• Tidak ada hasil yang ditemukan

Senyap dan Masyarakat yang Hilang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Senyap dan Masyarakat yang Hilang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Senyap dan Masyarakat yang Hilang1

Oleh

Gede Indra Pramana2

Indonesia Menonton Senyap menjadi tajuk acara sekaligus perayaan hari Hak Asasi Manusia di Indonesia. Secara simbolis, pemutaran perdana film Senyap diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, menandai pemutaran film Senyap di seluruh wilayah Indonesia. Semenjak itu, secara gratis, kepingan film Senyap didistribusikan, dan sampai ke penyelenggara-penyelenggara acara pemutaran Senyap, baik terbuka maupun terbatas, di seluruh penjuru Nusantara. Sejak itu pula, kita mendapat laporan pemutaran, tulisan, diskusi, liputan, bahkan ancaman, pembubaran paksa dan pengumuman pembatalan acara menonton bersama.

Dari seluruh hiruk pikuk yang berlangsung di sekitar film Senyap, pertanyaan yang menjadi penting adalah, mengapa kita tetap menonton Senyap hari ini? Apa urgensinya? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan ini, dengan melihat latar politis yang membingkai film Senyap. Kemudian, akan coba dijawab, urgensi menonton film ini dalam konteks hari ini.

***

Usaha untuk menunjukan dan mengkompilasikan, bahkan mengarsipkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa 1965 sebenarnya telah dilakukan. Secara terbatas berbagai dokumentasi, kajian ilmiah, bahkan memoar yang menjelaskan duduk peristiwa 1965 dan peran serta beragam aktor, serta posisi dan pandangannya masing-masing terhadap peristiwa telah banyak diterbitkan.

John Roosa, pada tahun 2009, menuliskan Bibliography on the Events of 1965-1966.3 Dalam

(2)

yaitu Documentary Films.4 Bagian lain yang memberikan informasi mengenai film adalah bagian

keenam dari daftar sumber tersebut, dikelompokan sebagai Social Memory, dalam sub kelompok

Films.5 Yang menarik dari daftar ini adalah, Roosa menyebutkan hanya ada enam film yang

bertemakan peristiwa 1965.

Usaha lain yang perlu saya sebutkan disini adalah catatan Ariel Heryanto.6 Meski hanya

disebutkan secara sepintas lalu, Heryanto mendaftar film-film yang mengambil tema peristiwa 1965. Ia menyebutkan tak kurang dari 16 film panjang dan pendek, baik fiksi maupun nonfiksi yang mengangkat tema kekerasan 1965. Ariel menekankan dominannya sudut pandang korban dari film-film ini, atau dalam kata-katanya sendiri victim and victimization. Saya tidak berhasil memperoleh rincian dari film-film yang disebutkan oleh Heryanto. Akan tetapi, melihat bahwa tulisannya diterbitkan pada 2012, maka film Senyap, yang menjadi fokus kita kali ini, belum termasuk dalam daftar film yang ditulis oleh Heryanto.

Disini saya juga perlu menyebutkan usaha yang dilakukan oleh Muhidin M. Dahlan. Kerja akademisnya, yang meliputi pengarsipan dan kajian terhadap karya-karya yang bertemakan 1965, termasuk sumbangsihnya dalam menerbitkan buku-buku yang berkaitan tentang sejarah gerakan kiri di Nusantara, adalah suatu usaha yang patut diapresiasi.

***

Pemerintah sebagai institusi juga menerbitkan buku yang mengangkat Peristiwa 1965. Ada dua buku yang diterbitkan, antara lain, Nugroho Notosusanto, Ismail Saleh, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1968), dan Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994).

(3)

Semenjak dirilis pada 1984, Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Arifin C. Noer adalah usaha yang disponsori oleh Negara, melalui media film, guna mendukung tafsir resmi terhadap peristiwa 1965. Film ini tercatat sebagai film yang menghabiskan biaya begitu besar, dengan jumlah pemain pendukung yang begitu massif. Pemutaran film ini menjadi kewajiban setiap akhir bulan September. Televisi nasional menayangkannya secara ekslusif. Negara mewajibkan bagi seluruh warga Negara untuk menyaksikan film tersebut. Pemutaran film ini, juga dilangsung ke sekolah-sekolah, menembus ruang-ruang kelas di sekolah pada masa Orde Baru.

Kemunculan karya-karya bertemakan 1965, yang menolak versi tunggal tafsir resmi Pemerintah ini marak bermunculan sejak lengsernya Soeharto pada 1998. Pada periode paska Orde Baru inilah, usaha-usaha untuk membaca ulang Peristiwa 1965, melalui berbagai kajian, termasuk juga film, perlahan-lahan dilakukan. Masyarakat sipil, melalui berbagai lembaga, menginisiasi berbagai kegiatan yang berusaha untuk memulihkan kembali hak-hak warga negara yang dirampas oleh Orde Baru, mengikuti pembantaian massal yang berlangsung pada periode 1965-1968.

Hal ini tak lepas dari Abdurachman Wahid, lebih akrab disapa Gus Dur, yang semasa menjadi presiden menyatakan permintaan maaf terhadap korban-korban peristiwa 1965, termasuk kepada keluarga korban dan juga para eks-tahanan politik Orde Baru. Permintaan maaf ini menimbulkan kontroversi. Pro-kontra terkait tindakan Sang Presiden berlangsung hingga akhir masa pemerintahannya. Bahkan pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada waktu itu menjadi isu hangat yang diperdebatkan oleh berbagai kalangan.7

Dalam konteks inilah kemudian kita dapat mendudukan posisi film-film karya Joshua Oppenheimer, berturut-turut The Globalization Tapes (2003), The Act of Killing, Jagal (2012), dan paling akhir, The Act of Silence, Senyap (2014). Ketiganya mewakili pembacaan ulang terhadap peristiwa 1965, beserta implikasinya bagi masa-masa sesudah pembunuhan massal berlangsung.

***

(4)

penonton, melihat mimpi buruk dari masa lalu.9 Paramaditha mengikuti gambaran Oppenheimer,

yang menyatakan dalam salah satu wawancaranya bahwa Jagal adalah cermin gelap bagi Anwar Congo, pada khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya.

Perkenankan saya menyegarkan ingatan kita tentang Senyap, melalui frame-frame awal film ini. Dalam gambar muncul sesosok wajah yang sedang menonton televisi. Pada televisi, tayangan memperlihatkan gambar orang-orang yang sedang melakukan reka ulang perbuatannya dimasa lalu. Dua orang berdiri di pinggir sungai, sembari bercerita tentang pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan. Sesekali, mereka menunjukan detail dari cara pembunuhan yang mereka lakukan. Salah seorang menyayangkan kealpaannya membawa alat yang membantunya membunuh, sedangkan rekannya membawa sebuah pisau kecil yang dulu telah merenggut puluhan, mungkin ratusan nyawa.

Wajah orang yang menonton itu seketika menegang ketika menyaksikan satu detail pembunuhan. Deskripsi pada televisi terbaca begitu jelas. Katanya, seseorang ditusuk berkali-kali, digorok lehernya, tapi tak putus. Belum cukup, tubuh tak berdaya itu kembali ditusuk, sambil memperagakan cara menusuknya sekaligus menunjukan bagian tubuh mana yang ditusuk, sebelum akhirnya mayat dibuang ke sungai. Begitulah film Senyap dimulai. Sedari awal, relasi antara tokoh dalam film dan kita penonton dilebur begitu saja. Posisi auteur tidak menghilang, ia menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antar tokoh, sekaligus menjadi penunjuk bagi tokoh dan penonton guna menyusuri kembali bagian-bagian dari masa lalu yang kelam, para pembunuh.

Mata kamera hadir, menuntun kita menemui satu persatu para pelaku, menelusuri jalan-jalan, ke dalam rumah, ruang tamu, lokasi pembunuhan, dan kembali ke rumah si tokoh. Kita diajak untuk melihat pergulatan dari si tokoh untuk menghadapi kembali para penjagal itu. Alih-alih jauh, para penjagal itu adalah orang-orang yang ada di sekitar tokoh kita. Keluarga, dan tetangga, orang-orang yang saban hari ditemuinya, ternyata adalah pembunuh-pembunuh yang dulu mengambil nyawa orang-orang, termasuk kakak kandungnya sendiri.

(5)

yang hanya menjaga tahanan pada masa itu, yang adalah paman tokoh kita ini, dan masih memiliki hubungan darah dengan ibunya.

Pada tiap perjalanan yang dilakukannya, Adi sudah menonton orang-orang tersebut terlebih dahulu. Orang-orang yang bernostalgia tentang pembunuhan-pembunuhan itu di masa lalu. Pada saat yang bersamaan, Adi mengkonfirmasi cerita tersebut kepada orangnya langsung, tentu didampingi oleh kamera yang terus mengikutinya.

Saya tidak dapat membayangkan, apa kiranya proses yang dilakukan sebelum dan sesudah pengambilan gambar. Tentu menarik jika kita dapat melihat proses yang berlangsung dalam tiap-tiap tahapan produksi film ini. Memungkinkan kerja penelusuran ini, menyetting ruang, kemudian, mengkonfrontasikan tokoh-tokoh dalam film, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Adi, yang berusaha mencari pembunuh kakaknya, dan menanyakan perihal ini secara langsung, mendapat bermacam respon. Sanggahan, dalam beragam bentuknya telah didapatkannya. Amarah dari sanak keluarga alm. pembunuh, telah juga ia rasakan. Pada penghujung film, permintaan maaf dari anak salah seorang pembunuh diperolehnya.

Film ini membawa kita pada semesta Adi, dalam usahanya menanyakan kebenaran tentang kakaknya. Dalam film, tampak jelas relasi kuasa yang begitu timpang. Meski begitu, tetap saja Adi bertanya kepada orang-orang itu hal-hal yang selama ini ingin ia ketahui. Keberadaan kamera, bagi saya, menjadi mata yang mengawasi ketimpangan relasi kuasa ini, sekaligus memungkinkan ketimpangan ini terlampui. Ataukah keberadaan Oppenheimer dan kru film-nya, juga turut serta menihilkan relasi ini? Bisa ya, bisa tidak. Satu hal yang pasti, pada diskusi pasca pemutaran perdana Senyap di Taman Ismail Marzuki yang saya hadiri, Adi mengaku sekarang hidup berpindah-pindah, demi menjaga keamanan dan keselamatan keluarganya.

***

(6)

Posisi penonton, bagi saya, menjadi penting untuk dikemukakan. Sebagai penonton, yang juga termasuk bagian dari masyarakat yang lebih luas, penonton memiliki sumbangsih, dalam lingkup nyatanya, terhadap kerja-kerja yang diinisiasikan film. Pentingnya posisi penonton dalam sinema modern, ditegaskan oleh Gilles Deleuze. Deleuze menegaskan fondasi dari sinema modern yang ada pada masyarakat yang hilang, yang mana keberadaanya selalu berada dalam proses (on becoming), yang berusaha menciptakan masyarakat (inventing of the people). Disinilah letak urgensi dari film Senyap. Kepada para penonton senyap, mungkinkah kita menciptakan tatanan baru masyarakat kita?

1 Naskah pengantar pemutaran dan diskusi film Senyap (Joshua Oppenheimer,2014) diselenggarakan oleh LPM

Keadilan FH UII Yogyakarta, 10 Januari 2015. Dalam tulisan ini, istilah masyarakat yang hilang saya pinjam dari Gilles Deleuze, the people who are missing. Lihat Gilles Deleuze, Cinema 2. The Time-Image – Editions de Minuit, 1985. University of Minnesota Press

2 Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini aktif

sebagai peneliti di Purusha Research Cooperative, Jakarta. Sedang menyelesaikan studi tentang keluarga survivor

1965 di Bali. Dapat dihubungi melalui indrapram@purusharc.org

3 Enam pengelompokan itu antara lain, 1. Pre-1965 Indonesian Politics, 2. The September 30th Movement, 3. The Mass Arrests and Killings, 4. Political Imprisonment, Stigmatization, and Exile, 5. The Founding of Suharto’s Military Dictatorship, 6. Social Memory. Daftar sumber lengkap dapat diakses dari http://www.sejarahsosial.org/?p=38

4 Terdapat empat film yang dicatat pada bagian ini, yaitu: karya Robert Lemelson, Forty Years of Silence (2008),

karya Garin Nugroho, Puisi tak Terkuburkan (2001), karya Chris Hilton and Sylvie Le Clezio, Shadowplay (2002), dan karya Andre Vltchek, Terlena (2004).

5 Ada dua film yang dicatat pada bagian ini, yaitu, karya Hanung Brahmantyo, Lentera Merah (2006), dan I.G.P.

WIranegara, Menyemai Terang dalam Kelam (2006).

6 Lihat Ariel Heryanto, “The 1965-1966 Killings,” The News Letter, No. 61, Autumn 2012, utamanya hal 16 dan

catatan kaki no. 3, 4, 5, dan 6 diakses dari http://www.iias.nl/sites/default/files/IIAS_NL61_1617.pdf

7 Budiawan menulis dengan baik episode ini dalam karyanya Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana

Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta: ELSAM & Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, 2004.

8 Apa yang Dapat Kita Dengarkan dari Jagal? http://www.cinemapoetica.com

Referensi

Dokumen terkait

Keywords: Fuzzy Logic, Autonomous Mobile Robot, FPGA, Ultrasonic Distance

Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak, anak akan dibentuk kekebalannya terhadap pengaruh negatif dan agar mampu menolak serta menjauhi pengaruh negatif yang

Kemalangan industri boleh ditakrifkan sebagai kemalangan yang berlaku di tempat industri atau tempat kerja yang disebabkan oleh beberapa faktor iaitu faktor manusia,

Ujian Nasional Tahun 2010 – 2012 antara peserta didik pada SMA Negeri dengan SMA.. Swasta, antara SMA dengan kategori

1.Penyebaran Brosur :Brosur tersebut berisi informasi tentang keberadaan Perpustakaan, waktu dan hari kegiatan Perpustakaan. Termasuk koleksi yang perlu diketahui oleh

Sama seperti daerah-daerah lain di nusantara, Kota Sungai Penuh merupakan bagian tidak terpisahkan dari suku Kerinci memiliki arsitektur bangunan rumah tempat tinggal yang unik

bored, especially when the activity is reading a long and full of unknown words text. Considering the facts stated above, the researcher planned to improve the

PLN (Persero) Area Kota Yogyakarta kepada konsumen dalam pelaksanaan pemadaman listrik telah sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen, UU Ketenagalistrikan dan