UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
WANITA DAN PARTAI POLITIK
(STUDI ANALISIS DESKRIPTIF TERHADAP PARTISIPASI KESEMPATAN WANITA BERKARIER DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK DI KABUPATEN
TAPANULI UTARA)
SKRIPSI Diajukan Oleh
ALEXANDER SIMAMORA
040901029
GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT
UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNUVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAKSI
Pandangan politik merupakan ranah bagi laki-laki, sekarang hanya sekadar wacana saja. Apalagi kalau kita mencoba melihat isi yang paling aktual dewasa ini, yaitu mengenai partisipasi perempuan dalam partai politik. Dimana tingkat partisipasi politik perrempuan pada saat ini belum menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Tingkat partisipasi yang rendah ini diakibatkan oleh minimnya kesadaran perempuan mengenai pentingnya partisipasi politik mereka. Selain itu hambatan lain, seperti kurangnnya kesempatan dan sistem patriarkhi yang mendominasi masyarakat kita. Sementara itu partisipasi perrempuan dalam politik merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan perempuan seperti, isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual.
Partisipasi politik dapat dipraktekkan dalam partai politik sebagai lembaga politik f ormal yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan itu, tentunya jika partai politik tersebut merupakan salah satu partai pemenang pemilu yang otomatis memiliki perwakilan di parlemen. Di dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No.18 Tahun 2007 tentang kuota 30% keterwakilan wanita dalam kepengurusan partai politik yang sudah diimplementasikan hingga saat ini. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik memaparkan secara rinci bagaimana implementasi kuota 30% bagi kepengurusan wanita di partai politik, bagaimana pandangan pengurus partai perempuan mengenai kuota 30% dan bagaimana partai menberikan peluang dan kesempatan pada perempuan dalam pengembangan karieer dan politiknya sekaligus membahas hambatan-hambatan yang dialaminya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif evaluatif. Dengan metode penelitian ini, peneliti dapat menggambarkan secara rinci suatu fenomena konflik dan interaksi sosial berdasarkan instrumen-instrumen penelitian yang digunakan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara yaitu Partai Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Populasi yang digunakan berjumlah 30 orang, populasi langsung dipakai sebagai sampel penelitian.
KATA PENGANTAR
Terima kasih yang sangat besar pada Allah Bapa Tuhan Yesus Yang Maha
Pengasih. Banyak bimbingan dan kekuatan serta pengalaman yang penulis rasakan dalam
menjalani penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis yakin semuanya itu karena Kasih
Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus yang memberikan kesempatan pada penulis untuk
menjalani dan merasakannya. Ketika mengalami masa-masa sulit, Tuhan Yesus tetap
memberikan jalan dan semangat serta kekuatan sampai saya dapat menyelesaikan skripsi
ini. Hormat dan puji syukur saya panjatkan kehadiratNya, Amin.
Selama pembuatan skripsi ini banyak hal yang penulis rasakan dan dapatkan
seperti ketekunan, kesabaran, keberanian, motivasi, pengalaman, kerjasama dan disiplin,
serta menambah wawasan penulis. Penulis menyadari bahwa proses studi sampai pada
penulisan skripsi ini dukungan semua pihak baik secara moril maupun materi, doa dan
fasilitas yang mendukung sampai selesainya penulisan ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, MA, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, sebagai Ketua Departemen Sosiologi dan Ibu
Dra. Rosmiani, MA sebagai Sekretaris Jurusan.
3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si sebagai dosen pembimbing, penulis mengucapkan
banyak terima kasih yang tak terkatakan dan juga rasa hormat penulis karena telah
memberikan tenaga, pemikiran, ide-ide, waktu dan semangat dalam proses
4. Ibu Harmona Daulay, S.sos, M.Si sebagai dosen wali, penulis mengucapkan
banyak terima kasih karena telah memberikan motivasi dan bahan-bahan dalam
penulisan skripsi, sehingga membantu mempercepat dalam penyelesaian skripsi
ini.
5. Dosen-dosen staf pengajar FISIP USU dan dosen sosiologi atas pengajaran dan
arahan pada masa perkuliahan.
6. Orang tua penulis, Ibu R. Sihombing yang tercinta atas dukungan doa, motivasi,
materi, kesabaran yang membentuk penulis agar selalu berjuang hingga
mendapatkan gelar sarjana, dan Bapak R. Simamora, yang selalu mendukung
penulis dan selalu sabar untuk menunggu penulis mendapatkan gelar sarjana ini.
7. Saudara-saudaraku, abang Bobby R. Simamora, adikku Magdalena Simamora
yang telah memberi semangat dan dorongan sehingga penulisan skripsi ini dapat
selesai dengan cepat.
8. Keluarga besar Op.Bunga dan tante-tanteku, inangtuaku dan tulang yang telah
memberikan dukungan baik doa, moril dan materi.
9. Imma yang memberikanku semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi
ini, dan juga adik kecilku Evi.
10. Teman-teman sosiologi stambuk 2004, Tika, Renova, Ferika, Herna, OTG, Robin,
Eko, Citra, Juni, Flo, Rabanta, Heru, Rudi, dan teman-teman yang telah wisuda
yang memotivasi penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.
11. Orang-orang yang mendukung saya selama kegiatan di lapangan, responden,
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRAKSI ……… i
KATA PENGANTAR ………. ii
DAFTAR ISI ……… iv
DAFTAR TABEL ………... vi
DAFTAR LAMPIRAN ………... vii
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang Masalah ……… 1
1.2. Perumusan Masalah ………. 7
1.3. Tujuan Penelitian ………. 8
1.4. Manfaat Penelitian ……… 8
1.5. Kerangka Teori ………... 9
1.6. Defenisi Konsep ……… 13
1.7. Defenisi Operasional ……… 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 28
3.1. Jenis Penelitian ……… 28
3.2. Lokasi penelitian ……… 28
3.3. Populasi Dan tehnik Penarikan Sampel ………... 29
3.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 30
3.5. Analisis Data ……… 30
3.7. Keterbatasan Penelitian ……… 31
BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN ANALISIS DATA ………. 33
BAB V PENUTUP ……….. 86
5.1. Kesimpulan ……….. 88
5.2. Saran ………. 90
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1.1. Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga Formal……… 3
Tabel 1.2. Jumlah dan Persentase Anggota DPR tahun 1950-2004……….. 4
Tabel 4.1. Usia Responden……… 53
Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Responden ……….. 54
Tabel 4.3. Penghasilan Responden……… 56
Tabel 4.4. Status Perkawinan……… 57
Tabel 4.5. Suku Responden………. 58
Tabel 4.6. Jumlah Anak………... 59
Tabel 4.7. Jenis Pekerjaan Suami……… 60
Tabel 4.8. Pekerjaan Responden……….. 61
Tabel 4.9. Penghasilan Suami……… 62
Tabel 4.10. Jabatan Responden di Partai ……….. .…… 64
Tabel 4.11. Lama Menjadi Pengurus Partai Politik………...65
Tabel 4.12. Cara Responden Mendapatkan Jabatan……… 66
Tabel 4.13. Tujuan Responden Dalam Partai Politik………67
Tabel 4.14. Wewenang Wanita Dalam Partai Politik ……… 69
Tabel 4.15. Keaktifan Wanita Dalam Partai ………. ………. 70
Tabel 4.16. Implementasi Kuota 30% di Partai ……… 72
Tabel 4.17. Implementasi Pemenuhan Kuota 30% Dalam Kepengurusan Partai …… 73
Tabel 4.18. Aktifitas Wanita Dalam Partai………. 74
Tabel 4.19. Implementasi Kuota Dalam Daftar Caleg ……….…... 75
Tabel 4.20. Hambatan Partisipasi Politik Perempuan……….. 76
DAFTAR LAMPIRAN
ABSTRAKSI
Pandangan politik merupakan ranah bagi laki-laki, sekarang hanya sekadar wacana saja. Apalagi kalau kita mencoba melihat isi yang paling aktual dewasa ini, yaitu mengenai partisipasi perempuan dalam partai politik. Dimana tingkat partisipasi politik perrempuan pada saat ini belum menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Tingkat partisipasi yang rendah ini diakibatkan oleh minimnya kesadaran perempuan mengenai pentingnya partisipasi politik mereka. Selain itu hambatan lain, seperti kurangnnya kesempatan dan sistem patriarkhi yang mendominasi masyarakat kita. Sementara itu partisipasi perrempuan dalam politik merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan perempuan seperti, isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual.
