• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Sudut Pandang dan Dilema Kritik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masalah Sudut Pandang dan Dilema Kritik"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Masalah sudut Pandang

dan dileMa KritiK PostKolonial

Manneke BudiMan

S

ebagaimana telah dikemukakan oleh Keith Foulcher dan Tony Day dalam pengantar mereka untuk kumpulan tulisan tentang kritik postkolonial atas sastra Indonesia ini, tampaknya ada kesepakatan umum tentang pengertian postkolonialisme sendiri di kalangan para praktisinya. Postkolonialisme secara longgar dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan “jejak-jejak” kolonialisme dalam konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan kekuasaan yang tak setara” sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di ‘dunia ketiga’. Foulcher dan Day juga menegaskan dan ini yang menarik bahwa postkolonialisme adalah “strategi mem-baca” sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi atau suara pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut.

Di dalam konteks pengertian inilah buku ini menempatkan pelbagai esai yang ditulis oleh peneliti sastra yang berasal dari pelbagai negara, termasuk dua orang peneliti Indonesia dari 12 orang yang tulisannya dimuat di sini. Penyumbang lainnya berasal dari Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan Belanda. Hal ini perlu diungkapkan bukan dengan tujuan untuk mempermasalahkan sedikitnya jumlah kritikus Indonesia yang terlibat dalam penulisan kritik postkolonial atas sastra Indonesia dalam kumpulan ini dibandingkan dengan jumlah kritikus ‘dunia pertama’. Isu ini diangkat terutama untuk memperlihatkan adanya asumsi dasar – disadari atau tidak – bahwa, sebagai suatu

(2)

dapat dilakukan secara objektif tanpa adanya intervensi subjektivitas para peneliti terkait dengan latar belakang ras, kebangsaan, dan budaya masing-masing. Oleh karena itu, tidak menjadi soal bahwa dalam buku ini ada perbedaan persentase yang besar antara kritikus-kritikus Indonesia dan non-Indonesia. Dengan kata lain, baik kritikus Indonesia maupun non-Indonesia diasumsikan dapat mengambil’jarak aman’ dari subjek kajiannya untuk menghindari terjadinya bias-bias yang dapat melemahkan objektivitas kajian.

Kritik postkolonial lahir dan berkembang, serta memiliki daya tarik yang besar, karena kesadarannya akan ketimpangan hubungan kuasa antara penguasa koloni dan subjek kolonial yang diperintahnya. Demikian pula, sebagaimana telah disebutkan di atas, kritik postkolonial juga peduli pada bagaimana pola hubungan semacam itu masih memperlihatkan warisan yang kentara dan berkepanjangan bahkan setelah koloni memperoleh kemerdekaannya. Sasaran kritik postkolonial adalah membongkar pola-pola hubungan kuasa tersebut untuk menguak ketimpangan yang melandasinya. Dengan demikian, jelas bahwa sejak semula sesungguhnya kritik postkolonial berhadapan dengan masalah objektivitas dalam cara pandang maupun operasional-nya sebagai alat pembedah teks.

Kritik postkolonial juga berangkat dari asumsi-asumsi, antara lain, bahwa kritik itu bukanlah sekadar sebuah elitisme akademik baru yang menjadi kemewahan para kritikus sastra. Seperti halnya kritik-kritik ‘pembebasan’ lain (marxis, feminis, dan sebagainya), kritik postkolonial perlu diposisikan sebagai bagian dari praksis, yang tak hanya berdimensi tekstual tetapi juga sosial, serta bercita-cita melakukan transformasi melalui diseminasi wawasan atau kesadaran kritis. Namun, seperti halnya juga dengan kritik-kritik sejenis yang dicontohkan di atas, sikap semacam ini, tidak bisa tidak, akan berbenturan dengan objektivitas, yang menjadi salah satu tiang utama ilmu pengetahuan. Dapatkah kedua hal ini didamaikan? Atau, pertanyaan yang sebaiknya dilontarkan terlebih dahulu adalah, sungguhkah ada tegangan di antara keduanya?

