• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya Komunikasi Non Verbal Saat Pustakawan Melayani Pemustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pentingnya Komunikasi Non Verbal Saat Pustakawan Melayani Pemustaka"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 0216-3609

MENYUARAKAN PEMBAHARUAN DAN KEMAJUAN

BULETIN

SANGKAKALA

SANGKAKALA

Pentingnya Komunikasi

Non Verbal Saat Pustakawan

Melayani Pemustaka

Serat Suryaraja

Kekayaan Budaya Yogyakarta

Tata Cara dan

Teknik Kliping Dalam Rangka

Penyelamatan Informasi

Edisi Kedelapan Tahun 2010

Jogja Library For All (JLA)

“Yang Semestinya Dan

Senyatanya”

Hak Cipta Pada

(2)

Diterbitkan oleh :

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY

Penanggung Jawab

Dra. Kristiana Swasti, M.Si

Pemimpin Redaksi

Dra. Monika Nur Lastiyani, MM

Sekretaris Redaksi

Sulistyadi

Anggota Redaksi

Drs. J Budihartono A.Tuti Wahyuni, SH Drs. Burhanudin, DR

Penyunting

Agung Nugroho, SIP Drs. Y Agustirto S Rini Handayani, SE, M.Si

Meiranti Nurani, SH

Lay Out

M. Rosyid Budiman, SSi Wiwik Tarmini, SIP Fauziah Yulianti, SS FM Sari Astuti, SH

Alamat Redaksi

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY Jl. Tentara Rakyat Mataram No. 29

Yogyakarta

Redaksi menerima sumbangan naskah dari pihak manapun, dengan catatan ditulis dalam bahasa yang mudah dimengerti, 1 1/2 spasi, besar huruf panjang maksimal 6 lembar

folio, lebih baik disertakan foto atau ilustrasi. Redaksi berhak mengedit naskah sesuai dengan yang dibutuhkan dan naskah yang masuk menjadi milik redaksi, keputusan pemuatan ada

pada redaksi.

Sampul depan luar : Grafis oleh ndellz Sampul belakang :

ndellz

SANGKAKALA

STT : 605/SK/Ditjend PPG/SPT/1979 ISSN 0216 - 3609

DAFTAR ISI

4

PENTINGNYA KOMUNIKASI

NONVERBAL SAAT PUSTAKAWAN MELAYANI PEMUSTAKA

HAK CIPTA PADA PERPUSTAKAAN DIGITAL DI INDONESIA

10

HaPe, Sang Biangkerok !

15

JOGJA LIBRARY for ALL (JLA) “YANG SEMESTINYA DAN SENYATANYA”

16

GEGURITAN

21

RESENSI BUKU

19

TATA CARA DAN TEKNIK KLIPING DALAM RANGKA

PENYELAMATAN INFORMASI

24

JOGJA LIBRARY CENTER BPAD DIY SEBAGAI PUSAT PERPUSTAKAAN DI YOGYA

30

DIDAKTIK DALAM SERAT SANGU GESANG

Memaknai Hidup Melalui Pustaka Lama

34

Serat Suryaraja

(3)

Salam Redaksi

Kebutuhan paling mendasar bagi kehidupan manusia adalah pangan, sandang, dan papan. Artinya apabila ketiga hal tersebut terpenuhi orang dapat melangsungkan kehidupannya. Hidup dalam artian biologis !

Tidak demikian untuk dapat diartikan hidup yang sehidup-hidupnya. Apalah artinya hidup secara biologis tetapi tidak memberi arti bagi perjalanan hidupnya?

Berangkat dari konsep bahwa hidup tidak sekedar meniti napas dari pagi hingga petang, maka melebarlah kebutuhan hidup manusia. Bukan sekedar untuk mangan, nyandang, dan mapan.

Kalaupun orang nrima untuk mengejar pangan, sandang, dan papan berarti dapat diartikan mereka sebagai manusia yang sekedar hidup. Atau lebih sederhana lagi sebagai orang yang numpang hidup. Maka sebenarnya tak usah kagum pada mereka yang suka pesta, pamer pakaian, atau pamer kepemilikan rumah, sebab hakekatnya mereka adalah manusia sederhana yang hanya terkungkung oleh konsep hidup yang paling mendasar.

Untuk dapat memberi arti bagi kehidupannya sudah tentu orang mesti menyesuaikan dirinya dengan konteks jamannya. Pada masyarakat primitif yang harus mengangkat pedang untuk membangun kekuasaan, maka orang yang lihai memainkan pedangnya, dialah orang yang berusaha memberi arti hidup. Sudah tentu, berbeda bagi orang yang hidup di era global. Konsep mengangkat pedang menjadi sesuatu yang out of date ! Termasuk pamer kekayaan, hura-hura, atau unjuk kekuasaan, bukan merupakan konsep yang memberi makna hidup yang sesungguhnya. Di era yang ditandai dengan derasnya arus informasi ini adalah mereka yang menguasai informasilah yang dapat diartikan orang yang hidup dengan sesungguhnya. Mereka yang haus informasilah sesungguhnya orang yang memberi makna bagi hidupnya.

Pertanyaannya adalah sejauh mana informasi

BUKU DAN KEHIDUPAN

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

3

menjadi kebutuhan hidup kita?

Kalau toh kita termasuk orang yang masih bangga sering gonta-ganti kendaraan, atau tv, jangan sebut sebagai orang modern. Atau suka ganti hape mewah sekedar untuk prestise, sesungguhnya orang seperti ini termasuk mereka yang mengalami

culture shocks ! Akan tetapi apabila kita senantiasa penasaran mencari buku-buku terbitan terbaru, itulah sesungguhnya langkah tepat untuk

menjadikan hidup menjadi berarti. Dengan kata lain, untuk mengukur sejauh mana hidup memiliki arti adalah apabila menjadikan buku sebagai salah satu kebutuhan hidup. Buku dalam bentuk apapun dan media apapun! Karena buku adalah salah satu sumber informasi. Buku menjadi jendela untuk menatap cakrawala. Buku yang menjadikan seseorang berilmu. Buku yang menuntun kaki kita melangkah maju!

Dalam setiap edisi SANGKAKALA senantiasa mendorong untuk menjadikan hidup kita bukan sekedar ‘numpang hidup’ tetapi hidup yang memiliki makna dengan menjadikan membaca sebagai budaya, serta menjadikan buku sebagai kebutuhan hidup.

Beberapa artikel pada edisi ini membahas mengenai dunia perpustakaan dengan segala romatikanya. Juga tentang ‘mimpi’ jaringan perpustakaan yang tak jua menjadi kenyataan.

Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa SANGKAKALA bukan hakim. Segenap sajian yang

ada bukan berarti statemen final tetapi lebih sebagai

(4)

HAK CIPTA PADA PERPUSTAKAAN DIGITAL

DI INDONESIA :

Suatu tinjauan singkat

P

e r k e m b a n g a n teknologi pada satu bidang selalu akan berpengaruh kepada bidang yang lain, salah satu yang paling besar pengaruhnya adalah kemajuan pada teknologi komputer dan informasi. Perpustakaan yang semula sebagai bidang ilmu yang berdiri sendiri, kemudian digabung dengan bidang informasi menjadi ilmu perpustakaan dan informasi, meskipun masih menjadi perdebatan. Pengaruh ini tidak hanya sebatas

pada definisi bidang ilmu, namun

pengaruh yang sesungguhnya yaitu pada pekerjaan riil perpustakaan. Hal ini menghadirkan tantangan bagi perpustakaan, bagaimana memanfaatkan teknologi tersebut untuk memilih bentuk yang tepat dalam memberikan kemudahan akses informasi bagi penggunanya.

Salah satu pilihan jawaban atas tantangan ini adalah Perpustakaan Digital. Secara sepintas perpustakaan digital

menghadirkan kemudahan akses informasi bagi para pengguna perpustakaan. Kemajuan & perkembangan teknologi komputer dan jaringan memperkuat asumsi ini, hal ini karena teknologi tersebut telah memudahkan transfer/ aliran data/informasi ke berbagai

tempat tanpa ada halangan batas

geografis.

Definisi dan Pengertian

Sampai saat ini belum

ada definisi yang seragam

tentang perpustakaan digital, banyak ahli maupun institusi

yang mendefinisikan

perpustakaan digital menurut cara pandang masing-masing. Beberapa

definisi perpustakaan

digital:

The Digital Library

Federation mendefinisikan

sebagai berikut:

“Organizations that provide the resource, including the specialized

staff, to select, structure, offer

intellectual access to, interpret, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital works so that they are readily and economically

available for use by a defined

community or set of communities”

(Walters dalam Setiarso, ).

T. B. Rajashekar mendefinikan sebagai berikut:

Suwardi

(Pustakawan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

(5)

“a managed collection of information, with associated services, where the information is stored in digital formats and accessible over a network”.

John Millard mendefinisikan sebagai berikut:

“libraries that are distinguished from information retrieval systems because they include more type of media, provide additional functionally and services, and include other stages of the information life cycle, from creation through use. Digital libraries can be viewed as a new form of information institution or as an extension of services libraries currently provide”.

Wikipedia Indonesia

mendefinisikan sebagai berikut:

“perpustakaan yang mempunyai koleksi buku sebagian besar dalam bentuk format digital dan yang bisa diakses dengan komputer. Jenis perpustakaan ini berbeda dengan jenis perpustakaan konvensional

yang berupa kumpulan buku

tercetak, film mikro, atapun

kaset audio, video dll. Isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu komputer server yang bisa ditempatkan secara local, maupun di lokasi yang jauh, namun dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer”.

