• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESELAMATAN ALLAH HUKUM DAN RAHMAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KESELAMATAN ALLAH HUKUM DAN RAHMAT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KESELAMATAN ALLAH: HUKUM DAN RAHMAT

Pengantar

Manusia diciptakan oleh Allah baik adanya. Selain itu manusia diciptakan dalam keadaan kudus supaya manusia menjadi kudus seperti Allah sendiri adalah kudus. Dengan kata lain, manusia dianugerahi oleh Allah yaitu rahmat kekudusan. Allah tidak hanya menganugerahi rahmat kekudusan, tetapi juga keselaran dalam relasi. Keselarasan itu menyangkut hubungan antara sesama manusia, alam, Allah dan dirinya sendiri. Keselarasan ini merupakan cerminan dari keadilan asli dan juga tidak adanya kecenderungan kepada dosa. Hal inilah yang memampukan manusia mengatur dirinya dan mengarahkan dirinya kepada Allah.

Disisi lain manusia juga memiliki kebebasan. Kebebasan ini diberikan kepada manusia oleh Allah. Allah menghendaki manusia menghayati relasi-Nya dengan manusia bukan karena keterpaksaan, namun lahir dari kebebasan manusia sendiri. Disini manusia dibawa pada kepatuhan bebas kepada Allah sendiri. Sebaliknya kebebasan yang disalahgunakan membawa manusia kepada dosa. Dosa itu membawa manusia kehilangan kekudusan, keadilan asali dan keselarasan dengan Allah, sesama, alam dan diri sendiri. Selain itu dosa membawa manusia menjauh dari keselamatan. 1

Dalam keadaan keberdosaan manusia, muncul pertanyaan bagaimana manusia memperoleh keselamatan, keadilan asali dan kekudusan kembali. Dalam menjawab pentanyaan ini, ada dua hal yang menjadi bahan diskusi dalam paper ini. Apakah manusia memperoleh keselamatan, keadilan dan kekudusan karena melakukan hukum atau karena rahmat dari Allah? Sebelum menjawab pertanyaan itu, akan dijelaskan terlebih dahulu apa itu dosa dan hukum, kemudian akan dijelaskan kaitannya. Dalam kerangka berpikir ini, jawaban akan pertanyaan itu mulai dijelaskan secara bertahap. Kemudian pada akhir paper ini akan dibahas pula relevansi praktisnya.

Dosa

Dosa dalam Kitab Suci

Dalam kitab suci, gagasan mengenai dosa terus berkembang dalam sejarahnya. Gagasan dosa, juga dipengaruhi oleh masyarakatnya. Masyarakat dengan strong group grid melihat dosa sebagai tindakan yang melawan aturan suci (melanggar aturan, hukum,

(2)

perintah yang berasal dari Allah).2 Semua pelanggaran terhadap aturan merusak

keseimbangan dan keselarasan. Disini setiap bentuk pelanggaran baik yang disengaja maupun tidak, tetap mengacaukan keselarasan. Pelanggaran terhadap aturan akhirnya membawa akibat bagi seluruh masyarakat yang ada. Hal ini dapat dilihat dalam kisah Yos 7.3 Gagasan

dosa semacam ini menjadi struktur dasar sebagian besar Perjanjian Lama. Skema yang demikian dapat ditemukan di Pentateukh, Mazmur, Kitab-kitab sejarah, Amsal, Yesus bin Sirakh.

Dalam Perjanjian Lama, dosa dan akibatnya memiliki kaitan erat. Selain itu kerap kaitan itu tidak terputuskan. Kesalahan yang dilakukan seseorang akan berakibat dan kembali kepadanya (bdk. Ams 26:26-27, 28:10. 17-18). Disini hukum sebab akibat sangat kuat pengaruhnya. Oleh sebab itu, seluruh masyarakat memiliki tanggung jawab dalam melindungi dirinya agar tidak sampai jatuh pada pelanggaran. Disisi lain semua pelanggar aturan perlu mendapat hukuman ataupun mengurbankan binatang.4 Hal ini dilakukan agar

akibat dosa tidak menimpa masyarakat seluruhnya.

