• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tarjamah (Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tarjamah (Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN TENTANG THALAQ TIGA

Dari Ibn „Abbas, dia berkata,Pada masa Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam, Abu Bakar dan 2 tahun pertama masa kekhilafahan „Umar talak tiga (sekaligus dengan satu lafazh) terhitung satu kali talak. Maka berkatalah „Umar bin al-Khaththab, “Orang-orang terlalu terburu-buru dalam urusan (menalak tiga sekaligus dalam satu lafazh) mereka yang dulu masih ada tempo waktunya. Andaikatan kami jalankan apa yang mereka lakukan dengan terburu-buru itu (bahwa talak tiga dalam satu kata (lafazh) itu jatuh talak tiga) niscaya hal itu dapat mencegah dilakukannya talak secara berturut-turut (seperti yang mereka lakukan itu).” Lalu ia memberlakukan hal itu terhadap mereka.(HR.Muslim)

Hadits Kedua :

Dari Mahmud bin Labid, ia berkata, saat Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam diberitahu mengenai seorang laki-laki yang menalak isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka berdirilah ia dalam kondisi marah, kemudian berkata, “Apakah ia ingin bermain-main dengan Kitabullah padahal aku masih ada di tengah kalian.?” Ketika itu ada seorang laki -laki berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya.?” (HR.an-Nasa‟iy, dan para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat)

Kualitas hadits kedua ini adalah shahih. Hadits Ketiga :

Dari Ibn „Abbas, ia berkata, Abu Rukanah telah menalak Ummu Rukanah, lalu Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam berkata kepadanya, “Rujuklah isterimu itu.” Lalu ia menjawab, “Sudah aku talak tiga ia.” Beliau berkata, “Aku sudah tahu, rujuklah ia.” (HR.Abu Daud) Dalam riwayat Ahmad terdapat teks:

Abu Rukanah menalak isterinya dengan talak tiga dalam satu majlis (sekaligus), maka ia pun menyesali kejadian itu (bersedih atasnya), maka Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Ia hanya (terhitung) satu kali.“

Tetapi dalam sanad ini terdapat Ibn Ishaq yang perlu diberi catatan.

Abu Daud meriwayatkan dari jalur lainnya dengan riwayat yang lebih baik :

Bahwa Abu Rukanah telah menalak isterinya, Suhaimah dengan pasti (sekaligus dan langsung talak tiga-red), lalu ia memberitahu Nabi shallallaahu „alaihi wasallam mengenai hal itu, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?” Maka, Rasululullah shallallaahu „alaihi wasallam mengembalikan isterinya

(2)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla‟if) dan berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini.

Bagi para ulama yang menilainya shahih, mereka berargumentasi: Abu Daud berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dari hadits Ibn Juraij yang didalamnya berbunyi,

„Sesungguhnya Rukanah telah menalak isterinya dengan talak tiga (sekaligus).‟”

Ibn Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, „Alangkah mulianya hadits ini.‟ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.”

Sementara para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim

berargumentasi : Hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami (maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, „Para ulama tokoh dan besar yang sangat mengenali „illat-„illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn „Uyainah dan ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm. Mereka mengetakan, „Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim (tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad berkata, „Hadits Rukanah tidak valid.‟”

Imam at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku pernah

menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, „Itu hadits Muththarib.‟ (bagian dari hadits Dla‟if/lemah-red).

Syaikh al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla‟if sedangkan hadits Ibn „Abbas lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya, wallahu a‟lam.”

Tarjamah (Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah

Sesuai dengan yang dikenal dalam buku-buku Taraajum, buku hadits dan lainnya, bahwa Abu Rukanah adalah Rukanah bin „Abdu Yazid bin Hasyim bin la-Muththalib, Qurasyi al-Muththalibi.

Syaikh al-Bassam, pengarang buku syarah Bulughul Maram mengomentari: “Demikian tertera namanya (Abu Rukanah) seperti yang saya dapatkan di dalam kitab Bulughul Maram…Saya juga merujuk beberapa kitab induk, termasuk di antaranya kitab al-Ishabah karya pengarang sendiri (yakni pengarang bulugh al-Maram, Ibn Hajar-red), saya hanya menemukan kata „Rukanah‟ (tanpa Abu-red). Menurut saya adanya tambahan “Abu” ini hanya kerjaan Nussaakh (para penyalin tulisan dari teks asli ke buku berikutnya, dalam istilah sekarang: tukang Copy -red)

Sedangkan Suhaimah adalah Suhaimah binti „Umair al-Muzainah dari Bani Muzainah, sebuah kabilah Mudlar, sekarang bersekutu dengan kabilah Harb dan mendiami bagian barat kawasan al-Qashim (Arab Saudi-red).

