• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK DILEMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK DILEMA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK: DILEMA PENERAPAN KUOTA 30% KANDIDAT WANITA DI INDONESIA

(WOMEN’S POLITICAL REPRESENTATION: THE DILEMMA OF THIRTY PERCENT QUOTA FOR WOMEN CANDIDATES IN INDONESIA)

Adiasri Putri Purbantina, S.IP, M.Si, International Relations Department,

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (adiasri.p@gmail.com)

Women plays significant role for economic and social development in the world. Although women’s population constitutes more than half world population, they are still underrepresented in politics and parliament. Political participation gave women direct access to promote women issues on decision making level. According to UNDP Report 2005, women’s representation in legislatures around the world was 15 percent. In 2012, women’s political representation in Southeast Asia was at 18.09 percent. The importance of promoting women’s political representation was highlighted by the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), which has been ratified by many countries around the world. “Quota system” or “Gender quota” is considered as the most effective tools to enhance women’s political participation. The implementation of “quota system” in Indonesia has already begun since the UU RI No 12 tahun 2003. With this law, political parties were encouraged to give 30% quota for women candidates. But this “30 percent quota” has brought some dilemmas.

Keywords: Gender Quota, Indonesian Politic

Pengantar

Wanita memiliki populasi lebih dari separuh populasi dunia, tetapi wanita masih kurang terwakili dalam politik dan parlemen. Berdasarkan 2012 Women’s Political Participation Report Asia-Pacific, jumlah perwakilan wanita di empat kawasan masih di bawah rata-rata global. Empat kawasan tersebut adalah kawasan Pasifik dengan perkecualian Australia dan Selandia Baru (3,65%); kawasan Asia Timur (17,6%); kawasan Asia Tenggara (18,09 %) dan Asia Selatan (19,76%).1

Rendahnya jumlah perwakilan wanita ini mendapatkan mendapatkan perhatian dunia. Berdasarkan UN Women, berbagai studi menunjukkan bahwa dengan jumlah perwakilan wanita yang lebih tinggi di parlemen, maka isu-isu wanita (seperti kekerasan terhadap wanita, kesetaraan gender, marjinalisasi perempuan, dll) akan mendapatkan perhatian lebih.2 Berdasarkan penelitian dari Institute for Women’s Policy Research di Amerika Serikat menunjukkan bahwa negara bagian yang mempunyai keterwakilan perempuan lebih tinggi memiliki kebijakan yang lebih responsif terhadap pemenuhan sumber daya dan hak-hak perempuan.3

(2)

Berbagai langkah diambil untuk meningkatkan jumlah perwakilan wanita di berbagai negara di dunia. Sebagian besar dari mereka berwujud kebijakan kuota (gender quota). Penggunaan kebijakan kuota ini berawal dari konferensi PBB, United Nations Fourth World Conference on Women, yang diselenggarakan di Beijing pada bulan September 1995. Konferensi PBB ini menghasilkan sebuah Beijing Declaration and Platform for Actions, yang ditandatangani oleh 189 negara-negara anggota. Melalui deklarasi ini, pemerintah-pemerintah di berbagai negara anggota diminta untuk menjamin keadilan akses politik dan partisipasi wanita dalam struktur kekuasaan dan pembuatan kebijakan. Paska dikeluarkannya deklarasi ini semakin banyak negara yang mengimplementasikan kebijakan kuota.7

Negara Indonesia menerapkan kebijakan sistem kuota ini semenjak tahun 2003. Berdasarkan “UU No. 12/2003” mengenai Pemilu, semua parta-partai politik yang akan maju dalam pemilu 2004 disarankan untuk memberikan kuota 30 persen kepada kandidat wanita. Hanya saja kemudian, dalam periode pemerintahan tahun 2004-2009, jumlah perwakilan wanita dalam parlemen nasional (Dewan Perwakilan Rakyat /DPR) hanya mencapai 11,3 persen.8 Kemudian pemerintah Indonesia masih melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki sistem kuota dalam pemilu di Indonesia yang meliputi “UU No. 10/2008” mengenai pemilu, “UU No. 2/2011” mengenai partai politik, dan yang terakhir “UU No. 8 /2012” mengenai pemilu.

