafen (bandar udara), atau stasiun pompa bensin.

Semua toko tersebut setiap minggu mengeluarkan koran iklan. Di samping menyediakan kebutuhan sehari-hari, mereka juga menjual barang menurut musimnya. Saat mau musim dingin dijual jaket, sarung tangan, pullover, papan ski, mainan dalam rumah, dan sebagainya. Jika mau musim panas, dijual baju dan celana katun, kacamata anti silau, mainan di pasir, dan sejenisnya. Kalau mau membeli barang-barang murah, tunggu saja musim diskon. Pada musim dingin, biasanya pada bulan Januari ada Winterschlussverkauf dan pada musim panas biasanya bulan Juli ada Sommerschlussverkauf. Nilai diskonnya sangat besar-besaran, bisa sampai 50-75% dari harga normal.

***

Di samping toko yang buka setiap hari, ada juga pasar mingguan (Wochenmarket). Di sini dijual buah, sayuran, keju, dan daging segar. Bila ada waktu luang aku selalu menyempatkan diri ke Wochenmarket. Mata rasanya segar melihat sayuran dan buah-buahan. Apalagi di Jerman ini banyak yang berukuran besar, bisa sampai dua atau tiga kali lipat dari yang biasa kulihat di Indonesia. Rasanya aneh waktu pertama kali melihat daun bawang, cabai dan tauge berukuran raksasa. Tapi sesuai dengan kualitasnya, harganya pun jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga di Indonesia. Selain pasar bahan makanan, ada juga pasar yang menjual barang-barang khusus seperti bunga (Blumenmärkte) dan barang seni (Kunstmärkte) dimana para seniman memperagakan hasil karya mereka untuk dijual. Aku pernah membeli sebuah Eiuhr, jam pasir dari kayu yang bisa mengukur lamanya waktu yang pas untuk merebus telur seharga 5 Euro.

(17)

Beras, bumbu, kecap, dan makanan khas Indonesia lainnya dapat diperoleh di toko Asia. Pemiliknya umumnya orang Thailand. Jaringan mereka kuat, sehingga dapat membuka toko Asia hampir di setiap kota besar. Setahuku, toko yang pemiliknya orang Indonesia hanya satu yaitu ”Toko Indonesia” (www.tokoindonesia.de) di Berlin. Dari toko Asia ini lidahku dapat melampiaskan kerinduan makanan semacam mie ayam, tahu, dan tempe.

7. Kehidupan Warga Indonesia dan Masyarakat Muslim

Orang Indonesia yang berada di luar negeri identik dengan acara kumpul-kumpul. Bentuknya macam-macam misalnya 17 Agustusan, acara kesenian, Lebaran, ulang tahun dan pengajian. Namun apapun bentuknya yang penting bisa melampiaskan kerinduan bertemu dengan orang yang berwajah dan berbicara bahasa Indonesia dan yang paling penting bisa makan masakan tanah air. Kapan lagi bisa mencicipi rendang, empek-empek, batagor, onde-onde, jengkol plus petai.

Acara 17 Agustusan memang tak pernah sepi. Halaman belakang Konjen Frankfurt (Konsulat Jenderal) pada hari kemerdekaan RI itu selalu penuh dengan orang-orang Indonesia dari berbagai usia dan kalangan. Mereka beramai-ramai datang untuk menaikkan bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, membawakan tari-tarian daerah dan biasanya di akhir acara ada goyang dangdutnya. Tak peduli bapak-bapak, ibu-ibu, apalagi anak muda bergoyang bersama meliuk-liuk mengikuti irama. Pada hari itu kebanyakan memakai pakaian daerah, sarung, kain dan kebaya beraneka warna. Jadi suasananya benar-benar meriah, seperti orang Jerman kalau lagi festival. Biasanya malamnya dilanjutkan dengan acara Malam Indonesia. Ini untuk konsumsi orang-orang Jerman yang umumnya tertarik dengan kesenian tradisional. Tarifnya juga mahal, sekitar 15 Euro per orang. Aku sendiri belum pernah menghadirinya, tapi menurut ceritanya sangat meriah.

