• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negara Kebijakan dan Tafsir Warisan Buda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Negara Kebijakan dan Tafsir Warisan Buda"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Negara, Kebijakan dan Tafsir Warisan Budaya

1

Oleh

Transpiosa Riomandha 13/354363/PSA/07599

A. Membaca tiga berita

Kasus mengenai rencana akan dibangunnya pabrik baja di kawasan Trowulan, menjadi isu yang cukup menghebohkan sejak pertengahan tahun 2013. Diskusi hangat pro-kontra terjadi tidak hanya antar masyarakat dan stake-holder terkait yang ada di Trowulan, Mojokerto atau Jawa Timur saja, namun juga menjadi isu yang cukup panas di tingkat nasional. Informasi tersebar melalui komunikasi jejaring sosial, media massa ataupun gerilya komunikasi lokal serta interlokal, petisi online dan offline pun dibuat berkenaan dengan isu tersebut. Saya mencoba merangkum gerak media memediasi isu ini melalui tiga

“berita online”, sembari mengingat diskusi secara online pula yang saya ikuti di jejaring media sosial (facebook).

Warga Desa Wates Umpak menggelar demonstrasi dan teatrikal menolak pembangunan pabrik pengolahan baja di kawasan situs purbakala di Jalan Raya Trowulan, Mojokerto (19/7). (Tempo.co)

Media online “tempo.co” pada Kamis 3 Oktober 2013 menampilkan berita mengenai “respon” kemdikbud atas rencana berdirinya Pabrik Baja di Trowulan. Berikut

1

(2)

beberapa kalimat yang saya kutipkan dari berita tersebut, yang dituliskan oleh Subhkan

(huruf besar dan cetak miring oleh saya)

“Kita sudah MEMINTA Pemkab untuk meninjau kembali izinnya dan SEBAIKNYA MEMINTAPERTIMBANGAN Kementrian. Tapi belum ada jawaban (dari Pemkab),” ujar

Dirjen Kebudayaan Kacung Marijan kepada Tempo, Kamis, 3 Oktonber 2013.”

“Kami MENUNGGU KEBIJAKAN Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan setelah penggalian lokasi lahan pabrik tidak ditemukan apa-apa,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Mojokerto, Ketut Ambara.

Sementara itu respon Kemdikbud berkaitan dengan petisi persoalan Pabrik Baja di Trowulan yang ditampilkan di situs resminya menyatakan (saya kutipkan secara utuh):

“Kami menyampaikan terima kasih atas petisi “jangan rusak Trowulan, tolak pabrik baja,

tetapkan cagar budaya”, yang telah Anda tandatangani. Kami menyampaikan apresiasi yang

tinggi atas kepeduliannya terhadap upaya pelestarian cagar budaya terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh berbagai hal. Kita semua terus menerus berupaya, baik dari sisi pengaturan, kebijakan (policy), maupun penguatan melalui kegiatan-kegiatan penyelamatan langsung di lapangan. Upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh Pemerintah sehubungan dengan hal tersebut antara lain:

1. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelestarian Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah tentang Museum sebagai amanat dari UU Republik Indonesia No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang segera akan disahkan. Saat ini telah memasuki tahap akhir, akan masuk dalam harmonisasi, dan menunggu pengesahan dari Presiden.

2. Rekomendasi dari Tim Ahli Nasional Cagar Budaya sebagai bagian dari proses penetapan Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional telah disusun (amanat dari UU RI No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Rekomendasi tersebut akan dijadikan dasar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menetapkan Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional dalam waktu dekat. 3. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman bersama dengan beberapa anggota Tim Ahli Nasional Cagar Budaya telah melakukan audiensi dengan pihak Bupati Mojokerto pada tanggal 14 Agustus 2013, selaku pihak yang mengeluarkan izin pembangunan pabrik baja dimaksud, dan pihak pengembang.

4. Audiensi tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan sementara pembangunan pabrik baja dimaksud, sambil menunggu selesainya hasil kajian arkeologis oleh Tim Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. 5. Saat ini kajian dimaksud telah selesai dan sedang dilakukan perumusan untuk

memberikan rekomendasi akhir kepada Bupati Mojokerto dalam menentukan kebijakan terkait perizinan pembangunan pabrik baja tersebut. Rekomendasi akhir dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman tersebut dijadwalkan selesai pada pertengahan pertama bulan September 2013.

6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah pula menyiapkan surat edaran kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melaksanakan amanat isi dan substansi dari UU RI No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai dasar pertimbangan kebijakan dalam pengambilan keputusan terkait perijinan segala jenis pembangunan fisik yang diperkirakan akan berpotensi menimbulkan dampak pada Cagar Budaya atau Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya.

(3)

Demikian tanggapan kami terhadap upaya penyelesaian kasus pelestarian cagar budaya di Trowulan, yang saat ini masih dalam proses akhir rekomendasi ke Pemerintah Daerah setempat. Harapan kita semua agar Cagar Budaya senantiasa tetap lestari, yang akan memberikan manfaat positif bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.