Definisi-definisi tersebut

menunjukkan bahwa perpustakaan

digital belum didefinisikan secara

jelas untuk dapat dijadikan standar atau acuan dalam dunia pendidikan. Istilah-istilah lain

seperti “Electronic Library” atau “Virtual Library” masih dianggap sebagai sinonimnya dan sering juga digunakan. Karen Drabenstott

menawarkan 14 definisi yang

dipublikasikan antara tahun 1987 sampai 1993 dan berdasarkan ke

14 definisi tersebut Assotiation

of Research Library secara umum menjelaskan bahwa adanya perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh:

Perpustakaan digital bukan a.

merupakan suatu entitas tunggal

Perpustakaan digital b.

memerlukan teknologi untuk menghubungkan banyak sumberdaya, perpustakaan dan pelayanan informasi

Hubungan beberapa c.

Perpustakaan Digital dan pelayanan informasi adalah transparan kepada pengguna akhir

Tujuannya adalah akses secara d.

universal dan pelayanan informasi

Koleksi Perpustakaan Digital e.

adalah tidak terbatas terhadap dokumen, tetapi berkembang pada digital artifacts yang tidak dapat disajikan atau didistribusikan dalam format tercetak.

Pada dasarnya perpustakaan digital itu sama

dengan perpustakaan biasa, satu hal yang membedakannya adalah prosedur kerja berbasis komputer dan sumber informasinya digital. Perpustakaan digital tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sumber-sumber lain dan pelayanan informasinya terbuka bagi pengguna di seluruh dunia. Koleksi perpustakaan digital tidak terbatas pada dokumen elektronik pengganti bentuk cetak saja, ruang lingkup koleksinya malah sampai pada artefak digital yang tidak bisa digantikan dalam bentuk tercetak. Koleksinya menekankan pada isi informasi, jenisnya dari dokumen tradisional sampai hasil penelusuran.

Pengembangan Perpustakaan Digital

‘Cikal bakal’ perpustakaan digital menurut Sulistyo Basuki dan Winy Purtini digagas pertama kali oleh Vannenar Bush pada awal tahun 1940-an (dalam Arif, 2005: 6). Sebagai penasehat Presiden Roosevelt bidang ilmu pengetahuan, dia menghadapi masalah banyaknya informasi (ledakan informasi) dan masih disimpan dalam bentuk analog. Keadaan ini menyulitkan dalam akses informasi khususnya hasil penelitian yang sudah dipublikasikan. Berangkat dari

(6)

keadaan ini dia menggagas

‘thinking machine’ dan sebuah

‘device’ (kemudian disebut

MemEx) yang memungkinkan

seseorang menyimpan buku,

record dan komunikasinya. MemEx kemudian dimekanisasi sehingga memungkinkan konsultasi informasi yang cepat dan luwes.

Keterbukaan akses terhadap koleksi perpustakaan telah diusahakan oleh para pustakawan, peneliti dan pihak-pihak lain pada era 1950-an sampai 1960-an tetapi dengan teknologi yang masih sangat terbatas. Baru pada awal tahun 1980-an beberapa perpustakaan besar melaksanakan otomasi fungsi-fungsi perpustakaan karena masih mahalnya harga perangkat komputer. Pada dasawarsa 90-an hampir semua fungsi-fungsi perpustakaan telah diotomasi, serta berkembangnya komunikasi data antar perpustakaan secara elektronik.

Tahun 1991 delapan universitas yaitu: Carnegie Mellon University, Cornell University, GIT, MIT, University of California, University of Tennesee, University of Qashington, Virginia Polytechnic dan State University bersama Elsevier Science mengadakan kesepakatan kerjasama pengembangan perpustakaan

digital yang kemudian dikenal sebagai TULIP (The University Licensing Project)(dalam Wahono). Tahun 1994, Library of Congress mengeluarkan rancangan

National Digital Library dengan menggunakan penyimpanan, penelusuran dan tampilan teks dokumen secara elektronik. Kemudian tahun 1995 enam universitas di Amerika Serikat yaitu: Carnegie Mellon University, University of Michigan, University of Illinois at Havana, University of California at Barkeley, Stanford University dan University of California at Santa Barbara atas dana dari NSF/DARPA /NASA juga mengadakan penelitian tentang perpustakaan digital. Tetapi upaya nyata mendigitalisasi dokumen kemudian menyebarluaskannya telah dilakukan oleh Michael Hart (ketika masih menjadi mahasiswa Illinois University) dengan cara mendirikan Proyek Gutenberg (PG) tahun 1971 (Gatra, 2005: 34), maka Proyek Gutenberg dapat disebut

s e b a g a i l e m b a g a p e r t a m a d a l a m digitalisasi dokumen.

P e n g e m b a n g a n perpustakaan digital tidak dapat dilakukan secara serampangan, tetapi perlu suatu formulasi yang terencana dengan rapi. Pengembangan ini menyangkut banyak aspek yang ada pada suatu perpustakaan. Formulasi dimaksud adalah adanya suatu perencanaan secara menyeluruh terhadap berbagai aspek yang melingkupi suatu perpustakaan. Perencanaan ini diperlukan untuk mentransformasikan system dari system perpustakaan konvensional/tradisional berbasis koleksi analog ke perpustakaan digital. Transformasi yang diperlukan meliputi formulasi kebijakan, perencanaan strategis secara holistic termasuk aspek hukum (copyrights), standarisasi, pengembangan koleksi, infrastruktur jaringan, metoda akses, pendanaan, kolaborasi, kontrol

bibliografi, pelestarian

dan sebagainya untuk memandu keberhasilan mengintegrasikan tradisional ke format digital.

S e c a r a t e k n i k a l p e r p u s t a k a a n digital dibagi dalam tiga lapisan

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

(7)

dari tampilan sampai ke lapisan dalam yaitu: lapisan portal, lapisan aplikasi, dan lapisan sumber daya. Lapisan portal adalah tampilan untuk memudahkan pengguna mengoptimalkan sumber informasi dalam perpustakaan digital dan sekaligus pelayanan permintaan dan pengiriman informasi/pengetahuan melalui RSS atau e-mail. Lapisan aplikasi meliputi Open URL linking server,

cross-databases Meta-search

engine, OAI service providers that can integrated those resource into a universal knowledge platform. Sedang sumber daya informasi berisi berbagai macam databases, seperti: artificial

intelligent databases, full-text databases, citation databases, dan sebagainya.

Hak Cipta pada Perpustakaan Digital

Hak kekayaan intelektual (HaKI) mempunyai beberapa jenis (ragam), yaitu hak cipta, paten, merk dagang, rahasia dagang, service merk, desain industri dan desain tata letak. Hak Cipta (Copyright) menurut UU No 19 Tahun 2002 adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan

tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta memberi hak kepada pencipta untuk membuat salinan dari ciptaannya tersebut, membuat produk derivatif dan menyerahkan hak-hak tersebut ke pihak lain (lisensi) dan berlaku seketika setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tetap dilindungi oleh hukum meskipun tidak didaftarkan ke Ditjen HAKI.

Di Indonesia, HaKI dalam Perangkat Lunak dimasukkan dalam kategori Hak Cipta (Copyright). Di negara lain, selain Hak Cipta, perangkat lunak juga bisa dipatenkan, meskipun sebenarnya yang dipatenkan adalah ide alias business modelnya (Business Model Patent), contohnya Amazon dengan 1-Click Patent (Wahono, 2008).

Digitalisasi sumber informasi dari sumber-sumber tercetak (buku, jurnal, majalah dsb) dan terekam (pita magnetic, audio, video) menjadi dokumen digital secara teknis dapat dikatakan tidak ada hambatan. Ketersediaan teknologi yang diperlukan untuk proses tersebut telah banyak beredar di pasar. Salah satu hambatan non teknis yang ada saat ini adalah masalah hukum, khususnya tentang hak

cipta (copyright) pada dokumen/ konten. Masalah ini menurut Romi Satrio Wahono terbagi menjadi dua, yaitu:

Hak cipta pada dokumen 1.

yang didigitalkan, termasuk di dalamnya adalah merubah dokumen ke digital dokumen, memasukkan digital dokumen ke databases, merubah digital dokumen ke hypertext dokumen.

Hak cipta pada dokumen 2.

di communication network. Di dalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen melalui computer network

belum didefinisikan dengan

jelas. Hal yang perlu disempurnakan adalah tentang hak menyebarkan, hak meminjamkan, hak memperbanyak, hak menyalurkan baik kepada masyarakat umum atau pribadi, semuanya dengan media jaringan komputer termasuk didalamnya internet, intranet dan sebagainya (Wahono, 1999: 3)

Satu contoh yang telah menjadi perdebatan seru adalah antara Google melawan AAUP (The Association of American University Presses) atau antara Google melawan Uni Eropa. Kerja sama antara Google dengan lima

(8)

perpustakaan terbesar di Amerika Serikat (Universitas Harvard, Stanford, Oxford, Michigan dan New York Public Library) dalam digitalisasi koleksi menurut Givler (Direktur Eksekutif AAUP) akan melanggar undang-undang hak cipta (Gatra, 2005: 34). Sedangkan perdebatan antara Google dengan Uni Eropa lebih merupakan perdebatan masalah budaya.