Dalam bentuknya yang ekstrem, seperti banyak dipraktikkan dalam

(3)

seputar sikap akademik yang bertubrukan dengan objektivitas itu. Ada tuduhan bahwa peneliti yang bersikap seperti itu sesungguhnya sedang mempraktikkan “excessive charity” atau simpati yang berlebihan pada subjeknya, dan dampak perbuatan ini sama buruknya dengan sikap yang menghakimi subjek secara tidak toleran. Sementara itu, sikap yang sebaliknya dengan mudah dicap “uncharitable” serta tidak menunjukkan simpati pada subjeknya. 1Namun, tiadanya posisi peneliti yang dapat

dilihat dengan gamblang dalam kajian-kajian postkolonial, atau disem-bunyikannya posisi tersebut di balik kenetralan atau objektivitas, juga dikhawatirkan dapat menumpulkan ketajaman kritik postkolonial sebagai sebuah alat analisis. Lebih jauh lagi, postkolonialisme pun jangan-jangan akan menjadi sebuah kemewahan akademik yang tak membumi, penuh dengan jargon canggih yang maknanya tak pernah betul-betul jelas, dan melulu berkutat dengan keruwetan konseptual yang cenderung selalu diakhiri dengan serentetan tanda tanya.

Sneja Gunew secara menarik tetapi serius pernah membincangkan persoalan ini. Di mata Gunew, pengetahuan semestinya bersifat”

interested” (alih-alih disinterested). Artinya, suatu pengetahuan baru benar-benar bermakna jika ada kepentingan jelas yang disuarakannya. Mengutip Donna Haraway, yang menyebut pengetahuan jenis ini dengan “situated knowledge”, ia berargumen bahwa letak pertanggungjawaban pengetahuan semacam ini adalah pada jejaring hubungan (berupa “solidaritas politis”) dan dialog epistemologis yang dimungkinkannya untuk terjadi.2 Di dalam konteks postkolonialisme, mungkinkah kajian

Istilah-istilah excessive charity, uncharitable, dan unsympathetic dalam konteks ini

digunakan oleh Talal Asad dalam tulisannya, “The concept of cultural translation in British social anthropology”, ketika mengritisi pemikiran Ernest Gellner ten tang bagaimana studi antropologis seharusnya dilakukan. Tulisan itu dimuat

dalam J. Cliford dan G. Marcus (peny.), Writing Culture: The poetics and politics of ethnography, Berkeley: University of California Press, 1986 (hlm. 141-164).

Periksa S. Gunew, Haunted Nations: The colonial dimensions of multiculturalism, London & New York: Routledge, 2004, khususnya pada Pendahuluan: “Situated multiculturalism” (hlm. 1-13). Gunew mengajukan gagasan ini sebagai justiikasi

bagi bukunya, yang bertopik multikulturalisme dan bersinggungan dengan

postkolonialisme dan feminisme. Subjektivitas dan keterlibatan pengalaman

pribadinya dalam memaknai multikulturalisme ia terima sebagai “situated imagination” (meminjam istilah yang ditelurkan 0100 Marcel Stoeltzler dan Nira

Yuval-Davis) yang menjadi prasyarat bagi terbentuknya suatu “situated knowledge”.

Suara dalam pengetahuan jenis ini adalah suara orang pertama tunggal, yang

(4)

postkolonialisme dipersepsikan sebagai salah satu bentuk “situated know-ledge” yang dibayangkan Gunew sehingga objektivitas dalam artiannya yang konvensional tidak lagi menjadi prasyarat bagi kesahihan, dan peneliti tidak perlu merasa bersalah dengan sikap atau posisi yang diambilnya yakni – bagian ini perlu diberi tekanan khusus – ‘keberpihakannya’

kepada yang tertindas (the colonized)? Seandainya pun sikap tersebut dinilai sebagai suatu fallacy, dapatkah ‘kekeliruan’ ini diterima sebagai suatu pilihan sadar seorang kritikus postkolonial, mengingat hanya dengan mengambil posisi ‘keliru’ inilah ia dapat mewujudkan keberpi-hakannya dan, pada gilirannya, melakukan transformasi atas kesadaran untuk menjadikannya lebih kritis?

Gayatri Spivak juga pernah mempersoalkan fallacy jenis ini ketika menggagas suatu posisi bagi kritikus subaltern dalam berbicara dengan mantan tuan kolonialnya di Barat. la menyebutnya dengan istilah esensialisme strategis, yaitu sikap esensialis yang bersifat sementara dan yang memang harus diambil dengan tujuan untuk, pada akhirnya, menggugat esensialisme itu sendiri. Sikap ini harus diambil agar seseorang dapat mulai berbicara tentang esensialisme dan kemudian mengritisinya. Tanpa sikap esensialis sementara yang bertujuan strategis itu, mustahil bagi suatu kritik untuk dapat menggugat suatu ketimpangan kuasa yang terjadi pertama-tama karena adanya cara pandang yang esensialis terhadap hal-hal seperti ras, gender, bangsa, dan sebagainya. Itu sebabnya mengapa istilah-stilah seperti ‘Barat’, ‘Timur’, ‘dunia ketiga’, ‘perempuan’, ‘penindas’ (colonizer) dan ‘tertindas’ (colonized), dan sebagainya tetap digunakan dalam pelbagai kajian kritis tentang esensi-esensi tersebut, meskipun esensi-esensi-esensi-esensi itu ditolak sebagai paradigma.