Jakarta, 2 September 2013 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia”

Pada berita kedua ini, kita bisa melihat bagaimana individu-individu yang bersatu atas nama kepedulian terhadap situasi di Trowulan, bergerak melalui petisi tertulis yang disebarkan secara online, gerak tersebut ternyata mampu mempengaruhi negara (melalui kemdikbud) untuk merespon petisi tersebut, dan sekaligus “menghentikan sementara

pembangunan pabrik baja di Trowulan, sembari menunggu hasil riset tim ahli dan proses penetapan cagar budaya untuk Trowulan.

Berita berikutnya, adalah respon berbeda dari sekelompok masyarakat melakukan unjuk rasa yang intinya menolak kebijakan undang-undang cagar budaya sekaligus memohon agar pembangunan pabrik baja dapat terus dilanjutkan. Berita tersebut ditampilkan pada media online “lensaindonesia.com” pada 6 Nopember 2013 (cetak miring oleh saya).

“Kami BUTUH KERJA. Jangan jadikan alasan cagar budaya sehingga mengakibatkan warga desa jadi pengangguran,” tutur Suhardi, salah satu warga saat berorasi. … “Segera beri izin pendirian pabrik,” tegasnya.

Koordinator aksi, Mulyadi, mengatakan masyarakat Desa Jatipasar dan Desa Watesumpak

butuh pekerjaan. “JANGAN DISKRIMINASIKAN wilayah kami dengan industri karena rakyat butuh pekerjaan. Dengarkan rakyat di bawah sini. Jangan hanya duduk di sana saja tapi lihat rakyat, kami butuh pekerjaan,” ungkapnya. … “JANGAN KORBANKAN RAKYAT DENGAN UU CAGAR BUDAYA,” lanjutnya.

Berita yang ketiga ini menunjukkan bahwa urusan pembangunan dan pemaknaan keberadaan bangunan bersejarah, selalu tak lepas dari urusan politik, ekonomi dan kebijakan negara.

Tiga berita dengan tiga peristiwa tersebut, menunjukkan pada kita bagaimana ketegangan hampir selalu terjadi pada urusan-urusan yang terkait dengan perubahan (makna) dari peninggalan budaya dan areal sekitarnya. Pernyataan Trowulan segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya, istilah yang seringkali diterjemahkan sebagai Cultural Heritage. Negara dengan kebijakannya, menjadi salah satu aktor yang terlibat, karena

(4)

B. Memahami konsep Cultural Heritage atauWarisan Budaya

Cultural Heritage” telah menjadi isu internasional dengan terbitnya beberapa

Konvensi Internasional, khususnya melalui UNESCO. Kita bisa menyebut beberapa itu seperti World Heritage Convention (1972), Recommendation for Safeguarding of Folklore and Traditional Culture (1989) serta Convention for Safeguarding of the Intagible Cultural Heritage (2001) hingga UN Declaration on the Rights of Indigenous People (2007).

Jokilehto (2005: 4-8) menulis mengenai konsep Cultural Heritage untuk UNESCO mengenai Definition of Cultural Heritage, yang digunakan untuk ICCROM working group Heritage and Society. Berangkat dari pengertian kebudayaan menurut EB Tylor2 dan dilanjutkan Kroeber dan Kluckhohn3, Jokilehto mengatakan pengertian kebudayaan menjadi semakin kompleks untuk diartikan dan diklasifikasikan. Catatan tersebut juga mencatat bagaimana perkembangan pendefinisian Cultural Heritage yang digunakan sebagai rujukan sejak era Antik Abad ke 6 dari Theodor the Great sampai tahun 2004 dari ICOMOS UK mengenai Cultural Landscape4. Dari referensi sejarah dokumentasi definisi

Cultural Heritage tersebut, Jokilehto kemudian membuat pengertian Cultural Heritage

sebagai berikut:

The cultural heritage may be defined as the entire corpus of material signs - either artistic or symbolic - handed on by the past to each culture and, therefore, to the whole of humankind. As a constituent part of the affirmation and enrichment of cultural identities, as a legacy belonging to all humankind, the cultural heritage gives each particular place its recognizable features and is the storehouse of human experience. The preservation and the presentation of the cultural heritage are therefore a corner-stone of any cultural policy.

(Warisan budaya dapat didefinisikan sebagai seluruh ketubuhan tanda-tanda material - baik artistik maupun simbolik - diserahkan oleh masa lalu untuk setiap kebudayaan dan, sekaligus untuk seluruh umat manusia. Sebagai konstituen dari penegasan dan pengayaan identitas budaya, sebagai warisan milik seluruh umat manusia, warisan budaya memberikan setiap tempat menjadi ditemu-kenali dan menjadi bangunan dari pengalaman manusia. Oleh karena itu, pelestarian dan penyajian warisan budaya adalah semacam batu penjuru bagi seluruh kebijakan kebudayaan).