Untuk mengatasi masalah hak cipta dari dokumen yang digitalisasi telah dilakukan penelitian, yaitu bagaimana mengembangkan manajemen hak cipta secara elektronik. Jalan keluar yang lain misalnya mendigitalkan koleksi yang masa perlindungan hak ciptanya telah habis, seperti yang dilakukan oleh Jepang. Menurut Undang-undang Hak Cipta Jepang, masa perlindungan hak cipta berlaku hingga 50 tahun setelah penulis meninggal dunia. Tetapi langkah ini hanya dapat menjangkau koleksi/informasi yang telah usang. Indonesia (dalam hal ini Perpustakaan Nasional) mengadopsi cara Jepang dalam mendigitalisasi buku, yakni digitalisasi buku yang sudah lewat hak ciptanya (setelah 50 tahun) dan naskah-naskah nusan- tara kuno yang telah berusia 800 tahun bahkan ada yang berusia 1.200 tahun (Kurnia, 2008).

Selain masalah hak cipta pada dokumen/konten, pada perpustakaan digital juga memerlukan adanya software yang digunakan untuk pengoperasian dan sebagaimana diketahui bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka pembajakan software tertinggi di dunia –tahun 2004 peringkat ke 4 (Rachmawati, 2004), tahun 2006 peringkat ke 8 dan tahun 2007 menjadi peringkat ke 12 (Mardoto, 2008) --. Untuk mengatasi masalah ini salah satu solusi yang mungkin adalah menggunakan open source software, meskipun open source software tidak sepenuhnya tanpa lisensi tetapi mempunyai jenis-jenis yang benar-benar bebas/ gratis.

Software yang tersebar di dalam masyarakat ternyata banyak ragamnya, dan sering kali dapat membingungkan orang awam. Untuk lebih memahami dan memperjelas berbagai kategori software yang ada terlebih dulu perlu dicermati diagram Chao-Kuei berikut :

Berdasarkan diagram

tersebut maka perangkat lunak dapat dikelompokkan dalam kategori-kategori seperti berikut ini:

Perangkat Lunak Berpemilik

1. ;

adalah perangkat lunak yang tidak bebas ataupun semi-bebas. Seseorang dapat dilarang, atau harus meminta ijin terlebih dulu, atau dikenakan pembatasan tertentu jika menggunakan, mengedarkan

dan atau memodifikasinya.

Perangkat Lunak Komersial

2. ;

adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh kalangan bisnis/vendor untuk memperoleh keuntungan dari penggunaannya. Kebanyakan perangkat lunak komersial adalah berpemilik, tapi ada perangkat lunak bebas komersial, dan ada perangkat lunak tidak bebas dan tidak komersial.

Perangkat Lunak Semi-3.

Bebas; adalah perangkat lunak yang tidak bebas, tapi mengijinkan setiap orang untuk menggunakan, penyalin, mendistribusikan, dan

memodifikasinya (termasuk

distribusi dari versi yang telah

dimodifikasi) untuk tujuan

tertentu. Perangkat semi-bebas lebih baik dari perangkat lunak berpemilik, tetapi tidak

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

(9)

dapat digunakan pada system operasi yang bebas.

Perangkat Lunak Bebas 4.

(Free Software); adalah perangkat lunak yang mengijinkan siapapun untuk menggunakan, menyalin, dan mendistribusikan, baik

dimodifikasi atau pun tidak,

secara gratis ataupun dengan biaya. Dalam free software

ini harus disertakan kode sumber dari program tersebut. Perangkat lunak bebas mengacu pada kebebasan para penggunanya untuk menjalankan, menggandakan, m e n y e b a r l u a s k a n , mempelajari, mengubah dan meningkatkan kinerjanya. Kebebasan dalam free software

memiliki derajat yang berbeda, yaitu:

Kebebasan 0 : a.

kebebasan menjalankan programnya untuk tujuan apa saja.

Kebebasan 1: b.

kebebasan untuk mempelajari bagaimana program itu bekerja serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, syaratnya kode program disertakan dalam suatu paket program.

Kebebasan 2: c.

kebebasan untuk menyebarluaskan kembali hasil salinan perangkat lunak tersebut sehingga dapat membantu pengguna yang lain.

Kebebasan 3: d.

kebebasan untuk meningkatkan kinerja program, dan dapat menyebarkannya kepada masyarakat umum.

Perangkat Lunak

5. Open Source; beberapa pihak mengartikan sama dengan dengan perangkat lunak bebas.

Public Domain

6. ; adalah

perangkat lunak yang tanpa hak cipta. “Public Domain” merupakan istilah hukum yang artinya tidak memiliki hak cipta. Sebuah karya adalah public domain jika pemilik hak cipta menghendaki demikian.

Freeware

7. ; belum terdefinisi

secara jelas, tetapi biasanya digunakan untuk paket-paket yang mengijinkan redistribusi

tetapi bukan pemodifikasian

(dan kode programnya tidak tersedia).

Shareware

8. ; adalah perangkat lunak yang mengijinkan orang-orang untuk meredistribusikan salinannya, tetapi mereka yang terus menggunakannya diminta untuk membayar biaya

lisensi.

Perangkat Lunak

9. Copylefted; merupakan perangkat lunak bebas yang ketentuan pendistribusiannya tidak memperbolehkan untuk menambah batasan-batasan tambahan, artinya setiap salinan dari perangkat lunak

(walaupun telah dimodifikasi)

haruslah tetap merupakan perangkat lunak bebas.

Perangkat Lunak Bebas 10.

Non-Copylefted; perangkat lunak yang dibuat dengan mengijinkan orang lain untuk mendistribusikan

dan memodifikasi, dan

untuk menambah- kan batasa-batasan tambahan didalamnya.

Perangkat Lunak

11. GPL-covered;

(General Public License) merupakan sebuah ketentuan pendistribusian tertentu untuk meng-copyleft-kan sebuah program. Proyek GNU menggu- nakannya sebagai perjanjian distribusi untuk sebagian besar perangkat lunak GNU.

Sistem GNU

12. ; merupakan sistem serupa Unix yang seutuhnya bebas.

bersambung ke Hal. 28

(10)

Pentingnya

Komunikasi Nonverbal

Saat Pustakawan

Melayani Pemustaka

Oleh: Endang Fatmawati *)

Seandainya kita adalah pemakai perpustakaan (pemustaka) datang ke

perpusta-kaan, lalu kita disapa oleh pustakawan, misalnya “Selamat pagi Ibu?’ (pustakawan

tersebut menyapa sambil mengangkat wajah, menganggukkan kepala, melihat,

dan tersenyum kepada kita). Kira-kira kita sebagai pemustaka senang tidak? Hal

ini tentu sangat berbeda jika pustakawan tersebut tetap menyapa namun dengan

kepala menunduk ke

keyboard

atau layar komputer tanpa sama sekali melihat kita

yang datang.

Layanan Pemustaka

Apa beda pelayanan di perpustakaan dan di bank-bank? Saya rasa pasti jawaban pembaca beraneka ragam. Dalam tulisan ini saya hanya ingin membatasi pada petugas layanannya saja, yaitu pustakawannya. Saat ini di bank-bank banyak menggunakan tenaga

outsourching yang notabene masih muda-muda, can-tik, ganteng, cekatan, enerjik, dan sebutan lainnya yang membuat pengunjung ketagihan datang lagi. Bisakah petugas di bagian layanan perpustakaan juga bisa seperti petugas bank?

D

engan latar belakang inilah, saya menulis ten-tang pentingnya komunikasi nonverbal dalam melengkapi komunikasi verbal pustakawaan saat melayani pemustaka. Sepertinya sepele dan tidak penting, namun saya berani menegaskan bahwa komunikasi nonverbal sangat penting sekali bagi pustakawan di bagian layanan. Alasannya adalah bahwa pemustaka untuk memahami suatu pesan itu tidak hanya melibatkan dengan mendengarkan kata-kata yang diucapkan saja.

Namun demikian adanya suatu isyarat nonverbal pustakawan juga akan menambah kejelasan dari pesan yang disampaikan. Selain itu juga akan mem-bawa makna tersendiri bagi pemustaka, kepuasan batin, seperti suatu bentuk penghargaan terhadap diri pemustaka dan kepuasan layanan. Walaupun sebenarnya isyarat-isyarat komunikasi nonverbal akan membawa makna yang berbeda pada kebu-dayaan yang berbeda. Jadi agar tidak rancu, maka saya fokuskan pembahasan isyarat komunikasi non-verbal ini pada hal umum yang terjadi di budaya dan

(11)

Bisa! Kenapa? Pustakawan di bagian layanan juga bisa bersikap seperti layaknya petugas bank. Bahkan tidak harus outsourching. Bayangkan pada saat kita sebagai nasabah datang ke bank, sudah dengan sigap petugasnya menya-pa dengan ramah sambil bangkit dari duduk, berdiri, membungkuk-kan badan, dan menganggukmembungkuk-kan kepala. “Selamat pagi Ibu...ada yang bisa saya bantu?“ Coba kita rasakan, senang kan kita sebagai nasabah diperlakukan seperti itu.