Kuota Gender & Undang-Undang Pemilu di Indonesia

Kuota gender telah menjadi salah satu sub bidang yang paling cepat berkembang dalam studi mengenai wanita dan politik. UN Entity for Gender Equality and Empowerment for Women (UN Women) mendorong negara-negara untuk menggunakan sistem kuota untuk mendorong peningkatan perwakilan wanita dalam parlemen.9 Berdasarkan Women in Politics 2012 Report, UN Women menyatakan bahwa kuota memiliki dampak positif dalam peningkatan keterlibatan wanita dalam politik. Dari 59 negara-negara yang menyelenggarakan pemilu di tahun 2011, sebanyak 17 negara memberlakukan sistem kuota. Wanita mendapatkan 27 persen kursi di parlemen di ketujuh belas negara tersebut. Masih berdasarkan UN Report tersebut, ditemukan bahwa terdapat peningkatan jumlah kepala negara dan kepala pemerintahan wanita dari delapan orang di tahun 2005 menjadi 17 orang di tahun 2012. Selain itu juga terdapat peningkatan jumlah menteri wanita dari 14,2 persen di tahun 2005 menjadi 16,7 persen di tahun 2012.10

Berdasarkan Mona Lee Krook dalam bukunya yang berjudul Quota for Women in Politics: Gender and Candidate Selection Reform Worldwide (2009), negara-negara yang menggunakan sistem kuota dapat ditemukan di berbagai belahan dunia dan negara-negara ini memiliki karakteristik institusi, ekonomi, sosial dan budaya yang berbeda. Menurut Krook, secara umum sistem kuota dapat dibagi menjadi tiga model utama, yaitu reserved seats,

party quota, dan legislative quotas.11

Reserved seats dapat ditemukan secara terutama di Afrika, Asia, dan Timur Tengah dan pengimplementasiannya melalui sebuah reformasi konstitusi (dan terkadang melalui undang-undang pemilu). Sistem ini berupa pemberian distrik tersendiri bagi kandidat wanita ataupun pendistribusian kursi bagi wanita berdasarkan porsi dari masing-masing partai berdasarkan popular vote. Reserved seats berbeda dengan party quota ataupun legislative quota, yang hanya memberikan sejumlah persentasi tertentu bagi kandidat wanita dalam partai politik.12

Party quotas adalah jenis sistem kuota gender yang paling sering dipakai dan kebijakan jenis ini secara umum memandatkan kuota 25 hingga 50 persen dalam total kandidat yang diajukan oleh partai-partai politik. Sistem party quotas adalah sistem kuota yang dianut secara sukarela oleh partai-partai politik yang berkomitmen untuk meningkatkan jumlah kandidat wanita mereka. Pengimplementasian sistem kuota ini sangat bergantung kepada sistem pemilu13 yang dianut suatu negara .14

(3)

pemilu, dan kadang melalui konstitusi. Sistem ini memberikan hak kepada partai untuk mengatur kuota tetapi dengan melalui persetujuan parlemen nasional. Parlemen nasional lah yang menerapkan sejumlah kuota kandidat wanita, antara 25-50 persen, yang harus dipenuhi oleh partai politik. Legislative quota merupakan sistem kuota terbaru yang muncul pertama kali pada tahun 1990-an, yang merupakan era dimana isu perwakilan / representasi wanita mendapatkan perhatian internasional (organisasi internasional dan transnasional NGO).15

Usaha Indonesia untuk membela hak-hak wanita sudah dimulai semenjak tahun 1952, Indonesia meratifikasi United Nation Convention on Political Rights of Women melalui UU No. 68 / 1958, dibawah Presiden Soekarno. Pada tahun 1984, dibawah Suharto, Indonsia meratifikasi konvensi PBB lainnya yaitu Nation Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women (CEDAW) melalui UU No. 7 / 1984. Indonesia mulai mengadopsi kebijakan kuota pada tahun 2003.16

Semenjak pemilu Indonesia yang pertama pada tahun 1955 hingga pemilu 1999, jumlah tertinggi perwakilan wanita di DPR hanya mencapai 13 persen.17 Berbagai usaha dilakukan oleh para aktivis wanita untuk mendapatkan jumlah perwakilan wanita yang lebih tinggi di parlemen dan usaha mereka akhirnya mendapatkan hasil ketika dtetapkan UU No. 12 /2003 mengenai pemilu.18 Berdasarkan undang-undang ini, partai-partai politik yang akan bersaing pada pemilu 2004 didorong untuk memberikan kuota bagi kandidat wanita (non-compulsory quota).19 Pasal 65 dalam UU ini menuliskan bahwa setiap partai politik harus memiliki minimal 30 persen jumlah kandidat wanita di berbagai distrik electoral (baik DPR, DPD, maupun DPPRD). 20 Hanya saja sayangnya hasil pemilu tahun 2004 hanya menunjukkan sedikit peningkatan jumlah perwakilan wanita di DPR. Hanya terdapat sebanyak 11,3 persen kursi DPR yang diduduki oleh wanita di periode pemerintahan 2004-2009. Undang-undang ini dianggap kurang efektif karena sifatnya hanya mendorong dan tidak ada sangsi yang diberikan kepada partai-partai politik yang tidak memenuhi syarat kuota tersebut. 21