Partisipasi politik dapat dipraktekkan dalam partai politik sebagai lembaga politik f ormal yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan itu, tentunya jika partai politik tersebut merupakan salah satu partai pemenang pemilu yang otomatis memiliki perwakilan di parlemen. Di dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No.18 Tahun 2007 tentang kuota 30% keterwakilan wanita dalam kepengurusan partai politik yang sudah diimplementasikan hingga saat ini. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik memaparkan secara rinci bagaimana implementasi kuota 30% bagi kepengurusan wanita di partai politik, bagaimana pandangan pengurus partai perempuan mengenai kuota 30% dan bagaimana partai menberikan peluang dan kesempatan pada perempuan dalam pengembangan karieer dan politiknya sekaligus membahas hambatan-hambatan yang dialaminya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif evaluatif. Dengan metode penelitian ini, peneliti dapat menggambarkan secara rinci suatu fenomena konflik dan interaksi sosial berdasarkan instrumen-instrumen penelitian yang digunakan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara yaitu Partai Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Populasi yang digunakan berjumlah 30 orang, populasi langsung dipakai sebagai sampel penelitian.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Jumlah perempuan Indonesia yang besar ternyata tidak mengidentifikasikan
kekuatan posisi strategis mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.
Tercatat Biro Pusat Statistik tahun 200p1, terdapat 101.628.816 atau sekitar 51% jumlah
perempuan dari total penduduk Indonesia, tetapi hanya 8% hingga 10% saja yang terpilih
dalam setiap pemilu. Di dalam parlemen di suatu daerah-daerah, hanya terdapat 44 orang
atau 9,1% saja jumlah perempuan. Data ini di dukung fakta bahwa 30 daerah Tingkat I di
Indonesia, tidak satupun terdapat perempuan yang memimpin, sedangkan dari 336 Daerah
Tingkat II hanya 6 daerah yang dipimpim oleh perempuan.
Pada konferensi perempuan tahun 1994 yang dihadiri 27 negara, menyatakan bahwa
akses perempuan Asia untuk terjun ke bidang politik masih rendah. Hal ini disebabkan
karena perempuan Asia pada umumnya masih terbelenggu masalah klasik, yaitu adanya
diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan (Jurnal Perempuan 2001:27). Seorang politisi
sekaligus ilmuwan wanita Bangladesh, Roanaq Johan menyatakan bahwa dari seluruh
perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai
anggota parlemen. Sementara yang menduduki jabatan anggota kabinet (Mentri) hanya
40% saja. Di Asia tercatat hanya lima perempuan saja yang berhasi merebut posisi kepala
negara, yakni, Gandhi di India, Sirimaro Bandaranaike di Srilanka, Benazir Bhuto di
Pakistan, Khaledah Zia di Bangladesh dan Corazon Aquino di Filipina
Jika kita melihat ke dalam suatu organisasi politik formal, saat perempuan
menyuarakan dan memperjuangkan kepeduliannya terhadap isu-isu, seperti kekerasan,
kesehatan, pengamanan, dan kebebasan berpolitik, sering sekali tidak terjadi perubahan,
artinya tidak ada tindak lanjut dari tuntutan-tuntutan kebutuhan perempuan, sehingga
tuntutan tersebut hanya sampai sekadar wacana saja, tanpa ada tindak lanjut dalam
penyelesaian masalah-masalah perempuan. Pada sejarah pemerintahan kita, pada masa
orde lama, jumlah perempuan dalam pemerintahan berada di bawah 10%, pada masa
orde baru jumlah perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan hanya berkisar 10 - 11%
saja, hal yang tidak jauh berbeda pada masa reformasi yang hanya 9% saja. (Jurnal
Perempuan ; 2001:21).
Dalam seminar “Peranan Wanita” dalam peta demokrasi 1997 yang diselenggarakan
oleh Fatayat NU dan harian republika, Drs. Arbi Sanit menyatakan meski secara
kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibanding pria, perkembangan posisi
dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia
belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik
Indonesia. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi
berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1985.
(http:www.surabayapost.co.id/11/25/06 kanan.html, diakses 26/08/08).
Tabel 1.1
Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga-Lembaga Politik Formal Tahun 2001
KETERWAKILAN PEREMPUAN INDONESIA Dalam Lembaga Politik Formal
Lembaga Perempuan Laki-laki Jumlah
(100%)
Sumber : kompas (Senin, 11 Maret 2002)
Tabel 1.1 menunjukkan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga
politik formal. Dari beberapa lembaga yang ada diatas, terutama lembaga tinggi negara,
seperti MPR, DPR dan MA menunjukkan jumlah perempuan berada di bawah 15%, yakni
MPR hanya 9,5%, DPR 9,0% dan MA 14,8%. Bahkan pada lembaga seperti BPK dan
kepala Daerah Tingkat I keterlibatan perempuan tidak ada sama sekali. Namun pada
lembaga formal yang lain seperti KPU, Hakim dan PTUN menunjukkan jumlah yang
signifikan mengenai keberadaan perempuan. Tetapi yang paling penting untuk
diperhatikan, bahwa jumlah tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga
tersebut sangat minim dan memprihatinkan. Dari tabel tersebut kita dapat melihat
perbedaan jumlah yang sangat jauh antara keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam
Tabel I.2
Jumlah dan Persentase Anggota DPR Perempuan Tahun 1950-2004
Masa Kerja DPR Perempuan Jumlah Anggota Prasentase
1950-1955
Sumber : Jurnal Perempuan 2001, edisi pertama.
Tabel 1.2 menunjukkan sejak 1950-2004 sudah ada 10 kali lembaga DPR
terbentuk, menunjukkan perentase keterlibatan perempuan di bawah 15%. Bahkan sejak
tahun 1950-1987 jumlah perempuan di DPR berada di bawah 10%, tetapi pada tahun
1987 angka perentasenya mencapai 13%, sedangkan tahun 1992-1997 dengan persentase
12,5% dan 1997-1999 dengan 10,8%, tetapi pada tahun 1999-2004 turun menjadi 9%.
Tabel 1.2 menggambarkan belum ada regulasi yang tetap dalam mengatur jumlah
keterwakilan perempuan di parlemen pada saat itu.
Pandangan Aristoteles sebagai pandangan politik klasik, membuat dikotomi
kepentingan publik dan kepentingan individu atau kelompok masyarakat tertentu.
Pengembangan pengertian politik didasarkan pada cara pandang biner patriarchist, yang
akhirnya menciptakan pengertian politik yang semula sebagai suatu musyawarah warga
negara untuk membicarakan dan menyelenggarakan segala aspek kehidupan, telah
berubah. Ia telah menjadi ilmu yang mempelajari hakikat kedudukan dan menggunakan
menyingkirkan perempuan serta pandangan perempuan dalam kehidupan berpolitik.
Pengertian politik ini menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak boleh
berkuasa. Padahal jika kita melihat defenisi politik yang sebenarnya adalah suatu sarana
pencapaian kedudukan atau kekuasaan secara legal dan rasional dan bagaimana
menjalankan kekuasaan yang dimiliki sesuai dengan peraturan yang berlaku dan
berwujud pada kemakmuran masyarakat dan wilayah yang dikuasainya itu.