Kegiatan yang sifatnya keagamaan, jenisnya macam-macam. Salah satunya kegiatan Prima, yaitu pertandingan olah raga antar wilayah yang diadakan tiap tahun. Jadi muslimin dan muslimah dari berbagai penjuru Jerman berkumpul di salah satu kota untuk bertanding. Tahun kemaren kebetulan diadakan di Kassel, yang letaknya di tengah-tengah Jerman. Rombongan Frankfurt dan sekitarnya sempat memenuhi dua gerbong kereta. Suasananya mirip naik kereta Parahyangan Bandung-Jakarta. Bapak-bapak biasanya ikutan sepak bola, ibu-ibu basket atau tenis meja. Ada juga sebagian ibu-ibu yang memanfaatkan momen itu untuk berjualan mengisi uang kas. Jajanan seperti batagor sepiringnya dijual 2,5 Euro, lumpia 1 Euro, es buah 0,5 Euro. Sehabis olah raga, jajanan langsung ludes diserbu orang-orang yang berkeringat sehabis bertanding.

Kegiatan keagamaan lainnya adalah pengajian mingguan dan bulanan. Aku bersyukur karena rasa dahagaku mengenai kajian Islam dapat terpuaskan dalam forum pengajian MII (Masyarakat Islam Indonesia di Frankfurt dan sekitarnya) dan IKID (Ikatan Keluarga Islam Darmstadt-Frankfurt). Dari forum-forum ini aku dapat mengatasi kerinduan suasana tarwih Ramadhan, Lebaran, Halal bi Halal, dan Idul Adha.

Kegiatan yang bersifat ilmiah, dikoordinir oleh ISTECS Eropa. Aku pernah ikutan seminar ISSM yang diadakan di Delft, Belanda. Panitia dan pesertanya para mahasiswa dari Indonesia yang ada di Eropa, tapi presentasinya memakai bahasa Inggris. Hitung-hitung sekalian jalan-jalan bersama keluarga. Paper presentasi dimasukkan ke dalam jurnal yang terdaftar di ISBN. Bidang-bidang yang dipresentasikan meliputi Agribisnis, Bioteknologi, Teknologi Industri, Teknologi Informasi, Energi, Ilmu Pengetahuan Alam dan Lingkungan.

(18)

workshop menulis dan presentasi profesional. Nah, kursus inilah yang membekaliku membuat tulisan tentang Jerman ini.

***

Orang Islam di Jerman identik dengan orang Turki dan Timur Tengah yang cukup banyak jumlahnya. Menurut data yang ada, terdapat sekitar empat juta muslim yang berarti peringkat kedua setelah orang Kristen. Orang Turki sudah turun-temurun di sini. Ada yang sejak masa pemerintahan dinasti Turki Ottoman, ada pula yang berimigrasi pasca Perang Dunia Kedua. Kelompok kedua ini merupakan para pekerja yang sengaja didatangkan untuk merekonstruksi infrastruktur Jerman yang hancur akibat perang. Selain itu, menurut kabar, warga Jerman asli yang memeluk Islam pun meningkat dengan pesat.

Fasilitas masjid terdapat di hampir seluruh kota, yaitu sekitar 2200 buah. Masjid terbesar berada di kota Mannheim, Hamburg, dan Berlin. Selain itu ada pusat kegiatan Islam (Islamic Center) dimana terdapat aktivitas dakwah, tukar pikiran, informasi makanan halal dan jadual sholat. Di Mörfelden, ada sebuah masjid Turki yang cukup megah. Ada contoh bagus untuk bisa ditiru oleh mesjid di Indonesia yaitu tentang kemandirian. Dalam satu kompleks masjid, terdapat pula ”rumah dinas” untuk imam dan toko yang menjual barang kebutuhan sehari-hari dan makanan halal. Bahkan ada tempat potong rambut pria murah. Solidaritas muslim Turki juga kuat. Mereka menjadi konsumen setia dari usaha tersebut yang berarti menambah pula kas masjid. Infaq dan shodaqoh yang mereka berikan tidak tanggung-tanggung. Para pengusaha Turki yang sukses tidak segan untuk memasukkan lembaran uang 50 Euro ke dalam kotak shodaqoh di mesjid. Tetapi yang lebih menggembirakan adalah makin bertambahnya jumlah muslim yang melaksanakan ibadah ke masjid. Selain itu, mereka juga mengadakan pengajian untuk anak dan remaja agar dapat mempelajari Al-Quran dan terjauhkan dari pengaruh budaya Barat yang merusak.