Undang-undang pemilu yang baru kemudian dikeluarkan pada tahun 2008, yaitu UU No. 10 / 2008. Undang-undang ini meminta partai-partai politik untuk memastikan adanya kuota 30 persen bagi wanita baik di level struktural maupun sebagai kandidat. 22 Undang-undang ini mengkombinasikan kuota 30 persen bagi daftar kandidat di masing-masing partai dengan sistem zipper. Sistem zipper ini berarti untuk setiap tiga kandidat yang diajukan oleh partai politik, harus terdapat satu kandidat wanita. Pada pemilu tahun 2009 terdapat peningkatan jumlah perwakilan wanita di DPR. Sebanyak 70 persen dari total 38 partai yang bersaing pemilu 2009, menominasikan lebih dari 30 persen wanita sebagai kandidat mereka. 23

Grafik 1

(4)

Sumber: Data diolah oleh UNDP Indonesia yang diambil dari “Pusat Data dan Informasi Arsip Nasional”24

Berdasarkan penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada pemilu 2009, jumlah perempuan dalam parlemen (DPR) di tingkat nasional meningkat dari 11,6 persen menjadi 18 persen (yakni dari 65 menjadi 101 orang, dari total 560 anggota DPR). Penambahan jumlah juga terjadi di DPD dari 21 persen menjadi 27,7 persen (yakni dari 27 menjadi 36 orang, dari total 132 anggota DPD). Anggota legislatif perempuan juga bertambah pada tingkat provinsi, dari 10 persen menjadi 21 persen (yakni 374 menjadi 1.778 orang dari 33 provinsi di Indonesia).25

Pada tahun 2014, masyarakat Indonesia akan menghadapi pemilu lagi. Sistem kuota gender di Indonesia kini diperkuat oleh undang-undang pemilu yang baru yaitu UU No. 8 / 2012. Pasal 8 dalam undang-undang ini menyebutkan adanya persyaratan kuota 30 persen bagi partisipasi wanita dalam struktur partai di level nasional. Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap partai politik wajib menyertakan minimum 30 persen kuota bagi kandidat wanita. Pasal 55 tersebut dilengkapi dengan pasal 56 yang menyatakan bahwa setiap tiga kandidat yang diajukan oleh partai politik, harus terdapat satu kandidat wanita.26

Pada intinya, undang-undang pemilu di Indonesia selalu berubah dari pemilu yang satu ke pemilu lainnya. Tetapi dapat dilihat bahwa walaupun selalu terdapat undang-undang baru, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan jumlah perwakilan wanita di parlemen. Menjelang pemilu 2014 partai-partai politik diwajibkan untuk menyertakan 30 persen kandidat wanita.

Dilema Pengimplementasian Kuota 30 Persen Wanita di Indonesia

Pengimplementasian kuota gender di berbagai belahan dunia beragam. Krook menyampaikan empat argument utama mengenai alasan-alasan pengadopsian kuota gender di berbagai negara. Argumen pertama adalah atas dorongan berbagai kelompok atau organisasi wanita yang mulai merasa bahwa kuota gender adalah alat yang efektif untuk meningkatkan jumlah representasi politik /perwakilan wanita. Argumen kedua adalah bahwa sistem kuota dianut sebagai alasan strategis berbagai elit politik secara terutama terkait dengan kompetisi antar partai. Pandangan ketiga melihat pengimplementasian sistem kuota ini sebagai sesuatu yang muncul demi alasan normative yaitu pentingnya nilai

equality dan representation. Penjelasan yang terakhir adalah bahwa sistem kuota ini tersebar di berbagai belahan dunia atas jasa organisasi-organisasi internasional, seperti PBB.27

(5)

di Indonesia. Dengan peningkatan jumlah partisipasi wanita dalam partai politik akan meningkatkan peluang bagi wanita untuk terpilih dan membuat isu-isu wanita lebih mendapatkan perhatian di parlemen. Tetapi apakah penerapan sistem kuota ini telah berfungsi sebagaimana yang diharapkan?