Bagaimana jika di perpustakaan? Saya rasa juga tidak apa-apa perilaku pustakawan di bagian layanan melakukan seperti itu, na-mun sepertinya masih canggung jika dilakukan, karena sepertinya tidak biasa. Langkah awalnya tidak harus zakelijk seperti itu, namun bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya: berbicara dengan pemustaka dengan melihat, se-nyum, menambah gerakan tangan saat menunjukkan buku, ataupun ekspresi nonverbal lainnya. Saya rasa pemustaka akan lebih nya-man diperlakukan dengan sikap demikian, daripada hanya dengan kata-kata saja. Biar kesannya tidak seperti “robot berjalan“, maka pustakawan di bagian layanan harus berperilaku dinamis, luwes, ekspresif, dan atraktif.

Pembaca, pernahkah mendengar keluhan pemustaka yang tidak mau ke perpustakaan lagi karena petugasnya galak, judes, tidak ramah, njelehi, ngayelke, kaku, dan hal-hal jelek lainnya? Kalau saya pernah mendengar keluhan itu, dan akhirnya saya hanya bisa “mengelus dada“ sambil

beris-tighfar. Sungguh memprihatinkan bukan, jika memang begini kuali-tas pustakawan kita. Wah tapi itu 1:1000 kali ya? he...he...

Komunikasi Nonverbal Pustakawan

Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata, tapi dikemas dengan bahasa tubuh (body language), tanda (sign), tindakan/perbuatan (action) atau obyek. Komunikasi nonverbal akan memberikan arti pada komunikasi verbal.

Beberapa contoh yang termasuk komunikasi nonverbal yang dapat dilakukan oleh pustakawan saat melayani pemustaka adalah seba-gai berikut:

a. Gerak isyarat/isyarat badaniah (gestures).

Menggunakan gerak isyarat dari pustakawan dapat mem-pertegas pembicaraan dan merupakan bagian dari total komunikasi pustakawan kepada pemustaka. Pustakawan hen-daknya membiasakan dengan menunjukkan siap membantu dengan “telapak tangan ter-buka“.

Misalnya: Mengetuk-ngetuk-kan kaki atau menggerakMengetuk-ngetuk-kan tangan selama berbicara da-pat menunjukkan situasi dan kondisi pustakawan saat itu. Pada saat pustakawan jengkel dengan pemustaka ataupun senang, maka sebagai upaya untuk mempertegas dapat melakukan gerak isyarat ter-tentu.

b. Bahasa tubuh (body language).

Bahasa tubuh dicirikan dengan adanya gerakan tubuh (kinesik). Adanya gerakan tubuh dapat menghilangkan grogi pus-takawan saat berbicara. Gera-kan tubuh pustakawan bisa digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frase, misalnya: mengangguk untuk mengata-kan ‘ya’, untuk mengilustrasi-kan atau menjelasmengilustrasi-kan sesuatu, ataupun menunjukkan peras-aan setuju. Kemudian ‘memu-kul meja’ untuk menunjukkan kemarahan, untuk mengatur atau mengendalikan jalannya percakapan, atau untuk me-lepaskan ketegangan.

Contoh bahasa tubuh yang lain, misalnya: Berjabat tangan & salam, kontak mata, ekspresi wajah, posisi tangan, posisi berdiri, posisi duduk, ataupun cara berjalan.

c. Kontak mata (eye contact). Mata sering disebut sebagai ‘jendela hati‘, karena sebagai prediktor paling akurat ten-tang perasaan dan sikap hati dari pustakawan yang berbi-cara tersebut. Kontak mata merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Kontak mata diartikan melihat lawan bicara yang tujuannya untuk memperhatikan dan bukan sekedar mendengarkan saja. Pustakawan sebaiknya menjaga kontak mata langsung dengan pemustaka, tetapi jangan sam-pai berlebihan/terlalu lama. Misalnya: Apabila pustakawan melakukan kontak mata dengan pemustaka, berarti pustakawan tersebut kesannya memperha-tikan dan menghargai pemus-taka.

(12)

d. Ekspresi wajah (facial expres-sions).

Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi, karena ekspresi wajah mencerminkan suasana emosi pustakawan. Bahkan para peneliti pernah memperkirakan bahwa wajah manusia itu dapat menampilkan lebih dari 250.000 ekspresi yang berbeda. Semua ekspresi wajah baik itu disengaja dilakukan oleh pustakawan atau tidak disengaja itu dapat melengkapi atau sep-enuhnya menggantikan verbal.

Misalnya: Menaikkan atau menurunkan alis mata, menger-lingkan mata, menelan ludah, mengeraskan rahang, terse-nyum lebar.

e. Sikap/postur tubuh (posture). Sikap pustakawan yang cen-derung tegak akan mengirim-kan pesan percaya diri, menun-jukkan kompetensi, kerajinan, dan kekuatan. Cara seorang pustakawan berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperli-hatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan

mere-fleksikan emosi, konsep diri,

dan juga tingkat kesehatan pustakawan.

Misalnya: Sebagai wu-jud ketertarikan dan perhatian, maka pustakawan dapat mencondong- kan badan ke arah

pemustaka pada saat menyapa; untuk memban-gun hubungan akrab

de-ngan

pe-mustaka, maka pustakawan da-pat menggunakan sebuah gerak telapak kanan ke atas dengan memulai untuk jabat tangan. f. Sentuhan (touch).

Sentuhan pustakawan meru-pakan bentuk komunikasi personal, karena sentuhan lebih bersifat spontan daripada komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih sayang atau simpati dapat dilakukan melalui sentuhan.

Misalnya: Pustakawan membe-rikan sentuhan tepukan pung-gung kepada pemustaka yang bingung mencari buku di rak, sambil berkata “Sabar ya Pak, saya bantu nyari ya mudah-mudahan bisa ditemukan“. Cara seperti ini merupakan bentuk perhatian pustakawan dan akan lebih menenangkan kondisi pemustaka saat itu.

g. Komunikasi objek (object com-munication).

Komunikasi objek yang paling umum bagi pustakawan

ada-lah terkait dengan

pe-nampilan, seperti: penggunaan pakaian seragam, bros, pin, potongan rambut, simbol-simbol, sandi, ataupun warna. Bagaimanapun pemustaka yang dilayani akan lebih menyukai pustakawan yang cara berpakai-annya sopan, serasi, sederhana, sesuai, dan menarik.

Misalnya: Pustakawan harus

good appearance dalam me-layani pemustaka. Hal ini salah satunya adalah nampak dari seragam yang digunakan, seper-ti kerapian baju, pin, dan kartu pengenal yang dikenakan. h. Dokumen perpustakaan (library

document).

Maksudnya bahwa tampilan keseluruhan dokumen yang ada di perpustakaan juga dapat mengungkapkan pesan nonver-bal. Pustakawan harus dapat menghasilkan pesan yang ditulis dengan penuh ketelitian, rapi, profesional, dan teratur dengan baik.

Misalnya: Pustakawan yang menyetempel kartu anggota perpustakaan, namun tinta cap-nya miring, mengenai muka pas foto, atau terbalik tulisannya. Hal seperti ini dapat mengan-dung pesan nonverbal negatif dari pemustakanya.

i. Suara (sound).

Suara rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu ungkapan perasaan dan pikiran pus-takawan yang dapat

di-jadikan komunikasi. Bila dikombinasikan

dengan se-mua bentuk komunikasi nonverbal

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

(13)

lainnya sampai desis atau suara, maka dapat menjadi pesan yang sangat jelas.

Misalnya: Pustakawan dalam layanan bercerita (story telling), maka agar pesan dapat diterima anak-anak dengan mudah, pustakawan dapat melakukan-nya dengan penuh ekspresif, seperti: menirukan suara ayam berkokok (petok-petok); saat pemustaka berisik, maka pus-takawan dapat mendesis ’ssstt... ssstt‘.

j. Vokalik (paralanguage). Vokalik adalah unsur nonver-bal dalam suatu ucapan, yaitu bagaimana cara berbicara pus-takawan.

Misalnya: keras atau lemahnya suara (intonasi), penekanan nada/kualitas suara, gaya emosi, gaya berbicara, kecepatan berbicara pustakawan, penggu-naan suara-suara pengisi seperti “um”, “mm”, “e”, “i”, “o”, dan lain sebagainya pada saat pus-takawan berbicara.

k. Ruang (room).

Cara pengaturan ruangan bagi pustakawan di tempat kerja da-pat mengirim pesan nonverbal tentang seberapa tingkat keter-bukaan pustakawannya. Selain itu juga kondisi ruang kerja yang berantakan, kotor, dokumen berserakan, semrawut, juga menunjukkan makna tersendiri bagi pemustaka yang melihat. Intinya pustakawan harus dapat menjaga kerapian dan fungsi tempat kerja.

Misalnya: Pustakawan yang me-layani pemustaka dalam ruang sirkulasi sistem tertutup (closed access), maka pesan yang di-tangkap pemustaka juga

seper-tinya layanannya harus sistem tunggu informasi, sehingga pesan yang muncul di benak pemustaka adalah kemungkinan pelayanannya lama.

l. Wilayah (zone).

Setiap pustakawan pasti mem-punyai wilayah sendiri agar merasa nyaman. Begitu juga para pemustakanya. Namun justru yang jadi masalah adalah bahwa jarak antara pustakawan dan pemustaka saat berkomu-nikasi terkadang menimbulkan persepsi yang berbeda. Fungsi dari wilayah ini adalah agar tercipta kedekatan emosional antara pustakawan dan pe-mustaka, untuk menunjukkan kehangatan, dan mengurangi perbedaan status.