Namun di balik itu semua, bukan rahasia lagi umat Islam mendapat perlakuan diskriminatif di negara Barat termasuk Jerman. Mulai dari cap terorisme dimana beberapa rekan sempat diperiksa polisi di stasiun kereta gara-gara berwajah Timur Tengah, larangan karyawati kantor pemerintah Jerman termasuk para guru untuk memakai jilbab, sampai pembakaran masjid. Dari berita di TV, internet, dan koran, banyak umat muslim yang lahir atau sudah sangat lama menetap di Jerman masih dianggap sebagai tamu asing dan warga kelas dua.

Ada angin baik berhembus pada saat ini. Beberapa minggu menjelang Ramadhan tahun ini ratusan masjid yang tersebar di berbagai kota di seluruh Jerman secara serentak menggelar acara ‘Masjid Terbuka’ (Tag der offenen Moschee). Acara besar-besaran ini telah menarik ribuan pengunjung dari dalam dan luar Jerman, baik Muslim maupun non Muslim. Acara yang digelar antara lain pameran buku-buku mengenai Islam, seminar, diskusi podium tentang masalah keislaman maupun isu-isu kontemporer menyangkut Dunia Islam. Tujuan utama acara ini, di samping untuk memperkenalkan Islam ke masyarakat luas, juga untuk meluruskan kesalahpahaman dan membangun imej yang positif seputar Islam dan umat Islam di Eropa, dan Jerman khususnya.

8. Sistem Pendidikan di Jerman

Berbicara soal pendidikan berarti menceritakan pengalaman kedua anakku dan diriku sendiri. Anggap saja sebagai sampel dari sistem pendidikan di Jerman yang terkenal sangat lama namun umumnya bebas SPP alias gratis. Bila dibandingkan lama pendidikan dari SD hingga lulus SMA di Indonesia selama 12 tahun, di Jerman dibutuhkan 13 tahun. Itupun ada tambahan untuk laki-laki berupa wajib militer, atau jika kesehatan tidak memungkinkan ada wajib bekerja sipil (Zivilliansdienst) di kantor pemerintah atau badan sosial.

(19)

mendiskusikan perkembangan pendidikan anak. Di samping itu ada forum Elternabend (pertemuan orang tua dan guru pada malam hari) untuk mendiskusikan hal-hal aktual mengenai sekolah dan merencanakan kegiatan-kegiatan bersama anak, orangtua, dan guru. Dukungan Elternbeirat (persatuan orang tua murid) sangat besar terhadap sekolah sehingga pendidikan anak dapat diintegrasi antara yang di sekolah dan di rumah. Kami belajar dari mereka cara memecahkan persoalan. Masalah yang kelihatannya sederhana ternyata dipilah dan dibahas dari A hingga Z secara sistematis. Mereka juga berdisiplin, tepat waktu dimulai dan tepat waktu selesai acara. Dan yang penting, tidak ada iuran orang tua siswa yang memberatkan seperti di Indonesia saat ini karena subsidi dari pemerintah kota sudah mencukupi.

Dasar anak-anak. Mereka cukup cepat dalam menguasai bahasa Jerman. Apalagi si bungsu, waktu dua minggu pertama masuk sekolah menangis karena hanya bisa berbahasa Indonesia, namun setelah itu justru aku banyak belajar bahasa Jerman dari dia, saking ceriwisnya. Si sulung sedikit berbeda, dia cukup pendiam sehingga harus mengikuti kursus bahasa yang diadakan di sekolah setiap minggu sekali. Sebenarnya dia juga mampu tapi diungkapkan dalam bentuk tulisan dan gambar. Kesimpulanku dari pengalaman kedua anakku itu, ternyata belajar bahasa secara oral bisa cepat itu jika tidak memperdulikan struktur bahasa terlebih dahulu. Begitu mengenal struktur, si sulung harus berpikir lebih dulu untuk membuat kalimat sempurna sehingga agak terlambat untuk berbicara. Tapi yang membuatku bersyukur, mereka sering main bersama dan nonton film kartun di TV sehingga turut mempercepat penguasaan bahasa Jerman.

