• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wanita Dan Partai Politik (Studi Analisis Deskriptif Terhadap Partisipasi Kesempatan Wanita Berkarier Dalam Kepengurusan Partai Politik Di Kabupaten Tapanuli Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Wanita Dan Partai Politik (Studi Analisis Deskriptif Terhadap Partisipasi Kesempatan Wanita Berkarier Dalam Kepengurusan Partai Politik Di Kabupaten Tapanuli Utara)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

WANITA DAN PARTAI POLITIK

(STUDI ANALISIS DESKRIPTIF TERHADAP PARTISIPASI KESEMPATAN WANITA BERKARIER DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK DI KABUPATEN

TAPANULI UTARA)

SKRIPSI Diajukan Oleh

ALEXANDER SIMAMORA

040901029

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNUVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAKSI

Pandangan politik merupakan ranah bagi laki-laki, sekarang hanya sekadar wacana saja. Apalagi kalau kita mencoba melihat isi yang paling aktual dewasa ini, yaitu mengenai partisipasi perempuan dalam partai politik. Dimana tingkat partisipasi politik perrempuan pada saat ini belum menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Tingkat partisipasi yang rendah ini diakibatkan oleh minimnya kesadaran perempuan mengenai pentingnya partisipasi politik mereka. Selain itu hambatan lain, seperti kurangnnya kesempatan dan sistem patriarkhi yang mendominasi masyarakat kita. Sementara itu partisipasi perrempuan dalam politik merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan perempuan seperti, isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual.

Partisipasi politik dapat dipraktekkan dalam partai politik sebagai lembaga politik f ormal yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan itu, tentunya jika partai politik tersebut merupakan salah satu partai pemenang pemilu yang otomatis memiliki perwakilan di parlemen. Di dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No.18 Tahun 2007 tentang kuota 30% keterwakilan wanita dalam kepengurusan partai politik yang sudah diimplementasikan hingga saat ini. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik memaparkan secara rinci bagaimana implementasi kuota 30% bagi kepengurusan wanita di partai politik, bagaimana pandangan pengurus partai perempuan mengenai kuota 30% dan bagaimana partai menberikan peluang dan kesempatan pada perempuan dalam pengembangan karieer dan politiknya sekaligus membahas hambatan-hambatan yang dialaminya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif evaluatif. Dengan metode penelitian ini, peneliti dapat menggambarkan secara rinci suatu fenomena konflik dan interaksi sosial berdasarkan instrumen-instrumen penelitian yang digunakan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara yaitu Partai Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Populasi yang digunakan berjumlah 30 orang, populasi langsung dipakai sebagai sampel penelitian.

(3)

KATA PENGANTAR

Terima kasih yang sangat besar pada Allah Bapa Tuhan Yesus Yang Maha

Pengasih. Banyak bimbingan dan kekuatan serta pengalaman yang penulis rasakan dalam

menjalani penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis yakin semuanya itu karena Kasih

Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus yang memberikan kesempatan pada penulis untuk

menjalani dan merasakannya. Ketika mengalami masa-masa sulit, Tuhan Yesus tetap

memberikan jalan dan semangat serta kekuatan sampai saya dapat menyelesaikan skripsi

ini. Hormat dan puji syukur saya panjatkan kehadiratNya, Amin.

Selama pembuatan skripsi ini banyak hal yang penulis rasakan dan dapatkan

seperti ketekunan, kesabaran, keberanian, motivasi, pengalaman, kerjasama dan disiplin,

serta menambah wawasan penulis. Penulis menyadari bahwa proses studi sampai pada

penulisan skripsi ini dukungan semua pihak baik secara moril maupun materi, doa dan

fasilitas yang mendukung sampai selesainya penulisan ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, MA, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, sebagai Ketua Departemen Sosiologi dan Ibu

Dra. Rosmiani, MA sebagai Sekretaris Jurusan.

3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si sebagai dosen pembimbing, penulis mengucapkan

banyak terima kasih yang tak terkatakan dan juga rasa hormat penulis karena telah

memberikan tenaga, pemikiran, ide-ide, waktu dan semangat dalam proses

(4)

4. Ibu Harmona Daulay, S.sos, M.Si sebagai dosen wali, penulis mengucapkan

banyak terima kasih karena telah memberikan motivasi dan bahan-bahan dalam

penulisan skripsi, sehingga membantu mempercepat dalam penyelesaian skripsi

ini.

5. Dosen-dosen staf pengajar FISIP USU dan dosen sosiologi atas pengajaran dan

arahan pada masa perkuliahan.

6. Orang tua penulis, Ibu R. Sihombing yang tercinta atas dukungan doa, motivasi,

materi, kesabaran yang membentuk penulis agar selalu berjuang hingga

mendapatkan gelar sarjana, dan Bapak R. Simamora, yang selalu mendukung

penulis dan selalu sabar untuk menunggu penulis mendapatkan gelar sarjana ini.

7. Saudara-saudaraku, abang Bobby R. Simamora, adikku Magdalena Simamora

yang telah memberi semangat dan dorongan sehingga penulisan skripsi ini dapat

selesai dengan cepat.

8. Keluarga besar Op.Bunga dan tante-tanteku, inangtuaku dan tulang yang telah

memberikan dukungan baik doa, moril dan materi.

9. Imma yang memberikanku semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi

ini, dan juga adik kecilku Evi.

10. Teman-teman sosiologi stambuk 2004, Tika, Renova, Ferika, Herna, OTG, Robin,

Eko, Citra, Juni, Flo, Rabanta, Heru, Rudi, dan teman-teman yang telah wisuda

yang memotivasi penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.

11. Orang-orang yang mendukung saya selama kegiatan di lapangan, responden,

(5)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAKSI ……… i

KATA PENGANTAR ………. ii

DAFTAR ISI ……… iv

DAFTAR TABEL ………... vi

DAFTAR LAMPIRAN ………... vii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 7

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian ……… 8

1.5. Kerangka Teori ………... 9

1.6. Defenisi Konsep ……… 13

1.7. Defenisi Operasional ……… 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 28

3.1. Jenis Penelitian ……… 28

3.2. Lokasi penelitian ……… 28

3.3. Populasi Dan tehnik Penarikan Sampel ………... 29

3.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 30

3.5. Analisis Data ……… 30

(6)

3.7. Keterbatasan Penelitian ……… 31

BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN ANALISIS DATA ………. 33

BAB V PENUTUP ……….. 86

5.1. Kesimpulan ……….. 88

5.2. Saran ………. 90

DAFTAR PUSTAKA

(7)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1.1. Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga Formal……… 3

Tabel 1.2. Jumlah dan Persentase Anggota DPR tahun 1950-2004……….. 4

Tabel 4.1. Usia Responden……… 53

Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Responden ……….. 54

Tabel 4.3. Penghasilan Responden……… 56

Tabel 4.4. Status Perkawinan……… 57

Tabel 4.5. Suku Responden………. 58

Tabel 4.6. Jumlah Anak………... 59

Tabel 4.7. Jenis Pekerjaan Suami……… 60

Tabel 4.8. Pekerjaan Responden……….. 61

Tabel 4.9. Penghasilan Suami……… 62

Tabel 4.10. Jabatan Responden di Partai ……….. .…… 64

Tabel 4.11. Lama Menjadi Pengurus Partai Politik………...65

Tabel 4.12. Cara Responden Mendapatkan Jabatan……… 66

Tabel 4.13. Tujuan Responden Dalam Partai Politik………67

Tabel 4.14. Wewenang Wanita Dalam Partai Politik ……… 69

Tabel 4.15. Keaktifan Wanita Dalam Partai ………. ………. 70

Tabel 4.16. Implementasi Kuota 30% di Partai ……… 72

Tabel 4.17. Implementasi Pemenuhan Kuota 30% Dalam Kepengurusan Partai …… 73

Tabel 4.18. Aktifitas Wanita Dalam Partai………. 74

Tabel 4.19. Implementasi Kuota Dalam Daftar Caleg ……….…... 75

Tabel 4.20. Hambatan Partisipasi Politik Perempuan……….. 76

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

(9)

ABSTRAKSI

Pandangan politik merupakan ranah bagi laki-laki, sekarang hanya sekadar wacana saja. Apalagi kalau kita mencoba melihat isi yang paling aktual dewasa ini, yaitu mengenai partisipasi perempuan dalam partai politik. Dimana tingkat partisipasi politik perrempuan pada saat ini belum menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Tingkat partisipasi yang rendah ini diakibatkan oleh minimnya kesadaran perempuan mengenai pentingnya partisipasi politik mereka. Selain itu hambatan lain, seperti kurangnnya kesempatan dan sistem patriarkhi yang mendominasi masyarakat kita. Sementara itu partisipasi perrempuan dalam politik merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan perempuan seperti, isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual.