Misalnya: Pustakawan yang menyampaikan pesan tentang cara menelusur melalui OPAC, namun pustakawan tersebut tetap berada di dalam counter

petugas dan hanya berbicara verbal saja. Sehingga jarak antar pemustaka dan pustakawan terkesan jauh. Nah dalam kasus ini akan lebih baik apabila pus-takawan mendekat ke pemus-taka dan memraktekkan lang-sung di OPAC ditambah dengan komunikasi nonverbal tentang bagaimana cara menelusurnya. m.Waktu (time).

Bagaimana pustakawan meng-atur dan menggunakan waktu untuk melayani pemustaka akan menunjukkan kepribadian dan sikap pustakawan. Saat me-layani pemustaka, pustakawan dituntut bisa menggunakan waktu secara tepat dan bijak-sana.

Misalnya: Pustakawan yang

melayani pemustaka dengan ketulusan hati sampai memban-tu menemukan informasi yang dibutuhkan pemustaka dalam waktu yang lama, maka hal ini dapat memberikan isyarat ke-sungguhan pustakawan dalam melayani pemustaka.

Menurut Hanna and Wilson (1998: 129) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) fungsi dari kegunaan komunikasi nonverbal, yaitu:

reinforcement, modification, sub -stitution, dan regulation. Apabila diterapkan oleh pustakawan saat melayani pemustaka di bagian layanan, maka dapat saya jabar-kan sebagai berikut:

1.Reinforcement

Maksudnya adalah penguatan dari pesan yang disampaikan pustakawan. Misalnya: pus-takawan perempuan yang sudah lama tidak bertemu seorang Ibu (pemustaka), maka saat bertemu pustakawan tersebut mengatakan verbal “Gimana Ibu kabarnya?” (sambil memeluk Ibu tersebut).

2.Modification

Maksudnya adalah untuk

pe-rubahan/modifikasi dari pesan

yang disampaikan pustakawan sebelumnya. Misalnya: saat pustakawan menjelaskan tata tertib secara verbal, namun karena pemustaka belum pa-ham, maka pustakawan dapat mengambil brosur tata tertib sambil menunjukkan dengan tangan hal-hal yang penting yang perlu ditekankan dari tata tertib tersebut.

3.Substitution

Maksudnya adalah sebagai penggantian dari komunikasi

(14)

verbal pustakawan. Misalnya: perkataan ”iya bisa” tidak harus diucapkan, namun pustakawan bisa cuma mengangguk saja; membolehkan

masuk tidak ha-rus “silahkan”, tapi bisa dengan menggerakkan telapak tangan ke depan.

4.Regulation

Maksudnya adalah bahwa komunikasi nonverbal tertentu

dapat digunakan sebagai bentuk peraturan dari sebuah proses komunikasi atara pustakawan dan pemustaka. Misalnya: “di-larang merokok” dalam ruang perpustakaan (hanya dengan menempelkan poster gambar rokok diberi tanda silang).

Selanjutnya menurut Guffey

(2006: 106) mengemukakan bah-wa komunikasi nonverbal dalam membantu menyampaikan pe-san mempunyai berbagai fungsi, antara lain:

1.Untuk melengkapi dan meng-gambarkan.

Pesan nonverbal dapat

men-jelaskan, memodifikasi, atau

memberikan rincian untuk sebuah pesan verbal. Sebagai contoh pustakawan dalam menggambarkan ukuran sebuah buku, dapat menggunakan jari-jarinya untuk membuat jarak 24 cm.

2.Untuk memperkuat dan mene-kankan.

Pustakawan dalam menyam-paikan pesan penting berupa teguran atau peringatan kepada pemustaka bisa dengan nada

“ya” secara verbal, tetapi kemu-dian juga menunjukkan komu-nikasi nonverbal dengan meng-garuk kepala atau menggigit jari. Inilah salah satu contoh bentuk untuk menyangkal dan menunjukkan pesan sepertinya keberatan untuk mengatakan ”ya”.

Penutup

Pustakawan perlu memahami komunikasi nonverbal agar tidak terjadi ketidakkonsistenan antara komunikasi verbal dengan nikasi nonverbal. Intinya komu-nikasi nonverbal penting untuk dilakukan pustakawan dalam melayani pemustaka sebagai pe-lengkap dari komunikasi verbal. Adanya komunikasi nonverbal tersebut diharapkan pesan yang disampaikan oleh pustakawan akan lebih mudah diterima oleh pemustaka. Jadi komunikasi non-verbal sangat penting dilakukan oleh pustakawan di bagian layan-an agar pemustaka merasa puas dengan layanan pustakawan.

Daftar Pustaka

Guffey, Mary Ellen. 2006. Komu -nikasi Bisnis: Proses & Produk (terjemahan). Jilid 1. Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat. Hanna, Michael S. and Wilson,

Gerald L. Wilson. 1998. Com-municating in Business and Professional Settings. Fourth Edition. New York: McGraw Hill.

*) Kepala Perpustakaan FE UNDIP & Dosen LB Program (D3 KS-FE, D3 APS-FISIP, S1 Ilmu Perpustakaan FIB UNDIP).

suara yang tinggi agar terkesan tegas. Sementara bisa dengan suara pelan pada saat

memberi-kan pesan yang sifat-nya rahasia.

3.Untuk mengubah dan menggantikan. Banyak isyarat bisa

digunakan untuk menggantikan

kata-kata yang diucap-kan. Pustakawan

dapat menaruh jari telunjuk di depan mulut untuk menggantikan kata “jangan ramai”; mengang-kat bahu untuk menggantikan ‘tidak tahu’.

4.Untuk mengendalikan dan me-ngatur.

Pesan nonverbal merupakan pengatur yang penting dalam percakapan. Pustakawan pada saat berbicara dengan dengan pemustaka dapat memberikan komunikasi nonverbal dengan tujuan untuk meneruskan, mengulangi, merinci, bergegas, atau menyelesaikan. Misalnya: perubahan kontak mata, gera-kan kepala yang ringan, peruba-han sikap badan, menaikkan alis mata, mengernyitkan dahi, ataupun perubahan nada suara. 5.Untuk menyangkal.

Pesan yang disampaikan ber-lawanan dengan kata atau tindakan. Misalnya pada saat pemustaka masih sibuk men-cari buku yang mau dipinjam, namun waktu layanan perpusta-kaan sudah saatnya tutup. Lalu pemustaka meminta perpanjan-gan waktu kepada pustakawan untuk tidak ditutup dulu. Nah dalam kondisi seperti ini pus-takawan mungkin menjawab

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

(15)

D

i tengah hiruk pikuk pengumuman ujian nasional SMP, lewat media televisi beberapa waktu lalu, seorang guru melontarkan komentar yang cukup menarik. Dikatakan bahwa menurunnya prestasi keberhasilan ujian nasional adalah karena siswa cenderung lebih banyak memegang HP daripada memegang buku.

Setidak-tidaknya komentar tersebut adalah benar bila

dihubungkan dengan kenyataan. Betapa saat ini, kapanpun dan dimanapun dapat ditemua orang ber-HP-ria di tengah aktivitas lain. Barangkali hanya orang tidurlah yang tidak memegang HP. Menunggu bis, makan di kantin,

ngobrol, bahkan

ketika mengikuti pelajaran atau berkendara pun asyik berhape. Masalah ada korelasi dengan penurunan prestasi ujian nasional atau tidak, perlu data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Terlepas dari tudingan HP sebagai biang kerok penurunan prestasi ujian nasional, yang jelas masyarakat Indonesia, tidak kecuali kaum terpelajar saat ini, terjangkit fenomena culture shocks. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi, termasuk teknologi komunikasi, wajib untuk diikuti. Akan tetapi kesiapan kita secara kultural yang belum siap. Kiranya pesan dari para pendahulu yang mengatakan : ”Aja gumunan lan aja kagetan,”

masih menemukan relevansi untuk konteks masa kini.

Penggunaan HP oleh sebagian remaja kita sebenarnya bukan didasarkan pada azas kemanfaatan tetapi lebih banyak berangkat dari

sikap gumunan. Sayangnya, sikap

gumunan ini tidak mendorong

kreatifitas untuk menciptakan

tetapi memberikan rangsangan untuk sekadar menggunakan. Lebih mengerikan lagi, sikap

gumunan ini juga muncul ketika melihat iklan di media massa yang cenderung konsumeristik. Rasa ingin dianggap moderen, gaul, trendy atau sebutan lain akhirnya mendorong remaja kita untuk bergaya dengan teknologi tanpa kemanfaatan yang jelas.

Handphone yang semestinya dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi yang bermanfaat akhirnya menjadi bagian dari asesoris yang harus dikenakan dalam penampilan remaja kita. Prestise! Itulah yang sekedar ingin digapai oleh sebagian besar masyarakat kita.

Tidak berhenti sampai di situ. Efek berantai dari kekonyolan inipun muncul. Kejahatan

seks lewat facebook dan yang sejenisnya adalah menu yang senantiasa dapat dinikmati dalam tayangan berita. Atau berapa besar uang orang tua yang hilang sia-sia hanya untuk sekedar hura-hura. Bahkan kerugian sosial serta kultural yang diderita generasi muda kita yang terbuai dalam

HaPe, Sang Biangkerok !