Untuk urusan anak, sebenarnya ada fasilitas Tagesmutter (ibu asuh) atau penitipan anak dimana kita bisa mengajukan untuk dibiayai pemerintah kota. Namun aku dan suamiku memutuskan untuk tidak memanfaatkannya karena kami lebih sering bekerja (belajar) di rumah. Jadinya, rumah sepi dari teriakan anak hanya pada waktu pagi hingga siang saja. Satu lagi, mereka diantar jemput ke sekolah memakai sepeda. Sebuah kendaraan sederhana semua musim. Suamiku bilang anak-anak, ”Ini sesuatu yang tidak bisa dikerjakan di Indonesia lho, naik sepeda di atas salju”. Wah!

***

Anak bungsuku, Fadhilla usianya memang belum 7 tahun untuk bisa masuk Grundshule. Jadinya dia harus masuk Kindergarten (TK). Kindergarten dimulai dari umur 3-6 tahun. Pendidikan ini dinamakan „Vorschulische Einrichtungen“, yang berarti „Persiapan sebelum Pendidikan“. Untuk masuk Kindergarten, ada kewajiban membayar biaya SPP, karena belum termasuk wajib belajar. Tahun ini besarnya 90 Euro. Namun bagi keluarga yang berpenghasilan pas-pasan seperti aku bisa mengajukan keringanan biaya ke Dinas Sosial (Sozialamt) pemerintah kota. Alhasil, Fadhilla juga bisa gratis biaya Kindergarten.

Fadhilla masuk Kindergarten pada jam 8.45 dan bisa dijemput pulang pada jam 12.00. Anak-anak lain ada yang terus hingga sore menunggu kedua orangtuanya selesai bekerja. Tentu saja biaya SPP-nya lebih besar karena disediakan makan siang. Program di Kindergarten dibagi dalam ruang-ruang. Setiap ruang anak-anak diajari satu tema tertentu oleh 1-2 orang guru. Di Kindergarten-nya Fadhilla ada Malraum (ruang gambar dan prakarya), Puppenraum (ruang bermain boneka), Bauraum (ruang bermain bentuk bangunan). Sebelum program dimulai, anak-anak bisa Frühstück (sarapan) terlebih dahulu di ruang makan. Pihak Kindergarten hanya menyediakan susu dan air minum, sedangkan makanan dibawa sendiri dari rumah. Jam 11.00 program selesai, anak-anak bebas main di halaman belakang (Spielplatz) jika tidak hujan air. Namun jika turun salju malah disambut gembira karena bisa membuat boneka salju dan main lempar salju. Di halaman itu terdapat mainan ayunan, pasir putih, prosotan, panjat tebing, rumah-rumahan, kapal-kapalan, dan sebagainya.

(20)

Soalnya, suatu saat begitu cocok lagi mereka akan bermain bersama lagi dan melupakan kasus terdahulu. Yah, begitulah anak.

Setelah Kindergarten dimulai pendidikan dasar pada umur 7 tahun sampai dengan 10 tahun. Pendidikan ini dinamakan Grundschule (SD). Sebenarnya waktu di Bandung, anak sulungku Naufal, sudah kelas 2 catur wulan ke-2. Namun sewaktu mendaftar di Grundschule diberi pilihan, apakah tetap kelas 2 namun dengan resiko susah mengejar pelajaran karena kesulitan bahasa, ataukah turun kelas 1 agar lebih dapat menangkap pelajaran. Problemnya, sistem pendidikannya berbeda, jadi seperti "ganti rel". Kami diberi waktu satu bulan untuk memutuskan. Akhirnya dengan pertimbangan Naufal menyenangi kondisi kelasnya dan gurunya Frau Bastiansen sangat komunikatif, kami akhirnya memutuskan Naufal di kelas 1. Frau Bastiansen mengatakan Naufal akan terus dipantau dan kalau dia merasa bosan ada kemungkinan bisa dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi.