Dosa erat kaitannya juga dengan pelanggaran hukum berbangsa dan beragama. Hal ini dapat dipahami, karena hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/ berbangsa dan beragama merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, pelanggaran hukum di dalam kehidupan bermasyarakat dikaitkan dengan pelanggaran terhadap Allah.5 Dosa sebagai

pelanggaran hukum, kemudian dapat diartikan pula sebagai tindakan melawan kebenaran (tsedeqah). Kebenaran yang dimaksudkan disini tidak hanya apa yang benar menurut pandangan manusia, melainkan kebenaran Allah sendiri.6 Disini kebenaran merujuk pada

suatu tindakan yang sesuai dengan relasi yang telah ditetapkan. Kebenaran itu merujuk pada terlaksananya perjanjian yang dijalin kedua belah pihak. Sebaliknya dosa merujuk pada tindakan melanggar “perjanjian” itu sendiri (bdk Ul 12-16).7

Dari pemahaman di atas, hukum dapat dilihat menjadi saluran kasih di pihak manusia kepada Allah sendiri. Dengan kata lain kepatuhan terhadap hukum tersebut, merupakan tanggapan manusia atas kasih Allah yang telah mengasihi manusia. Sebaliknya pelanggaran terhadap hukum, sebenarnya merupakan pemberontakan terhadap kasih Allah. Pemberontakan manusia terhadap kasih Allah dapat dikatakan sebagai tindakan membenci Allah sendiri. Pemberontakan itu bukan hanya menyangkut tindakan fisik, namun

2 Bdk. Dr. C. Groenen OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 92. 3 Ibid., hlm. 93.

(3)

menyangkut hati manusia sendiri.8 Dalam hati manusia, dosa itu berakar (bdk. 1 Sam 16:7;

Yer 17:1). Disanalah, keangkuhan manusia (Kej 3:5. 22) dan kebanggaan diri manusia terhadap dirinya (Hos 14:2-9) berada. Selain itu dalam hati, manusia juga tidak mampu berterimakasih kepada Allah dan karunianya (Yes 1:3).

Gagasan dosa terus berkembang. Hal itu juga dapat dilihat dari Perjanjian Baru, dimana masyarakat ada dalam weak group grid. Gagasan dosa tidak terlalu dilihat sebagai pelanggaran terhadap hukum atau aturan yang ada dalam masyarakat.9 Dosa lebih dikaitkan

dengan disposisi batin seseorang. Disini dosa lebih dikaitkan dengan niat seseorang. Gagasan dosa ini berbeda dengan Perjanjian Lama yang lebih melihat dosa sebagai pelanggaran hukum. Disisi lain ada kemiripan gagasan dosa pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu mengenai aspek “perjanjian”.10 Dosa dilihat sebagai pelanggaran terhadap “perjanjian”

yang telah disepakati.

Perubahan gagasan mengenai dosa dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terletak pada tanggung jawab manusia akan dosa. Dalam Perjanjian Lama, dosa yang dilakukan seseorang harus ditanggung oleh seluruh orang. Disini, dimensi sosial akan dosa sangat ditekankan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, tanggung jawab dosa lebih bersifat personal.11 Namun disalah satu sisi dimensi sosial akan dosa juga tetap ada.

Dimensi sosial dosa dalam Perjanjian Baru tampak dari keberdosaan manusia. Disini manusia tidak hanya melakukan dosa, tetapi menyandang keadaan atas dosa yang diperbuat. Keadaan manusia menyandang dosa disebut kedosaan. Kedosaan ini bukan hanya karena tindakan personal manusia, tetapi juga akibat dosa “manusia pertama” (bdk. Rm 5:12. 17). Pandangan Paulus ini menyatakan bahwa seluruh manusia berdosa dan tidak ada yang benar (bdk. Rm 3:10).

Dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat dilihat pemahaman tentang dosa terus berkembang. Pada Perjanjian Lama, dosa yang dikaitkan erat dengan pelanggaran hukum. Pelanggaran itu mendatangkan kemalangan/ hukuman bagi seluruh umat manusia. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, dosa lebih dilihat dari aspek personal. Ketika manusia berdosa, manusia menyandang keberdosaan. Keberdosaan ini bukan hanya karena akibat dari tindakannya sendiri, tetapi karena keberdosaan itu ia terima dari manusia pertama. Dengan demikian tampak bahwa dosa menyangkut aspek personal dan juga aspek sosial.

