• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah pulau panggang Pulo docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah pulau panggang Pulo docx"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PULAU PANGGANG Dirangkum oleh : Lutfi Noorghany

Pulo sebelum Kalapa (ca. 4.500 tahun yang lalu s.d. abad ke-11 M)

Pulo sebelum Kalapa sudah memungkinkan untuk disinggahi tetapi belum memiliki daya dukung untuk penghunian. Melintasi kepulauan Seribu pada masa itu bisa jadi sekadar melewati perairan dangkal dengan karang dan gosong (gundukan pasir di perairan), bahkan kapal terancam karam karena tidak mampu menandai kedalaman perairan.

Meninjau karya Th. Verstappen (1953), daratan pulau di Pulo Seribu mulai muncul setelah terbentuknya Teluk Jakarta, atau paling tidak setelah 5.000 tahun yang lalu. Antara 10.000 – 7.000 tahun yang lalu (Tomascik, 1997), terumbu karang mulai membungkus bukit – bukit dari dataran tinggi berumur Platform yang berdiri di atas Platform Seribu. Peristiwa ini berlangsung sesudah jaman Es Dunia yang terakhir, pada saat permukaan air laut berada di ketinggian dua sampai tiga meter di atas permukaan laut masa kini. Terumbu karang itu tumbuh tinggi semenjak paling tidak 8.000 – 5.000 tahun yang lalu, dan mulai tumbuh melebar semenjak 4.500 tahun yang lalu. Goba (laguna) dan gusung (gosong/gundukan pasir di perairan) Panggang di P. Panggang mungkin menjadi salah satu contoh dari uraian Thomas Tomascik tersebut.

Humus tanah menjadi lapuk dan kegiatan abrasi air mengawali terbentuknya daratan. Humus dan tanah akan tercipta ketika tumbuhan dan pepohonan menjadi lanskap pulau karang, dan memungkinkan adanya air tanah yang tawar. Satrio (2009) menemukan adanya air tawar di Pulo berada pada kedalaman 15 meter, namun telah mengalami intrusi air laut. Air tawar ini paling tidak berumur kurang lebih 20.000 tahun yang lalu. Tidak terdapat penanda material yang menunjukan kapan pulau layak dihuni.

Pulo Masa Kalapa (<1527 M)

(2)

kota pelabuhan dan hingga sekarang masih ada nama tempat Sunda Kelapa. Muchtar (1960: 11) mengatakan bahwa Pulo berperan sebagai tempat perlindungan pelaut – pelaut Bugis pada saat Pulo Kelapa berperan sebagai tempat anjangsana raja Sunda. Muchtar juga memiliki kesan khusus tentang lapangan olahraga Pulo Kelapa yang dianggap sebgai bekas taman Kerajaan Sunda Pajajaran.

Tahun 1526 orang Portugis mencatat adanya sejumlah tempat di sepanjang Pesisir Utara dari Laut Jawa antara Banten Girang dan Kalapa yang berperan sebagai pelabuhan kecil. Peta bertahun sekitar 1540 yang digunakan Claude Guillot (2008: 42) tidak menampilkan Pulo Seribu atau malah Pulo. Sebuah peta periode 1500 – 1699, lava Maior e Nuca Antara, yang digbah Manuel Godinho de Eredia pada tahun 1630an menampilkan bagian kosong pada Laut Jawa yang sekarang menjadi kedudukan dari Pulo Seribu. Pada bulan Desember 1526, dari enam kapal Portugis yang berangkat dari Melaka menuju Banten Girang, hanya tinggal tiga kapal yang mampu mencapai Banten dan tiga kapal lainnya terbawa arus ke perairan timur Laut Jawa. Orang Portugis melalui perairan Palembang dan dihantam badai setelah melintasi Selat Bangka, tiga kapal pertama yang tiba di Teluk Banten mungkin melintasi perairan di sebelah barat Pulo Seribu.

