Pelaksanaan Diversi Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak di Pengadilan
Negeri Pekanbaru
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang
dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau
diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang yang diberi sanksi berupa
sanksi pidana. Kata kunci untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana atau bukan adalah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau
tidak.1
Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi sumber daya insani
dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil
dan makmur, materil spiritual berdasarkan pancasila dan Undang- Undang
Dasar 1945.2 Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek.
Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua,
menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.3
Konvensi Internasional tentang hak-hak anak telah merumuskan
prinsip-prinsip hak anak yang ditujukkan untuk melindungi hak anak, di
antaranya penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus
sesuai dengan hukum dan hanya sebagai upaya terakhir dan untuk jangka
1 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 100
2 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1.
waktu yang sesingkat-singkatnya.4Pernyataan tersebut terdapat dalam
Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-Hak Anak) yang
disahkan secara aklamasi tanggal 20 November Tahun 1989 dalam Resolusi
Majelis Umum PBB Nomor 44. 25, yang telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 26
Januari Tahun 1990.5
Dalam hukum positif Indonesia, perlindungan terhadap hak-hak anak
dapat ditemui di berbagai peraturan perundung-undangan, seperti yang tertuang
dalam Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 pada tanggal 25 agustus
1990, yang merupakan ratifikasi dan konvensi PBB Konvensi tentang Hak-hak
anak (Convention of the rights of the child), Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.6
Ketika seorang anak berada dilingkungan lembaga pemsyarakatan,
anak akan menghadapi lingkungan yang bergaul dengan narapidana dengan
berbagai jenis kejahatan dan jika bebas akan mendapat stigma anak yang nakal
yang sulit direhabilitasi sepanjang hidupnya.7
4M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk di Hukum, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hlm. 58.
5 Abintoro Prakoso,Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Surabaya, Laksbang Grafika,2013 hlm.4.
6 Nashriana, Op.cit, hlm. 13
Prinsip tentang Perlindungan Anak terutama tentang prinsip non
diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk
hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan sehingga diperlukan
penghargaan terhadap pendapat anak.8 Sehingga Muncul suatu gagasan untuk
hal tersebut, bahwa pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus
sejauh mungkin dihindarkan dari proses peradilan pidana. Berdasarkan dari
pemikiran tersebut, maka lahirlah sebuah konsep yang disebut diversion yang
dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.9
Diversi merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal atau
menempatkan ke luar pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan anak.
atau menempatkan ke luar pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan
pidana.10 Artinya tidak semua masalah perkara anak nakal mesti diselesaikan
melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian
dengan pendekatan keadilan demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan
mempertimbangkan keadilan bagi korban.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak memuat :11
8 DS. Dewi Fatahilla dan A.syukur, Mediasi Penal : penerapan restorative justice di pengadilan anak indonesia, Indie Pre Publishing, Depok, 2011, hlm. 13
9 Marlina, Pengantar konsep diversi dan restoratif justice dalam hukum pidana, USU Press. Medan, 2010, hal 1.
10 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 158.
1. Pada Tingkat Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perkara Anak di
Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi.
2. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan :
a) Diancam dengan pdana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Kepada pejabat yang telah diamanatkan Undang-Undang untuk
memberikan upaya diversi tetapi tidak dilakukan diberikan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
yang berbunyi :
“Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagamana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2.00.000.000,- (dua ratus juta rupiah)”
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek
negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan
sistem peradilan pidana. Upaya pengalihan atau ide diversi ini, merupakan
penyelesaian yang terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian
beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dengan
langkah kebijakan non penal anak pelaku kejahatan, yang penanganannya
dialihkan di luar. jalur sistem peradilan pidana anak, melalui cara-cara
pembinaan jangka pendek atau cara lain yang bersifat keperdataan atau
administratif.12
Sudah cukup banyak study dan tulisan yang mengkritik penerapan
pidana penjara sebagai alat untuk merubah perilaku baik masyarakat yang
berpotensi menjadi penjahat maupun mereka yang telah divonis sebagai
penjahat. Penjara walaupun telah dirubah namanya menjadi lembaga
pemsyarakatan tetaplah mengandung banyak kelemahan yang tidak dapat
mencapai maksud utama dipidanya seseorang. 13 termasuk anak sebagai pelaku
tindak pidana.