Pengertian dari kata heritage sendiri, pada bahasa Indonesia dalam beberapa kesempatan digantikan dengan kata yang berbeda-beda seperti “pusaka”, “warisan”, atau

2“Culture … is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morale, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” (via Jokilehto, 2005)

3

In 1952, U.S. anthropologists, A.L. Kroeber and C. Kluckhohn cited 164 definitions of culture, including for example: "learned behaviour", "ideas in the mind", "a logical construct", "a statistical fiction", "a psychic defence mechanism"; more recently, they have favoured to define 'culture' as "an abstraction from behaviour". (via Jokilehto, 2005)

4

(5)

“peninggalan” 5. Sementara itu, istilah “cagar budaya”6 biasanya merujuk pada cultural heritage yang telah resmi ditetapkan oleh negara sebagai cagar budaya, dengan konsekuensi konsep perlindungan dan pelestarian melekat pada “benda” cagar budaya tersebut sesuai yang telah diatur melalui Undang-undang No. 11/2010 tentang Cagar Budaya.

Sesungguhnya bagaimana kita memahami watak daripada warisan budaya ini, mari kita lihat perspektif Regina Bendix yang saya kutip ulang dari tulisan Lono Lastoro Simatupang.

Cultural heritage does not exist, it is made. From the warp and weft of habitual practices and everyday experience the changeable fabric of action and meaning that anthropologists

call „culture‟ – actors choose privileged excerpts and imbue them with status and value. (Bendix, 2009: 255)

(Warisan budaya tidak ada [dengan sendirinya – Simatupang.], melainkan dibuat. Dari malang dan melintangnya praktik kebiasaan dan pengalaman keseharian – rajutan tindakan dan makna yang dapat berubah, yang oleh antropolog disebut „budaya‟ – para pelaku memilih beberapa intisari yang diistimewakan serta membubuhkan status dan nilai padanya.)

Y et preservation always also entails selection. Not everything is honoured; some aspects must be forgotten, so as to increase the potential for identification of what is selected. Thus, within the potential for identification carried by cultural heritage, conflict also resides: certain marginalised remains of cultural historical memory will have been excluded from the process now being named „heritagisation‟. (Bendix, 2009: 254)

(Namun preservasi senantiasa menyertakan pilihan/seleksi. Tidak semua hal dihormati; beberapa aspek harus dilupakan, agar dapat meningkatkan peluang identifikasi atas apa yang dipilih. Dengan demikian, di dalam peluang identifikasi yang dibawa oleh warisan budaya juga terdapat konflik: peninggalan-peninggalan tertentu yang terpinggirkan dari ingatan sejarah kultural akan dikeluarkan dari proses yang kini diberi nama „warisanisasi‟.)

Apa yang telah dikatakan oleh Bendix, bisa kita lihat dari potret kasus yang terjadi di Trowulan, seperti paparan berita yang telah hadir di awal tulisan ini. Warisan budaya adalah arena dari pertarungan kepentingan baik perspektif politik, ekonomi atau sector lainnya, termasuk misalnya perkara tafsir keyakinan atau pengetahuan. Hal tersebut pada gilirannya membuat kita melakukan seleksi dengan memilih (sekaligus memilah), mengingat sekaligus melupakan. Dengan demikian, perkara menentukan kebijakan seperti penetapan cagar budaya akan selalu mengandung potensi konflik.

5

Baca penjelasan Ahimsa-Putra terkait pengertian Warisan, Pusaka dan Tinggalan (Budaya), pada “Warisan

Budaya” dalam Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya, Arwan Tuti Artha dan Heddy Shri Ahimsa-Putra, Yogyakarta: Kunci Ilmu

6

(6)

Lebih lanjut, Simatupang mengutip Laurajane Smith dan Emma Waterton, yang mengatakan bahwa persoalan Warisan (Budaya) tak bisa berhenti pada urusan penetapan saja, namun dari apa yang kemudian dilakukan setelah ditetapkan.

Heritage values are not innate to heritage objects or places, or indeed to the „intangible‟

expressions as defined under the 2003 Convention. (…) Objects, places or events of

„heritage‟ are given heritage values through the performances of selecting and placing

them on „heritage‟ lists or registers. These values are then reinforced through the performances of management and conservation, interpretation and visitation. (Smith dan Waterton, 2009: 292)

(Nilai-nilai warisan tidak ada dalam diri obyek atau tempat, atau bahkan dalam ekspresi

„nir-wujud‟ seperti didefinisikan pada Konvensi tahun 2003. (…) Obyek, tempat atau

peristiwa „warisan‟ memperoleh nilai warisannya melalui kinerja pemilihan dan penempatan hal-hal tersebut dalam daftar atau judul „warisan.‟ Nilai tersebut kemudian diperkuat melalui kinerja pengelolaan dan konservasi, interpretasi dan kunjungan.)