Kesempatan wanita dalam politik mulai diperhatikan dengan tindakan khusus
sementara (affirmatife action) untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dengan
sistem kuota 30% sehingga mencapai sedikitnya minoritas kritis yaitu 30% dari total
anggota parlemen. Tetapi persoalan tidak selesai dengan kuota saja, karena daftar caleg
yang disusun oleh partai peserta pemilu menempatkan perempuan pada daftar nomor
bawah sehingga sulit untuk menang dalam pemilu, sedangkan laki-laki tetap berada pada
nomor urut teratas, hal tersebut karena adanya anggapan bahwa laki-laki dianggap lebih
berkualitas, dan lebih unggul dalam bidang politik. Dalam hal ini budaya Patriarkhi
determinan terhadap kuantitas perempuan dalam legislatif (Jurnal Politeia Vol II,
2006:74). Affirmative action ini membawa perdebatan pada isu kuantitas dan kualitas.
Lembaga-lembaga non pemerintah di Indonesia mengambil angka 30% sebagai angka
keterwakilan perempuan di parlemen sebagai jumlah minimum agar keputusan yang
dambil parlemen bisa menyuarakan aspirasi, nilai dan kepentingan perempuan.
Budaya patriarkhi yang ada di Indonesia membawa perempuan dalam posisi yang
subordinat dalam politik. Budaya patriarkhi yang terakumulasi mengakibatkan terciptanya
cara berpikir pasangan (biner) dan dikotomis yang memposisikan si kuat (yang berkuasa)
Center for Elektoral Reform (Cetro) menyatakan jumlah 30% sebagai jumlah keterwakilan
minimum dengan argumentasi bahwa kajian-kajian tentang tingkah laku minoritas
menunjukkan diperlukannya 30% wakil kelompok agar sebuah kelompok dapat
mempengaruhi proses pembuatan keputusan atau kebijakan atau membuat aliansi-aliansi
diantara berbagai kelompok. Jika jumlah perempuan ada dibawah angka strategis 30%,
maka perempuan akan sekedar menjadi dekorasi politik atau akan sebagai pelengkap saja
(Kompas, 27 Mei 2002).
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kendala-kendala yang dihadapi
perempuan dalam berpolitik yang menurut (Lycette dalam Indriyati Suparno, 2005: 27),
yaitu :
1. Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran
produktif, di dalam maupun di luar
2. Perempuan relatif memiliki pendidikan lebih rendah daripada laki-laki. Tingkat
pendidikan perempuan yang rendah dan perbedaan kesempatan yang diperoleh
anak perempuan dan laki-laki terjadi di seluruh dunia
3. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual,
dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi perempuan
4. Adanya hambatan legal bagi perempuan seperti larangan kepemilikan tanah,
larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau program KB tanpa persetujuan
suami atau ayahnya.
Selain itu hambatan kultural dan hambatan struktural juga menghalangi
kesempatan dan peluang wanita berpolitik. Hambatan kultural berhubungan dengan masih
yang berdeda untuk laki-laki dan perempuan, sedangkan kendala struktural berhubungan
dengan sistem pemilu yang memperkecil peluang munculnya perempuan dalam partai
politik yang tidak didukung pula dengan sistem pendidikan politik di dalam internal partai
(Indriyati Suparno, 2005:27).
Streotipe yang ditujukan kepada perempuan membentuk pandangan bahwa wanita
sering diragukan kemampuannya. Sebagian ahli menyatakan bahwa kemampuan
manajerial wanita yang baik akan mendukung kualitas kepemimpinannya. Kepemimpinan
tidak dibedakan atas gender. Kepemimpinan dapat dipelajari oleh siapapun tetapi yang
pasti kepemimpinan perlu dikarakterkan dan tidak hanya dipelajari secara teori (Jajan
Kaswara 1999).
Gambaran ini dapat dilihat diantaranya banyak pemimpin negara adalah
perempuan. Ini juga berlaku di Indonesia seperti keberhasilan wanita menjadi ketua partai
bahkan menjadi presiden. Namun tidak dapat dipungkiri kenyataannya belum banyak
perempuan yang aktif dalam ranah politik. Tentunya dengan penetapan kuota 30%
memberikan peluang dan kesempatan wanita dalam karier politiknya. Penelitian ini akan
melihat sejauh mana partai ini menerapkan sistem keterwakilan perempuan dalam
pemenuhan kuota 30% serta bagaimana partai-partai yang ada memberikan peluang dan
kesempatan wanita dalam karier politiknya. Dalam hal ini dikonsentrasikan pada partai
yang terdapat di Tapanuli Utara.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi perumusan dalam penelitian ini
adalah :
2. Untuk mengetahui implementasi kebijakan partai terhadap sistem
keterwakilan?
3. Untuk mengetahui sikap dan pandangan Partai terhadap sistem keterwakilan
yang ditetapkan pemerintah ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadu tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana sikap atau pandangan partai terhadap peluang dan kesempatan
dalam karir politiknya?
2. Untuk mendapatkan jawaban tanggapan pengurus Partai perempuan
menanggapi kuota 30% tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah :
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan ilmiah yang berkaitan
dengan sistem demokrasi yang terdapat di negara kita, sehingga dapat memberikan bahan
pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam menjalankan pemerintahan
untuk memberi kesempatan bagi seluruh wanita Indonesia untuk dapat berkarier dalam
bidang politik.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti berupa
fakta-fakta temuan di lapangan dalam meningkatkan daya, kritis dan analisis peneliti sehingga
memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut. Dan khususnya penelitian ini
penelitian-1.5. Kerangka Teori
Dalam analisis politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang
dianggap penting terutama dalam kaitannya dengan perkembangan negara-negara
berkembang. Secara konseptual partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan
memilih pemimpin negara dan kebijakan pemerintah. Kegiatan partisipasi politik
mencakup pemilu, rapat-rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau
kelompok-kelompok anggota kepentingan. Partisipasi politik adalah kegiatan warga
negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi politik juga bersifat individual atau
koleksi, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadif, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington & Nelson dalam
Antonius PS, 126).
Pandangan masyarakat luas yang meliputi konsep gender, peran gender dan
streotipe, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan diantara perempuan dan
laki-laki. Keadaan ini mengakibatkan marginalisasi dan pengucilan terhadap perempuan
dari kehidupan politik formal. Dengan demikian keberadaan perempuan dalam kehidupan
politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan.
Akar dari persoalan tersebut adalah budaya patriarkhi yang telah menghampiri semua
ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk di bidang politik. Menyatakan semua
aktifitas politik punya dimensi politik yang penting, dan semua aktivitas itu juga
mempunyai ciri politik yaitu adanya power relation yang tidak setara antara laki-laki dan
Pada kenyataannya di dalam ruang publik dan domestik kebutuhan perempuan
dapat digolongkan atas 2 kebutuhan yaitu kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis.
Kebutuhan praktis ialah kebutuhan konkret yang diidentifikasi oleh perempuan sebagai
kebutuhan pada peran tradisional reproduktif dan produktif perempuan. Misalnya,
perawatan kesehatan, pekerjaan, perumahan, makanan, dan minuman. Sedangkan
kebutuhan strategis ialah kebutuhan yang dilihat dari analisis subordinasi ekonomi dan
sosial perempuan dan mencoba meningkatkan kesetaraan lebih besar antara laki-laki dan
perempuan. Kebutuhan ini mempermasalahkan pembagian kerja dan isu-isu kekuasaan
dan kontrol. Misalnya, hak hukum dan politik, perlawanan terhadap KDRT (kekerasan
dalam rumah tangga), pembayaran gaji dan lain-lain. Dalam hal ini perempuan dalam
Partai Politik merupakan kebutuhan strategis yang akhir-akhir ini ingin disuarakan oleh
perempuan, baik mengenai keterwakilan mereka dalam setiap instansi pemerintah.
Kate Millet dalam Indriati Suparno, dkk (2005;15) menyatakan politik sebagai
hubungan kekuasaan yang terstruktur yang terbentuk ketika orang berada di bawah
kontrol kelompok yang lain. Dalam tradisi patriarkhi pada umumnya dan di Indonesia
khususnya, dunia politik dikategorikan adalah dunianya laki-laki karenanya, dunia
perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Laki-lakilah yang menetapkan dan memutuskan
berbagai kebijakan dan perundang-undangan, dari dunia tersebut termasuk yang
menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan (Macioni 1987; Susanto 1993, dalam
Indriati dkk; 2005:16).