Partisipasi politik dapat dipraktekkan dalam partai politik sebagai lembaga politik f ormal yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan itu, tentunya jika partai politik tersebut merupakan salah satu partai pemenang pemilu yang otomatis memiliki perwakilan di parlemen. Di dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No.18 Tahun 2007 tentang kuota 30% keterwakilan wanita dalam kepengurusan partai politik yang sudah diimplementasikan hingga saat ini. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik memaparkan secara rinci bagaimana implementasi kuota 30% bagi kepengurusan wanita di partai politik, bagaimana pandangan pengurus partai perempuan mengenai kuota 30% dan bagaimana partai menberikan peluang dan kesempatan pada perempuan dalam pengembangan karieer dan politiknya sekaligus membahas hambatan-hambatan yang dialaminya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif evaluatif. Dengan metode penelitian ini, peneliti dapat menggambarkan secara rinci suatu fenomena konflik dan interaksi sosial berdasarkan instrumen-instrumen penelitian yang digunakan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara yaitu Partai Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Populasi yang digunakan berjumlah 30 orang, populasi langsung dipakai sebagai sampel penelitian.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Jumlah perempuan Indonesia yang besar ternyata tidak mengidentifikasikan

kekuatan posisi strategis mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.

Tercatat Biro Pusat Statistik tahun 200p1, terdapat 101.628.816 atau sekitar 51% jumlah

perempuan dari total penduduk Indonesia, tetapi hanya 8% hingga 10% saja yang terpilih

dalam setiap pemilu. Di dalam parlemen di suatu daerah-daerah, hanya terdapat 44 orang

atau 9,1% saja jumlah perempuan. Data ini di dukung fakta bahwa 30 daerah Tingkat I di

Indonesia, tidak satupun terdapat perempuan yang memimpin, sedangkan dari 336 Daerah

Tingkat II hanya 6 daerah yang dipimpim oleh perempuan.

Pada konferensi perempuan tahun 1994 yang dihadiri 27 negara, menyatakan bahwa

akses perempuan Asia untuk terjun ke bidang politik masih rendah. Hal ini disebabkan

karena perempuan Asia pada umumnya masih terbelenggu masalah klasik, yaitu adanya

diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan (Jurnal Perempuan 2001:27). Seorang politisi

sekaligus ilmuwan wanita Bangladesh, Roanaq Johan menyatakan bahwa dari seluruh

perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai

anggota parlemen. Sementara yang menduduki jabatan anggota kabinet (Mentri) hanya

40% saja. Di Asia tercatat hanya lima perempuan saja yang berhasi merebut posisi kepala

negara, yakni, Gandhi di India, Sirimaro Bandaranaike di Srilanka, Benazir Bhuto di

Pakistan, Khaledah Zia di Bangladesh dan Corazon Aquino di Filipina

(11)

Jika kita melihat ke dalam suatu organisasi politik formal, saat perempuan

menyuarakan dan memperjuangkan kepeduliannya terhadap isu-isu, seperti kekerasan,

kesehatan, pengamanan, dan kebebasan berpolitik, sering sekali tidak terjadi perubahan,

artinya tidak ada tindak lanjut dari tuntutan-tuntutan kebutuhan perempuan, sehingga

tuntutan tersebut hanya sampai sekadar wacana saja, tanpa ada tindak lanjut dalam

penyelesaian masalah-masalah perempuan. Pada sejarah pemerintahan kita, pada masa

orde lama, jumlah perempuan dalam pemerintahan berada di bawah 10%, pada masa

orde baru jumlah perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan hanya berkisar 10 - 11%

saja, hal yang tidak jauh berbeda pada masa reformasi yang hanya 9% saja. (Jurnal

Perempuan ; 2001:21).

Dalam seminar “Peranan Wanita” dalam peta demokrasi 1997 yang diselenggarakan

oleh Fatayat NU dan harian republika, Drs. Arbi Sanit menyatakan meski secara

kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibanding pria, perkembangan posisi

dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia

belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik

Indonesia. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi

berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1985.

(http:www.surabayapost.co.id/11/25/06 kanan.html, diakses 26/08/08).

(12)

Tabel 1.1

Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga-Lembaga Politik Formal Tahun 2001

KETERWAKILAN PEREMPUAN INDONESIA Dalam Lembaga Politik Formal

Lembaga Perempuan Laki-laki Jumlah

(100%)

Sumber : kompas (Senin, 11 Maret 2002)

Tabel 1.1 menunjukkan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga

politik formal. Dari beberapa lembaga yang ada diatas, terutama lembaga tinggi negara,

seperti MPR, DPR dan MA menunjukkan jumlah perempuan berada di bawah 15%, yakni

MPR hanya 9,5%, DPR 9,0% dan MA 14,8%. Bahkan pada lembaga seperti BPK dan

kepala Daerah Tingkat I keterlibatan perempuan tidak ada sama sekali. Namun pada

lembaga formal yang lain seperti KPU, Hakim dan PTUN menunjukkan jumlah yang

signifikan mengenai keberadaan perempuan. Tetapi yang paling penting untuk

diperhatikan, bahwa jumlah tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga

tersebut sangat minim dan memprihatinkan. Dari tabel tersebut kita dapat melihat

perbedaan jumlah yang sangat jauh antara keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam

(13)

Tabel I.2

Jumlah dan Persentase Anggota DPR Perempuan Tahun 1950-2004

Masa Kerja DPR Perempuan Jumlah Anggota Prasentase

1950-1955

Sumber : Jurnal Perempuan 2001, edisi pertama.

Tabel 1.2 menunjukkan sejak 1950-2004 sudah ada 10 kali lembaga DPR

terbentuk, menunjukkan perentase keterlibatan perempuan di bawah 15%. Bahkan sejak

tahun 1950-1987 jumlah perempuan di DPR berada di bawah 10%, tetapi pada tahun

1987 angka perentasenya mencapai 13%, sedangkan tahun 1992-1997 dengan persentase

12,5% dan 1997-1999 dengan 10,8%, tetapi pada tahun 1999-2004 turun menjadi 9%.

Tabel 1.2 menggambarkan belum ada regulasi yang tetap dalam mengatur jumlah

keterwakilan perempuan di parlemen pada saat itu.

Pandangan Aristoteles sebagai pandangan politik klasik, membuat dikotomi

kepentingan publik dan kepentingan individu atau kelompok masyarakat tertentu.

Pengembangan pengertian politik didasarkan pada cara pandang biner patriarchist, yang

akhirnya menciptakan pengertian politik yang semula sebagai suatu musyawarah warga

negara untuk membicarakan dan menyelenggarakan segala aspek kehidupan, telah

berubah. Ia telah menjadi ilmu yang mempelajari hakikat kedudukan dan menggunakan

(14)

menyingkirkan perempuan serta pandangan perempuan dalam kehidupan berpolitik.

Pengertian politik ini menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak boleh

berkuasa. Padahal jika kita melihat defenisi politik yang sebenarnya adalah suatu sarana

pencapaian kedudukan atau kekuasaan secara legal dan rasional dan bagaimana

menjalankan kekuasaan yang dimiliki sesuai dengan peraturan yang berlaku dan

berwujud pada kemakmuran masyarakat dan wilayah yang dikuasainya itu.