(4)

Dosa dalam Katekismus

Gagasan dosa sebagai sebagai aspek personal juga dijelaskan pada katekismus. Dalam katekismus, dosa dilihat sebagai penyalahgunaan kebebasan personal. Kebebasan yang diberikan Allah ternyata tidak dapat digunakan oleh manusia secara baik. Sebaliknya manusia justru tidak mematuhi perintah Allah. Hal ini nyata dalam diri manusia pertama. Disini manusia berpaling dari Allah dan mementingkan kepentingan sendiri. Ia mengabaikan Allah dan ingin menentukan mana yang baik dan yang jahat. Ia juga kemudian ingin menentukan norma-norma kesusilaan dan otonom tanpa campur tangan Allah. Ia berusaha untuk melepaskan diri dari Allah. Dalam keterlepasan itu manusia kehilangan rahmat kekudusan, keadilan asali dan keselarasan. Dengan hilangnya kekudusan, manusia mengarahkan dirinya pada kecenderungan untuk berbuat dosa. Hilangnya kekudusan manusia dapat disebut juga sebagai rusaknya kodrat manusia.12

Ketika manusia kehilangan kekudusannya, hubungan antara Allah, sesama, alam dan diri sendiri akhirnya juga terganggu. Manusia akhirnya menjadi takut dengan Allah, bermusuhan dengan Allah, tidak setia dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Allah. Dalam hubungannya dengan sesama, kesatuan manusia mengalami ketegangan. Manusia kemudian ingin berkuasa dan cenderung mengalihkan kesalahan kepada orang lain. Sedangkan dalam hubungan dengan alam, manusia melihat alam sebagai sesuatu yang asing dan bermusuhan dengan manusia. Dalam kaitannya dengan diri sendiri manusia ditaklukan kepada kelemahan yaitu pada kebodohan, kesengsaraan dan kekuasaan kematian.13

Penjelasan dari katekismus mendefinisikan dosa dalam gagasan Perjanjian Baru yang menekankan aspek personal. Dosa dilihat sebagai penyalahgunaan kebebasan. Namun dosa menyangkut aspek sosial, dimana manusia akhirnya kehilangan rahmat kekudusan. Hal ini semakin menggambarkan dosa secara holistik. Dosa bukan hanya menyangkut seseorang saja, namun menyangkut seluruh umat manusia. Pemahaman dosa semacam ini dapat dipahami, karena manusia makhluk relasional.

Hukum

Hukum dalam Kitab Suci

Dalam penjelasan sebelumnya, dosa erat dikaitkan dengan pelanggaran hukum. Darisitu pemahaman mengenai hukum diperlukan. Dalam Perjanjian Lama, Taurat merupakan hukum yang digunakan oleh bangsa Israel. Di dalam Taurat terdapat aturan,

(5)

ketetapan, kesaksian dan juga adat istiadat. Namun bila dilihat secara detail, taurat lebih erat pada pengajaran. Dengan kata lain, hukum bangsa Israel pada dasarnya merupakan pengajaran akan apa yang baik dan benar. Dalam Taurat hal yang diutamakan bukanlah hukum itu sendiri, namun perjanjian antara Allah dengan manusia. Disini taurat pertama-tama tidak dilihat sebagai kontrak resmi atau legalistis. Hal yang upertama-tama adalah perjanjian kasih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum disini dilihat saluran kasih dari pihak manusia kepada Allah. Disisi lain hukum merupakan pengamalan akan kasih Allah (bdk. Ul 4:34-38). 14

Perjanjian Baru mengaitkan hukum pada ajaran Yesus ketika di atas bukit. Hukum disini tidak merujuk atas tindakan eksternal tetapi lebih pada tindakan internal. Penekanan hukum Perjanjian Baru lebih pada disposisi batin manusia. Hal ini merupakan nubuat dari Yeremia mengenai hukum yang tertulis dalam hati (Yer 31-31-33). Dalam pandangan Paulus, hukum telah terpenuhi dalam diri Yesus dan barangsiapa percaya kepada-Nya akan dibenarkan. Ia berpendapat bahwa seluruh hukum taurat dipersiapkan untuk kedatangan Yesus. 15