Perlakuan-perlakuan istimewa melalui kinerja-kinerja yang disebutkan Smith & Waterton,

tersebut akan memperlihatkan bahwa “warisan akan menjadi benar-benar warisan”.

“Warisan”-nya (sendiri) sebagai produk budaya material, tak bisa menentukan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang istimewa tanpa respon perlakuan-perlakuan istimewa. Penetapan-penetapan Warisan Budaya sebagai Cagar Budaya misalnya, tanpa kemudian ditindaklanjuti dengan kerja-kerja berkaitan dengan pengelolaan, konservasi, pembangunan tafsir serta kunjungan-kunjungan, maka Cagar Budaya tersebut hanyalah hampa makna.

Lebih lanjut, Smith dan Waterton juga mengingatkan bahwa seringkali kita selalu suka untuk membedakan warisan dalam bentuknya yang material ataupun non material,

tangible atau intangible. Pembedaan seperti itu akan meniadakan satu dan lainnya, keduanya merupakan cerminan dua sisi keping mata uang yang sama.

“... heritage cannot be defined by its materiality or non-materiality, but rather by what is done with it. Thus, whether we are dealing with historic houses, industrial sites and archeological ruins, or traditional dance and the retelling of oral histories and storylines, we are dealing with the same thing: and what we are dealing with what heritage is is the performance and negotiation of identity, values and a sense of place.” (Smith dan

Waterton, 2009: 292)

(... warisan tidak dapat didefinisikan berdasarkan materialitas atau nonmaterialitasnya, melainkan oleh apa yang dilakukan terhadapnya. Dengan demikian, apakah kita sedang berurusan dengan rumah-rumah bersejarah, situs industrial dan puing-puing arkeologis, atau tari tradisional dan penceritaan kembali sejarah lisan dan cerita, sebenarnya kita sedang berurusan dengan hal yang sama: dan yang sedang kita urusi – yakni warisan sejatinya – itu adalah pergelaran dan negosiasi identitas, nilai dan rasa [keterhubungan] dengan tempat.)

(7)

ini. Warisan (budaya) kemudian juga bisa dilihat sebagai kontes negosiasi identitas tentang nilai, rasa memiliki, yang terkait dengan tempat.

Pada paparan bagian ini, warisan budaya kemudian dilihat melalui pendefinisian oleh sebuah kekuatan yang berada di luar Negara, yakni lembaga seperti UNESCO, dimana kemudian hukum dan kesepakatan Internasional yang disusun disepakati dan diratifikasi oleh Negara-negara anggotanya. Negara kemudian meredefinisikan kembali melalui aturan-aturan hukum positif, kelembagaan serta perangkat-perangkat lainnya.

Sejak kehadiran Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera pada 1901, kemudian Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie pada 14 Juni 1913 (yang ditetapkan sebagai hari kepurbakalaan Indonesia)7, kegiatan Arkeologis menjadi aksi penting. Perkembangan berikutnya hingga kini adalah muncul beberapa institusi dengan peran yang berbeda-beda, semisal Puslit Arkenas, Balai Arkeologi, Balai Pelestarian Cagar Budaya. Balai Pelestarian Nilai Budaya dimana semuanya berada di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Perubahan-perubahan secara institusional dan birokrasi baik ditingkat kementrian sampai ke tingkat pelaksana tentu saja cukup mempengaruhi kinerja-kinerja istimewa dalam pengelolaan warisan budaya di Indonesia.

Keberadaan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya memperbaharui UU Cagar Budaya No. 5/1992 serta hadirnya Konvensi Internasional dengan yang paling tua adalah

World Heritage Convention (1972), sementara yang lain baru muncul pada durasi waktu berikutnya Recommendation for Safeguarding of Folklore and Traditional Culture (1989) serta Convention for Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (2001) hingga UN Declaration on the Rights of Indigenous People (2007).

Dengan demikian, secara formal kebijakan kebudayaan Negara terkait “warisan budaya” dalam urusan “Cagar Budaya”, dilakukan dan terus diperbaharui dan ditinjau

urusan aturan dan perangkat-perangkat kelembagaan lainnya. Namun, bagaimana kemudian kinerja-kinerja istimewa yang dilakukan Negara tersebut berjalan?