PESAN-PESAN HADITS

1. Hadits pertama menginformasikan bahwa tiga kali talak dengan satu kalimat (lafazh) tidak dihitung (dinilai) selain sebagai satu kali talak saja; jika ia bukan merupakan talak yang ketiga (terakhir), maka masih boleh rujuk. Hadits ini merupakan rujukan inti bagi pendapat yang mengatakan demikian.

2. Hadits ke-dua menunjukkan bahwa tiga kali talak yang tidak diiringi rujuk dan nikah (langsung talak tiga sekaligus-red), maka ia merupakan talak bid‟ah yang diharamkan.

(3)

4. Bermain-main dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya adalah haram sekali pun dilakukan sepeninggal Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam. Beliau mengucapkan kata-kata seperti itu tidak lain karena merasa aneh dengan sangat cepatnya perubahan yang melanda berbagai perkara. 5. Indikasi dua riwayat Abu Daud dan Ahmad pada hadits ketiga adalah sama dengan hadits pertama

dari sisi penilaian bahwa tiga kali talak itu terhitung satu kali talak saja dan bahwa seorang suami yang menalak isterinya boleh rujuk kepada isterinya selama talak itu bukan merupakan akhir dari angka talak yang masih dimilikinya (talak ini bukan terhitung yang ketiga kalinya dari talak yang pernah dilakukannya).

6. Sementara riwayat kedua dari Abu Daud di atas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus berlaku sesuai dengan niat orang yang menalak; jika ia meniatkan tiga, maka ia jadi tiga dan jika ia meniatkan hanya satu, maka ia jadi satu, yang memungkinkan untuk rujuk.

7. Riwayat talak tiga sekaligus dalam hadits Rukanah merupakan dalil Jumhur bahwa tiga talak itu merupakan ucapan talak Ba‟in Bainuunah Kubro yang tidak bisa lagi dirujuk kecuali setelah si isteri yang ditalak itu menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai lagi-red.).

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang menalak dengan talak tiga sekaligus atau mengucapkannya dengan tanpa diselingi rujuk dan nikah.

Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa „iddah darinya? Atau kah ia hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya selama masih dalam „iddah, lalu setelah „iddah ia melakukan „aqad baru sekali pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.?

Masalah ini menjadi ajang perdebatan panjang para ulama, bahkan gara-gara mengatakan boleh rujuk (dengan talak tiga sekaligus karena mengganggapnya terhitung satu kali talak-red) ada beberapa ulama yang disiksa, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.

Ringkasan Dari Perselisihan Dan Perdebatan Panjang Itu Adalah:

Pertama.

Jumhur Ulama, di antaranya empat imam madzhab, jumhur shahabat dan tabi‟in berpendapat bahwa tiga talak dengan satu kata (lafazh) adalah berlaku bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak (tiga kali)!” dan semisalnya atau dengan beberapa kata (kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak) sekali pun sebelumnya belum terjadi rujuk dan nikah.

Hadits Rukanah bin „Abdullah bahwasanya ia telah menalak isterinya secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi shallallaahu „alaihi wasallam, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali

saja.?” [Hadits ini dikeluarkan oleh asy-Syafi'i, Abu Daud, at-Turmudzy, Ibn Hibban (dia menilainya shahih) dan al-Hakim].

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah meminta kepada suami yang menceraikan itu agar bersumpah bahwa ia tidak menginginkan dari ucapannya “putus” (talak tiga) tersebut kecuali hanya satu kali saja. Ini menandakan bahwa seandainya ia (suami) menghendaki lebih banyak dari itu (lebih dari satu kali) niscaya terjadilah apa yang diinginkannya.

(4)

Selain dalil di atas, masih banyak lagi dalil yang dikemukakan pendapat ini namun apa yang kami sebutkan tersebut merupakan dalil yang lebih jelas dan secara terang-terangan.

Kedua.