Tulisan ini membahasa dua dilema / permasalahan yang timbul di Indonesia akibat penerapan sistem kuota gender ini. Permasalahan pertama adalah bahwa terkait demi memenuhi kuota, mayoritas kandidat wanita yang maju dalam pemilu tidak memiliki latar belakang yang sesuai dan bahwa wanita hanya menjadi alat bagi partai politik untuk mendapatkan suara (Voter getter). Sebagai contohnya, terkait dengan fenomena banyaknya artis / pekerja dunia seni yang maju ke panggung politik tanpa memiliki skill dan

knowledge yang cukup. Permasalahan kedua yang kemudian muncul adalah bahwa walaupun terdapat peningkatan jumlah perwakilan wanita di parlemen, mereka belum tentu aktif dalam mengangkat isu-isu wanita.

Caleg Wanita di Indonesia & Artis Wanita sebagai Voter Getter

Kuota 30 persen kandidat wanita bukanlah persyaratan yang mudah untuk dipenuhi setiap partai politik yang ingin maju dalam pemilu di Indonesia, baik pemilu di tingkat lokal, provinsial, maupun nasional. Partai politik seolah dipaksa untuk memberikan prioritas mereka kepada calon-calon kandidat wanita. Permasalahan kemudian dapat muncul apabila kemudian demi memenuhi kuota dan agar dapat bersaing dalam pemilu, partai-partai politik kemudian menerima calon-calon kandidat wanita dengan kemampuan dan pengetahuan politik yang kurang.

Berdasarkan hasil penelitian LIPI di empat daerah (Propinsi Aceh, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat), ditemukan bahwa partai politik kesulitan menjaring caleg perempuan. Padahal menurut aktivis perempuan, banyak sekali perempuan berkualitas yang siap untuk dijaring oleh partai politik. Wanita yang berhasil menduduki jabatan strategis di partai politik dan kandidat / calon legislatif wanita yang pada akhirnya menempati urutan teratas dalam pencalegan biasanya memiliki kedekatan dengan pimpinan partai politik dan/atau memiliki popularitas tinggi dan/atau memiliki kemampuan finansial yang bagus.28

Salah satu permasalahan utama dengan partai-partai politik di Indonesia adalah bahwa sebagian besar partai politik merupakan catchall parties yang prioritasnya adalah memenangkan pemilu dan mengumpulkan dana untuk membiayai partai mereka.29 Populisme seringkali dilihat sebagai salah cara bagi partai-partai politik untuk memenuhi kuota 30 persen kandidat wanita. 30 Salah satu fenomena yang kini muncul dalam panggung politik Indonesia adalah kemunculan artis / pekerja industri seni (entertainment industry) yang maju sebagai kandidat dalam pemilu. Sebagian besar artis ini tidak memiliki pengetahuan politik yang cukup. Kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang diterapkan di Indonesia dalam kuota gender ini digunakan oleh partai-partai politik untuk menjadikan wanita sekedar sebagai alat untuk mendapatkan suara (voter getter) tanpa benar-benar peduli pada isu-isu wanita.

Pemilu tahun 2009 memang menunjukkan peningkatan jumlah perwakilan wanita, hanya saja hal yang perlu diperhatikan adalah bahawa kaum wanita yang duduk di legislatif (DPR) maupun DPRD saat ini bukanlah yang berlatarbelakang aktivis maupun mereka yang banyak bersentuhan dengan pemberdayaan kelompok marginal. 31 Kebanyakan dari perwakilan wanita ini berlatarbelakang figure popular, dinasti politik, dan kader parpol. Sebagian besar dari wanita ini minim bersentuhan dengan organisasi gerakan perempuan dan kurang paham dengan isu gender maupun perjuangan demokratisasi di Indonesia dimana wanita adalah bagian integral dalam perjuangan tersebut.32

(6)

mendapatkan suara. Menurut Widodo, fenomena politisi dengan latar belakang dunia hiburan ini menjadi praktek umum yang terjadi di perpolitikan Indonesia. 33

Fenomena artis menjadi politisi ini dapat dilihat mulai dari pemilu tahun 2004. Pada pemilu ini artis-artis yang maju dalam pemilu dapat dikategorikan menjadi tiga golongan.34 Golongan yang pertama adalah mereka yang memang sebelumnya telah bergabung dalam partai politik (baik partai besar maupun kecil). Golongan yang kedua adalah mereka yang memanfaatkan posisi mereka sebagai public figure dan berperan sebagai voter getter. Golongan ketiga adalah para artis yang memiliki posise netral yang karya-karyanya seringkali dipakai oleh para politisi.35 Berikut ini adalah daftar artis-artis wanita dari total yang maju sebagai kandidat dalam pemilu 2004:

Tabel 1

“Daftar Kandidat Wanita dengan Latar Belakang Pekerja Industri Seni dalam Pemilu 2004”

No Nama Partai Asal Daerah Pemilihan

1 Marissa Haque PDI-P Jawa Barat II

2 Renny Djajoesman Golkar Jawa Tengah I

3 Nurul Arifin Golkar Jawa Barat III

4 Puput Novel Golkar Jawa Barat VIII

5 Rieke Dyah Pitaloka PKB Jawa Barat IV

6 Emilia Contesa PPP Jawa Timur VII

7 Ratna Paquita Wijaya PAN DKI Jakarta I

8 Nia Daniati PKPB Propinsi Jambi

9 Anna Tairas Partai Demokrat Jawa Timur IV

10 Angelina Sondakh Partai Demokrat Jawa Tengah VI

11 Nindy Elise PDS Jawa Barat VII

12 Marini Partai PP Jawa Tengah IV

13 Tutie Kirana Partai PIB Jawa Timur I

14 Usi Karundeng Partai PIB Sulawesi Utara

15 Dien Novita Partai Golkar DI Yogyakarta

16 Anneke Putri PKS DKI Jakarta II

17 Rae Sita Supit Partai Golkar Jawa Barat V

Sumber: Data diambil dari Nyarwi berdasarkan data dari KPU; CENTRO database; dan Alfito Deannova36

Berbeda dengan dua pemilu sebelumnya, kuota 30 persen bagi kandidat wanita dalam pemilu 2014 sifatnya wajib. Berikut ini adalah daftar nama-nama artis yang menjadi kandidat dalam pemilu tahun 2014 nanti:

Tabel 2

“Daftar Calon Legislatif dari Kalangan Artis dalam Pemilu 2014”

No Partai Politik Nama Kandidat

1 Partai Amanat Nasional (PAN)

Anang, Ashanty, Desi Ratnasari, Ikang Fauzi,

Marissa Haque, Hengky Kurniawan, Jeremy

Thomas, Ayu Azhari, Dwiki Dharmawan, Norman Kamaru, Eko Patrio, dan Primus Yustisio.

2 Partai Nasional Demokrat (Nasdem)

Melly Manuhutu, Doni Damara, Jane Shalimar, Mel Shandy, dan Sarwana.

3 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Cinta Penelope, Tommy Kurniawan, Tia AFI, Ridho Rhoma, Vicky Irama, Dedi Irama, Mandala Shoji, Said Bajuri, Khrisna Mukti, Ressa Herlambang, Arzetti Bilbina, Akrie Patrio, dan Iyeth Bustami.

4 Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

(7)

Mirdad. 5 Partai Persatuan

Pembangunan (PPP)

Angel Lelga, Lyra Virna, Emilia Contesa, Okky Asokawati, Ratih Sanggarwati, dan Mat Solar. 6 Partai Golongan Karya

(Golkar)

Charles Bonar Sirait, Nurul Arifin, Tantowi Yahya, dan Tety Kadi Wibowo.

7 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)

Yessy Gusman, Edo Kondologit, Nico Siahaan, dan Rieke Diah Pitaloka.

8 Partai Demokrat (PD) Yenny Rahman, Anwar Fuadi, Inggrid Kansil, dan Venna Melinda.

9 Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)

David Chalik, Andre Hehanusa, dan Gusti Randa.

Keterangan : Kandidat wanita ditandai dengan warna biru.

Sumber: Data ini diambil dari pemberitaan Kompas Online bulan Juli 201337

Dapat dilihat bahwa dibandingkan pemilu 2004, makin banyak artis, terutama artis wanita, yang maju dalam pemilu di Indonesia. Dengan melihat banyaknya artis wanita yang maju sebagai kandidat / caleg dalam pemilu 2014, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kontribusinya bagi agenda wanita (women issues) dan perjuangan wanita ketika mereka akhirnya terpilih untuk masuk dalam parlemen. Apakah peningkatan jumlah perwakilan wanita dalam parlemen, secara terutama parlemen nasional (DPR) dapat sekaligus mengangkat women issues di Indonesia untuk mendapatkan perhatian lebih?