C. Menafsir ulang penetapan Cagar Budaya

Trowulan memiliki cukup banyak bangunan yang telah resmi tercatat sebagai cagar budaya, namun ternyata areal tersebut belum secara resmi ditetapkan sebagai Kawasan

7

Lebih lanjut tentang Sejarah Institusi Kepurbakalaan di Indonesia ini, silahkan baca Bambang Budi Utomo,

“Sejarah Institusi Arkeologi di Indonesia” (indoarcheology.com) yang ditampilkan ulang pada blog: http://djuliantosusantio.blogspot.com/2009/04/sejarah-institusi-arkeologi-di.html

(8)

Cagar Budaya. Status penetapan oleh negara penting jika kita melihat melalui perspektif managerial konservasi. Namun demikian, tentu saja perlu diuji lebih lanjut bagaimana kemudian penetapan tersebut mampu dirasakan secara adil oleh masyarakat, khususnya yang selama ini telah menetap di lokasi tersebut secara turun temurun. Apapun alasannya, protes sekelompok orang yang mendukung pendirian pabrik baja di Trowulan adalah potret tantangan selepas penetapan Trowulan sebagai Cagar Budaya.

Selama ini, negara hadir di (Warisan Budaya) Trowulan, melalui pagar, pos keamanan, juru pelihara, papan nama, papan peringatan, serta beberapa program terkait pemeliharan dan konservasi atas bangunan-bangunan cagar budaya yang ada di Trowulan. Menetapkan Trowulan menjadi kawasan Cagar Budaya, adalah berarti (minimal) melibatkan semua pihak yang ada di dalam kawasan tersebut untuk bersama-sama. Berkaitan dengan soal ini, sepertinya kita perlu melihat pengalaman-pengalaman yang

telah terjadi sebelumnya berkaitan dengan “Negara, Masyarakat dan Kebudayaan”.

Urusan-urusan seperti Penetapan ke-Cagar Budaya-an, merupakan hal yang cukup dekat dengan isu yang hangat di abad-20 yakni mengenai “hak kepemilikan budaya”. (Cultural Property Rights). Diskusi mengenai hal ini biasanya memiliki dua aras utama yakni dikaitkan dengan relasi mengenai Indigenous People (saya lebih suka menggunakan istilah masyarakat adat) atau persoalan-persoalan Heritage.

Isu mengenai masyarakat adat bisa kita lihat, salah satunya adalah di sekitar areal Taman Nasional. Hampir kasus-kasus yang muncul ke permukaan adalah bagaimana kemudian masyarakat adat yang sudah terbiasa selama beberapa generasi memanfaatkan

dan “memiliki” hutan, kemudian tiba-tiba menjadi pesakitan dengan stigma “perambah

hutan” dan tak bisa masuk kembali ke hutan leluhur. Perlindungan kawasan hutan, menjadi alasan ketika tiba-tiba negara menutup akses hutan itu terhadap “pemilik asli”-nya. Namun demikian, ketika negara berselingkuh dengan pemilik modal besar, tiba-tiba taman nasional menjadi areal yang hiruk pikuk dengan munculnya investor-investor “pemilik

baru” dari areal di taman nasional tersebut. Modus seperti ini kemudian membuat isu “hak

ulayat” sebagai sesuatu yang perlu dilindungi dan urusan yang perlu untuk diangkat. Negara pada dasarnya akan dianggap melakukan pelanggaran HAM, ketika mencerabut masyarakat adat dari tanahnya, apalagi ketika Negara menjualnya kepada investor dengan perjanjian yang tidak adil bagi masyarakat adat sekitar lokasi Taman Nasional.

(9)

ataupun pengaturan lahan. Kepemilikan secara adat, harus dikonversikan menjadi legalitas

menurut negara. Persoalan konversi ini yang kemudian mempertemukan “budaya lokal” dengan “budaya lain”-nya yang diwakili Negara, investor ataupun pihak ketiga lainnya.

Pengalaman dalam pengelolaan Taman Nasional, bisa menjadi ruang bagaimana kita menafsirkan bagaimana memaknai warisan budaya. Warisan (budaya) tak bisa menentukan dirinya sendiri menjadi warisan, namun ia memerlukan perlakuan istimewa melalui kinerja pengelolaan, konservasi, pembangunan tafsir serta kunjungan-kunjungan. Kinerja-kinerja istimewa ini selalu saja akan memilih (dan sekaligus memilah), produk material yang terpinggirkan dari ingatan sejarah atau menyulitkan kinerja-kinerja istimewa pastinya akan terlupakan sebagai warisan budaya.

Pada era hari ini, situs cagar budaya mendapat keistimewaan dengan memperoleh makna baru sebagai tempat kunjungan wisata. Negara menyediakan ruang bagi masyarakat umum untuk mengapresiasi, menafsirkan ulang atas warisan budaya masa lalu, pada hari

ini. Tentu saja kita perlu kritis atas kata “wisata” yang disematkan pada “warisan” (budaya). Pada pengelolaan “Taman Wisata Ratu Boko, Prambanan dan Borobudur”

pemerintah memiliki kekuasaan untuk menggandeng pihak ketiga, swasta untuk pengelolaan kewisataan areal tersebut. Tentu saja pengunjung kemudian harus mematuhi aturan-aturan yang tak hanya ditetapkan oleh negara tapi juga oleh rekanan negara, agak unik juga membedakan harga tiket bagi wisatawan asing atau domestik. Dengan mudah pula kita bisa menemukan arena bermain dan fasilitas wisata lainnya pada beberapa situs Warisan Budaya.