Sekelompok ulama berpendapat tiga talak dalam satu kata (lafazh), atau tiga talak dalam beberapa kata yang tidak diiringi rujuk dan nikah, tidak jatuh kecuali hanya satu kali saja (satu talak). Pendapat ini didukung oleh riwayat dari beberapa shahabat, tabi‟in dan para tokoh madzhab. Dari kalangan shahabat terdapat Abu Musa al-Asy‟ari, Ibnu „Abbas, Ibn Mas‟ud, „Ali, „Abdurrahman bin „Auf dan az-Zubair bin al-„Awwam. Dari kalangan tabi‟in terdapat Thawus, „Atha‟, Jabir bin Zaid dan mayoritas pengikut Ibn „Abbas, Abdullah bin Musa dan Muhammad bin Ishaq. Dan dari kalangan para tokoh madzhab terdapat Daud azh-Zhahiri dan kebanyakan sahabatnya, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Malik, sebagian sahabat Imam Ahmad seperti al-Majd bin „Abdussalam bin Taimiyyah yang memfatwakan hal itu secara sembunyi-sembunyi dan cucunya, Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang memfatwakannya secara terang-terangan dengan memfatwakannya di majlis-majlisnya serta kebanyakan pengikutnya, di antaranya Ibn al-Qayyim yang membela mati-matian pendapat ini di dalam kitabnya al-Hadyu dan Ighaatsah al-Lahafaan. Di dalam kedua kitabnya tersebut, beliau memaparkannya secara panjang lebar, menukil berbagai nash-nash dan membantah pendapat para penentangnya dengan bantahan yang cukup dan memuaskan.

Hadits yang diriwayatkan Muslim, bahwasanya Abu ash-Shahba‟ berkata kepada Ibn

„Abbas,“Tahukah kamu bahwa yang tiga itu dulu dijadikan satu talak saja pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan permulaan masa „Umar.? Ia menjawab, “Ya.” Di dalam lafazh yang lain, “dikembalikan kepada satu talak.?”, ia mejawab, “Ya.”

Ini merupakan nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun dirubah. Sedangkan dari Qiyas, mengumpulkan tiga sekaligus adalah diharamkan dan merupakan bid‟ah sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang bukan berasal dari kami, maka ia tertolak.” Jadi, menjatuhkan (talak) tiga sekaligus bukan termasuk

perkara yang berasal dari Rasulullah SAW sehingga ia tertolak. Bantahan Terhadap Pendapat Pertama

Pendapat ke-dua ini membantah dalil-dalil pendapat pertama sbb:

Mengenai hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat lain lagi terdapat lafazh, “al -Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits Dla‟if/lemah-red)

Imam Ahmad mengatakan, “semua jalur periwayatannya lemah. Sebagian mereka (ulama) mengatakan, di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak dikenal (majhul), di dalamnya terdapat orang yang lemah dan ditinggalkan (periwayatannya tidak digubris).”

(5)

hadits Ibn „Abbas yang sudah dijelaskan (mubayyan) sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ushul fiqih.

Adapun berdalil dengan amalan para shahabat, maka perlu dipertanyakan; siapa di antara mereka yang patut dan lebih utama untuk diikuti?

Jumlah mereka itu (para shahabat) lebih dari ratusan ribu. Bilangan orang yang banyak ini di mana orang nomor satu mereka adalah nabi mereka sendiri, yakni Rasulullah SAW menilai tiga talak tersebut sebagai jatuh satu kali. Hingga akhir hayat Rasulullah, kondisinya tetap seperti itu; khalifah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallaahu „anhu memberlakukan hal itu hingga wafat, lalu ia digantikan khalifah „Umar radliyallaahu „anhu. Di awal pemerintahannya, kondisi tersebut pun masih berlaku sebagai yang berlaku pada masa Rasulullah shallalaahu „alaihi wasallam. Setelah itu lah baru tiga talak itu dijadikan tiga seperti angkanya sebagaimana telah kami jelaskan sebabnya. Jadi, mayoritas shahabat yang wafat sebelum kekhalifahan „Umar tetap menjalankan dan

memberlakukan tiga talak itu dianggap satu kali saja.

Dengan begitu, kita ketahui bahwa berdalil dengan amalan para shahabat radliyallaahu „anhum ajma‟iin telah dibatalkan dengan semi ijma‟ mereka (para shahabat) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallaahu „anhu.