Hukum dalam Katekismus

Pandangan mengenai hukum secara lebih rinci dijelaskan di dalam katekismus daripada dalam Kitab Suci. Katekismus menyebutkan beberapa hukum moral yang ada. Hukum moral itu terdiri dari hukum abadi, hukum kodrati, hukum yang diwahyukan dan hukum negara (serta hukum gereja). Hukum moral yang ada merupakan pedagogi dari Allah. Hukum itu ditentukan agar manusia memperoleh kebahagiaan yang dijanjikan Allah. Disisi lain hukum itu mengarahkan manusia untuk tidak melakukan kejahatan. Hukum moral tidak hanya berisi larangan untuk tidak melakukan kejahatan, namun juga membawa manusia pada sebuah ikatan. Disini Allah dan manusia diikat dalam sebuah perjanjian.16

Hukum moral bersumber pertama-tama dari hukum abadi yang berasal dari Allah sendiri. Hukum abadi itu kemudian meresapi seluruh kebenaran yang terdapat dalam hukum kodrati, hukum yang diwahyukan dan juga hukum negara (juga hukum gereja). Hukum moral yang meliputi hukum kodrati dan hukum yang diwahyukan dijelaskan secara lebih rinci dalam katekismus. Hukum kodrati mengantar manusia untuk mampu membedakan mana yang baik dan buruk; mana yang benar dan yang bohong. Pembedaan yang baik dan buruk (benar dan bohong) dimungkinkan, karena manusia dianugerahi akal budi. Selain akal budi,

14 Bdk. Edmund Hill, Being Human, London: Geoffrey Chapman, 1984, hlm. 238. 15 Ibid., hlm. 232.

(6)

hukum kodrati itu juga terdapat dalam di hati manusia. Hukum kodrati yang ada dalam diri manusia ini, pada dasarnya mengarahkan manusia pada prinsip-prinsip universal.17

Selain hukum kodrati, hukum moral lainnya terwujud dalam hukum yang diwahyukan. Hukum yang diwahyukan meliputi hukum lama dan hukum baru. Hukum lama itu terangkum pada dekalog. Hukum ini merupakan hukum yang menunjukkan kepada manusia apa yang harus diperbuatnya. Namun hukum ini tidak memberikan daya kepada manusia untuk melakukannya. Selain itu, hukum lama ini tidak dapat menghapuskan dosa. Hukum ini hanya menyingkapkan keberdosaan manusia saja.

Hukum lain yang diwahyukan adalah hukum baru. Hukum itu nyata dalam injil dan diterima manusia ketika ia beriman kepada Yesus Kristus sendiri. Hukum ini berbeda dengan hukum lama. Dalam katekismus dijelaskan:

Hukum baru dinamakan hukum kasih, sebab hukum itu membuat kita bertindak lebih karena kasih yang Roh Kudus curahkan, daripada karena takut. Ia juga dinamakan hukum rahmat, karena ia memberi rahmat, supaya dapat bertindak berkat kekuatan iman dan Sakramen-sakramen. Ia juga disebut hukum kebebasan Bdk. Yak 1:25; 2:12., karena ia membebaskan kita dari peraturan-peraturan

ritual dan legal dari hukum lama, membuat kita rela bertindak dengan dorongan kasih secara spontan dan mengangkat kita dari status hamba.18

Setelah melihat pemahaman dari Kitab Suci dan Katekismus, esensi hukum adalah relasi personal antara Allah dan manusia. Relasi itu dalam Kitab Suci disebut dengan “perjanjian”. Perjanjian yang diadakan Allah dengan manusia, menunjukkan betapa Allah mencintai manusia. Namun disisi lain manusia juga mau menanggapi cinta Allah itu dalam sebuah “perjanjian”. Cinta itu itu dibakukan dalam hukum agar cinta itu tetap mengarah pada Allah sendiri.