Kinerja Perwakilan Wanita dalam Parlemen

Para perwakilan wanita di DPR Indonesia saat ini dianggap belum memperlihatkan usaha lebih dalam mengangkat women issues. Banyak isu yang menyangkut nasib wanita di Indonesia yang belum menjadi perhatian para politisi wanita. Diantaranya yaitu isu tenaga kerja, perdagangan manusia, ketidakadilan hukum. Permasalahan apakah kenaikan jumlah perwakilan wanita di parlemen sejalan dengan semakin tingginya perhatian terhadap persoalan wanita di Indonesia, masih patut dipertanyakan. Ketua Konfederasi Organisasi Buruh, Nining Elitos, menyatakan bahwa salah satu contoh kurangnya perhatian pemerintah pada isu wanita dapat dilihat pada UU Ketenagakerjaan yang menurutnya tidak memberikan perlindungan kepada kaum buruh dan merugikan buruh wanita.38

Dalam DPR, perwakilan wanita cukup tersebar di semua badan kerja DPR RI, antara lain dalam Komisi, Panitia Khusus, dan Panitia Kerja DPR. Namun demikian kinerja anggota DPR wanita masih dapat dipertanyakan. Women Research Institute39 melakukan survei kepada 160 responden, yang merupakan anggota Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) serta anggota Komisi II dan Komisi VIII DPR RI pada tahun 2012 mengenai anggota legislatif wanita. Sebanyak 36 responden mengembalikan survei tersebut dan dapat ditarik beberapa kesimpulan dari hasil survei. Hasil survei menyatakan bahwa anggota legislatif wanita cukup rajin menghadiri rapat-rapat di Dewan. Meskipun demikian, hasil survei ini juga menunjukkan bahwa anggota DPR wanita belum memberikan kontribusi maksimal dalam pembuatan kebijakan di DPR. Tingkat keaktifan untuk menyampaikan pendapat dan argumentasi masih rendah yakni hanya 20 persen anggota DPR wanita yang aktif. Selain itu, sebesar 83 persen anggota DPR perempuan menyatakan berpendapat sesuai dengan arahan dari fraksi, sedangkan yang mengaku berpendapat tidak sesuai dengan arahan fraksi hanya 17 persen.40

(8)

Sedangkan untuk di level lokal (DPRD), dapat ditemukan masalah yang sama. Salah satu contohnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LIPI, draft Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Maluku Utara bukan datang dari inisiatif DPRD, melainkan berasal dari Pemerintah Kota Ternate. Berdasarkan apa yang terjadi dalam rapat pembahasan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), para anggota DPRD wanita tampak tidak peduli. Para anggota DPRD ini umumnya adalah wajah baru dalam politik setempat dan belum berpengalaman serta tidak aktif dalam organisasi atau jaringan wanita.42 Banyaknya anggota-anggota DPRD wanita yang tidak menguasai substansi isu-isu wanita dapat ditemui di wilayah-wilayah lain di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat, Papua.43

Pada intinya, hal yang mempersulit gerak anggota legislator wanita memperjuangkan isu-isu wanita adalah keterikatan mereka terhadap keputusan parpol yang diwakili oleh fraksi. Fraksi merupakan perpanjangan tangan parpol dalam mengatur anggotanya yang duduk di lembaga legislatif. Oleh karena itu, fraksi memiliki “kekuatan” besar untuk mempengaruhi “sepak terjang” anggotanya, sebagaimana diatur dalam UU maupun Peraturan Tata Tertib DPR atau Tatib DPRD.44

Kesimpulan

Sistem kuota gender diberlakukan di Indonesia dengan harapan untuk meningkatkan jumlah representasi wanita di parlemen Indonesia, baik di level nasional, daerah, maupun lokal. Tetapi peningkatan jumlah reperesentasi wanita di Indonesia ternyata masih membawa hasil sebagaimana yang diharapkan dan malah menciptakan dilema tersendiri. Demi memenuhi kuota 30 persen kandidat wanita, partai politik kemudian menerima wanita yang kurang atau bahkan tidak memiliki pengetahuan politik yang cukup. Salah satu fenomena menarik yang terjadi di panggung perpolitikan Indonesia adalah fenomena artis wanita yang maju dalam pemilu. Sebagian besar artis-artis wanita ini tidak memiliki pengetahuan politik yang cukup. Banyaknya kaum artis wanita yang maju ini menjadi contoh bagaimana wanita hanya berfungsi sebagai voter getter. Partai politik masih belum serius menanggapi pentingnya isu-isu wanita. Isu-isu wanita masih belum mendapatkan perhatian di parlemen Indonesia sebagaimana yang diharapkan. Sehingga pada intinya, walaupun melalui sistem kuota 30 persen ini terdapat jumlah peningkatan representasi wanita di Indonesia, peningkatan jumlah ini tidak diiringi dengan peningkatan kapabilitas kandidat wanita.