Kesempatan wanita dalam politik mulai diperhatikan dengan tindakan khusus

sementara (affirmatife action) untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dengan

sistem kuota 30% sehingga mencapai sedikitnya minoritas kritis yaitu 30% dari total

anggota parlemen. Tetapi persoalan tidak selesai dengan kuota saja, karena daftar caleg

yang disusun oleh partai peserta pemilu menempatkan perempuan pada daftar nomor

bawah sehingga sulit untuk menang dalam pemilu, sedangkan laki-laki tetap berada pada

nomor urut teratas, hal tersebut karena adanya anggapan bahwa laki-laki dianggap lebih

berkualitas, dan lebih unggul dalam bidang politik. Dalam hal ini budaya Patriarkhi

determinan terhadap kuantitas perempuan dalam legislatif (Jurnal Politeia Vol II,

2006:74). Affirmative action ini membawa perdebatan pada isu kuantitas dan kualitas.

Lembaga-lembaga non pemerintah di Indonesia mengambil angka 30% sebagai angka

keterwakilan perempuan di parlemen sebagai jumlah minimum agar keputusan yang

dambil parlemen bisa menyuarakan aspirasi, nilai dan kepentingan perempuan.

Budaya patriarkhi yang ada di Indonesia membawa perempuan dalam posisi yang

subordinat dalam politik. Budaya patriarkhi yang terakumulasi mengakibatkan terciptanya

cara berpikir pasangan (biner) dan dikotomis yang memposisikan si kuat (yang berkuasa)

(15)

Center for Elektoral Reform (Cetro) menyatakan jumlah 30% sebagai jumlah keterwakilan

minimum dengan argumentasi bahwa kajian-kajian tentang tingkah laku minoritas

menunjukkan diperlukannya 30% wakil kelompok agar sebuah kelompok dapat

mempengaruhi proses pembuatan keputusan atau kebijakan atau membuat aliansi-aliansi

diantara berbagai kelompok. Jika jumlah perempuan ada dibawah angka strategis 30%,

maka perempuan akan sekedar menjadi dekorasi politik atau akan sebagai pelengkap saja

(Kompas, 27 Mei 2002).

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kendala-kendala yang dihadapi

perempuan dalam berpolitik yang menurut (Lycette dalam Indriyati Suparno, 2005: 27),

yaitu :

1. Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran

produktif, di dalam maupun di luar

2. Perempuan relatif memiliki pendidikan lebih rendah daripada laki-laki. Tingkat

pendidikan perempuan yang rendah dan perbedaan kesempatan yang diperoleh

anak perempuan dan laki-laki terjadi di seluruh dunia

3. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual,

dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi perempuan

4. Adanya hambatan legal bagi perempuan seperti larangan kepemilikan tanah,

larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau program KB tanpa persetujuan

suami atau ayahnya.

Selain itu hambatan kultural dan hambatan struktural juga menghalangi

kesempatan dan peluang wanita berpolitik. Hambatan kultural berhubungan dengan masih

(16)

yang berdeda untuk laki-laki dan perempuan, sedangkan kendala struktural berhubungan

dengan sistem pemilu yang memperkecil peluang munculnya perempuan dalam partai

politik yang tidak didukung pula dengan sistem pendidikan politik di dalam internal partai

(Indriyati Suparno, 2005:27).

Streotipe yang ditujukan kepada perempuan membentuk pandangan bahwa wanita

sering diragukan kemampuannya. Sebagian ahli menyatakan bahwa kemampuan

manajerial wanita yang baik akan mendukung kualitas kepemimpinannya. Kepemimpinan

tidak dibedakan atas gender. Kepemimpinan dapat dipelajari oleh siapapun tetapi yang

pasti kepemimpinan perlu dikarakterkan dan tidak hanya dipelajari secara teori (Jajan

Kaswara 1999).

Gambaran ini dapat dilihat diantaranya banyak pemimpin negara adalah

perempuan. Ini juga berlaku di Indonesia seperti keberhasilan wanita menjadi ketua partai

bahkan menjadi presiden. Namun tidak dapat dipungkiri kenyataannya belum banyak

perempuan yang aktif dalam ranah politik. Tentunya dengan penetapan kuota 30%

memberikan peluang dan kesempatan wanita dalam karier politiknya. Penelitian ini akan

melihat sejauh mana partai ini menerapkan sistem keterwakilan perempuan dalam

pemenuhan kuota 30% serta bagaimana partai-partai yang ada memberikan peluang dan

kesempatan wanita dalam karier politiknya. Dalam hal ini dikonsentrasikan pada partai

yang terdapat di Tapanuli Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi perumusan dalam penelitian ini

adalah :

(17)

2. Untuk mengetahui implementasi kebijakan partai terhadap sistem

keterwakilan?

3. Untuk mengetahui sikap dan pandangan Partai terhadap sistem keterwakilan

yang ditetapkan pemerintah ini?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadu tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana sikap atau pandangan partai terhadap peluang dan kesempatan

dalam karir politiknya?

2. Untuk mendapatkan jawaban tanggapan pengurus Partai perempuan

menanggapi kuota 30% tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah :

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan ilmiah yang berkaitan

dengan sistem demokrasi yang terdapat di negara kita, sehingga dapat memberikan bahan

pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam menjalankan pemerintahan

untuk memberi kesempatan bagi seluruh wanita Indonesia untuk dapat berkarier dalam

bidang politik.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti berupa

fakta-fakta temuan di lapangan dalam meningkatkan daya, kritis dan analisis peneliti sehingga

memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut. Dan khususnya penelitian ini

(18)

penelitian-1.5. Kerangka Teori

Dalam analisis politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang

dianggap penting terutama dalam kaitannya dengan perkembangan negara-negara

berkembang. Secara konseptual partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau

kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan

memilih pemimpin negara dan kebijakan pemerintah. Kegiatan partisipasi politik

mencakup pemilu, rapat-rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau

kelompok-kelompok anggota kepentingan. Partisipasi politik adalah kegiatan warga

negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi

pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi politik juga bersifat individual atau

koleksi, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadif, secara damai atau dengan

kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington & Nelson dalam

Antonius PS, 126).

Pandangan masyarakat luas yang meliputi konsep gender, peran gender dan

streotipe, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan diantara perempuan dan

laki-laki. Keadaan ini mengakibatkan marginalisasi dan pengucilan terhadap perempuan

dari kehidupan politik formal. Dengan demikian keberadaan perempuan dalam kehidupan

politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan.

Akar dari persoalan tersebut adalah budaya patriarkhi yang telah menghampiri semua

ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk di bidang politik. Menyatakan semua

aktifitas politik punya dimensi politik yang penting, dan semua aktivitas itu juga

mempunyai ciri politik yaitu adanya power relation yang tidak setara antara laki-laki dan

(19)

Pada kenyataannya di dalam ruang publik dan domestik kebutuhan perempuan

dapat digolongkan atas 2 kebutuhan yaitu kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis.

Kebutuhan praktis ialah kebutuhan konkret yang diidentifikasi oleh perempuan sebagai

kebutuhan pada peran tradisional reproduktif dan produktif perempuan. Misalnya,

perawatan kesehatan, pekerjaan, perumahan, makanan, dan minuman. Sedangkan

kebutuhan strategis ialah kebutuhan yang dilihat dari analisis subordinasi ekonomi dan

sosial perempuan dan mencoba meningkatkan kesetaraan lebih besar antara laki-laki dan

perempuan. Kebutuhan ini mempermasalahkan pembagian kerja dan isu-isu kekuasaan

dan kontrol. Misalnya, hak hukum dan politik, perlawanan terhadap KDRT (kekerasan

dalam rumah tangga), pembayaran gaji dan lain-lain. Dalam hal ini perempuan dalam

Partai Politik merupakan kebutuhan strategis yang akhir-akhir ini ingin disuarakan oleh

perempuan, baik mengenai keterwakilan mereka dalam setiap instansi pemerintah.

Kate Millet dalam Indriati Suparno, dkk (2005;15) menyatakan politik sebagai

hubungan kekuasaan yang terstruktur yang terbentuk ketika orang berada di bawah

kontrol kelompok yang lain. Dalam tradisi patriarkhi pada umumnya dan di Indonesia

khususnya, dunia politik dikategorikan adalah dunianya laki-laki karenanya, dunia

perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Laki-lakilah yang menetapkan dan memutuskan

berbagai kebijakan dan perundang-undangan, dari dunia tersebut termasuk yang

menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan (Macioni 1987; Susanto 1993, dalam

Indriati dkk; 2005:16).