Rahmat

Rahmat dalam Kitab Suci

Kata “rahmat” sering merujuk pada keadaan manusia yang selamat. Dalam Perjanjian Lama keadaan manusia yang selamat disebut sebagai keadaan damai sejahtera (syalom). Syalom mencakup kebahagiaan manusia seluruhnya baik rohani maupun jasmani (Kel 18:23). Dalam arti yang lebih luas, syalom merupakan tindakan Allah yang membebaskan manusia dari segala bahaya. Misalnya, pembebasan dari penindasan

(7)

(Kel14:30). Disisi lain dalam Deutero –Yesaya, syalom tidak hanya pengharapan akan pembebasan dari penindasan, tetapi juga pengharapan akan kedatangan dan pemerintahanYHWH (Yes 52:7).

Dalam Perjanjian Baru kata “rahmat” sering dipakai oleh Paulus. Kata ini merujuk pada keutuhan pribadi manusia di dalam Allah dan untuk persekutuan dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus. Selain itu kata tersebut mengacu pada “kerajaan Allah, perjanjian yang baru, hidup kekal, pengenalan dan kasih Allah, pembenaran, penyembuhan, pengampunan dosa, pelunasan dosa, damai, ciptaan baru, kelahiran kembali, pengangkatan menjadi anak-anak Allah..”.19

Rahmat dalam Katekismus

Rahmat adalah kemurahan hati, pertolongan sukarela yang Allah berikan kepada manusia, agar manusia dapat menjawab panggilan-Nya. Sebab panggilannya ialah menjadi anak-anak Allah. Dengan menjadi anak-anak Allah, manusia diikutsertakan dalam kehidupan Allah. Dengan kata lain rahmat itu mengantar manusia masuk ke dalam kehidupan Tritunggal yang paling dalam.

Rahmat Allah berarti bahwa Allah memberi kehidupan-Nya secara cuma-cuma kepada manusia. Ia mencurahkannya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus, untuk menyembuhkannya dari dosa, membenarkan dan menguduskannya. Itulah rahmat pengudusan atau rahmat pengilahian. Rahmat pengudusan adalah satu anugerah yang tetap, satu kecondongan adikodrati yang tetap. Rahmat itu menyempurnakan jiwa, supaya memungkinkannya hidup bersama dengan Allah dan bertindak karena kasih-Nya. Selain itu rahmat memampukan manusia berkarya demi keselamatan orang lain dan pertumbuhan Tubuh Kristus.20

Keselamatan

Keselamatan dalam Perjanjian Baru erat kaitannya dengan penebusan, penebusan dosa, pembenaran dan pembebasan. Penebusan merupakan usaha “membeli kembali” properti dari pihak keluarga terdekat yang telah menjadi milik orang lain. Namun penebusan juga berkaitan juga pembelian atau pembebasan seorang budak. Gambaran penebusan ini nyata dalam usaha Allah melepaskan Israel dari belenggu perbudakan (Kel 6:6-7).

(8)

Gagasan keselamatan, juga dikaitkan pula dengan penebusan dosa. Hal ini nyata dalam perkataan Paulus, “karena semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Rm 3:23-24). Gagasan penebusan dosa semacam ini lahir dari pesta Yahudi yaitu hari penebusan dosa. Disini orang Yahudi mempersembahkan korban untuk memohon ampun kepada Allah atas dosanya.

Keselamatan juga dikaitkan erat dengan pembenaran. Kata “pembenaran” merupakan kata yang berasal dari bahasa hukum. Kebenaran adalah atribut yang dikenakan oleh Allah. Dengan demikian pembenaran tidak lain adalah anugerah dari Allah kepada manusia. Manusia yang bersalah dilepaskan dari kesalahan dan dianugerahkan belas kasih dari Allah sendiri. Keselamatan akhirnya dikaitkan dengan pembebasan. Disini manusia dilepaskan dari semua belenggu dari dosa, kematian, hukum, ketakutan, keputusasaan, kehidupan yang egois, materialisme, harga diri dan kekuasaan. 21