(10)

Candi Lumbung Sengi statusnya masih mengontrak di tanah milik. Perlakuan istimewa atas akibat abu Merapi terhadap warisan budaya di daerah terdampak, memang tak sama. Jika Borobudur dibersihkan dengan bantuan ratusan tenaga volunteer, maka situs-situs lainnya dibersihkan oleh juru pelihara (jika ada) dan dengan bantuan air hujan dan waktu yang berbeda.

Mengelola banyaknya warisan budaya memang bukan hal yang mudah bagi negara, dalam hal konservasipun telah diatur sedemikian rupa supaya warisan tersebut tetap lestari, meskipun kenyataannya masih banyak yang tertinggal atau ditinggalkan. Keterlibatan pihak-pihak di luar Negara seperti akademisi, praktisi dan masyarakat umum kemudian perlu dicermati. Sejarah kemudian mencatat, bagaimana kelompok-kelompok pemerhati warisan budaya di Indonesia bermunculan, dengan gayanya masing-masing sesuai bagaimana kelompok-kelompok tersebut memaknai dan belajar memandang warisan budaya dari kacamata hari ini. Aras utama pemaknaan warisan budaya, tak lagi menjadi milik negara dan tim ahlinya tapi kontribusi kelompok-kelompok tersebut mulai diperhitungkan. Kinerja istimewa terhadap situs-situs marginal dimana negara menjadi pihak yang absen, justru dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut, khususnya dalam memberikan tafsir baru serta apresiasi atas warisan budaya: Candi itu tak cuma Borobudur Prambanan atau Kraton Ratu Boko. Tautan dengan konsep wisata alternatif kunjungan ke situs-situs warisan budaya agaknya telah menjadi gaya hidup baru. Terutama juga

bagaimana sesungguhnya sejak konsep “Warisan Budaya” dalam hukum positif Negara hadir, sesungguhnya masyarakat telah lama melakukan kinerja-kinerja istimewa atas situs-situs warisan budaya atau cagar budaya dengan tafsir yang tentu saja berbeda.

D. Memandang Warisan Budaya sebagai monumen menghadirkan yang absen

Keberadaan UU 11/2010 tentang Cagar Budaya sebagai alat untuk melakukan kinerja-kinerja istimewa bisa kita lihat sebagai dua sisi. Pertama ia bisa kita lihat sebagai adanya kepastian hukum atas warisan budaya untuk memperoleh perlakuan istimewa. Kedua, undang-undang tersebut bisa kita lihat sebagai tafsir tunggal atas pemaknaan cagar

budaya, tanpa penetapan maka “warisan budaya” tak akan bermakna dan ia kemudian

boleh saja menghilang. Namun demikian, bagaimana kita kemudian melihat geliat perlakuan dan kinerja-kinerja istimewa yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri?

Saya ingin menceritakan pengalaman unik saya berkait dengan bagaimana

menafsirkan “warisan budaya”. Pada satu ketika saya melihat semacam lapik arca di

(11)

saya menghubungi guru kelas anak saya serta kepala sekolahnya, untuk memberitahukan bahwa di areal sekolah mereka terdapat benda warisan budaya. Secara informal saya kemudian juga kontak dengan BPCB DIY menceritakan perihal benda tersebut. Namun demikian, ternyata perlu laporan yang resmi (dari kepala sekolah atau perwakilan kampung) agar bisa ditindaklanjuti. Saya sendiri tidak tahu apakah kemudian terjadi komunikasi relasi resmi tersebut, buat saya secara informal seluruh pihak sudah saling tahu, dan sebetulnya sekitar 5-7 km terdapat Penampungan Benda Cagar Budaya Turi yang digunakan sebagai lokasi penyimpanan benda-benda warisan budaya, khususnya yang terbuat dari batu dan berasal dari masa klasik Hindu-Buddha. Namun demikian, hingga kini benda tersebut tetap berada di halaman sekolah dan memiliki makna baru sebagai dudukan pot bunga.

Tafsir berikutnya, adalah soal menghadirkan yang absen, dan keramat-nya warisan budaya. Meyer dan Woodthrope (2008 via Meyer 2010: 104) menceritakan mengenai apa yang dirasakan ketika berada di museum dan pemakaman.

In a museum and a cemetery we can „feel‟, „see‟, and „hear‟ absence. In cemeteries, we are confronted with absence in the loss of people … In museums, we are confronted with the

absence of the „world out there‟ and/or the „world that once was‟. Both sites, hence, do

something to and something with the absent – transforming, freezing, materialising, evoking, delineating, enacting, performing, and remembering the absent.