Pulo Masa Jakerta (1527 – 1619 M)

Masjid Pulo (Masjid An-Ni’mah) dalam Tuturan Pulo dibangun oleh salah satu wali atau ulama terpandang. Zaman para Wali ini dikaitkan dengan masa pemerintahan Maulana Hasanudin di Banten. Menurut Tuturan Pulo, nama nama ini berada pada prasasti yang ada di Karang Cilaka di Pulo Kelapa. Karang ini dihancurkan oleh angkatan Laut RI atas perintah Gubernur DKI pada masa itu untuk mempermudah akses menuju ke perairan ke Pulo Kelapa. Orang Pulo uga menuturnkan adanya kemiripan Masjid Pulo yang lama dengan Masjid Agung Banten.

(3)

Jayakarta oleh Fatahillah, pemimpin gabungan pasukan Banten, Cirebon, dan Demak setelah mengambil alih pasukan ini dari penguasa lama Sunda Pajajaran. Tampaknya Jakerta yang mewarisi kuasa Sunda Pajajaran atas Kalapa, tidak sepenuhnya memiliki kedaulatan atas pulau – pulau di perairan utara Teluk Jakarta. Pangeran Jayakarta justru member izin kepada Kompeni melalui kesepakatan antara tanggal 10 – 13 November 1610 untuk mengambil kayu – kayu dari pulau – pulau di Teluk Jakarta untuk keperluan konstruksi kapal. Kesultanan Baten baru melepaskan klaim atas Pulo Seribu sebagai wilayah kekuasaan pada tahun 1776.

Pulo Masa Kota Batavia (1619 – 1799 M)

Tahun 1620, dokumen VOC – Kongsi Dagang Belanda untuk Hindia Timur (Kompeni) menjelaskan ketentuan dasar pemerintahan Batavia bahwa Koning van Jacatra, penguasa Jakerta sebelum berdirinya Batavia, memiliki yuridiksi dan daerah “….di sebelah utara sampai kelautan pula beserta kepulauan di sana…” (Leirissa, 1977: 27-29). Penguasa Jakerta itu nampaknya mewarisi wilayah kekuasaan yang pernah dimiliki oleh Wakil Pakuan untuk Bandar pelabuhan Kalapa. Artinya, Pulo Seribu pada masa itu telah ditandai sebagai bagian dari yuridiksi Jakerta, namun tidak ada penyebutan nama kepulauan bagi orang Belanda.

Bukti – bukti sejarah masa VOC yang terekam di Pulo, adalah bangunan kantor kelurahan masa kini. Tahun 1960, di halaman Kantor Kelurahan, M. Muchtar (1960: 12) masih melihat dua buah meriam kuno yang dianggap peninggalan VOC. Menurut Tuturan Pulo, kini meriam tersebut telah dipindahkan ke Darat. Dari cerita yang diperoleh dari Orang Pulo, meriam tersebut mirip dengan yang dipajang di situs perkotaan Kesultanan Banten.

Pulo Masa Residensi Batavia (1799 – 1903 M)

(4)

Kussendrager memberikan deskripsi tentang wilayah yang termasuk dalam Resident Batavia dan menyebutkan pulau – pulau yang terdapat di perairan Teluk Jakarta, dari Onrust (Pulau Kappal) sampai gosong Vader Smith (Pulau Putri) dan sesudahnya ratusan pula dari Duizend Eilanden (Pulo Seribu) dimulai dari Pulau Panggang atau Pulau Pari (Agnieteneiland).

Pulau Seribu saat itu dihuni oleh penduduk asli dan para nelayan (musiman) yang mengumpulkan batu karang, agar – agar, teripang, dan siput. Dalam Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie 1 Januari 1861, Aflevering 1, Duizend eilanden dikenal sebagai kelompok pulau di Laut Jawa yang penduduknya hidup dengan menjual ikan, menyediakan karang dan agar – agar. Duizend eilanden dipimpin oelh seorang InlandschenKommandant (Pemimpin Pribumi) yang berkedudukan di Batavia dan menerima perintah dari Resident van Batavia.