Keselamatan manusia diperoleh manusia atas rahmat yang diperoleh dari hukum baru. Hukum itu digenapi dalam diri Yesus dan hukum itulah yang memberikan rahmat Roh Kudus. Dengan rahmat itulah manusia dapat melakukan “perjanjian” antara Allah dan manusia. Dengan rahmat dari Roh Kudus, manusia memperoleh kekudusannya kembali. Ia juga diarahkan pada keadilan asali. Selain itu manusia dibawa kepada keselarasan kembali dalam relasinya dengan Allah, sesama, alam dan dirinya sendiri. Semua hal ini terwujud bukan atas usaha manusia sendiri, melainkan anugerah dari Allah sendiri.

Kedosaan dan keselamatan

Setelah penjelasan mengenai dosa, hukum, rahmat dan keselamatan, pembahasan selanjutnya adalah berkenaan dengan kaitan satu sama lain. Gagasan (seperti pada penjelasan sebelumnya) dosa merujuk pada pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dimaksud tidak hanya berkenaan dengan pelanggaran terhadap aturan yang ada. Lebih jauh dari itu, pelanggaran itu merupakan sebuah pemutusan relasi antar manusia dan akhirnya juga pemutusan relasi dengan Allah sendiri. Dengan melanggar hukum, manusia menolak “perjanjian” dengan Allah yang penuh cinta. Pelanggaran terhadap hukum menunjukkan penyalahgunaan manusia terhadap kebebasan yang ia peroleh.

Dosa membuat manusia akhirnya menjauh dari tawaran cinta Allah kepada manusia. Kenyataan itu membuat manusia menjauh dari rahmat Allah sendiri. Manusia yang berdosa itu menjauh dari Allah, sang kehidupan. Rasul Paulus menyatakan secara jelas hal ini dengan

(9)

mengatakan “upah dosa adalah maut” (Rm 6:23). Selain itu manusia akhirnya menjadi hamba/ upahan dari dosa itu sendiri. Dosa itu membawa manusia menanggung kedosaan. Kedosaan itu membuat manusia tidak lagi mampu menjadi tuan atas dirinya. Ia tidak lagi memiliki kebebasan atas dirinya (Yoh 8:34).

Perbudakan manusia terhadap dosa membuat manusia tidak mampu lagi membuat manusia melakukan hukum yang ada (Taurat). Manusia yang jatuh dalam perbudakan dosa, tidak dapat melepaskan dirinya sendiri. Ia tidak dapat melepaskan belenggu itu dengan melakukan hukum. Dalam perbudakan ini, manusia membutuhkan rahmat dari Allah yang menyelamatkan. Penyelamatan itu bukanlah dalam arti fisik seperti pembebasan Israel dari Mesir (Kel 12). Pembebasan itu merupakan pembebasan rohani yang dikerjakan Yesus Kristus. Dengan pengorbanan di salib, Yesus berusaha menyelamatkan manusia. Yesus menyelamatkan manusia dari belenggu dosa (Mat 1:21). Manusia akhirnya dilepaskan dari perbudakan dosa dan diberi kebebasan. Kebebasan yang diberikan kepada manusia bukan hanya kebebasan sebagai budak, tetapi kebebasan sebagai anak Allah.

Rahmat Allah memberikan keselamatan kepada manusia. Dengan demikian manusia dilepaskan dari dosa. Manusia kemudian mendapat pembenaran dari Allah. Selain itu manusia kembali mendapat rahmat kekudusan dan dimasukkan kembali dalam relasinya dengan Allah. Keselamatan yang diperoleh manusia, akhirnya memperbaharui kembali “perjanjian” yang telah diputus oleh dosa.

Dengan keselamatan ini, manusia tidak hanya dijadikan kudus tetapi juga memiliki kebebasan. Rahmat pengudus mengantar manusia untuk senantiasa mengarahkan diri kepada Allah. Rahmat pengudus itu tidak lain berasal dari Roh Kudus yang diberikan oleh Allah ketika Allah memberikan keselamatan. Roh Kudus menjadi daya dalam diri orang dan menjadi pendorong menuju Allah. Hal ini bertolak belakang dengan keberdosaan yang mengarahkan manusia kepada dosa.