Berdasarkan data dari hasil pra riset yang dilaksanakan oleh penulis di
Pengadilan Negeri Bangkinang mengenai pelaksanaan diversi di Pengadilan
Negeri Bangkinang pada tahun 2014 dan 2015. Diperoleh data sebagai berikut :
Tabel I.1
Data Pelaksanaan Diversi di PengadilanNegeri Pekanbaru
Data dari Pengadilan Negeri Pekanbaru menunjukkan sejak
diberlakukannya Diversi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, pada tahun 2014 tidak ada kasus anak
yang di Diversi dan keseluruhannya kasus berakhir dengan putusan pidana, dan
ditahun berikutnya, tahun 2015 jumlah kasus yang memiliki putusan pidana
sebanyak 23 kasus dan 3 kasus berakhir dengan diversi. Dari tabel diatas dapat
diartikan bahwa telah mengalami peningkatan penerapan diversi dari tahun
2014 dan 2015. Tapi dari data tersebut jugamenunjukkan bahwa masih banyak
jumlah anak yang berhadapan dengan hukum dalam berakhir dengan pidana.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka menarik untuk diteliti
yang dituangkan dalam karya ilmiah dalam bentuk proposal skripsi dengan
judul: “Pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Pengadilan Negeri Pekanbaru ”.
B. Masalah Pokok
1. Bagaimanakah Pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh anak di Pengadilan Negeri Bangkinang?
2. Apa pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di
Pengadilan Negeri Bangkinang telah mencerminkan perlindungan hukum
terhadap anak?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak di Pengadilan Negeri Bangkinang
b. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak di Pengadilan Negeri Bangkinang telah
mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak
a. Penelitian ini berguna bagi penulis sebagai syarat untuk memperoleh
gelar sarjana.
b. Kegunaan penelitian bagi dunia akademik adalah penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan yang positif bagi pengembangan
ilmu khususnya mengenai pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh anak di Pengadilan Negeri Bangkinang.
c. Kegunaan penelitian ini bagi masyarakat dan instansi yang terkait
dengan pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
anak di Pengadilan Negeri Bangkinang.
D. Kerangka Teori
1. Konsep Restorative Justice
Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributif yang
berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada
kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributif, sanksi
pidana bersumber padea ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini
sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang
sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar, atau seperti
dikatakan oleh J. E. Jonkers bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana
yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara sanksi tindakan
bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Jika dalam teori
retributif sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan
terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah.14 Sanksi tindakan
bertujuan lebih bersifat mendidik15 dan berorientasi pada perlindungan
masyarakat.16
Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk Restorative Justice yaitu :
a) Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat
kejahatan;
b) Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan
(restorasi);
c) Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat
berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.
Diversi terdiri dari 3 tahap yaitu :
a) Diversi dalam tahap Penyidikan
Penyidikan terhadap anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan syarat telah berpengalaman sebagai penyidik, mempunyai
minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak serta telah
mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
b) Diversi dalam tahap Penuntutan
14Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana¸Bandung,1984, hlm 4
15 Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, 1994, hlm. 360
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntutan
terhadap perkara anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
Jaksa Agung. Dengan syarat telah berpengalaman sebagai penuntut umum,
mempunyai minat, perhatian dan memahami masalah anak dan telah
mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
c) Diversi dalam tahap Persidangan
Sidang Pengadilan dilakukan oleh Hakim Pengadilan Anak, yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan
negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi dengan syarat
telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum,
mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak serta
telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Penulis akan menggunakan Konsep Restorative Justice ini sebagai
pisau analisi untuk melihat pengaturan diversi terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dalam hukum pidana Indonesia.
Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang
bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik. Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari
suatu masyarakat dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga
memeliki sasaran kepada para penguasa. Menurut Peters, pernah menyatakan
pembatasan dan pengawasan/ pengendalian kekuasaan negara merupakan
dimensi yuridis yang sesungguhnya dari hukum pidana; tugas yuridis dari
hukum pidana bukanlah ’’mengatur masyarakat’’ , tetapi "mengatur penguasa"
yaitu :"the limitation of, and control over, the powers of the State constitute the
real yuridical dimension of criminal law :The Juridical task of criminal law is
not policing society but policing the police"( pembatasan, dan kontrol atas,
kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis nyata dari hukum pidana: Tugas
Yuridis hukum pidana tidak kebijakan masyarakat tetapi kepolisian polisi).