Teori feminis merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang

mengeksplorasi konsep-konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa banyak aspek

(20)

termasuk bahasa, kerja, peran keluarga , pendidikan sosialisasi. Kritik feminis bertujuan

untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan itu. Teori feminis

berupaya menentang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai

cara yang lebih membebaskan wanita dan pria untuk hidup di dunia (Idi Subandy Ibrahim

dan Hanf Suranto, 1998; xxxvii). Teori feminis tidak hanya satu melainkan banyak,

namun hampir semua menjelaskan tentang penindasan terhadap perempuan, ( Rosmeri

Tong feminist Trought dalam Nunuk P. Murniati 2004:125).

Teori feminis marxis didasari historis materialis, manusia menciptakan dirinya

sendiri secara individu dan kelompok. Dalam kehidupan sosial, manusia membedakan

pekerjaan produksi dan reproduksi dan dibagikan kepada laki-laki dan perempuan. Tugas

produksi diserahkan kepada laki-laki, dan tugas reproduksi diserahkan kepada kaum

perempuan. Pembagian tugas ini dilihat sebagai suatu persoalan oleh kaum feminis

Marxist. Menurut teorinya, produksi tidak hanya benda dan jasa, tetapi termasuk tugas

melahirkan dan memelihara anak, sebab tugas ini merupakan produksi potensi manusia

(SDM). Feminis Marxist percaya bahwa keadaan sosial ditentukan secara sadar, sehingga

secara sadar pula dapat dirubah. Teori feminis marx menyebutkan bahwa secara politik

perempuan mempunyai kekuasaan dalam menentukan kehidupan, tetapi terampas oleh

budaya patriarkhi pada waktu manusia mengenal kekayaan dan hak waris.

Beberapa tokoh aliran ini, seperti Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, mengatakan

bahwa perempuan berada di tempat penindasan yang paling bawah (Nunuk P. Murniati,

2002:72). Situasi ini digambarkan sebagai berikut :

a) Perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai kelompok yang pertama

(21)

b) Penindasan terhadap perempuan tersebar luas di berbagai kehidupan sosial,

c) Penindasan terhadap perempuan adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser

hanya oleh perubahan sosial antar kelas,

d) Penindasan perempuan menyebabkan penderitaan kaum korban, secara

kuantitatif dan kualitatif. Walaupun penderitaan ini tidak selalu diakui dan

disadari, baik pelaku ataupun oleh korban,

e) Penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual model untuk

mengetahui bentuk penindasan lain.

Dalam kaitannya dengan kekuasaan, teori feminis radikal mempermasalahkan

perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian dikonstruksi menjadi perbedaan gender oleh

budaya patriarkhi. Akibat dari konstruksi ini, perempuan teralienasi dari berbagai bidang

kehidupan, khususnya bidang politik yang mengatur kehidupan masyarakat. Analisis

perempuan dari sudut pandang politik menjadi pusat perhatian teori ini. Bagi perempuan,

politik tidak hanya mengatur kehidupan publik saja, melainkan juga kehidupan domestik

dan pribadi perempuan.

Pandangan Dahrendorf mengatakan konflik berhubungan dengan kekuasaan yang

menyangkut bawahan dan atasan sehingga mengakibatkan munculnya perbedaan kelas di

masyarakat, terdapat dikotomi antara penguasa dan orang yang dikuasai (Poloma,

2003:136). Teori ini mencampur adukan biologis dan sosiologis, secara psikologis,

feminis psikoanalitik menolak teori freud tentang penentuan biologis manusia sebagai

dasar perbedaan seks. Kenyataan biologis bahwa perempuan harus mengandung dan

(22)

Dimulai dari keluarga, istri dianggap milik suami. Pada wilayah domestik, istri

dikuasai suami, pada wilayah publik perempuan dikuasai oleh laki-laki. Kondisi ini

diperkuat oleh asumsi bahwa laki-laki adalah pemilik modal. Pemilik modal inilah yang

menjadi penguasa di bidang ekonomi / industri.

1.6. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan

suatu gejala atau menyatakan suatu ide gagasan ( Iqbal Hasan 2002;17 ). Untuk

menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam proposal

penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :

1) Sistem Keterwakilan

Merupakan sistem yang ditetapkan oleh pemerintah yang diturunkan melalu UU

kepada parpolitik dan mempengaruhi jumlah perwakilan golongan di dalam

pemilu.

2) Affirmative Action

Adalah tindakan khusus sementara mengenai peluang wanita dalam politik dengan

kuota 30% untuk mewujudkan keterwakilan wanita.

3) Kuota

Adalah porsi yang ditetapkan atau ditentukan untuk mewakili suatu golongan dan

suatu lembaga.

4) Gender

Perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan

(23)

5) Feminis

Seorang, baik perempuan maupun laki-laki yang peduli dan sadar bahwa adnya

ketimpangn gender di dalam hubungan sosial dan berusaha untuk mencari jalan

keluar.

6) Feminisme

Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam

masyarakat, di tempat kerja, di dalam keluarga, serta gerakan sadar oleh

perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.

7) Dominasi

Kedudukan berkuasa atau menguasasi dari kelompok jenis kelamin tertentu

(laki-laki) terhadap jenis kelamin lainnya (perempuan).

1.7. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan gambaran teliti mengenai prosedur yang

diperlukan untuk memasukkan unit-unit dalam kategori tertentu dari tiap-tiap variabel.

Variabel adalah konsep yang secara empiris dapat diukur dan dinilai. Dalam penelitian

kuantitatif secara umum terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas (Independen) dan

variabel terikat (Dependen). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebasnya adalah

partisipasi wanita dengan indicator sebagai berikut :

a) Lahirnya peraturan pemerintah mengenai kuota tersebut seperti UU dan peraturan

lainnya

b) Tata cara pelaksanaan implementasi kuota 30% pada perempuan pada partai

politik

(24)

Sedangkan vaiabel terikatnya adalah kepengurusan partai politik dengan indikator

sebagai berikut :

a) Tingkat pendidikan / jenjang pendidikan

b) Pengalaman dalam organisasi, dalam hal ini berhubungan dengan pengalaman

dalam karier politiknya

c) Ketidakadilan gender atau diskriminasi. Hal ini berhubungan dengan faktor

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Partai dan Fungsinya

Partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya

mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan mempunyai tujuan

kekuasaan serta melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiardjo dalam Antonius

P.S, 2006:90). Partai politik merupakan sarana untuk berpartisipasi dalam dunia politik.

Partai sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia.

Lembaga-lembaga politik adalah lembaga yang memperhatikan kekuasaan, organisasinya,

pengalihannya, pelaksanaan dan legitimasi kekuasaan (Duverger 1988:124).

Berdirinya Syarikat Islam pada tahun 1912 dianggap sebagai lahirnya partai

politik pertama di Indonesia, karena sejak itu organisasi itu menjadi sarana yang

digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Pada awalnya banyak yang mengira

kehadiran partai politik dilihat sebagai sarana berpartisipasi saja. Tetapi dalam

perkembangannya partai diidentifikasikan sebagi organisasi artikulatif yang terdiri dari

pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan

perhatiannya kepada kekuasaan-kekuasaan pemerintahan, dan juga bersaing untuk

memperoleh dukungan rakyat. Partai politik juga merupakan perantara dengan

lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan berakibat pada aksi politiknya dalam masyarakat

yang lebih luas (Neuman dalam Antonius P.S 2006:91).

Pada perkembangan demokrasi modern partai politik mempunyai peranan penting

pada masyarakat, diantaranya dapat memaksimalkan keikutsertaan anggota masyarakat

(26)

yaitu melebarkan jaringannya diantara anggota di masyarakat agar keinginan dan aspirasi,

kepentingan mereka terus-menerus dapat dipantau. Jaringan itu dapat berupa organisasi

masa yang tugas utamanya adalah menghimpun atau merangkum segala aspirasi

masyarakat.

2.2. Masyarakat Dalam Partisipasi Politik

Pengertian demokrasi ialah pemerintah yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan

untuk rakyat. Demokrasi dalam arti empiric diatas menyatakan setiap warga negara bebas

berpartisipasi dalam politik tanpa membeda-bedakan status golongan, agama dan jenis

kelamin (Antonius P :123). Secara konseptual, partisipasi politik merupakan kegiatan

sekarang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,

kegiatannya meliputi tindakan-tindakan seperti memberi suara dalam pemilu, menghadiri

rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok-kelompok kepentingan,

mengadakan pendekatan atau hubungan dengan pejabat pemerintah.

Partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan sukarela dari warga Negara

bagaimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara

langsung dan tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Mc Closky

dalam Antonius P :125). Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak

sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan

oleh pemerintah. Partisipasi politik juga bersifat individual atau koleksi, teorganisir dan

spontan, mantap dan sporadis secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal,

efaktif atau tidak efektif (Hutington dalam Antonius P : 126).

Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu

(27)

ialah bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang secara idil hendak dilakukan atau

diselenggarakan oleh sebuah Negara, sedangkan demokrasi dalam arti empirik, yakni

demokrasi dalam pengejawantahannya dalam kehidupan politik praktis, misalnya apakah

pemerintah memberikan ruang gerak para warga untuk berpartisipasi dalam politik.

2.3. Konflik Dalam Partisipasi Politik Perempuan

Konflik merupakan suatu fakta dalam masyarakat industri modern yang secara

empiris tidak diakui karena orang lebih memilih stabilitas sebagai hakekat masyarakat.

Konflik merupakan realitas yang harus dihadapi oleh para ahli teori sosial dalam

membentuk model-model umum perilaku sosial. Konflik mempunyai fungsi-fungsi

positif, salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah

agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang

memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Konflik sosial mempunyai fungsi

katarsis, karena konflik mempunyai dampak yang menyegarkan pada sistem sosial.

Konflik tidak mengubah sistem sosial, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan

di dalam sistem sehingga sistem itu bisa lebih efektif (Wardi Bachtiar,2006:108).

Pengembangan teori konflik dilakukan oleh Polybius (Wardi Bachtiar 2006:108),

tetapi yang mengembangkannya adalah Karl Marx. Marx melihat masyarakat kapitalisme

modern, kaum industrialis atau borjuis, pemilik modal dan masyarakat kelas bekerja atau

proletar yang sering diamati sebagai gambaran konflik yang nyata pada masa itu. Konflik

kelas diamati sebagai titik sentral dari masyarakat, segala macam konflik mengasumsikan

bentuk dari peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah

mengelompokkan populasi, memusatkan tujuan produksi dan mengkonsentrasikan

(28)

keadaan tersebut membawa ketimpangan sosial pada masyarakat pada saat itu berupa

ketidakadilan yang dialami masyarakat buruh yang dipaksa bekerja terus-menerus dalam

peningkatan produksi tanpa memperhatikan kesetaraan upah dan penyesuaian jam kerja.

Keadaan tersebut melahirkan perjuangan kelas yang dilakukan kaum proletar yang

dipandang oleh Marx yang bermula dari konsep kekuatan politik sebagai pembantu

terhadap kekuatan kelas, dan perjuangan politik sebagai bentuk khusus perjuangan kelas.

Dalam hal ini kelas borjuis sebagai penguasa dan kelas proletar yang dikuasai.

Pertentangan kelas juga diterima Dahrendorf sebagai suatu bentuk konflik dan

sebagai sumber perubahan sosial. Dahrendorf memodifikasi teori pertentangan kelas

Marx dengan memasukkan perkembangan-perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.

Menurut Dahrendorf konflik berhubungan dengan kekuasaan yang menyangkut bawahan

dan atasan menyediakan unsur-unsur dari kelahiran kelas. Terdapat dikotomi antara

mereka yang berkuasa dengan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta

dalam strutur kekuasaan yang ada di dalam kelompok, sedang yang lain tidak. Dahrendorf

mengakui terdapat beberapa perbedaan diantara mereka yang memiliki sedikit dan banyak

kekuasaan. Perbedaaan di dalam sikap dominasi akan selalu terjadi, tetapi pada dasarnya

tetap terdapat dua sistem kelas yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur

kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.

Perjuangan kelas dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan pada kekuasaan daripada

pemilikan sarana-sarana produksi dalam masyarakat industri modern, pemilik sarana

produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.

Sarana yang dimaksud adalah penguasaan terhadap sumber daya yang ada, baik

(29)

kekuasaan yang dimiliki sudah otomatis penguasaan terhadap sumber daya yang ada,

kekuasaan sering dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi. Jika dikaitkan dengan

hubungan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dianggap memiliki kekuasaan yang

lebih dibanding daripada perempuan. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan berbagai

pertentangan. Pertentangan yang telah berakar dan potensial diantara kedua jenis kelamin

ini sekarang diatur lewat institusionalisasi pertentangan. Marx dan Dahrendorf

mengemukakan pertentangan kelas antara laki-laki dan perempua n, laki-laki yang

memperoleh kekuasaan dari budaya pariarkhi dan konstruksi sosial mempengaruhi

hubungan-hubungan dalam politik. Secara tidak langsung tapi disadari politik digunakan

dalam pencapaian kekuasaan, kesempatan dan peluang laki-laki dalam politik lebih

terbuka dibanding perempuan sehingga proses distribusi kekuasaan hanya berada

ditangan laki-laki.

Kekuasaan adalah seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau

pola (struktur) yang mengandung sifat otoritas. Kekuasaan adalah hubungan, tetapi bukan

sembarang hubungan. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas yang

mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun

komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan.

Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau

medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasi

merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam

masyarakat. di samping itu, ada pihak lain yamng menentang dan ingin merebut

(30)

sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, ini merupakan aspek

dari antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik (Maurice Duverger, 1989:XIII).

Aspek kedua muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu

upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaan dilihat

sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan

berbagai kelompok kepentingan. Di sini kekuasaan memainkan peranan integratif,

memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-avis kepentingan golongan atau

kelompok.

Homans menjelaskan asal mula kekuasaan dan wewenang dalam kaitannya

dengan prinsip kepentingan minimum (principle of least interest) : orang yang memiliki

kepentingan yang paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa

menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Prinsip ini menghasilkan kekuasaan di tangan salah

satu pihak yang berpartisipasi, “sebab dalam pertukaran seseorang memiliki kapasitas

yang lebih besar untuk memberi orang lain ganjaran ketimbang yang mampu diberikan

orang itu kepadanya” (Homans dalam Poloma, 2003: 67).

Dalam organisasi formal hubungan yang asimetris dapat dilestarikan melalui

kekuasaan yang memaksa. Kekuasaan memaksa merupakan pertukaran yang tidak

seimbang, dan situasi yang demikian juga diatur oleh proposisi pertukaran seperti halnya

dalam hubungan-hubungan yang bersifat tidak memaksa. Homan menyatakan bahwa

paksaan tidak dibutuhkan bila hubungan itu didasarkan pada pertukaran yang fair. Akan

tetapi, sekalipun kekuasaan bersifat memaksa pertukaran itu akan terlihat juga.

Selanjutnya Blau melihat sesuatu yang menarik dari individu ke dalam asosiasi “

(31)

eksterinsik. Blau memang mengakui tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh

pertimbangan pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian.

Dia mengetengahkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada

pertukaran sosial, perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya

dicapai melelui interaksi dengan orang lain, dan perilaku harus bertujuan untuk

memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut (Blau dalam Poloma,2003:82).

Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik seperti uang, barang dan jasa

atau intrinsik seperti kasih sayang, kehormatan dan lain-lain. Perilaku manusia yang

dibimbing oleh prinsip-prinsip pertukaran sosial itu yang mendasari pembentukan struktur

serta lembaga-lembaga sosial.

Beranjak dari asumsi bahwa gender adalah “ pervasive category understanding

human experience”. Gender merupakan konstruksi yang meskipun bermanfaat,

didominasi oleh bias pria dan cenderung apresif terhadap wanita. perempuan yang tidak

diperhitungkan secara ekonomis, merupakan fokus perjuangan kaum feminis marxist.

Perempuan secara sistematis dikontrol di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Kenyataan

pribadi perempuan pun dikontrol oleh negara (hak milik tanah harus atas nama laki-laki).