Ini adalah persoalan yang amat penting dalam postkolonialisme, terlebih ketika hendak dipahami sebagai sebuah “strategi membaca”, sebagaimana diutarakan oleh Foulcher dan Day. Pengantar untuk edisi berbahasa Indonesia ini hendak menggunakan problematika-problematika di atas sebagai titik-tolak untuk secara kritis menyimak

3 Dalam sebuah wawancara dengan Sarah Harasym pada tahun 987. Wawancara

itu dimuat dalam G.c. Spivak, The Post-colonial Critic: Interviews, strategies, dialogues,

peny. Sarah Harasym, New York & London: Routledge, 1990 (hlm. 95-112). Dalam wawancara itu, Spivak menjawab pertanyaan Harasym tentang asal muasal istilah

(5)

pelbagai gagasan yang dikemukakan oleh sejumlah penyumbang tulisan dalam kaitan dengan pemaknaan mereka atas teks-teks sastra Indonesia sebagai suatu bentuk kritik postkolonial. Secara umum, tulisan-tulisan yang terhimpun dalam buku ini memperlihatkan dua kecenderungan besar. Pertama, sebagian tulisan tampak jelas berupaya untuk tidak melakukan penghakiman terhadap teks sastra yang dikajinya dan memperlihatkan empati pada persoalan yang dihadapi teks baik pada tataran tekstual maupun politis. Di lain pihak, sebagian lainnya mencoba mempertahankan jarak dari teks yang sedang dibedahnya, dan tampaknya ada kepercayaan yang cukup besar pada objektivitas di kalangan penyumbang tulisan yang termasuk dalam kategori ini.

Tulisan Paul Tickell, misalnya, sembari mengungkapkan betapa terbatasnya ruang gerak yang disediakan oleh wacana kolonial, serta besarnya risiko yang harus dihadapi bagi pelanggar batas-batas itu, tetap memperlihatkan upaya kreatif yang tak kunjung padam di kalangan sastrawan untuk menyiasati kekangan kolonial, yang menyebabkan kekangan tersebut tak dapat sepenuhnya berfungsi dengan efektif. Ini ditunjukkan oleh Tickell melalui kajian atas novel Matahariah karya Marco Kartodikromo, khususnya atas tema hibriditas antara gagasan-gagasan Barat dan cara berpikir tokoh-tokoh pribumi. Ada ironi dalam

setiap upaya penyiasatan atas kolonialisme karena, pada akhirnya, kuasa kolonial selalu berada di atas angin, tetapi kreatiitas yang diwujudkan dalam pelbagai strategi penyiasatan itu juga membuat artikulasi kuasa kolonial menjadi mustahil untuk dilakukan dengan sepenuhnya. Tickell tidak terjebak dalam “excessive charity” pada yang tertindas, tetapi juga berhasil menghindarkan diri dari godaan untuk mengecilkan arti suatu perlawanan, seberapa pun kecilnya dampak perlawanan itu.

Demikian pula dengan tulisan Thomas Hunter, yang membahas

Salah asoehan karya Abdoel Moeis. Lewat kajiannya, Hunter berusaha mengungkapkan kesadaran kritis yang terdapat dalam teks tersebut,

4 Penyikapan terhadap pelbagai wacana kolonial di Hindia Belanda dinilai unik

oleh Tickell karena hal itu dilakukan oleh para penulis Indonesia melalui bahasa

Melayu yang tidak baku atau bahasa Melayu ‘liar’, yang penggunaannya tidak

direstui oleh pemerintah kolonial. Dalam novel Matahariah, bahasa Melayu ‘liar’

itu dicampur-baur dengan bahasa Belanda dan Jawa, menyebabkan seolah-olah

kaburnya batas-batas antara yang superior dan inferior, termasuk juga dalam

(6)

khususnya dalam menyikapi pendidikan Barat (Belanda). Tokoh Hanai dalam novel adalah seorang tokoh yang gagal karena ia terlalu mengidolakan nilai-nilai Eropa tanpa pemahaman yang cukup mendalam atas konteks tempat nilai-nilai tersebut lahir. Akibatnya, ketika nilai-nilai itu diterjemahkan ke dalam konteks tanah jajahan, terjadilah benturan-benturan, dan tokoh Hanai pun mengalami ‘gegar budaya’. Di negeri jajahan, semua nilai liberal yang dipujanya ternyata tak lebih dari sekadar kedok belaka untuk melestarikan keunggulan Barat.