***

Kuperhatikan pelajaran SD di Indonesia banyak sekali macamnya. Hafalannya juga banyak dan matematika kelas 2 sudah berupa penambahan bilangan hingga 1000. Akibatnya Naufal sewaktu di Bandung dulu susah konsentrasi, dan banyak kata-kata "orang dewasa" sudah diperkenalkan tanpa sang anak memahami maknanya. Pernah ada soal PR PPKN untuk kelas 1 (mengenai kewarganegaraan) yang bunyinya kurang lebih, "Anak harus selalu .... orang tua. Pilihan: (a) .... (b) ... (c) menghormati". Dia bingung jawabnya yang mana. Sewaktu kuberitahu jawabnya (c), dia bertanya kepadaku, "Apa sih artinya 'menghormati'?". Aku tercenung. Benar juga, kata "menghormati" itu belum ada di kamus anak-anak. Kalau kujawab, "Menghormati itu ya menuruti perintahnya", mungkin dia bertanya lagi, "Apa sih 'perintah' itu?". Untung ini soal PR, jika ini soal di kelas dia punya sifat malu bertanya. Yang lebih "mengerikan", keponakan di Jakarta masih SD kelas 2 sudah diberi pelajaran Komputer. Ada soal, "Keyboard adalah alat untuk ...". Keponakanku bertanya, "Yang mana sih keyboard itu?". Kupikir, seharusnya pelajaran seperti ini baru pantas diberikan untuk anak usia SMP.

Pelajaran Grundschule sangat sederhana, berpikir analitis (ngulik-ulik), dan memakai bahasa anak. Pelajarannya hanya matematika, bahasa Jerman, olah raga, musik, dan agama (yang ini Naufal tidak ikut, karena yang diberikan hanya agama Kristen). Mulai kelas 2-3 diberikan pelajaran prakarya dan mengarang. Hampir semua pelajaran mengandalkan ketrampilan menggambar. Pernah ada soal pelajaran bahasa Jerman, "Gambarlah anak sedang menanam bunga". Sederhana dan memakai bahasa anak. Pikiran analitis anak mulai dilatih dengan soal misalnya, "Gambarlah orang sedang marah" atau "Gambarlah orang sedang memupuk tanaman". Anak terlebih dulu harus membayangkan ekspresi marah atau benda yang bernama pupuk dan bagaimana memberikannya ke tanaman, barulah dia menggambar. Untunglah, sewaktu di Bandung, anak-anakku ikut Playgroup yang jadi satu dengan Sanggar Seni Anak. Waktu itu, guru-guru mereka mengajari anak menggambar bukan dengan memegang tangan anak, tapi dengan lebih dulu si guru bercerita dan membiarkan anak berfantasi sendiri. Akibatnya, bisa saja matahari berwarna hijau atau kepala orang lebih besar dari badannya. Guru tidak menyalahkan. Bekal ketrampilan menggambar inilah yang membuat kedua anakku banyak dipuji masing.masing gurunya. Katanya, orang Jerman jika memuji memang benar-benar kagum.

Pelajaran matematika kelas 1 masih berupa pengenalan bilangan 0 – 10 dan operasi penambahan, waktu kelas 2 meningkat sedikit berupa operasi pengurangan bilangan 0 – 100. Perkalian, pembagian dan pengenalan bilangan lebih dari 100 baru dikenalkan waktu kelas 3. Satu tema pelajaran sering diulang-ulang dalam waktu beberapa hari, tapi metodanya dibuat bervariasi. Misalnya, angka "7" dikenalkan dengan cara menulisnya berkali-kali secara rapi, permainan puzzle yang menggambarkan angka tersebut, menggunting dan menempel angka itu, soal cerita "Schneewittchen und die sieben Zwerge (Putri Salju dan Tujuh Kurcaci)", mencari angka itu di antara kumpulan banyak angka yang lain, dsb.

(21)

di rumah. Pengenalan huruf tuntas (sampai "z") baru di kelas 2. Karena Naufal sudah bisa menulis sejak TK dan hitungan sampai bilangan 1000 sewaktu di Bandung, mula-mula dia bosan menemui pelajaran seperti itu. Aku berusaha meyakinkannya bahwa metoda mengulang-ulang secara bervariasi ini lebih efektif dibandingkan dengan metoda hafalan seperti waktu di Bandung. Aku mencoba meyakinkan, bahwa hasil pendidikan bukan hanya pintar dan berwawasan luas, namun juga kreatif, inovatif, dan tahan berlama-lama berpikir. Kukatakan kepadanya, "Coba lihat kereta ICE. Kamu suka, kan? Siapa yang membuat? Mengapa orang yang membuatnya sampai kepikiran untuk membuat mulutnya lancip? Itu buah dari pikiran (penelitian) yang terus menerus dari insinyur di Jerman, bagaimana caranya membuat kereta berjalan sangat cepat. Hasil itu tidak bisa dicapai dengan cara menghafal atau mencontek". Pelan-pelan akhirnya dia mengerti. Dia akhirnya bersemangat bahwa untuk menjadi masinis kereta ICE yang dia cita-citakan perlu belajar dan berlatih keras.