Dalam museum dan pemakaman kita bisa 'merasa', 'melihat', dan 'mendengar' yang absen. Di pemakaman, kita dihadapkan dengan ketidakhadiran dari orang yang telah menghilang... Di museum, kita dihadapkan dengan ketidakhadiran 'dunia di luar sana' dan atau 'dunia yang dulu'. Pada kedua lokasi tersebut, maka, (kita) melakukan sesuatu untuk dan sesuatu dengan yang absen – (melalui) transformasi, pembekuan, mewujudkan, membangkitkan, menggambarkan, memberlakukan, melakukan, dan mengingat yang tidak ada itu.

Meyer menambahkan, pemakaman adalah tempat yang melembaga untuk mengingat yang absen. Pemakaman adalah ruang di mana secara literer kita benar-benar menemukan sisa-sisa dari orang-orang yang pernah hidup, (kini) ia berada di bawah tanah dan tersembunyi dari pandangan.

(12)

sebagai warisan yang dianggap suci, wingit, keramat atau begitu penting (Ahimsa-Putra, 2004).

Warisan Budaya kemudian dapat dilihat terus mengalami redefinisi dengan pertemuan-pertemuannya dengan tafsir-tafsir budaya-budaya “baru” yang memaknai warisan sebagai hal yang baru pula. Candi-candi yang “ditinggalkan” ketika Islam datang ke Jawa sebagai kekuatan imperium baru di akhir masa Majapahit, kemudian juga mau tidak mau bertemu dengan pemaknaan baru. Ini yang mungkin membedakan kenapa situs-situs di Bali masih relatif tidak berubah fisik maupun fungsinya, karena ia masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sekitarnya.

Candi-candi atau situs-situs pra Islam kemudian dihadirkan kembali sebagai monumen ingatan pada kebudayaan yang hadir sebelumnya, ia kemudian diletakkan sejajar pada monumen ingatan kolektif tentang orang yang pernah hidup dan tetap hidup dalam kenangan. Ingatan itu dihadirkan kembali dalam monumen material sebentuk batu nisan, yang mereka datangi dalam durasi waktu tertentu untuk menghadirkan kembali kenangan-kenangan atau menghadirkan yang absen. Hal ini membuat, banyak situs-situs pra Islam yang hadir di pemakaman.

Dengan demikian, pada tingkat pertama perlakukan-perlakuan atau kinerja-kinerja istimewa tak hanya dilakukan oleh Negara, masyarakat umum juga melakukannya dengan menggunakan kebiasaan yang telah dilakukan oleh para orangtua mereka. Kinerja-kinerja istimewa dari masyarakat, melalui perilaku yang diwariskan, pewarisan perilaku mengenai perlakukan terhadap warisan budaya.

E. Penutup

Perjalanan memburu yang absen menjadi petualangan yang menyenangkan untuk belajar menafsir ulang situs warisan budaya dalam konteks hari ini8. Komunitas-komunitas pecinta heritage muncul dengan berbagai bentuk tafsir konseptual ataupun kinerja istimewanya, mulai dengan melihat dalam aspek wisata heritage, fotografis, sejarah, supranatural, dan sebagainya. Jejaring media social seperti facebook, kemudian menjadi salah satu ruang untuk mempertemukan hampir seluruh kelompok tersebut, termasuk dengan aktor-aktor di tingkat Negara. Semakin menarik ketika kebijakan dan tafsir warisan budaya kemudian didiskusikan, didefinisikan dan ditafsirkan bersama, dan memunculkan

8

(13)

potensi untuk pengelolaan bersama. Hal tersebut yang membuat perlunya terus menerus terjadi dialog sehingga persoalan seperti yang terjadi di Trowulan ataupun situs-situs cagar budaya lainnya, dapat ditafsirkan dengan semangat yang sama: pelestarian.

Geertz (via Abdullah 2010: 1) mengatakan bahwa “Kebudayaan merupakan pola

dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam symbol-simbol dan ditransmisikan secara historis. Kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara tersebut manusia dapat berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan

dan sikapnya terhadap kehidupan”. Terkait dengan pernyataan tersebut, Abdullah (2010: 135) mengatakan bahwa sesungguhnya kebudayaan oleh Geertz dibayangkan memiliki batas-batas wilayah tempat sekelompok orang mencari makna dan simbol-simbol. Globalisasi membuat migrasi tak lagi bersifat secara fisik, dengan perpindahan dari wilayah kebudayaan satu dan keluar menuju wilayah kebudayaan yang baru. Perkembangan transportasi, komunikasi telah membuat kita bisa melakukan migrasi virtual dengan cepat dan mudah. Definisi Identitas dan batas-batas kebudayaan kemudian memerlukan definisi ulang.