Hunter menunjukkan bahwa, di dalam novel yang ditulis semasa kekuasaan kolonial masih kuat berakar di Hindia Belanda dan diterbitkan oleh sebuah lembaga penerbitan pemerintah, sudah terdapat sebuah gugatan terhadap pendidikan Barat dan nilai-nilai yang disebarluaskannya. Dengan demikian, sesungguhnya novel ini memiliki potensi untuk melakukan subversi terhadap kuasa kolonial karena menyuarakan suatu tanggapan kritis atas salah satu unsur terpenting pembangun rasa superioritas barat, yakni pendidikan, serta pengetahuan yang ditawarkannya. Menarik bahwa sebuah novel berpandangan kritis seperti ini dapat lolos dari sensor pemerintah dan menembus penerbitan Balai Poestaka. Tampaknya Moeis cukup berhasil untuk bermain de-ngan aman di antara hasrat pemerintah kolonial untuk melestarikan segregasi ras (dengan cara menggagalkan hubungan Hanai dan Corrie) dan agenda pribadinya untuk melancarkan kritik atas nilai-nilai Barat (lewat transformasi yang dialami Hanai).

Sebaliknya, kajian Henk Maier atas karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang diberinya judul”Si Tukang Dobrak dan Pintu yang Keropos. Tulisan Melayu Pramoedya Ananta Toer” mengungkapkan sikap yang berbeda. Sejak semula, Maier telah bersikap kritis terhadap postkolonialisme, dengan menganggapnya sebagai suatu “jaringan kisah yang terus tumbuh membesar, tetapi juga kian kehilangan dayanya ketika dipertemukan dengan sebuah situasi konkret”. Andaikata pun ruang lingkupnya bisa dibatasi dalam suatu kasus tertentu saja, tetap ada kecenderungan untuk “menjadi lebih besar daripada dirinya sendiri”, dan satu kasus itu bisa jadi “menjelma menjadi sebuah kisah dengan dampak besar”.

(7)

“jaringan kisah” yang kental dengan subjektivitas alih-alih suatu bentuk pengetahuan. Strategi membaca Maier, dengan demikian, bersifat penuh kehati-hatian terhadap jebakan subjektivitas yang dapat menyebabkan studi kasusnya atas karya-karya Pram susut menjadi sebuah ‘kisah’ belaka dalam rangkaian kisah yang dibangun oleh postkolonialisme. Posisi semacam ini, tentunya, sah saja untuk diambil oleh seorang peneliti, asalkan dapat bersikap konsisten dengan posisi yang diambilnya itu. Sulitnya, konsistensi ini tidak selalu terlihat jelas dalam pembacaan lebih lanjut Maier terhadap sastra Indonesia. Masalah ini, tampak, khususnya, dalam pilihan kata yang digunakannya untuk

merujuk pada situasi sastra Indonesia masa penjajahan, yang secara kentara memperlihatkan subjektivitasnya sebagai peneliti.

Kata ‘Melayu’, misalnya, dikatakannya sebagai sebuah kata yang “membingungkan” karena terbentuk dari pelbagai wacana. Sebagai bahasa, Melayu cukup populer dan mempunyai daya tarik besar bagi para penutur bahasa lain di Batavia, tetapi bahasa ini juga dinilainya lemah karena “tidak memiliki gaya tarik (point of gravity) yang jelas untuk dapat menjadi sebuah standar atau kanon”. Lebih lanjut, Maier menyatakan bahwa mereka yang menulis dan menerbitkan dalam bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, dalam prosesnya, mengalami

5 Maier menyebutkan bahwa tokoh-tokoh dalam karya awal Pramoedya Ananta

Toer berbicara dengan tergagap-gagap dan bahwa mereka “memekik” dan “menggumam”, serta “menangis” dan “meratap” sebagai cerminan kegamangan dan kegalauan Pram akan pilihannya untuk mengungkapkan pikiran dalam

bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, yang kini menjadi bahasa “Indonesia”. Di mata Maier, segalanya serba tidak memadai, tidak jelas, tidak koheren, dan ia mempertanyakan apakah setiap realitas harus berakhir nasibnya dengan menjadi kisah-kisah. Selanjutnya, ia juga menafsirkan penggunaan kata “hakikat” oleh Pram (yang uniknya diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam tulisan asli Maier sebagai “truth”) dalam karyanya, Kabar Seberang (1992) sebagai siratan hasrat penulis

akan “keutuhan dan keseragaman” ketika Pram mengatakan bahwa pengalaman pribadi adalah pengalaman masyarakat dan, setelah dituliskan, akan kembali