Tentunya, „Umar bin al-Khaththab amat jauh dari melakukan suatu amalan yang bertentangan dengan amalan yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Yang ia lakukan, bahwa ia melihat banyak orang yang terburu-buru dan sering sekali melakukan talak tiga padahal ini merupakan perbuatan bid‟ah yang diharamkan. Karena itu, ia melihat perlunya memberikan pelajaran atas ucapan mereka tersebut sekaligus sebagai sanksi atas dosa yang mereka lakukan. Demikian pula, atas tindakan mereka yang sengaja ingin menyulitkan diri sendiri padahal sudah mendapat kelapangan dan toleransi yang tinggi. Apa yang dilakukan „Umar ini semata adalah sebuah ijtihad layaknya ijtihad yang dilakukan para ulama tokoh di mana bisa berbeda seiring dengan perbedaan zaman dan tidak akan tetap sebagai sebuah produk syari‟at yang mengikat, yang tidak dapat berubah. Yang tetap dan mengikat itu hanya syari‟at pokok dari masalah ini (masalah talak-red).

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, “Jika ia (suami) menalaknya (isterinya) dengan talak tiga dalam masa suci baik satu kata atau beberapa kata seperti „Kamu ditalak, kamu ditalak, kamu ditalak‟ atau „kamu ditalak‟ kemudian berkata lagi, „kamu ditalak‟, kemudian berkata lagi, „kamu ditalak‟, menurut para ulama baik Salaf mau pun khalaf terdapat tiga pendapat dalam hal ini, baik wanita yang ditalak itu sudah disetubuhi mau pun belum:

Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini adalah pendapat asy-Syafi‟i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh al-Kharqy)

Ke-dua, Bahwa hal itu merupakan talak yang diharamkan dan mengikat; ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah dan Ahmad (yang dipilih oleh kebanyakan sahabatnya). Pendapat ini juga dinukil dari kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat dan Tabi‟in.

Ke-tiga, Bahwa ia merupakan talak yang diharamkan dan hanya berlaku satu kali talak saja; ini pendapat yang dinukil dari sekelompok ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat. Pendapat ini juga diambil kebanyakan Tabi‟in dan generasi setelah mereka. Juga, merupakan pendapat sebagian sahabat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.

Tarjih

(6)

orang yang menjatuhkannya sekaligus baik dalam satu kata atau beberapa kata tanpa diiringi dengan rujuk atau pun akad.

Bahkan, di dalam Kitabullah dan as-Sunnah keharusan itu hanya berlaku bagi suami yang menalak hal yang dibolehkan Allah dan Rasul-Nya. Ini didukung oleh Qiyas dan penilaian dengan seluruh prinsip-prinsip syari‟at.

Tidak terjadi pertentangan di kalangan kaum Muslimin bahwa Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam adalah orang yang terjaga dari kesalahan (ma‟shum) dalam apa yang disampaikannya dari Allah (wahyu). Beliau ma‟shum dalam hal yang disyari‟atkannya kepada umatnya menurut ijma‟ kaum Muslimin. Demikian pula, umat Islam terjaga dari berkumpul di dalam kesesatan.

Ada pun masalah „bersumpah dengan talak‟, Ibn Taimiyyah berkata, “Perbedaan antara talak dan bersumpah dengannya amat kentara, juga antara nadzar dan bersumpah dengan nadzar. Bila seseorang meminta hajat kepada Allah seraya berkata, „Jika Allah menyembuhkan penyakitku, melunasi hutangku atau menyelamatkanku dari kesulitan ini, maka aku bersumpah demi Allah akan bersedekah sebanyak seribu dirham, atau berpuasa selama sebulan atau membebaskan budak.‟ Ini adalah mengaitkan nadzar (mensyaratkannya) di mana wajib menepatinya berdasarkan Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma‟.

Bila seseorang mengaitkan (mensyaratkan) nadzar dalam redaksi sumpah, dengan tujuan untuk menganjurkan atau melarang, seperti “Jika aku bepergian bersama kalian, atau jika aku mengawini si fulan, maka aku akan berhaji, atau hartaku akan aku sedekahkan‟; kondisi orang tersebut menurut para shahabat dan jumhur ulama adalah sebagai seorang yang bersumpah dengan nadzar bukan hanya sebagai orang yang bernadzar. Bila ia tidak menepati apa yang telah dikomitmeninya, maka boleh ia menggantikannya dengan kafarat (tebusan) sumpah. WALLAHU A‟LAM

KEPUTUSAN

MAJELIS KIBAR ULAMA

(DEWAN ULAMA-ULAMA BESAR)

Mengenai Masalah Talak Tiga Sekaligus (Dengan satu lafazh) No.18, tanggal 12-11-1393 H