Setiap akhir tahun pelajaran diadakan festival kelas. Acaranya berupa pementasan anak-anak dengan tema tertentu yang dipimpin gurunya, penyerahan berkas pekerjaan anak di sekolah kepada orang tuanya, dan diakhiri dengan acara ramah tamah antar orang tua dan guru sambil makan dan minum. Tema pentas sewaktu kelas 1 adalah pembacaan puisi tentang angka 0 – 10. Waktu kelas 2, anak-anak pentas drama musik bertema kehidupan Zwerge (kurcaci) sebab sudah tuntas mengenal huruf hingga "z". Saat kelas 3 diadakan Klassenfahrt (wisata kelas) yaitu menginap di sebuah Jugendherberge selama 3 hari 2 malam. Acara itu hanya dipandu oleh dua orang guru, sedangkan orang tua sama sekali tidak boleh menengok dan membekali anak dengan handphone. Di sana anak belajar kemandirian, mulai dari memasang sprei dan sarung bantal, mandi, makan, sampai membawa koper dan menyiapkan pakaian.

***

Selain dari Grundschule ada dua kemungkinan pendidikan lain yaitu „Gesamtschule“ (Sekolah Bersama) dan „Sonderschule“ (Sekolah Spesial). Dari Grundschule, seseorang mempunyai empat pilihan untuk melanjutkan sekolah, yaitu Gesamtschule, Hauptschule, Realschule dan Gymnasium.

Untuk memasuki Hauptschule, Realschule atau Gymnasium, seseorang harus melalui „Orienterungsstufe“ (Tahapan Orientasi). Ditahap ini diteliti bakat dan kemampuan dari anak, dan tahap ini menentukan kemana tujuan seorang anak selanjutnya. Hauptschule dan Realschule lebih ditekankan pada anak yang ingin langsung kerja bila telah menyelesaikan sekolah. Tentu saja setelah melalui pendidikan di „Berufsfachschule“ atau „Fachoberschule“.

Bagi yang ingin melanjutkan ke Universitas, jalan tercepat adalah melalui Gymnasium. Jalan pendidikan lain juga bisa melalui kuliah di universitas, tapi jalannya sangat panjang. Misalnya kita harus melakukan praktek kerja dahulu selama sekian tahun.

(22)

***

Di Jerman dikenal dua jenis pendidikan tinggi utama, yaitu Fachhochschule dan Universität. FH ini semacam politeknik di Indonesia, yaitu lembaga pendidikan yang menekankan pada bidang aplikasi dibandingkan bidang teorinya. Studi di FH tak dapat mencapai gelar doktor dan ditujukan bagi mereka yang ingin terjun ke industri langsung. Jenis pendidikan lainnya adalah Musikhochschule (untuk bidang musik), Pedagogische Hochschule (untuk bidang pendidikan, mirip IKIP) dan Kunsthochschule (untuk bidang seni).

Sistem Universitas di Jerman berbeda dengan di Indonesia, tidak ada panduan ketat per semesternya dan urutan mata kuliah A, B, C, dst. Hal ini berarti bahwa mahasiswa dituntut harus dapat menentukan sendiri kuliah, latihan seminar, ujian yang diikutinya, dll. Hal ini secara langsung memberikan kebebasan yang sangat besar tapi juga bisa menjerumuskan mahasiswa ke kondisi kelewat santai. Banyak beberapa mahasiswa Indonesia yang terjebak ke situasi ini, dimana sudah 8 tahun tapi belum ujian apa-apa, karena keasyikan kerja atau kesibukan lainnya.

Mahasiswa benar-benar dituntut untuk mandiri menentukan apa yang ingin dia pelajari, ujian yang dia ikuti dan apa yang dia lakukan dan dia maui. Terkadang perkuliahan dilakukan dalam ruang auditorium besar (sampai 600 mahasiswa). Sehingga kesiapan mental mahasiswa untuk belajar mandiri perlu benar-benar dipertimbangkan bila memilih kuliah di Universitas. Kuliah rata-rata dilakukan dalam bahasa Jerman, walau demikian di beberapa Universitas (seperti di Bremen dan Bielefeld) ada juga beberapa kuliah yang dilakukan dalam bahasa Inggris.