ke masyarakat sebagai suatu realitas yang baru, sehingga “hakikat iksi adalah juga hakikat sejarah”. Saya tidak melihat adanya hasrat akan “keutuhan” dan “keseragaman” itu di dalam Pram, dan tafsir semacam ini hanya bisa djustiikasi

oleh penggunaan atau pemaksaan koherensi sebagai ukuran keberhasilan atau

kegagalan Pram. Padahal, bagi Pram sendiri, seperti jelas tampak dalam kutipan, “hakikat” (atau “truth”) itu terletak pada relasi dan interaksi alih-alih “keutuhan” dan “keseragaman”. Dan, memang, pada akhir tulisannya Maier tidak menolak pendapat sejumlah pengamat yang menyimpulkan bahwa karya-karya Pram

adalah suatu kegagalan karena tidak memiliki “totalitas sempurna”, dan

(8)

“ketidakyakinan” yang bersumber pada tiga persoalan:i) ketidakyakinan tentang pemahaman pembaca atas bahasa Melayu yang digunakan, ii) cara menyembunyikan atau mengatasi perasaan tidak yakin itu sendiri, dan iii) apa yang akan terjadi dengan bahasa ibu mereka sebagai akibat pemilihan bahasa Melayu sebagai alat ungkap.

Ada beberapa masalah dalam telaah Henk Maier di atas. Pertama, ia memilih kata “membingungkan” untuk menjelaskan ‘Melayu’. Membingungkan untuk siapa? Para penulis penutur bahasa Melayu sebagai “bahasa keduaatau Maier sebagai pengamat? Hal yang sama dapat dijumpai pada pilihan kata “ketidakyakinan”. Apakah ini adalah ketidakyakinan para penulis yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua dalam tulisan dan terbitan mereka atau jangan-jangan ketidakyakinan Maier sendiri yang diproyeksikan ke para penulis Melayu itu dan, dengan demikian, lebih mudah baginya untuk membuat pernyataan serta penilaian tentang mereka? Mungkinkah ini adalah sebuah kasus subjektivitas pengamat yang diproyeksikan men-jadi subjektivitas para penulis yang menmen-jadi target pengamatannya? Disengaja atau tidak, hasil’salah kaprah’ ini menguntungkan pengamat karena, dengan begitu, dapat memproduksi pernyataan-pemyataan ‘objektif’ tentang para penulis Melayu itu.

(9)

halaman-halaman berikutnya hingga akhir tulisan.

Kedua, bahasa Melayu dinilai lemah oleh Maier dari segi ketidak-mampuannya untuk menjadi “standar” atau “kanon”. Siapa yang berkehendak menjadikan bahasa Melayu sebagai kanon atau standar? Pemerintah kolonial dan Balai Poestakanya, para penulis yang meng-gunakan bahasa Melayu sebagai medium, ataukah Henk Maier sen-diri? Dalam tulisan Maier, lagi-Iagi terjadi pengaburan intensi ketiga entitas itu. Maier menjelaskan bahwa ada upaya yang ditempuh pe-merintah kolonial untuk menggunakan sastra Melayu klasik sebagai standar tulisan dan penerbitan dalam bahasa Melayu, tetapi upaya itu menemui kegagalan karena sifat-sifat yang dimiliki bahasa Melayu yang digunakan penulis pada akhir abad ke-19 di Hindia Belanda (seba-gaimana dicontohkan di atas) tidak kompatibel dengan standar Melayu klasik ataupun standar Eropa.

Namun demikian, jika yang ada di benak Maier adalah bahasa Melayu ‘liar’ yang disebut-sebut oleh Hunter, maka persoalannya tidak begitu “membingungkan”. Beberapa penulis sengaja menggunakan bahasa Melayu ‘liar’ itu justru untuk menolak kanonisasi kolonial karena jenis bahasa Melayu tersebut ternyata memiliki kemampuan resistensi yang cukup besar untuk melawan upaya-upaya standarisasi. Apa yang di mata Maier tampak sebagai kelemahan, dalam hal ini, bisa juga dipandang sebagai kekuatan. lni selaras dengan pemikiran Goenawan Mohammad, yang dalam membahas Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, memaknai “kebimbangan” hidup di tengah dua dunia se-perti dilihat Minke pada sosok Nyai Ontosoroh sebagai “gudang potensi terpendam” alih-alih “kecemasan” belaka, sebagaimana cenderung dilihat oleh Henk Maier.