Teori feminis merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang
mengeksplorasi konsep-konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa banyak aspek
termasuk bahasa, kerja, peran keluarga , pendidikan sosialisasi. Kritik feminis bertujuan
untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan itu. Teori feminis
berupaya menentang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai
cara yang lebih membebaskan wanita dan pria untuk hidup di dunia (Idi Subandy Ibrahim
dan Hanf Suranto, 1998; xxxvii). Teori feminis tidak hanya satu melainkan banyak,
namun hampir semua menjelaskan tentang penindasan terhadap perempuan, ( Rosmeri
Tong feminist Trought dalam Nunuk P. Murniati 2004:125).
Teori feminis marxis didasari historis materialis, manusia menciptakan dirinya
sendiri secara individu dan kelompok. Dalam kehidupan sosial, manusia membedakan
pekerjaan produksi dan reproduksi dan dibagikan kepada laki-laki dan perempuan. Tugas
produksi diserahkan kepada laki-laki, dan tugas reproduksi diserahkan kepada kaum
perempuan. Pembagian tugas ini dilihat sebagai suatu persoalan oleh kaum feminis
Marxist. Menurut teorinya, produksi tidak hanya benda dan jasa, tetapi termasuk tugas
melahirkan dan memelihara anak, sebab tugas ini merupakan produksi potensi manusia
(SDM). Feminis Marxist percaya bahwa keadaan sosial ditentukan secara sadar, sehingga
secara sadar pula dapat dirubah. Teori feminis marx menyebutkan bahwa secara politik
perempuan mempunyai kekuasaan dalam menentukan kehidupan, tetapi terampas oleh
budaya patriarkhi pada waktu manusia mengenal kekayaan dan hak waris.
Beberapa tokoh aliran ini, seperti Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, mengatakan
bahwa perempuan berada di tempat penindasan yang paling bawah (Nunuk P. Murniati,
2002:72). Situasi ini digambarkan sebagai berikut :
a) Perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai kelompok yang pertama
b) Penindasan terhadap perempuan tersebar luas di berbagai kehidupan sosial,
c) Penindasan terhadap perempuan adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser
hanya oleh perubahan sosial antar kelas,
d) Penindasan perempuan menyebabkan penderitaan kaum korban, secara
kuantitatif dan kualitatif. Walaupun penderitaan ini tidak selalu diakui dan
disadari, baik pelaku ataupun oleh korban,
e) Penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual model untuk
mengetahui bentuk penindasan lain.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, teori feminis radikal mempermasalahkan
perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian dikonstruksi menjadi perbedaan gender oleh
budaya patriarkhi. Akibat dari konstruksi ini, perempuan teralienasi dari berbagai bidang
kehidupan, khususnya bidang politik yang mengatur kehidupan masyarakat. Analisis
perempuan dari sudut pandang politik menjadi pusat perhatian teori ini. Bagi perempuan,
politik tidak hanya mengatur kehidupan publik saja, melainkan juga kehidupan domestik
dan pribadi perempuan.
Pandangan Dahrendorf mengatakan konflik berhubungan dengan kekuasaan yang
menyangkut bawahan dan atasan sehingga mengakibatkan munculnya perbedaan kelas di
masyarakat, terdapat dikotomi antara penguasa dan orang yang dikuasai (Poloma,
2003:136). Teori ini mencampur adukan biologis dan sosiologis, secara psikologis,
feminis psikoanalitik menolak teori freud tentang penentuan biologis manusia sebagai
dasar perbedaan seks. Kenyataan biologis bahwa perempuan harus mengandung dan
Dimulai dari keluarga, istri dianggap milik suami. Pada wilayah domestik, istri
dikuasai suami, pada wilayah publik perempuan dikuasai oleh laki-laki. Kondisi ini
diperkuat oleh asumsi bahwa laki-laki adalah pemilik modal. Pemilik modal inilah yang
menjadi penguasa di bidang ekonomi / industri.
1.6. Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan
suatu gejala atau menyatakan suatu ide gagasan ( Iqbal Hasan 2002;17 ). Untuk
menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam proposal
penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :
1) Sistem Keterwakilan
Merupakan sistem yang ditetapkan oleh pemerintah yang diturunkan melalu UU
kepada parpolitik dan mempengaruhi jumlah perwakilan golongan di dalam
pemilu.
2) Affirmative Action
Adalah tindakan khusus sementara mengenai peluang wanita dalam politik dengan
kuota 30% untuk mewujudkan keterwakilan wanita.
3) Kuota
Adalah porsi yang ditetapkan atau ditentukan untuk mewakili suatu golongan dan
suatu lembaga.
4) Gender
Perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan
5) Feminis
Seorang, baik perempuan maupun laki-laki yang peduli dan sadar bahwa adnya
ketimpangn gender di dalam hubungan sosial dan berusaha untuk mencari jalan
keluar.
6) Feminisme
Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, di tempat kerja, di dalam keluarga, serta gerakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
7) Dominasi
Kedudukan berkuasa atau menguasasi dari kelompok jenis kelamin tertentu
(laki-laki) terhadap jenis kelamin lainnya (perempuan).
1.7. Defenisi Operasional
Defenisi operasional merupakan gambaran teliti mengenai prosedur yang
diperlukan untuk memasukkan unit-unit dalam kategori tertentu dari tiap-tiap variabel.
Variabel adalah konsep yang secara empiris dapat diukur dan dinilai. Dalam penelitian
kuantitatif secara umum terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas (Independen) dan
variabel terikat (Dependen). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebasnya adalah
partisipasi wanita dengan indicator sebagai berikut :
a) Lahirnya peraturan pemerintah mengenai kuota tersebut seperti UU dan peraturan
lainnya
b) Tata cara pelaksanaan implementasi kuota 30% pada perempuan pada partai
politik
Sedangkan vaiabel terikatnya adalah kepengurusan partai politik dengan indikator
sebagai berikut :
a) Tingkat pendidikan / jenjang pendidikan
b) Pengalaman dalam organisasi, dalam hal ini berhubungan dengan pengalaman
dalam karier politiknya
c) Ketidakadilan gender atau diskriminasi. Hal ini berhubungan dengan faktor
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Partai dan Fungsinya
Partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan mempunyai tujuan
kekuasaan serta melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiardjo dalam Antonius
P.S, 2006:90). Partai politik merupakan sarana untuk berpartisipasi dalam dunia politik.
Partai sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia.
Lembaga-lembaga politik adalah lembaga yang memperhatikan kekuasaan, organisasinya,
pengalihannya, pelaksanaan dan legitimasi kekuasaan (Duverger 1988:124).
Berdirinya Syarikat Islam pada tahun 1912 dianggap sebagai lahirnya partai
politik pertama di Indonesia, karena sejak itu organisasi itu menjadi sarana yang
digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Pada awalnya banyak yang mengira
kehadiran partai politik dilihat sebagai sarana berpartisipasi saja. Tetapi dalam
perkembangannya partai diidentifikasikan sebagi organisasi artikulatif yang terdiri dari
pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan
perhatiannya kepada kekuasaan-kekuasaan pemerintahan, dan juga bersaing untuk
memperoleh dukungan rakyat. Partai politik juga merupakan perantara dengan
lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan berakibat pada aksi politiknya dalam masyarakat
yang lebih luas (Neuman dalam Antonius P.S 2006:91).
Pada perkembangan demokrasi modern partai politik mempunyai peranan penting
pada masyarakat, diantaranya dapat memaksimalkan keikutsertaan anggota masyarakat
yaitu melebarkan jaringannya diantara anggota di masyarakat agar keinginan dan aspirasi,
kepentingan mereka terus-menerus dapat dipantau. Jaringan itu dapat berupa organisasi
masa yang tugas utamanya adalah menghimpun atau merangkum segala aspirasi
masyarakat.