Model perkuliahan tersusun dari Vorlessung (perkuliahan), seminar (semacam diskusi dalam ukuran kecil atau dalam kelompok kecil), dan Übung (latihan). Ujian dilakukan langsung dengan Profesor yang bersangkutan. Rata-rata ujian bersifat lisan, walau ada juga yang diberikan secara tulisan. Sistem ujiannya juga bervariasi ada yang diperbolehkan mengulang (untuk mata kuliah yang tidak lulus), namun sering juga hanya sekali saja (boleh mengulang namun tahun berikutnya, bukan semester berikutnya).

Sistem Fachhochschule (University of Applied Science) lebih diatur secara ketat mirip dengan sistem perkuliahan di Indonesia, misal urutan perkuliahan, praktek dll. Berdasarkan dua lembaga pendidikan tinggi tersebut, mana yang lebih baik dan cocok, ini tergantung dengan tujuan sekolahnya. FH rata-rata disukai orang Jerman yang ingin langsung bekerja di industri. Sedangkan universitas lebih disukai bagi mereka yang ingin berkarir di riset dan pengembangan, atau di akademik. Berdasarkan pemantauan dan perkenalan dengan beberapa mahasiswa dari Indonesia, sebagian besar mahasiswa Indonesia lebih suka mengambil pendidikan FH ini. Hal ini selain alasan waktu serta biaya juga karena mereka ingin cepat bekerja di industri.

Secara gengsi memang masih ada anggapan di masyarakat Jerman bahwa Universitas lebih bergengsi dari pada FH. Hal ini dikarenakan rata-rata Profesor atau Doktor kelas pertama di Jerman banyak yang bekerja di Universitas. Tetapi anggapan ini mulai bergeser dengan makin majunya sistem di FH sekarang, termasuk stafnya yang makin berkualitas. Selain itu makin digemarinya FH oleh masyarakat karena materinya lebih siap diterapkan untuk bekerja serta adanya kerjasama antara Universitas dan FH yang ada untuk menyediakan pengajar dan fasilitas yang dibutuhkan mahasiswa.

Beberapa FH sekarang sudah menawarkan International Master yang menggunakan program berbahasa Inggris. Gelar tingkat pertama dari Universitas atau FH adalah Diplom (Dipl Inf., Dipl. Ing, Dipl. Biol. dll). Gelar ini setara dengan Master, walau ada juga yang menyetarakan dengan Bachelor, karena tiap Universitas berbeda-beda aturannya. Bidang sosial memiliki gelar Magister. Sedangkan gelar berikutnya Dr (Dr. Ing, Dr.rer.nat, dll). Beberapa Universitas di Jerman mulai melakukan reformasi dengan juga menyediakan gelar Master.

Referensi

Dokumen terkait

Maka secara keseluruhan faktor yang paling dominan mempengaruhi motivasi kerja pegawai pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru adalah faktor pemeliharan,

pencampuran dengan kapur. Kolam ini memiliki luasan yang lebih besar daripada kedua kompartemen. Pada kompartemen kedua, proses pengendapan partikel yang lebih lanjut

Guru Dewasa Tk.I SD Islam Nurul Iman Kota Jakarta Timur DKI

Sarana yang dibutuhkan untuk menunjang pelayanan kepada wisatawan antara lain seperti fasilitas umum (toilet), restaurant, ruang informasi, sarana transportasi di dalam

Nilai N total kompos kontrol dan variasi A lebih tinggi daripada seluruh kompos B karena proses dekomposisi meng- hasilkan amonia dan nitrogen yang terperangkap di

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian penerapan media berbasis Aurora 3D Presentation dengan model pembelajaran mind mapping pada mata pelajaran

Ketersediaan ruang pada motor uji sebagai tujuan penerapan alat control panas evaporator menjadi dasar pemilihan dimensi pada penelitian ini, penyesuaian

Dengan basis pengetahuan dan kemampuan untuk menarik kesimpulan menggunakan inferensi, komputer dapat disejajarkan sebagai alat bantu yang dapat digunakan secara praktis