Sudut pandang seperti inilah yang menyebabkan Maier sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar terbitan dalam bahasa Melayu

Pada salah satu bagian puisinya, Saras berkata tentang para Indonesianis itu, “And

thuss/They talked/And talked/And talked/And yes indeed/They argue with each other/ Admire each other’s eloquence and/Articulateness/Whato do I think? /Who is interested in - what do I think? /They might not?/ or at least they politely ask how I was doing.”

(10)

pada akhir abad ke-19 terbaca seperti “terputus-putus” Seluruh pilihan kata ini mengandung muatan pemaknaan negatif terhadap subjek pene-litian dan bisa jadi membuat sebagian dari kita bertanya, apakah hal ini adalah konsekuensi logis sebuah pengamatan objektif ataukah ini suara subjektif Maier yang memang, sejak awal, mengandung prasangka terhadap subjek penelitiannya? Barangkali, dalam hal ini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ada pertemuan antara sudut pandang Maier dengan sudut pandang pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19. Jika hal ini benar, bisa dipahami bahwa penilaian yang dihasilkannya tidaklah memperlihatkan pemaknaan yang cukup positif atas subjek yang dinilai.

Tony Day, seperti Maier, juga berbicara ten tang bahasa dalam tulisannya. la membahas gagasan tentang ”ruang ketiga” yang bersifat hibrid dan postkolonial”. Ruang ini, menurutnya, berisi “ironi dan karikatur” yang menawarkan altematif bagi bahasa Indonesia maupun bahasa lokal yang, menurutnya, tidak betul-betul berhasil melahirkan suatu “bangsa”. Ruang ini bersifat ironis dan karikaturis karena’ adanya kesadaran bahwa yang ideal secara realistis tidak bisa diraih, yaitu melahirkan kebangsaan lewat bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Namun, Day masih mampu melihat bahwa dalam kegagalan dan situasi yang ironis ini bahkan masih ada ruang yang terbuka, walaupun sekejap, bagi pengungkapan pengalaman berbangsa. Pada momen singkat tapi penting inilah sastra Indonesia mampu menjadi medium pengungkap perasaan atau pengalaman tersebut. Paling tidak, inilah yang dapat ia simpulkan dari penelitiannya atas kumpulan cerpen Pramoedya Ananta Toer, Tjerita dari djakarta. Strategi penggunaan ironi dan karikatur ini, lanjutnya, merupakan “respons stilistik” Pramatas jalan buntu yang ditemuinya dalam mencari gaya dalam bahasa Indonesia yang

mampu mengungkapkan perasaan bangsanya.

Namun, memang barangkali letak persoalannya adalah pada

bangun istilah postkolonialisme itu sendiri, seperti yang telah

(11)

mana kecenderungan seorang kritikus di antara kedua’ tarikan itu akan menentukan pula sudut pandang clan temuan penelitiannya. Peneliti yang sadar betul akan permasalahan ini akan bersikap awas terhadap posisi dirinya, khususnya jika pada tataran kesadaran subjektif ia merasa sebagai bagian dari ‘Barat’ yang sedang memandangi ‘Timur’ (Indonesia). Mereka mungkin akan berusaha keras mencoba untuk tidak membiarkan diri terseret ke posisi ‘kolonial’, serta berkonsentrasi pada penggalian aspek-aspek pasca- yang kompleks dan

multidimen-sional. Sebaliknya, bisa juga seorang penulis

-

entah sengaja atau tidak -membiarkan diri berada pada posisi yang memungkinkannya untuk memandang subjeknya dengan kacamata peninggalan kolonial yang seolah hendak digugat tetapi sesungguhnya sedang dimanfaatkannya (atau menungganginya?).

Will Derks dengan tepat mengemukakan dalam tulisannya tentang sastra pedalaman bahwa kritik postkolonial harus dapat dihindarkan dari penerapan norma-norma sastra Barat pada subjek kajian. Prasyarat penting bagi kemampuan untuk menolak godaan ini adalah pengenalan akan kriteria dan norma yang berlaku di dunia Melayu atau Indonesia. Mungkin inilah yang dimaksud Sneja Gunew dengan situated knowledge, yang secara sepintas sempat disinggung pada awal prakata ini. Subjektivitas yang digunakan untuk menilai dan memaknai teks

-

sebagai suatu medium pengungkapan pengalaman sosial- semestinya adalah subjektivitas lokal. Meskipun ini bukanlah hal yang mudah untuk dipraktikkan baik oleh peneliti luar maupun oleh peneliti lokal sendiri (karena tidak jarang peneliti lokal pun sangat dipengaruhi oleh konsep pengetahuan Barat, termasuk ketika berbicara tentang postkolonialisme), upaya menuju ke arah tersebut layak dicoba, dan inilah tampaknya yang dituntut dari sebuah studi postkolonial yang memiliki komitmen sosial.