Majelis Hai‟ah Kibar ulama mengatakan: Pembahasan masalah talak tiga dengan satu lafazh. Setelah melakukan pengkajian, urun rembug dan pemaparan pendapat-pendapat yang berbicara tentang hal itu serta mendiskusikan setiap pendapat tersebut; dengan mayoritas suara, majelis memilih pendapat yang menyatakan jatuhnya talak tiga dengan satu lafazh sebagai talak tiga. Ada pun para anggota yang berbeda pendapat mengenai hal ini ada 5 orang, yaitu:

1. Syaikh „Abdul „Aziz bin Baz 2. Syaikh „Abdurrazzaq „Afifi 3. Syaikh „Abdullah Khayyath 4. Syaikh Rasyid bin Hanin 5. Syaikh Muhammad bin Jubair

Mereka berlima memiliki pandangan lain, redaksinya sebagai berikut:

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Rasul-Nya dan keluarga besarnya, wa ba‟du: Kami memandang bahwa talak tiga dengan satu lafazh berlaku hanya satu kali talak saja.

(7)

Syariat islam menjadikan al-khulu‟ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status al-khulu‟ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai atau fasakh (pembatalan akad nikah)?

Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat dalam beberapa pendapat:

1. Pendapat bahwa al-khulu‟ adalah talak bain dan ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi‟i dalam Qaul Jadid.

2. Pendapat bahwa al-khulu‟ adalah talakraj‟i. Ini adalah pandapat Ibnu Hazm.

3. Pendapat bahwa al-khulu‟ adalah fasakh (penghapusan akad nikah) bukan talak. Inilah pendapat

Ibnu Abbas, Syafi‟i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin

Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang muhaddits (fuqaha‟ hadits).

Syekhul Islam menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu‟) adalah

faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu‟ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi‟i dan pendapat mayoritas fuqaha‟ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan

sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan „Ikrimah. [2]

Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut:

Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala,

ِْْإَف ٌٍِّٗا َدُٚذُد بَّيِمُي َلاَأ بَفبَخَي َْأ َلاِإ ًبئْيَش َُُُّٓ٘ٛزْيَرآ بَِِّ ْاُٚذُخْأَر َْأ ُُْىٌَ ًُِذَي َلاَٚ ٍْبَسْدِإِث ٌخيِزْسَر َْٚأ ٍفُٚزْعَِّث ٌنبَسِِْإَف ِْبَرَزَِ ُقَلاَطٌا ٌَُِّْٛبَظٌّا ُُُ٘ َهِئـٌَُْٚأَف ٌٍِّٗا َدُٚذُد َذَعَزَي ََِٓٚ بَُ٘ٚذَزْعَر َلاَف ٌٍِّٗا ُدُٚذُد َهٍِْر ِِٗث ْدَذَزْفا بَّيِف بَِّْٙيٍََع َحبَُٕج َلاَف ٌٍِّٗا َدُٚذُد بَّيِمُي َلاَأ ُُْزْفِخ .

ِْإَف

ٌٍِّٗا ُدُٚذُد َهٍِْرَٚ ٌٍِّٗا َدُٚذُد بَّيِمُي َْأ بََٕظ ِْإ بَعَجاَزَزَي َْأ بَِّْٙيٍََع َحبَُٕج َلاَف بََٙمٍََط ِْإَف َُٖزْيَغ ًبجَْٚس َخِىَٕر َىَزَد ُذْعَث ِِٓ ٌَُٗ ًُِذَر َلاَف بََٙمٍََط ٍََُّْْٛعَي ٍََْٛمٌِ بَُِٕٙيَجُي

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang

telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat

menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat

menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang

diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu

(8)

zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak

halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu

menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah

kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum Allah. Itulah

hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 229–230)

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta‟ala menyebutkan talak dua kali, kemudian

menyebutkan al-khulu‟, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,

ٌَُٗ ًُِذَر َلاَف بََٙمٍََط ِْإَف

Seandainya al-khulu‟ adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak

halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]

Demikianlah yang dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.