Oleh : Burhanudin DR

bersambung ke Hal. 33

(16)

JOGJA LIBRARY

for ALL (JLA)

“YANG SEMESTINYA DAN SENYATANYA”

Oleh : Widodo Sunarno

Mendengar Jogja Library for All (JLA) atau lebih dike-nal dengan istilah Jogjalib maka angan-angan kita akan menuju ke dunia maya dimana terdapat sebuah perpustakaan yang menyediakan layanan dengan koleksi lengkap

se-hingga memudahkan kita mencari informasi sesuai kebutuhan.

Namun angan-angan itu sedikit tertunda ketika akses Jogjalib sering byar pet kadang no-ngol kadang tidak bagaikan puisi “antara ada

dan tiada”. L a

-t a r b e l a k a n g pembangunan Jogjalib berawal dari komitmen Yogyakarta un-tuk menjadi pusat pendidikan, kebudayaan dan tujuan terkemuka di Asia. Secara garis besar terdapat dua misi utama dalam Jogjalib. Pertama membu-ka akses bagi masyaramembu-kat umum di semua membu-katalog di Yogyakarta. Kedua adalah menyediakan Silang Layan agar dapat memanfaatkan fasilitas dan layanan dari berba-gai perpustakaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

(17)

Jogjalib menyajikan layanan dan informasi yang dimiliki oleh perpustakaan unit dari berbagai perpustakaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Jogjalib seluruh perpustakaan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan terhubung dalam satu jaringan yang dikelola oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Cara penyajian Jogjalib adalah dengan membangun katalog online bersama yang dapat diakses melalui http://www.

jogjalib.jogjakarta.go.id. Koleksi-koleksi yang disajikan secara online ini menyediakan informasi katalog bersama yang diawali dari anggota Jogjalib perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jogjalib juga mendapat apresiasi yang baik dari sekolah-sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan mengungkapkan keinginannya untuk bias bergabung di dalamnya.

Tahap pertama Jogjalib dimulai pada tahun 2006 dengan membuka katalog online yang hingga saat ini telah terwujud katalog online 18 perpustakaan perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi :

- UGM (Universitas Gadjah Mada)

- UNY (Universitas Negeri Yogyakarta)

- UII (Universitas Islam Indonesia)

- ISI (Institut Seni Indonesia) - USD (Universitas Sanata

Dharma)

- UPN (Universitas

Pembangunan Nasional) - UAD (Universitas Ahmad

Dahlan)

- UAJ (Universitas Atmajaya) - UKDW (Universitas Kristen

Duta Wacana) - UMY (Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta) - AMIK (Akademi Manajemen Ilmu Komputer) Kartika Yani - STPN (Sekolah Tinggi

Pertanahan Negeri)

- UIN (Universitas Islam Negeri) - STIE (Sekolah Tinggi Ilmu

Ekonomi) YKPN

- STMIK (Sekolah Tinggi Managemen Ilmu Komputer) AMIKOM

- ATK (Akademi Teknologi Kulit) - UJB (Universitas Jana Badra) - STPMD (Sekolah Tinggi

Pemerintahan Masyarakat Desa)

Tahap kedua Jogjalib adalah terjadinya kesepakatan kerjasama Silang Layan yang telah diikuti oleh 7 perpustakaan perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi : - UGM (Universitas Gadjah

Mada)

- UII (Universitas Islam Indonesia)

- UAJ (Universitas Atmajaya) - UKDW (Universitas Kristen

Duta Wacana)

- USD (Universitas Sanata Dharma)

- UPN (Universitas

Pembangunan Nasional) - UIN (Universitas Islam Negeri)

Silang Layan Jogjalib antar perpustakaan unit dapat

dioperasionalkan melalui kesepakatan kerjasama. Silang Layan Jogjalib merupakan

keinginan bersama perpustakaan unit yang tergabung di dalam Jogjalib untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Yogyakarta menuju visi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pusat pendidikan terkemuka. Keanggotaan perpustakaan unit dapat bertambah sesuai permintaan. Kesepakatan kerjasama Silang Layan dituangkan dalam Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang lampirannya merupakan materi yang disepakati.

Konsep Regulasi Silang Layan Jogjalib dapat dijabarkan sebagai berikut :

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berkedudukan sebagai koordinator Silang Layan Jogjalib yang dalam pelaksanaannya dibentuk Tim Pengelola. Tim Pengelola melaksanakan tugas pemantauan perkembangan dan pemanfaatan Silang Layan Jogjalib. Tim Pengelola melakukan pertemuan koordinasi secara berkala.

Perpustakaan unit memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga dan melindungi data dan informasi yang dikelolanya. Perpustakaan unit wajib menyediakan sumber informasi, alat temu kembali minimal OPAC (Online Public Access Catalogue), akses internet, hotspot, mesin fotocopy, ruang dan meja baca yang memadai dan

(18)

fasilitas lainnya. Perpustakaan unit wajib memperbaharui data koleksi secara real time atau secara langsung. Perpustakaan unit menggunakan dan

memanfaatkan fasilitas yang disediakan koordinator untuk kepentingan Silang Layan

Jogjalib. Perpustakaan unit wajib menyediakan petugas khusus yang memahami Silang Layan Jogjalib.

Anggota Silang Layan Jogjalib adalah mahasiswa dan

masyarakat umum Daerah Istimewa Yogyakarta. Identitas anggota yaitu smartcard

yang dikeluarkan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dan dapat digunakan untuk memanfaatkan fasilitas dan layanan perpustakaan unit Silang Layan Jogjalib. Anggota berhak menggunakan koleksi yang tersedia sesuai ketentuan perpustakaan unit seperti : buku, terbitan berkala, karya akademik, dan karya ilmiah dalam bentuk cetak maupun elektronik. Anggota berhak menggunakan fasilitas dan sarana prasarana seperti: ruang baca, hotspot, alat temu kembali elektronik, cetak dokumen, fotocopy, scan dokumen, tempat ibadah, dan kamar kecil sesuai dengan aturan di perpustakaan.

Pengadaan kartu anggota Silang Layan Jogjalib berupa

smartcard difasilitasi oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Setiap kartu memiliki nomor kartu unik yang menjadi nomor induk pengguna Silang

Layan Jogjalib. Setiap kartu berlaku untuk 1 orang dan tidak dapat digunakan oleh orang lain. Kartu anggota berlaku selama 2 tahun dan dapat diperpanjang. Kartu anggota smartcard yang hilang dapat diganti dengan melampirkan surat keterangan hilang dari perpustakaan unit atau kepolisian setempat,

dengan biaya sama Silang Layan Jogjalib dilakukan di Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Tentara Rakyat Mataram 4 Yogyakarta. Pendaftaran kartu harus disertai dengan fotocopy identitas yang berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta. Biaya pendaftaran anggota sebesar Rp 15.000/orang

Biaya masuk dan baca anggota Silang Layan Jogjalib di

perpustakaan unit sebesar

Rp.4000/hari atau Rp.30.000/ bulan. Apabila mnghilangkan sebagian atau seluruh bahan pustaka, anggota wajib mengganti dengan bahan pustaka yang baru. Merusak sebagian atau seluruh komponen/perangkat jaringan internet akibat kealpaan anggota, diwajibkan membetulkan/

mengganti bagian yang rusak atau hilang. Keanggotaan

Silang Layan Jogjalib akan dicabut bila melanggar disiplin sebanyak 3 (tiga) kali.

Ternyata implementasi Silang Layan Jogjalib juga belum bisa berjalan

sesuai dengan konsep regulasinya. Aplikasi

smartcard masih belum maksimal sehingga perlu alternatif lain yang

lebih sederhana. Biaya pendaftaran, masuk dan baca bagi anggota Silang Layan Jogjalib masih

dirasa mahal sehingga perlu ditinjau kembali. Tentu saja merupakan tugas besar dan tantangan

bagi Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai koordinator Jogjalib dan Perpustakaan Unit sebagai anggota Jogjalib agar eksistensi Jogjalib dapat dipertahankan dan berkembang. Kerja keras ini demi mewujudkan sebuah harapan bahwa masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta lebih mudah mencari informasi, mengakses, dan berbagi informasi sehingga pada akhirnya akan mencerdaskan bangsa ini.

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

(19)

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

19

M

asa reformasi tidak bisa dipungkiri membawa perubahan tersendiri bagi Indonesia. Memasuki awal periode ini, lembaga legislatif dan lembaga kepresidenan mengalami perubahan yang dinamis

dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Parlemen, misalnya, berhasil mengesahkan sejumlah perundangan dan ketetapan yang membuka ruang terjadinya pembaruan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Salah satunya di bidang jurnalistik.

Suhu politik di awal masa reformasi yang sering kali

memanas, membuat pemberitaan sejumlah media sering kali

dibumbui dengan sejumlah keputusan elit politik yang erratic, tidak berpola dan kadang tidak rasional dalam perspektif manajemen pemerintahan dan politik. Kisruh dan pertarungan politik tingkat elit, kontroversi, berita pelintiran, demonstrasi mahasiswa, DPR Jalanan, dan lain sebagainya seakan menjadi jargon-jargon yang setiap hari dikunyah masyarakat melalui media elektronik, cetak maupun televisi.

Bahkan, pemberitaan media sempat diwarnai tarik menarik kekuasaan antara kutub legislatif (DPR-MPR) dan lembaga

eksekutif (kepresidenan) yang saling menuding ketidakefektifan masing-masing dalam

menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat. Iklim politik

ini yang sempat mencapai titik puncak saat Presiden KH Abdurrahman Wahid, melontarkan pernyataan yang cukup kontroversial melalui media massa, “DPR kok kayak Taman Kanak-kanak”.