2.2. Masyarakat Dalam Partisipasi Politik
Pengertian demokrasi ialah pemerintah yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat. Demokrasi dalam arti empiric diatas menyatakan setiap warga negara bebas
berpartisipasi dalam politik tanpa membeda-bedakan status golongan, agama dan jenis
kelamin (Antonius P :123). Secara konseptual, partisipasi politik merupakan kegiatan
sekarang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
kegiatannya meliputi tindakan-tindakan seperti memberi suara dalam pemilu, menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok-kelompok kepentingan,
mengadakan pendekatan atau hubungan dengan pejabat pemerintah.
Partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan sukarela dari warga Negara
bagaimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara
langsung dan tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Mc Closky
dalam Antonius P :125). Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak
sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan
oleh pemerintah. Partisipasi politik juga bersifat individual atau koleksi, teorganisir dan
spontan, mantap dan sporadis secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal,
efaktif atau tidak efektif (Hutington dalam Antonius P : 126).
Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu
ialah bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang secara idil hendak dilakukan atau
diselenggarakan oleh sebuah Negara, sedangkan demokrasi dalam arti empirik, yakni
demokrasi dalam pengejawantahannya dalam kehidupan politik praktis, misalnya apakah
pemerintah memberikan ruang gerak para warga untuk berpartisipasi dalam politik.
2.3. Konflik Dalam Partisipasi Politik Perempuan
Konflik merupakan suatu fakta dalam masyarakat industri modern yang secara
empiris tidak diakui karena orang lebih memilih stabilitas sebagai hakekat masyarakat.
Konflik merupakan realitas yang harus dihadapi oleh para ahli teori sosial dalam
membentuk model-model umum perilaku sosial. Konflik mempunyai fungsi-fungsi
positif, salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah
agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang
memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Konflik sosial mempunyai fungsi
katarsis, karena konflik mempunyai dampak yang menyegarkan pada sistem sosial.
Konflik tidak mengubah sistem sosial, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan
di dalam sistem sehingga sistem itu bisa lebih efektif (Wardi Bachtiar,2006:108).
Pengembangan teori konflik dilakukan oleh Polybius (Wardi Bachtiar 2006:108),
tetapi yang mengembangkannya adalah Karl Marx. Marx melihat masyarakat kapitalisme
modern, kaum industrialis atau borjuis, pemilik modal dan masyarakat kelas bekerja atau
proletar yang sering diamati sebagai gambaran konflik yang nyata pada masa itu. Konflik
kelas diamati sebagai titik sentral dari masyarakat, segala macam konflik mengasumsikan
bentuk dari peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah
mengelompokkan populasi, memusatkan tujuan produksi dan mengkonsentrasikan
keadaan tersebut membawa ketimpangan sosial pada masyarakat pada saat itu berupa
ketidakadilan yang dialami masyarakat buruh yang dipaksa bekerja terus-menerus dalam
peningkatan produksi tanpa memperhatikan kesetaraan upah dan penyesuaian jam kerja.
Keadaan tersebut melahirkan perjuangan kelas yang dilakukan kaum proletar yang
dipandang oleh Marx yang bermula dari konsep kekuatan politik sebagai pembantu
terhadap kekuatan kelas, dan perjuangan politik sebagai bentuk khusus perjuangan kelas.
Dalam hal ini kelas borjuis sebagai penguasa dan kelas proletar yang dikuasai.
Pertentangan kelas juga diterima Dahrendorf sebagai suatu bentuk konflik dan
sebagai sumber perubahan sosial. Dahrendorf memodifikasi teori pertentangan kelas
Marx dengan memasukkan perkembangan-perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.
Menurut Dahrendorf konflik berhubungan dengan kekuasaan yang menyangkut bawahan
dan atasan menyediakan unsur-unsur dari kelahiran kelas. Terdapat dikotomi antara
mereka yang berkuasa dengan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta
dalam strutur kekuasaan yang ada di dalam kelompok, sedang yang lain tidak. Dahrendorf
mengakui terdapat beberapa perbedaan diantara mereka yang memiliki sedikit dan banyak
kekuasaan. Perbedaaan di dalam sikap dominasi akan selalu terjadi, tetapi pada dasarnya
tetap terdapat dua sistem kelas yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur
kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.
Perjuangan kelas dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan pada kekuasaan daripada
pemilikan sarana-sarana produksi dalam masyarakat industri modern, pemilik sarana
produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
Sarana yang dimaksud adalah penguasaan terhadap sumber daya yang ada, baik
kekuasaan yang dimiliki sudah otomatis penguasaan terhadap sumber daya yang ada,
kekuasaan sering dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi. Jika dikaitkan dengan
hubungan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dianggap memiliki kekuasaan yang
lebih dibanding daripada perempuan. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan berbagai
pertentangan. Pertentangan yang telah berakar dan potensial diantara kedua jenis kelamin
ini sekarang diatur lewat institusionalisasi pertentangan. Marx dan Dahrendorf
mengemukakan pertentangan kelas antara laki-laki dan perempua n, laki-laki yang
memperoleh kekuasaan dari budaya pariarkhi dan konstruksi sosial mempengaruhi
hubungan-hubungan dalam politik. Secara tidak langsung tapi disadari politik digunakan
dalam pencapaian kekuasaan, kesempatan dan peluang laki-laki dalam politik lebih
terbuka dibanding perempuan sehingga proses distribusi kekuasaan hanya berada
ditangan laki-laki.
Kekuasaan adalah seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau
pola (struktur) yang mengandung sifat otoritas. Kekuasaan adalah hubungan, tetapi bukan
sembarang hubungan. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas yang
mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun
komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan.
Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau
medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasi
merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam
masyarakat. di samping itu, ada pihak lain yamng menentang dan ingin merebut
sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, ini merupakan aspek
dari antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik (Maurice Duverger, 1989:XIII).
Aspek kedua muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu
upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaan dilihat
sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan
berbagai kelompok kepentingan. Di sini kekuasaan memainkan peranan integratif,
memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-avis kepentingan golongan atau
kelompok.
Homans menjelaskan asal mula kekuasaan dan wewenang dalam kaitannya
dengan prinsip kepentingan minimum (principle of least interest) : orang yang memiliki
kepentingan yang paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa
menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Prinsip ini menghasilkan kekuasaan di tangan salah
satu pihak yang berpartisipasi, “sebab dalam pertukaran seseorang memiliki kapasitas
yang lebih besar untuk memberi orang lain ganjaran ketimbang yang mampu diberikan
orang itu kepadanya” (Homans dalam Poloma, 2003: 67).
Dalam organisasi formal hubungan yang asimetris dapat dilestarikan melalui
kekuasaan yang memaksa. Kekuasaan memaksa merupakan pertukaran yang tidak
seimbang, dan situasi yang demikian juga diatur oleh proposisi pertukaran seperti halnya
dalam hubungan-hubungan yang bersifat tidak memaksa. Homan menyatakan bahwa
paksaan tidak dibutuhkan bila hubungan itu didasarkan pada pertukaran yang fair. Akan
tetapi, sekalipun kekuasaan bersifat memaksa pertukaran itu akan terlihat juga.
Selanjutnya Blau melihat sesuatu yang menarik dari individu ke dalam asosiasi “
eksterinsik. Blau memang mengakui tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh
pertimbangan pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian.
Dia mengetengahkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada
pertukaran sosial, perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya
dicapai melelui interaksi dengan orang lain, dan perilaku harus bertujuan untuk
memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut (Blau dalam Poloma,2003:82).
Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik seperti uang, barang dan jasa
atau intrinsik seperti kasih sayang, kehormatan dan lain-lain. Perilaku manusia yang
dibimbing oleh prinsip-prinsip pertukaran sosial itu yang mendasari pembentukan struktur
serta lembaga-lembaga sosial.