(12)

menjelma menjadi realitas yang menakutkan. Namun demikian, ketika para ilmuwan dan kritikus Timur beramai-ramai meneriakkan kritik mereka atas hegemoni Barat dalam pelbagai tulisan, pada saat yang sama mereka juga sedang mendiseminasikan Barat secara masit dan hasilnya pun kontraproduktif: mitos bahwa Barat adalah sebuah pusat yang adidaya kian dikukuhkan alih-alih diruntuhkan. Kajian postkolonial perlu mencari strategi yang tepat agar tidak terjerumus dalam dilema serupa dengan tak henti-hentinya melakukan releksi kritis atas dirinya sendiri.

llustrasi yang baik untuk menjelaskan persoalan di atas adalah kritik Will Derks atas sikap dan perlakuan Jakarta yang dinilainya kolonial dalam merespons seruan daerah-daerah ‘pinggiran’, yang dalam tulisan Derks difokuskan pada sastra pedalaman. Ada semacam kekecewaan bahwa para elite sastra di Jakarta hanya memandang sebelah mata pada fenomena merebaknya sastra-sastra di luar Jakarta. Menurut saya, kritik atau kekecewaan ini patut dilontarkan karena sinyalemen Derks bukannya tanpa dasar yang kuat. Masalah baru timbul ketika fenomena sastra pedalaman (demikian pula dengan sastra ‘pinggiran’ lain, seperti sastra kepulauan, sastra Tegat sastra buruh, dan sebagainya) menjadi terlalu diidolakan tanpa disertai oleh pertanyaan-pertanyaan kritis di seputar fenomena sastra pedalaman itu sendiri. Misalnya, apa yang membuat fenomena sastra ‘pinggiran’ rata-rata tidak berusia panjang? Ke manakah perginya para perintis dan pelopornya? Setelah kemunculan mereka disambut dengan gegapgempita, dan suara mereka mulai diperhitungkan, semoga saja mereka tidak hijrah ke Jakarta - pusat yang digugat itu - untuk mengadu nasib melawan para elite di sana sekaligus menjadi bagian dari mereka.

(13)

gerakan-gerakan sastra marginal itu tampaknya hanya mengetahui satu cara untuk mengumumkan eksistensinya, yaitu dengan menyerang Jakarta. Pada gilirannya, hal itu malahan kian mengukuhkan mitos kedigdayaan Jakarta sebagai satu-satunya ‘Pusat’. Ketika hegemoni Jakarta menjadi kian kukuh dengan berlalunya waktu, suara-suara perlawanan itu justru menjadi kian pupus - seperti angin kencang yang tiba-tiba menerpa, tetapi dengan cepat pula berlalu. Jika asumsi ini keliru, seharusnya pada saat ini kita telah melihat tegaknya ‘pusat-pusat’ baru non-Jakarta yang suaranya mampu menenggelamkan Jakarta, meskipun hanya sebatas pinggang.

Keberpihakan, komitmen sosial, dan empati pada yang tertindas di dalam konteks postkolonialisme tidak serta-merta berarti idealisasi yang tertindas. Will Derks, seperti halnya banyak penyumbang lainnya dalam buku ini, bukannya tak menyadari bahaya ini, tetapi memang tidak selalu mudah untuk menolak godaannya. Jadi, sekali lagi, kita berhadapan dengan dilema antara excessive charity di satu pihak dan sikap yang uncharitable atau unsympathetic di lain pihak. Meniti jalan sempit yang licin di antara kedua posisi tersebut dan tiba dengan selamat di ujungnya adalah suatu ikhtiar yang, dengan caranya masing-masing, telah diupayakan oleh setiap penyumbang tulisan dalam buku ini. Ward Keeler, kritikus yang tulisannya muncul terakhir dalam kumpul-an ini, mengungkapkkumpul-an dilema tersebut dengkumpul-an cara lain tetapi dengkumpul-an keprihatinan yang sama. Pada awal tulisannya, pertanyaan penting yang ia lontarkan dengan segera adalah, bagaimana kita dapat menyatukan “komitmen pada kesetaraan” dan “komitmen pada kerendah-hatian pada tataran intelektual” dalam melakukan kajian postkolonial?

(14)

Indonesia yang akan segera setuju dengan kategoriasi semacam ini, terlebih menyangkut sosok seperti Mangunwijaya yang kompleks, dinamis, dan sekaligus unik sehingga tidak dengan sederhana dapat diberi label’kelas menengah’.