Irwan Abdullah (2010: 9-10) mengajak kita untuk memahami kebudayaan dengan melakukan redefinisi kebudayaan dari kebudayaan yang generik (pedoman yang diwariskan) menuju kebudayaan yang dinegosiasikan dalam keseluruhan transaksi sosial. Kebudayaan bukanlah warisan yang diwariskan secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu, negosiasi terus menerus dengan berbagai pihak yang terlibat dan berkontribusi pada proses keterhubungan tersebut. Mengaitkan masa lalu sebagai bagian dari identitas kebudayaan bangsa, sepertinya akan menjadi jargon yang menantang. Laksono (2013) menawarkan bahwa konsep kebudayaan kemudian dilihat sebagai usaha untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan, terus menerus mengaktualkan kehidupan berbangsa, bukan sekedar melestarikan masa lalu. Artinya, pengelolaan warisan budaya, tak hanya menghadirkan yang absen, namun juga memberi makna baru tak hanya bagi warisan itu sendiri, namun juga bagi masyarakat maupun kehidupan berbangsa.

(14)

lantas mati oleh kehadiran unsur budaya baru, tetapi bertahan secara kreatif beradaptasi terhadap hirarki kebudayaan-kebudayaan “baru”.

Daftar Pustaka

Heddy Shri Ahimsa-Putra (2004) “Warisan Budaya” dalam Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan

Budaya, Arwan Tuti Artha dan Heddy Shri Ahimsa-Putra, Yogyakarta: Kunci Ilmu.

Bol Brutu (2012) How Brutu Are You? Bol Brutu dan Situs-Candi Hindu-Buddha. Buku Katalog Pameran Foto How Brutu Are You?. Yogyakarta: Sangkring Art Space & Bol Brutu.

G. R. Lono Lastoro Simatupang (tt.) Meninjau Kota: dari perspektif Intangible Heritage Convention. makalah tidak diterbitkan.

Irwan Abdullah (2010) Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

J. Jokilehto (2005) Definition of Cultural Heritage: References to Documents in History. ICCROM Working Group Heritage and Society. Originally for ICCROM 1990, revosed for CIF 15 January 2005.

Laurajane Smith and Emma Waterton (2009), “The envy of the world?: intangible heritage in England”, dalam Intangible Heritage: Hal: 289-302. London & New York: Routledge.

Morgan Mayer (2012) “Placing and tracing absence: A material culture of the immaterial”

dalam Journal of Material Culture 17 (1) 2012. Hal: 103-110. Sage Publication. PM Laksono (2013) Pendidikan sebagai sarana kelola kebudayaan. Makalah untuk

Konggres Kebudayaan Indonesia di Yogya, 9 Oktober 2013.

Regina Bendix (2009), “Heritage between economy and politics: an assessment from the perspective of cultural anthropology”, dalam Intangible Heritage: Hal: 253-269. London & New York: Routledge.

Rosemary J. Coombe (2009), “The Expanding Purview of Cultural Properties and Their

Politics”, dalam The Annual Review of Law and Social Science 2009 5: 393-412. York University

Sumber situsonline:

http://www.materialculture.udel.edu/

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/25/244516522/Situs-Trowulan-Belum-Jadi-Cagar-Budaya-Nasional

http://www.tempo.co/read/news/2013/10/03/079518867/Kemdikbud-Minta-Pabrik-Baja-di-Trowulan-Ditinjau-Ulang Kamis, 03 Oktober 2013.

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/blog/2013/10/18/tanggapan-terhadap-petisi-trowulan/

http://www.antaranews.com/berita/401258/pemerintah-tak-izinkan-pembangunan-pabrik-di-trowulan

http://www.lensaindonesia.com/2013/11/06/warga-dua-desa-tolak-trowulan-jadi-lokasi-cagar-budaya

Referensi

Dokumen terkait

Efektivitas Aplikasi Saringan Air Dengan Penggunaan Media Pasir, Karbon Aktif, dan Zeolit Untuk Penurunan Kadar Kadmium (Cd) Pada Air Sumur Gali Masyarakat Desa Namo Bintang

89.500.000,- (delapan puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah) sebagai berikut :. No NAMA PESERTA

Tetapi karena secara teori kebun damar juga berperan penting dalam rehabilitasi zona kritis di dalam dan di perbatasan taman nasional di areal ‘hutan’ yang tidak dimukimi penduduk,

Menghirung Nilai Capaian SKP adalah PERHITUNGAN dibagi dengan

gambar video / VCD buku cerita kanak-kanak pita rakaman cerita kanak- kanak gambar gambar mimik muka membuat topeng permainan kotak... Menyesuaikan gambar

Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka direkomendasikan : 1) Dilakukan assesment kepada pemangku jabatan pimpinan tinggi terhadap kompetensi yang

yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi yang bereferensi geografis.. • Menurut

Dari semuaaspek yang telahditelititersebutmenunjukkanbahwaaktivitas biologi tanah menunjang sistembudidaya urban farming, sehingga telah berkelanjutan.Dari aspek