Daftar Referensi

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012).

Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Asril, S. (2013, Juli 24). Caleg Artis Harus Rajin Baca Berita dan Buku. Retrieved Agustus

15, 2013, from Kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2013/07/24/0941217/Caleg.Artis.Harus

Aziz, D. A. (2013). Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam parlemen. Yogyakarta: Rangkang Education.

Bastian, A. Q. (2012, November 8). Celebrity Politicians’ Star Power Derails. Retrieved Agustus 2013, 15, from The Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe.com/archive/celebrity-politicians-star-power-...1

Kenawas, Y. C., & Fitriani. (2013). Indonesia’s next parliament: celebrities, incumbents and dynastic members? Retrieved Agustus 2013, 15, from East Asia Forum: http://www.eastasiaforum.org

(9)

Muzakki, A. (2013, Juli 25). The Dilemma for Female Candidates in Indonesia. Retrieved Agustus 15, 2013, from The Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/25/the-dilemma-female-ca

Nyarwi. (n.d.). From Celebrity to Politician: The Indonesian Celebrity in the House of Representative (DPR RI) 2004-2007. The Indonesian Journal of Communication Studies.

Safitri, D. (2011, Maret 7). Perempuan di Parlemen: Sudahkah Membawa Perubahan?

Retrieved Agustus 15, 2013, from BBC Indonesia: http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/03/110304_perem

Siregar, W. Z. (2006). Women and the Failure to Achieve the 30 Per Cent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of the Electoral System. 20th IPSA World Congress. Fukuoka: 20th IPSA World Congress.

True, P. J., Niner, D. S., Parashar, D. S., & George, D. N. (2012). Women’s Political Participation in Asia and the Pacific. SSRC Conflict Prevention and Peace Forum. UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. (n.d.).

Democratic Governance. Retrieved Agustus 15, 2013, from UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women: http://www.unifem.org/gender_issues/democratic_governance/

UNDP. (2010). Power, Voice and Rights: A Turning Point for Gender Equality in Asia and the Pacific. New Delhi: Macmillan Publishers India Ltd.

UNDP Indonesia. (2010). Women’s Participation in Politics and Government in Indonesia.

Jakarta: UNDP Indonesia.

United Nations. (2012, Maret 2). Women’s political participation must be accelerated through quotas – UN Official. Retrieved Agustus 2013, 15, from United Nations: http://www.un.org/apps/news/story.asp?newsid=41445&cr=un

United Nations. (n.d.). Chapter 3: Political Participation. Retrieved Agustus 15, 2013, from United Nations: http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/publication/Chapter3.htm Usu, N. R. (n.d.). Affirmative Action in Indonesia: The Gender Quota System in the 2004 and

2009 Elections. Flinders Asia Centre Occasional Paper 1.

UU RI No.8 /2012. (n.d.). Retrieved Agustus 2013, 15, from http://datahukum.pnri.go.id/

Note

1

True, P. J., Niner, D. S., Parashar, D. S., & George, D. N. (2012). Women’s Political Participation in Asia and

the Pacific. SSRC Conflict Prevention and Peace Forum.

2

UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. (n.d.). Democratic Governance. Retrieved Agustus 15, 2013, from UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women: http://www.unifem.org/gender_issues/democratic_governance/

3

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

4

United Nations. (n.d.). Chapter 3: Political Participation. Retrieved Agustus 15, 2013, from United Nations:

http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/publication/Chapter3.htm 5

UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. (n.d.). 6

United Nations. (n.d.).op.cit. 7

Krook, M. L. (2009). Quota for Women in Politics: Gender and Candidate Selection Reform Worldwide.

Oxford: Oxford Univesity Press. 8

Siregar, W. Z. (2006). Women and the Failure to Achieve the 30 Per Cent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of the Electoral System. 20th IPSA World Congress. Fukuoka: 20th IPSA World Congress.