JUDUL

: Hari-hari Terakhir Gus Dur di Istana Rakyat

PENULIS

: Andreas Harsono et.al.

PENERBIT

: Pensil 324 Jakarta

CETAKAN

: Desember 2009

TEBAL

: x + 68 halaman.

(20)

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

20

Dari balik menggeloranya bidang jurnalistik masa reformasi seperti itulah, buku ini membingkai tingkah polah para pelaku media, terutama dalam meliput hari-hari terakhir diturunkannya presiden Abdurrahman Wahid, atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur. Sejumlah kisah di balik redaksi yang biasanya tidak terekspos khalayak, dikemas dengan

menggunakan bahasa yang cukup ringan dalam bab-bab buku ini.

Seperti suasana kantor redaksi RCTI yang semula meriah

mendadak berubah menjadi surut, lantaran rencana piknik awak redaksi ke Puncak dibatalkan seketika saat mereka mengetahui kabar bahwa Gus Dur akan

melantik kepala Polri yang baru. Para kru menilai manuver politik Gus Dur ini bisa memancing lawan-lawan politiknya menggelar Sidang Istimewa MPR. Dengan kata lain: Pemecatan! “Jadi acara dibatalkan dan semua siaga,” ungkap Atmadji Sumarkidjo, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI seperti yang terangkum dalam bab ‘Pelantikan Kapolri yang Kontroversial’.

Buku terbitan Pensil-324 ini berisikan kumpulan laporan yang dikerjakan oleh Andreas Harsono dan tim dari kantor berita Pantau selama tiga hari menjelang

pencabutan mandat Abdurrahman Wahid oleh MPR, pada 23 Juli 2001. Dalam rentan waktu yang cukup singkat itu, wartawan-wartawan Pantau, seperti Agus Sudibyo, Coen Husain Pontoh, Dyah Listyorini, Elis N. Hart, dan Eriyanto mengulas cukup detail

peran media dalam memanaskan iklim politik pada detik-detik menjelang lengsernya tokoh Nahdatul Ulama tersebut.

Dalam bab ‘Rapat Paripurna MPR’, misalnya, tim penulis memaparkan secara gamblang bagaimana gesekan antara legislatif dan eksekutif telah sebegitu runcingnya. Dalam bab ini, mereka menampilkan peran sebuah siaran langsung televisi mampu membuat Sidang Paripurna MPR yang sedianya dimulai pukul 10.00 WIB tertunda, lantaran banyak anggota MPR menyaksikan konferensi pers yang digelar Gus Dur dari Istana Negara. Pada siaran langsung tersebut, Gus Dur menyatakan tidak akan menghadiri sidang MPR dan mempertanyakan keabsahan sidang itu. Sementara itu di Senayan, para politisi yang menonton siaran langsung tersebut tertawa terbahak-bahak sambil berteriak hu.. hu.. hu... ketika Gus Dur meninggikan suaranya.

Pada bab lain, tim penulis berupaya mengkritisi praktek Media di Indonesia yang sering kali mengorbankan waktu dalam mengecek kebenaran informasi, demi mengejar deadline. Hasilnya, ada wartawan di Istana Negara yang pada Hari Minggu petang, 22 Juli 2001, dibentak oleh Gus Dur dan dibilang “tukang melintir” karena asumsi dalam pertanyaannya, soal kerjasama Gus Dur dan Rachmawati Soekarnoputri, bertentangan dengan fakta.

Meski buku ini secara garis besar mencoba mengungkap secara kronologis peran dan perilaku media di masa penurunan Gus Dur, namun cakupan lingkup liputan yang hanya berkisar pada Media di Ibu Kota, membuat buku ini terasa kurang ‘menggigit’. Sebab disadari atau tidak, peran Gus Dur sebagai Tokoh Agama yang memiliki banyak pengaruh, terutama di kawasan Jawa Timur, tentu kurang ter-cover secara optimal. Terlebih, di wilayah itu juga terdapat media yang memiliki peran dan pengaruh

cukup signifikan, seperti Harian

Jawa Pos, Surabaya misalnya.

Selain itu, meski disejumlah bab dibahas mengenai subyek keakurasian berita, namun Editor buku ini sendiri membuat cukup banyak kerancuan dengan memuat inakurasi informasi dimana Metro TV disebutkan mulai operasi pada Desember 2000, namun di alinea lain disebut Desember 2001. Seharusnya editor mampu membenahi hal seperti ini.

(21)

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

21

PANGURIPAN

Gagat raina

Manuk ngoceh, mancat gegodhongan golek pangan golek hawa

pitik-pitik padha metu, nucuk wit-witan ora beda manungsa kang golek pangupa-jiwa

rebut dhucung, nyadhong sihing Gusti

Rebut dhucung Rebut rejeki

endi papan kang cumawis dalan rejeki nalika srengenge wiwit ngatonake sorot sumorot padhang, menehi nyawa kabeh donya warata tanpa sela

Endi kang sregep, iku kang begja endi kang sungkan bakal kelangan dalan rejeki tanpa pilih-pilih bakal dadi sandhangane titahing Gusti ing donya apa wae kang sarwa kumelip

Aja selak aja maido yen Gusti ora sare

Gusti bakal adil marang sarwa kumelip bakal paring kanugrahan

marang kang pasrah lan sumarah sabarang kersaning Gusti

Aja selak aja maido

dalan rejeki gumelar gilar-gilar sapa kang pasrah sumarah bakal begja kang jail nemu cilaka

mula aja lali aja lena elinga sangkan paranmu

MRAPI

Mrapi kang endah

nalika wayah esuk tanpa mendhung katon pucak kang kumelun

gagah kebak wadi endah edi peni

dening soroting bagaskara Mrapi kang galak

nalika wadhuke kebak geni panas banjur watuk mutahke bebaya kang nrajang sarwa tumuwuh tanpa welas tanpa pamit kabeh kang katrajang musna

Mrapi kang galak kebak bebaya kaya buta luwe ngangah-angah alas gumuk tanpa suwala kabeh kang katrajang musna tanpa lari tanpa suwala tanpa bisa endha tan bisa selak kabeh ilang tanpa lari

Nalika watuke mendha alas gumuk kang tinrajang dadi rejekining manungsa

kang banjur ngeruk bandha bandhu wujud pasir

kanggo pangupajiwa

kanggo garaning urip sagotrah

Nanging manungsa

apa eling yen bageyane mung sethithik? kabeh bakal dikeruk

nganti tapis nganti gusis

lali marang alam kang kudu dijaga sebab yen alame murka

manungsa kang bakal gela

NALIKA ALAS ILANG

nalika alas ijo royo-royo

gumuk kandel dening oyot bebondhotan kayu-kayu gedhe tumiyung edhum papaning manuk nucuk lan ngoceh kewan galak ngaub soring ringin katon ayem

nanging

dumadakan manungsa srakah babad alas tanpa etung

kayu-kayu gelondhongan binabad gusis kagendeng murkaning hawa

ngelaking bandha donya ngrusak rahayuning alam

Nalika alas ilang Manungsa mapag bebaya gumuk longsor kali banjir bandha kontal awak rusak jiwa raga ngrerintih sambat marang Gustine eling yen wus gawe luput nanging wus kasep bandha donya wus entek kari badan sepata

mecaki dalan peteng sakdawaning urip

Kaanggit dening :

(22)

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

22

Salah satu aktifitas keseharian petugas layanan Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY. Tampak dalam gambar, petugas sedang melayani para pemus-taka yang meminjam dan mengembalikan bahan pus-taka.

Seminar Ilmiah dan Musyawarah Daerah (Musda) Peng-urus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi DIY yang diselenggarakan di aula BPAD Provinsi DIY pada tanggal 10 Februari 2010 dengan mengambil tema “Masa Depan Pustakawan di Era Digital dan Akreditasi Profesi”

Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Pustakawan yang dise-lenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY bertempat di Hotel Sahid Raya pada tang-gal 9 Maret 2010.

(23)

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

23

Program Dialog Interaktif yang ditayangkan di Jogja TV pada tanggal 10 April 2010 membahas tentang Pengembangan Perpustakaan Digital di Provinsi DIY dengan menghadirkan Dra. Kristiana Swasti, M.Si selaku Kepala Badan Perpus-takaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY, beserta George Iwan Marantika, MBA se-laku Rektor Universitas Kristen Immanuel, Yogyakarta.

Salah satu aktifitas keseharian petugas layanan Badan

Para peserta Workshop Pemasyarakatan Perpus-takaan dan Minat Baca bertempat di BLPT Yogya-karta yang diselenggarakan pada tanggal 10 Maret 2010 tampak antusias dalam mengikuti acara.

(24)

PENDAHULUAN

Perpustakaan sebagai sumber informasi mempunyai peranan strategis dalam bidang

pengelolaan dan penyebarluasan informasi. Seiring dengan

dinamika kehidupan masyarakat yang berlangsung sangat cepat dan sulit diduga,

terdapat

kecenderungan peningkatan peranan dan pemanfaatan

informasi. Oleh karena itu perpustakaan harus cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu. Di samping itu diperlukan sikap proaktif dan inovatif sesuai dengan tuntutan kebutuhan

masyarakat.