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses
yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan
oleh badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana
secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.17
Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan
hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada
pelaksanaan hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait
dengan ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem
pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan
pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga
dapat dilihat dalam arti luas/ material.
Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal,
penjatuhan pidana ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan
oleh pejabat yang berwenang, sedangkan dalam arti luas atau material,
penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat
yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada
putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat
pelaksana pidana, jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem
peradilan pidana itu sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan
hukum pidana yang integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum
itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.
Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat
dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa
penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik
hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan.
Persoalan sekarang adalah garis-garis kebijakan atau pendekatan yang
bagaimanakah sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana.
E. Konsep Operasional
Untuk memudahkan Pemahaman terhadap Penulisan ini dan tidak
terjadi perbedaan persepsi pandangan yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman, penulis membuat suatu bentuk suatu definisi operasional
istilah-istilah yang penulis gunakan.
1. Pelaksanaan adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu badan atau
wadah secara berencana, teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang
diharapkan.18
2. Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan suatu
kasus dari proses formal ke proses informal atau menempatkan ke luar
pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan anak. atau menempatkan ke
luar pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana.19
3. Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
umum.20
18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 488. 19 Marliana, Op. Cit, hlm. 158
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.21
5. Pengadilan Negeri Pekanbaru adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang
berada dilingkungan peradilan umum22 di wilayah hukum Bangkinang.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan identifikasi hukum dan
bagaimana efektifitas pelaksanaan hukum berlaku di masyarakat.23 Atau
meninjau keadaan melalui permasalahan dilapangan yang dikaitkan dengan
aspek hukum yang berlaku.24 2. Obyek Penelitian
Penelitian ini mengenai Pelaksaan diversi yang dilaksanakan di
Pengadilan Negeri Pekanbaru, khususnya di Kepaniteraan Muda Pengadilan
Negeri Pekanbaru.
3. Data dan Sumber Data a. Data Primer
21 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 22 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 33.
Data primer adalah data yang penulis dapatkan atau diperoleh secara
langsung melalui wawancara dengan responden di lapangan mengenai
hal-hal yang bersangkutan dengan masalah yang diteliti.
b. Data Sekunder
Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari Undang-Undang,
literatur-literatur atau merupakan data yang diperoleh melalui penelitian
perpustakaan antara lain berasal dari:
1) Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang
diperoleh dari Peraturan perundangan-undangan, seperti Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dan Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Dagang.
2) Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari literatur dan hasil
penelitian para ahli sarjana yang berupa buku-buku yang berkaitan
dengan pokok pembahasan.
3) Bahan Hukum Tersier
Data yang penulis peroleh dari kamus ensiklopedia dan Internet
atau media cetak lainnya yang dapat menunjang kesempurnaan dalam
4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara/Interview
Wawancara atau interview yaitu dengan mengumpulkan beberapa
pertanyaan yang sesuai dengan konsep permasalahan yang kemudian
langsung mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden serta
pihak pihak yang memiliki kaitan dengan konsep permasalahan yang di
angkat didalam permasalahan proposal ini.25 b. Kajian Kepustakaan
Menggunakan teknik pengumpulan data baik dengan cara membaca
buku, jurnal-jurnal yang terkait dengan tajuk permasalahan dalam proposal
dan atau referensi lain.
5. Analisis Data dan metode Penarikan kesimpulan
Berdasarkan dengan rumusan permasalahan dan pembahasan atas
permasalahan yang dipergunakan maka teknik analisis data penulis lakukan
dengan cara kualitatif. Dimana penulis melakukan analisa data melalui
pengumpulan data dari observasi lokasi yang terbatas dengan beberapa
responden yang diwawancarai, yang kemudian data tersebut penulis pahami
dan penulis beri makna untuk selanjutnya penulis jadikan tulisan dan
keterangan yang dapat memberikan penjelasan atas rumusan permasalahan
yang penulis angkat. Setelah data terkumpul baik data primer maupun data
sekunder dari lapangan selanjutnya diolah dengan cara mengelompok data
menurut jenisnya, kemudian dilakukan pembahasan dengan memperlihatkan
teori-teori hukum, dokumen-dokumen dan data-data lainnya. Sedangkan
metode berpikir yang digunakan oleh penulis yaitu deduktif yakni
pengerucutan dari bagian umum yang merupakan permasalahan umum kepada