9

United Nations. (2012, Maret 2). Women’s political participation must be accelerated through quotas – UN

Official. Retrieved Agustus 2013, 15, from United Nations:

http://www.un.org/apps/news/story.asp?newsid=41445&cr=un 10

United Nations. (2012, Maret 2). 11

Krook, M. L. (2009). 12

(10)

13

In countries with proportional representation (PR) electoral systems, party quotas govern the composition of party lists. While some parties apply the quota to the list as a whole, others direct it to the number of seats on the list that they anticipate winning in the next elections. In countries with majoritarian systems, party quotas are often directed at a collection of single member districts. This may entail nominating a proportion of women across all the districts where the party is running candidates.” Lihat Krook, M. L. (2009).

14

Opello dalam Krook, M. L. (2009). 15

Krook, M. L. (2009). 16

Aziz, D. A. (2013). Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam parlemen. Yogyakarta: Rangkang Education. 17

UNDP Indonesia. (2010). Women’s Participation in Politics and Government in Indonesia. Jakarta: UNDP Indonesia.

21

Siregar, W. Z. (2006).op.cit 22

Usu, N. R. (n.d.). Affirmative Action in Indonesia: The Gender Quota System in the 2004 and 2009 Elections.

Flinders Asia Centre Occasional Paper 1. 23

UNDP. (2010). Power, Voice and Rights: A Turning Point for Gender Equality in Asia and the Pacific. New Delhi: Macmillan Publishers India Ltd.

24

UNDP Indonesia. (2010). 25

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit. 26UU RI No.8 /2012.

(n.d.). Retrieved Agustus 2013, 15, from http://datahukum.pnri.go.id/ 27

Krook, M. L. (2009). 28

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.

29

Kenawas, Y. C., & Fitriani. (2013). Indonesia’s next parliament: celebrities, incumbents and dynastic

members? Retrieved Agustus 2013, 15, from East Asia Forum: http://www.eastasiaforum.org

30

Kenawas, Y. C., & Fitriani. (2013). 31

Ani Soetjipto dalam Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012).

32

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). 33

Bastian, A. Q. (2012, November 8). Celebrity Politicians’ Star Power Derails. Retrieved Agustus 2013, 15, from The Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe.com/archive/celebrity-politicians-star-power-...1

34

Nyarwi. (n.d.). From Celebrity to Politician: The Indonesian Celebrity in the House of Representative (DPR RI) 2004-2007. The Indonesian Journal of Communication Studies.

35

Nyarwi. (n.d.). 36

Nyarwi. (n.d.). 37

Asril, S. (2013, Juli 24). Caleg Artis Harus Rajin Baca Berita dan Buku. Retrieved Agustus 15, 2013, from Kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2013/07/24/0941217/Caleg.Artis.Harus

38

Safitri, D. (2011, Maret 7). Perempuan di Parlemen: Sudahkah Membawa Perubahan? Retrieved Agustus 15, 2013, from BBC Indonesia: http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/03/110304_perem

39

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit. 40

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit. 41

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit. 42

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit. 43

Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit. 44

Gambar

Tabel 2 “Daftar Calon Legislatif dari Kalangan Artis dalam Pemilu 2014”

Referensi

Dokumen terkait

Dengan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti PERANAN MARKETING POLITIK DALAM PEMERNANGAN PEMILU (Studi Kasus: Strategi Politik Oloan Simbolon, ST dalam

Rekomendasi yang ada pada prototipe diantaranya informasi yang sudah diklasifikasikan berdasarkan user , informasi profil dan latar belakang kandidat pemilu yang rinci,

Kelompok pertama ini menyakini bahwa Islam melarang wanita berkiprah dalam bidang politik dengan argumen sebagai berikut, Pertama, wanita berbeda dengan laki-laki dari

Sesuai latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah apa saja Nilai-Nilai Karakter yang Dapat Di Tiru Dari Wanita-wanita Yang Dekat dengan Nabi

Seperti halnya dalam Pemilu Presiden yang para kandidat dan partai saling berlomba- lomba untuk mendapatkan citra positif dimata masyarakat dengan berbagai upaya komunikasi politik

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang kehidupan Maria sebagai seorang tokoh pelopor pejuang wanita dari Sulawesi Utara khususnya di Minahasa

Dari latar belakang permasalahan dipahami bahwa antara politik dan perkembangannya tidak bisa terlepas dalam hal pembentukan hukum Islam, karena hukum Islam adalah

Mayoritas perempuan di Kota Samarinda berpendapat bahwa dengan tersedianya kuota bagi perempuan dalam badan legislatif sebesar 30%, maka akan meningkatkan