Salah satu jenis koleksi yang

ada di

perpustakaan adalah terbitan berkala. Terbitan berkala seperti jurnal, majalah, dan surat kabar memiliki peranan penting dalam penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan. Terbitan berkala mampu menampung berbagai ide, pemikiran, dan menyebarkannya ke masyarakat. Selain itu dalam penyampaian informasi, terbitan ini lebih cepat dari pada buku. Sedangkan kandungan informasinya dapat diakses

TATA CARA DAN TEKNIK KLIPING

DALAM RANGKA

PENYELAMATAN INFORMASI

(25)

berulang kali bila dibanding dengan informasi yang disampaikan media pandang dengar atau tatap muka. Terbitan berkala yang berisi kekayaan intelektual ini akan selalu menarik dan diperlukan oleh masyarakat terutama

masyarakat ilmiah. Melalui media ini, mereka mampu menyebarkan pemikiran, ide, teori, dan

hasil-hasil penelitian mereka. Disamping itu, mereka juga dapat mengakses informasi ilmiah yang mutakhir.

Mengingat pentingnya peran dan fungsi terbitan berkala, maka perlu adanya langkah-langkah penyimpanan, pengawetan, dan pelestarian terbitan ini. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara kliping.

PENGERTIAN

Kliping dapat diartikan sebagai guntingan artikel atau berita dari surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya yang dianggap penting untuk disimpan dan didokumentasikan yang disusun dengan sistem tertentu dan dapat dijadikan sebagai sumber informasi. Kliping dapat pula diartikan sebagai bentuk penyajian artikel, berita, atau jenis tulisan lain yang pernah dimuat di media cetak dengan cara menggunting dan menempelkannya pada lembaran kertas atau bahan lain, agar lebih mudah untuk menemukannya kembali bila sewaktu-waktu diperlukan.

Penyusunan kliping dapat dikelompokkan menurut tema yang sesuai, misalnya kliping yang

berisi artikel atau berita tentang sebuah instansi, organisasi, kota, daerah, tempat penting, atau tokoh terkenal. Penyusunan kliping yang demikian ini dapat dikategorikan untuk suatu keperluan atau dokumentasi di kalangan sendiri.

TUJUAN KLIPING

Menambah koleksi bacaan 1.

Bagaimana bentuk dan jenisnya, kliping biasanya merupakan bahan bacaan yang sebelumnya sudah diseleksi karena dianggap mempunyai nilai informasi atau nilai ilmiah sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan

Menyimpan dan melestarikan 2.

ide, gagasan pemikiran seseorang

Hasil pemikiran, ide, gagasan seseorang perlu disimpan agar generasi penerus dapat mengembangkannya.

Menyebarluaskan ide, gagasan 3.

pemikiran seseorang kepada orang lain

Kliping merupakan upaya penyebaran ide, gagasan, pemikiran dan pengalaman seseorang kepada orang lain, sekaligus sarana sambung pengertian antara penulis dan pembaca

Mengumpulkan dan 4.

memperkenalkan informasi baru

Tulisan bersifat informasi yang dimuat di media cetak biasanya berbentuk berita, sedangkan yang bersifat analisis-analisis dalam bentuk

artikel. Dengan dibuat kliping, tulisan yang bersifat informasi dan analisis tersebut bisa kembali diketahui oleh siapa saja yang membacanya.

Dengan demikian kliping dapat membantu memperkenalkan kembali informasi atau analisis yang sebelumnya pernah dimuat di media cetak untuk semua lapisan masyarakat.

Memupuk kreatifitas

5.

Menggunting dan menempel berita, artikel dari surat kabar, majalah dan sebagainya pada kertas merupakan seni dan kreativitas tersendiri. Dalam hal ini perlu kecermatan dan ketelitian penyusunannya dalam pengaturan tata letak/ lay out.

SUBYEK KLIPING

Langkah awal dalam pembuatan kliping adalah menentukan subyek kliping yaitu untuk menciptakan keseragaman topik tulisan yang akan dimuat di dalam kliping. Topik tulisan harus seragam agar tidak menyulitkan si pembuat kliping untuk

menemukan kembali subyek tulisan tertentu bila sewaktu-waktu diperlukan. Menurut keseragaman topiknya subyek kliping dapat dikelompokkan sebagai berikut; adat istiadat,

agama, bahasa, budaya, biografi, ekonomi, filsafat, hukum,

pengetahuan alam, internasional, kependudukan, lingkungan hidup, kesehatan, pariwisata, pendidikan, pembangunan, pertanian, perpustakaan, industri, politik, rumah tangga, sastra, budaya, sejarah, teknologi dan sebagainya.

(26)

TEKNIK PENGAMBILAN TULISAN

Hal hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan tulisan yang akan diklipingkan adalah sebagai berikut:

Pemilihan tulisan harus 1.

disesuaikan dengan subyek kliping yang sudah ditentukan.

Tulisan yang diambil 2.

hendaknya jenis tulisan ilmiah dari salah satu cabang ilmu pengetahuan.

Bila kliping berisi guntingan 3.

berita, sebaiknya dipilih berita yang bersifat informatif dan tidak basi meskipun zaman terus berubah

Sebelum membuat kliping, yang perlu dilakukan

pertama kali adalah banyak membaca surat kabar, majalah, jurnal, buletin, dan media cetak lainnya. Dari banyak membaca itulah berbagai jenis tulisan bisa didapatkan untuk dijadikan kliping.

Menentukan sistem 2.

penyusunan kliping

Sebelum membuat kliping perlu ditentukan terlebih dahulu sistem penyusunannya. Pertama, disusun berdasarkan judul media cetak tertentu secara kronologis dengan mengambil berbagai bidang subyek dengan tujuan agar

pembaca lebih mudah menemukan peristiwa penting yang pernah terjadi. Kedua, menentukan

jenis subyek tertentu untuk dikliping tanpa memperhatikan judul media cetak. Ketiga, menentukan subyek tertentu dan judul media cetak tertentu secara kronologis.

Menyiapkan bahan dan alat 3.

untuk pembuatan kliping

Bahan pokok untuk

pembuatan kliping berupa berbagai judul media cetak yang akan dikliping, seperti surat kabar, majalah buletin dan sebagainya. Bahan pendukung diperlukan seperti; lem, tinta, kertas HVS dan kertas manila. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain ; gunting, cutter, penggaris, bender klip, stopmap dan sebagainya.

Pelaksanaan B.

Menyeleksi dan memilih 1.

tulisan

Dari hasil membaca berbagai media cetak tersebut, berbagai topik tulisan yang menarik dan mempunyai nilai guna diseleksi dan dipilih untuk dibuat menjadi kliping. Sebelum dipotong atau difotokopi, untuk sementara tulisan-tulisan yang sudah dipilih diberi tanda dengan pensil, spidol atau bolpoint warna terlebih dahulu

Memotong dan 2.

memfotokopi tulisan

Berbagai jenis tulisan

yang sebelumnya sudah diberi tanda tersebut dipotong. Bila terdapat sebuah tulisan dari sumber bacaan yang dengan pertimbangan tertentu tidak memungkinkan dipotong, maka untuk mengambil tulisan tersebut dapat dilakukan dengan memfotokopi. Cara memfotokopi dan memotong tulisan hendaknya dibuat sebagus mungkin agar hasilnya tampak baik dan rapi.

Menyusun dan mengemas 3.

tulisan

Semua tulisan yang sudah dipotong atau diambil dari sumber aslinya kemudian disusun pada lembaran kertas HVS yang sudah diformat ( judul media cetak sumber pengambilan tulisan, hari, tanggal, bulan, dan tahun tulisan di muat di media cetak tersebut), dengan menempelkannya menggunakan lem. Ukuran kertas dapat disesuaikan dengan selera yang dikehendaki, apakah

menggunakan ukuran kertas kuarto atau folio.

Mengelompokkan tulisan 4.

Setelah semua tulisan disusun dan ditempel di lembaran kertas, kemudian dikelompokkan menurut jenis atau topiknya. Lembaran kliping yang sudah dikelompokkan tersebut dimasukkan dalam stopmap.

Menyusun isi kliping 5.

“SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran Kimia dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis multiple representasi

Koreksi geometrik sistematik melakukan koreksi geomertri dengan menggunakan informasi karakteristik sensor yaitu orientasi internal ( internal orientation ) berisi informasi

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan terhadap nilai parameter, jumlah generasi dan nilai fitness algoritma genetika yaitu 157 individu, jumlah generasi 11,

Berdasarkan persyaratan sifat kayu untuk pembuatan pulp kertas secara mekanis, semi kimia dan kimia (Anonim, 1980 dalam Karnasudirdja & Sarwono, 1987), maka kayu

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus dengan menerapkan kegiatan senam irama dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan senam

Jawaban : Harapan kami masyarakat, untuk mengurangi atau membasmi kasus prostitusi online adala adanya qanun baru yang lebih terkini, lalu pengawasan dari pihak yang

(e) Pengukuran dan penandaan diameter dan panjang bibit (f) Bibit R.mucronata pada naungan 25% (g) Bibit R.mucronata pada intensitas 0% (h) Pemanenan bibit (i) Akar bibit

Akibat dari cara memproyeksikan ini, maka hasil proyeksi dengan menggunakan metode Eropa hasilnya akan akan saling berlawanan, maksudnya adalah, proyeksi sebelah