Fungsi reproduksi hanya diartikan sebagai fungsi haid, hamil, dan melahirkan terbeban

pada kaum perempuan. Tetapi fungsi yang hanya bisa dikerjakan oleh perempuan ini

justru menciptakan anggapan bahwa tenaga perempuan tidak produktif. Fungsi reproduksi

tidak dihargai secara ekonomis, dan tidak diperhitungkan sebagai sumbangan pendapatan

(32)

Teori feminis marxist menyebutkan bahwa secara politik perempuan mempunyai

kekuasaan dalam menentukan kehidupan, tetapi terampas oleh budaya patriarkhi pada

waktu manusia mengenal kekayaan dan hak waris.

Sosiologi konflik merupakan aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif dari aliran

sosiologi fungsionalisme. Aliran ini percaya bahwa kelompok masyarakat memiliki

kepentingan (intrest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan

sosial termasuk hubungan laki-laki dan hubungan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai

selalu dipergunakan sebagai syarat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak

terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dengan asumsi seperti ini maka

perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya merubah posisi dan hubungan.

Demikian juga perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya akan dilihat

dari konflik antar 2 kepentingan.

Bagi penganut feminis Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari

sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Mereka telah menganggap pratiarkhi ataupun

kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalis yang sesungguhnya

merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesaiannya pun harus bersifat

struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan

hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang

mereka sebut sebagai proses revolusi. Namun tidak hanya sampai disitu, perempuan

masih dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Dari perspektif ini, diyakini

bahwa emansipasi perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah

(33)

perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan

pekerjaan domestik.

Di negara kita politik formal sangat berkaitan dalam pencapaian kekuasaan, jika

kita berbicara tentang politik formal tentu berhubungan dengan partai politik. Partai

politik yang diominasi oleh laki-laki sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya

patriarkhi mengakibatkan perbedaan wewenang dalam partai tersebut. Walaupun

perempuan sudah mulai ikut aktif dalam partai politik, namun secara kasat mata

wewenang mereka berada dalam wewenang laki-laki. Dengan demikian wewenang

tersebut hanya menyangkut atau membahas mengenai kebutuhan untuk pencapaian

kekuasaan bagi laki-laki. Perbedaan posisi perempuan berada pada posisi subordinat

dengan laki-laki yang mendominasi. Adanya perbedaan posisi dalam masyarakat antara

posisi perempuan dan laki-laki terbawa dalam struktur politik termasuk partai politik.

Sehingga mengakibatkan wanita sebagai suatu kelompok semu yang telah berubah

menjadi lapisan yang diperintah. Sebagai contoh, menurtu hukum seorang wanita harus

tunduk kepada suaminya, kemudian di kantor ia tetap diabaikan dalam promosi jabatan

dan di dalam organisasi pun mereka sering tidak diikutkan dalam struktur kekuasaan oleh

kerena perbedaan jenis kelamin itu.

Kekayaan status sosial dan ekonomi walau bukan faktor determinan kelas dapat

juga mempengaruhi pertentangan. Dahrendorf mengetengahkan proposisi, “semakin

rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek sosial ekonomi lainnya,

semakin rendah intensitas pertentang kelas”. (M. Poloma, 2003:138). Dengan kata lain

(34)

kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan stuktur

kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.

Secara sosiologis bahwa asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat

ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada

struktur tersebut. Pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan

menjadi permasalahan pertentangan kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa pertentanagn

kelas dan kelompok terjadi akibat dari proses pencapaian kekuasaan di dalam masyarakat

karena kekuasaan memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat. Kekuasaan

yang dimiliki dapat menguasai sumber daya dan menguasai sistem pemerintahan, dapat

menyebarkan pengaruhnya, memupuk kekayaan dan menguasai hukum dan ekonomi.

Dalam pembahasan teori kelas dapat dilihat bagaimana pentingnya suatu kekuasaan bagi

organisasi sosial dan bagaimana konflik mengenai kekuasaan dapat menjurus pada

pengembangan-pengembangan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat. Di dalam

mendapatkan kekuasaan terdapat kelompok-kelompok kepentingan bersama para individu

yang mampu berorganisasi.

2.4. Kebijakan Peningkatan Partisipasi Perempuan Di Partai

Peranan perempuan dalam politik terakomodasi dengan menerapkan affirmative

action melalui sistem kuota 30%. Permasalahan kuota terdapat dalam batang tubuh

Undang-Undang Pemilu pasal 65 ayat 1 yang berbunyi “setiap partai politik peserta

pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten /

Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan

sekurang-kurangnya 30%. Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini bisa menjadi

(35)

potensi perempuan dan siap berkiprah dalam politik terutama politik formal yang akan

mempengaruhi kebijakan (Daulay 2007: 36). Usaha memaksimalkan keterwakilan

perempuan sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh beberapa kelompok

perempuan sehingga UU No. 10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 tercantum ketentuan yang

melebihi 5 tahun sebelumnya, sedikitnya satu dari setiap 3 calon adalah perempuan

(Kompas, 2008 :35).

UU No. 18 Tahun 2007 tentang partai politik menyebutkan pendirian dan

pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan, kepengurusan

partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30%

keterwakilan perempuan, serta kepengurusan partai politik tingkat propinsi dan

Kabupaten / Kota disusun dengan memerhatikan keterwakilan perempuan

sekurang-kurangnya 30 % yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan keterwakilan

perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dan organisasi partai-partai politik serta

penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action) yang bersifat wajib

dan sukarela. Dengan sistem demokrasi dan kepartaian yang kita anut, yang berkaitan

dengan system perwakilan yang berhubungan dengan calon-calon legislative yang akan

duduk diparlemen. Dengan begitu mereka yang sering disebut wakil rakyat berasal dari

partai. Partai berperan penting dalam penentuan calon legislatif yang akan duduk di

parlemen walaupun pada akhirnya masyarakat yang memilih. Di dalam menghadapi

pemilu April 2009 nanti, seluruh partai harus mengacu pada UU No 10 Tahun 2008 dan

UU No 18 Tahun 2007, yang intinya adalah keterlibatan perempuan yang harus

(36)

Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini, sedikit banyaknya memotivasi

perempuan untuk dapat berkiprah di bidang politk, terutama politik formal yang akan

menentukan kebijakan (Daulay 2007:36). Hal ini tampak dari munculnya perempuan

dalam percaturan dunia politik seperti calon kepala daerah dalam pemilihan kepala derah

(pilkada) di beberapa daerah di Indonesia dan juga sebagai pengurus penting di berbagai

partai peserta pemilu.

Dalam hal ini partai juga memiliki kriteria penting dalam penentuan calegnya.

System pengkaderan di dalam setiap partai yang akan memunculkan calon legislatifnya

akan mempengaruhi kedudukan perempuan dalam partai tersebut. Namun, pada intinya,

kualitas adalah hal yang utama. Partai tetap menganggap prestasi, keunggulan, berupa

latar belakang pendidikan setiap caleg tetap menjadi hal yang utama. Di sisi lain partai

juga memperhatikan UU mengenai kuota perempuan dalam legislatif.

Pada intinya kita akan melihat bagaimana partai menghadapi pemilihan kepala

daerah (pilkada) April 2009, bagaimana mengakulturasi kepentingan partai memenangkan

pemilu dengan kepentingan perempuan yaitu, keterwakilannya dalam produk pemilu

tersebut, berupa implementasi UU yang berujung pada kuota 30%, sehingga tujuan dari

UU dapat diimplementasikan dengan baik oleh setiap partai, dan terciptanya keadilan

berpolitik antara laki-laki dan perempuan.

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian evaluaitf dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ialah penelitian yang menghasilkan data, tulisan dan

tingkah laku, sehingga dapat damati dan danalisis (Faisal,1995:22). Penelitian evaluatif

adalah penelitian yang bertujuan untuk memantau atau menilai program yang akan atau

sedang berjalan di masyarakat, yang dalam hal ini program kebijakan pemerintah dalam

implementasi kuota 30% keterwakilan wanita dalam lembaga politik formal. Disini jenis

penelitian evaluatif yang digunakan adalah menggambarkan secara terperinci suatu

fenomena sosial, seperti konflik sosial, interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.

Desain ini hanya menggambarkan dan mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara

menyeluruh dan teliti sesuai dengan persoalan yang akan dipecahkan sekaligus menjawab

permasalahan penelitian.