Pulo Masa Kotapraja Batavia (1903 – 1942 M)

Pada tahun 1925, nelayan Jepang dari Kepulauan Ryu Kyu Okinawa Jepang mlai memperkenalkan cara penangkapan ikan di perairan karang seperti Pulo Seribu. Pada awalnya nelayan jepang dilarang mengajarkan teknik menangkap ikan kepada Orang Pulo. Namun lambat laun nelayan Jepang mengajarkan juga teknik menangkap ikan dengan menggunakan jarring Muroami. Jarring ini didakwa sebagai peraup masal ikan yang menyebabkan ketersediaan ikan di Pulo Seribu terancam.

Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan S.B. No. 44 pada 12 Januari 1905, menghapus pachts de Duzend eilanden yang mengatur sewa – menyewa lahan di Pulo Seribu per 1 April 1905 (Selleger, 1906). Keputusan ini membuat orang Tionghoa di Pulo Tjina (P. Karya) dihentikan ijin tinggalnya walaupun orang – orang tersebut sangat berperan dalam perputaran roda perekonomian Pulo, termasuk menyediakan kebutuhan pokok harian dan pinjaman modal bagi orang Pulo.

Pulo Masa Jakaruta (1942 – 1945 M)

(5)

bertanggungjawab atas perairan Laut Jawa dan pulau Sumatera menempatkan satu pangkalan angkatan laut di Pulo Panggang. Di pantai belakang puskesmas Pulo Panggang terdapat pos pengamatan Jepang, sebuah menara dari kayu yang didirikan menghadap kea rah timur Pulo Panggang. Orang Pulo juga menceritakan bahwa Jepang membuat semacam bunker di bagian timur Pulau Panggang.

Pulo Masa Kota Jakarta (1945 – 1950)

Pada 23 September 1945, Jakaruta Tokubetsu Shi diganti menjadi Pemerintah Nasional Kota Jakarta dan Jakarta sebagai kotapraja berada secara administrative di bawah Propinsi jawa Barat mengikuti UU RI No. 1 Tahun 1945. Namun secara ringkas, kotapraja Jakarta kacau balau dan kisruh akibat masuknya Komando Tentara Sekutu untuk menerima kekuasaan Jepang atas Hindia Belada tanggal 21 November 1947.

Pada masa Republik Indonesia Serikat, Panitia Tujuh terbentuk untuk merumuskan pemerintahan Kotapraja Jakarta dan pembentukan majelis perwakilan dari orientasi politik dan sosial masyarakat Jakarta. Dalam Keputusan Menteri terhitung mulai tanggal 15 Maret 1950, Djakarta adalah kota dnegan enam kawedanan, 20 kecamatan, dan 121 kelurahan. Pulo Seribu dalam administrasi Djakarta adalah Kelurahan Pulo Panggang, Pulo Tidung, Pulo Kelapa, dan Pulo Ubi untuk kecamatan Pulau Seribu dari kawedanan Tanjung Priok.

Pulo Masa Kotapraja Jakarta Raya (1950 – 1965)

(6)

Informasi dari peta tahun 1954 milik US Amry Map Service menampilkan Pulau Pangan (P.Panggang) dan Pulau Lang untuk mewakili keberadaan pulau masa kini secara lengkap (termasuk P. Karya dan Gusung Jari). Peta ini juga menggabungkan pulau – pulau Air dan pulau Semak Daun bersama dengan Pulo ke dalam satuan deskripsi sedimenn sand-mud (lumpur dan pasiran) yang berbatasan dengan perairan berkedalaman 20 meter. Peta ini merupakan kompilasi dai peta – peta Hindia Belanda tahun 1940 sampai tahun 1951, dan dianggap sudah cukup akurat menggambarkan possi dan luas Pulo pada masa kini.