Beranjak dari asumsi bahwa gender adalah “ pervasive category understanding
human experience”. Gender merupakan konstruksi yang meskipun bermanfaat,
didominasi oleh bias pria dan cenderung apresif terhadap wanita. perempuan yang tidak
diperhitungkan secara ekonomis, merupakan fokus perjuangan kaum feminis marxist.
Perempuan secara sistematis dikontrol di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Kenyataan
pribadi perempuan pun dikontrol oleh negara (hak milik tanah harus atas nama laki-laki).
Fungsi reproduksi hanya diartikan sebagai fungsi haid, hamil, dan melahirkan terbeban
pada kaum perempuan. Tetapi fungsi yang hanya bisa dikerjakan oleh perempuan ini
justru menciptakan anggapan bahwa tenaga perempuan tidak produktif. Fungsi reproduksi
tidak dihargai secara ekonomis, dan tidak diperhitungkan sebagai sumbangan pendapatan
Teori feminis marxist menyebutkan bahwa secara politik perempuan mempunyai
kekuasaan dalam menentukan kehidupan, tetapi terampas oleh budaya patriarkhi pada
waktu manusia mengenal kekayaan dan hak waris.
Sosiologi konflik merupakan aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif dari aliran
sosiologi fungsionalisme. Aliran ini percaya bahwa kelompok masyarakat memiliki
kepentingan (intrest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan
sosial termasuk hubungan laki-laki dan hubungan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai
selalu dipergunakan sebagai syarat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak
terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dengan asumsi seperti ini maka
perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya merubah posisi dan hubungan.
Demikian juga perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya akan dilihat
dari konflik antar 2 kepentingan.
Bagi penganut feminis Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari
sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Mereka telah menganggap pratiarkhi ataupun
kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalis yang sesungguhnya
merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesaiannya pun harus bersifat
struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan
hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang
mereka sebut sebagai proses revolusi. Namun tidak hanya sampai disitu, perempuan
masih dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Dari perspektif ini, diyakini
bahwa emansipasi perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah
perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan
pekerjaan domestik.
Di negara kita politik formal sangat berkaitan dalam pencapaian kekuasaan, jika
kita berbicara tentang politik formal tentu berhubungan dengan partai politik. Partai
politik yang diominasi oleh laki-laki sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya
patriarkhi mengakibatkan perbedaan wewenang dalam partai tersebut. Walaupun
perempuan sudah mulai ikut aktif dalam partai politik, namun secara kasat mata
wewenang mereka berada dalam wewenang laki-laki. Dengan demikian wewenang
tersebut hanya menyangkut atau membahas mengenai kebutuhan untuk pencapaian
kekuasaan bagi laki-laki. Perbedaan posisi perempuan berada pada posisi subordinat
dengan laki-laki yang mendominasi. Adanya perbedaan posisi dalam masyarakat antara
posisi perempuan dan laki-laki terbawa dalam struktur politik termasuk partai politik.
Sehingga mengakibatkan wanita sebagai suatu kelompok semu yang telah berubah
menjadi lapisan yang diperintah. Sebagai contoh, menurtu hukum seorang wanita harus
tunduk kepada suaminya, kemudian di kantor ia tetap diabaikan dalam promosi jabatan
dan di dalam organisasi pun mereka sering tidak diikutkan dalam struktur kekuasaan oleh
kerena perbedaan jenis kelamin itu.
Kekayaan status sosial dan ekonomi walau bukan faktor determinan kelas dapat
juga mempengaruhi pertentangan. Dahrendorf mengetengahkan proposisi, “semakin
rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek sosial ekonomi lainnya,
semakin rendah intensitas pertentang kelas”. (M. Poloma, 2003:138). Dengan kata lain
kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan stuktur
kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.
Secara sosiologis bahwa asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat
ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada
struktur tersebut. Pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan
menjadi permasalahan pertentangan kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa pertentanagn
kelas dan kelompok terjadi akibat dari proses pencapaian kekuasaan di dalam masyarakat
karena kekuasaan memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat. Kekuasaan
yang dimiliki dapat menguasai sumber daya dan menguasai sistem pemerintahan, dapat
menyebarkan pengaruhnya, memupuk kekayaan dan menguasai hukum dan ekonomi.
Dalam pembahasan teori kelas dapat dilihat bagaimana pentingnya suatu kekuasaan bagi
organisasi sosial dan bagaimana konflik mengenai kekuasaan dapat menjurus pada
pengembangan-pengembangan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat. Di dalam
mendapatkan kekuasaan terdapat kelompok-kelompok kepentingan bersama para individu
yang mampu berorganisasi.
2.4. Kebijakan Peningkatan Partisipasi Perempuan Di Partai
Peranan perempuan dalam politik terakomodasi dengan menerapkan affirmative
action melalui sistem kuota 30%. Permasalahan kuota terdapat dalam batang tubuh
Undang-Undang Pemilu pasal 65 ayat 1 yang berbunyi “setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten /
Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%. Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini bisa menjadi
potensi perempuan dan siap berkiprah dalam politik terutama politik formal yang akan
mempengaruhi kebijakan (Daulay 2007: 36). Usaha memaksimalkan keterwakilan
perempuan sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh beberapa kelompok
perempuan sehingga UU No. 10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 tercantum ketentuan yang
melebihi 5 tahun sebelumnya, sedikitnya satu dari setiap 3 calon adalah perempuan
(Kompas, 2008 :35).
UU No. 18 Tahun 2007 tentang partai politik menyebutkan pendirian dan
pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan, kepengurusan
partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan, serta kepengurusan partai politik tingkat propinsi dan
Kabupaten / Kota disusun dengan memerhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 % yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan keterwakilan
perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dan organisasi partai-partai politik serta
penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action) yang bersifat wajib
dan sukarela. Dengan sistem demokrasi dan kepartaian yang kita anut, yang berkaitan
dengan system perwakilan yang berhubungan dengan calon-calon legislative yang akan
duduk diparlemen. Dengan begitu mereka yang sering disebut wakil rakyat berasal dari
partai. Partai berperan penting dalam penentuan calon legislatif yang akan duduk di
parlemen walaupun pada akhirnya masyarakat yang memilih. Di dalam menghadapi
pemilu April 2009 nanti, seluruh partai harus mengacu pada UU No 10 Tahun 2008 dan
UU No 18 Tahun 2007, yang intinya adalah keterlibatan perempuan yang harus
Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini, sedikit banyaknya memotivasi
perempuan untuk dapat berkiprah di bidang politk, terutama politik formal yang akan
menentukan kebijakan (Daulay 2007:36). Hal ini tampak dari munculnya perempuan
dalam percaturan dunia politik seperti calon kepala daerah dalam pemilihan kepala derah
(pilkada) di beberapa daerah di Indonesia dan juga sebagai pengurus penting di berbagai
partai peserta pemilu.
Dalam hal ini partai juga memiliki kriteria penting dalam penentuan calegnya.
System pengkaderan di dalam setiap partai yang akan memunculkan calon legislatifnya
akan mempengaruhi kedudukan perempuan dalam partai tersebut. Namun, pada intinya,
kualitas adalah hal yang utama. Partai tetap menganggap prestasi, keunggulan, berupa
latar belakang pendidikan setiap caleg tetap menjadi hal yang utama. Di sisi lain partai
juga memperhatikan UU mengenai kuota perempuan dalam legislatif.