Penelitian Deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai

kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat

yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai

suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun

fenomena tertentu (Burhan Bungin, 2007:68).

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Utara, tepatnya di beberapa

kantor cabang partai politik. Partai Politik yang menjadi lokasi penelitian merupakan

(38)

oleh peneliti. Selain itu struktur pengurus dan pembagian divisi-divisi yang dianggap jelas

sesuai dengan observasi awal peneliti. Partai yang menjadi subjek penelitian yaitu, kantor

DPD Partai Golkar, kantor DPC Partai PDI-P, dan kantor DPC Partai Demokrat. Alasan

pemilihan lokasi penelitian yaitu:

a) Mudahnya akses masuk ke Partai tersebut dalam melaksanakan dan menjalankan

penelitian,

b) Adanya sikap terbuka oleh pihak bersangkutan dalam melakukan observasi awal

yang dilakukan peneliti,

c) Lokasi tersebut dianggap sesuai dengan judul dan permasalahn penelitian,

sehingga diharapkan mampu menjawab permasalahan penelitian,

d) Lokasi tersebut dianggap lokasi yang tepat dalam melaksanakan peneliti, karena

merupakan daerah yang memiliki fenomena politik yang dinamis

3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik

tertentu, jelas dan lengkap yang dapat diteliti . Sampel adalah bagian dari populasi yang

diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, yang jelas

dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Iqbal hasan, 2002:58). Dalam

penelitian ini populasi yang diambil adalah pengurus wanita dari 3 partai politik yang

terdapat di kantor Dewan Pimpinan Cabang dari partai PDI-P, Golkar, dan Demokrat.

Jumlah populasinya adalah 30 orang, karena populasi yang tidak terlalu besar maka

peneliti memutuskan menggunakan populasi menjadi sampel dengan rincian sebagai

(39)

PDI-P = 8 orang

Golkar = 11 orang

Demokrat

3.4. Teknik Pengumpulan Data = 11 orang

Jumlah = 30 orang

Pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau

keterangan-keterangan atau karakteristik sebagian atau seluruh elemen-elemen populasi

yang akan menunjang atau mendukung penelitian (Iqbal Hasan, 2005: 83). Untuk

menjawab masalah penelitian pengumpulan data dilakukan melalui :

a) Angket (kuesioner)

Angket adalah pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan

daftar pertanyaan untuk diisi oleh responden. Responden merupakan

anggota pengurus partai perempuan, yang menjadi sampel penelitian yang

diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner yang

disajikan.

b) Dokumenter dan Studi Kepustakaan

Dokumenter adalah data yang diperoleh dari suatu dokumentasi, dalam hal

ini dokumen-dokumen partai. Sedangkan studi kepustakaan meliputi

menelaah permasalahan melalui sumber buku, majalah, atau surat kabar atau

bentuk tulisan lainnya yang dianggap relevan terhadap masalah penelitian.

3.5. Analisis Data

Dalam analisis data peneliti akan mentabulasi data-data yang dihasilkan dari

(40)

terdapat pada kuesioner, jawabannya akan dianalisis atau diinterpretasikan sebagai data

yang akan melengkapi hasil penelitian (Burhan Bungin, 2001:187).

3.6. Jadwal Kegiatan

Tabel 3.1

NO Kegiatan Bulan

8 9 10 11 12 1 2 3 4

1 Pra Observasi

2 Persetujuan Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penyerahan Hasil Seminar √

7 Operasional Penelitian √

8 Bimbingan √ √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √

10 Sidang √

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian adalah permasalahan-permasalahan atau

hambatan-hambatan yang dihadapi peneliti selama menjalankan dan melakukan penelitian di

lapangan. Dalam hal ini peneliti juga mengalami beberapa kendala di dalam melakukan

(41)

1. Proses pengurusan surat izin penelitian yang sangat menyulitkan peneliti dan

memakan waktu yang cukup lama yaitu sepuluh hari. Surat izin penelitian yang

dibutuhkan yaitu dari Kesbang. Bapeda dan Kantor Camat.

2. Proses pengumpulan data di lapangan, berupa dokumen yaitu surat keterangan

kepengurusan Partai (S.K). dari ketiga Partai tersebut peneliti tidak mendapat S.K

dari salah satu Partai yang akan diteliti. Dalam hal ini Partai tidak bersedia

memberikan Surat Keterangan tersebut dengan alasan kerahasiaan Partai dan

beberapa alasan yaitu S.K tersebut sudah akan diganti dan alasan-alasan yang

tidak memuaskan peneliti.

3. Adanya item pertanyaan yang responden tidak bersedia menjawab dengan

alasan-alasan yang tidak jelas, terutama pertanyaan tambahan yang disediakan untuk

(42)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Deskripsi Daerah Penelitian

Daerah penelitian yaitu Kabupaten Tapanuli Utara yang beribukota di Tarutung.

Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara

yang secara geografis terletak diantara 1 20’-2 41 LU dan 98 05- 99 15’ BT. Wilayahnya

berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Selatan. Untuk lebih

lengkapnya berikut profil daerah Kabupaten Tapanuli Utara :

Kabupaten : Tapanuli Utara

Ibukota : Tarutung

Luas Kabupaten : 10.605 km²

Kepadatan : 71 jiwa/ km²

Pembagian Administratif

Kecamatan :16 kecamatan (Adian Koting, Garoga, Muara,

Pagaran, Pahae Jae, Pahae Jalu, Pangaribuan,

Parmonangan, Purba Tua, Siatas Barita,

Siborong-borong, Simangumban, Sipahutar, Sipoholon,

Tarutung ).

Desa / Kelurahan : 213 Desa dan 11 Kelurahan

Tanggal hari jadi : 5 Oktober 1945

Bupati : Torang Lumbantobing

(43)

Sejarah terbentuknya kabupaten Tapanuli Utara ini ditandai dengan masa

penjajahan Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kabupaten

Tapanuli Utara termasuk dalam Keresidenan Tapanuli yang dipimpin oleh seorang

Residen Bangsa Belanda yang berkedudukan di Sibolga. Saat itu Keresidenan Tapanuli

dibagi menjadi 4 Afdeiling (Kabupaten), salah satu diantaranya adalah Afdeiling Batak

Landen dengan ibukotanya Tarutung, dan 5 Onder Afdeiling (wilayah yang meliputi :

Onder Afdeiling Silindung, Toba, Samosir, Dairi, dan Barus.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, sejarah perkembangan pemerintahan RI di

Kabupaten Tapanuli Utara diawali dengan terbitnya Besluit No. 1 dari Residen Tapanuli

Dr. Ferdinan Lumbantobing pada tanggal 5 Oktober 1945 yang memuat pembentukan

daerah Tapanuli dengan pengangkatan staf pemerintahannya, juga pengangkatan

kepala-kepala Luhak dalam daerah Tapanuli. Afdeiling Tanah Batak dirubah menjadi LUHAK

TANAH BATAK, dan sebagai kepala Luhak diangkat Bapak Cornelius Sihombing,

beliau dianggap sebagai Bupati pertama Tapanuli Utara.

Sesuai dengan UU Drt. No. 7 Thn 1956, di daerah Propinsi dibentuk daerah

otonom Kabupaten. Salah satu Kabupaten yang dibentuk dalam UU Drt tersebut adalah

Kabupaten Tapanuli Utara. Mengingat luasnya wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, maka

untuk meningkatkan daya guna pemerintahan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan di

daerah ini, maka pada Tahun 1964, Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan menjadi 2

Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Dairi. Pemekaran Kabupaten Dairi dri

Kab.Tapanuli Utara sesuai dengan UU No. 15 Tahun 1964 tentang pembentukan Daerah

(44)

Pada tahun 1998 untuk kedua kalinya, Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan

menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir

sesuai dengan UU No. 12 tahun 1998 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Toba

Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kamudian pada tahun 2003,

Kabupaten Tapanuli Utara untuk yang ketiga kalinya dimekarkan menjadi 2 Kabupaten,

yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Humbang Hasundutan sesuai dengan UU.

No. 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan. Kabupaten Pak-pak

Barat, dan Kabupaten Humbang hasundutan di Propinsi Sumatera Utara. Pemekaran

wilayah Kabupaten ini dimaksudkan untuk meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan,

pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan serta untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat di daerah ini.