Pulo Masa DKI Jakarta (1965 – kini)

Pada tanggal 15 Januari 1960, status Kotapraja Jakarta berubah menjadi daerah tingkat I dalam proses penerbitan perangkat – perangkat legal. Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dapat terbagi menjadi tiga fase:

a. Fase Jakarta Ibukota (1965 – 1985)

Fase ini ditandai dengan pembangunan fisik besar – besaran, meninggalkan hasil ataupun bekas material sekaligus ingatan – ingatan seperti Peristiwa G30S, Peristiwa Kartika Bahari 1972, dan pembangunan jembatan serta Peristiwa Parakan tahun 1970an.

b. Fase Jakarta Metropolitan (1985 – 2005)

(7)

c. Fase Jakarta Megapolitan

Pada fase ini ditandai dengan munculnya Kota Baru dalam bentuk klaster di dalam, pinggiran, dan sekitar Jakarta. Jabodetabek adalah kawasan yang sebenarnya berbeda secara administratif namun kita akan sulit mencari perbatasan di antara Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebgai ilustrasi, bus antarkota jurusan Jakarta perlu menambah stiker di kaca depan bahwa mereka juga akan mengantar para penumpang ke berbagai titik di Jabodetabek.

Hal yang berbeda juga terjadi di Pulo. Pada periode 1950 sampai 1960an, ekonomi masyarakat Pulo berbasis pada penangkapan ikan karena penggunaan perhau bermesin dan penggunaan jaring sangat dikuasai Orang Pulo. Selanjutnya periode 1970 sampai 1980an, Orang Pulo memiliki beragam alternatif mulai dari pengambilan karang, budidaya agar – agar, sampai penangkapan khusus ikan hias. Tahun 1990an adalah masa keemasan dalam kehidupan perekonomian, bahkan ketika Darat menderita karena krisis millennium, Orang Pulo justru menikmati selisih signifikan dari dollar As untuk ekspor komoditi rumput laut. Dan semenjak awal millennium taraf kehidupan ekonomi justru menurun dan daya tahan masyarakat melemah. Pulo Masa Megapolitan adalah Pulo yang ditandai degan penetapan Pulo Seribu sebagai Kabupaten Administratif berdasarkan UU No. 34 th. 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Sekarang Orang Pulo menyambut Raperda tentang Rencana Tata Ruang dan Wlayah DKI Jakarta 2030 bagi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.

MITOS SEJARAH PULAU PANGGANG Mitos Pulo

(8)

dikaitkan keberadaan tokoh sakti dan sangat dihormati Orang Pulo, dibuktikan dengan adanya makam di sebelah bangunan SDN 0103 P. Panggang.

Peran Darah Putih yang tidak diperinci oleh Muchtar, selanjutnya ditemukan pada laporan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI Jakarta tentang survei kesejahteraan dan sosial budaya di Kel. P. Panggang pada tahun 1984. Gusung (Pulo) Balik Layar diceritakan sebagai fokus kejadian ketika para perompak tidak dapat menemukan lokasi Pulau Panggang disebabkan kemampuan Darah Putih menyembunyikan Pulo dari pandangan perompak. Kisah Karang Pemanggang tetap diceritakan terpisah dan dianggap sebagai kisah sesudah masa Darah Putih, tanpa adanya nama tokoh, melainkan upaya kolektif Orang Pulo melawan serangan perompak.

Garis merah dari kisah Darah Putih dan Karang Pemanggang adalah Darah Putih menolong Orang Pulo menghadapi serangan perompak dan Karang Pemanggang menjadi tempat akhir dari nasib penyerang yang dikalahkan melalui kesaktian Darah Putih. Perbedaan kedua versi adlah ada tidaknya pertempuran fisik anatara Orang Pulo dan bajak laut serta kemunculan tokoh – tokoh pendamping Darah Putih. Dalam versi pertama, pertempuran Orang Pulo bersama para tokoh penolongnya melawan Bajak Laut berakhir dengan kekalahan perompak, sehingga dimunahkan dengan api, dan dibakar harta bendanya di Karang Pemanggang. Sementara versi kedua menceritakan kesaktian Darah Putih ynag menyebabkan kapal perompak karam di suatu pulau karang sehingga para perompak memakan daging temannya yang telah dipanggang untuk bertahan hidup.

(9)

bagian barat (Ki Bonot, Tubagus Zen), pengarung lautan dari Timur yang mungkin Bugis, Makasar, atau Mandar (Darah Putih), dan pedagang dari perairan Selat Malaka (Kapiten Saudin dan istrinya). Dalam beberapa versi juga diungkapkan pemakaian bendera karung atas perintah oleh Darah Putih. Pengibaran bendera karung ini berfungsi untuk menyambut kedatangan perompak yang datang ke Pulo, sekaligus untuk memberitahu mereka bahwa Pulo yang dikunjungi tersebut adalah wilayah yang tidak boleh dirampok. Versi lain juga disampaikan oleh Ridwan Maulana (2009: 24) yang menceritakan Darah Putih sebagai perompak dan Pulo Panggang memperoleh namanya karena dipergunakan sebagai tempat pemanggangan korban perampokan laut.

Darah Putih

Tidak dapat diketahui pasti tentang siapa Darah Putih dan dari mana asalnya. Namun ada suatu cerita yang dituturkan oleh penutur yang tidak ingin disebutkan namanya. Suatu ketika ada seorang pelaut yang terombang ambing di lautan karena kapalnya hancur. Dia ditolong oleh ikan besar, ikan talang – talang, dan ikan balong – balong. Ikan – ikan ini membawa pelaut ke sebuah pulau yang berpenghuni, bernama negeri Pua – pua. Negeri ini adalah bangsa kanibal. Setelah sibersihkan, pelaut tadi dipersembahkan kepada tetua negeri. Ditariklah tangan dan kaki sang pelaut. Anehnya tangan dan kaki pelaut tidak dapat putus. Melihat hal ini, tetua negeri menganggap pelaut sebagai orang sakti sehingga niat memakannya pun dia urungkan. Tetua negeri berpesan kepada pelaut jika suatu hari nanti bangsa dari negeri Pua – Pua datang ke wilayah pelaut, hendaklah keturunan pelaut itu memasang bendera karung agar bangsa negeri Pua – Pua tidak menyerangnya. Setelah itu pelaut dikembalikan ke laut dan ditolong lagi oleh ketiga ikan yang sebelumnya.

(10)

Balik Layar. Dari barat bisa jadi berasal dari perairan Bangka Belitung 9Sumatera) dan Banten. Dari timur bisa jadi dari Sunda Kelapa, pesisir utara Jawa bagian timur, Sunda Kecil, dan Indonesia timur. Kisah berlanjut dengan Darah Putih memanggang perompak dari barat di Karang Balik Layar, dan berwasiat menggunakan bendera karung jika ada kelompok pelaut bersenjata yang datang dari barat atau timur.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa PBL merupakan metode yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh konstruktivisme

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Sebagai suatu unit dan bagian dari Instalasi Rehabilitasi Medis Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Unit Layanan Paliatif memiliki tujuan untuk mewujudkan pelayanan dan

Hasil dari sintesis terhadap alternatif ini mengindikasikan bahwa seluruh sub-elemen yang ada, memiliki potensi yang cukup besar untuk diberikan penalty dalam pelaksanaan

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Data-data yang ada dalam penelitian ini yaitu isi video tayangan tayangan persidangan kasus kopi sianida yang berisi komunikasi verbal dan nonverbal dari Jaksa

Pengukuran konstanta dielektrik pada semen dilakukan dengan menggunakan metode kapasitif pelat sejajar dan pengukuran resistivitas dilakukan dengan menggunakan metode

Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan tersebut, maka penulis memutuskan untuk menggunakan judul Dinamika Kepribadian dan Nilai Pendidikan Dalam Naskah Ketoprak