Saya tidak tahu apakah dalam praktik kritik postkolonial kita masih diperkenankan mendengarkan suara ‘lokal’ yang subjektif tentang dirinya sendiri tanpa menyebabkan timbulnya keraguan atas keabsahan hasil kajian itu. Dengan kata lain, apakah suara lokal, yang boleh jadi merupakan imajinasi subjek penelitian mengenai dirinya sendiri, masih bisa diterima sebagai suatu ‘kenyataan,’ sehingga dari semula tidak perlu ada pretensi objektivitas dalam kritik postkolonial? Saraswati Soenindyo, seorang peneliti-penyair Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat, pernah menunjukkan kepada saya sebuah puisi yang dibacakannya di depan para peserta (semuanya Indonesianis) sebuah konferensi tentang Indonesia tak lama setelah krisis moneter melanda Indonesia. Puisi yang berjudul “Born in Indonesia” dan ditulis dalam bahasa Inggris itu berisi ungkapan frustrasi penulisnya sebagai seorang Indonesianis berkebangsaan Indonesia (dan perempuan) tapi tinggal di Amerika yang mencoba untuk sintas di kalangan para Indonesianis Amerika Utara (sebagian besar laki-laki). la merasa bahwa, sebagai seorang Indonesia, ia hanya diperhitungkan sebatas “teman” belaka dan bukan sebagai seorang “kolega”. Di mata Saras, suaranya hanya dihargai sebagai sebuah suara yang subjektif sehingga tidak cukup objektif untuk ditanggapi dengan serius.

Dalam puisinya, Saras juga mengungkapkan kesulitan yang dihadapi para anggota keluarganya di Indonesia sebagai dampak krisis ekonomi Asia pada akhir tahun 1990-an. Baginya, berbicara tentang krisis ekonomi di Indonesia bukanlah sekadar sebuah diskusi akademik, melainkan - lebih daripada itu - krisis yang terjadi juga merupakan semacam “emotional bail out”. Puisinya yang bernada protes itu mengeluhkan bahwa pengalaman subjektifnya, sebagai orang Indonesia yang bermukim di Amerika, dengan krisis ekonomi yang terjadi di negara asalnya seakan-akan dianggap sebagai imajinasi lokal semata yang bercampur dengan ‘keamerikaannya’ sehinggga tidak cukup absah sebagai data. Pada akhir puisinya, ia menyimpulkan,

(15)

real colleague/it is/ Precisely/ Because/-/indonesia/-/is not/Just/- The object/of/-/My/Study.” Situasi yang dilukiskan Saras jelas adalah sebuah masalah postkolonial yang tampaknya masih jauh dari penyelesaian dan menjadi pekerjaan rumah bagi para kritikus postkolonial di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Kelak, ketika hal ini tak lagi menjadi persoalan, mungkin akan ada lebih banyak kritikus sastra Indonesia yang dapat memberikan sumbangan gagasan dalam kumpulan tulisan semacam ini bersama-sama dengan mitra asingnya. Atau, sebaliknya, berapa persentase peneliti Indonesia yang terlibat dalam pembicaraan serius tentang sastra Indonesia dalam suatu penerbitan (dibandingkan dengan peneliti non-Indonesia) tak lagi relevan untuk dipertanyakan karena suara mereka secara serius didengar dan diperhitungkan. Agar kita selangkah dapat lebih dekat pada cita-cita itu, yang perlu dilakukan sementara ini adalah releksi kritis yang terus-menerus atas pelbagai pemikiran, argumentasi, dan proposisi yang kita ajukan dalam kerja ilmiah di bidang postkolonialisme yang kaya problematika ini.

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH METODE LATIHAN DRILL TERHADAP HASIL PUKULAN CLEAR BACKHAND ATLET BULUTANGKIS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Persentase spermatozoa motil pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan hasil lebih dari 50% sehingga motilitas spermatozoa dikategorikan

Analisis Bivariat untuk mengetahui pengaruh signifikan pemberian ekstrak daun binahong terhadap total bakteri asam laktat, aktivitas antioksidan dan penerimaan

Penelitian tentang pengaruh financial slack terhadap kinerja perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ini diharapkan berguna dan dapat mereplikasi bagi

1.. Upaya penyelesaian terhadap konsumen yang tidak dapat melanjutkan angsuran kredit elektronik pada PT.. 20) Wawancara I>eDgan Ibu Rachmawati Dirut PT Sriwijaya Furniture

penj elasan tersebut maka pengurangan asupan energi bukanlah merupakan cara yang efektif untuk menunrnkan kandungan lemak

“Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi.”

Adapun peningkatan yang dapat disimpulkan adalah : (1).Pembelajaran matematika tentang operasi hitung campuran bilangan bulat dengan pendekatan matematika realistik