Pada intinya kita akan melihat bagaimana partai menghadapi pemilihan kepala
daerah (pilkada) April 2009, bagaimana mengakulturasi kepentingan partai memenangkan
pemilu dengan kepentingan perempuan yaitu, keterwakilannya dalam produk pemilu
tersebut, berupa implementasi UU yang berujung pada kuota 30%, sehingga tujuan dari
UU dapat diimplementasikan dengan baik oleh setiap partai, dan terciptanya keadilan
berpolitik antara laki-laki dan perempuan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian evaluaitf dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ialah penelitian yang menghasilkan data, tulisan dan
tingkah laku, sehingga dapat damati dan danalisis (Faisal,1995:22). Penelitian evaluatif
adalah penelitian yang bertujuan untuk memantau atau menilai program yang akan atau
sedang berjalan di masyarakat, yang dalam hal ini program kebijakan pemerintah dalam
implementasi kuota 30% keterwakilan wanita dalam lembaga politik formal. Disini jenis
penelitian evaluatif yang digunakan adalah menggambarkan secara terperinci suatu
fenomena sosial, seperti konflik sosial, interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.
Desain ini hanya menggambarkan dan mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara
menyeluruh dan teliti sesuai dengan persoalan yang akan dipecahkan sekaligus menjawab
permasalahan penelitian.
Penelitian Deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai
kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat
yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai
suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun
fenomena tertentu (Burhan Bungin, 2007:68).
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Utara, tepatnya di beberapa
kantor cabang partai politik. Partai Politik yang menjadi lokasi penelitian merupakan
oleh peneliti. Selain itu struktur pengurus dan pembagian divisi-divisi yang dianggap jelas
sesuai dengan observasi awal peneliti. Partai yang menjadi subjek penelitian yaitu, kantor
DPD Partai Golkar, kantor DPC Partai PDI-P, dan kantor DPC Partai Demokrat. Alasan
pemilihan lokasi penelitian yaitu:
a) Mudahnya akses masuk ke Partai tersebut dalam melaksanakan dan menjalankan
penelitian,
b) Adanya sikap terbuka oleh pihak bersangkutan dalam melakukan observasi awal
yang dilakukan peneliti,
c) Lokasi tersebut dianggap sesuai dengan judul dan permasalahn penelitian,
sehingga diharapkan mampu menjawab permasalahan penelitian,
d) Lokasi tersebut dianggap lokasi yang tepat dalam melaksanakan peneliti, karena
merupakan daerah yang memiliki fenomena politik yang dinamis
3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik
tertentu, jelas dan lengkap yang dapat diteliti . Sampel adalah bagian dari populasi yang
diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, yang jelas
dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Iqbal hasan, 2002:58). Dalam
penelitian ini populasi yang diambil adalah pengurus wanita dari 3 partai politik yang
terdapat di kantor Dewan Pimpinan Cabang dari partai PDI-P, Golkar, dan Demokrat.
Jumlah populasinya adalah 30 orang, karena populasi yang tidak terlalu besar maka
peneliti memutuskan menggunakan populasi menjadi sampel dengan rincian sebagai
PDI-P = 8 orang
Golkar = 11 orang
Demokrat
3.4. Teknik Pengumpulan Data = 11 orang
Jumlah = 30 orang
Pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau
keterangan-keterangan atau karakteristik sebagian atau seluruh elemen-elemen populasi
yang akan menunjang atau mendukung penelitian (Iqbal Hasan, 2005: 83). Untuk
menjawab masalah penelitian pengumpulan data dilakukan melalui :
a) Angket (kuesioner)
Angket adalah pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan
daftar pertanyaan untuk diisi oleh responden. Responden merupakan
anggota pengurus partai perempuan, yang menjadi sampel penelitian yang
diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner yang
disajikan.
b) Dokumenter dan Studi Kepustakaan
Dokumenter adalah data yang diperoleh dari suatu dokumentasi, dalam hal
ini dokumen-dokumen partai. Sedangkan studi kepustakaan meliputi
menelaah permasalahan melalui sumber buku, majalah, atau surat kabar atau
bentuk tulisan lainnya yang dianggap relevan terhadap masalah penelitian.
3.5. Analisis Data
Dalam analisis data peneliti akan mentabulasi data-data yang dihasilkan dari
terdapat pada kuesioner, jawabannya akan dianalisis atau diinterpretasikan sebagai data
yang akan melengkapi hasil penelitian (Burhan Bungin, 2001:187).
3.6. Jadwal Kegiatan
Tabel 3.1
NO Kegiatan Bulan
8 9 10 11 12 1 2 3 4
1 Pra Observasi
2 Persetujuan Judul √
3 Penyusunan Proposal √ √
4 Seminar proposal √
5 Revisi Proposal √
6 Penyerahan Hasil Seminar √
7 Operasional Penelitian √
8 Bimbingan √ √ √
9 Penulisan Laporan Akhir √ √
10 Sidang √
3.7. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian adalah permasalahan-permasalahan atau
hambatan-hambatan yang dihadapi peneliti selama menjalankan dan melakukan penelitian di
lapangan. Dalam hal ini peneliti juga mengalami beberapa kendala di dalam melakukan
1. Proses pengurusan surat izin penelitian yang sangat menyulitkan peneliti dan
memakan waktu yang cukup lama yaitu sepuluh hari. Surat izin penelitian yang
dibutuhkan yaitu dari Kesbang. Bapeda dan Kantor Camat.
2. Proses pengumpulan data di lapangan, berupa dokumen yaitu surat keterangan
kepengurusan Partai (S.K). dari ketiga Partai tersebut peneliti tidak mendapat S.K
dari salah satu Partai yang akan diteliti. Dalam hal ini Partai tidak bersedia
memberikan Surat Keterangan tersebut dengan alasan kerahasiaan Partai dan
beberapa alasan yaitu S.K tersebut sudah akan diganti dan alasan-alasan yang
tidak memuaskan peneliti.
3. Adanya item pertanyaan yang responden tidak bersedia menjawab dengan
alasan-alasan yang tidak jelas, terutama pertanyaan tambahan yang disediakan untuk
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Deskripsi Daerah Penelitian
Daerah penelitian yaitu Kabupaten Tapanuli Utara yang beribukota di Tarutung.
Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara
yang secara geografis terletak diantara 1 20’-2 41 LU dan 98 05- 99 15’ BT. Wilayahnya
berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Selatan. Untuk lebih
lengkapnya berikut profil daerah Kabupaten Tapanuli Utara :
Kabupaten : Tapanuli Utara
Ibukota : Tarutung
Luas Kabupaten : 10.605 km²
Kepadatan : 71 jiwa/ km²
Pembagian Administratif
Kecamatan :16 kecamatan (Adian Koting, Garoga, Muara,
Pagaran, Pahae Jae, Pahae Jalu, Pangaribuan,
Parmonangan, Purba Tua, Siatas Barita,
Siborong-borong, Simangumban, Sipahutar, Sipoholon,
Tarutung ).
Desa / Kelurahan : 213 Desa dan 11 Kelurahan
Tanggal hari jadi : 5 Oktober 1945
Bupati : Torang Lumbantobing
Sejarah terbentuknya kabupaten Tapanuli Utara ini ditandai dengan masa
penjajahan Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kabupaten
Tapanuli Utara termasuk dalam Keresidenan Tapanuli yang dipimpin oleh seorang
Residen Bangsa Belanda yang berkedudukan di Sibolga. Saat itu Keresidenan Tapanuli
dibagi menjadi 4 Afdeiling (Kabupaten), salah satu diantaranya adalah Afdeiling Batak
Landen dengan ibukotanya Tarutung, dan 5 Onder Afdeiling (wilayah yang meliputi :
Onder Afdeiling Silindung, Toba, Samosir, Dairi, dan Barus.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, sejarah perkembangan pemerintahan RI di
Kabupaten Tapanuli Utara diawali dengan terbitnya Besluit No. 1 dari Residen Tapanuli
Dr. Ferdinan Lumbantobing pada tanggal 5 Oktober 1945 yang memuat pembentukan
daerah Tapanuli dengan pengangkatan staf pemerintahannya, juga pengangkatan
kepala-kepala Luhak dalam daerah Tapanuli. Afdeiling Tanah Batak dirubah menjadi LUHAK
TANAH BATAK, dan sebagai kepala Luhak diangkat Bapak Cornelius Sihombing,
beliau dianggap sebagai Bupati pertama Tapanuli Utara.