(10)

makna sesungguhnya. Namun hal yang lebih penting adalah manusia dimampukan untuk melakukan hukum itu karena Roh Kudus sendiri.

Dari seluruh penjelasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah manusia memperoleh keselamatan bila manusia memperoleh rahmat dari Allah. Dengan rahmat itu manusia dilepaskan dari belenggu dosa. Disini manusia memperoleh kekudusan asali sehingga relasi dengan Allah dipulihkan. Selain itu rahmat kekudusan manusia juga dimampukan juga melakukan hukum baru. Hal ini dimampukan karena keselarasan antara Allah, sesama dan alam telah dipulihkan. Sehingga dengan keselarasan asali itu, manusia dapat menggunakan kebebasannya kepada tujuan asali hidupnya.

Relevansi

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering jatuh dalam kesalahan dan dosa. Dosa itu terus berulang dan semakin menjauhkan umat Allah pada relasi mesra dengan Allah. Keengganan umat Allah untuk berdoa, membaca kitab suci, pergi ke gereja, mengaku dosa dan hal-hal lainnya, merupakan hal sederhana dimana umat Allah mulai menjauh dari Allah. Selain itu, relasi yang mulai menjauh dari Allah ditunjukkan dengan dosa-dosa yang terus diulang, sehingga hati nurani pun menjadi tumpul. Kenyataan inilah yang menujukkan manusia yang dikuasai dosa.

Belenggu dosa yang dialami manusia, hanya dapat dilepas atas kuasa Allah sendiri. Rahmat itu dapat diterima lewat pengakuan dosa. Rahmat itu mengembalikan hubungan manusia dengan Allah. Oleh sebab itu, penerimaan sakramen pengakuan dosa tidak hanya dilihat sebagai ritus penerimaan pengampunan, tetapi juga pelepasan terhadap belenggu dosa. Hal yang perlu disadari dan ditumbuhkan dalam umat beriman adalah sejauh mana rahmat itu dirasakan. Umat Allah diminta mengalami sendiri, bagaimana Allah juga mulai melepaskan dirinya dari belenggu dosa. Selain itu umat Allah mulai diajak menyadari rahmat dari Allah yang menuntun kita untuk mencintai Allah dan sesama dalam perjalanan hidup sehari-hari.

Penutup

(11)

Daftar pustaka

Dister, Nico Syukur OFM. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Edwards, Denis. What are they saying about salvation?. New York. Paulist Press. 1986. Groenen, C. OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius. 1989.

Handoko, Petrus Maria. Dicipta untuk dicinta.

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini bertujuan ingin mempelajari tingkat bahaya lahar hujan dan sebaran kerusakan bangunan pengendali sedimen, infrastruktur, permukiman dan lahan pertanian akibat banjir

Analytical hierarchy process (AHP) mengembangkan sebuah penilaian untuk setiap alternatif keputusan didasarkan pada perbandingan masing-masing saat pengambil keputusan

Penggunaan Media Pembelajaran Alat Peraga terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Kubus dan Balok pada Siswa Kelas VIII MTs Negeri Aryojeding. Pengaruh ( Contextual

Hal ini dapat dilakukan melalui transfer pengetahuan dan sharing informasi antar anggota organisasi maupun dengan pihak luar seperti perusahaan lain yang sudah

1) Sebaiknya pihak Lembaga PGSD dan Pusat Pengembangan PPL UNNES menjelaskan secara detail dan jelas tentang rangkaian pelaksanaan kegiatan PPL dan kriteria

Dari data prosentase kemandirian belajar mahasiswa pada tabel 6 dalam penerapan metode pembelajaran e -learning pada siklus II mahasiswa yang memiliki kemandirian dan

Untuk menghitung nilai koefisiensi korelasi antara variabel motivasi siswa dalam mengikuti ekstrakurikuler sains (X) dengan variabel partisipasi siswa dalam

Kiriago & Bwisa (2013) mengatakan bahwa tekanan yang muncul dari aspek lingkungan seperti tekanan yang berkaitan dengan pekerjaan, rendahnya tingkat keselamatan