1
SEMINAR SEHARI: ‘CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITY’ (KONVENSI HAK PENYANDANG DISABILITAS) DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM BENTUK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH YANG INKLUSIF
DI SUMATERA BARAT
AUDITORIUM GUBERNURAN, PADANG, 4 FEBRUARI 2013
KRONOLOGIS
UPAYA RATIFIKASI THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES ( KONVENSI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) DI INDONESIA
Oleh : Eva Rahmi Kasim*
Gambaran Umum Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas
Konvensi diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006 , ditetapkan dalam Resolusi PBB No. 61/106 . Konvensi terdiri dari 50 pasal dan Optional Protocol. Konvensi memuat hak –hak sosial, ekonomi, budaya, politik dan sipil secara komprehensif.
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menandai adanya perubahan besar dalam melihat permasalahan kelompok masyarakat yang mengalami kerusakan atau gangguan fungsional dari phisik, mental, intelektual dan termasuk juga mereka yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan sehari-hari ,yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan lingkungannya.
Pemahaman penyandang disabilitas merupakan istilah dan pengertian yang lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan istilah dan pengertian penyandang cacat dalam Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia.
Indonesia ikut menandatatangani Konvensi pada tanggal 30 Maret 2007 pada waktu dibuka pertama kali penandatangan oleh PBB, dengan urutan ke-9. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Sebagai konsekuensi penandatanganan ini, Indonesia harus meratifikasi Konvensi tersebut ke dalam hukum nasional Indonesia
Upaya Ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas
Sesuai dengan pasal 43 Konvens Hak-hak Penyandang Disabilitas, Indonesia sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri ) dengan Konvensi . Keiinginan meratifikasi juga didorong oleh alasan filosofis, sosiologis dan yuridis (lihat Naskah Akademik). Tujuan pengesahan Konvensi tersebut adalah untuk memperkuat penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di segala bidang.
Menurut Undang-Undang no. 24 /2000 tentang Perjanjian Internasional, Ratifikasi suatu perjanjian internasional yang berdampak pada sosial, pengangggaran dan politik, perlu mendapat pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk Undang-Undang. Konvensi Hak –hak Penyandang Disabilitas termasuk kategori tersebut.
Sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundang-undangan, Rancangan Undang-undang Pengesahan Konvensi dibuat dengan disertai Naskah Akademis dan terjemahan resmi Konvensi ke dalam Bahasa Indonesia.
2
Sementara itu, atas usulan berbagai instansi/lembaga/kementerian dan organisasi sosial penyandang cacat (penyandang disabilitas), Kementerian Sosial didesak untuk segera memulai proses Ratifikasi secara formal. Menteri Sosial mengajukan proses ratifikasi kepada Menteri Luar Negeri untuk selanjutnya meminta ijin prakarsa kepada Presiden. Menteri Sosial memperoleh Persetujuan Izin Prakarsa proses ratifikasi Konvensi ini melalui Surat menteri Sekretaris Negara No. B-72/M.Sesneg/D-4/02/2009 tanggal 17 Februari 2009.
Proses terjemahan terus berlangsung bersamaan dengan pembuatan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Hal ini dilakukan dengan konsultasi antar kementerian, lembaga dan organisasi penyandang cacat (penyandang disabilitas), akademisi, disertai pula dengan sosialisasi isi Konvensi di tingkat pusat dan daerah baik itu dilakukan oleh Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, berbagai Organisasi penyandang cacat (penyandang disabilitas) maupun Komisi Nasional HAM serta instansi dan lembaga lainnya.
Upaya finalisasi terjemahan resmi naskah CRPD ke dalam bahasa Indonesia kembali dilanjutkan dengan difasilitasi oleh Komisi Nasional HAM dan Kementerian Sosial. Komisi Nasional HAM mengundang para pakar di bidang filsafat, komunikasi, psikologi, hukum hak asasi manusia, linguistik, bidang kecacatan (disabilitas), dan praktisi dan penggiat bidang kecacatan (disabilitas) untuk mendapatkan satu kesepakatan terminologi terjemahan resmi person with disability ke dalam bahasa Indonesia.
Istilah “penyandang cacat” yang dipergunakan selama ini tidak lagi dikendaki dengan alasan :
Dari aspek bahasa, kata cacat secara denotatif mempunyai arti yang bernuansa negatif, seperti penderita, kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik, cela, aib, dan rusak. Kata cacat juga mempunyai makna konotatif yang berupa rasa merendahkan atau negatif.
Kata cacat muncul karena adanya suatu kekuasaan (kelompok atau negara) yang memberikan kata tersebut sebagai identitas kepada sekelompok manusia yang dianggap cacat. Cacat sesungguhnya merupakan konstruksi sosial bukan realitas keberadaan sesorang.
Secara filosofis, tidak ada orang yang cacat. Manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan yang paling sempurna dan dengan derajat yang setinggi-tingginya.
Dampak psikososial dari adanya istilah “penyandang cacat” antara lain: menciptakan jarak sosial, membuat subyek dan orang-orang terdekat merasa bersalah, orang yang disebut “penyandang cacat” mengkonstruksikan diri sebagai tidak lengkap, tidak mampu, tidak diharapkan, dan memposisikan sebagai korban
Secara empirik, istilah “penyandang cacat” yang digunakan selama ini telah menimbulkan sikap dan perlakuan yang tidak baik kepada orang yang disebut sebagai penyandang cacat. Istilah “penyandang cacat” telah menimbulkan kekeliruan dalam memahami keberadaan (eksistensi) orang yang disebut “penyandang cacat”. Kecacatan dianggap sebagai identitas dari sesorang, yang lebih rendah daripada orang yang disebut tidak cacat. Padahal ke-‘cacat’ -an buk-anlah suatu keada-an y-ang menentuk-an kualitas terhadap y-ang tidak ‘cacat’. Ke-‘cacat’ -an buk-anlah ukur-an suatu keterbatas-an eksistensi m-anusia. Ke-‘cacat’-an hanyalah kondisi tertentu dari manusia yang mengantarkan dirinya kepada permasalahan ‘perbedaan cara’ di tingkatan realitas ketika menghadapi kehidupan itu sendiri, dibandingkan manusia lainnya
Pada waktu itu ditetapkan kriteria yang termuat dalam terminologi baru yang diinginkan sebagai berikut :
Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut (deskriptif maksimalis).
Mendeskripsikan fakta nyata.
3
Menumbuhkan semangat pemberdayaan.
Memberikan inspirasi hal-hal positif (menonjolkan hal-hal positif).
Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah
Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian
Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara cepat
Bersifat representatif-akomodatif-baku untuk kepentingan ratifikasi Konvensi
Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis
Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional
Memperhatikan perspektif linguistik.
Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan.
Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan.
Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.
Dari berbagai istilah yang diajukan akhirnya disetujui untuk menggunakan istilah Penyandang Disabilitas dengan alasan sebagai berikut :
No. Kriteria Penjelasan
1. Mendeskripsikan secara jelas
subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut.
Penyandang disabilitas secara jelas menunjukkan subyek
yang dimaksud yaitu Orang yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual atau indera secara permanen yang di dalam interaksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya dapat menemui hambatan yang
menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
2. Mendeskripsikan fakta nyata. Sesuai fakta disandang, dialami dan dihadapi subyek
(keterbatasan, lingkungan, dan sikap masyarakat)
3. Tidak memuat makna negatif. Tidak memuat makna negatif karena mendeskripsikan
adanya interaksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat. Tidak mengasihani, tidak
4. Menumbuhkan semangat
pemberdayaan.
Untuk pemberdayaan penyandang disabilitas harus
menghilangkan semua bentuk hambatan sosial, hukum, politik, budaya, ekonomi yang muncul karena adanya
interaksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat
termasuk dengan menyediakan aksesibilitas
Poin: subjek berhak mendapat penguatan, penghilangan hambatan,
5. Memberikan inspirasi hal-hal
positif
4
6. Istilah belum digunakan
pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah.
Baru pertama kali digunakan dalam kosa kata bahasa
, belum digunakan oleh subyek lain dan spesifik
untuk kebutuhan ini
7. Memperhatikan ragam
pemakai dan ragam
pemakaian untuk berbagai keperluan.
Diharapkan istilah ini bisa bersifat umum dan bisa digunakan dalam konteks apapun dan semua subjek semua subjek untuk berbagai pemakaian apalagi didukung dengan sosialisasi yang intens dilakukan
8. Dapat diserap dan
dimengerti oleh berbagai
kalangan secara cepat.
Dilihat dari susunan hurufnya tidak ada kesulitan dalam pengucapannya dan ada contoh lain, misalnya stabilitas, kualitas
Istilah lugas, apa adanya, bukan berupa kata kiasan, istilah ini tidak menyinggung perasaan, enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan.
11. Mempertimbangkan
Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti “penyandang cacat” yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu, kemudian dibahas kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi
penyandang cacat (penyandang disabilitas), akademisi dan Komisi Nasionall HAM di Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian
5
Setelah terjemahan resmi naskah Konvensi disepakati dan Naskah Akademis serta RUU Pengesahan dibuat, pada tanggal 31 Desember 2010 dilakukan proses harmonisasi perundang-undangan dengan menghadirkan wakil dari berbagai kementerian di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan HAM. Pada waktu itu juga tersirat keinginan untuk meratifikasi semua pasal CRPD kecuali Optional Protokol. Optional Protokol tidak dipilih karena Indonesia tidak menganut sistem pengaduan individual pada Komisi HAM Internasional.
Pada tanggal 4 Mei 2011, Menteri Luar Negeri melalui Surat No. 211/HI/05/2011/60/60 mengajukan permohonan kepada Presiden untuk dapat mengeluarkan Amanat Presiden atas pengajuaan RUU Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas untuk dapat disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada Tanggal 6 juni 2011, Presiden RI melalui Surat Menteri Sekretaris Negara No. B-743/M.Sesneg/D-4/PU.03/06/2011 meminta kepada menteri-menteri terkait untuk melakukan pemarafan pada Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention on Rights of Persons with Disabilities
Tanggal 23 Juni 2011 Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara No. B-858/M.Sesneg/d-4/PU.03/06/2011 menunjuk Menteri Sosial, Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM untuk mewakili Presiden dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Juli 2011, Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Musyawarah DPR membahas rencana RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan menunjuk Komisi VIII DPR untuk membahasnya bersama Pemerintah.
Pada tanggal 26 September 2011, Pemerintah , yang diwakili Kementerian Sosial dan Kementerian Luar Negeri memberikan keterangan dalam rapat kerja dengan DPR Komisi VIII tentang urgensinya pengesahan RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Peyandang Disabilitas.
Tanggal 12 Oktober 2011 , dalam rapat kerja Pemerintah yang diwakili Menteri Sosial, Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM dengan Komisi VIII DPR , fraksi-fraksi memberikan pendapat tentang RUU Pnegesahan Konvensi Hak-hakPenyandang DIsabilitas. Pada saat itu, semua fraksi menyetujui pengesahan RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan meneruskannya untuk di bawa dalam Sidang Paripurna DPR.
Pada tanggal 18 Oktober 2011, Sidang Paripurna DPR RI menyetuji RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Undang –Undang ini ini tercatat dalam Lembaran Negara No, 107 Tahun 2011 dan diundangkan pada tanggal 10 November 2011. Setelah melengkapi persyaratan dan ketentuan PBB tentang proses ratifikasi, Indonesia tercatat di PBB sebagai negara ke 107 yang meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 30 November 2011.
Eva Rahmi Kasim*
Aktivist penyandang disabilitas yang turut langsung dalam proses ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, termasuk dalam pembuatan Naskah Akademis dan RUU Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities. Eva juga terlibat aktif dalam penyusunan beberapa Peraturan Daerah tentang Penyandang Disabilitas.
Eva Kasim dikenal sebagai penulis artikel, peneliti dan presenter issu disabilitas dalam berbagai seminar/workshop dan konferensi, baik dalam maupun luar negeri.