Sebagaimana uraian singkat sejarah perkembangan Pemerintahan RI di Kabupaten

Tapanuli Utara diawali dengan terbitnya Besliut No. 1 dari Residen Tapanuli Dr.

Ferdinan Lumbantobing pada tanggal 5 Oktober 1945 yang memuat pembentukan daerah

Tapanuli dan pengangkatan kepala-kepala Luhak dalam daerah Tapanuli, maka tanggal 5

Oktober ditetapkan menjadi hari jadi Kabupaten Tapanuli Utara sesuai dengan peraturan

daerah Kabupaten Tapanuli Utara No. 5 Tahun 2003.

4.1.2. Gambaran Sosial Ekonomi Masyarakat Tapanuli Utara

Seperti berbagai daerah lain di seluruh dunia, Tapanuli Utara menghadapi

persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan budaya. Sejumlah cara untuk meningkatkan

kualitas pembangunan telah dilaksanakan seperti 3 kali proses pemekaran yaitu pada

tahun 1964 pembentukan Kab. Dairi, pada tahun 1998 pemebentukan Kab. Toba Samosir,

(45)

oleh masyarakat Batak Toba dan mayoritas beragama Kristen Protestan sebesar 90,21%,

Islam sebesar 5,23%, dan agama Katolik sebesar 4,49%. Masyarakat Tapanuli Utara pada

umumnya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan bekerja sebagai pegawai

negeri dan pegawai swasta. Dengan potensi utama daerah dibidang agribisnis dan sektor

pariwisata. Dalam bidang agribisnis terdapat pengusaha kecil seperti pengusaha kacang,

keripik pedas dan pengusaha kecil lainnya yang terbukti mampu menggerakkan

perekonomian masyarakat Tapanuli Utara khususnya sektor informal. Dari sektor

pertanian dan perkebunan Tapanuli Utara sudah mampu menghasilkan beras, sayur, buah,

kemenyan, pinus, jati terutama untuk memenuhi kebutuhan daerah. Sedangnkan sektor

peternakan terdapat peternakan babi, kerbau, ayam, bebek dan ikan yang cukup

menjanjikan. Sektor pertanian dan peternakan secara langsung mempengaruhi sektor

perdagangan di Kab. Tapanuli Utara yang mendorong pemerataan hasil pertanian,

peternakan dan perkebunan demi meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat. Dari

sektor pariwisata Kab. Tapanuli Utara terkenal dengan wisata iman Salib Kasih,

pemandian air panas yang memiliki daya tarik wisata yang tinggi. Diketahui bahwa dalam

5 tahun terakhir pendapatan daerah dari sektor ini memberi sumbangan bagi APBD

(http:www.sumut.bps.go.id/taput).

4.1.3. Gambaran Pendidikan Masyarakat Tapanuli Utara

Secara umum tingkat pendidikan di Kab. Tapanuli Utara sudah cukup baik, ini

terlihat dari tersedianya fasilitas pendidikan yang cukup memadai diantaranya sekolah

dasar berjumlah 397 unit dengan jumlah siswa 46.571 orang, guru pengajar 2.553.

sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 60 unit termasuk 2 MTS atau setingkat

(46)

Umum (SMU) berjumlah 22 unit dengan jumlah siswa 11.774 orang dengan guru 634

orang. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berjumlah 15 unit dengan siswa 4.577 orang

dan guru pengajar 369 orang. Juga terdapat 1 Universitas yaitu Universitas

Sisingamangaraja yang berada di Kec. Siborong-borong.

Tingkat pendidikan Tapanuli Utara juga dapat dilihat dari persentase penduduk

menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan seperti tabel 4.1. dibawah ini :

Tabel 4.1. Persentase Pendidikan Yang Ditamatkan

Tingkat Pendidikan Persentase Jumlah Belum sekolah/ Belum tamat SD 26,41 69.072

Tamat SD 24,85 64.992

Tamat SLTP 23,70 61.985

Tamat SLTA 22,20 58.062

D1 / Sarjana 2,84 7.428

Total 100,00 261.539

Sumber : BPS Taput Dalam Angka

Dari tabel 4.1 dilihat jumlah dan persentase tingkat pendidikan masyarakat di Kab.

Tapanuli Utara berturut-turut, belum sekolah atau belum tamat SD sebesar 26,41 (69.072

orang), tamat SD sebesar 24,85% (64.992 orang), tamat SLTP sebesar 23,70% (61.985

orang), tamat SLTA sebesar 22,20% (58.062 orang), dan D1 / Sarjana sebesar 2,84%

(7.428 orang). Terdapat kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang

ditamatkan semakin rendah persentase atau jumlah masyarakat yang menamatkan

pendidikan tersebut.

4.1.4. Gambaran Penduduk Dari Usia

Dilihat dari komposisi penduduk menurut kelompok umur pada tahun 2005,

sebanyak 36,37% penduduk Kab. Tapanuli Utara termasuk dalam kelompok anak-anak

(47)

kelompok usia lanjut (65 tahun keatas) sebanyak 7,76%. Berikut data dilihat dari tabel 4.2

berikut ini :

Tabel 4.2. Persentase Usia Penduduk

Kelompok Umur Persentase Jumlah

0-14 tahun 36,37 95.122

15-64 tahun 55,87 146.122

65 tahun keatas 7,76 20.295

Total 100,00 261.539

Sumber : BPS Taput Dalam Angka

Dari tabel 4.2 diketahui kelompok usia yang paling tinggi jumlah perentasenya

ialah usia 15-64 tahun sebesar 55,87% (146.122 orang), usia 0-14 tahun sebesar 36,37%

(95.122 orang), dan lanjut usia atau 65 tahun keatas sebesar 7,76% (20.295 orang). Dapat

disimpulakan bahwa usia produktif di Kab. Tapanuli Utara cukup tinggi dibanding

dengan usia anak-anak dan lanjut usia, berarti terdapat banyak penduduk yang merupakan

angkatan kerja.

4.1.5. Gambaran Penduduk Dari Jenis Kelamin

Dari data BPS Kab. Tapanuli Utara tahun 2005 berdasarkan data kependudukann,

terdapat 129.881 orang laki-laki dan 131.658 orang perempuan dengan total 261.539

masyarakat Tapanuli Utara dan rasio 98,65, atau dengan persentase 49,67% laki-laki dan

50,33% perempuan. Ini berarti jumlah perempuan lebih banyak dibanding jumlah

laki-laki di Kab. Tapanuli Utara.

4.1.6. Posisi Perempuan Dalam Masyarakat

Masyarakat Tapanuli Utara merupakan masyarakat yang mayoritas merupakan

suku Batak Toba yang menganut sistem patriarkhi yang sudah ada sejak dulu dan

turun-temurun. Patriarkhi adalah sistem garis keturunan bapak, artinya ayah sebagai pemegang

Gambar

Tabel 1.1 Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga-Lembaga
Tabel I.2
Tabel 4.1. Persentase Pendidikan Yang Ditamatkan
Tabel  4.2. Persentase Usia Penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap sejarah yang sangat penting ini, Deng Xiaoping menggunakan prinsip-prinsip dasar Marxisme sesuai dengan kondisi konkret Tiongkok dan keharusan zaman,

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran berbasis teknologi informasi yang dapat meningkatkan pemahaman konsep,

Informasi diperoleh kader dalam mengikuti pertemuan kader yang dilaksanakan di Balai Desa setiap bulannya, seperti penyuluhan dari Kepala Puskesmas, Petugas

Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S5 menunjukkan bahwa S5 mulai dengan mengamati kasus dan langsung mencari dan memprediksi pola dengan menggambar segi tiga

Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat unit LPSE adalah unit yang melayani proses pengadaan Barang/Jasa secara elektronik di lingkungan Badan

Analisis yang digunakan adalah model persamaan struktural (SEM) dan terlebih dahulu dilakukan analisis faktor konfirmatori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi

a. Pada tahapan awal pembelajaran, guru menyiapkan materi yang akan dikenai model reciprocal teaching dan menginformasikan kepada siswa serta bertanggung jawab untuk

Perhitungan rasio keuangan ini meliputi beberapa rasio, yaitu rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio profitabilitas, dan rasio hutang dengan menggunakan pendekatan