Sesuai dengan UU Drt. No. 7 Thn 1956, di daerah Propinsi dibentuk daerah
otonom Kabupaten. Salah satu Kabupaten yang dibentuk dalam UU Drt tersebut adalah
Kabupaten Tapanuli Utara. Mengingat luasnya wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, maka
untuk meningkatkan daya guna pemerintahan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan di
daerah ini, maka pada Tahun 1964, Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan menjadi 2
Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Dairi. Pemekaran Kabupaten Dairi dri
Kab.Tapanuli Utara sesuai dengan UU No. 15 Tahun 1964 tentang pembentukan Daerah
Pada tahun 1998 untuk kedua kalinya, Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan
menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir
sesuai dengan UU No. 12 tahun 1998 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Toba
Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kamudian pada tahun 2003,
Kabupaten Tapanuli Utara untuk yang ketiga kalinya dimekarkan menjadi 2 Kabupaten,
yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Humbang Hasundutan sesuai dengan UU.
No. 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan. Kabupaten Pak-pak
Barat, dan Kabupaten Humbang hasundutan di Propinsi Sumatera Utara. Pemekaran
wilayah Kabupaten ini dimaksudkan untuk meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat di daerah ini.
Sebagaimana uraian singkat sejarah perkembangan Pemerintahan RI di Kabupaten
Tapanuli Utara diawali dengan terbitnya Besliut No. 1 dari Residen Tapanuli Dr.
Ferdinan Lumbantobing pada tanggal 5 Oktober 1945 yang memuat pembentukan daerah
Tapanuli dan pengangkatan kepala-kepala Luhak dalam daerah Tapanuli, maka tanggal 5
Oktober ditetapkan menjadi hari jadi Kabupaten Tapanuli Utara sesuai dengan peraturan
daerah Kabupaten Tapanuli Utara No. 5 Tahun 2003.
4.1.2. Gambaran Sosial Ekonomi Masyarakat Tapanuli Utara
Seperti berbagai daerah lain di seluruh dunia, Tapanuli Utara menghadapi
persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan budaya. Sejumlah cara untuk meningkatkan
kualitas pembangunan telah dilaksanakan seperti 3 kali proses pemekaran yaitu pada
tahun 1964 pembentukan Kab. Dairi, pada tahun 1998 pemebentukan Kab. Toba Samosir,
oleh masyarakat Batak Toba dan mayoritas beragama Kristen Protestan sebesar 90,21%,
Islam sebesar 5,23%, dan agama Katolik sebesar 4,49%. Masyarakat Tapanuli Utara pada
umumnya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan bekerja sebagai pegawai
negeri dan pegawai swasta. Dengan potensi utama daerah dibidang agribisnis dan sektor
pariwisata. Dalam bidang agribisnis terdapat pengusaha kecil seperti pengusaha kacang,
keripik pedas dan pengusaha kecil lainnya yang terbukti mampu menggerakkan
perekonomian masyarakat Tapanuli Utara khususnya sektor informal. Dari sektor
pertanian dan perkebunan Tapanuli Utara sudah mampu menghasilkan beras, sayur, buah,
kemenyan, pinus, jati terutama untuk memenuhi kebutuhan daerah. Sedangnkan sektor
peternakan terdapat peternakan babi, kerbau, ayam, bebek dan ikan yang cukup
menjanjikan. Sektor pertanian dan peternakan secara langsung mempengaruhi sektor
perdagangan di Kab. Tapanuli Utara yang mendorong pemerataan hasil pertanian,
peternakan dan perkebunan demi meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat. Dari
sektor pariwisata Kab. Tapanuli Utara terkenal dengan wisata iman Salib Kasih,
pemandian air panas yang memiliki daya tarik wisata yang tinggi. Diketahui bahwa dalam
5 tahun terakhir pendapatan daerah dari sektor ini memberi sumbangan bagi APBD
(http:www.sumut.bps.go.id/taput).
4.1.3. Gambaran Pendidikan Masyarakat Tapanuli Utara
Secara umum tingkat pendidikan di Kab. Tapanuli Utara sudah cukup baik, ini
terlihat dari tersedianya fasilitas pendidikan yang cukup memadai diantaranya sekolah
dasar berjumlah 397 unit dengan jumlah siswa 46.571 orang, guru pengajar 2.553.
sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 60 unit termasuk 2 MTS atau setingkat
Umum (SMU) berjumlah 22 unit dengan jumlah siswa 11.774 orang dengan guru 634
orang. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berjumlah 15 unit dengan siswa 4.577 orang
dan guru pengajar 369 orang. Juga terdapat 1 Universitas yaitu Universitas
Sisingamangaraja yang berada di Kec. Siborong-borong.
Tingkat pendidikan Tapanuli Utara juga dapat dilihat dari persentase penduduk
menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan seperti tabel 4.1. dibawah ini :
Tabel 4.1. Persentase Pendidikan Yang Ditamatkan
Tingkat Pendidikan Persentase Jumlah Belum sekolah/ Belum tamat SD 26,41 69.072
Tamat SD 24,85 64.992
Tamat SLTP 23,70 61.985
Tamat SLTA 22,20 58.062
D1 / Sarjana 2,84 7.428
Total 100,00 261.539
Sumber : BPS Taput Dalam Angka
Dari tabel 4.1 dilihat jumlah dan persentase tingkat pendidikan masyarakat di Kab.
Tapanuli Utara berturut-turut, belum sekolah atau belum tamat SD sebesar 26,41 (69.072
orang), tamat SD sebesar 24,85% (64.992 orang), tamat SLTP sebesar 23,70% (61.985
orang), tamat SLTA sebesar 22,20% (58.062 orang), dan D1 / Sarjana sebesar 2,84%
(7.428 orang). Terdapat kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang
ditamatkan semakin rendah persentase atau jumlah masyarakat yang menamatkan
pendidikan tersebut.
4.1.4. Gambaran Penduduk Dari Usia
Dilihat dari komposisi penduduk menurut kelompok umur pada tahun 2005,
sebanyak 36,37% penduduk Kab. Tapanuli Utara termasuk dalam kelompok anak-anak
kelompok usia lanjut (65 tahun keatas) sebanyak 7,76%. Berikut data dilihat dari tabel 4.2
berikut ini :
Tabel 4.2. Persentase Usia Penduduk
Kelompok Umur Persentase Jumlah
0-14 tahun 36,37 95.122
15-64 tahun 55,87 146.122
65 tahun keatas 7,76 20.295
Total 100,00 261.539
Sumber : BPS Taput Dalam Angka
Dari tabel 4.2 diketahui kelompok usia yang paling tinggi jumlah perentasenya
ialah usia 15-64 tahun sebesar 55,87% (146.122 orang), usia 0-14 tahun sebesar 36,37%
(95.122 orang), dan lanjut usia atau 65 tahun keatas sebesar 7,76% (20.295 orang). Dapat
disimpulakan bahwa usia produktif di Kab. Tapanuli Utara cukup tinggi dibanding
dengan usia anak-anak dan lanjut usia, berarti terdapat banyak penduduk yang merupakan
angkatan kerja.
4.1.5. Gambaran Penduduk Dari Jenis Kelamin
Dari data BPS Kab. Tapanuli Utara tahun 2005 berdasarkan data kependudukann,
terdapat 129.881 orang laki-laki dan 131.658 orang perempuan dengan total 261.539
masyarakat Tapanuli Utara dan rasio 98,65, atau dengan persentase 49,67% laki-laki dan
50,33% perempuan. Ini berarti jumlah perempuan lebih banyak dibanding jumlah
laki-laki di Kab. Tapanuli Utara.
4.1.6. Posisi Perempuan Dalam Masyarakat
Masyarakat Tapanuli Utara merupakan masyarakat yang mayoritas merupakan
suku Batak Toba yang menganut sistem patriarkhi yang sudah ada sejak dulu dan
turun-temurun. Patriarkhi adalah sistem garis keturunan bapak, artinya ayah sebagai pemegang