Beliau pernah ditanya tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri

melakukan gugatan cerai (al-khulu‟). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab,

“AllahSubhanahu wa Ta‟ala telah menyebutkan talak di awal ayat dan diakhirnya, serta al-khulu‟

di antara keduanya. Dengan demikian, al-khulu‟ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa‟id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih) [4]

Dalil kedua, hadits ar-Rubayyi‟ binti Mu‟awwidz yang berbunyi,

ٍخَضْيَذِث َذَزْعَر َْْأ ْدَزُِِأ َْٚأ ٍَََُسَٚ ِْٗيٍََع ٌٍَُٗا ىٍََص ُيِجٌَٕا بََ٘زََِأَف ٍَََُسَٚ ِْٗيٍََع ٌٍَُٗا ىٍََص ِيِجٌَٕا ِذَْٙع ىٍََع ْذَعٍََزْخا بَََٙٔأ

Beliau melakukan al-khulu‟ pada zaman Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu kali

haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam at-Ta‟liqat ar-Radhiyah „ala ar -Raudhah an-Nadiyah: 2/275).

Seandainya al-khulu‟ adalah talak, tentu beliaushallallahu „alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.

Dalil ketiga, pernyataan Ibnu Abbas,

ٍقَلاَطِث َسْيٍََف ُيبٌَّْا َُٖسبَجَأ بَِ

“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah talak.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalamal-Mushannaf, no. 11767) [5]

Dalil keempat, hal ini sesuai tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak) dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu suami

perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila

(9)

memastikan bahwa rahim tidak berisi janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan

sekali haid saja, seperti al-istibra‟. [6]

Dalil kelima, asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa

yang menunjukkan bahwa al-khulu‟ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta‟ala menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu‟, yaitu:

1. Suami lebih berhak diterima rujuknya.

2. Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga sang wanita

menikahi suami baru dan berhubungan suami-istri dengannya.

3. Iddahnya tiga quru‟ (haid).

Padahal, telah ditetapkan dengan nash dan ijma‟ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu‟. [7]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah [8], Ibnu al-Qayyim [9], asy-Syaukani [10], Syekh

Muhammad bin Ibrahim [11], Syekh Abdurrahman as-Sa‟di [12], serta Syekh al-Albani [13].

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu‟

adalah fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang shahih

yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisah

istrinya dengan tebusan (al-khulu‟) sebanyak beberapa kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.” [14]

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‟di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu‟ tidak

terhitung sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan tebusan

bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafal dan susunan katanya.” [15]

Sedangkan Syekh al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.” [16]

Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini

(10)

1. Tidak dianggap dalam hitungan talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu‟ setelah melakukan dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut,

walaupun al-khulu‟nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan Syekhul Islam di atas.

2. Iddah atau masa menunggunya hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi‟ binti Mu‟awwidz tang telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,

ًخَضْيَد بََٙرَذِع ٍَََُسَٚ ِْٗيٍََع ٌٍَُٗا ىٍََص ُيِجٌَٕا ًََعَجَف ُِِْٕٗ ْذَعٍََزْخا ٍسْيَل ِْٓث ِذِثبَث َحَأَزِْا ََْأ

“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu‟) darinya, lalu Nabi shallallahu „alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud, no. 2229)

Inilah pendapat Utsman bin „Affan, Ibnu Umar, Ibnu „Abbas, Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat

dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

3. Al-Khulu‟ diperbolehkan dalam setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli, karena al-khulu‟ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal bersama orang yang dibenci dan

tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan

Referensi

Dokumen terkait

Perceived value berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen, yang menunjukkan pemberian perceived value yang baik kepada konsumen akan semakin

Diameter lumen arteri koroner kelompok tikus putih yang diberi pakan lemak tinggi + chitosan setelah satu bulan perlakuan (KIV) lebih kecil dibandingkan kelompok III.. Hal

Berdasarkan kurva tersebut dapat diprediksi daya antiinflamasi lotion minyak atsiri bunga cengkeh pada berbagai variasi komposisi propilen glikol dan asam oleat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan power otot tungkai terhadap kemampuan tendangan T pada pesilat putra

Gambar 4.5 NH melakukan Fase Frontal Berdasarkan gambar 4.5 besaran yang dihasilkan saat fase frontal 126.8  dan siap untuk melepaskan peluru.kaki kanan memegang

Cetak Surat Usulan Kenaikan Pangkat PENGAJUAN KENAIKAN PANGKAT PENGAJUAN KENAIKAN GAJI BERKALA UNDANGAN SURAT TUGAS LAPORAN Entry Data Pegawai Entry SK Kenaikan Pangkat.

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Gandarusa ( Justicia gandarussa Burm.) terhadap Kadar Asam Urat dalam Darah Tikus Putih Jantan yang Dibuat Hiperurisemia dengan

dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang pada suatu organisasi sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing–masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi