PL 3001 ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
PERAN MITIGASI BENCANA DALAM BIDANG PERENCANAAN DAN KETERKAITAN ANTARA KEDUANYA
WINDYA DWI NANDA 15414095
Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota
Sekolah Arsitektur, Perencanaan Dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Mitigasi bencana merupakan salah satu cara penanggulangan bencana. Dimana hal tersebut dilaukan untuk mengurangi kerentanan terjadinya bencana dan menurunkan tingkat risiko bencana yang ada. Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di kawasan rawan bencana dengan tingkat ancaman bencana yang tinggi diharapkan mempunyai suatu sistem penanggulangan bencana yang memadai. Salah satu bidang yang berperan penting dalam hal ini adalah bidang perencanaan atau tata ruang dimana dapat mengintervensi aspek kebencanaan melalui sistem perencanaan pembangunan dan tata ruang yang mempertimbangkan aspek kebencanaan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem yang terintegrasi antara aspek mitigasi bencana dengan bidang perencanaan itu sendiri untuk tercioptanya Negara Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera. Essay ini akan membahas peran mitigasi bencana dalam bidang perencanaan dan keterkaitan antara keduanya sehingga mampu menjadi suatu sistem yang terintegrasi.
Kata Kunci: Bencana, Mitigasi Bencana, Perencanaan, Tata Ruang
PENDAHULUAN
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Diluar itu, bencana menjadi salah satu momok yang menghantui orang-orang di beberapa daerah tertentu. Termasuk beberapa daerah yang ada di Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan dengan terjadinya bencana, baik bencana alam, bencana akibat ulah manusia, maupun penyebab yang lain. Beberapa dari bencana tersebut adalah tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Berdasarkan Laporan Bencana Asia Pasifik 2010, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai salah satu negara yang paling rentan terkena bencana alam di Asia Pasifik. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang menjadi salah satu jalur lintas ring of fire, yaitu negara yang memiliki banyak gunung api. Selain itu, wilayah Indonesia juga memiliki daerah dengan patahan aktif dan dekat dengan zona subduksi lempeng, dimana merupakan zona pertemuan lempeng yang saling mendesak sehingga apabila terjadi pergeseran dan tubrukan antar lempeng akan terjadi gempa bumi yang mengguncang Indonesia. Terlebih lagi zona tersebut berada di tengah laut sehingga apabila terjadi guncangan juga akan menyebabkan meningkatnya tinggi gelombang laut sehingga terjadi tsunami. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis dengan jenis cuacanya tersendiri. Dimana Indonesia memiliki curah hujan yang cukup tinggi sehingga apabila hal tersebut tidak disikapi dengan baik dapat menyebabkan timbulnya banjir apabila kapasitas sungai tidak dapat menampung jumlah air yang ada di dalamnya. Begitu pula bencana-bencana yang lainnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa bencana tersebut juga dapat terjadi dikarenakan oleh faktor pembangunan dan pengembangan daerah yang melebihi kapasitas dan kemampuan daerah tersebut yang seharusnya.
Essay ini akan membahas peran mitigasi bencana dalam perencanaan dan keterkaitan antara keduanya sehingga mampu menjadi suatu sistem yang terintegrasi. Kasus yang akan diambil dalam pembahasan essay ini adalah beberapa bencana besar yang terjadi di Indonesia pada tahun 2000-an dan penanggulangan bencana-bencana tersebut, baik dalam mengurangi kemungkinan terjadinya bencana, mengurangi risiko terjadinya bencana, sampai pemulihan yang dilakukan wilayah tersebut setelah menghadapi bencana.
ISI
Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Berdasarkan kenyataannya perencanaan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari aspek mitigasi bencana. Sebuah bencana bukanlah sesuatu hal yang tidak mungkin dapat diintervensi kejadiannya, setidaknya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya maupun frekuensi terjadinya bencana, kecuali bencana yang benar-benar merupakan kontribusi dari alam itu sendiri. Pada dasarnya, suatu perencanaan atau penataan ruang yang direncanakan secara ideal tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi wilayah, aspek sosial masyarakat yang menempati wilayah, tetapi juga memperhatikan kondisi lingungan wilayah yang akan direncanakan. Karena, ketiga aspek tersebut adalah hal yang harus diseimbangkan keberjalanannya dalam perencanaan sesuai dengan manajemen penggunan lahan. Hal tersebut jug sesuai dengan Hyogo Framework for Action (HFA) yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Risiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005 mengamanatkan perencanaan guna lahan (landuse planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan risiko bencana.
satu jenis kawasn yang termasuk kawasan lindung tersebut adalah kawasan rawan bencana. Hal tersebut menandakan bahwa kawasan rawan bencana merupakan salah satu kawasan yang memiliki batasan-batasan atau limitasi tertentu dalam penggunaan lahan dan pemanfaatan ruangnya. Hal tersebut juga beriringan dengan dokumen rencana tata ruang suatu daerah yang dilengkapi dengan peraturan zonasi untuk pembangunan dan pengembangan daerah tersebut. Hal tersebut juga sempat dinyatakan oleh Burby dan French pada tahun 1981 bahwa perencanaan tata ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam.
Arah Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan yang dikeluarkan oleh Sekretariat Nasional Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi pada poin keenam tabel arahan kebijaksanaan dan program mitigasi bencana perkotaan menyebutkan bahwa salah satu kebijaksnaaan yang dilakukan adalah mengevaluasi dan merevisi Rencana Tata Ruang (terutama Rencana Tata Ruang Kota), dengan mempertimbangkan aspek mitigasi bencana. Namun, sampai saat ini masih ditemukan suatu kesulitan tertentu untuk mengintegrasikan aspek bencana dengan penataaan ruang. Hal tersebut dikarenakan pada kenyataannya sudah banyak bangunan yang terbangun pada tempat yang seharusnya memiliki limitasi pembangunan tertentu. Contohya yaitu rumah yang dibangun pada kemiringan lahan di atas 30 % dan merupakan kawasan rawan longsor, atau pembangunan yang melebihi batas kemampuan lahan yang dibangundi kawasan resapan air yang berfungsi untuk menahan air dan menyediakan air untuk daerah yang ada di sekitarnya. Berdasarkan arahan pada kebijaksanaan keenam yang telah disebutkan di atas, program evaluasi dan revisi dapat dibagi ke dalam penanganan untuk daerah yang sudah terbangun dan yang belum terbangun. Adapun program yang dapat dilakukan untuk kawasan yang sudah terbangun adalah dengan meningkatkan akses menuju kawasan yang dianggap rawan bencana tersebut, melakukan peremajaan dan melengkapi prasarana dan fasilitas ketahanan bencana yang memadai, menambah ruang terbuka hijau sebagai tempat berinteraksi antar masyarakat maupun sebagai tempat evakuasi apabila terjadi bencana, serta relokasi sumber potensi bahaya teknologi yang terlalu dekat dengan kawasan perumahan. Selain itu, perencanaan tidak hanya fokus pada pembangunan.
1. Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Samudra Hindia dan Kota Padang
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi secara tiba-tiba ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi, dimana akumulasi energi penyebab terjadinya gempa bumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik yang dipancarkan ke segala arah berupa gelombang seismik sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi. Sedangkan, menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya gempa bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Dalam hal ini, tsunami merupakan collateral hazard atau bencana ikutan dari beberapa bencana lainnya yang terjadi terlebih dahulu.
Pada penghujung tahun 2004, tepatnya pada Hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 terjadi bencana gempa bumi dan tsunami yang cukup dahsyat dengan kekuatan gempa sekitar 9,1 SR dan ketinggian gelombang laut sekitar 20-30 meter yang menghantam Nangroe Aceh Darussalam, Thailand, Sri Lanka, Maladewa, daerah pantai selatan Afrika dan beberapa daerah lain yang berada dekat dengan bibir pantai Samudra Hindia. Gempa ini berpusat di tengah laut, tepatnya yaitu pada zona subduksi yang ada di Samudra Hindia itu sendiri. Tabrakan antar lempeng tersebut menyebabkan golakan air laut yang terjadi dan kemudian menimbulkan bencana tsunami. Pada saat itu, bencana ini menghasilkan 280 ribu korban jiwa. Dimana korban yang paling banyak berasal dari daerah NAD itu sendiri sekitar sebanyak 200 ribu jiwa. Selain itu, bencana ini menyebabkan rusaknya pelayanan dan infrastruktur dasar yang ada di Aceh, serta hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Getaran yang diakibatkan oleh gempa ini menimbulkan patahan sepanjang 1500 km dari Aceh sampai Andaman. Kekuatan gempa serta tinggi dan derasnya aliran tsunami mampu menyeret sebuah kapal seberat 2600 ton sejauh 5 km ke daratan.
Gempa ini merusak beberapa bangunan vital dan jaringan infrsatruktur penghubung antarwilayah. Adapun kerugian yang ditimbulkan oleh gempa ini adalah jumlah korban sebanyak 1587 orang (hilang, meninggal, luka berat, dan luka ringan) dan total kerusakan sebesar Rp 20,86 triliun.
Kedua bencana gempa bumi dan tsunami yang ada di atas semakin menyadarkan masyarakat Indonesia dengan kondisi Indonesia yang berada di kawasan rawan bencana. Namun, pada saat gempa dan tsunami terjadi di Samudra Hindia tahun 2004, masyarakat Aceh banyak yang belum siap dalam menghadapi terjadinya bencana tersebut. Hal tersebut dimulai dari sistem peringatan bencana (Early Warning System) yang belum memadai, masyarakat yang masih awam dengan ancaman bencana yang ada, kesiapsiagaan masyarakat akan bencana yang sangat minim, kecakapan manajemen bencana yang belum layak, dan keberadaan jalur dan tempat evakuasi yang belum memadai. Selain itu, tahap tanggap darurat yang dilakukan terkesan cukup lama sampai kepada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang direncanakan pada tahun 2006. Apabila kita bandingkan dengan bencana yang sama yang terjadi di Jepang pada tahun 2011 terjadi perbedaan korban yang cukup signifikan. Gempa Samudra Hindia dengan kekuatan 9,1 SR menimbulkan lebih 200 ribu lebih jiwa, sedangkan gempa Jepang dengan kekuatan 9,0 SR hanya menimbulkan korban sekitar 25 ribu jiwa yang berarti 1/8 kali jumlah korban yang ditimbulkan pada oleh bencana Samudra Hindia. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat kesiapan masyarakat dan pemerintahnya dalam menghadapi kejadian bencana. Selain itu, tak perlu waktu lama Jepang sudah pulih dari keterpurukannya. Terlepas dari luas wilayah dan sistem teknologi Jepang yang canggih,
Gambar 1. Aceh saat Tsunami dan 10 Tahun Setelahnya
Sumber: photo.liputan6.com
Gambar 2. Gempa Padang
penataan ruang yang dilakukan di Jepang sudah mempertimbangkan aspek kebencanaan dikarenakan Jepang juga merupakan salah satu negara yang rentan akan terjadinya bencana, khususnya gempa bumi.
Namun, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah sejak bencana pada tahun 2004 tersebut perkembangan sistem manajemen bencana yang dilakukan di Indonesia semakin baik. Indonesia bekerja sama dengan Jerman untuk membuat sebuah sistem peringatan bencana yang dimulai pada tahun 2005 dan telah disosialisasikan ke beberapa daerah terpencil yang ada di Indonesia khususnya daerah yang rawan bencana. Indonesia juga membentuk Badan Penanggulangan Bencana Nasional 2008. Indonesia juga semakin gencar untuk melakukan sosialisasi tentang kebencanaan kepada masyarakat yang tinggal di dekat kawasan rawan bencana. Selain itu, pembangunan yang ada di Indonesia semakin menuruti rencana tata ruang yang harus mempertimbangkan kawasan rawan bencana, meskipun tidak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan yang harus dibenahi.
2. Letusan Gunung Api Merapi dan Sinabung
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional No. 4 Tahun 2008 luas daerah rawan bencana gunung api di Indonesia sekitar 17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana gunung api sebanyak kurang lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data frekuensi letusan gunung api, diperkirakan tiap tahun terdapat sekitar 585.000 orang yang terancam bencana letusan gunung api. Berdasarkan data, sekitar 13 % gunung berapi yang ada di dunia berada di Indonesia dengan potensi bencana yang berbeda-beda.
Sebagai salah satu negara yang dilalui oleh lintasan cincin api dunia, sejarah letusan gunung api Indonesia sudah mulai terkuak pada saat meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815 yang dikabarkan menjadi letusan terbesar sepanjang sejarah yang menyebabkan seluruh dunia ditutupi langit yang gelap dan mempengaruhi kehidupan sebagian besar daerah di dunia dan mencetak sejarah-sejarah baru dunia. Namun, letusan tersebut tidak banyak disadari oleh masyarakat yang ada di penjuru dunia karena pada saat itu belum ada jaringan komunikasi antarnegara. Berbeda dengan letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 di saat jaringan komunikasi antarnegara sudah mulai berkembang sehingga informasi tentang letusan tersebut lebih cepat tersebar dan diketahui oleh negara-negara lain.
Letusan ini menewaskan lebih dari 300 orang dan menghanguskan banyak rumah , serta merusak lahan pertanian dan perkebunan sehingga produksi hasil pangan setempat menurun. Beberapa tahun setelah letusan Merapi terjadi, tepatnya pada tahun 2013 Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Sumatera Utara meletus setelah dikabarkan tidak aktif selama empat abad. Berbeda dengan letusan Merapi, tinggi asap letusan Sinabung semaksimal mungkin hanya mencapai 10 km dan memuntahkan 2,4 juta m3 material (terhitung sampai Januari 2014) yang didominasi oleh material berbentuk abu dengan sebaran awan panas sejauh 4,5 km. Letusan ini menyebabkan lebih dari 28.000 orang mengungsi dan lebih dari 100.000 Ha lahan pertanian dan perkebunan rusa. Hal yang semakin membedakan bencana letusan Merapi dan Sinabung adalah kondisi permukiman yang berada di sekitar gunung. Dimana erupsi Merapi tidak begitu menjadi masalah karena hanya sedikit masyarakat yang bermukim di dekat puncak gunung. Namun, hal tersebut menjadi masalah saat terjadi erupsi Sinabung dimana ada banyak masyarakat yang bermukim dekat dengan puncak gunung sehingga menjadi salah satu kesulitan tersendiri pada saat melakukan evakuasi.
Hal yang membuat masyarakat berminat untuk tinggal di sekitar gunung adalah dikarenakan kondisi lahannya yang subur yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi lahan pertanian dan perebunan. Namun, hal yang perlu diingat juga adalah apabila erupsi terjadi, kondisi pertanian dan perkebunan akan rusak dan tanah akan kembali benar-benar subur setelah beberapa puluh tahun mendatang. Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan di kawasan letusan gunung api memiliki limitasi-limitasi tertentu. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah tempat dan jalur evakuasi apabila terjadinya letusan maupun aliran awan
Gambar 3. Erupsi Merapi Gambar 4. Bencana Erupsi Sinabung
panas dan tempat atau jalur pengalihan lahar panas maupun dingin agar tidak mengganggu ekosistem lingkungan maupun masyarakat.
3. Bencana Banjir dan Tanah Longsor Jakarta dan Banjarnegara
Banjir dan tanah longsor adalah bencana yang paling dominan terjadi di Indonesia. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional, banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat. Sementara itu, tanah longsor adalah merupakan salah satu jenis gerakan masa tanah atau batuan, ataupun pencampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
Jakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi salah satu lokasi langganan banjir tiap tahunnya yang merupakan air luapan dari Sungai Ciliwung. Adapun penyebab banjir ini adalah semakin meningkatnya luas kawasan wilayah terbangun di Jakarta yang tidak dibarengi dengan peningkatan Ruang Terbuka Hijau yang berfungsi untuk menyerap air, pintu air yang tidak berfungsi dengan baik, pendangkalan dan pengecilan sungai yang disebabkan oleh pembuangan sampah yang dilakukan ke sungai, serta normalisasi pantai yang menyebabkan kawasan yang seharusnya menjadi daerah penampung air laut menjadi berubah fungsi sehingga menyebabkan penurunan permukaan daratan akibat terus-menerus mengalami abrasi dan peningkatan level air laut. Banjir ini menimbulkan kerugian material Jakarta sampai pada angka bertriliun-triliun rupiah dn meningkatkan risiko terjadinya peningkatan harga pokok sebesar 10-20% dari sebelumnya. Hal tersbut dikarenakan Jakarta bukan hanya sekadar pusat pemerintahan, tetapi juga pusat ekonomi wilayah. Dalam menghadapi banjir tersebut, pemerintah Jakarta telah mempersiapkan sekian banyak cara untuk menanggulangi dan meminimalisir frekuensi dan dampak yang ditimbulan akibat banjir itu sendiri, baik itu dengan merelokasi perumahan yang berada di pinggir sungai, pengerukan dan penjernihan sungai, dan lain-lain. Kanal yang terdapat di Jakarta adalah merupakan salah satu sistem penanganan bencana banjir yang ada di Jakarta sejak zaman pemerintahan Belanda. Namun, selain pemerintah masyarakat juga memegang peran penting dalam penanggulangan bencana sehingga harus ada koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir.
endapan vulkanik tua yang sudah lama dan lapuk, kondisi kelerengan lahan yang cukup terjal sehingga apabila terjadi hujan akar pohon tidak dapat menahan tanah dan terjadilah longsor, dan aktivitas pertanian dan penggunaan lahan di beberapa lokasi yang tidak sesuai dengan aturan penggunaan kawasan konservasi air. Namun, salah satu hal yang juga ikut memberikan kontribusi penting dalam longsor tersebut adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang ada di sekitar lokasi longsor yang akan berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah permukiman maupun kawasan terbangun lain yang beberapa pembangunannya tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Setiap longsor ini terjadi akan menimbulkan korban jiwa sekitar 50 orang dan kerusakan bangunan seperti rumah dan lain-lain. Karena lomgsor ini terjadi hampir setiap tahunnya diharapkan masyarakat untuk menyadari kondisi rawan bencana yang dihadapinya. Selain itu, sebagian besar masyarakat tidak mengerti tentang tata cara penggunaan lahan miring. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi dari pemerintah terkait dengan penggunaan lahan tersebut agar masyarakat setidaknya dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya longsor maupun dampak yang ditimbulkannya, seperti dengan penanaman komoditi tani atau kebun berupa tanaman keras agar tanaman tersebut nantinya dapat menahan air dan menguatkan tanah.
Poin-poin di atas adalah beberapa bencana yang terjadi di Indonesia sekitar abad ke-21 (tahun 2000-an) dan mitigasi bencana yang dilakukan untuk menanggulanginya sebagai peran mitigasi bencana dalam bidang perencanaan.
Gambar 5. Banjir Jakarta Gambar 6. Longsor Banjarnegara
PENUTUP
Berdasarkan bahan isi di atas diterangkan mengenai peran mitigasi bencana dalam bidang perencanaan dan integrasi antara keduanya yang ternyata masih belum memadai mengingat kedua hal tersebut merupakan hal yang berhubungan. Proses perencanaan atau tata ruang dan pembangunan yang ada di Indonesia masih belum begitu memperhatikan aspk kebencanaan. Sehingga dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana cukup besar. Namun, suatu peristiwa akan dianggap sebagai suatu bencana apabila ada kerugian yang ditimbulkannya, baik korban jiwa maupun kerugian materil dan fisik. Sementara itu, yang membunuh dan melukai manusia, serta merusak lingkungan bukanlah bencana itu sendiri, melainkan bangunan yang ada di daerah tersebut. Oleh karena itu, pendirian bangunan tersebut adalah salah satu hal yang dapat diintervensi oleh bidang perencanaan atau penataan ruang. Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat risiko bencana yang cukup tinggi, harus benar-benar mempertimbangkan aspek mitigasi dalam pelaksanaan perencanaan dan pembangunan. Meskipun banyak hal dari aspek kebencanaan dan mitigasinya yang terkait dengan bidang perencanaan atau tata ruang, hal yang harus diperhatikan adalah pencapaian tujuan mitigasi bencana untuk kesejahteraan Indonesia bukan hanya untuk satu bidang saja. Namun, dengan banyaknya komponen-komponen dan ilmu-ilmu spesifik yang ada di dalamnya, diharapkan bidang perencanaan mampu menjadi pilar dan tonggak untuk mendorong aspek penanggulangan bencana khususnya di kawasan rawan bencana di Indonesia.
REFERENSI
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Damayanti, Pribasari. 2012. Bencana dan Keterkaitannya dengan Perencanaan Wilayah dan Kota. Badung Disaster Study Group. tersedia dalam http://bandung-disaster-study-group.blogspot.co.id/2012/05/belakangan-marak-berita-terjadi-bencana.html
diakses pada Jum’at 26 Februari 2016 pukul 18.00 WIB.
Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia tersedia dalam
http://perencanaankota.blogspot.co.id/2013/02/perencanaan-tata-ruang-berbasis.html
diakses pada Jum’at 26 Februari 2016 pukul 18.06 WIB.
Simarmata, Hendricus Andri. Faktor Kebencanaan Dalam Penataan Ruang tersedia dalam http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=226 diakses pada Jum’at 26 Februari 2016 pukul 18.30 WIB.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Gempa Bumi.
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Gempabumi_-_Tsunami/Gempabumi.bmkg diakses pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 15.28 WIB.
National Geographic Indonesia. 2012. 26 Desember 2004, Gempa dan Tsunami Getarkan Aceh tersedia dalam http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/26-desember-2004-gempa-dan-tsunami-getarkan-aceh diakses pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 15.53 WIB.
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara tersedia dalam http://www.bappenas.go.id/files/2113/5228/3473/bab-33-rehabilitasi-dan-rekonstruksi-nanggroe-aceh-darussalam-nad-dan-sumatera-utara.pdf diakses pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 16.15 WIB.
Padang
Pascabencana
tersedia
dalam
http://ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/bp/kota.padan
g/BAB%20IV%20Padang%20PascaBencana.doc
diunduh pada Senin, 01
Februari 2016 pukul 16.48 WIB.
World Bank. 2010. Mengukur Kerugian yang Diakibatan oleh Merapi tersedia dalam
2014. Vulkanolog: Erupsi Sinabun belum sebesar Merapi teresdia dalam
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/01/140121_sains_gunung_sinabung diakses pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 22.00 WIB.
Ahadi. 2012. Penyebab Banjir di Jakarta tersedia dalam
http://www.ilmusipil.com/penyebab-banjir-di-jakarta diakses pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 23.40 WIB.
2014. Longsor Banjarnegara, Jokowi Fokus Urus Evakuasi tersedia dalam